II. TINJAUAN PUSTAKA KAKAO

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KAKAO (Theobroma cacao)
Tanaman kakao (Theobroma cacao) merupakan tanaman tropis yang
berasal dari hutan tropis Amerika Selatan. Oleh bangsa Maya buah tanaman
tersebut disebut ka-ka-wa dan dalam bahsa Nahuat disebut xocoat. Kemudian
oleh Linnaeus, tanaman tersebut diberi nama Theobroma yang berarti
makanan dewa-dewa (food of gods). Kakao (Theobroma cacao) merupakan
tanaman perkebunan yang diharapkan buahnya. Pada umumnya bagian buah
kakao yang dimanfaatkan adalah biji kakao. Bagian-bagian lain dari buah
kakao seperti pod dan plasenta merupakan limbah yang belum banyak
dimanfaatkan (Anonim, 2009).
Pod (kulit buah)
Biji dan pulp
Plasenta
Gambar 1. Bagian-bagian buah kakao (Anonim, 2009)
Kakao banyak ditanam di daerah Sulawesi Selatan, Lampung,
Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Komoditi ini merupakan
salah satu sumber devisa negara, sehingga keberadaan perkebunan dan
produktivitasnya
terus
ditingkatkan.
Sejak
tahun
1980
Pemerintah
memberikan prioritas terhadap produksi kakao sebagai salah satu mata
dagangan yang dikembangkan secara cepat. Produksinya sebagian besar
diekspor, khususnya ke negara-negara Belanda, Jerman Barat, Amerika
Serikat, dan Singapura. Saat ini produksi kakao Indonesia menempati urutan
terbesar kedua setelah Pantai Gading dan sudah bisa melampaui Ghana. Luas
areal perkebunan dan jumlah produksi kakao disajikan pada Tabel 1 (Suryani
dan Zulfebriansyah, 2007).
Tabel 1. Luas areal perkebunan kakao dan jumlah produksi
Tahun
Jumlah Luas Areal
(Ha)
Jumlah Produksi
2004
1.090.960
691.704
2005
1.167.046
748.828
2006
1.320.820
769.386
2007
1.379.279
740.006
2008
1.425.216
803.594
2009*)
1.475.343
758.411
2010**)
1.508.5077
776.618
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2009)
Keterangan : *) Sementara
**) Estimasi
Pod kakao atau kulit buah kakao merupakan bagian mesokarp atau
bagian dinding buah yang mencakup kulit terluar sampai dinding buah
sebelum kumpulan biji (Siagian, 1989). Pod buah kakao merupakan bagian
terbesar dari buah kakao. Komposisi bagian-bagian buah kakao dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi buah kakao
Komponen
Presentase (bk)
Pod (kulit buah)
73,6
Biji dan pulp
24,4
Plasenta
2,0
Sumber : Siswoputranto (1983)
Pod
kakao
merupakan
limbah
lignoselulosik.
Lignoselulosa
merupakan komponen berenergi terbesar yang dimiliki oleh limbah. Limbah
lignoselulosik dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol,
sehingga menghindari persaingan dengan bahan pangan. Lignoselulosa terdiri
atas tiga penyusun utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang saling
terikat erat membentuk satu kesatuan. Komposisi kimia pod kakao disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia pod kakao
No
Komponen
Persentase (bk)
1
Kadar air
12.96
2
Kadar abu
11.10
3
Kadar lemak
1.11
4
Kadar protein
8.75
5
Kadar karbohidrat
16.27
6
Kadar lignin
20.11
7
Kadar selulosa
31.25
8
Kadar hemiselulosa
48.64
Sumber : Ashadi (1988)
B. LIGNOSELULOSA
Lignoselulosa merupakan komponen berenergi terbesar yang dimiliki
oleh biomassa dan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol
sehingga menghindari persaingan dengan bahan pangan. Lignoselulosa
memiliki tiga penyusun utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang
saling terikat erat membentuk satu kesatuan (Sun dan Cheng, 2002).
1. Selulosa
Selulosa merupakan jenis polisakarida yang paling melimpah pada
hampir setiap struktur tumbuhan. Pada tumbuhan biasanya selulosa
berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa dan lignin
membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 1993).
Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan glukosa
yang terikat dengan ikatan β-1.4-glikosidik. Isolasi selulosa membutuhkan
perlakuan kimia yang intensif. Residu glukosa tersusun dengan posisi
ikatan 180oβ antara satu dengan yang lain dan selanjutnya pengulangan
unnit dari ranttai selulosaa membentu
uk unit sellobiosa (O’Sullivan, 1997).
Strruktur seluloosa dapat diilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sttruktur kimiia selulosa (Girindra, 1990)
Guguss fungsionall dari rantaii selulosa addalah guguss hidroxil. Gugus
G
–OH
O ini dapaat berinterakksi satu sam
ma lain denggan gugus –O, –N, dan
a –S,
meembentuk ikatan hidroogen. Ikatan
n –H juga terjadi anttara gugus –OH
sellulosa denggan air. Gugus
G
–OH
H selulosa menyebabbkan permu
ukaan
sellulosa menjjadi hidrofillik. Rantai selulosa memiliki
m
guggus –H di kedua
ujuungnya. Ujuung –C1 memiliki
m
siffat peredukksi. Strukturr rantai sellulosa
disstabilkan oleh ikatan hiidrogen yan
ng kuat diseepanjang ranntai (Holtzaapple,
1993).
n mikrofibrril dari glukkosa yang teerikat
Molekkul selulosaa merupakan
m
rantai polim
mer yang sangat pan
njang.
sattu dengan lainnya membentuk
Paanjang moleekul selulossa ditentukaan oleh jum
mlah unit gglukan di dalam
d
polimer yangg disebut dengan
d
deraajat polimerrisasi. Deraajat polimeerisasi
man dan um
mumnya dalaam kisaran 2000sellulosa tergaantung pada jenis tanam
27000 unit glukan.
g
Seluulosa dapatt dihidrolisiis menjadi glukosa deengan
meenggunakann asam ataau enzim. Hidrolisis sempurnaa selulosa akan
meenghasilkann monomer selulosa yaaitu glukosaa, sedangkann hidrolisis tidak
sem
mpurna akaan menghasiilkan disakaarida dari seelulosa yaittu selobiosaa (Fan
et al., 1982). Selanjutnnya glukosaa yang dihhasilkan dappat difermeentasi
meenjadi etanool.
Mikroofibril terdiiri dari baagian berkkristal dan bagian amorf.
a
Hidrolisis seluulosa akan lebih mudaah terjadi pada
p
bagiann amorf darripada
baggian berkriistal. Pada kenyataann
nya selulossa terdiri ddari 15% bagian
amorf dan 85% lainnya merupakan bagian berkristal (Tsao et al., 1978).
Akibatnya hidrolisis selulosa lebih sulit untuk dilakukan. Susunan bagian
berkristal lebih teratur dan rapat. Bagian ini sukar bereaksi dengan
pereaksi tertentu. Pada bagian tersebut pengikatan antar molekul selulosa
terutama terjadi karena ikatan hidrogen. Ikatan kimia hidrogen antara
molekul selulosa yang berdekatan berfungsi untuk memperkuat struktur
mikrofibril. Sebagai akibatnya bagian berkristal ini tidak larut dalam air
dan bersifat sangat stabil (Whistler et al., 1985).
2. Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida lain yang terdapat
dalam tanaman dan tergolong senyawa organik. Casey (1952) menyatakan
bahwa hemiselulosa bersifat non-kristalin, tidak bersifat serat, dan mudah
mengembang karena itu hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap bentuk
jalinan antar serat pada saat pembentukan lembaran. Hemiselulosa lebih
mudah larut dalam pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis dengan
asam. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai berat
molekul lebih kecil daripada selulosa.
Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah
larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah
sebaliknya. Hemiselulosa juga bukan merupakan serat-serat panjang
seperti selulosa. Hasil hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa,
sedangkan hasil hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan
monosakarida lainnya (Winarno, 1984). Menurut Janes (1969), monomer
gula penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon lima
(pentosa) dan enam (heksosa), misalnya xilosa, arabinosa, manosa,
glukosa, galaktosa, dan sejumlah kecil ramnosa, asam glukoroat, asam
metal glukoronat, dan asam galaturonat. Kandungan hemiselulosa di
dalam biomassa lignoselulosa berkisar antara 11% hinga 37% (berat
kering biomassa). Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis daripada
selulosa, tetapi gula pentosa lebih sulit difermentasi menjadi etanol
daripada gula heksosa (Perez et al., 2002). Rumus bangun hemiselulosa
dapat dilihat pada Gambar 3.
H
H
H
R R Gambar 3 . Struktur polimer hemiselulosa. (Frassoldati et al., 2005)
Hemiselulosa umumnya dikelompokkan berdasarkan residu gula
utama yang menyususun rangkanya, seperti xilan, mannan, galaktan, dan
glukan, dengan xilan dan mannan adalah gugus utama dari hemiselulosa.
Hemiselulosa umumnya dilaporkan berasosiasi secara kimia atau terikat
silang dengan polisakarida, protein, atau lignin. Xilan kemungkinan
sebagai wilayah ikatan utama antara lignin dan karbohirat lain.
Hemiselulosa lebih mudah larut daripada selulosa dan dapat diisolasi dari
kayu dengan ekstraksi. Rata-rata derajat polimerisasi dari hemiselulosa
bervariasi antara 70 dan 200 tergantung pada jenis kayu (Achmadi, 1989).
3. Lignin
Lignin merupakan salah satu dari tiga komponen dasar biomassa.
Lignin merupakan bahan organik bukan karbohidrat yang berbentuk amorf
dan tersusun atas satuan-satuan fenol (Chang et al., 1981). Jaringan
polimer fenolik pada lignin berfungsi merekatkan serat selulosa dan
hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat (Sun dan Cheng, 2002).
Lignin adalah komplek polimer hidrokarbon dengan komponen
senyawa alifatik dan aromatik. Brown (1979) mengatakan bahwa lignin
merupakan polimer aromatik kompleks dengan bobot molekul kira-kira
11.000 yang dibentuk oleh tiga dimensi polimerisasi. Lignin merupakan
molekul komplek yang tersusun dari unit fenil propana yang terikat di
dalam struktur tiga dimensi.
Gambar 4. Struktur kimia lignin (Brunov, 1998)
Lignin adalah material yang paling kuat di dalam biomassa. Lignin
sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun
kimia. Karena kandungan karbon yang relatif tinggi dibandingkan dengan
selulosa dan hemiselulosa, lignin memiliki kandungan energi yang tinggi
(Palonen, 2004). Lignin ditemukan secara alami sebagai bagian integral
dari dinding sel tanaman, terbenam di dalam polimer matrik dari selulosa
dan hemiselulosa. Komposisi lignin di alam sangat bervariasi tergantung
pada spesies tanaman.
Lignin memiliki struktur yang bermacam-macam. Lignin seperti
terdiri dari daerah amorf dan bentuk-bentuk terstruktur seperti partikel
tabung dan globul. Ada indikasi pula bahwa struktur kimia dan tridimensional lignin sangat dipengaruhi oleh matrik polisakarida. Simulasi
dinamik menunjukkan bahwa gugus hidroksil dan metoksil di dalam
prekusor lignin dan oligomer mungkin berinteraksi dengan mikrofibril
selulosa sejalan dengan fakta bahwa lignin memiliki karakteristik
hidrofobik (Faix et al., 1985).
Lignin mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda dengan
selulosa. Menurut Pasaribu (1987), lignin mudah dioksidasi oleh larutan
alkali dan bahan-bahan oksidator, tahan terhadap hidrolisis oleh asamasam mineral, mudah larut dalam larutan sulfit pada keadaan basa dan
lignin yang telah dihalogenasi dengan klor akan mudah larut dalam alkali.
Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang
tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan
lignin terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa
(Taherzadeh, 2008).
Polimer lignin dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami
perubahan dalam bentuk dasarnya. Lignin pada umumnya tahan terhadap
hidrolisis karena adanya ikatan eter dan ikatan karbon. Pada suhu tinggi
lignin akan mengalami perubahan struktur dengan membentuk asam
format, metanol, asam asetat, aseton, vanilin dan sebagainya, sedangkan
bagian yang lainnya mengalami kondensasi (Brown, 1979).
C. ETANOL
Produksi etanol dari biomassa lignoselulosa dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar, yaitu platform biokimia (biochemical platform)
atau gula (sugar platform) dan platform termokimia (thermochemical
platform). Platform biokimia meliputi proses hidrolisis selulosa dan
hemiselulosa menjadi monomer gula penyususnnya, fermentasi gula menjadi
ethanol, destilasi dan dehidrasi untuk menghasilkan ethanol fuel grade.
Platform termokimia secara umum meliputi dua tahapan utama, yaitu
gasifikasi dan dilanjutkan dengan konversi gas yang dihasilkan menjadi etanol
(Hamelinck et al., 2005). Secara sederhana proses koversi biomassa
lignoselulosa dapat digambarkan seperti pada Gambar 5.
Etanol
Biomassa
Pretreatment
Hidrolisis
Fermentasi
Uap Panas
Limbah Cair
Purifikasi
Limbah Padat
Pembangkit
Tenaga
Energi Listrik
Gambar 5. Proses produksi etanol dari biomassa lignoselulosa (Hamelinck et
al., 2005)
Secara umum proses pembuatan bioetanol melalui tiga tahapan yaitu
tahap persiapan bahan baku, tahap fermentasi dan tahap pemurnian. Pada
tahap persiapan bahan baku yang berupa padatan harus dikonversi terlebih
dahulu menjadi larutan gula sebelum difermentasi menjadi etanol. Bahan baku
yang sudah dalam bentuk larutan bisa langsung difermentasi (Gaman dan
Sherrington, 1992). Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada
substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak atau lainnya melalui
kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim yang dihasilkan oleh
jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn, 1959). Bioetanol diperoleh dari
hasil fermentasi bahan yang mengandung gula. Tahap inti produksi bioetanol
adalah fermentasi gula, baik yang berupa glukosa, sukrosa, maupun fruktosa
oleh ragi (yeast) terutama Saccharomyces sp. atau bakteri Zymomonas mobilis.
Pada proses ini gula akan dikonversi menjadi etanol dan gas karbondioksida.
Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi
bioetanol. Pada tahap ini terjadi pemecahan gula-gula sederhana menjadi
etanol dengan melibatkan enzim dan ragi. Fermentasi dilakukan pada kisaran
suhu 27-32°C. Pada tahap ini akan dihasilkan gas CO2 dengan perbandingan
stoikiometri yang sama dengan etanol yang dihasilkan yaitu 1 : 1. Setelah
melalui proses pemurnian, gas CO2 dapat digunakan sebagai bahan baku gas
dalam pembuatan minuman berkarbonat (Prescott dan Dunn, 1959).
Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces
cerevisiae merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana
karena
hanya
melibatkan
satu
fase
pertumbuhan
dan
produksi
(Mangunwidjaja, 1994). Pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan
menjadi biomasa, etanol dan CO2. Etanol yang dihasilkan dari proses
fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO2 yang
ditimbulkan dari pengubahan glukosa menjadi etanol dan aldehid yang perlu
dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35
persen volume, sehingga untuk memperoleh etanol yang berkualitas baik,
etanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan
(washing) CO2 dilakukan dengan menyaring etanol yang terikat oleh CO2,
sehingga dapat diperoleh etanol yang bersih dari gas CO2.
Kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya
mencapai 8 sampai 10% saja, sehingga untuk memperoleh etanol yang
berkadar etanol 95% diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses
distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer
column dan tingkat kedua dengan rectifying column. Destilasi sederhana tidak
dapat dilakukan karena etanol-air erupakan campuran azeotrop yang susah
disahkan karena mempunyai sifat yang menyerupai. Sehingga diperlukan
teknik khusus, salah satu alternatifnya yaitu dengan menggunakan teknologi
membran (Hamelinck et al., 2005).
D. HIDROLISIS ASAM
Hidrolisis adalah salah satu tahapan dalam pembuatan etanol berbahan
baku limbah lignoselulosa. Hidrolisis bertujuan untuk menghasilkan gula
sederhana. Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam
biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer
gula penyusunnya. Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa,
sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentosa (C5)
dan heksosa (C6). Secara umum teknik hidrolisis dibagi menjadi dua, yaitu
hidrolisis berbasis asam dan hidrolisis dengan enzim.
Asam merupakan katalis yang tidak spesifik dan dapat menghidrolisis
selulosa seperti halnya pati. Ikatan glikosidik pada selulosa bersifat rentan
terhadap hidrolisis yang dikatalis oleh asam. Rendemen glukosa yang tinggi
dapat dihasilkan dari hidrolisis asam jika dicapai kondisi yang optimum. Pada
metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan dengan asam pada
suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu. Hidrolisis menghasilkan
monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa (Sun dan Cheng, 2002).
Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara
lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam perklorat, dan HCl. Asam sulfat
merupakan asam yang paling banyak dimanfaatkan untuk hidrolisis asam.
Menurut Rohajatien (1989), hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat
mampu menghasilkan rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan
menggunakan asam jenis lain (HCl). Hidrolisis asam dapat dikelompokkan
menjadi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh dan
Karimi, 2007). Menurut Grethlein (1978), hidrolisis asam dapat dilakukan
dengan menggunakan asam pekat H2SO4 72% atau HCL 42% pada suhu
ruang. Selain itu juga dapat dilakukan dengan larutan asam 1% pada suhu 100120°C selama 3 jam atau lebih.
Hidrolisis asam pekat merupakan teknik yang sudah dikembangkan
cukup lama. Braconnot di tahun 1819 pertama kali menemukan bahwa
selulosa dapat dikonversi menjadi gula (Taherzadeh dan Karimi, 2007).
Hidrolisis asam pekat menghasilkan gula yang tinggi (90% dari hasil teoritik)
dibandingkan dengan hidrolisis asam encer, dan dengan demikian akan
menghasilkan etanol yang lebih tinggi (Hamelinck et al., 2005). Kecepatan
hidrolisis oleh asam pada konsentrasi tinggi tidak tergantung pada struktur
kristal selulosa, sehingga lebih dari 90% glukosa dapat dihasilkan. Kosaric et
al. (1983) menambahkan bahwa hidrolisis selulosa dengan konsentrasi tinggi
jarang diterapkan secara komersial karena harga asam kuat cukup mahal.
Hidrolisis asam konsentrasi tinggi akan lebih ekonomis jika asam dapat
diperoleh kembali (recovery). Akan tetapi asam kuat bersifat korosif sehingga
memerlukan biaya tambahan untuk perawatan alat-alat produksi (Kosaric et
al., 1983). Hidrolisis menggunakan asam pekat akan mempercepat proses
hidrolisis tetapi akan menurunan hasil hidrolisis karena glukosa mudah sekali
diuraikan (Hamelinck et al., 2005).
Hidrolisis asam encer juga dikenal dengan hidrolisis asam dua tahap
(two stage acid hydrolysis) dan merupakan metode hidrolisis yang banyak
dikembangkan dan diteliti saat ini. Hidrolisis asam encer pertama kali
dipatenkan oleh H.K. Moore pada tahun 1919. Pada penggunaan asam encer
proses hidrolisis akan berlangsung lambat karena adanya daya tahan dari
kristal selulosa, tetapi dapat mengurangi penguraian glukosa oleh asam
(Hamelinck et al., 2005).
Menurut Tsao et al. (1978), hidrolisis asam biasanya dilakukan dalam
dua tahap untuk meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan.
Purwadi (2006) menyebutkan bahwa kedua tahap tersebut adalah (1) tahap
yang melibatkan asam encer, yaitu asam sulfat 1% pada 80-120°C selama 30240 menit dan (2) tahap yang menggunakan asam lebih keras, yaitu 5 sampai
20% asam sulfat dan suhu yang lebih tinggi mendekati 180°C. Hasil hidrolisis
yang ideal dapat diperoleh jika gula yang dihasilkan segera dipisahkan dari
medium hidrolisisnya. Komponen terlarut yang utama pada hasil hidrolisis
akhir adalah glukosa, xilosa, selobiosa, furfuraldehid, hidroksimetil furfural,
dan asam-asam organik seperti asam format, asam levulinat, dan asam asetat
(Grethlein, 1975).
Lama waktu hidrolisis mempengaruhi proses degradasi selulosa
menjadi glukosa dan juga memepengaruhi degradasi glukosa sebagai produk.
Waktu hidrolisis yang melebihi waktu optimum akan mendegradasi glukosa
menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana yang biasanya bersifat
racun terhadap mikroorganisme (Tewari, 1988).
Penggunan konsentrasi asam yang semakin tinggi mengakibatkan gula
pereduksi yang dihasilkan semakin berkurang. Hal ini disebabkan terjadinya
penguraian monosakarida yang dihasilkan menjadi senyawa lain yang tidak
diinginkan. Pada hidrolisis selulosa dengan asam untuk menghasilkan gula,
akan terbentuk produk samping berupa hidroksimetil furfural (HMF) akibat
penguraian glukosa pada suasana asam. HMF ini akan terus bereaksi
membentuk asam-asam organik seperti levulinat dan asam format pada
suasana asam dan suhu tinggi. Menurut Taherzadeh dan Karimi (2007),
beberapa senyawa inhibitor yang dapat terbentuk selama proses hidrolisis
asam adalah furfural, 5-hidroksimetilfurfural, asam levulinik, asam asetat,
asam format, asam uronat, asam 4-hidroksibenzoik, asam vanilik, vanillin,
fenol, cinnamaldehid, formaldehida, dan beberapa senyawa lain.
Rohajatien (1989) melakukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi
asam dan waktu hidrolisis terhadap kandungan gula pereduksi, ekuivalen
dekstrosa dan total padatan kering gula sederhana yang dihasilkan dari
hidrolisis pod kakao. Nilai konsentrasi asam sulfat dan asam klorida yang
digunakan adalah 5, 10, dan 15%. Hidrolisis dilakukan selama 10, 20, 30, 40,
dan 50 menit pada suhu 121°C. Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata
kadar gula pereduksi tertinggi dicapai pada hidrolisis dengan larutan HCl 15%
selama 30 menit (1,83% (b/v)) dan hidrolisis dengan H2SO4 15% selama 10
menit (1,95% (b/v)).
Hidrolisis asam sepenuhnya terjadi secara acak dan sebagian gula yang
dihasilkan merupakan gula perduksi sehingga pengukuran gula pereduksi
tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil (Tjokroadikoesoemo,
1986). Kadar gula pereduksi menyatakan komponen gula di dalam gula cair
yang memiliki struktur aldehid atau hidroksil keton bebas seperti maltosa,
laktosa, glukosa, dan lain-lain. Pengukuran gula pereduksi hidrolisat
dilakukan dengan menggunakan metode DNS. Menurut Apriyantono et al.
(1989), metode DNS tidak spesifik dan akan mengukur seluruh senyawa
pereduksi. Jika glukosa digunakan sebagai standar, maka untuk menentukan
selobiosa nilai yang diperoleh 15% lebih rendah dari yang sebenarnya,
sedangkan untuk silosa 15% lebih tinggi. Konsentrasi gula fermentasi
diperoleh dengan menjumlahkan kandungan glukosa, selobiosa dan silosa
yang terdapat pada hidrolisat.
E. FERMENTASI
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik,
baik karbohidrat, protein, lemak, atau sejenisnya melalui kegiatan katalis
biokimia yang dikenal sebagai enzim yang dihasilkan oleh mikroba spesifik
(Prescott dan Dunn, 1981). Secara biokimia, fermentasi juga dapat diartikan
sebagai pembentukan energi melalui senyawa organik. Secara sederhana
proses fermentasi alkohol dari bahan baku yang mengandung gula atau
glukosa terlihat pada reaksi berikut :
C6 H12O6 Æ 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 ATP + 5 Kkal
Proses fermentasi dibagi menjadi dua tipe yaitu fermentasi aerob dan
anaerob. Fermentasi aerob akan menghasilkan asam laktat dan pada proses
anaerob akan dihasilkan etanol. Fermentasi menurut jenis medianya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi media padat dan fermentasi media
cair. Fermentasi media padat adalah fermentasi yang substratnya tidak larut
dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk
keperluan mikroba. Fermentasi media cair adalah proses fermentasi yang
substratnya larut atau tersuspensi dalam media cair. Fermentasi media padat
umumnya berlangsung pada media dengan kadar air berkisar antara 60-80%
(Gaman dan Sherrington, 1992).
Fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Frazier dan Westhoff
(1978) menambahkan bahwa suhu optimum untuk fermentasi antara 25-30 oC
dan kadar gula antara 10-18%. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi, aktivitas
khamir dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak
semua gula dapat terfermentasi (Paturau, 1969)
Mikroorganisme yang sering digunakan untuk proses fermentasi yaitu
khamir. Khamir mampu mengkonsumsi berbagai substrat gula, tergantung
spesies yang digunakan. Secara umum, mikroorganisme ini dapat tumbuh dan
memfermentasi gula menjadi etanol secara efisien pada suhu 28-35 oC.
Walaupun laju awal produksi etanol meningkat pada suhu lebih tinggi,
produktifitas keseluruhan menurun karena efek penghambatan etanol
meningkat (Ratledge, 1991).
Faktor lingkungan seperti suhu, pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor
perlu diperhatikan dalam kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus
disediakan pada proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan
komponen yang diperlukan dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak
jenuh. Untuk kebutuhan oksigen dalam proses fermentasi biasanya diberikan
tekanan oksigen 0.05-0.10 mm Hg. Jika tekanan oksigen yang diberikan lebih
besar dari dari nilai tersebut maka konversi akan cenderung ke arah
pertumbuhan sel. Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan komponen
utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen.
Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium juga harus
tersedia untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral
seperti Mn, Co, Cu dan Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam
amino, asam nukleat dan vitamin diperlukan dalam jumlah besar untuk
pertumbuhan khamir (Oura, 1983).
Menurut Prescott dan Dunn (1959), pH pertumbuhan khamir yang
baik antara pH 3.5-6 dan 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi
pembentukan hasil samping fermentasi. Pada pH tinggi maka konsentrasi
gliserin akan naik dan juga berkorelasi positif antara pH dan pembentukan
asam piruvat. Pada pH tinggi maka fase lag akan berkurang dan aktivitas
fermentasi akan naik. Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai
kurva seperti terlihat pada Gambar 6.
Fase
Adaptas
Fase
Logaritmi
Fase
Statis
Fase
Kematian
Jumlah
Sel Hidup
Waktu
Gambar 6. Kurva pertumbuhan kultur mikroba (Fardiaz, 1988)
Pada proses fermentasi terdapat dua parameter yang mengendalikan
pertumbuhan dan metabolisme khamir, yaitu konsentrasi gula dan etanol.
Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang dari 1
g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih
dari 300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja, 1994). Pada
permulaan
proses
fermentasi,
khamir
memerlukan
oksigen
untuk
pertumbuhannya. Setelah terjadi akumulasi CO2, reaksi berubah menjadi
anaerob. Etanol yang terbentuk dapat menghalangi proses fermentasi lebih
lanjut, jika kadar etanol tersebut mencapai 13-15% volume (Prescott dan
Dunn, 1981). Selama proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak
dilakukan pendinginan, suhu akan terus meningkat dan akan menghambat
proses fermentasi (Oura, 1983).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan
dari fermentasi adalah mikroorganisme dan media yang digunakan, adanya
komponen media yang dapat menghambat pertumbuhan serta kemampuan
fermentasi mikroorganisme dan kondisi selama fermentasi (Astuty, 1991).
Selain itu hal-hal yang perlu diperhatikan selama fermentasi adalah pemilihan
khamir, konsentrasi gula, keasaman, ada tidaknya oksigen dan suhu dari
perasan buah.
Etanol dihasilkan dari gula yang merupakan hasil aktivitas fermentasi
sel khamir. Etanol pada proses fermentasi alkoholik terbentuk melalui
beberapa jalur metabolisme bergantung jenis mikroorganisme yang terlibat.
Untuk Saccharomyces serta sejumlah khamir lainnya, etanol terbentuk melalui
jalur Embden Meyerhof Parnas (EMP), reaksinya sebagai berikut (Rizani,
2000):
1.
Glukosa difosforilasi oleh ATP mula-mula menjadi D-glukosa-6 fosfat,
kemudian mengalami isomerasi berubah menjadi D-frukstoda-6 fosfat
dan difosforilasi lagi oleh ATP menjadi D-fruktosa-1, 6 difosfat.
2.
D-fruktosa-1, 6 difosfat dipecah menjadi satu molekul D-gliseraldehid-3
fosfat dan satu molekul aseton fosfat.
3.
Dihidroksi aseton fosfat disederhanakan menjadi L-gliserol-3 fosfat oleh
NADH2.
4.
ATP melepaskan satu molekul fosfat yang diterima oleh gliseraldehid-3
fosfat yang kemudian menjadi D-1, 3 difosfogliserat dan ADP.
5.
D-1, 3 difosfogliserat melepaskan energi fosfat yang tinggi ke ADP untuk
membentuk D-3 fosfogliserat dan ATP.
6.
D-3 fosfogliserat berada dalam keseimbangan dengan D-2 fosfogliserat.
7.
D-2 fosfogliserat membebaskam air untuk menghasilkan fosfoenol
piruvat.
8.
ADP menggeser rantai fosfat yang kaya energi dari fosfoenolpiruvat
untuk menghasilkan piruvat dan ATP.
9.
Piruvat didekarboksilasi menghasilkan asetaldehid dan CO2.
10. Akhirnya asetaldehid menerima hidrohen dari NADH2 menghasilkan
etanol.
Menurut Fardiaz (1992), fermentasi etanol meliputi dua tahap utama
Fermentasi diawali dengan pemecahan rantai karbon dari glukosa dan
pelepasan paling sedikit dua pasang atom hidrogen melalui jalur EMP
menghasilkan senyawa karbon lainnya yang lebih teroksidasi daripada
glukosa. Senyawa yang teroksidasi tersebut direduksi kembali oleh atom
hidrogen yang dilepaskan dalam tahap pertama, membentuk senyawa-senyawa
hasil fermentasi yaitu etanol.
Download