BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, internet merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kalangan masyarakat modern di Indonesia. Bagi kaum terpelajar bahkan masyarakat umum, adanya internet sebagai sebuah teknologi baru menuntut mereka agar turut serta aktif sebagai user. Kini internet memiliki jaringan yang sangat luas, bahkan sampai ke penjuru dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa internet semakin membawa kemudahan bagi perkembangan hidup manusia terutama sebagai media komunikasi. Adanya keingintahuan atas informasi dan berkomunikasi dengan orang lain, internet tentunya menjadi satu-satunya teknologi yang tepat dan mudah, karena dapat diakses kapanpun dan dimanapun. Adanya jaringan internet yang meluas ini, dapat dimanfaatkan oleh umat manusia di berbagai penjuru dunia sebagai sumber informasi dan media komunikasi, secara cepat tanpa harus memikirkan jarak, ruang dan waktu. Peran serta masyarakat terhadap terus berkembangnya teknologi yang dihasilkan oleh internet ini meluas hingga ke berbagai kalangan. Dari kalangan pejabat, public figure, entertain, pelajar hingga kelompok difabel. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2015 mencapai sedikitnya 73 juta atau sekitar 29 persen dari total populasi (Wahyudi, 2015). Kominfo juga mengakses bahwa, perilaku masyarakat yang menggunakan internet di 1 2 Indonesia juga variatif, dan akses media sosial menempati urutan pertama yakni mencapai 64 persen saat online. Urutan kedua dan ketiga, pengguna yang hanya mencari informasi, dan mengirim/menerima e-mail dengan persentasi masing-masing 48 persen. Urutan keempat pengguna lebih banyak melakukan pengunduhan, chatting, dan belajar rata-rata 47 persen dan sisanya bermain game dan mencari informasi dan sebagainya di bawah 35 persen. Penggunaan media komunikasi dan internet oleh masyarakat Indonesia sangat erat kaitannya dengan penggunaan media sosial temasuk di dalamnya jejaring sosial (social network) dan messenger atau chat app. Seolah turut serta berpartisipasi aktif sebagai insan digital, Indonesia kini menjadi salah satu negara yang cukup aktif dalam penggunaan media sosial. Didapatkan data statistik dari website wearesocial.sg, sebuah agensi marketing sosial dunia, bahwa tiga besar top active social platforms untuk Indonesia yakni Facebook menempati level tertinggi yakni 14% pengguna, disusul oleh Whatsapp 12% dan Twitter 11% (Kemp, 2015). Sebagaimana diketahui, media sosial termasuk di dalamnya jejaring sosial dan messenger merupakan sebuah media komunikasi yang memungkinkan penggunanya dapat ikut serta dalam segala fasilitas dan aplikasi yang dimilikinya. Kehadiran media sosial telah membawa pengaruh tersendiri terhadap kegiatan yang dilakukan oleh manusia saat ini. Media sosial ini menjadi komunitas virtual yang tidak terbatasi oleh apapun. Meskipun seseorang memiliki perbedaan dalam hal ideologi, status 3 sosial ekonomi, pendidikan bahkan fisik (masyarakat disabilitas) tetap bisa diikat oleh sebuah komunitas virtual ketika mereka memiliki kesamaan sikap dan posisi atas sebuh isu. Hadirnya media sosial yang dijembatani internet (cyberspace) telah membentuk perilaku tersendiri dalam masyarakat. Para pengguna media sosial di Indonesia berasal dari dari berbagai macam individu, kelompok, komunitas bahkan organisasi. Sudah tidak sedikit organisasi baik soaial maupun formal yang memanfaatkan media sosial untuk kemudahan akses komunikasinya. Salah satu organisasi difabel nasional yang memanfaatkan internet adalah GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia). Meskipun memiliki keterbatasan, ternyata banyak dari anggota penyandang tunarungu dalam organisasi sosial GERKATIN tersebut telah menggunakan dan memanfaatkan media sosial untuk berhubungan dengan orang lain. Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Valentine dan Skelton (dalam Dewi, 2015: 2) yang memeriksa penggunaan internet oleh orang tunarungu. Dari survei yang diedarkan secara nasional kepada 419 responden yang merupakan penyandang tunarungu, 307 orang diantaranya adalah pengguna internet dan 112 tidak memanfaatkan internet. Hasil penelitian menemukan bahwa 79% orang tunarungu lebih cenderung menggunakan internet setiap hari daripada orang pada umumnya yang hanya 59%. Kehadiran internet yang dinilai sebagai media yang mempermudah dalam berkomunikasi, menjadikan para penyandang tunarungu ini berkumpul dalam suatu wadah. Dimana dalam wadah tersebut 4 mereka saling bertukar informasi terkait perkembangan teknologi alat bantu maupun informasi kesehatan. Melalui penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa kaum tuna rungu juga merupakan bagian dari pengguna media sosial yang dijembatani oleh internet. Kebutuhan mereka akan informasi, afeksi, interaksi dan integrasi sosial di dunia cyber bisa didapatkan dengan semakin mudahnya akses internet yang menghubungkan user satu dengan user lainnya. Penelitian tersebut hanya menjabarkan secara ringkas bahwa tunarungu menggunakan internet untuk sarana komunikasi. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti mengambil salah satu media baru yang juga untuk mengaksesnya harus menggunakan internet, yakni Whatsapp. Dalam komunikasi keseharian, yakni khususnya komunikasi interpersonal, para tunarungu terbiasa melakukan proses komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Sebagian besar pergaulan mereka juga hanya terjadi sebatas tunarungu dengan tunarungu saja dengan menggunakan bahasa isyarat. Dengan adanya media baru seperti Whatsapp memungkinkan para tunarungu untuk dapat berkomunikasi dengan tunarungu lainnya walaupun jarak berjauhan menggunakan bahasa percakapan tekstual. Komunikasi interpersonalpun dapat dilakukan diantara para tunarungu dengan menggunaakan Instant Messenger ini. Dalam penelitian ini peneliti memilih tunarungu yang tergabung dalam organisasi GERKATIN sebagai objek penelitian, karena organisasi sosial difabel ini merupakan organisasi yang bergerak khusus mengelola 5 penyandang tuna rungu terbesar di Indonesia yang menyediakan wadah nyata maupun maya untuk berkumpulnya penyandang tunarungu yang ada di berbagai wilayah Indonesia, salah satunya di Kota Solo. Anggota dalam organisasi ini telah menggunakan fasilitas chat app berupa Whatsapp untuk berkomunikasi baik secara interpersonal ataupun kelompok. Adapun anggota dari organisasi GERKATIN Solo ini adalah seluruh penyandang tunarungu yang telah terdaftar dan bedomisili di Kota Solo dan sekitarnya. Selain itu dalam kegiatannya, GERKATIN tidak terlepas oleh adanya penggunaan media sosial sebagai sarana untuk berkomunikasi bagi para anggotanya bahkan siapapun yang ingin terlibat di dalamnya. Salah satu chat app yang sering digunakan oleh penyandang tuna rungu yang tergabung dalam GERKATIN Solo untuk berkomunikasi adalah Whatsapp. Oleh karena itu, penelitian mengenai penggunaan Whatsapp oleh penyandang tunarungu pada organisasi sosial GERKATIN Solo perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran meraka dalam penggunaan media sosial dalam komunikasi interpersonal. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana penggunaan Whatsapp oleh anggota penyandang tuna rungu dalam komunikasi interpersonal pada organisasi GERKATIN Solo? 6 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagimana penggunaan Whatsapp oleh anggota penyandang tunarungu dalam komunikasi interpersonal pada organisasi GERKATIN Solo. D. Manfaat Penelitian 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya bahan referensi dan bahan penelitian berkaitan dengan penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi interpersonal anggota tunarungu GERKATIN Solo, serta sumber bacaan di kalangan mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret. 2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai perkembangan teknologi komunikasi dan ilmu komunikasi berupa media sosial yang digunakan oleh anggota organisasi difabel tunarungu. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kepada pembaca tentang bagaimana kelompok difabel dalam memenfaatkan media sosial layaknya masyarakat pada umumnya. Sehingga nantinya baik tunarungu maupun masyarakat bisa memahami berbagai bentuk komunikasi interpersonal dalam menggunakan Whatsapp dan apa saja yang harus dilakukan ketika terjadi miskomunikasi dalam Whatsapp tersebut 7 4. Untuk pengguna media sosial khususnya, dapat digunakan agar mereka lebih memahami dan bijak dalam berinteraksi dengan pengguna lain, khususnya kelompok tuna rungu. E. Tinjauan Pustaka 1. Komunikasi Menurut Wood (2013: 3-4) komunikasi adalah proses sistematis di mana orang berinteraksi melalui simbol untuk menciptakan dan menafsirkan makna. Fitur penting pertama dari definisi ini adalah proses (process). Komunikasi adalah proses yang artinya sedang berlangsung atau selalu bergerak, bergerak semakin maju dan berubah secara terusmenerus. Sulit mengatakan kapan komunikasi dimulai dan berhenti karena apa yang terjadi jauh sebelum kita berbicara dengan seseorang bisa memengaruhi interaksi, dan apa yang muncul dari sebuh pertemuan tertentu bisa berkelanjutan di masa depan. Kita tidak dapat membekukan komunikasi kapan pun. Komunikasi juga sistemis (systemic), yang berarti bahwa itu terjadi dalam suatu sistem pada bagian yang saling berhubungan yang memengaruhi satu sama lain. Dalam komunikasi keluarga, misalnya, setiap anggota keluarga adalah bagian dari sistem. Selain itu, lingkungan fisik dan waktu merupakan elemen-elemen dari sistem itu yang memengaruhi interaksi. 8 Definisi mengenai komunikasi juga menekankan peran serta simbol (symbols), mencakup bahasa dan perilaku nonverbal, serta seni dan musik. Sesuatu yang abstrak menandakan sesuatu yang lain bisa menjadi simbol. Komunikasi antarmanusia melibatkan interaksi dengan dan melalui simbol-simbol. Akhirnya definisi komunikasi berpusat pada makna yang merupakan jantung dari komunikasi. Makna adalah signifikansi yang kita berikan pada fenomena—apa yang ditunjukkan kepada kita. Makna muncul dari interaksi kita dengan simbol; begitulah cara menafsirkan kata-kata dan komunikasi nonverbal. Ada dua tingkatan makna dalam komunikasi. Tingkat makna berdasarkan isi (content level of meaning), adalah pesan harfiah dan tingkat makna berdasarkan hubungan (relationship level of meaning) mengekspresikan hubungan antara para pihak yang terlibat dalam komunikasi. Porter dan Samovar (2010: 16-17) menjabarkan bahwa ada beberapa karakteristik yang berkaitan dengan bagaimana sebenarnya komunikasi itu berlangsung. Pertama, komunikasi itu dinamik. Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu berubah. Secara konstan para pelaku komunikasi dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai konsekuensinya, para pelaku komunikasi tersebut mengalami perubahan yang terus-menerus. Kedua, komunikasi itu interaktif. Komunikasi terjadi antara sumber dan penerima. Ini mengimplikasikan dua orang atau lebih yang 9 membawa latar belakang dan pengalaman unik mereka masing-masing ke peristiwa komunikasi. Interaksi juga menandakan situasi timbal balik yang memungkinkan setiap pihak mempengaruhi pihak lainnya. Setiap pihak secara serentak menciptakan pesan yang dimaksudkan untuk memperoleh respons-respons tertentu dari pihak lainnya. Ketiga, komunikasi itu tidak dapat dibalik (irreversible) dalam arti bahwa sekali kita mengatakan sesuatu dan seseorang telah menerima dan men-decode pesan, kita tidak dapat menarik kembali pesan itu dan sama sekali meniadakan pengaruhnya. Sekali penerima telah dipengaruhi oleh suatu pesan, pengaruh tersebut tidak dapat ditarik kembali sepenuhnya. Keempat, komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, interaksi tidaklah terisolasi, tetapi ada dalam lingkungan fisik tertentu dan dinamika sosial tertentu. Sedangkan konteks sosial menentukan hubungan sosial antara sumber dan penerima. Konteks sosial akan memengaruhi komunikasi. Bentuk bahasa yang digunakan, penghormatan atau kurangnya penghormatan yang ditunjukkan pada seseorang, waktu, suasana hati, siapa berbicara dengan siapa, dan derajat kegugupan atau kepercayaan diri yang diperlihatkan orang, semua itu adalah sebagian saja dari aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial. Effendy (2006: 27-28) memaparkan fungsi komunikasi sesuai dengan buku “Many Voices One World”. Komunikasi dipandang dari arti yang lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pertukaran berita dan pesan, tetapi sebagai 10 kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar-menukar data, fakta ide, maka fungsinya dalam setiap sistem sosial adalah sebagai berikut: - Informasi: Pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta, pesan, opini dan komentar yang dibutuhkan agar orang dapat mengerti dan bereaksi secara jelas terhadap kondisi internasioanal, lingkungan dan orang lain, dan agar dapat mengambil keputusan yang tepat. - Sosialisasi: Penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif yang menyebabkan ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat. - Motivasi: Menjelaskan tujuan masyarakat jangka pendek maupun jangka panjang, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang dikejar. - Perdebatan dan diskusi: Menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik, menyediakan bukti-bukti yang relevan, yang diperlukan untuk kepentingan umum dan agar masyarakat lebih melibatkan diri dalam masalah yang menyangkut kegiatan bersama di tingkat internasional, nasional, dan lokal. - Pendidikan: perkembangan Pengalihan ilmu intelektual, pengetahuan pembentukan sehingga watak, dan mendorong pendidikan ketrampilan, serta kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan. 11 - Memajukan kebudayaan: Penyebarluasan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, perkembangan kebudayaan dengan memperluas horizon seseorang, membangunkan imajinasi dan mendorong kreativitas serta kebutuhan estetikanya. - Hiburan: Penyebarluasan sinyal, simbol, suara, dan citra (image) dari drama, tari, kesenian, kesusastraan, musik, komedi, olah raga, permainan, dan sebagainya untuk rekreasi dan kesenangan kelompok dan individu. - Integrasi: Menyediakan bagi bangsa, kelompok, dan individu kesempatan memperoleh berbagai pesan yang diperlukan mereka agar mereka dapat saling kenal dan mengerti dan menghargai kondisi, pandangan, dan keinginan orang lain. 2. Komunikasi Interpersonal a. Definisi Komunikasi Intrepersonal Menurut Katheleen S.Verderber et al. (dalam Budyatna, 2011: 14), komunikasi interpersonal adalah proses melalui mana orang menciptakan dan mengelola hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab secara timbal balik dalam menciptakan makna. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa: Pertama, komunikasi interpersonal sebagai proses. Proses merupakan rangkaian sistematis perilaku yang bertujuan dan yang terjadi dari waktu ke waktu atau berulang kali. Kedua, komunikasi interpersonal bergantung pada makna yang diciptakan oleh pihak yang terlibat. Ketiga, melalui komunikasi kita menciptakan dan mengelola hubungan kita. Tanpa komunikasi hubungan tidak akan terjadi. 12 Lain halnya dengan Wood (2013: 21) yang mengatakan bahwa cara terbaik untuk mendefinisikan komunikasi interpersonal adalah dengan berfokus pada apa yang terjadi, bukan pada di mana mereka berada atau berapa banyak jumlah mereka. Komunikasi interpersonal adalah bagian interaksi antara beberapa orang. Sementara Effendy (dalam Liliweri, 1997: 12) mengemukakan juga bahwa pada hakikatnya komunikasi antarpribadi atau interpersonal adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komuniaksi tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia berhubung prosesnya yang dialogis. Dean C. Barnlund menambahkan bahwa komunikasi interpersonal selalu dihubungkan dengan pertemuan antara dua, tiga atau mungkin empat orang yang terjadi secara spontan dan tidak terstruktur (dalam Liliweri, 1997:12). b. Ciri-ciri komunikasi interpersonal Berkaitan dengan ciri-ciri komunikasi interpersonal, Wood (2013: 23-29) menjelaskan lebih mendalam beberapa karakteristik atau ciri-ciri komunikasi interpersonal. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: - Selektif. Seseorang tidak mungkin berkomunikasi secara akrab dengan semua orang yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang berusaha membuka diri seutuhnya hanya dengan beberapa orang yang dikenal baik. 13 - Sistematis. Komunikasi interpersonal dicirikan dengan sifat sistematis karena ia terjadi dalam sistem yang bervariasi. Terdapat banyak sistem yang melekat pada proses komunikasi interpersonal. Setiap sistem memengaruhi apa yang diharapkan dari orang lain. Cara manusia berkomunikasi sangat beragam berdasarkan kebudayaan masing-masing. Komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh sistem, situasi, waktu, masyarakat, budaya, latar belakang personal, dan sebagainya. Dengan demikian tiap bagian dalam sistem komunikasi saling terkait satu sama lain. - Unik. Pada tingkatan yang paling dalam, komunikasi interpersonal sangat unik. Pada interaksi yang melampaui peran sosial, setiap orang menjadi unik dan oleh karena itu menjadi tidak tergantikan. Komunikasi interpersonal melibatkan orang-orang unik yang berinteraksi dengan cara yang unik pula. - Processual. Komunikasi interpersonal adalah proses yang berkelanjutan. Hal ini berarti komunikasi senantiasa berkembang dan menjadi lebih personal dari masa ke masa. Hubungan interpersonal adalah proses, maka situasi pada dua orang yang berinteraksi di masa lalu dan masa depan akan saling terkait. Pola komunikasi interpersonal yang berkelanjutan membuat seseorang tidak dapat menghentikan prosesnya atau menarik perkataan yang sudah terlanjur diucapkan. Dalam konteks situasi ini, komunikasi adalah sesuatu yang tidak dapat ditarik kembali. Oleh karena itu seseorang 14 harus bertanggung jawab dengan etika komunikasi dan selalu berhati-hati setiap berkomunikasi dengan orang lain. - Transaksional. Pada dasarnya, komunikasi interpersonal adalah proses transaksi antara beberapa orang. Ketika bercerita sesuatu yang menarik pada seorang teman, ia tertawa. Sifat transaksional yang terjadi dalam komunikasi interpersonal bedampak pada tanggung jawab komunikator untuk menyampaikan pesan secara jelas. Oleh karena komunikasi interpersonal adalah proses berkelanjutan, maka baik komunikator maupun komunikan bertanggung jawab terhadap efektifitas komunikasi. - Individual. Bagian terdalam dari komuniakasi interpersonal melibatkan manusia sebagai individu yang unik dan berbeda dengan orang lain. Ketika kepercayaan sudah terbangun dengan baik, seseorang bisa berbagi informasi yang sifatnya privasi pada orang lain. - Pengetahuan Personal. Komunikasi interpersonal membantu perkembangan pengetahuan personal dan wawasan seseorang terhadap interaksi manusia. Selain itu komunikasi interpersonal membuka pemahaman terhadap kepribadian orang lain. Ketika hubungan yang dijalain semakin dalam, kita membangun kepercayaan dan belajar untuk berkomunikasi dengan cara yang membuat kita merasa nyaman. Pemahaman personal yang dibangun 15 sepanjang waktu, mampu mendorong kita untuk memahami dan bersedia dipahami. - Menciptakan Makna. Komunikasi interpersonal melibatkan dua tingkatan makna (Wood, 2013:28). Tingkatan pertama disebut dengan pemaknaan isi (content meaning), yang merujuk pada arti sebenarnya. Tingkatan kedua adalah pemaknaan hubungan (relationship meaning). Hal ini menunjukkan hubungan yang terjadi antara komunikator dan komunikan. Wood juga memaparkan bahwa peneliti telah mengidentifikasi tiga dimensi dalam pemaknaan level hubungan. Dimensi pertama adalah kemampuan untuk menanggapi. Kemampuan ini merujuk pada seberapa peduli dan terlibatnya kita dengan orang lain. Dimensi kedua adalah kesukaan, atau afeksi. Dimensi ini berkaitan dengan perasaan positif atau negatif yang dirasakan selama proses komunikais berlangsung. Dimensi ketiga dalam makna hubungan adalah keinginan untuk melakukan kontrol. Dimensi ini merujuk pada keinginan untuk mengendalikan kekuatan dalam komunikasi. c. Model Komunikasi Interpersonal Model adalah representasi dari sesuatu dan bagaimana ia dapat bekerja. Model komunikasi interpersonal menurut Wood (2013: 19-20) dibagi menjadi tiga: 16 1. Model Linear Model pertama dalam komunikasi interpersonal digambarkan sebagai bentuk yang linear atau searah. Ini adalah model lisan yang terdiri dari lima pertanyaan. Model linear digambarkan sebagai komunikasi satu arah-dari pengirim ke penerima pasif. Implikasinya adalah pendengar tidak pernah mengirim pesan dan hanya menyerap secara pasif apa yang dikatakan oleh pembicara. 2. Model Interaktif Model interaktif menggambarkan komunikasi sebagai proses di mana pendengar memberikan umpan balik sebagai respons terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikan. Model interaktif menyadari bahwa komunikator menciptakan dan menerjemahkan pesan dalam konteks pengalaman pribadinya. Semakin banyak pengalaman komunikator dalam berbagai kebudayaan, akan semakin baik pemahamannya terhadap orang lain. Meskipun model interaktif adalah pengembangan dari model linear. Sistemnya masih memandang komunikasi sebagai urutan di mana ada orang yang berperan sebagai pengirim pesan dan ada pihak lain sebagai penerima pesan. 3. Model Transaksional Model transaksional menekankan pada pola komunikasi yang dinamis dan berbagai peran yang dijalankan seseorang selama proses interaksi. Salah satu ciri model ini adalah penjelasan mengenai 17 waktu yang menunjukkan fakta bahwa pesan, gangguan, dan pengalaman senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Model komunikasi transaksional tidak melihat seseorang berperan sebagai komunikator atau komunikan. Kedua pihak yang berkomunikasi berada dalam posisi setara dan saling bertukar peran secara bersamaan. Artinya, selama proses komunikasi, seseorang bisa jadi pihak yang mengirimkan pesan, menerima pesan, atau melakukan keduanya dalam waktu yang bersamaan. 3. Kelompok Tuna Rungu Berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat (dalam Demartoto, 2005) bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik, b) penyandang cacat mental, c) penyandang cacat fisik dan mental. Adapun keterbatasan pada kemampuan pendengaran (tuna rungu) dapat digolongkan dalam cacat fisik. Berkaitan dengan hal tersebut bahwa seseorang yang memiliki hambatan atau gangguan pendengaran juga merupakan salah satu kategori seseorang yang memiliki kebutuhan khusus (difabel). Pratiwi dan Murtiningsih (2013: 26) dalam bukunya Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus menjelaskan penyandang kelainan pendengaran atau 18 tunarungu, yaitu seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan pendengaran, baik sebagian (hard of hearing) maupun keseluruhan (deaf). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2010, ada kenaikan yang cukup signifikan pada sejumlah penyandang tunarungu di Indonesia. Pada 2000, jumlah penyandang tunarungu mencapai 205,1 juta jiwa. Sementara pada tahun 2010 naik menjadi 234,2 juta jiwa. Data tersebut merupakan hasil sensus penduduk tahun 2010 (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 28). Pada umumnya, seseorang yang menderita tunarungu juga akan menderita tunawicara. Hal ini berkaitan erat dengan proses perkembangan bahasa yang harus dilalui seorang yang disfungsi pendengaran. Jika ketajaman pendengaran terbatas, akan menghalangi proses peniruan bahasa semasa anak-anak. Proses peniruan hanya terbatas secara visual. Muhammad (2007: 56) mengatakan bahwa orang yang bermasalah pendengaran selalu disalah tanggap dengan orang yang normal karena kecacatan mereka tidak terlalu kentara seperti halnya masalah penglihatan, fisik ataupun cacat mental. Mereka juga kurang mendapatkan simpati seperti halnya mereka yang mempunyai masalah penglihatan. Herth menambahkan bahwa seorang wanita buta dan tuli, Hellen Keller, di dalam otobiografinya menyatakan bahwa jika dia diberi kesempatan untuk memilih antara buta dan tuli, dia rela memilih sebagai orang yang buta. Ini karena orang yang tuli akan merasa terasing (dalam Muhammad, 2007: 56). 19 Tahap pendengaran biasanya diukur dalam desibel (dB), yang mengukur intensitas bunyi. Muhammad (2007: 59) memaparkan bahwa kehilangan pendengaran pada 27dB hingga 70dB berarti adalah tahap kekurangan pendengaran, sedangkan kehilangan pendengaran pada 71dB ke atas adalah tahap ketulian. Kurang pendengaran adalah berarti tahap pendengaran ketika individu masih dapat memahami penuturan, sedangkan tahap ketulian berarti adalah tahap ketika individu mengalami masalah dalam memahami penuturan. 4. Cara Komunikasi Penyandang Tunarungu Tanggapan dan opini umum berpendapat bahwa komunikasi secara lisan adalah media utama dan cara termudah untuk menguasai dan mempelajari bahasa. Berkomunikasi melalui berbicara adalah cara yang terbaik. Namun, bagi orang-orang yang memiliki masalah pendengaran, cara komunikasi lain menggantikan fungsi berbicara. Muhammad (2007: 70-72) menjabarkan bahwa terdapat berbagai cara komunikasi bagi penyandang tunarungu yakni: a. Metode Auditory Oral Metode ini menekankan pada proses mendengar serta bertutur kata dengan menggunakan alat bantu yang lebih baik, seperti menggunakan alat bantu pendengaran, penglihatan dan sentuhan. Metode ini tidak menggunakan bahasa isyarat atau gerakan jari tetapi lebih menekankan pada metode pembacaan gerak bibir (lip reading). 20 Metode ini menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan mendengar dan bertutur kata, membutuhkan latihan pendengaran yang dapat melatih anak-anak untuk mendengar bunyi dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda. b. Metode Membaca Bibir Komunikasi dengan metode ini baik untuk mereka yang mampu berkonsentrasi tinggi pada bibir penutur bahasa. Metode ini juga menekankan pada penglihatan yang baik. Metode ini mengharuskan penyandang tunarungu untuk selalu melihat gerakan bibir penutur bahasa dengan tepat. Dalam situasi ini penutur bahasa harus berada di tempat yang terang dan dapat terlihat dengan jelas. c. Metode Bahasa Isyarat Pada umumnya, bahasa isyarat digunakan secara mudah dengan menggabungkan perkataan dengan makna dasar. Terdapat berbagai bahasa isyarat, contohnya American Sign Language, Pidgin Sing English (PSE), Seeing Essential English (SEE I), Sign Exact English (SEE II), dan di Malaysia adalah Kod Tangan Bahasa Melayu (KTBM). d. Metode Komunikasi Universal Metode komunikasi universal adalah salah satu metode yang menggabungkan gerakan jari, isyarat, pembacaan gerak bibir, penuturan, dan implikasi auditoris atau yang dikenal juga sebagai bahasa isyarat manual-visual. Elemen penting dalam metode ini adalah 21 penggunaan isyarat dan penuturan secara bersamaan. Melalui metode ini penyandang tunarungu dapat memahami hal yang disampaikan menurut kemampuan masing-masing. e. Penuturan Isyarat (cued speech) Metode ini dikembangkan dari metode pembacaan bibir. Menggunakan simbol-simbol tangan untuk memandu bunyi-bunyian. Simbol-simbol tangan yang dilambangkan ditentukan dengan bentukbentuk tangan yang menentukan maksud perkataan. Terdapat delapan simbol tangan yang ditentukan menurut konsonan yang berbeda dan empat simbol tangan untuk menentukan bunyi yang menyimbolkan huruf vokal. 5. Media Use Selanjutnya, terkait dengan konsep penggunaan Whatsapp sendiri, itu terdiri dari dua kata, yakni penggunaan dan Whatsapp. Terkait dengan konsep penggunaan, maka penggunaan ini berasal dari kata “guna”, yang menurut Poerwadarminta (1976 : 332) adalah suatu kaedah atau manfaat atau suatu perbuatan (pekerjaan) yang memberi pengaruh (mendatangkan perubahan arti). Mendapat imbuhan prefix pe- dan suffix -an, maka menjadi kata jadian “penggunaan”. Penggunaan menurut Poerwadarminta (dalam KUBI, 1976:333) diartikan sebagai suatu hal atau perbuatan dan sebagainya dalam mempergunakan sesuatu: misalnya untuk kepentingan umum atau kepentingan pribadi. 22 Dalam riset ini, mengacu pada pendapat di atas maka penggunaan diartikan sebagai suatu hal atau perbuatan yang menunjukkan seseorang atau individu sebagai anggota masyarakat dalam memanfaatkan sesuatu hal untuk kepentingan dirinya. Dalam riset ini, sesuatu hal itu adalah media baru Whatsapp. Seiring batasan tersebut, maka dalam penelitian ini penggunaan Whatsapp berarti sebagai suatu hal yang mencerminkan bagaimana perbuatan para individu anggota masyarakat (tunarungu) dalam memanfaatkan atau menggunakan Whatsapp dalam rangka upaya untuk memenuhi kebutuhannya. Hari ini, komunikasi interpersonal berlangsung dalam konteks penggunaan media dan para pengembang perangkat lunak menciptakan alat komputasi sosial untuk memfasilitasi proses ini. Studi tentang komunikasi melalui computer, computer-mediated-communication (CMC) mengeksplorasi bagaimana cara mendukung lingkungan bermedia dan memperluas proses komunikasi antarmanusia serta tidak luput membahas alat-alat komputasi sosial dalam proses komunikasi interpersonal (Konijn,.dkk, 2008: 14). Selanjutnya Konijn,.dkk memaparkan bahwa pada level dasar, pemahaman dari penggunaan media dalam komunikasi interpersonal membutuhkan kesadaran tentang bagaimana orang-orang berkomunikasi antara satu dengan lainnya menggunakan media komunikasi. Dengan berfokus pada bagaimana proses komunikasi antarpribadi diubah ketika bergerak dari face-to-face communication menuju konteks bermedia. 23 Media dapat dimanfaatkan untuk mempelajari pandangan ekologi CMC dan media sosial karena dapat memeriksa perubahan dalam pola komunikasi, seperti pergeseran dari sistem penyiaran media massa kepada sistem digital yg interaktif. Interaktivitas adalah kunci utama perbedaaan karakteristik antara media massa (televisi, radio) dan media digital (komputer, internet). Dengan diperkenalkannya komunikasi digital, para peneliti sekarang mengembangkan model interaktif untuk menggambarkan bagaimana komunikasi manusia dapat terjadi di sebuah ruang media (Konijn,.dkk, 2008: 15). Para peneliti berspekulasi bahwa CMC akan mengarah pada pembagian pesan impersonal karena kurangnya isyarat wajah dan tonal. Selain itu asumsi yang mendasari penelitian komunikasi interpersonal cenderung menanggap bahwa komunikasi interpersonal memiliki keharusan dalam konteks tatap muka, tetapi untuk beberapa tahun, peneliti media telah menantang ide ini. Barnes, Strata, Jacobs Gibson telah mengamati bagaimana konteks penggunaan media dalam komunikasi interpersonal secara bertahap telah menggantikan konteks tatap muka dalam proses yang komunikasi antarpribadi (dalam Konijn,.dkk, 2008: 15). Hiltz & Turoff menyatakan bahwa spekulasi awal penelitian CMC mengarah pada bahwa pertukaran tekstual akan menciptakan lingkungan komunikasi yang tidak bersahabat. Namun, bertentangan dengan pandangan ini, pengamatan dan studi tentang dunia online kemudian 24 mengungkapkan bahwa orang-orang membentuk dunia virtual atau komunitas elektronik ketika mereka secara teratur melakukan pertukaran pesan melalui internet. Meskipun beberapa penulis tetap skeptis tentang hubungan dibangun melalui dunia maya, maka yang lain telah mulai merangkul gagasan bahwa CMC adalah bentuk baru dari komunikasi interpersonal (Konijn,.dkk, 2008: 21). Orang-orang perlu untuk terhubung dengan orang lain dan ini adalah kekuatan pendorong di belakang hubungan online. Untuk alasan ini, email dan Instant Messenger adalah dua aplikasi software yang sangat populer yang mendukung terciptanya lingkungan media interpersonal. Teknologi komunikasi berubah menuju lingkungan media ketika orang mulai menggunakan alat untuk mendukung praktek-praktek sosial, seperti mengobrol dengan teman-teman atau rekan kerja di Instan Messenger (Konijn,.dkk, 2008: 21). Menurut Postman, "Teknologi hanyalah mesin, dia menjadi media karena menerapkan kode simbolik tertentu, sebagaimana ia menemukan tempatnya dalam pengaturan sosial tertentu. Dengan demikian media adalah sebuah mesin yang menciptakan lingkungan sosial dan intelektual. "Sebuah generasi baru perangkat lunak yang muncul adalah khusus dirancang untuk mendukung praktek sosial, sektor teknologi baru ini disebut "media sosial" atau "sosial komputasi”. Hari ini, hubungan konteks dimediasi telah dikembangkan dari hubungan yang semu menuju 25 hubungan yang aktual sebagaimana orang-orang melakukan pertukaran pesan melalui social software (dalam Konijn,.dkk, 2008: 21). Whittle menjelaskan bahwa lingkungan komunikasi jenis baru meskipun CMC menciptakan untuk berinteraksi, berkomunikasi dalam konteks bermedia berbeda dari berbagi pengalaman tatap muka. Lingkungan media mengubah cara di mana orang hadir untuk komunikasi. Pertama, kondisi kehadiran dalam komunikasi tatap muka membutuhkan kehadiran fisik. Sebaliknya, komunikator secara online umumnya berinteraksi sementara fisiknya tidak hadir di antara satu dengan yang lain. Kedua, pemisahan orang dari percakapan mereka, memiliki banyak implikasi untuk pertukaran komunikasi dan pola perilaku dalam menggunakan internet. Awalnya, peneliti memiliki hipotesis bahwa kurangnya kehadiran pengguna akan mengarah pada berubahnya pesan pribadi dan lawan bicara, tetapi, kenyataannya tidak demikian. Telah diamati bahwa orang akan menulis pemikirannya yang paling intim pada komputer (dalam Konijn,.dkk, 2008: 19). Duduk sendirian di rumah untuk mengetik pada keyboard dapat menciptakan ilusi privasi. Sebaliknya, kata-kata dapat didistribusikan ke seluruh dunia. Setelah pesan dikirim keluar melalui internet, penulis akan kehilangan kontrol atas perasaan bahwa setiap pesan yakni teks digital itu sendiri tidak menguap seperti suara kata-kata di udara. Kita bisa berbagi pengalaman pribadi, tetapi lingkungan media bukanlah tempat pribadi. Oleh karena itu, ide-ide privasi kata-kata dapat mengubah sang 26 penulis dari pribadi menjadi publik (Kornblum, dalam Konijn,.dkk, 2008: 19). Selanjutnya berkaitan dengan pengamatan dari komunitas virtual oleh Barners (dalam Konijn,.dkk, 2008: 19), dia mengungkapkan bahwa ada empat alasan mengapa kehadiran sesorang dalam komunitas internet dapat mempengaruhi pengembangan hubungan interpersonal yang kondusif. Pertama, orang dapat memilih kapan untuk mengungkapkan informasi tentang usia, jenis kelamin, dan ras. Kedua, orang sukarela melakukan komunikasi dengan yang lain dan percakapan tersebut pun dapat dengan mudah disudahi kapan pun mereka menginginkannya. Ketiga, orang dapat menempatkan langkah terbaik mereka dengan cara berhati-hati mengedit balasan untuk orang lain. Akhirnya, orang-orang memiliki kemampuan untuk menyembunyikan cacat, termasuk cacat fisik dan rasa malu. Misalnya, email adalah salah satu alat komunikasi yang bagus untuk guru dan siswa dengan jenis ketunaan pada pendengaran, karena pendengaran bukan merupakan syarat persyaratan untuk berlangsungnya korespondensi CMC tersebut. Namun, kondisi kehadiran juga dapat menyebabkan kebiasaan yang salah. Postman (1995, Konijn,.dkk, 2008: 19-20) mengingatkan kita bahwa "Semua perubahan teknologi adalah Faustian Bargain. Untuk setiap keuntungan teknologi baru yang ditawarkan, selalu ada kerugian korespondensi di dalamnya". 27 a. Kategori Media Baru Berdasarkan Jenis Penggunaan Flew mengatakan bahwa media baru memiliki perbedaan beberapa karakter dengan media lama. Karakter-karakter inilah yang disebut pula dengan kebaruan. Kebaruan tersebut dapat disingkat menjadi 4C, yaitu computing and information technology, communication networks, digitalized media and information content, dan convergence (2005: 2, dalam Adiputra, 2012). Dalam kajian ilmu komunikasi, fenomena media sosial dilihat sebagai suatu era media baru atau yang dikenal dengan istilah new media. Berkaitan dengan kategorisasi media baru, McQuail (2010:123) mengdentifikasi lima kategori utama dari media baru yang memiliki kesamaan saluran serta yang dibedakan berdasarkan jenis penggunaan, konten dan konteks. Lima kategorisasi tersebut yakni sebagai berikut: - Interpersonal communication media. Ini termasuk telepon (handphone) dan e-mail (terutama untuk kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan). Secara umum, kontennya bersifat pribadi dan tahan lama. Kuat dan mapannya hubungann lebih penting daripada informasi yang disampaikan. - Interactive play media. Kategori ini meliputi game berbasis komputer dan video dalam perangkat virtual. Inovasi utama terletak pada interaktivitas dan dominasi proses penggunaan lebih mengedepankan kepuasan pengguna. - Information search media. Ini adalah kategori yang luas, tetapi Internet/www adalah contoh yang paling signifikan. Media ini 28 dipandang sebagai perpustakaan dan sumber data dengan ukuran yang belum pernah ada sebelumnya. Mencakup juga aktualitas dan aksesibilitas dalam penggunaannya. Mesin pencari telah meningkat ke command position sebagai alat untuk pengguna serta sumber pendapatan untuk internet. - Collective participatory media. Termasuk dalam kategori ini terutama dalam hal penggunaan internet untuk berbagi dan bertukar informasi, ide dan pengalaman serta aktif mengembangkan hubungan pribadi. Situs jejaring sosial masuk ke dalam kategori ini. Jenis media baru keempat inilah yang dianggap dapat memberikan kesempatan baru pada kelompok-kelompok masyarakat yang secara politik dan sosiokultural kurang mendapat kesempatan untuk berpendapat. - Substitution of broadcast media. Acuan utama dalam kategori ini adalah penggunaan media untuk menerima atau download konten yang telah disiarkan atau didistribusikan di waktu lampau. Menonton film dan program televisi, mendengarkan radio dan musik dan sebagainya merupakan kegiatan utama dalam kategori ini. Jenis media baru terakhir ini menutupi “kelemahan” media penyiaran di mana dokumentasi program acara tidak mudah diakses. Dokumentasi dan penyiaran program acara media penyiaran kembali menjadi lebih mudah terwujud. 29 b. Penggunaan Media Baru McQuail memaparkan berbagai karakteristik utama yang menandai perbedaan antara media baru, termasuk di dalamnya media sosial, dengan media lama (konvensional) berdasarkan perspektif pengguna (2010: 124). Menurutnya tujuh karakteristik tersebut yakni: 1. Interactivity: diindikasikan oleh rasio respon atau inisiatif dari pengguna terhadap „tawaran‟ dari sumber/pengirim (pesan). 2. Social presence (socialibility): dialami oleh pengguna, sense of personal contact dengan orang lain dapat diciptakan melalui penggunaan sebuah medium. 3. Media richness: dapat menjembatani adanya perbedaan kerangka referensi, mengurangi ambiguitas, memberikan isyarat-isyarat, lebih peka dan lebih personal. 4. Autonomy : seorang pengguna merasa dapat mengendalikan isi dan menggunakannya dan bersikap independen terhadap sumber. 5. Playfullness : digunakan untuk hiburan dan kenikmatan. 6. Privacy : diasosiasikan dengan penggunaan medium dan/atau isi yang dipilih. 7. Personalization : tingkatan dimana isi dan pengguna media bersifat personal dan unik. 30 6. Karakteristik Media Sosial Secara umum, karakteristik media sosial tidak terlepas dari karakteristik new media yang merupakan wadah dimana media sosial berkembang. Terry Flew mengemukakan bahwa karakteristik media baru sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek yang ada di dalamnya. Beberapa aspek dari new media digambarkan oleh Flew sebagai berikut: Gambar 1.1 Tiga C dalam Media Konvergen COMMUNICATION NETWORKS Cable TV. Interactive TV Mobile Telephone Internet and World Wide Web COMPUTING/ INFORMATION TECHNOLOGY CONTENT (MEDIA) CD-ROM DVD Sumber: (Flew, 2002: 10) Dari diagram tersebut dapat terbaca, bahwa kunci dari media baru, termasuk di dalamnya Whatsapp, terletak pada konsep-konsep yang saling berhubungan atau berkaitan satu sama lain. Awalnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa teknologi komunikasi dan informasilah yang membawa para pengguna ke era digital, di mana di 31 dalamnya terdapat proses digitalisasi. Melalui proses ini, terjadilah penyandian semua bentuk informasi yang didapat ke dalam bentuk biner yang dibaca atau diproses melalui komputer. Akibat yang dibawa oleh proses-proses digitalisasi tersebut, bersamaan dengan perkembangan teknologi lainnya antara lain munculnya aspek konvergen yang sering dikaitkan dengan media baru. Konvergensi media dapat dimaknai sebagai proses penggabungan komputasi, telekomunikasi, serta media dan informasi. Flew (2002, 10-11) menjelaskan bahwa media baru juga dapat disebut dengan istilah media digital. Media digital adalah bentukan dari isi media yang menggabungkan dan mengintegrasikan data, teks, suara dan gambar yang beragam jenisnya. Disimpan dalam format digital, serta didistribusikan secara cepat melalui network dengan perantara broadband fibreoptic, satelit, dan sistem transmisi gelombang pendek. 7. WhatsApp Whatsapp Messenger adalah aplikasi pesan seluler lintas platform yang memungkinkan penggunanya untuk bertukar pesan tanpa harus membayar SMS. Whatsapp Messenger tersedia untuk iPhone, BlackBerry, Windows Phone, Android, dan Nokia. Selain fitur dasar berkirim pesan, pengguna Whatsapp dapat membuat grup, saling berkirim gambar, pesan video dan audio dalam jumlah tidak terbatas (whatsapp.com, 2016). Whatsapp dapat mengirimkan pesan melalui koneksi data internet. 32 Aplikasi Smartphone ini beroperasi di hampir semua jenis perangkat dan sistem operasi. Aplikasi ini telah di pasar sejak 2010; tujuan menyatakan pengembang adalah untuk menggantikan platform SMS eksising untuk sistem yang bebas biaya dalam environment bebas iklan. Sebagai sarana mengirim dan receivering pesan ke dan dari individu atau kelompok, Whatsapp mencakup berbagai fungsi, seperti pesan teks, gambar terlampir, file audio, file video, dan link ke alamat web. Selama dua tahun terakhir, aplikasi ini telah menjadi sangat popular dan mendapatkan lebih dari 350 juta pengguna dan berperingkat aplikasi yang paling banyak didownload di 127 negara sehari-hari, rata-rata 31 miliar pesan yang dikirim (Bouhnik dan Deshen, 2014:2). Secara teknis, Whatsapp dapat dilihat sebagai jaringan sosial yang memungkinkan orang untuk mengakses banyak informasi dengan cepat. Skema operation sederhana membuat program dapat diakses ke berbagai orang dari berbagai usia dan latar belakang. Whatsapp memungkinkan komunikasi dengan siapa saja yang memiliki sebuah Smartphone, memiliki koneksi internet aktif, dan telah terinstal aplikasi. Biaya keseluruhan aplikasi ini sangat rendah, hingga satu dolar per tahun. Salah satu fitur unik aplikasi ini adalah pilihan untuk dapat membuat grup dan untuk berkomunikasi dalam batas-batasnya. Pembuat grup menjadi manajernya, posisi yang mencakup hak istimewa menambahkan dan menghapus peserta tanpa perlu persetujuan dari anggota kelompok. Selain dari ini, semua peserta dalam kelompok 33 menikmati hak yang sama. Aplikasi ini memungkinkan para penggunanya untuk menerima peringatan pada setiap pesan yang dikirim atau sebaliknya, untuk menonaktifkan peringatan yang datang selama 8 jam, sehari, atau seminggu penuh (Bouhnik dan Deshen, 2014:2). 8. Penelitian yang Relevan Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi (2015) mengenai “Pemanfaatan Media Internet oleh Penyandang Tunarungu, Studi Deskriptif tentang Pemanfaatan Internet pada Komunitas GERKATIN di Kota Surabaya” penelitian ini menemukan bahwa pemanfaatan internet oleh penyandang tunarungu merupakan sebuah kepentingan yang sangat dibutuhkan dalam membantu aktivitas maupun pemenuhan kebutuhan dalam kehidupannya. Berdasarkan 5 motif yang kemukakan oleh Katz, Gurevitch dan Haas yaitu kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif, kebutuhan integrasi sosial dan kebutuhan pelarian. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini motif yang paling banyak dimanfaatkan adalah atas dasar motif kebutuhan kognitif, dengan sebagian besar memanfaatkan atau mengenal fasilitas-fasilitas yang disediakan, diantaranya search engine, e-mail, website, online journal dan messaging. Disamping itu mengenai terpaan media, dalam satu minggu ternyata mayoritas responden menyatakan mengaksesnya tujuh kali memanfaatkan internet, dengan kisaran durasi antara 4-5 jam setiap harinya. 34 Kisaran tersebut dikategorikan sebagai golongan heavy users. Hal ini dikarenakan penyandang tunarungu telah memliki akses internet tanpa batas, disebabkan pengaksesannya melalui smartphone sebagai perangkat yang paling banyak digunakan dalam pemenuhan kebutuhan. Adanya smartphone menjadikan semakin mudahnya akses tersebut dalam pemanfaatan internet yang dinilai dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Dimana dalam mengaksesnya, kebayakan dari penyandang tunarungu mengeluarkan biaya dalam kategori paling minim. Sedangkan untuk konteks sosial di kategorikan menjadi tiga yaitu, publikasi informasi, komunikasi dan bekerja sama. Dimana mayoritas responden telah memanfaatkan media internet dalam ketiga hal tersebut, dengan sebagian besar melakukannya melalui media jejaring sosial. Berdasarkan pemuasan media internet, dapat ditarik kesimpulan bahwa media internet mampu memuaskan responden dalam memenuhi kebutuhan yang diharapkan. Melanjutkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Zulfa Kurnia Dewi (2015) mengenai pemanfaatan internet oleh organisasi GERKATIN di Kota Surabaya, penulis ingin menawarkan wawasan dan pelajaran tentang penggunaan messenger, khususnya Whatsapp sebagai sarana komunikasi interpersonal bagi anggota sebuah organisasi difabel, dalam hal ini para penyandang cacat yang tergabung dalam GERKATIN Solo. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian Zulfa Kurnia Dewi (2015) bahwa motif yang paling banyak dimanfaatkan adalah atas dasar 35 motif kebutuhan kognitif, dengan sebagian besar memanfaatkan atau mengenal fasilitas-fasilitas yang disediakan, diantaranya search engine, email, website, online journal dan messaging. Whatsapp merupakan slaah satu Instan Messenger yang paling populer beberapa tahun terakhir. Dan komunikasi yang dialakukan di dalam Whatsapp cenderung mengarah pada tingkatan komunikasi interpersonal. Adapun manfaat akademis dalam penelitian ini adalah adanya hasil penelitian terbaru mengenai penggunaan media sosial berupa Instant Messenger Whatsapp dalam komunikasi interpersonal di kalangan tunarungu. Dengan demikian diharapkan penelitian selanjutnya dapat lebih mengembangkan penelitian-penelitian terdahulu berkaitan dengan tema komunikasi media baru oleh penyandan disablititas fisik. F. Kerangka Berfikir Gambar 1.2 Kerangka Berfikir Anggota GERKATIN Solo Bagian yang dikomunikasikan Makna New Media berupa (chat app) WhatsApp Anggota GERKATIN lain dan khalayak luas 36 Dalam gambar di atas dijelaskan bahwa penulis membuat alur pemikiran dalam penelitian ini berdasarkan definisi komunikasi interpersonal yang disampaikan oleh Wood (2013: 3-4) bahwa komunikasi adalah proses sistematis di mana orang berinteraksi melalui simbol untuk menciptakan dan menafsirkan makna. Dalam alur pemikiran ini ditambahkan saluran dalam bentuk media baru, yakni aplikasi Whatsapp yang digunakan sebagai sarana bagi komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi secara interpersonal. Saluran adalah medium yang membawa pesan. Dalam penelitian ini saluran yang dimaksud adalah Whatsapp. Penjelasan pertama bahwa komunikasi interpersonal adalah sebuah proses (process). Komunikasi adalah proses yang artinya sedang berlangsung atau selalu bergerak, bergerak semakin maju dan berubah secara terus-menerus. Dalam bagan di atas ditunjukkan bahwa komunikasi antara pengirim pesan (tunarungu yang menjadi anggota GERKATIN Solo) dengan penerima pesan (anggota GERKATIN lain dan khalayak luas) bergerak terus menerus dengan memanfaatkan Whatsapp sebagai media utama dalam berkomunikasi diantara kedua belah pihak. Komunikasi juga sistematis yang berarti bahwa itu terjadi dalam suatu sistem pada bagian yang saling berhubungan yang memengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini komunikator dan komunikan berada dalam sebuah organisasi yang menjadi payung bagi mereka untuk lebih leluasa dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Antara satu tunarungu dengan tunarungu yang lain saling berkomunikasi dan saling berhubungan serta memengaruhi satu sama lain. 37 Selain itu komunikasi ini juga menekankan peran serta simbol yang mencakup bahasa dan perilaku nonverbal. Artinya pesan disampaikan dari komunikator kepada komunikan melalui simbol-simbol yang bisa diterima dan dipahami antara kedua belah pihak. Pesan adalah terjemah gagasan ke dalam kode simbolik, seperti bahasa isyarat. Dalam hal ini pesan yang dimaksud adalah bentuk komunikasi seperti informasi, saran atau pendapat. Komunikasi interpersonal berpusat pada makna yang merupakan jantung dari komunikasi. Makna adalah signifikansi yang diberikan pada fenomena. Makna muncul dari interaksi dengan simbol. Sehingga satu komunikator dengan komunikator lain bisa jadi berbeda dalam menangkap pesan yang dimaknai oleh masing-masing pihak, karena hal ini juga berkaitan dengan faktor pengalaman yang dimiliki oleh para komunikator. G. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian kali ini menggunakan jenis kualitatif. Kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi dan pemikiran manusia secara individu maupun kelompok. Penelitian kualitatif bersifat induktif. Artinya, peneliti membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan terbuka untuk interpretasi. Data dihimpun dengan cara pengamatan yang seksama, mencakup deskripsi dalam konteks yang 38 mendetail disertai catatan-catatan hasil wawancara yang mendalam, serta hasil analisis dokumen lain (Ghony dan Almanshur, 2012: 13). Ghony dan Almanshur juga menyebutkan bahwa penelitian kualitatif memiliki dua tujuan utama, yaitu pertama, menggambarkan dan mengungkap (to describe and explore); kedua, menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain). Dengan jenis penelitian ini nantinya akan menggambarkan bagaimana pola pemanfaatannya oleh organisasi sosial GERKATIN Solo. Alasan menggunakan jenis penelitian ini, karena sesuai dengan masalah yang dikaji serta agar bisa mengerti dan memahami maksud yang disampaikan oleh informan. Sedangkan pendekatan penilitian ini menggunakan studi fenomenologi. Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomenadan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Jika peneliti berupaya menggambarkan fenomena dari suatu komunitas menurut pandangan mereka sendiri, maka tradisi yang sesuai dengan penelitian ini adalah fenomenologi. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa fenomenologi menjadikan pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai dasar dari realita. Dengan mengutip pendapat Richard E.Palmer, 39 Little John lebih jauh menjelaskan bahwa fenomenologi berarti membiarkan segala sesuatu menjadi nyata sebagaimana aslinya, tanpa memaksakan kategori-kategori peneliti terhadapnya (Kusworo, 2006:49). Pendekatan fenomenologis mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena. Tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk merduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal (Creswell, 2015: 105). 2. Subyek Penelitian Pemahaman mengenai berbagai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti. Ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh. Dari jenis data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, jenis data tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Sutopo, 2002: 49): a. Data primer yang diperoleh langsung dari informan atau narasumber dan tidak melalui perantara. Data atau informasi juga diperoleh melalui pertanyaan tertulis dengan menggunakan kuesioner lisan dengan menggunakan wawancara. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada anggota penyandang tuna rungu GERKATIN Solo yang 40 menggunakan Whatsapp untuk berkomunikasi secara interpersonal dengan penyandang tuna rungu lain dalam satu organisasi. b. Data sekunder merupakan data yang mendukung keabsahaan dari penelitain ini. Yang menjadi sumber dari penelitian yang akan dilakukan adalah segala dokumen yang berhubungan dengan penggunaan Whatsapp sebagai sarana komunikasi interpersonal, dalam hal ini anggota GERKATIN Solo. Selain itu peneliti juga mendapatkan data melalui studi kepustakaan dan studi dokumentasi. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di kota Solo tepatnya pada anggota (tuna rungu) organisasi difabel yang terhimpun dalam GERKATIN Solo. Gerkatin merupakan organisasi difabel nasional yang salah satu DPC nya berada di Kota Solo. Negara-negara Asia-Afrika mengenal Solo sebagai kota yang ramah difabel, sehingga anggota yang ada di dalamnya sangat representatif untuk dijadikan sebagai subyek penelitian. Selain itu untuk meningkatkan kepedulian pemerintah serta masyarakat terhadap masalah sosial penyandang tunarungu dengan mengetahui bagaimana penggunaan media baru, khususnya Whatsapp oleh anggota difabel GERKATIN Solo. 41 4. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota yang terhimpun dalam GERKATIN Solo. Adapun sampelnya adalah individu yang memiliki aplikasi Whatsapp, terhubung dengan internet dan tergolong aktif dalam intensitas penggunaan Whatsapp untuk berkomunikasi secara interpersonal dengan anggota penyandang tuna rungu lain dan khalayak umum lainnya. Dalam hal ini peneliti memilih 7 informan. Tiga yang merupakan pengurus sekaligus anggota GERKATIN dan 4 lainnya yang terdaftar sebagai anggota resmi GERKATIN Solo. Adapun informan tersebut adalah ketua GERKATIN Solo Periode 2014-2019, pengurus bidang SDM GERKATIN Solo‟, bendahara GERKATIN Solo, serta empat anggota GERKATIN dalam grup Whatsapp yang paling aktif dalam grup chatting, baik hanya sekedar share informasi atau mengomentari anggota lain dalam grup. Adapun kriteria keaktifan ditentukan informan utama sebagai ketua GERKATIN Solo. Ke-tujuh informan tersebut dirasa paling unik dan menarik dijadikan subyek penelitian dalam rangka menggali informasi yang berkaitan dengan penggunaan Whatsapp sebagai sarana untuk berkomunikasi secara interpersonal. Dari ke tujuh sampel di atas peneliti menganggap sudah representatif dalam mengungkap bagaimana penggunaan Whatsapp yang dimanfaatkan oleh anggota penyandang tunarungu GERKATIN Solo. 42 Penelitian kualitatif besarnya sample tidak ditentukan berdasarkan ketentuan mutlak, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. 5. Teknik Pengambilan Sampel Dalam teknik pengambilan data, teknik yang dipilih oleh peneliti adalah purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive sampling dilakukan dengan langsung menunjuk orang yang telah masuk kriteria peneliti untuk dijadikan informan. Pertimbangan peneliti untuk memilih informan utama dengan teknik purposive sampling yakni peneliti memiliki keyakinan bahwa informan tersebut memiliki informasi yang sangat banyak berkaitan dengan penggunaan Whatsapp oleh anggota tunarungu GERKATIN Solo. Selain itu, pertimbangan selanjutnya adalah informan sering bersinggungan atau berhubungan dengan para anggota tunarungu GERKATIN Solo. Dengan pertimbangan tersebut maka peneliti mengambil sampel pertama yakni Ketua GERKATIN Solo. Ketua GERKATIN Solo tersebut Bernama Aprillian Bima Purnanta (20) yang merupakan Mahasiswa FSRD UNS. Sedangkan setelah menemukan informan utama, dilakukan teknik sowball sampling yakni dengan menanyakan kepada informan tersebut selanjutnya siap saja anggota GERKATIN Solo yang memenuhi kriteria sebagai informan. Begitu selanjutnya sampai menemukan informan akhir dalam penelitian ini. 43 Sampel kedua dilakukan dengan menggunakan teknik snow ball sampling. Awalnya peneliti telah menunjuk Bima sebagai informan pertama. Untuk selanjutnya peneliti meminta rekomendasi kepada informan pertama intuk menunjuk informan kedua yang masuk ke dalam kriteria penelitian ini. Kemudian Aprillian Bima menunjuk Stefanus Indra Adi Kusuma (26) sebagai informan kedua. Dan Stefanus Indra menunjuk Galih Saputro (21) untuk menjadi informan ketiga. Keduanya merekomendasikan Muhammad Effendy Dela Costa (15), Paulus Steven (18), Dwi Fahmi (17), dan Apri Triyanto (18) sebagai informan selanjutnya. Kesemuanya merupakan anggota tunarungu GERKATIN Solo. 6. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini hal yang terpenting adalah mengumpulkan data dari hasil-hasil pengamatan yang didapatkan di lapangan, dan menyusunnya agar memperoleh data. Penelitian ini menggunakan sumber data secara lisan maupun tertulis sehingga teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wawancara Dalam penelitian kualitatif pada umumnya wawancara tidak dilakukan secara terstruktur ketat. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat “open-ended”, dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal 44 terstruktur. Wawancara mendalam dapat dilakukan pada waktu dan kondisi konteks yang dianggap paling tepat guna mendapatkan data yang rinci, jujur dan mendalam (Sutopo, 2002: 58-59). Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview). Sesuai dengan pengertiannya, wawancara mendalam bersifat terbuka. Pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi (Bungin, 2001:62). Berkaitan dengan para informan yang mengalami disabiltas, berupa berkurang atau hilangnya kemampuan mendengar dan berbicara, maka dalam wawancara, peneliti menggunakan bantuan translator (penerjemah bahasa isyarat). Penerjemah dalam penelitian ini merupakan salah satu volunteer yang tergabung dalam DVO (Deaf Volunteer Organization) Solo. Adapun DVO merupakan organisasi volunter berdiri sejak 5 Desember 2012 dan bergerak dalam ranah advokasi para penyandang tunarungu wicara di Solo dan sekitarnya. Dalam keberjalanan penelitian yang terbatas waktu dan kemampuan peneliti dalam mendapatkan data lebih mendalam terkait pemecahan masalah dalam penelitian ini, maka peneliti juga menggunakan sarana whatsapp chat untuk wawancara dalam rangka mendapatkan data tambahan dari para informan terkait. Format umum dalam pengumpulan data online untuk penlitian kualitatif mencakup data virtual dan wawancara berbasis web via e- 45 mail atau chat rooms berbasis-teks, weblog, dan life-journals (misalnya catatan harian online), dan internet message board (Garcia dkk., dalam Creswell, 2015: 221). Creswell menambahkan bahwa pengumpulan data online memberikan fleksibilitas waktu dan ruang bagi para partisipan yang memberikan waktu yang lebih longgar untuk memikirkan dan merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Lebih lanjut, pengumpulan data online membantu menciptakan lingkungan yang nyaman dan tidak mengancam, dan memberi kemudahan bagi para partisipan untuk mendiskusikan isu-isu yang sensitif (Nicholas dkk., dalam Creswell, 2015: 223). Yang lebih penting, pengumpulan data online memberi alternatif bagi kelompok yang sulit dijangkau (yang terkait dengan keterbatasan praktis, kecacatan, ataua hambatan bahasa atau komunikasi) yang mungkin tersingkir dari penelitian kualitatif (James & Busher, dalam Creswell, 2015: 223). b. Dokumentasi Dokumen beragam bentuknya, dari yang tertulis sederhana sampai yang lebih lengkap, dan bahkan bisa berupa benda-benda lain (Sutopo, 2002: 69). Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data yaitu dengan cara melihat dokumen terkait, serta foto-foto dokumentasi yang relevan dengan tema penelitian ini. 46 Dokumen meliputi beberapa company profile dari lembaga yang berkaitan yakni GERKATIN Solo, baik yang berada di website resminya ataupun yang merupakan dokumen tulis lembaga bersangkutan. Sedangkan foto-foto dokumentasi berupa screenshoot hasil chatting Whatsapp dari informan yang dipilih oleh peneliti. 7. Validitas Data Keabsahan data merupakan konsep penting atas konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas), maka untuk menjamin validitas data, dilakukan dengan teknik triangulasi data. Triangulasi merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Artinya untuk menarik kesimpulan yang sesuai diperlukan tidak hanya dari satu cara pandang. Dari bebebarapa cara pandang akan bisa dipertimbangkan beragam fenomena yang muncul, dan selanjutnya bisa ditarik simpulan yang lebih mantap dan bisa diterima kebenarannya. (Sutopo, 2002: 79). Teknik triangulasi sumber, berarti peneliti dalam memeriksa keabsahan data dengan cara membandingkan informasi yang diperoleh peneliti dari masing-masing informan. Apabila masih terjadi ketidakcocokan jawaban, maka peneliti mengambil informasi dari informan berikutnya. Dalam hal ini peneliti mengecek derajat kepercayaan sumber dengan hasil informasi dari wawancara yang dilakukan dengan beberapa 47 informan. Data wawancara yang didapatkan ketika peneliti melakukan wawancara dengan para informan yaitu anggota GERKATIN Solo kemudian dibandingkan dengan data dokumen yang didapat ketika penelitian ini dilakukan. 8. Teknik Analisa Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Interactive Model Analysis. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 1989) analisis data merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan pada orang lain. Menurut Miles & Huberman (1992:16-21) model analisis interaktif terdiri dari tiga alur, yaitu: a. Pengumpulan Data Dalam hal ini peneliti menacatat hal-hal yang diperoleh pada saat wawancara mendalam dengan pengurus serta anggota organisasi GERKATIN Solo yang menggunakan Whatsapp. Serta mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan pola pemanfaatan Whatsapp dalam anggota organisasi tersebut untuk berkomunikasi. Dalam hal pengumpulan data, peneliti memfokuskan rumusan masalah pada penggunaan Whatsapp oleh anggota tunarungu 48 GERKATIN Solo dalam komunikasi interpersonal. Penggunaan yang dimaksud adalah meliputi data-data yang berkaitan dengan bagaimana pola dan proses tunarungu dalam berkomunikasi menggunakan Whatsapp. Lingkup penggunaan dalam penelitian ini meliputi tujuan, keuntungan dan kendala tunarungu dalam menggunakan Whatsapp, selain itu ciri-ciri dan bentuk komunikasi interpersonal tunarungu dalam penggunaan Whatsapp, bagaimana penggunaan simbol dalam pesan teks Whatsapp serta gambaran miskomunikasi dan bagaimana penanganannya. b. Reduksi Data Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote (catatan lapangan). Data yang diperoleh melalui wawancara tidak semuanya sesuai dengan data yang dibutuhkan, sehingga peneliti kemudian mencari data yang cocok sesuai dengan fokus penelitian. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar apa yang disajikan sesuai dengan tujuan penelitian. c. Sajian Data (Display data) Sajian data merupakan rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk 49 menceritakan dan menjawab pertanyaan yang ada. Penyajian data cenderung mengarah pada penyederhanaan data sehingga mudah dipahami. d. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan proses untuk merangkum data-data yang telah direduksi ataupun yang telah disajikan. Dari awal pengumpulan data, peneliti harus memahami makna berbagai hal yang ia temukan dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, polapola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan tentang sebab akibat dan berbagai proposisi. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data saja, akan tetapi perlu diverifikasi agar benar-benar dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Sebelum melakukan inferensi, peneliti harus mencari pola, hubungan persamaan, dan sebagainya secara detail untuk kemudian dipelajari, dianalisis, dan kemudian disimpulkan. Secara skematis proses analisis interaktif dari Miles & Huberman ini dapat digambarkan dengan gambar berikut: Gambar 1.3 Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman Sumber: Miles dan Huberman (1992: 20) 50 Dalam penelitian kualitatif, proses analisis dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data. Atas dasar itu, data akhir dari penelitian kualitatif sudah tidak lagi berupa data mentah karena sudah melewati proses analisis yang berkelanjutan, menghasilkan beragam informasi yang sudah teruji kedalaman serta kemantapannya. Penjelasan pada gambar 1.3 di atas mengenai model analisis interaktif Miles dan Huberman, peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Kemudian setelah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak di antara tiga komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (Sutopo, 2002:119). Lebih lanjut Sutopo (2002: 119-120) menerangkan bahwa dengan melihat gambar tersebut maka prosesnya dapat dilihat secara jelas bahwa pada waktu pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Dari sajian data tersebut dilakukan penarikan simpulan (sementara) dilanjutkan dengan verifikasinya. Bila simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan data dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah berfokus untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkannya dan juga sebagai usaha bagi pendalaman data. Dalam keadaan ini tampak jelas bahwa penelitian kualitatif prosesnya selalu berlangsung dalam bentuk siklus. 51 9. Analisis Data Dokumen Dalama penelitian ini dokumen yang akan dianalisis meliputi dua macam. Yang pertama adalah dokumen berupa company profile dari GERKATIN Solo dan selanjutnya adalah dokumentasi foto (hasil screenshoot chatting via Whatsapp). Adapun analisis dokumentasi foto yakni peneliti ingin mengatahui bagaimana penggunaan simbol-simbol berupa bahasa, emoticon dan avatar yang digunakan oleh para informan. Serta alasan apa saja yang mendasari para informan untuk menggunakan simbol-simbol tersebut dalam menggunakan Whatsapp untuk berkomunikasi secara interpersonal dengan orang lain, baik sesama tunarungu ataupun dengan orang normal (hearing). Peneliti juga ingin mengetahui bagaimana pertemanan antara para informan dengan orang lain dalam lingkup komunikasi interpersonal. Serta tujuan mengapa para informan melakukan chatting (komunikasi interpersonal) dengan orang lain di instant messenger tersebut. Dan terakhir peneliti ingin menggali informasi dari para informan terkait fitur-fitur apa saja dari Whatsapp yang mereka gunakan ketika chatting dalam rangka memudahkan komunikasi interpersonal di antara