November 2015 - Bank Indonesia

advertisement
November 2015
Laporan Nusantara
VOLUME 10 NOMOR 4
|1
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bagian I
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
Perekonomian Sumatera
Boks I: Dampak Asap Terhadap Perekonomian (Asesmen Awal)
Bagian III
Perekonomian Jawa
Boks II: Kesenjangan Pembangunan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan
Boks III: Potensi Pengembangan Industri Petrokimia di Kalimantan
Bagian V
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks IV: Progress Perkembangan Infrastruktur Pendukung Konektivitas
Kawasan Timur Indonesia
Bagian VI
Isu Khusus Daerah
Isu Khusus 1: Memperkuat Daya Saing Industri
Isu Khusus 2: Optimalisasi Potensi Pariwisata dalam Mendukung
Percepatan Pengembangan Ekonomi
Lampiran
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Bank Indonesia
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Grup Asesmen Ekonomi
Divisi Asesmen Ekonomi Regional
Ph. 021-29818119, 29818868
Fax. 021-3452489, 2310553
Laporan Nusantara
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Dalam proses perumusan kebijakan, Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian
dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh terkait perkembangan
perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur
1
dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia . Pembahasan
tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai berbagai aspek risiko
spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan.
Pada triwulan III 2015, indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan perbaikan perekonomian
Indonesia. Perbaikan ekonomi terutama didorong oleh peningkatan investasi seiring dengan realisasi berbagai
proyek infrastruktur berskala besar di berbagai daerah. Perbaikan ekonomi juga ditopang oleh meningkatnya
konsumsi swasta, khususnya konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) sehubungan
dengan persiapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Perbaikan ekonomi global
yang masih lambat disertai oleh rendahnya harga komoditas berdampak pada terbatasnya perbaikan kinerja
ekspor luar negeri di berbagai daerah, terutama yang berbasis pada ekspor dari sumber daya alam (SDA).
Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,73%, membaik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
tumbuh 4,67%. Perbaikan perekonomian nasional terutama ditopang oleh perbaikan yang berlangsung di Jawa
dan Sumatera.
Memasuki triwulan IV 2015, perkembangan indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan
berlanjutnya arah perbaikan kinerja ekonomi. Membaiknya kinerja perekonomian daerah terutama bersumber
dari peningkatan realisasi belanja pemerintah dan investasi khususnya terkait pembangunan proyek-proyek
infrastruktur berskala besar. Selain itu, pelaksanaan Pilkada serentak pada awal Desember 2015 akan turut
menopang perbaikan kinerja ekonomi di berbagai daerah. Perbaikan kinerja industri manufaktur diprakirakan
akan mendorong perekonomian Jawa tumbuh meningkat pada kuartal terakhir 2015. Namun, perkembangan
ekspor komoditas akan masih terbatas menahan perbaikan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan, serta
diperkirakan menyebabkan pertumbuhan KTI masih cenderung tumbuh melambat meski masih berada pada
level yang cukup tinggi. Kabut asap yang berlangsung di awal triwulan IV 2015 diperkirakan menghambat
aktivitas ekonomi di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Secara keseluruhan tahun, kinerja
perekonomian di berbagai daerah pada tahun 2015 diprakirakan tercatat tumbuh lebih lambat dibanding
capaian di tahun 2014, kecuali di KTI.
Inflasi di berbagai daerah pada triwulan III 2015 masih terkendali disertai koreksi harga beberapa komoditas
pangan strategis. Laju inflasi kumulatif (year-to-date) di berbagai daerah cenderung rendah dan berada di
bawah kumulatif periode yang sama dalam empat tahun terakhir. Inflasi kumulatif di Sumatera tercatat
merupakan yang terendah yakni sebesar 1,64%, sementara inflasi kumulatif tertinggi tercatat di Kalimantan
(3,57%). Minimalnya tekanan inflasi sepanjang periode ini terutama dipengaruhi oleh terjaganya pasokan dan
kelancaran distribusi, terutama untuk bahan pangan. Selain itu, adanya kebijakan penurunan tarif bawah
angkutan udara di yang berlaku pada awal September 2015 turut berkontribusi pada rendahnya tekanan inflasi
di berbagai daerah. Memasuki awal triwulan IV 2015, perkembangan laju inflasi di berbagai daerah masih
tetap terkendali. Sebagian besar daerah mencatat berlanjutnya koreksi harga pangan seiring dengan pasokan
yang cukup melimpah. Namun, tekanan inflasi yang lebih tinggi terjadi di sebagian Kalimantan akibat kenaikan
tarif angkutan udara, kenaikan harga beras lokal, serta terkendalanya pasokan dari luar Kalimantan.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 diprakirakan membaik terutama di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Prakiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh optimisme terhadap investasi bangunan
terkait dengan percepatan pembangunan proyek infrastruktur berskala besar di bidang transportasi dan
ketenagalistrikan dan perbaikan ekspor manufaktur. Di sisi harga, perkembangan inflasi di berbagai daerah
1
Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
Laporan Nusantara|i
pada tahun 2016 diperkirakan tetap terkendali dan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar
4±1%. Permintaan domestik diperkirakan masih akan tumbuh secara moderat disertai ekspektasi inflasi yang
tetap terjaga. Dukungan kebijakan dan koordinasi yang semakin kuat antara Bank Indonesia dan pemerintah di
tingkat pusat dan daerah, terutama dalam pengendalian inflasi memberikan optimisme terhadap
terkendalinya inflasi di 2016.
Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam
buku Laporan Nusantara. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai peran fiskal
dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi daerah dan isu mengenai kedaulatan energi yang merupakan
salah satu agenda prioritas pembangunan pada era Kabinet Kerja.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan
Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I–IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat
menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu
kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 19 November 2015
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
L a p o r a n N u s a n t a r a | ii
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH
Perekonomian nasional terindikasi mulai menunjukkan perbaikan pada Triwulan III 2015. Realisasi
pertumbuhan ekonomi pada triwulan laporan tercatat sebesar 4,73% atau sedikit meningkat dibandingkan
pertumbuhan pada Triwulan I dan II sebelumnya (4,72% dan 4,67%). Perbaikan ekonomi terutama didorong
oleh meningkatnya investasi seiring dengan mulai bergeraknya serta percepatan realisasi proyek-proyek
infrastruktur berskala besar di berbagai daerah. Meningkatnya konsumsi swasta juga turut menopang
perbaikan ekonomi, meski peningkatan konsumsi ini lebih dikontribusi oleh konsumsi lembaga non profit yang
melayani rumah tangga (LNPRT) terkait pengeluaran untuk persiapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) serentak. Di sisi lain, dinamika pemulihan ekonomi global yang berjalan lambat dan diikuti
oleh rendahnya harga komoditas berdampak pada masih terbatasnya perbaikan kinerja ekspor luar negeri di
berbagai daerah, terutama yang berbasis pada ekspor dari sumber daya alam (SDA). Kondisi ini menyebabkan
perbedaan kenaikan angka pertumbuhan ekonomi antar daerah. Jawa mampu mencatat pertumbuhan
ekonomi yang lebih baik dibandingkan daerah di luar Jawa yang secara umum masih tumbuh melambat,
bahkan Kalimantan mencatat pertumbuhan negatif.
Sumber: BPS (diolah)
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2015
Perekonomian seluruh daerah di Jawa pada triwulan III 2015 tumbuh meningkat dengan kenaikan tertinggi
dialami DKI Jakarta, sementara perbaikan ekonomi Sumatera relatif masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi
Jawa secara agregat tercatat sebesar 5,39% (yoy), lebih tinggi dibanding periode triwulan sebelumnya yang
sebesar 5,04%. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Jawa terutama didorong oleh
kenaikan investasi seiring dengan akselerasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur berskala besar di
bidang transportasi seperti Tol Trans Jawa, Mass Rapid Transit (MRT), pelabuhan dan bandara. Selain itu,
meningkatnya kinerja sektor keuangan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Jakarta hingga mencapai
mencapai 5,96% pada triwulan laporan. Realisasi proyek infrastruktur berskala besar seperti pembangunan tol
trans Sumatera, pembangkit listrik, dan infrastruktur pendukung untuk Asian Games, berkontribusi pada
perbaikan ekonomi Sumatera. Meski demikian, kinerja ekspor yang masih terbatas seiring dengan lemahnya
permintaan global disertai harga komoditas yang rendah menahan laju perbaikan ekonomi Sumatera lebih
Laporan Nusantara|1
lanjut. Di wilayah ini terdapat dua provinsi yakni Riau dan Aceh yang juga tercatat masih mengalami kontraksi
pertumbuhan ekonomi karena menurunnya kinerja tambang meski tidak sedalam triwulan sebelumnya.
Di sisi lain, ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) kembali tumbuh melambat dan Kalimantan bahkan
mencatat pertumbuhan negatif untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir. Kendati pertumbuhan
ekonomi berbagai daerah di KTI secara agregat masih cukup tinggi yakni sebesar 7,75%, namun angka tersebut
lebih rendah dibanding periode triwulan sebelumnya (9,03%). Di wilayah KTI ini, Provinsi Papua juga kembali
mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi (-0,53%) setelah tumbuh tinggi pada triwulan sebelumnya
(12,77%). Kembali melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI dipengaruhi oleh melambatnya kinerja produksi
pertanian sebagai dampak kekeringan yan melanda beberapa daerah, serta faktor harga komoditas yang masih
cenderung turun. Meski demikian, akselerasi pembangunan proyek infrastruktur berskala besar seperti jalan
tol Manado-Bitung, jalur kereta api Makassar-Pare-pare, dan pelabuhan baru Makassar dapat menopang
pertumbuhan ekonomi KTI secara keseluruhan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Kalimantan tercatat
turun 0,41% pada triwulan laporan. Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh perekonomian Kalimantan Timur
yang terkontraksi (-3,49%), jauh lebih dalam dibanding periode triwulan sebelumnya (-0,9%) karena
penurunan kinerja produksi batubara seiring kinerja ekspor yang masih terbatas, serta turunnya produksi
(lifting) gas.
Perkembangan penyaluran kredit mulai menunjukkan adanya peningkatan di beberapa daerah. Hingga akhir
triwulan III 2015, penyaluran kredit perbankan tumbuh relatif meningkat meski dalam besaran yang
terbatas. Pertumbuhan kredit secara tahunan (year-on-year) yang meningkat terutama terjadi di Sumatera
(10,6%), Jawa (11,0%), dan Kalimantan (12,0%). Sementara pertumbuhan kredit di KTI masih relatif stabil
sebesar 12%. Mulai meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit terjadi baik ke sektor rumah tangga
maupun sektor korporasi. Meningkatnya penyaluran kredit kepada sektor korporasi di berbagai daerah
terutama untuk kebutuhan modal kerja dan investasi, sementara peningkatan kredit kepada sektor rumah
tangga terutama untuk kendaraan bermotor dan kredit pemilikan rumah. Di sisi lain, risiko kredit yang
tercermin dari non performing loans, baik pada kredit ke sektor korporasi maupun kepada sektor rumah
tangga, masih terjaga dibawah 5% walaupun dengan kecenderungan yang meningkat.
Perkembangan aktivitas transaksi keuangan melalui sistem pembayaran masih cenderung tumbuh
melambat. Secara agregat, nilai transaksi yang dilakukan melalui sistem Real-Time Gross Settlement (RTGS)
1
pada triwulan III tumbuh negatif sebesar 6,18% setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh sebesar 16,31%.
Sementara itu, nilai transaksi melalui sistem kliring juga tercatat tumbuh melambat dari 4,54% di triwulan
sebelumnya menjadi 3,21%. Dari segi volume transaksi, baik melalui sistem RTGS maupun kliring, juga tumbuh
melambat. Perlambatan transaksi keuangan melalui RTGS dan kliring terjadi di seluruh daerah.
Memasuki triwulan IV 2015, perkembangan indikator ekonomi di berbagai daerah secara agregat
mengindikasikan berlanjutnya arah perbaikan kinerja ekonomi. Membaiknya kinerja perekonomian daerah
terutama bersumber dari realisasi belanja pemerintah yang diyakini akan terus meningkat hingga akhir tahun.
Sejalan dengan hal tersebut, investasi diperkirakan terus meningkat khususnya terkait pembangunan proyekproyek infrastruktur berskala besar. Selain itu, pelaksanaan Pilkada serentak pada awal Desember 2015 akan
turut menopang perbaikan kinerja ekonomi di berbagai daerah. Berbagai faktor tersebut disertai membaiknya
kinerja industri manufaktur akan mendorong perekonomian Jawa tumbuh meningkat pada kuartal terakhir
2015. Namun, perkembangan ekspor komoditas yang masih terbatas disertai prospek penurunan harga
komoditas yang berlanjut menahan perbaikan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan, serta diperkirakan
menyebabkan pertumbuhan KTI masih cenderung tumbuh melambat meski masih berada pada level yang
1
Melambatnya volume transaksi melalui sistem BI RTGS juga turut dipengaruhi oleh pembatasan transaksi melalui sistem RTGS minimal
Rp100 juta sebagaimana Surat Edaran Bank Indonesia No.16/18/DPSP Tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 12/1/DASP tanggal 21 Januari 2010 Perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
Laporan Nusantara|2
cukup tinggi. Selain itu, dampak kabut asap yang menghambat aktivitas ekonomi di sejumlah daerah di
Sumatera dan Kalimantan turut menekan kinerja ekonomi secara agregat di dua wilayah tersebut (Lihat Boks I
Dampak Kabut Asap Terhadap Perekonomian).
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2015*
SUMATERA
Tendensi
Pertumbuhan
Ekonomi
Konsumsi RT
JAWA
Asesmen
Tendensi
Meningkat karena didorong oleh
konsumsi swasta dan akselerasi
pembangunan infrastruktur
Membaik ditopang oleh pulihnya
pulihnya aktivitas belanja pasca
dampak kabut asap meski perbaikan
lebih lanjut tertahan oleh harga
komoditas
Asesmen
KALIMANTAN
Tendensi
Asesmen
TIMUR INDONESIA
Tendensi
Asesmen
Meningkat karena didorong oleh
konsumsi swasta, akselerasi
pembangunan infrastruktur, dan
perbaikan ekspor manufaktur
Meningkat karena ditopang oleh
konsumsi dan perbaikan ekspor LNG
Melambat karena terbatasnya
konsumsi swasta dan kinerja ekspor
yang terbatas
Permintaan masyarakat di akhir
tahun diperkirakan meningkat
menjelang Natal dan tahun baru
Optimisme konsumen masih terjaga
Meski terdapat peryaan Natal dan
akhir tahun. Namun tertahan oleh
kinerja sektor ekonomi yg melambat.
Belanja Pilkada serentak
Belanja Pilkada serentak
Masih terbatasnya penyerapan
anggaran terutama di Kaltim
Akselerasi Penyerapan belanja
pemerintah.
Konsumsi LNPRT
Belanja Pilkada serentak
Belanja Pilkada serentak
Konsumsi
Pemerintah
Penyerapa belanja pemerintah yang
lebih rendah dibanding periode yang
sama tahun lalu.
Didorong percepatan realisasi
belanja daerah dan dana desa.
Percepatan realisasi pembangunan
infrastruktur, terutama untuk
mendukung pelaksanaan ASEAN
Games
Percepatan realisasi pembangunan
infrastruktur berskala besar seperti
jalan tol, pelabuhan, dan bandara
Tertundanya penyelesaian
pembangunan proyek infrastruktur
terutama karena sebagai dampak
kabut asap yang melanda beberapa
daerah di Kalimantan
Investasi swasta (disektor
pertambangan dan sub sektor
property) tertahan dengan
terbatasnya permintaan baik global
maupun domestik.
Ekspor LN
Terbatasnya volume ekspor
komoditas perkebunan, terkait faktor
global
Perbaikan permintaan ekspor untuk
beberapa komoditas a.l garmen &
kendaraan bermotor.
Perbaikan ekspor LNG, namun
batubara masih akan melemah
Melambatnya kinerja ekspor
tembaga dan nikel, disertai
berakhirnya izin ekspor tembaga
NTB.
Impor LN
Untuk mendukung kebutuhan bahan
baku di Kepri
Didorong oleh peningkatan impor
barang konsumsi menjelang akhir
tahun dan barang modal.
Impor barang modal naik untuk
penyelesaian smelter
Terutama akibat penurunan impor
barang modal terkait dengan
progress pembangunan smelter yang
terbatas.
Investasi (PMTB)
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Secara keseluruhan tahun, kinerja perekonomian di berbagai daerah pada tahun 2015 diprakirakan tercatat
tumbuh lebih lambat dibanding capaian di tahun 2014, kecuali di KTI. Dinamika ekonomi global yang masih
diwarnai oleh tingginya ketidakpastian serta rendahnya harga komoditas berdampak kepada masih
terbatasnya kinerja ekspor daerah pada keseluruhan tahun 2015. Selain itu, realisasi belanja fiskal di tingkat
pusat dan daerah juga cenderung terbatas terutama pada paruh pertama 2015 sehingga belum mampu
menstimulasi perekonomian secara optimal. Perekonomian KTI diperkirakan dapat mencatat angka
pertumbuhan yang lebih tinggi pada 2015 yang didorong oleh kinerja ekspor daerah antara lain berupa bahan
mentah tambang setelah diijinkannya kembali ekspor sebagai kompensasi pembangunan smelter. Berbagai
perkembangan ekonomi daerah terkini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi secara agregat pada
keseluruhan tahun 2015 berada bias ke bawah dari kisaran 4,7 - 5,1%.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2015
Laporan Nusantara|3
Di sisi perkembangan harga, inflasi di berbagai daerah pada triwulan III 2015 masih terkendali disertai
koreksi harga beberapa komoditas pangan strategis. Laju inflasi kumulatif (year-to-date) di berbagai daerah
yang cenderung rendah dan berada di bawah kumulatif periode yang sama dalam empat tahun terakhir
menunjukkan terkendalinya inflasi. Inflasi kumulatif di Sumatera tercatat merupakan yang terendah yakni
sebesar 1,64%, sementara inflasi kumulatif tertinggi tercatat di Kalimantan (3,57%). Minimalnya tekanan inflasi
sepanjang periode ini terutama dipengaruhi oleh terjaganya pasokan dan kelancaran distribusi, terutama
untuk bahan pangan. Pada akhir triwulan III 2015 bahkan sebagian besar daerah mencatat terjadinya deflasi
karena koreksi harga komoditas pangan seiring dengan panen di sejumlah daerah sentra produksi. Selain itu,
adanya kebijakan penurunan tarif bawah angkutan udara di yang berlaku pada awal September 2015 turut
berkontribusi pada rendahnya tekanan inflasi di berbagai daerah. Terkendalinya inflasi sepanjang periode ini
berdampak pada turunnya inflasi secara tahunan (year-on-year) yang hingga akhir triwulan III 2015 tercatat
2
sebesar 5,90% di Sumatera, 6,11% di Jawa, 6,80% di KTI, dan 7,40% di Kalimantan .
Memasuki awal triwulan IV 2015, perkembangan laju inflasi di berbagai daerah masih tetap terkendali.
Sebagian besar daerah mencatat berlanjutnya koreksi harga pangan seperti cabai merah, cabai rawit, daging
ayam ras, telur ayam ras dan ikan segar seiring dengan pasokan yang cukup melimpah. Meski demikian,
tekanan inflasi yang lebih tinggi terjadi di Kalimantan karena tingginya kenaikan inflasi di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur. Beberapa faktor yang menyebabkan tekanan inflasi di Kalimantan lebih tinggi antara lain
tekanan kenaikan tarif angkutan udara, kenaikan harga beras lokal, serta terkendalanya pasokan dari luar
Kalimantan karena dampak kabut asap dan kebakaran hutan. Secara tahunan (year-on-year), inflasi masih
cukup tinggi meskipun berangsur turun di hampir seluruh wilayah dan hingga akhir tahun 2015 diperkirakan
berada sejalan dengan sasarannya yakni sebesar 41%.
Terkendalinya inflasi di berbagai daerah tidak terlepas dari berbagai upaya yang ditempuh oleh Pemerintah
di tingkat pusat dan daerah dalam menjaga stabilitas harga. Langkah pemerintah di tingkat pusat untuk
memperkuat pasokan pangan antara lain melalui upaya intensif mendorong produksi pertanian, serta upaya
khusus yang dilakukan untuk menindak aksi penimbunan daging, serta pemberian ijin impor sapi kepada Bulog
berdampak positif pada terkendalinya harga pangan di daerah. Selain itu, koordinasi pengendalian inflasi yang
ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah di tingkat pusat dan daerah difokuskan pada tindak lanjut
3
arahan Presiden RI pada Rakornas VI TPID antara lain untuk mempercepat pembangunan infrastruktur
pangan, memperkuat kerjasama dengan aparat keamanan dalam pengendalian inflasi, serta mengintensifkan
komunikasi untuk pengelolaan ekspektasi inflasi masyarakat. Koordinasi pengendalian inflasi juga lebih
diarahkan pada upaya-upaya kebijakan untuk mengatasi persoalan struktural di daerah dengan mengacu pada
peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi daerah yang telah disusun.
PROSPEK DAN TANTANGAN EKONOMI DAERAH
Prospek Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 diprakirakan membaik terutama di Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Prospek perekonomian daerah tahun 2016, secara agregat mengindikasikan perbaikan
perekonomian nasional yang diprakirakan akan tumbuh pada kisaran 5,0-5,4%. Prakiraan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh optimisme terhadap investasi terutama investasi bangunan terkait
dengan percepatan pembangunan proyek-proyek infrastruktur berskala besar di bidang transportasi dan
ketenagalistrikan. Selain itu, perbaikan ekspor manufaktur turut berdampak positif bagi peningkatan ekonomi
Jawa seiring dengan prakiraan membaiknya permintaan dari negara-negara mitra tujuan ekspor utama
terutama US dan Eropa. Masih kuatnya permintaan domestik turut menopang peningkatan ekonomi Jawa di
2
3
Masih tingginya level inflasi secara year-on-year lebih disebabkan oleh faktor base effect kenaikan harga BBM pada November 2014.
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) VI TPID diselenggarakan pada 27 Mei 2015 yang dipimpin langsung oleh Presiden RI
Laporan Nusantara|4
2016. Meningkatnya realisasi pembangunan berbagai proyek infrastruktur berskala besar juga diperkirakan
turut memacu perbaikan ekonomi Sumatera pada 2016. Percepatan pembangunan infrastruktur di Sumatera
juga terkait dengan persiapan sarana dan prasarana penunjang kegiatan Asian Games yang akan berlangsung
di tahun 2018. Sementara itu, masih rendahnya harga komoditas di pasar ekspor berimbas pada kinerja ekspor
Sumatera sehingga diperkirakan menahan laju perbaikan ekonomi Sumatera lebih lanjut. Prospek harga
komoditas, terutama pertambangan, yang masih rendah diperkirakan turut menahan laju peningkatan
ekonomi Kalimantan lebih lanjut. Meski demikian, mulai beroperasinya industri smelter di beberapa daerah di
Kalimantan dapat menopang kinerja ekonomi Kalimantan tumbuh lebih tinggi di 2016. Di sisi lain,
perekonomian KTI diperkirakan tumbuh lebih lambat pada 2016 yang terutama disebabkan oleh masih
terbatasnya kinerja ekspor karena faktor harga komoditas yang rendah dan kebijakan pembatasan ekspor
mineral sebagai bagian dari upaya mendorong hilirisasi.
Di sisi harga, perkembangan inflasi di berbagai daerah pada tahun 2016 diperkirakan tetap terkendali dan
sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4±1%. Hal ini didukung oleh masih terbatasnya
tekanan kenaikan harga komoditas seiring dengan laju pemulihan ekonomi global yang diperkirakan masih
berlangsung secara gradual. Selain itu, permintaan domestik diperkirakan masih akan tumbuh secara moderat
disertai ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Dukungan kebijakan dan koordinasi yang semakin kuat antara
Bank Indonesia dan pemerintah di tingkat pusat dan daerah, terutama dalam pengendalian inflasi memberikan
optimisme terhadap terkendalinya inflasi di 2016. Selain itu, terkendalinya inflasi didukung oleh langkah
koordinasi pengendalian inflasi daerah yang difokuskan untuk mengatasi permasalah struktural dengan
mengacu pada peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi daerah.
Meski demikian, risiko kenaikan inflasi di daerah pada 2016 diperkirakan cukup besar terutama terkait
dengan kemungkinan implementasi sejumlah kebijakan energi oleh Pemerintah. Beberapa rencana
pemerintah terkait kebijakan energi tersebut antara lain penyesuaian harga LPG 3 Kg, pengalihan pelanggan
listrik dengan daya 900VA ke 1300VA, penyesuaian tarif listrik rumah tangga kelompok 1300VA dan 2200 VA
sesuai dengan harga keekonomiannya yang semulai direncanakan diimplementasi pada 2015, dan penyesuaian
harga BBM. Penyesuaian harga jual komoditas sebagai dampak dari perubahan nilai tukar rupiah (passthrough nilai tukar) diperkirakan turut menjadi risiko bagi inflasi. Selain itu, risiko terkait dengan dampak El
Nino diperkirakan menyebabkan mundurnya masa panen sehingga dapat memengaruhi pasokan pada pada
periode paceklik.
Tantangan Ke Depan
Perkembangan ekonomi daerah sepanjang tahun 2015 memberikan beberapa catatan penting yang perlu
menjadi perhatian guna upaya meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Pertama, perkembangan harga
komoditas yang masih terus menurun disertai lambatnya pemulihan ekonomi global yang berdampak pada
kinerja ekspor, khususnya untuk daerah-daerah yang selama ini mengandalkan ekspor komoditas primer.
Tingginya ketergantungan pada komoditas primer di beberapa daerah ditengah situasi global yang diwarnai
ketidakpastian menyebabkan turunnya pendapatan ekspor yang pada akhirnya berakibat pada penurunan
daya beli masyarakat. Hal ini juga berimbas pada pendapatan fiskal daerah sehingga berimbas pada
terbatasnya kemampuan belanja daerah untuk menstimulasi perekonomian. Untuk menjaga keberlanjutan
pembangunan ekonomi daerah, maka penyesuaian strategi kebijakan yang bersifat struktural sangat
diperlukan. Kebijakan diversifikasi komoditas ekspor dan terutama komoditas hasil olahan melalui
industrialisasi dan atau hilirisasi yang mampu memberi nilai tambah yang lebih tinggi. Kebijakan dapat
dilakukan melalui insentif fiskal maupun non-fiskal, disertai sinergi kebijakan yang kuat antara pusat dan
daerah.
Kedua, peran industri dalam perekonomian yang justru cenderung menurun di tengah upaya mendorong
peningkatan nilai tambah perekonomian. Hal itu tercermin dari pangsa sektor industri dalam PDB dan pangsa
ekspor sektor industri yang menurun. Penurunan kinerja tersebut sejalan dengan melemahnya daya saing
industri, khususnya industri medium & high tech, disertai persaingan global yang semakin meningkat. Hal ini,
Laporan Nusantara|5
antara lain disebabkan oleh sejumlah permasalahan struktural yang masih mengemuka, termasuk infrastruktur
logistik, yang perlu segera diatasi. Pengembangan industri perlu diperkuat melalui strategi peningkatan daya
saing dengan fokus pada kebijakan penguatan struktur industri, akses pasar dan kualitas tenaga kerja. Selain
itu, pengembangan industri secara keseluruhan terus dilakukan dengan mengacu pada roadmap untuk
mencapai industri nasional yang kuat, berdaya saing, serta berbasis inovasi dan teknologi. (Lihat Isu Khusus 1.
Memperkuat Daya Saing Industri)
Ketiga, pengembangan kepariwisataan perlu menjadi salah satu perhatian khusus mengingat potensinya
dalam mendorong perekononomian dan juga sebagai sumber devisa nasional. Namun, pengembangan potensi
kepariwisataan juga masih terkendala oleh permasalahan infrastruktur, khususnya aksesibilitas, sehingga
menekan daya saingnya diantara negara-negara kawasan. Hal ini tercermin dari jumlah kunjungan wisatawan
4
asing yang masuk ke Indonesia yang berada jauh dibawah negara Thailand dan Malaysia . Berbagai langkah
yang telah dilakukan Pemerintah seperti kebijakan pembebasan visa kunjungan menjadi total 90 negara,
kemudahan wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia menggunakan yacht (kapal), dan mempercepat
pengembangan infrastruktur bandara dan pelabuhan laut perlu perlu diperkuat dengan upaya mendorong
daya saing pariwisata. Fokus perhatian adalah pada upaya penyediaan infrastruktur pendukung aksesibilitas
yang memadai antar destinasi wisata, termasuk peningkatan kapasitas bandara dan/atau pembangunan
bandara baru yang saat ini sudah tidak lagi memadai sebagai pintu masuk atau hub pariwisata nasional,
penyediaan sarana (amenities) yang mendukung, serta pengembangan atraksi. (Lihat Isu Khusus 2.
Optimalisasi Potensi Pariwisata Dalam Mendukung Percepatan Pengembangan Ekonomi).
Keempat, penyerapan belanja daerah yang masih terbatas ditengah semakin meningkatnya alokasi transfer
daerah. Hal ini menyebabkan dana milik pemerintah daerah di perbankan masuk dalam kecenderungan
meningkat cukup tinggi pada akhir Triwulan III 2015. Di sisi lain, alokasi belanja pemerintah daerah pada
RAPBN 2016 yang meningkat hingga 21,5% atau menjadi Rp782,2 triliun memberikan peluang besar dalam
mempercepat pengembangan ekonomi daerah. Untuk itu, diperlukan berbagai langkah strategis untuk
memastikan penyerapan belanja daerah tepat waktu dan sasaran, khususnya yang ditujukan untuk
pengembangan infrastruktur daerah, termasuk upaya meningkatkan kapasitas desa dalam pengelolaan dana
desa.
Kelima, mengantisipasi potensi risiko inflasi di 2016, koordinasi pengendalian inflasi di tingkat pusat maupun
daerah melalui TPI dan TPID perlu difokuskan pada upaya untuk meminimalkan dampak inflasi dari beberapa
rencana kebijakan energi pemerintah pada awal tahun 2016, memitigasi kemungkinan gangguan pasokan
akibat potensi pergeseran masa panen disertai upaya untuk terus memperkuat kesinambungan pasokan
pangan. Upaya pengendalian inflasi ke depan perlu terus dipertajam dengan mengacu pada tahapan peta jalan
atau roadmap pengendalian inflasi guna mengatasi permasalahan inflasi secara lebih struktural.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala
Departemen Regional pada 12 November 2015 di Yogyakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara
kosongkan
periodik untuk membahas perkembangan terkini
dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di
daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia.
4
UNWTO mencatat pada tahun 2014 jumlah kunjungan wisatawan asing yang masuk ke Indonesia sebesar 9,8 juta orang, sementara
wisatawan asing yang masuk ke Malaysia dan Thailand masing-masing berada di kisaran 26 juta orang.
Laporan Nusantara|6
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2015 membaik dibandingkan triwulan sebelumnya, terjadi akselerasi
pertumbuhan dari 2,88% (yoy) menjadi 3,04% (yoy). Membaiknya pertumbuhan ekonomi Sumatera terutama
didorong oleh pembangunan proyek-proyek pemerintah. Belanja pemerintah yang masih terbatas pada
Semester I mulai mengalami akselerasi pada triwulan III 2015, terutama untuk pembangunan infrastruktur
seperti persiapan Asian Games 2018. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi terutama ditopang oleh sektor
industri pengolahan, konstruksi, serta membaiknya sektor pertambangan meskipun masih tumbuh negatif.
Secara spasial, peningkatan perekonomian terjadi di Sumsel dan Lampung. Pada triwulan laporan, Riau dan
Aceh masih tercatat mengalami kontraksi pertumbuhan meski tidak sedalam triwulan sebelumnya. Namun,
bencana kabut asap di beberapa provinsi telah memberi dampak terhadap melemahnya konsumsi terutama di
tiga provinsi yang mengalami bencana kabut asap terbesar yakni Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.
Pemulihan ekonomi diprakirakan akan terus berlanjut hingga triwulan IV 2015. Pertumbuhan ekonomi
triwulan mendatang akan didorong oleh masih berlanjutnya pembangunan infrastruktur Pemerintah,
pelaksanaan kegiatan Pilkada serentak yang dilaksanakan di 4 provinsi dan 80 kota/kabupaten, serta
meningkatnya konsumsi swasta khususnya konsumsi rumah tangga. Dari sisi sektoral, pertumbuhan triwulan
mendatang akan bersumber dari meningkatnya kinerja pertanian terutama produksi tanaman bahan makanan
(tabama), disertai membaiknya produksi migas hingga November 2015 dibandingkan periode sebelumnya, dan
membaiknya kinerja produksi batubara seiring dengan beroperasinya double track kereta api di Sumatera
5
Selatan. Selain itu, paska bencana kabut asap, kinerja sektor utama diprakirakan kembali meningkat .
Perbaikan diperkirakan akan terjadi di seluruh provinsi.
Secara keseluruhan, perekonomian Sumatera pada tahun 2015 diprakirakan tumbuh pada kisaran 3,40% atau
melambat dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 4,64%. Melemahnya harga komoditas dan permintaan dunia
membuat kinerja sektor utama Sumatera menurun. Kondisi ketidakpastian situasi perekonomian
menyebabkan sektor swasta cenderung menahan investasi yang bersifat ekspansi. Permasalahan tersebut
diperparah dengan kekeringan yang lebih panjang serta dampak kabut asap yang berlangsung pada triwulan III
hingga awal triwulan IV 2015. Berbagai kondisi tersebut pada akhirnya menekan laju pertumbuhan konsumsi
rumah tangga. Belanja pemerintah yang masih relatif rendah hingga triwulan III 2015 diperkirakan turut
mempengaruhi melambatnya pertumbuhan ekonomi Sumatera.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan membaik pada tahun 2016 yakni berada pada kisaran 4,0–4,5%.
Membaiknya pertumbuhan ekonomi Sumatera terutama berasal dari perbaikan sisi domestik melalui
peningkatan kinerja sektor utama. Selain itu, paket kebijakan ekonomi yang disertai agenda pembangunan
infrastruktur Pemerintah telah memberi persepsi positif terhadap ekspektasi kondisi ekonomi ke depan, serta
diprakirakan mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga. Perbaikan ekonomi pada tahun 2016 diprakirakan
akan terjadi atau didukung oleh seluruh provinsi. Berbagai indikator makroekonomi daerah mengindikasikan
tren perbaikan perekonomian Sumatera kedepan.
5
Sektor utama perekonomian Kawasan Sumatera adalah sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, serta perdagangan besar
dan eceran.
Laporan Nusantara|7
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Pertumbuhan konsumsi swasta pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan triwulan sebelumnya terutama
bersumber dari melambatnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh sebesar
4,78% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,16% (yoy). Penurunan konsumsi rumah
tangga diindikasikan akibat melemahnya daya beli masyarakat yang tercermin dari Indeks Penjualan Eceran
yang menurun, serta dampak bencana kabut asap sehingga membuat masyarakat tidak dapat beraktivitas
secara normal terutama di Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Perlambatan konsumsi swasta juga tercermin
dari pertumbuhan penyaluran kredit konsumsi yang mengalami perlambatan (Grafik II.1) serta Indeks
Keyakinan Konsumen yang menurun (Grafik II.2).
Konsumsi swasta diprakirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan IV 2015, didorong oleh konsumsi
rumah tangga dan konsumsi lembaga non profit rumah tangga (LNPRT). Peningkatan konsumsi swasta
diperkirakan didorong oleh penyelenggaran Pilkada di 4 provinsi dan 80 kota/kabupaten seluruh Sumatera.
Selain itu, perkiraan panen kelapa sawit pada akhir tahun akan meningkatkan pendapatan masyarakat
sehingga akan mendorong konsumsi rumah tangga di triwulan IV 2015. Untuk keseluruhan tahun, konsumsi
swasta diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan periode tahun sebelumnya. Kondisi ini banyak
dipengaruhi oleh penurunan pendapatan masyarakat yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian akibat
penurunan harga komoditas internasional. Hal ini diperparah dengan bencana kabut asap yang berlangsung
relatif lebih lama dibandingkan tahun sebelumnya.
Grafik II.1. Perkembangan Kredit Konsumsi
Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan III 2015 meningkat signifikan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Konsumsi pemerintah tercatat tumbuh dari 2,79% (yoy) menjadi 6,54% (yoy). Pertumbuhan ini
terjadi di hampir seluruh provinsi kecuali Kep. Riau dan Kep. Bangka Belitung. Hal ini juga tercermin dari
menurunnya simpanan Pemda di perbankan dari 21,86% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 17,25% (yoy)
pada triwulan III 2015 (Grafik II.3).
Pada triwulan IV konsumsi pemerintah diprakirakan akan terus meningkat meski pertumbuhannya secara
tahunan tetap memperlihatkan perlambatan. Realisasi konsumsi pemerintah sampai dengan triwulan III 2015
masih relatif rendah, hanya terdapat tiga provinsi yang realisasi anggarannya lebih tinggi dari realisasi triwulan
III tahun lalu, yaitu Sumatera Utara, Riau, dan Kep. Riau (Tabel II.1). Belanja pemerintah daerah terkait
pelaksanaan Pilkada serentak pada akhir triwulan IV 2015 yang berlangsung di 4 provinsi dan 80
kabupaten/kota secara persentase masih tergolong rendah sehingga diprakirakan tidak akan mampu
mendukung penyerapan anggaran secara optimal. Hal ini memperkuat prakiraan bahwa realisasi belanja
pemerintah daerah pada tahun 2015 akan lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2014.
Laporan Nusantara|8
Tabel II.1. Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah Daerah
Growth
Anggaran TENDENSI
III–2014 (%) III 2015 (%) 14’-15’
REALISASI BELANJA
PROVINSI
ACEH
SUMUT
SUMBAR
RIAU
JAMBI
KEPRI
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
39,40
50,66
57,76
15,18
53,89
38,94
52,32
57,31
63,15
45,74
27,87
52,00
49,97
32,30
48,27
49,34
51,72
45,40
56,64
45,31
-4,58
1,80
12,25
29,08
7,59
1,67
19,09
9,38
5,69
6,08
Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera
di Bank Umum
Investasi
Kinerja investasi pada triwulan III 2015 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya, sejalan peningkatan
6
realisasi proyek infrastruktur Pemerintah maupun swasta . Investasi Sumatera tumbuh sebesar 2,45% (yoy),
lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2015 yang tumbuh sebesar 1,06% (yoy). Meningkatnya kinerja investasi di
Sumatera tercermin dari kenaikan konsumsi semen (Grafik II.5) dari -3,10% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi
18,20% (yoy), serta pertumbuhan penyaluran kredit investasi dari 10,02% (yoy) di triwulan II 2015 menjadi
13,64% (yoy) di triwulan III 2015 (Grafik II.4).
Grafik II.4. Kredit Investasi Sumatera
Grafik II.5. Konsumsi Semen Sumatera
Ke depan, investasi diprakirakan akan terus meningkat, didorong oleh realisasi belanja pemerintah pada
triwulan IV 2015. Beberapa pembangunan infrastruktur pemerintah akan berlanjut hingga triwulan IV 2015,
diantaranya fasilitas infrastruktur untuk Asian Games 2018 di Sumatera Selatan, serta megaproyek tol trans
Sumatera, meski baru berjalan di wilayah Lampung (Bakauheni–Terbanggi Besar). Selain investasi pemerintah,
investasi swasta seperti industri pengolahan di Kep. Riau, serta properti, perkebunan, dan industri pengolahan
7
di Riau diprakirakan meningkat . Namun demikian, secara keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan investasi di
Sumatera diprakirakan masih relatif lebih lambat dibandingkan 2014.
Ekspor
Bencana kabut asap berimbas pada kinerja ekspor Sumatera yang tertekan lebih dalam pada triwulan laporan.
Penurunan kinerja ekspor pada triwulan III 2015 terutama disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor antar
daerah yang dalam sehingga perbaikan ekspor luar negeri karena migas belum mampu untuk
mengkompensasi. Hasil liaison mengonfirmasi kabut asap menghambat aktivitas petani sehingga tidak dapat
memanen hasil kelapa sawit, mempersulit kegiatan penambang, serta menghambat kegiatan perdagangan
6
Hasil liaison menyebutkan bahwa terjadi peningkatan investasi dari 0,54 menjadi 0,65.
7
Hasil liaison Kep. Riau menyebutkan bahwa terjadi peningkatan pada investasi industri pengolahan khususnya industri elektronik,
sementara hasil liaison menyebutkan bahwa terjadi peningkatan pada pembangunan properti di Riau seperti hotel dan apartemen.
Laporan Nusantara|9
antar daerah. Hal ini sejalan dengan kinerja ekspor luar negeri non migas yang relatif masih melambat (Grafik
II.6) terutama pada komoditas kelapa sawit dan batubara (Grafik II.7). Kinerja ekspor luar negeri Sumatera
mulai mengalami perbaikan terutama di migas dari Sumatera Selatan dan Riau meski masih tumbuh negatif.
Grafik II.6. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Luar Negeri
Sumatera
Grafik II.7. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Sumatera
Kinerja ekspor pada triwulan IV 2015 diprakirakan membaik sejalan dengan pemulihan kinerja sektor utama
Sumatera. Hasil liaison mengonfirmasi optimisme pelaku usaha terhadap kinerja ekspor luar negeri ke depan.
Namun, pertumbuhan kinerja ekspor diprakirakan masih terbatas akibat koreksi harga komoditas khususnya
kelapa sawit, karet, dan minyak bumi masih terus terjadi (Tabel II.2). Perkembangan kinerja ekspor terkini
mengindikasikan bahwa ekspor Sumatera untuk keseluruhan tahun 2015 diprakirakan tumbuh melambat
dibandingkan tahun 2014.
Tabel II.2. Proyeksi Harga Komoditas Internasional
Sumber: IMF Commodity Prices Outlook
Impor
Perkembangan aktivitas impor Sumatera mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya baik yang
berasal dari luar negeri maupun antardaerah. Sejalan dengan peningkatan investasi serta pemenuhan
kebutuhan pengembangan infrastruktur. Peningkatan impor terutama didorong oleh meningkatnya impor
barang modal (Grafik II.8), seperti besi baja dan pupuk (Grafik II.9). Ke depan, impor diperkirakan masih
tumbuh lebih tinggi didorong oleh kebutuhan pembangunan berbagai proyek infrastruktur serta kebutuhan
konsumsi yang cenderung meningkat di akhir tahun. Namun demikian, dengan capaian hingga triwulan III
2015, kinerja impor tahun 2015 diperkirakan mengalami perlambatan, terutama sebagai akibat melambatnya
pembangunan di awal tahun.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
Grafik II.8. Perkembangan Nilai Kelompok Impor Sumatera
Grafik II.9. Perkembangan Nilai Komoditas Impor Sumatera
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Perlambatan sektor pertanian masih berlanjut hingga triwulan III 2015, terutama akibat kekeringan dan
diperparah oleh adanya bencana kabut asap yang melanda sebagian daerah di Sumatera. Sektor pertanian
tercatat tumbuh 0,37% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 2,30% (yoy). Penurunan
8
kinerja ini terjadi di hampir seluruh provinsi, dengan penurunan paling signifikan terjadi di provinsi Riau . Pada
triwulan ini, terjadi kekeringan yang lebih luas dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan turunnya
produksi perkebunan di Riau dan juga produksi Tabama di Lampung. Selain itu, bencana kekeringan juga
menyebabkan dampak kebakaran hutan tahun ini lebih parah dibandingkan tahun 2014, sehingga berimbas
9
cukup besar pada aktivitas perekonomian sebagian daerah di Sumatera .
Sumber: Bloomberg
Grafik II.10 . Harga CPO Internasional
Grafik II.11. Kredit Sektor Pertanian
Sektor pertanian diprakirakan membaik pada triwulan IV 2015, terutama didorong oleh masuknya musim
panen kelapa sawit. Selain itu, perkembangan harga internasional juga menunjukkan sedikit perbaikan ke level
USD525,94/mt dibandingkan triwulan III 2015 sebesar USD469,17/mt (Grafik II.10), sehingga dapat menjadi
insentif bagi pelaku usaha. Indikasi peningkatan sektor pertanian tercermin dari pertumbuhan kredit sektor
pertanian pada triwulan III 2015 yang mula membaik (Grafik II.11). Hasil liaison juga menunjukan
kecenderungan yang sama, dimana penjualan sektor pertanian, baik domestik maupun ekspor, diperkirakan
akan mengalami pertumbuhan pada triwulan IV. Namun dengan perkembangan tersebut, sektor pertanian
diprakirakan masih tetap akan mengalami perlambatan untuk keseluruhan tahun 2015 jika dibandingkan tahun
2014. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan permintaan global yang menyebabkan harga internasional
komoditas perkebunan pada tahun ini lebih rendah dibandingkan tahun 2014.
8
9
Kontraksi sektor pertanian Riau 9,37% (yoy).
Hasil liaison menyebutkan bahwa terbatasnya jarak pandang ini membuat banyak petani kesulitan ketika melakukan panen
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
Sektor Pertambangan
Kontraksi sektor pertambangan masih berlanjut pada triwulan III 2015, namun tidak sedalam triwulan II 2015.
Sektor pertambangan tercatat mengalami penurunan -1,62% (yoy), sedikit lebih baik dibandingkan kontraksi
pada triwulan II 2015 yang tercatat sebesar -2,17% (yoy). Perbaikan tersebut terutama dipengaruhi oleh
kinerja lifting minyak bumi di Riau (Grafik II.12). Selain itu, kinerja pertambangan batubara di Sumatera Selatan
juga mengalami perbaikan meski di tengah penurunan harga komoditas internasional. Hal ini dikarenakan hasil
produksi batubara tersebut terutama dimaksudkan untuk memenuhi permintaan domestik. Di sisi lain, kinerja
penambangan timah sempat mengalami penurunan akibat diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan
10
No 33/M-Dag/Per/5/2015 pada bulan Agustus 2015, yang mengakibatkan industri timah menunggu petunjuk
teknis untuk memperoleh izin persetujuan ekspor. Hal ini sempat mengakibatkan kenaikan harga timah.
Perbaikan kontraksi sektor pertambangan diprakirakan masih akan berlanjut hingga triwulan mendatang.
Pendorong utama perbaikan sektor pertambangan ini diprakirakan bersumber dari kinerja lifting minyak bumi
yang meningkat 11,72% (yoy) hingga November 2015, serta beroperasinya PLTU mulut tambang, yaitu PLTU
Banjarsari. Namun, minimnya eksplorasi migas di Sumatera, membuat produksi terus menurun (Grafik II.12),
sehingga kinerja sektor pertambangan pada keseluruhan tahun 2015 diperkirakan mengalami kontraksi yang
lebih dalam dibandingkan periode 2014.
Sumber: Kementerian ESDM
Grafik II.12. Perkembangan dan Proyeksi Lifting Minyak di
Riau
Sumber: Bloomberg
Grafik II.13. Harga Batubara Internasional
Sektor Industri Pengolahan
Pertumbuhan sektor industri pengolahan mengalami peningkatan pada triwulan III 2015 dibandingkan
triwulan II 2015. Kinerja industri pengolahan tercatat tumbuh sebesar 4,38% (yoy), lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya sebesar 2,86% (yoy). Secara spasial, peningkatan kinerja industri pengolahan terjadi di hampir
seluruh provinsi dengan yang terbesar dialami oleh Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Peningkatan tersebut sejalan dengan pertumbuhan kinerja penyaluran kredit sektor industri pengolahan yang
mengalami peningkatan dari 10,02% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 17,84% (yoy) pada triwulan III 2015
11
(Grafik II.14). Peningkatan tersebut juga dikonfirmasi oleh beberapa hasil survei Bank Indonesia .
Peningkatan kinerja industri pengolahan diprakirakan masih terjadi hingga triwulan IV 2015 mendatang. Hal ini
sejalan dengan prakiraan masuknya musim panen kelapa sawit di sejumlah daerah sehingga akan mendorong
kinerja industri pengolahan kelapa sawit. Selain itu, produksi pupuk di Aceh diperkirakan berkontribusi bagi
10
Permendag merevisi Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/7/2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah dengan tujuan untuk menjaga Sumber
Daya Alam agar Berkelanjutan. Di Permendag baru, jenis timah yang dapat diekspor adalah Timah Murni Batangan, Timah Solder, dan
Barang Lainnya dari Timah. Perdagangan timah murni batangan, untuk ekspor maupun domestik, wajib melalui Bursa Timah. Dalam
melakukan ekspor, eksportir harus memiliki pengakuan Eksportir Terdaftar (ET) baik untuk ET-Timah Murni Batangan atau ET-Timah
Industri. Selain itu, eksportir juga harus memiliki Persetujuan Ekspor (PE) untuk mencantumkan perkembangan kinerja ekspor timah serta
pelaku usaha dari waktu ke waktu.
11
ditunjukkan dengan peningkatan Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Industri Pengolahan serta hasil liaison penjualan sektor industri
pengolahan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
peningkatan industri di Sumatera. Prakiraan tersebut, sejalan dengan ekspektasi pelaku usaha yang masih
12
positif dalam melihat prospek ekonomi ke depan . Setelah mengamati capaian hingga triwulan III 2015, sektor
industri pengolahan diperkirakan mengalami perlambatan pada keseluruhan tahun 2015 sebagai akibat dari
melemahnya permintaan dunia, sehingga menyebabkan harga internasional dan harga domestik khususnya
komoditas perkebunan menurun (Grafik II.15).
Grafik II.14. Kredit ke Sektor Industri Pengolahan
Grafik II.15. Harga Lokal TBS Sumatera
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Sumatera pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi Sumatera
triwulan III 2015 tercatat 6,79% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 7,74% serta
realisasi inflasi nasional 6,83% (yoy) (Grafik II.16). Kondisi tersebut juga terlihat dari perkembangan inflasi
tahun kalender (periode Januari–September) sebesar 1,64% (ytd), lebih rendah dibandingkan inflasi nasional
2,24% (ytd). Hal ini dikarenakan pelemahan tekanan inflasi khususnya di Sumatera Barat dan Jambi yang
mencatatkan angka negatif (deflasi). Sementara itu, inflasi tahun kalender tertinggi terjadi di Provinsi
Kepulauan Riau mencapai 3,65% (ytd).
Berdasarkan disagregrasi inflasi, melambatnya laju inflasi di triwulan III 2015 terutama disebabkan oleh
penurunan inflasi volatile food (Grafik II.17). Terjaganya pasokan bahan makanan baik dari Kawasan Sumatera
maupun luar wilayah berdampak pada turunnya harga bahan makanan seperti bawang merah, cabai merah
dan tomat. Beberapa komoditas aneka daging juga mengalami penurunan harga sehingga berdampak
terhadap penurunan harga daging ayam sebagai substitusi. Namun, untuk komoditas beras justru cenderung
naik akibat berakhirnya masa panen raya serta dampak El Nino yang melanda beberapa daerah sentra
produksi beras seperti Jawa dan Provinsi Lampung. Dari sisi permintaan, bencana kabut asap yang melanda
beberapa provinsi di Sumatera menyebabkan menurunnya aktivitas perdagangan dan permintaan masyarakat
sehingga mempengaruhi turunnya harga. Selanjutnya, tekanan inflasi administered price juga menurun
13
disebabkan oleh penyesuaian harga BBM yakni untuk jenis non premium dan peningkatan tarif angkutan
udara. Perayaan hari besar keagamaan pada bulan Juli disertai dengan budaya pulang kampung bersama
menyebabkan meningkatnya intensitas penerbangan sampai dengan bulan Agustus. Dari sisi inflasi inti,
tekanan harga sesuai dengan datangnya tahun ajaran baru yang selalu ditandai dengan kenaikan biaya
pendidikan seperti Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Atas.
Pada triwulan IV 2015, tekanan inflasi diprakirakan menurun dibandingkan triwulan III 2015. Sampai dengan
bulan Oktober 2015, inflasi tahun kalender (Januari–Oktober) baru mencapai 1,42% sejalan dengan deflasi
yang terjadi di bulan Oktober yang lebih rendah dari nasional 2,16%. Secara spasial, dua provinsi masih
mencatatkan angka deflasi yakni Sumatera Barat (-1,21%/ytd) dan Jambi (-0,04%/ytd). Rendahnya inflasi
Sumatera Barat dan Jambi disebabkan oleh menurunnya komoditas volatile food seiring dengan tercukupinya
12
yang tercermin dari Indeks Kegiatan Usaha Sektor Industri Pengolahan yang diperkirakan meningkat dari -2,95% menjadi 6,72.
13
Penyesuaian harga bbm per 1 September 2015 sebesar Rp700 - Rp800/liter untuk jenis oktan 92, Rp150 – Rp700/liter untuk jenis oktan
95, serta Rp1.100 untuk solar non subsisdi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
pasokan yang berasal dari Kerinci (Jambi) dan Sumatera Utara. Sementara itu, inflasi tahun kalender tertinggi
dialami oleh provinsi Lampung dan Kepulauan Riau, masing-masing sebesar 3,12% dan 2,91%. Tingginya inflasi
Lampung disebabkan oleh meningkatnya bahan makanan seperti beras sebagai dampak dari kekeringan El
Nino. Sementara tingginya inflasi Kepulauan Riau dipengaruhi oleh meningkatnya harga bahan makanan sejak
adanya pembatasan dan pengetatan pengawasan impor bahan makanan terutama beras dan hortikultura.
Selama ini, pasokan bahanan makanan di Kepulauan Riau sebagian besar dipenuhi melalui impor.
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.16 Inflasi Tahunan Sumatera dan Nasional (%)
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.17. Disagregasi inflasi Sumatera
Tabel II.3 Komoditas Penyumbang Inflasi Tertinggi Triwulan
Juli-September 2015
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.18. Inflasi Tahun Kalender Per Provinsi Sumatera
Sumber: BPS, diolah
Secara keseluruhan, inflasi Sumatera tahun 2015 diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun 2014, yakni di
kisaran 2,70%, di bawah sasaran inflasi nasional. Terjaganya pasokan pangan, penurunan harga BBM di awal
tahun, terbatasnya konsumsi masyarakat sejalan dengan rendahnya pendapatan menyebabkan rendahnya
angka inflasi Sumatera tahun 2015. Risiko inflasi dalam dua bulan mendatang (November–Desember)
diprakirakan bersumber dari meningkatnya harga komoditas volatile food terkait dengan risiko kekeringan
akibat El Nino yang melanda Sumatera Bagian Selatan dan Jawa serta normalisasi harga tiket pesawat di
beberapa provinsi yang sempat turun akibat tidak adanya penerbangan saat bencana kabut asap SeptemberOktober.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Dalam rangka upaya pengendalian inflasi, TPID di Sumatera telah melaksanakan beberapa kegiatan dengan
beberapa kegiatan unggulan daerah, meliputi:
a. Mengoperasionalkan Gedung Pengendalian Inflasi di Provinsi Sumatera Barat yang berfungsi sebagai
terminal agrobisnis dalam rangka menyeimbangkan permintaan-penawaran dan stabilisasi harga
komoditas pangan utama di Provinsi Sumatera Barat;
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
b.
c.
d.
e.
Diversifikasi pangan dan konsumsi produk lokal di Provinsi Bengkulu. TPID Provinsi Bengkulu menghimbau
kepada Pemerintah Daerah, pengusaha, dan masyarakat setempat untuk mengkonsumsi produk-produk
hasil lokal termasuk konsumsi pisang yang merupakan komoditas utama Provinsi Bengkulu sebagai
sarapan;
Program sentuh air dan tanah, serta pembentukan klaster perikanan di Provinsi Kepulauan Riau;
Pembentukan klaster cabai di Provinsi Bangka Belitung;
Pembentukan klaster cabai dan padi di Jambi;
Selain kegiatan tersebut, beberapa provinsi telah mengadakan kerjasama antar daerah dalam rangka menjaga
pasokan serta menstabilkan harga, antara lain:
a. Kerjasama dalam pengendalian pasokan cabai merah di Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun,
Provinsi Sumatera Utara;
b. Persiapan Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama antar daerah Kota Padang dan Kota Solok,
Provinsi Sumatera Barat;
c. Pertukaran informasi bahan pangan di Pulau Bintan dan Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau;
d. Pengadaan kegiatan temu usaha pengusaha cabai merah di Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Provinsi Sumatera Selatan;
e. Kerjasama penyediaan bahan pangan antara Provinsi Lampung dengan Provinsi DKI Jakarta.
Tindak Lanjut Rakornas TPID
Menindaklanjuti arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID), TPID se-Sumatera telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1
Arahan dalam Rakornas
Pembentukan TPID Kab/Kota
2
Identifikasi komoditas penyumbang
inflasi
3
Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Pangan
4
Penanaman cabai merah di pekarangan
5
Alokasi anggaran untuk stabilisasi harga
(pasar murah, subsidi angkut)
6
Pengawasan pasokan dan distribusi
bahan makanan bersama aparat penegak
hukum
Penguatan Komunikasi dan Kerjasama
Antar Daerah
7
8
Mendorong Peluang Hilirisasi/Industri
9
Percepatan Realisasi APBN/APBD Untuk
Stimulus Ekonomi
Progress
Masih 6 Kabupaten di Prov. Lampung dan 6 Kabupaten di
Prov. Aceh belum memiliki TPID
Semua TPID Provinsi telah memiliki PIHPS dan menyusun
mapping komoditas utama penyumbang inflasi ke dalam
Roadmap Pengendalian Inflasi Provinsi
Pembangunan 16 Lumbung Pangan (Sumut), Lembaga
Distribusi Pangan (Sumsel),Pasar Induk & Distribusi Regional
(Sumbar), Gedung Inflasi (Sumbar), Irigasi Usaha Tani
(Bengkulu), dan Jalan Usaha Tani (Aceh)
Sosialisasi dan pelaksanaan Program Kawasan Rumah Pangan
Lestari
Hampir semua provinsi sudah mengalokasi anggaran untuk
subsidi angk. barang dan pasar murah , serta melakukan
program stabilisasi harga
Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh TPID bekerja sama
dengan aparat hukum
Rakor tim teknis dan HLM (semua provinsi), Kajian
Perdagangan Antar Daerah (Aceh, Sumut, Jambi, Kepri), MoU
Kerjasama Antar Daerah (Aceh , Sumut)
Program PTSP untuk kemudahan perizinan industrilisasi
(Sumut)
Fasilitasi percepatan pembangunan PLTA dan PLTG (Sumut),
serta pembangunan tol trans Sumatera (Sumut dan Sumsel)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN
PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja penyaluran kredit korporasi tumbuh meningkat sejalan dengan perbaikan ekonomi di Sumatera. Pada
triwulan III 2015, kredit korporasi tumbuh 16,27% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang sebesar 9,4% (yoy) (Grafik II.19). Secara sektoral, peningkatan penyaluran kredit didorong
oleh peningkatan penyaluran kredit di ketiga sektor utama, yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan,
dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (Grafik II.20). Berdasarkan provinsi, pertumbuhan kredit mulai
terjadi di hampir seluruh provinsi terutama Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jambi.
Ketahanan keuangan korporasi di wilayah Sumatera masih terjaga dengan tingkat risiko kredit yang masih
berada di bawah 5%, meski cenderung meningkat (Grafik II.21). NPL kredit korporasi pada triwulan III 2015
sedikit meningkat dibandingkan triwulan II 2015, yaitu dari 3,11% menjadi 3,19%. Kenaikan NPL terjadi pada
debitur perkebunan kelapa sawit yang diperkirakan akibat masih rendahnya harga komoditas CPO
internasional. Sementara itu, penghimpunan dana korporasi mengalami peningkatan dari 8,56% (yoy) menjadi
16,10% (yoy) pada triwulan III 2015 (Grafik II.22). Peningkatan terjadi pada seluruh komponen DPK, dengan
peningkatan tertinggi terjadi pada komponen tabungan yaitu dari kontraksi 10,40% (yoy) pada triwulan II 2015
menjadi tumbuh sebesar 28,40% (yoy).
Grafik II.19. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.20. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera
Grafik II.21. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.22. Perkembangan DPK Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
14
Kinerja sektor rumah tangga masih relatif stabil dengan risiko NPL yang masih terjaga. Pertumbuhan Kredit
konsumsi meningkat terbatas dari 14,14% (yoy) di triwulan II 2015 menjadi 14,53% (yoy) pada triwulan III
2015. (Grafik II.23). Peningkatan terjadi pada penyaluran kredit properti, yaitu dari kontraksi sebesar 2,07%
(yoy) menjadi tumbuh sebesar 4,90% (yoy). Kondisi ini diperkirakan karena adanya kebijakan Bank Indonesia
terkait pelonggaran LTV (Loan To Value) untuk kredit poperti dan kredit kendaraan bermotor. Peningkatan
kredit rumah tangga tersebut masih disertai risiko NPL yang terjaga rendah meski sedikit meningkat dibanding
14
Definisi kredit rumah tangga yaitu kredit sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan mengecualikan Sektor Bukan Lapangan
Usaha Lainnya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
triwulan sebelumnya yakni dari 2,04% menjadi 2,06% pada triwulan III 2015 (Grafik II.24). Peningkatan NPL
terjadi pada kredit properti dan kredit kendaraan bermotor. Masih rendahnya harga komoditas internasional
yang berdampak terhadap penurunan pendapatan diperkirakan memberikan andil terhadap kenaikan NPL di
sektor rumah tangga.
15
Pada triwulan III 2015 penghimpunan dana sektor rumah tangga masih mengalami perlambatan (Grafik
II.25). Penghimpunan dana tumbuh sebesar 8,1% pada triwulan III 2015, lebih rendah dibanding triwulan
sebelumnya yang sebesar 8,9%. Perlambatan terjadi pada komponen deposito dan giro, sementara tabungan
justru mengalami peningkatan. Berdasarkan perkembangan debt service ratio pada triwulan III 2015,
pengeluaran masyarakat untuk konsumsi cenderung meningkat, namun alokasi untuk tabungan cenderung
turun (Grafik II.26).
Grafik II.23. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera
Grafik II.24. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga
Sumatera
Grafik II.25. DPK Rumah Tangga
Grafik II.26. Debt Service Ratio
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit UMKM di Sumatera mengalami peningkatan namun masih terbatas yang disertai dengan menurunnya
kualitas kredit yang disalurkan. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan III 2015 tumbuh sebesar 4,43% (yoy),
sedikit meningkat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,78% (yoy).
Peningkatan tersebut didorong oleh kredit UMKM untuk industri pengolahan sementara penyaluran kredit
untuk Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) yang merupakan pangsa terbesar masih melambat. Secara
spasial, peningkatan kredit UMKM utamanya berasal dari peningkatan di provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi
dan Lampung. Selanjutnya, perkembangan kualitas kredit UMKM yang disalurkan tercatat mengalami
penurunan yang tercermin dari meningkatnya NPL kredit UMKM dari 6,10% pada triwulan II 2015 menjadi
6,38% pada triwulan III 2015.
15
Definisi dana rumah tangga yaitu dana yang dihimpun dari nasabah perseorangan (bukan korporasi, Pemerintah, dan Bank).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
180
Rp Triliun
50
Kredit UMKM
Pertumbuhan (Skala Kanan, %yoy)
NPL (Skala Kanan,%)
160
140
45
40
35
120
19.99
30
100
Pertanian
20.74
25
80
Industri Pengolahan
20
60
7.21
15
40
10
20
5
0
PHR
0
I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
2012
I
II
III
IV
I
2013
II
III
2014
IV
I
II
Lainnya
52.06
III
2015
Grafik II.27 Perkembangan Kredit UMKM Sumatera
Grafik II.28 Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Kegiatan sistem pembayaran non tunai pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan triwulan II 2015.
Transaksi perbankan melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada Triwulan III 2015
tumbuh 2,65% (yoy), jauh lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 23,2% (yoy).
Kegiatan kliring perbankan di wilayah Sumatera juga mengalami penurunan sebesar 16,4% (yoy), lebih dalam
dibandingkan triwulan II 2015 yang juga mengalami penurunan sebesar 13,05% (yoy). Total transaksi RTGS
Sumatera pada triwulan III 2015 mencapai Rp887,18 triliun,sementara total transaksi kliring mencapai Rp53,27
triliun.
Tabel II.4. Perkembangan RTGS Sumatera
Perkembangan RTGS
Sumatera
Nilai (Rp Milliar)
Volume (ribu lembar)
Pertumbuhan (%yoy)
Nilai
Volume
2013
I
618.755
604
22,8
5,0
II
744.812
641
III
755.021
610
8,9
(1,0)
17,4
(8,1)
IV
831.991
663
22,1
(5,9)
I
637.643
564
3,1
(6,5)
2014
II
III
805.284 865.027
600
590
8,1
(6,5)
14,6
(3,2)
IV
963.619
602
15,8
(9,2)
I
809.031
348
26,9
(38,4)
2015
II
992.512
358
23,2
(40,4)
III
887.175
346
2,6
(41,3)
Tabel II.5. Perkembangan Kliring Sumatera
Perkembangan Kliring
Sumatera
Nilai (Rp Milliar)
Volume (lembar)
Pertumbuhan (%yoy)
Nilai
Volume
2013
I
65.587
1.649
6,53
7,74
II
63.249
1.628
(2,35)
1,75
III
67.636
1.569
4,72
13,40
IV
62.921
1.617
(3,51)
1,98
I
61.632
1.598
(6,03)
(3,11)
2014
II
III
64.464
63.734
1.698
1.569
1,92
4,33
(5,77)
(10,47)
IV
63.711
1.577
1,26
(2,47)
I
57.629
1.435
2015
II
56.051
1.421
(6,50)
(10,16)
(13,05)
(16,31)
III
53.271
1.191
(16,4)
(24,1)
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Tabel II.6 Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di Sumatera
Provinsi
Inflow
Outflow
Net Outflow (Inflow)
Aceh
1.652.747
2.900.914
1.248.167
Sumut
9.592.420
8.090.061
(1.502.360)
Riau
2.680.984
4.399.228
1.718.244
Kepri
1.036.947
2.907.751
1.870.804
Jambi
1.801.736
2.527.936
726.200
Sumbar
4.715.101
2.652.210
(2.062.892)
Bengkulu
1.054.760
1.605.778
551.018
Sumsel
4.103.264
4.619.494
516.229
Babel
396.300
854.223
457.923
Lampung
2.641.186
3.778.521
1.137.334
Sumatera
29.675.445
34.336.113
4.660.668
Grafik II.29. Perkembangan Inflow-outflow Sumatera
Transaksi keuangan tunai rupiah di Triwulan III 2015 tercatat mengalami net outflow, namun lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya. Net outflow ini dialami oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera kecuali
Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang cenderung selalu mencatat net inflow. Secara total, net outflow
Sumatera di Triwulan III 2015 mencapai Rp4,66 triliun meningkat 23,31% (yoy). Berdasarkan provinsinya, aliran
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
uang keluar (outflow) terbesar berasal dari Provinsi Aceh yang mencapai Rp1,25 triliun. Sementara itu,
perkembangan uang palsu pada triwulan III 2015 ini menunjukkan peningkatan dari 3.365 lembar menjadi
4.142 lembar dengan temuan uang palsu terbanyak masih berada di Lampung dan Sumatera Utara.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Sumatera pada tahun 2016 diproyeksikan dapat tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2015
yakni pada kisaran 4,0–4,5%. Prospek membaiknya ekonomi Sumatera tersebut diprakirakan akan terjadi di
seluruh provinsi di Sumatera. Perbaikan ekonomi diprakirakan lebih didorong dari transaksi domestik
sementara permintaan pasar global belum pulih. Disamping itu, kinerja sektor utama juga diprakirakan akan
membaik. Hal ini didasari oleh optimisme persepsi positif dari berbagai paket kebijakan Pemerintah serta
stimulus fiskal yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan adanya berbagai insentif tersebut, akan
memberikan dorongan investasi di Sumatera. Realisasi proyek infrastruktur yang masih terbatas di tahun 2015
akibat kendala teknis diperkirakan dapat terakselerasi pada tahun mendatang. Kenaikan kapasitas produksi
domestik akan semakin didorong oleh berjalannya hilirisasi yang antara lain ditandai dari beroperasinya
kawasan industri Sei Mangke di Sumatera Utara, mandatory biodiesel, dan regasifikasi di Arun. Dengan
berbagai perbaikan ini, diprakirakan akan mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga di tahun 2016. Faktor
risiko yang perlu diperhatikan adalah produktivitas tanaman tabama dan perkebunan akibat El Nino yang
terjadi pada 2015, harga komoditas yang masih menurun, kapasitas fiskal yang belum baik, serta perlambatan
perekonomian Tiongkok.
Dalam menghadapi berbagai risiko eksternal dan domestik, Pemerintah dan berbagai pihak perlu terus
berkoordinasi. Pemerintah perlu terus mendorong realisasi belanja di sisa 2015. Diversifikasi pasar tujuan
ekspor perlu terus dilakukan untuk meminimalisasi risiko perlambatan ekonomi di sejumlah negara partner
dagang yang berjalan. Selain itu, Pemerintah perlu memikirkan diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi,
terutama untuk daerah dengan ketergantungan SDA tinggi. Sektor yang potensial untuk lebih dikembangkan
adalah sektor Pariwisata karena akan melibatkan multisektor serta kemampuan mendatangkan pendapatan
bagi masyarakat yang lebih besar dan lebih luas.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2016 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2015 namun masih
berada dalam target sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Beberapa risiko inflasi di tahun 2016 antara lain
terkait komoditas volatile foods sebagai dampak lanjutan dari El Nino serta risiko La Nina di akhir tahun
mendatang. Berdasarkan data historis, fenomena El Nino akan diikuti dengan fenomena La Nina yang ditandai
dengan tingginya curah hujan sehingga berpotensi terjadinya banjir dan dapat menganggu produksi serta
distribusi barang terutama bahan makanan. Namun demikian, dengan ketersediaan informasi dan koordinasi
yang intensif diharapkan dapat mengelola dampak dari fenomena alam tersebut terhadap kestabilan harga
pangan. Dari sisi komoditas administered price, tekanan inflasi berasal dari kenaikan tarif listrik yakni (i) adanya
pengalihan pelanggan listrik dengan daya 900 watt menjadi 1300 watt; (ii) penyesuaian tarif listrik rumah
tangga 1300 watt dan 2200 watt sesuai harga keekonomian; (iii) serta penyesuaian harga LPG 3 kg yang dapat
berpotensi meningkatkan inflasi ke depan.
Selanjutnya, tekanan inflasi inti diprakirakan berasal dari meningkatnya permintaan pada tahun mendatang
sejalan dengan membaiknya perekonomian. Tekanan inflasi pada kelompok inti diprakirakan relatif moderat
dibandingkan dua kelompok lainnya. Realisasi belanja infrastruktur pemerintah yang belum optimal di tahun
ini diperkirakan akan berjalan dengan lebih cepat pada tahun mendatang sehingga dapat mendorong
peningkatan permintaan terutama akan bahan bangunan. Sementara itu, perlu diwaspadai risiko dampak
lanjutan fluktuasi nilai tukar yang diperkirakan akan memberikan tekanan inflasi di tahun mendatang.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
FENOMENA KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Kebakaran lahan dan hutan semakin menarik perhatian dunia internasional sebagai isu lingkungan dan
ekonomi, terlebih bahwa kebakaran hutan menjadi kejadian yang terus berulang dalam 20 tahun terakhir ini.
Kebakaran hutan umumnya disebabkan beberapa hal, antara lain kondisi cuaca dan iklim; kondisi sosial
budaya masyarakat yang membuka lahan pertanian baru dengan cara membakar hutan dengan pertimbangan
efisiensi biaya dan waktu; serta pembalakan liar dan perambahan hutan. Faktor utama penyebab kebakaran
hutan dan lahan di Indonesia adalah 55% terkait dengan land clearing atau pembebasan lahan untuk
pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, lahan pertanian masyarakat, maupun pembalakan hutan.
Pembukaan lahan dengan cara dibakar ini dimungkinkan melalui UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 69 dengan luas
lahan yang dapat dibakar maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis tanaman varietas lokal.
Intensitas kebakaran hutan yang melanda sejumlah daerah di Indonesia pada 2015 merupakan yang tertinggi
16
sejak periode 1997/1998 . Intensitas El Nino yang menguat pada tahun 2015 menjadi faktor utama yang
menyebabkan meluasnya kebakaran hutan yang selanjutnya diikuti oleh kabut asap di beberapa wilayah. El
Nino adalah gejala meningkatnya suhu permukaan laut yang signifikan di Samudera Pasifik. Fenomena El Nino
yang melanda Indonesia tahun ini berdampak ke bagian Selatan dari Sumatera dan Kalimantan. Adanya
fenomena El Nino menyebabkan curah hujan yang rendah dan kekeringan melanda sejumlah daerah (Gambar
II.1).
Sumber: BMKG
Gambar II.1. Sebaran Dampak El Nino Terhadap Curah Hujan di Indonesia
Titik api yang menjadi indikator intensitas kebakaran hutan terbanyak di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera
Selatan serta Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Berdasarkan pemantauan satelit, jumlah titik api di
tahun 2015 jauh lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini berlangsung mulai dari akhir
Agustus sampai dengan akhir Oktober 2015 pada saat kemarau di bagian selatan Indonesia. Memburuknya
kualitas udara tidak hanya berdampak terhadap kesehatan tetapi juga berdampak terhadap aktivitas
perekonomian di daerah-daerah tersebut.
16
Intensitas maupun durasi El Nino pada tahun 1997/1998 memiliki index ENSO 2,3 dengan durasi kekeringan hingga 12 bulan (Intensitas
El Nino saat ini berada pada angka 2,1 atau hampir mendekati periode 1997/1998).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
Sumber: Global Fire Data
Sumber: BNPB, data per-21 Oktober 2015
Gambar II.2. Jumlah Kumulatif Titik Kebakaran Hutan Terdeksi
Gambar II.3. Peta Kebakaran Hutan di Sumatera dan
Satelit NASA
Kalimantan
DAMPAK KABUT ASAP TERHADAP PEREKONOMIAN
Adanya kabut asap mengganggu aktivitas perekonomian seperti terbatasnya jarak pandang untuk pesawat
mendarat, menurunnya kegiatan perdagangan, meningkatnya biaya logistik darat serta menurunnya okupansi
hotel. Berdasarkan data liaison, penurunan frekuensi penerbangan di Kalimantan selama dua bulan mencapai
40-50%, pembatalan penerbangan mencapai 90% di Jambi, penurunan omset perusahaan penerbangan
mencapai 50% di Riau serta turunnya jumlah penumpang di Bandara Sultan Mahmud Baddarudin II Palembang
mencapai 20,89%.
Dari sisi perdagangan, hasil survei awal mengindikasikan penurunan omset penjualan mencapai 40-50% di
beberapa daerah di Kalimantan dan 20–30% di Sumatera. Di samping itu, jarak pandang berkendara yang
pendek juga menyebabkan terganggunya distribusi logistik (waktu tempuh lebih lama) sehingga meningkatkan
biaya hingga mencapai 12% di Kalimantan Barat dan 9% di Kalimantan Tengah. Meski kabut asap
memengaruhi kelancaran distribusi barang, dampak terhadap inflasi tidak terlalu berpengaruh di Sumatera,
dikarenakan pada saat yang bersamaan tekanan permintaan terhadap komoditi pangan di wilayah Sumatera
Bagian Tengah juga menurun akibat dari penurunan aktivitas ekonomi. Rendahnya aktivitas perekonomian di
bulan September hingga Oktober 2015 juga menyebabkan turunnya okupansi hotel, yakni hingga mencapai
20% di Sumatera.
Dampak kabut asap terhadap pendidikan dan kesehatan masyarakat juga cukup signifikan. Ribuan pelajar
tingkat SD hingga SMA diliburkan untuk jangka waktu kurang lebih 2 bulan. Hal ini berdampak pada kualitas
pendidikan pelajar. Dampak terhadap kesehatan masyarakat terkait dengan meluasnya penderita Infeksi
Saluran Pernafasan (ISPA) telah mencapai total sekitar 544 ribu orang. Hal ini berdampak pada penurunan
produktivitas tenaga kerja yang turut berpengaruh ke kinerja perekonomian.
Adapun dampak dari kabut asap terhadap penurunan produksi kelapa sawit diperkirakan baru terjadi dalam 6
bulan ke depan. Potensi penurunan produksi kelapa sawit hingga 15% diakibatkan oleh terganggunya proses
penyerbukan buah kelapa sawit dengan terhalangnya sinar matahari. Selain itu, kebakaran hutan yang
dikaitkan dengan isu pembukaan lahan sawit memberikan sentimen negatif terhadap CPO Indonesia di dunia
yang dianggap tidak ramah lingkungan. Hal ini berpotensi menurunkan permintaan CPO dari Indonesia.
Penurunan kegiatan ekonomi akibat kabut asap juga terindikasi pada kondisi cash inflow-outflow yang tercatat
di Bank Indonesia, meski kinerja penyaluran kredit masih relatif terjaga. Sebagian daerah yang terkena dampak
kebakaran hutan mengalami net cash inflow pada periode September hingga Oktober 2015 dengan disertai
penurunan cash outflow lebih dalam dibandingkan periode yang sama di 2014. Kondisi ini memberikan indikasi
adanya penurunan peredaran uang di daerah yang terkena dampak kabut asap. Sementara itu, kinerja
penyaluran kredit relatif masih terjaga di sebagian besar daerah yang terkena dampak kabut asap, kecuali di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah yang mengalami perlambatan pertumbuhan kredit investasi dan modal
kerja.
Grafik II.30. Cash Outflow Jambi, Riau dan Sumatera Selatan
Grafik II.31. Cash Outflow Kalimantan
Hasil simulasi awal mengindikasikan bencana kabut asap yang melanda sejumlah daerah di Sumatera dan
17
Kalimantan berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi secara nasional sebesar 0,03%-0,05% . Potensi
penurunan kinerja perekonomian terbesar diperkirakan terjadi di Provinsi Riau dan Jambi. Sementara itu,
dampak dari kabut asap terhadap perekonomian wilayah Kalimantan relatif lebih moderat. Kalimantan Barat
diprakirakan akan menerima dampak terbesar dari kabut asap yang memengaruhi kinerja perekonomian di
wilayah Kalimantan. Estimasi dampak sebesar 0,03% hingga 0,05% juga memerhitungkan dampak kabut asap
terhadap perekonomian provinsi sekitar khususnya Lampung dan Sumatera Barat dalam level yang lebih
moderat.
Ke depan, diperlukan upaya yang sistematis guna menekan kembali terjadinya kebakaran hutan mengingat
imbasnya yang sangat buruk terhadap kesehatan maupun kepada aktivitas masyarakat ekonomi masyarakat.
Beberapa langkah yang perlu menjadi prioritas antara lain (1) peninjauan kembali kebijakan di kawasan rawan
kebakaran terkait dengan ijin pembakaran hutan; (2) mendorong strategi preventif berupa edukasi kepada
aparat pemerintah dan masyarakat; (3) pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan kelompok di tingkat
desa (RT/RW) sebagai media partisipasi masyarakat dalam monitoring/koordinasi pembakaran lahan dengan
18
pemerintah; dan (4) penegakan dan kepastian hukum (law enforcement).
17
Simulasi dampak menggunakan pendekatan analisis Input Output dan CGE Indoterm dengan asumsi terjadi penurunan output pada
sektor perdagangan hotel dan restoran, angkutan udara, serta meningkatnya biaya transportasi darat.
18
Perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan akan dibekukan HGU-nya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
PERTUMBUHAN EKONOMI
19
Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan III 2015 membaik sesuai perkiraan, yakni sebesar 5,39%(yoy) .
Sumber utama pertumbuhan ekonomi berasal dari Provinsi DKI Jakarta (5,96%;yoy), diikuti oleh Jawa Timur
(5,44%;yoy) dan Jawa Barat (5,03%;yoy). Membaiknya perekonomian Jawa didorong oleh peningkatan
konsumsi pemerintah, khususnya belanja infrastruktur, dan perbaikan kinerja ekspor. Beberapa realisasi
belanja infrastruktur pemerintah pada triwulan III 2015 antara lain megaproyek mass rapid transportation
(MRT), Jalan Tol Trans dan Non Trans Jawa, serta peningkatan kapasitas beberapa bandara di Jawa.
Membaiknya ekspor Jawa didorong oleh ekspor antar daerah yang tercermin dari peningkatan transaksi
perdagangan antar pulau, sedangkan kinerja ekspor luar negeri masih tumbuh terbatas sejalan dengan
20
pemulihan ekonomi negara mitra dagang yang berlangsung secara gradual . Kondisi tersebut mempengaruhi
kinerja ekonomi secara sektoral, khususnya perbaikan kinerja industri pengolahan dan perdagangan, yang
ditandai dengan beroperasinya lini produk baru pada industri besi baja, garment dan auto parts. Membaiknya
kinerja kedua sektor tersebut juga mempengaruhi sektor jasa keuangan, dengan meningkatnya permintaan
kredit investasi dan konsumsi. Di sisi lain, sektor pertanian masih tumbuh melambat akibat pergeseran musim
tanam sehingga menurunkan angka produksi sebagai dampak El Nino.
Perekonomian Jawa pada triwulan IV 2015 diprakirakan tumbuh lebih baik dibandingkan triwulan III 2015
21
yakni pada level 5,54%, sejalan dengan perkembangan beberapa indikator perekonomian terkini . Sumber
utama pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan berasal dari konsumsi swasta khususnya menjelang
pelaksanaan pilkada serentak pada akhir tahun, dan konsumsi pemerintah seiring dengan komitmen untuk
mempercepat realisasi belanja infrastruktur maupun belanja modal Pemerintah Daerah se-Jawa. Sedangkan
pertumbuhan kinerja ekspor diprakirakan relatif stabil paska lonjakan permintaan saat Lebaran maupun
kondisi ekonomi global khususnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa yang masih terbatas. Secara
sektoral, membaiknya perekonomian Jawa telah direspon sektor industri pengolahan dengan penambahan lini
produk baru sebagai bentuk strategi diversifikasi produk untuk pasar ekspor. Selain itu, peningkatan konsumsi
pemerintah terkait proyek infrastruktur dan konsumsi swasta khususnya properti residensial menjadi
pendorong utama peningkatan kinerja sektor konstruksi. Kondisi tersebut, diprakirakan akan mendorong
capaian penyaluran kredit, sehingga meningkatkan laba jasa keuangan, baik perbankan maupun Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB).
Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian Jawa berpotensi tumbuh dibawah kisaran prakiraan
22
sebelumnya . Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga, pemulihan kinerja ekspor luar
negeri yang lebih lambat dari perkiraan dan masih lemahnya realisasi investasi swasta meski pemerintah telah
berupaya untuk mendorong peningkatan belanja infrastruktur untuk penopang kinerja perekonomian. Secara
sektoral, penurunan konsumsi rumah tangga dan permintaan dari negara mitra dagang mempengaruhi
capaian laba sektor industri pengolahan, konstruksi dan jasa keuangan. Di beberapa daerah, hal ini
mengakibatkan pengurangan tenaga kerja, khususnya pada industri padat karya, seperti garmen & tekstil,
logam, alas kaki, plastik, industri rokok dan mebel.
19
20
21
22
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan III 2015 adalah 5,3%-5,5%.
Pertumbuhan ekspor antara daerah 12.1%;yoy, sedangkan ekspor luar negeri -1.18%;yoy.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan IV 2015 adalah 5,54%.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2015 adalah 5,3%-5,5%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
Pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016 diprakirakan tumbuh lebih baik pada kisaran 5,3%-5,7% (yoy). Kondisi
23
24
tersebut sejalan dengan potensi membaiknya ekonomi global , harga komoditas internasional serta
terjaganya stabilitas nilai tukar. Selain itu, berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan
pemerintah disikapi positif oleh investor asing, sehingga mendorong outlook investasi positif menurut lembaga
rating Standard & Poor’s. Dari domestik, agenda pembangunan infrastruktur Pemerintah ke depan masih akan
terus menjadi penggerak utama ekonomi di Jawa, sekaligus menjadi insentif bagi swasta untuk melakukan
25
investasi. Kondisi tersebut diprakirakan akan mampu meningkatkan daya beli masyarakat ke depan .
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Pertumbuhan konsumsi swasta melambat pada triwulan III 2015, terutama disebabkan oleh konsumsi rumah
26
tangga . Pertumbuhan konsumsi rumah tangga turun dari 4,73% pada triwulan II 2015 (yoy) menjadi 4,24%
(yoy), meski di sisi lain konsumsi lembaga non profit mengalami peningkatan dari -12,26% (yoy) menjadi 4,61%
(yoy). Melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga disebabkan oleh penurunan tingkat penghasilan
sehingga berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Di beberapa daerah telah terjadi penurunan
tingkat ketersediaan lapangan kerja akibat pertumbuhan kinerja sektor utama yang cenderung melambat. Hal
ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen (SK) yang mengindikasikan terus menurunnya tingkat keyakinan
konsumen (IKK) akibat terbatasnya ketersediaan lapangan kerja dan menurunnya tingkat penghasilan
masyarakat (Grafik III.I dan Grafik III.2). Demikian pula dengan indeks penjualan riil pada Survei Penjualan
Eceran (SPE) pun juga mengalami penurunan pertumbuhan dari 15,2% (yoy) menjadi 0,3% (Grafik III.3). Hasil
survei tersebut, mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung menahan konsumsi terutama dengan
mempertimbangkan ekpektasi akan kondisi ekonomi yang belum stabil. Salah satu pertumbuhan konsumsi
rumah tangga berasal dari pembiayaan perbankan. Pada triwulan III 2015 kredit konsumsi tumbuh lebih tinggi
dari triwulan sebelumnya, dari 9,9% (yoy) menjadi 10,4%, terutama untuk penyaluran kredit kendaraan
bermotor dan properti residensial masing-masing sebesar 6,9% (yoy) dan 8,0% (Grafik III.4).
Grafik III.1. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik III.2. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Membaiknya pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2015 diprakirakan menjadi pendorong bagi
pertumbuhan konsumsi. Ekspektasi positif terhadap membaiknya ekonomi domestik tercermin dari indeks
pendapatan bulanan rumah tangga serta persepsi membaiknya ketersediaan lapangan kerja dan penghasilan
23
24
25
26
Outlook PDB Dunia membaik (IMF, Consensus Forecast) di kisaran 3.6% - 3.7%, khususnya Amerika, Eropa dan Jepang.
Prakiraan IMF atas kenaikan harga komoditas internasional yaitu CPO, batu bara, karet dan aneka logam.
Hasil Survei Konsumen mengindikasikan indeks lapangan kerja dan penghasilan meningkat pada 3 atau 6 bln mendatang.
Pertumbuhan konsumsi swasta pada triwulan II 2015 4,35% (yoy), sedangkan di triwulan III 2015 menjadi 4,25% (yoy)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
27
masyarakat pada akhir tahun (Grafik III.2). Selain itu, momentum perayaan Natal dan Tahun Baru di triwulan
IV dapat menjadi salah satu faktor pendorong lainnya bagi pertumbuhan konsumsi rumah tangga sehingga
turut mendorong perbaikan kinerja konsumsi swasta secara keseluruhan. Namun masih terdapat risiko yang
dapat menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, terutama pada kelompok rumah tangga tani akibat
penurunan produksi pertanian sebagai dampak El Nino. Selain konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga non
profit diprakirakan tumbuh meningkat sejalan dengan pelaksanaan Pilkada serentak di akhir tahun. Meski
demikian, konsumsi swasta secara keseluruhan tahun 2015 diprakirakan tetap akan tumbuh lebih rendah
dibandingkan 2014, baik pada konsumsi rumah tangga maupun konsumsi lembaga non profit. Perlambatan
pertumbuhan konsumsi swasta pada tahun 2015 diakibatkan oleh belum optimalnya kinerja sektor strategis
seperti industri dan perdagangan, sehingga mempengaruhi ketersediaan lapangan kerja dan penurunan
tingkat penghasilan di sektor tersebut.
Grafik III.3. Indeks Penjualan Eceran (SPE)
Grafik III.4. Kinerja Kredit Konsumsi
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat dari 1,49% (yoy) menjadi 5,67% (yoy). Rendahnya realisasi
belanja pemerintah pada semester I 2015, mendorong pemerintah baik di pusat dan daerah untuk melakukan
28
percepatan realisasi belanja, namun masih relatif rendah dibandingkan rata-rata historisnya . Secara spasial,
realisasi belanja tertinggi terjadi di Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan capaian di atas
50%, lebih tinggi dari realisasi APBD se-Jawa yaitu 47% (Tabel III.1). Di sisi lain, realisasi belanja DKI Jakarta
cenderung rendah yakni di kisaran 28%-29%. Pola capaian rendah yang masih berlanjut ini disebabkan
tertundanya pengesahan APBD, sehingga realisasi anggaran baru dapat dilakukan pada triwulan II. Beberapa
faktor yang menjadi penyebab lambatnya realisasi belanja oleh pemerintah diantaranya panitia pengadaan
yang lebih berhati-hati, adanya deregulasi aturan hibah, serta keterbatasan sumber daya manusia terutama
pada proses pengadaan proyek. Data sementara mengindikasikan hingga akhir triwulan III 2015, penyerapan
anggaran belanja daerah di Jawa hanya berada pada kisaran 50% dan sebagian besar merupakan belanja
operasional. Penyerapan belanja APBD di DKI Jakarta bahkan tercatat hanya 35%, merupakan yang terendah di
Pulau Jawa. Sementara itu, masih rendahnya realisasi APBD tercermin pada simpanan pemerintah di
perbankan daerah (Grafik III.5). Tercatat hingga Triwulan III 2015, selisih dana SILPA Pemda masih di atas Rp. 5
Triliun. Hal ini didorong dengan diterimanya transfer dana desa dari Pusat ke Kab/Kota di kisaran 80%. Ke
depan, dibutuhkan penguatan pengawasan belanja Pemerintah agar dana SILPA Pemda dapat dimanfaatkan
secara optimal bagi pembangunan daerah.
Tracking realisasi belanja Pemerintah di triwulan IV menunjukkan adanya kecenderungan meningkat. Namun,
secara keseluruhan tingkat realisasi belanja pemerintah tahun ini masih lebih rendah dibandingkan 2014,
27
28
Survei Konsumen (SK) di wilayah Jawa
Rata-rata hitoris dalam 60% dalam 5 tahun terakhir, namun pada periode triwulan III baru mencapai 55%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
dengan rata-rata di kisaran 86%. Beberapa permasalahan diantaranya perubahan nomenklatur, rotasi pejabat,
perubahan kebijakan gubernur terkait penerima bansos berbadan hukum dan keterlambatan lelang menjadi
penyebab rendahnya serapan anggaran tahun ini, khususnya di Provinsi DKI Jakarta, mengingat selama 2 (dua)
29
tahun berturut-turut capaian realisasinya berada di bawah rata-rata Provinsi lainnya .
Provinsi
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Jawa
Grafik III.5. Perkembangan DPK Pemerintah - Spasial
Realisasi APBD
Anggaran
APBD 2015 Q3
Q3
(Rp miliar) 2014 2015 2014 2015
63.7 29% 28% 61% 55%
91.7 43% 50% 86% 85%
27.1 49% 48% 79% 88%
75.3 64% 51% 94% 84%
12.7 51% 52% 87% 87%
95.2 58% 51% 98% 85%
308.3 47% 47% 84% 81%
Sumber: DJPK Depkeu
Tabel III.1. Realiasi APBD - Spasial
Investasi
Pertumbuhan investasi di Jawa pada triwulan III 2015 mengalami peningkatan dari 4,82% (yoy) menjadi 5,40%
(yoy), yang didorong oleh peningkatan investasi dalam negeri. Kondisi tersebut sejalan dengan peningkatan
realisasi investasi dalam negeri sebesar 30.4% dibandingkan tahun lalu, sedangkan investasi luar negeri relatif
stabil (Grafik III.6 dan Grafik III.7). Selain itu, hasil liaison di Jawa juga mengonfirmasi adanya perbaikan
belanja investasi swasta dalam negeri (Grafik III.8), seperti penambahan lini produk baru pada sektor industri
pengolahan dan persiapan operasional kilang minyak di Tuban. Selain investasi swasta, investasi pemerintah
juga cenderung meningkat sejalan dengan pola historisnya. Hal ini ditandai dengan realisasi beberapa proyek
infrastruktur diantaranya penyelesaian Waduk Jatigede, pembangunan MRT, konstruksi Jalan Trans Jawa dan
Non Trans Jawa dan perluasan beberapa bandara di Jawa. Pertumbuhan investasi dalam negeri diindikasikan
lebih didominasi oleh investasi bangunan. Hal ini tercermin dari indikator impor barang modal yang masih
dalam tren perlambatan, yaitu -28,2% (yoy).
Sumber: BKPM
Grafik III.6. Kinerja Investasi PMA
29
Sumber: BKPM
Grafik III.7. Kinerja Investasi PMDN
Target realisasi belanja APBD provinsi se-Jawa pada triwulan IV di kisaran 80%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
Grafik III.8. Likert Scale Investasi dan perkiraannya
Grafik III.9 Indikator Perekonomian Mitra Dagang (PMI)
Perkembangan di atas juga mengindikasikan bahwa investasi Jawa masih didominasi realisasi proyek
infrastruktur pemerintah dengan skala besar, meski hasil SKDU mengindikasikan bahwa beberapa perusahaan
besar tetap melakukan investasi sesuai rencana di awal tahun. Ke depan, investasi diprakirakan akan
30
meningkat. Hasil liaison mengonfirmasi, bahwa beberapa industri tercatat melakukan ekspansi pada triwulan
IV, melalui penambahan lini produksi, powerplant dan gudang. Secara keseluruhan tahun 2015, kinerja
investasi diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2014, terutama didorong oleh belanja
infrastruktur Pemerintah yang memegang peranan strategis sebagai engine of growth Jawa di tengah belum
pulihnya realisasi belanja investasi swasta, khususnya asing.
Ekspor Impor
Ekspor
Pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2015 membaik didorong oleh peningkatan kinerja ekspor antar daerah,
sedangkan ekspor luar negeri masih tumbuh terbatas seiring masih belum pulihnya perekonomian mitra
dagang (Grafik III.8). Membaiknya pertumbuhan ekspor antar daerah terutama di DKI Jakarta, Banten dan Jawa
Barat didorong oleh perbaikan ekonomi domestik, khususnya di Sumatera dan KTI. Komoditas yang
diperdagangkan ke daerah tersebut masih didominasi hasil olahan industri dan produk pertanian Jawa.
Selanjutnya, kinerja ekspor luar negeri Jawa mulai tumbuh positif yaitu 0,40% (yoy) setelah di triwulan II 2015
mengalami kontraksi sebesar -2,72% (Grafik III.9). Pemulihan ekspor luar negeri sejalan dengan hasil liaison
31
beberapa perusahaan di Jawa (Grafik III.11), seperti di Provinsi Jawa Barat yang menyatakan permintaan
ekspor autoparts ke Amerika Serikat dan Filipina meningkat. Demikian pula untuk perusahaan dengan
komoditas ekspor non migas seperti produk garmen, plastik kemasan produk pertanian, security paper, barang
32
kayu dan rotan serta rokok di Jawa Tengah yang juga mengalami peningkatan, khususnya di kawasan Eropa
33
dan Amerika Utara. Sama halnya dengan ekspor besi dan baja dari Provinsi Banten ke negara mitra ekspor
seperti Korea, India, Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang juga mengalami peningkatan pada triwulan ini.
Pada triwulan IV 2015, kinerja ekspor Jawa diprakirakan tumbuh stabil. Sumber pertumbuhan ekspor Jawa
berasal dari ekspor luar negeri seiring dengan perbaikan perekonomian Amerika Serikat dan Eropa, walaupun
tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Penguatan nilai tukar dolar diprakirakan dapat mendorong peningkatan
margin sejumlah pengusaha eksportir, khususnya untuk produk garmen, mebel, kerajinan (handycraft) dan
makanan minuman. Sementara itu, ekspor antar daerah diprakirakan tumbuh relatif stabil. Pertumbuhan
30
31
32
33
Liaison KPw Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah
Liaison KPw Provinsi Jawa Barat
Liaison KPw Provinsi Jawa Tengah
Liaison KPw Provinsi Jawa Tengah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
ekspor antar daerah didorong oleh membaiknya ekonomi di Luar Jawa, khususnya Sumatera dan KTI. Selain
itu, perayaan Natal dan Tahun Baru di luar Jawa diprakirakan akan dapat mendorong pertumbuhan ekspor
antar daerah.
Secara keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan ekspor Jawa diprakirakan melambat, sebagai akibat
menurunnya permintaan antar pulau dan belum pulihnya ekonomi global. Melambatnya pertumbuhan
ekonomi wilayah luar Jawa turut mempengaruhi transaksi perdagangan domestik, khususnya Provinsi Jawa
Timur dan DKI Jakarta, sebagai hub ekonomi luar Jawa. Sementara itu, belum pulihnya ekonomi global turut
mempengaruhi kinerja perdagangan luar negeri Jawa, khususnya produk pertambangan dan hasil olahan
industri.
Impor
Kinerja impor pada triwulan III masih mengalami kontraksi, meski tidak sedalam triwulan sebelumnya didorong
oleh peningkatan impor antar daerah. Meningkatnya impor antar daerah dikarenakan adanya kenaikan
permintaan bahan baku lokal untuk sektor industri, terutama di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten
yang merupakan sentra industri pengolahan di Jawa. Sementara itu, pertumbuhan impor luar negeri
menyentuh angka positif yaitu 0,40% (yoy) setelah di triwulan II 2015 hanya tumbuh sebesar -2,72% (yoy),
(Grafik III.101). Peningkatan kinerja impor luar negeri lebih dikarenakan oleh meningkatnya permintaan impor
bahan baku sebagai respon dari meningkatnya kapasitas produksi industri pengolahan, sedangkan impor
barang konsumsi dan barang modal relatif masih lemah (Grafik III.13), meski Pemerintah telah menetapkan
insentif fiskal pajak barang mewah.
Grafik III.10. Kinerja Ekspor Jawa
Grafik III.11. Kinerja Impor Jawa
Grafik III.12. Likert Scale Ekspor Jawa
Grafik III.13. Kinerja Impor Barang Modal
Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan impor diprakirakan lebih tinggi dari triwulan III seiring dengan
meningkatnya kebutuhan impor bahan baku lokal dan luar negeri guna memenuhi kebutuhan sektor industri
dan konstruksi. Keterbatasan kapasitas ekonomi domestik masih belum mampu mengatasi ketergantungan
impor bahan baku dan barang modal yang masih cukup tinggi. Secara keseluruhan 2015, transaksi impor Jawa
diprakirakan tumbuh melambat, baik impor antar daerah maupun impor luar negeri, sebagai akibat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
menurunnya kinerja sektor utama industri pengolahan terutama dialami sentra industri di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan DKI Jakarta.
Kinerja Produksi Sektor Utama
Sektor Industri Pengolahan
Perkembangan kinerja sektor industri pengolahan di Jawa secara agregat mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan II 2015. Sektor industri pengolahan pada triwulan III 2015 tumbuh 4,70% (yoy), lebih
tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,75% (yoy). Membaiknya kinerja industri pengolahan
terjadi hampir di semua provinsi, kecuali Jawa Tengah yang mengalami perlambatan dari 3,72% (yoy) di
triwulan II 2015, menjadi 3,65% (yoy). Sementara kenaikan tertinggi terjadi di Jawa Barat dari sebelumnya
3,17% (yoy) di triwulan II 2015, menjadi 4,88% (yoy). Hasil liaison mengindikasikan adanya peningkatan
kapasitas produksi pada subsektor TPT, alas kaki, otomotif dan makan minum. Pada subsektor TPT dan alas
kaki, meningkatnya penjualan terjadi pada perusahaan yang berorientasi ekspor dengan teknologi terkini.
Industri otomotif menunjukkan perbaikan yang tercermin dari peningkatan produksi varian baru untuk pasar
domestik dan ekspor (Grafik III.14). Meningkatnya sektor industri pengolahan juga tercermin dari kinerja kredit
pada sektor tersebut yang tumbuh menjadi 17,3% (yoy) pada triwulan laporan dari 16,0% (yoy) pada triwulan
sebelumnya (Grafik III.15).
Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan sektor industri pengolahan diperkirakan meningkat didorong oleh
meningkatnya permintaan. Pembangunan proyek infrastruktur pemerintah akan mendorong peningkatan
permintaan terhadap barang olahan industri seperti baja dan semen. Berdasarkan hasil liaison, salah satu
perusahaan tekstil terbesar di Jawa optimis kenaikan ekspor sebesar 10% (yoy) untuk produk kain sunscreen.
Optimisme perbaikan permintaan ekspor menjelang Natal, juga dikonfirmasi oleh industri makanan minuman,
furniture, TPT, tembakau, kendaraan bermotor dan alas kaki. Namun secara keseluruhan tahun 2015, kinerja
industri pengolahan masih tumbuh lebih rendah dibandingkan 2014, akibat lemahnya permintaan global dan
domestik di sepanjang semester I 2015. Hal ini berdampak pada penurunan laba pada sektor otomotif, kimia
dan elektronik akibat menurunnya penjualan, sementara di sisi lain terjadi kenaikan biaya produksi khususnya
upah tenaga kerja.
Grafik III.14. Produksi Industri Kendaraan Bermotor
Grafik III.15. Kredit Industri Pengolahan
Sektor Konstruksi
Kinerja sektor konstruksi di Jawa pada triwulan III 2015 tumbuh lebih tinggi sebesar 4,99% (yoy) dibandingkan
triwulan II 2015 yang tercatat 3,85% (yoy). Meningkatnya sektor konstruksi merupakan dampak dari upaya
pemerintah dalam percepatan pembangunan infrastruktur diantaranya jalan tol, bandara, pelabuhan dan
mega proyek MRT. Selain itu, berdasarkaan Survei Harga Properti Residensial (SHPR), jumlah pembangunan
rumah pada triwulan III 2015 juga meningkat seiring dengan program sejuta rumah pemerintah. Program ini
diprakirakan masih akan berlangsung hingga tahun 2016 melihat progress hingga semester II 2015 menurut
data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) baru mencapai 400 ribu unit.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
Meningkatnya aktivitas belanja infrastruktur pemerintah terlihat dari realisasi belanja modal yang
menunjukkan peningkatan di seluruh provinsi. Selain investasi pemerintah sektor konstruksi juga didorong
oleh investasi swasta melalui pembangunan sejumlah pabrik pada triwulan III 2015. Peningkatan aktivitas
konstruksi secara keseluruhan tercermin dari pertumbuhan konsumsi semen pada triwulan III 2015 sebesar
3% (yoy), setelah sebelumnya mengalami kontraksi di triwulan II 2015 sebesar -2% (yoy) (Grafik III.16).
Pada triwulan IV 2015, sektor konstruksi diprakirakan masih akan tumbuh lebih tinggi terutama didorong oleh
percepatan pembangunan proyek infrastruktur pemerintah menjelang akhir tahun. Selain itu, berdasarkan
SHPR kenaikan penjualan properti residensial di triwulan III 2015 masih akan berlanjut hingga triwulan IV 2015
(Grafik III.17). Secara keseluruhan, kinerja sektor konstruksi tahun 2015 diprakirakan tumbuh lebih rendah.
Penurunan penjualan properti residensial serta belum pulihnya belanja investasi bangunan pihak swasta
menyebabkan terbatasnya pertumbuhan sektor konstruksi tahun ini. Tercatat pendorong pertumbuhan hanya
bersumber dari belanja infrastruktur pemerintah pusat dan daerah.
Grafik III.16. Pertumbuhan Konsumsi Semen Pulau Jawa
Grafik III.17. Kinerja Penjualan Properti Residensial
Survei Properti Harga Residensial
Sektor Pertanian
Perkembangan kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2015 mengalami penurunan cukup, yaitu dari
6,10% (yoy) menjadi 2,04% (yoy) (Grafik III.18). Penurunan kinerja sektor pertanian merupakan dampak dari
kekeringan yang disebabkan El Nino dan terjadi hampir di seluruh Jawa sebagai sentra produksi bahan pangan
nasional. Hal ini menyebabkan gagal panen di sejumlah daerah sehingga mengurangi target produksi bahan
pangan yang telah ditetapkan. Adapun komoditas yang mengalami gangguan produksi terbesar adalah padi.
Untuk meminimalisir kerugian yang terjadi akibat gagal panen, petani banyak yang mengalihkan pola tanam
dari padi ke palawija dan buah musiman seperti yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat. Selain tanaman
pangan, kinerja subsektor pertanian lainnya seperti peternakan dan perikanan juga mengalami perlambatan.
Pada subsektor peternakan, perlambatan masih tertahan oleh meningkatnya permintaan daging pada saat Idul
Fitri dan Idul Adha. Secara spasial, provinsi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap penurunan
pertumbuhan sektor pertanian di Jawa adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perlambatan pada sektor
pertanian juga terindikasi dari meningkatnya risiko kredit atau NPL dari triwulan II 2015 (Grafik III.19).
Pada triwulan IV 2015, sektor pertanian diperkirakan masih akan mengalami perlambatan dibandingkan
triwulan III 2015. Kondisi tersebut disebabkan dampak El Nino masih akan dirasakan akibat pergeseran pola
tanam hampir di seluruh sentra produksi Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah. Selain El Nino,
produksi bahan pangan masih dihadapi oleh risiko lainnya yaitu serangan hama wereng dan ulat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
Grafik III.18. Kinerja Sektor Pertanian
Grafik III.19. Perkembangan Kredit Pertanian
Sektor Jasa Keuangan
Pertumbuhan sektor jasa keuangan pada kuartal III 2015 ditopang oleh meningkatnya kinerja sektor
perbankan, yang tercermin dari meningkatnya kredit yang disalurkan menjadi 11,12% (yoy) dari 10,67% (yoy).
Meningkatnya kinerja perbankan di wilayah Jawa juga terlihat dari meningkatnya laba secara keseluruhan yang
naik dari 6,49% (yoy) menjadi 13,42% (yoy) pada triwulan laporan. Perbaikan kinerja perbankan ditopang dari
kenaikan pendapatan operasional dengan pertumbuhan mencapai 10,08% (yoy), setelah mengalami kontraksi
sebesar -6,66% pada triwulan II 2015. Sementara itu, pertumbuhan Net Interest Margin (NIM) relatif stabil
pada level 15,61% (yoy) atau hanya tumbuh sebesar 0,25% (Grafik III.20). Secara spasial, perbaikan kinerja
perbankan terutama didorong oleh perbankan di DKI Jakarta dan Jawa Timur yang mampu mendorong
peningkatan laba pendapatan operasional (Grafik III.21). di sisi lain, perlambatan pertumbuhan kinerja sektor
non-perbankan menahan pertumbuhan sektor jasa keuangan yang lebih tinggi, dimana nilai transaksi pasar
modal (total transaksi dari IDX, Sharia Stock dan LQ45) mengalami penurunan dari Rp 852,32 triliun menjadi Rp
658, 55 T pada triwulan III 2015.
Grafik III.20. Perkembangan Laba Perbankan
Grafik III.21. Perkembangan Laba Perbankan - Spasial
Pertumbuhan sektor jasa keuangan diprakirakan tumbuh melambat pada triwulan IV 2015 yang disebabkan
oleh masih belum dapat tumbuhnya sektor jasa perbankan dan juga jasa non perbankan (transaksi pasar
modal). Penyaluran kredit oleh perbankan diprakirakan masih akan tumbuh meski tidak akan setinggi tahun
sebelumnya. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi indikator bagi pasar modal
menunjukkan kinerja yang menurun pada kuartal III 2015 dan diprakirakan akan cenderung stabil pada
triwulan IV 2015. Penurunan kinerja pasar modal pada triwulan laporan salah satunya disebabkan oleh
ketidakpastian kebijakan Bank sentral AS sehingga investor cenderung menahan (wait and see) di akhir tahun,
sehingga transaksi investor asing pada bulan Desember diperkirakan cenderung stabil. Untuk keseluruhan
tahun 2015, pertumbuhan pada seluruh sektor jasa keuangan diprakirakan akan sedikit melambat
dibandingkan tahun 2014. Pertumbuhan kredit pada tahun 2015 yang berada di bawah pencapaian tahun
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
sebelumnya menjadi salah satu faktor utama melambatnya kinerja sektor perbankan, sementara kinerja pasar
modal belum menunjukkan peningkatan kinerja yang berarti.
PERKEMBANGAN INFLASI
Tekanan inflasi pada triwulan III 2015 secara umum masih terkendali. Terkendalinya inflasi tercermin dari
inflasi kumulatif hingga September 2015 yang berada pada level yang rendah yakni 2,24%. Inflasi kumulatif
terendah tercatat terjadi di Jawa Tengah (1,54%), sedangkan yang tertinggi tercatat di Banten (2,97%).
Minimalnya tekanan inflasi selama periode triwulan ini terutama dipengaruhi oleh cukup terjaganya pasokan
dan minimalnya gangguan distribusi, terutama untuk pangan. Selain itu, tarif angkutan antar kota yang turun
pasca lebaran berkontribusi positif bagi rendahnya tekanan inflasi di Jawa. Perkembangan ini menyebabkan
inflasi secara tahunan (year-on-year) cenderung menurun yakni dari 7,07% pada akhir triwulan sebelumnya
menjadi 6,71%.
Dilihat berdasarkan disagregasinya, inflasi volatile food (VF) yang secara bulanan sempat mengalami tekanan
kenaikan cukup tinggi pada periode Juli dan Agustus, berangsur mengalami penurunan di akhir triwulan
laporan. Meningkatnya tekanan VF pada dua bulan pertama periode triwulan III 2015 dipengaruhi oleh naiknya
harga beras dan daging ayam ras karena terbatasnya pasokan ditengah permintaan yang cukup tinggi
terutama pada awal triwulan laporan yang merupakan periode Idul Fitri. Namun, pada akhir triwulan laporan,
tekanan kenaikan VF kembali mereda dan bahkan tercatat mengalami koreksi harga seiring dengan
meningkatnya pasokan beberapa komoditas pangan strategis seperti aneka cabai, daging ayam ras, dan
bawang merah. Perkembangan ini menyebabkan secara tahunan inflasi VF masih berada pada level yang cukup
tinggi yakni 8,50% (yoy) di akhir triwulan III 2015.
Pada kelompok inflasi administered prices (AP), tekanan kenaikan harga relatif minimal dan tercatat
mengalami koreksi pada dua bulan terakhir di triwulan III 2015. Minimalnya tekanan AP terutama dipengaruhi
oleh adanya penyesuaian ke bawah berbagai tarif angkutan paska periode peak season terkait Ramadhan.
Kontribusi terbesar dari penurunan tarif angkutan terutama berasal dari tarif angkutan antar kota, diikuti oleh
tarif kereta api, dan tarif angkutan udara. Secara tahunan, inflasi AP pada akhir triwulan III 2015 tercatat
sebesar 11,08% (yoy). Sementara itu, Inflasi inti cenderung mengalami tekanan pada triwulan III 2015,
terutama dipicu oleh naiknya biaya pendidikan di seluruh jenjang. Hal ini seiring dengan masuknya tahun
ajaran baru yang jatuh pada bulan Juli-Agustus 2015. Namun, tekanan kenaikan inflasi inti kembali mereda
pada akhir triwulan III 2015. Dengan meredanya tekanan pada akhir triwulan laporan, maka inflasi inti pada
akhir triwulan III 2015 tercatat sebesar 5,63% (yoy).
Grafik III.22.Perkembangan Inflasi
Grafik III.23.Disagregasi Kelompok Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
Grafik III.24.Perkembangan Inflasi Spasial
Grafik III.25.Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei
Konsumen
Memasuki awal triwulan IV 2015, tekanan inflasi diprakirakan cenderung terus menurun, sehingga inflasi
keseluruhan tahun 2015 akan berada dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2015 (Grafik III.22). Pada bulan
Oktober 2015 berbagai daerah di Jawa secara agregat mengalami deflasi sebesar -0,11% (mtm) atau secara
year-on-year berada pada level 6,11%. Deflasi yang terjadi pada bulan Oktober ini lebih rendah bila
34
dibandingkan dengan rata-rata historisnya . Secara umum, inflasi Jawa sejak Januari hingga Oktober 2015
sebesar 2,13% (ytd). Deflasi terbesar berasal dari kelompok administered prices, terutama karena turunnya
tarif tenaga listrik dan bahan bakar rumah tangga. Penurunan tarif listrik terjadi dalam dua bulan berturut35
turut, yakni pada bulan September dan Oktober . Sementara itu, terjaganya pasokan daging ayam ras dan
telur ayam ras turut mendorong deflasi pada komoditas volatile food, mengikuti penurunan harga yang sudah
terjadi pada bulan September. Demikian pula tekanan harga beras mulai mengalami penurunan seiring dengan
mulai masuknya musim hujan di penghujung bulan Oktober 2015 yang meningkatkan optimisme produksi padi
di wilayah Jawa.
Tingkat inflasi wilayah Jawa untuk tahun 2015 diprakirakan berada pada kisaran 2,7% hingga 3,1% (yoy)
terutama karena menurunnya tingkat inflasi kelompok adminsitered prices seiring berakhirnya dampak
kenaikan harga BBM pada bulan November 2014 (faktor base effect). Selain itu, adanya penundaan kenaikan
TTL hingga awal tahun 2016 dan rencana penurunan harga solar juga akan membuat inflasi dari kelompok
administered prices semakin menurun. Sedangkan dari kelompok volatile food, stabilnya harga beras
(berlalunya El Nino) dan harga daging ayam ras (pasokan kembali normal) mampu menahan kenaikan inflasi
yang lebih tinggi. Meskipun masih perlu diwaspadai beberapa risiko hingga akhir tahun 2015 seperti dampak
lanjutan El Nino sehingga mengakibatkan mundurnya musim tanam, kenaikan cukai dan PPN rokok sekitar
10%, harga emas perhiasan yang sedang dalam tren meningkat dalam dua bulan terakhir dan produksi cabaicabaian dan bawang merah yang diprakirakan tidak sebesar prediksi sebelumnya.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Rapat koordinasi nasional (Rakornas) VI TPID tahun 2015 yang diselenggarakan pada bulan Mei 2015
menghasilkan beberapa arahan Presiden Republik Indonesia yang akan ditindaklanjuti oleh seluruh TPID dalam
rangka pengendalian inflasi daerah. Berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh TPID di wilayah Jawa dalam
merespon arahan tersebut adalah sebagai berikut:
34
35
Rata-rata historis inflasi Jawa pada bulan Oktober yaitu 0,19% (mtm).
Penurunan tarif terjadi pada semua golongan dengan kisaran penurunan sebesar Rp12/kWh – Rp16/kWh
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
Tabel III.2. Tindak Lanjut Arahan Presiden dalam Rakornas VI TPID
No.
Arahan Presiden dalam Rakornas VI
1.
Pembentukan TPID
2.
Identifikasi komoditas pendorong inflasi
3.
4.
Percepatan
pangan
pembangunan
infrastruktur
5.
Gerakan pertanaman cabai di pekarangan
rumah
Alokasi anggaran untuk stabilisasi harga
6.
Pemantauan lapangan secara intensif
7.
Penguatan komunikasi dan kerja sama
8.
Hilirisasi/industrialisasi Daerah
9.
Realisasi APBN/APBD utnuk menstimulus
ekonomi
Kegiatan yang dilakukan
Pembentukan TPID di seluruh Provinsi dan
Kota/Kabupaten di wilayah Jawa telah dilaksanakan
Melakukan identifikasi permasalahan jangka pendek
dan struktural, antara lain melalui:
 Adanya Petugas Informasi Pasar (PIP) untuk
pemantauan harga, pencatatan luas tanam dan
analisa pasar di wilayah Jawa
 Kajian strategis mengenai sumber inflasi volatile
food
Membenahi saluran distribusi pangan
 Percepatan perbaikan infrastruktur jalan raya,
khususnya di titik jalur distribusi
 Dukungan terhadap realisasi pembangunan
embung di sentra produksi
 Pembangunan
kawasan
hutan
untuk
pembangunan waduk-waduk baru
Mendorong kegiatan Rumah Pangan Lestari dan
kegiatan urban farming
Pemantauan realiasi anggaran yang bersumber dari
APBN/APBD yang akan digunakan dalam operasi
pasar untuk stabilisasi harga pangan strategis
Penguatan pemantauan harga langsung ke pasarpasar tradisional yang dapat bekerjasama dengan
dinas terkait
 Memperkuat komunikasi dan kerjasama melalui
PIHPS nasional
 Merancang suatu model kerjasama, baik itu G to
G maupun secara B to B
 Mendukung usulan pengadaan penggilingan
(value added) untuk setiap desa
 Pelatihan wirausaha baru industri makanan dan
minuman untuk berbagai komoditas
 Peningkatan akses serta revitalisasi SRG dalam
mendukung permodalan petani
Pembentukan Tim Percepatan Pelaksanaan Anggaran
(TEPPA) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TAPD)
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN
PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Penyaluran pinjaman oleh sektor perbankan di wilayah Jawa pada triwulan III 2015 (berdasarkan lokasi proyek)
tumbuh meningkat bila dibandingkan kuartal sebelumnya (Grafik III.26). Hal ini sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi wilayah Jawa yang mulai membaik. Total penyaluran kredit mencapai angka Rp 2.753 triliun atau
memiliki share sebesar terhadap nasional (69%), tumbuh 11,12% (yoy), di atas pertumbuhan periode
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
sebelumnya yang sebesar 10,67% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh pertumbuhan penyaluran pada
kredit investasi dan kredit konsumsi, sedangkan kredit modal kerja justru mengalami perlambatan
pertumbuhan. Di sisi lain, pertumbuhan kredit diikuti juga oleh meningkatnya penghimpunan Dana Pihak
Ketiga (DPK) sebesar 14,03% (yoy), lebih tinggi bila dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
13,40% (yoy). Jumlah DPK yang dihimpun dalam wilayah Jawa mencapai Rp 3.466 triliun atau setara dengan
77% DPK di seluruh wilayah Indonesia. Secara umum, di tengah meningkatnya pertumbuhan pertumbuhan
kredit, kualitas kredit yang disalurkan masih tetap terjaga meski rasio non performing loan (NPL) mengalami
sedikit kenaikan dari 2,25% menjadi 2,41% pada kuartal III 2015. Dengan akselerasi pertumbuhan DPK yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit, maka Loan to Deposit Ratio (LDR) sedikit
menurun ke level 79,42%, atau lebih rendah dari LDR triwulan III 2015 yang berada pada level 80,62%.
Grafik III.26. Perkembangan Kredit & Dana Pihak Ketiga
Grafik III.27. Perkembangan Kredit Korporasi & RT
Ketahanan Sektor Korporasi
Peningkatan fungsi intermediasi perbankan dalam penyaluran kredit ke sektor korporasi cenderung
meningkat. Pertumbuhan penyaluran kredit kepada sektor korporasi berada pada level 11,56% (yoy),
meningkat bila dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 10,30%(yoy) (Grafik III.27). Pertumbuhan kredit
korporasi masih didukung dengan rasio NPL yang masih terjaga pada level 2,36% (Grafik III.28). Hingga
triwulan III 2015, sektor industri pengolahan (dengan share 34%) dan sektor perdagangan (dengan share 17%)
masih menjadi sektor unggulan terbesar bagi sektor korporasi. Pemberian pinjaman untuk kedua sektor
tersebut meningkat sebesar 17,27% (yoy) untuk sektor industri pengolahan dan 11,85% (yoy) untuk sektor
perdagangan. Namun perlu diwaspadai, meningkatnya pertumbuhan kredit untuk sektor industri pengolahan
36
dan sektor perdagangan, diikuti dengan peningkatan rasio NPL (Grafik III.28). Sementara itu, kredit
perbankan ke sektor utama lainnya yakni sektor pertanian, juga meningkat cukup signifikan dari 23,98% (yoy)
menjadi 29,62% (yoy) pada akhir triwulan III 2015 meski di tengah perlambatan pertumbuhan sektor
pertanian. Hal tersebut diprakirakan sebagai salah satu bentuk persiapan petani yang mulai memasuki periode
masa tanam berikutnya.
Sementara itu bila dilihat secara spasial, Provinsi Banten (dengan share sebesar 8%) mengalami peningkatan
37
penyaluran kredit korporasi tertinggi (Grafik III.29). Namun apabila dilihat secara keseluruhan, meningkatnya
kredit korporasi di wilayah Jawa terutama didorong oleh Provinsi DKI Jakarta, dengan share kredit korporasi
tertinggi (59%) yang tumbuh meningkat dari sebesar 8,72% (yoy) menjadi 10,16% (yoy) pada triwulan III 2015.
Hal tersebut terutama disumbang oleh penyaluran kredit investasi. Peningkatan kredit korporasi juga terjadi di
36
Tercatat NPL Industri Pengolahan meningkat dari 2,18% (Tw II 2015) menjadi 2,52%, sedangkan sektor perdagangan meningkat dari
3,09% menjadi 3,45%.
37
Pertumbuhan kredit di Banten naik menjadi 18,51% (yoy) dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 14,24% (yoy)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
Jawa Barat (memiliki share sebesar 13%) yang tumbuh menjadi 9,82% (yoy) pada triwulan laporan dari
sebelumnya sebesar 7,94% (yoy).
Grafik III.28. Kredit Korporasi Sektor Utama
Grafik III.29. Pertumbuhan Kredit Korporasi Spasial
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Penyaluran kredit bagi sektor rumah tangga juga mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya,
atau berada pada level 10,81% (yoy) (Grafik III.30). Peningkatan tersebut didorong oleh pertumbuhan kredit
kepemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB) dan Kredit Kepemilikan Apartemen/Ruko (KPA).
Hal ini merupakan dampak pelonggaran aturan loan to value. Jumlah total kredit KPR dan KPA yang telah
diberikan di wilayah Jawa per posisi triwulan III 2015 mencapai Rp 244 triliun atau mengalami pertumbuhan
sebesar 8,04% (yoy), meningkat bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal II 2015 yang hanya
2
sebesar 4,81% (yoy). Pertumbuhan KPR di wilayah Jawa terutama untuk pembiayaan rumah dengan tipe 22 m
2
sampai dengan 70 m yang mampu meningkat 14,0% (yoy), di atas pencapaian periode sebelumnya yang
2
2
sebesar 10,78% (yoy). Sedangkan untuk rumah dengan tipe <21 m dan tipe >70 m justru mengalami
perlambatan. Namun demikian, pertumbuhan penyaluran KPR perlu diwaspadai mengingat kualitas KPR sedikit
menurun, dimana rasio NPL mulai meningkat dari 2,16% menjadi 2,27% pada kuartal III 2015 (Grafik III.31).
Grafik III.30. Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga
Grafik III.31. NPL Kredit Sektor Rumah Tangga
Pemberian kredit kendaraan bermotor (KKB) di wilayah Jawa juga menunjukkan peningkatan dari 5,78% (yoy)
menjadi 6,94% (yoy) pada triwulan III 2015. Hal ini dikarenakan meningkatnya konsumsi masyarakat pada hari
raya Idul Fitri (faktor seasonal) dan pelonggaran aturan LTV melalui Peraturan Bank Indonesia yang
berdampak positif terhadap permintaan KKB. Namun sama halnya dengan KPR, peningkatan pertumbuhan KKB
juga diikuti dengan penurunan kualitas KKB, dimana tingkat rasio NPL KKB cenderung meningkat ke level 1,29%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
dari sebelumnya 1,10%. Di sisi lain, pertumbuhan dari kredit multiguna relatif melambat dibandingkan triwulan
38
sebelumnya , dengan kualitas kredit yang masih cukup terjaga dan stabil pada level 1,16%.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Penyaluran kredit untuk sektor UMKM di wilayah Jawa pada triwulan III 2015 menunjukkan peningkatan,
setelah mengalami perlambatan yang cukup dalam di triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit UMKM
menjadi 8,66% (yoy) di triwulan laporan dari sebelumnya 7,14% (yoy) (Grafik III.32). Namun membaiknya
pertumbuhan kredit tidak diikuti meningkatnya kualitas kredit yang tercermin dari rasio tingkat NPL yang
meningkat. Tingkat NPL kredit UMKM pada kuartal III 2015 berada pada angka 4,15%, di atas level triwulan
sebelumnya yang sebesar 4,01%. Menurunnya kualitas kredit, salah satunya dipengaruhi oleh melemahnya
konsumsi swasta yang pada akhirnya menurunkan kemampuan rentabilitas dari pelaku usaha pada skala
UMKM. Secara spasial per provinsi, kredit UMKM dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi DKI Jakarta
mengalami perlambatan dibandingkan sebelumnya (Grafik III.33). Sementara untuk provinsi lainnya di wilayah
Jawa mampu mencatatkan peningkatan pertumbuhan kredit UMKM. Rasio NPL untuk seluruh provinsi
mengalami peningkatan kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta yang kualitas kreditnya membaik dari
sebelumnya 3,28% menjadi 3,09% pada triwulan laporan. Sementara itu, share kredit UMKM terhadap total
kredit outstanding di wilayah Jawa menurun tipis dari 16,57% menjadi 16,0% pada bulan September 2015.
Grafik III.32. Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM
Grafik III.33. Penyaluran Kredit UMKM Spasial
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Pada triwulan III 2015, nilai transaksi non-tunai dari penggunaan fasilitas Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (BI RTGS) terkontraksi sebesar -12,61 % (yoy) bila dibandingkan periode sebelumnya (Grafik III.34).
Secara spasial, penurunan nilai transaksi RTGS terjadi di seluruh provinsi, terkecuali pada Daerah Istimewa
Yogyakarta. Transaksi RTGS terbesar masih terpusat di Provinsi DKI Jakarta dengan kontribusi mencapai
82,26% dari total transaksi keseluruhan wilayah Jawa. Melambatnya transaksi RTGS di wilayah Jawa sejalan
dengan melemahnya konsumsi swasta maupun rumah tangga yang tidak sekuat periode yang sama tahun lalu.
Sejalan dengan menurunnya nominal transaksi RTGS pada triwulan III 2015, maka volume transaksi di wilayah
Jawa juga mengalami penurunan atau tumbuh negatif sebesar 46,98% (yoy) dengan transaksi yang tercatat
sebesar 1,15 juta lembar.
38
Pertumbuhan kredit multiguna tumbuh lebih rendah dari 27,3% menjadi 23,1%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
Grafik III.34. Transaksi RTGS
Grafik III.35. Transaksi Kliring
Sejalan dengan penurunan transaksi RTGS, transaksi yang menggunakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) pada triwulan III 2015 juga menurun (Grafik III.35). Nilai transaksi SKNBI tercatat sebesar
Rp579 T atau hanya tumbuh sebesar 0,33% (yoy), lebih rendah bila dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Secara volume, transaksi SKNBI tercatat sebesar 23,2 juta lembar, tumbuh melambat sebesar 0,3% (yoy)
dibandingkan periode sebelumnya. Meski peraturan pengiriman dana di bawah Rp 100 juta harus melalui
SKNBI telah diimplementasikan, namun jumlah nominal transaksi SKNBI masih belum menunjukkan
peningkatan.
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
39
Pada triwulan III 2015, wilayah Jawa masih mengalami net-inflow di sebagian besar provinsi (Grafik III.36).
Kondisi tersebut disebabkan oleh karakteristik Jawa sebagai daerah produksi yang menyalurkan produknya
keluar wilayah Jawa. Pada triwulan III 2015 hanya provinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta
mengalami net-outflow. Secara keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net inflow sebesar Rp4,25 triliun pada
triwulan III 2015 sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan priode yang sama pada tahun 2014 yang
mengalami net inflow sebesar Rp4,27 triliun.
Grafik III.36. Perkembangan Netflow
Grafik III.37. Temuan UPAL
Jumlah uang palsu (UPAL) yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan III 2015 meningkat bila
dibandingkan kuartal sebelumnya (Grafik III.37). Jumlah UPAL yang ada di Bank Indonesia sebanyak 36.183
lembar. Meningkatnya laporan UPAL di Jawa tidak terlepas dari membaiknya tingkat awareness masyarakat
dan perbankan terhadap uang palsu, yang didukung oleh peran aktif kepolisian bersama instansi terkait dalam
menindak kejahatan pemalsuan uang. Peningkatan pemahaman terkait ciri-ciri keaslian uang akan terus
ditingkatkan agar masyarakat dapat semakin waspada dalam membedakan uang asli dengan uang yang
diragukan keasliannya.
39
Net-Inflow adalah kondisi ekonomi ketika lebih banyak uang yang masuk (cash inflow) dibandingkan dengan uang yang keluar (cash
outflow)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016 diperkirakan tumbuh di kisaran 5,3%-5,7% (yoy), lebih tinggi dari
prakiraan tahun 2015 di kisaran 5,28% (yoy). Dari sisi domestik, berbagai pembangunan infrastruktur akan
menjadi sumber utama penggerak roda ekonomi secara keseluruhan, terutama bagi daerah di sekitar lokasi
proyek. Sejalan dengan kondisi tersebut, permintaan diperkirakan akan membaik tercermin dari optimisme
penghasilan yang meningkat pada Survei Konsumen. Hal ini sejalan prakiraan pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi. Selain itu, paket kebijakan pemerintah yang dikeluarkan mulai semester II 2015 dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi akan mulai memberikan dampak secara bertahap ke depan. Dari faktor global,
membaiknya perekonomian negara mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat, China dan Eropa akan
meningkatkan permintaan komoditas ekspor dalam negeri. Pergerakan nilai tukar yang diprediksi bergerak
stabil serta meningkatnya investment grade dari lembaga Fitch Rating terhadap Indonesia dapat meningkatkan
sentimen positif investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dan Jawa khususnya. Berbagai optimisme
tersebut, sejalan dengan membaiknya indikator pertumbuhan ekonomi yang berasal dari domestik dan global.
Namun terdapat beberapa risiko yang berpotensi menghambat laju perekonomian Jawa. Tertundanya belanja
fiskal Pemda akibat penyesuaian pejabat daerah paska Pilkada serentak pada akhir tahun 2015 dapat menunda
keberlanjutan pembangunan di daerah. Selain itu, belum pulihnya harga komoditas tambang dan perkebunan
dikhawatirkan juga turut mempengaruhi kinerja ekonomi khususnya wilayah luar Jawa yang berpotensi
mengganggu kinerja perdangangan antar daerah. Faktor risiko lainnya yaitu anomali cuaca La Nina yang
berpotensi mengakibatkan banjir dapat mengganggu kinerja sektor pertanian sebagai salah satu sektor
pendukung perekonomian di Jawa. Dalam menghadapi berbagai risiko tersebut, Bank Indonesia bekerjasama
dengan pihak terkait perlu mengawasi dinamika perekonomian domestik dan global serta menetapkan bentuk
bauran kebijakan yang tentu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Jawa pada khususnya.
Prospek Inflasi
Tingkat inflasi wilayah Jawa pada tahun 2016 diprakirakan akan berada di atas pencapaian inflasi tahun 2015,
namun masih berada dalam kisaran target inflasi 2016 sebesar 4±1%. Tekanan inflasi pada tahun 2016
diprakirakan akan lebih besar seiring dengan meningkatnya risiko inflasi pada semua kelompok inflasi dan di
seluruh daerah wilayah Jawa. Dari kelompok administered prices, rencana penyesuaian harga untuk beberapa
komoditas, seperti LPG dan Tarif Tenaga Listrik (TTL) diperkirakan akan memberikan tekanan yang cukup
besar, ditambah dengan adanya potensi penyesuaian harga BBM bersubsidi (Premium dan Solar). Sementara
itu, tekanan juga akan berasal kelompok volatile food, dimana dampak El Nino akan memberikan tekanan
terhadap komoditas beras pada awal tahun 2016. Dampak El Nino tersebut meningkatkan inflasi pada produk
turunan beras seperti nasi dengan lauk. Seiring dengan berakhirnya fenomena El Nino di penghujung tahun
2015, maka risiko selanjutnya yang dikhawatirkan adalah dampak La Nina, yang secara historis berpotensi
untuk menyebabkan banjir yang dapat merusak tanaman pangan di beberapa daerah pada tahun 2016.
Tekanan inflasi pada kelompok inti diprakirakan relatif moderat dibandingkan dua kelompok lainnya. Meskipun
demikian, perlu diwaspadai risiko dampak lanjutan menguatnya nilai tukar US Dollar terhadap barang-barang
konsumsi, khususnya barang impor. Dengan meningkatnya tekanan inflasi pada tahun 2016, maka peran aktif
dari TPID akan sangat diperlukan dalam menjaga kestabilan harga di daerah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
Pengembangan ekonomi Jawa masih memerlukan ketersediaan infrastruktur yang memadai dan dapat
menjamin keterhubungan yang baik antar seluruh daerah di Jawa. Memperhatikan kemajuan ekonomi Jawa
saat ini yang relatif lebih baik di sepanjang Jawa bagian utara, mengindikasikan ketimpangan sarana dan
prasarana pendukung terutama infrastruktur. Kesenjangan pembangunan Jawa utara dan selatan, pada
akhirnya juga mempengaruhi keseimbangan Jawa bagian barat, tengah, dan timur. Untuk itu, pengembangan
akses infrastruktur yang menghubungkan dari barat ke pantai timur maupun utara ke selatan mutlak
diperlukan guna mendukung aksesibilitas orang maupun barang. Upaya untuk mengatasi persoalan
ketimpangan pembangunan pantai utara dan selatan Jawa perlu diselaraskan dalam mendukung
pembangunan sektor manufaktur dan pariwisata.
Berdasarkan klasifikasi tipologi klassen dengan menggunakan data rata-rata pertumbuhan ekonomi dan ratarata PDRB per kapita, dapat terlihat bahwa kawasan selatan masih relatif tertinggal dibandingkan kawasan
utara Jawa. Hal ini terlihat dari persentase jumlah kabupaten/kota di kawasan selatan Jawa yang tergolong
sebagai daerah tertinggal (kuadran III) masih lebih tinggi dibandingkan kawasan utara Jawa. Selain itu, 54%
kabupaten/kota di daerah selatan masih memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah angka nasional, sementara
di daerah utara hanya 42% yang berada di bawah angka nasional Sementara itu, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti antara daerah-daerah di pantai utara
dengan pantai selatan. Meski tingkat kemiskinan lebih terkonsentrasi di daerah pantai selatan, namun alokasi
belanja pendidikan yang lebih besar di daerah pantai selatan, yakni 45% dibandingkan di utara 34%,
diharapkan dapat mengatasi ketimpangan dalam hal kualitas sumber daya manusia.
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.38. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dengan
PDRB per Kapita
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.39. Indikator Kualitas Sumber Daya Manusia
Sementara itu, ketersediaan infrastruktur di Jawa, baik pelabuhan, bandara maupun jaringan rel kereta api,
masih terpusat di pantai utara. Semisal ketersediaan jaringan kereta api barang, yang terindikasi dari jumlah
stasiun origin pengiriman barang. Demikan halnya dengan infrastruktur jalan, sebagaimana tercermin dari
konektivitas pantai utara yang sudah terhubung dari Provinsi Banten hingga Provinsi Jawa Timur. Di jalur
pantai selatan, masih terdapat beberapa ruas di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang masih belum terhubung
(+157 km). Kondisi masih rendahnya keterhubungan di pantai selatan ini diperparah dengan kualitas jalan yang
tidak memadai. Indikator rasio jumlah kerusakan jalan kab/kota pantai selatan lebih tinggi, yaitu 39,94%
dibandingkan Pantai Utara (31,82%). Indikator rasio kerapatan jalan juga mengindikasikan bahwa tingkat
kemudahan dalam menjangkau antar daerah yang dihubungkan oleh infrastruktur jalan di Pantai Selatan lebih
rendah.
Kemajuan ekonomi pantai utara tidak terlepas dari daya dukung infrastrukturnya yang lebih memadai,
khususnya bagi berkembangnya industri pengolahan. Dari 85 ribu perusahaan industri terdaftar di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
Kemenperin, 67% terdapat di sepanjang pantai utara. Sementara itu, di pantai selatan Jawa lebih didominasi
sektor pariwisata, meskipun masih banyak yang belum tereksplorasi, dengan keterbatasan infrastruktur yang
ada. Kesenjangan tersebut berpotensi menjadi semakin lebar seiring dengan beberapa proyek strategis
pemerintah yang direncanakan masih dipusatkan pada Pantai Utara Jawa. Selain itu akses keuangan Pantai
Utara juga lebih baik dibandingkan Selatan, yang tercermin dari rasio antara jaringan kantor bank terhadap
luas daerah. Tercatat Pantai Utara memiliki rasio 0,37, lebih tinggi dari Pantai Selatan (0,12).
Sumber: Kemenhub (diolah)
Grafik III.40. Pemetaan Kondisi Infrastrktur di Wilayah Jawa
Dalam hal pemerataan beban jalan, Pemerintah telah melakukan penyeimbangan melalui mekanisme moda
share, sehingga beban angkutan tidak terkonsentrasi hanya melalui jalan darat. Selain itu, Kementerian terkait
telah berupaya melakukan pengembangan jaringan jalan yaitu Jalan Penghubung Lintas, Lintas Utara, Lintas
Tengah, Lintas Selatan dan Lintas Pantai Selatan serta pembangunan expressway Pulau Jawa. Untuk
mendukung pembangunan yang lebih merata melalui peningkatan daya saing industri manufaktur dan
optimalisasi peran pariwisata dalam pertumbuhan ekonomi di wilayah Jawa, diperlukan sinergitas antar
kawasan (kabupaten, kota, provinsi dan kementerian terkait). Hal ini dikarenakan pada perencanaan dan
realisasi pembangunan atau pengembangan infrastruktur akan melibatkan banyak pihak dan membutuhkan
keputusan dari berbagai instansi terkait. Salah satu cara lain untuk dapat segera menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang merata antara kawasan utara dan selatan yaitu dengan mendorong penanaman modal ke arah
kawasan selatan dan memberikan insentif seperti tax holiday kepada investor yang akan melakukan
penanaman modal di kawasan selatan.
Tabel III.2. Pemetaan Kondisi Infrastruktur di Wilayah Jawa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
Perekonomian Kalimanta
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Kalimantan pada triwulan III 2015 untuk pertama kalinya mengalami kontraksi pertumbuhan
dalam 10 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan triwulan III 2015 mengalami kontraksi 0,41%
(yoy), atau turun dari sebelumnya 1,09% (yoy) pada triwulan II 2015. Kontraksi pertumbuhan terutama
bersumber dari penurunan sektor pertambangan Kalimantan Timur yang sangat dalam, akibat produksi
batubara yang tumbuh negatif dan lifting gas alam yang melambat. Selain itu, pertumbuhan yang menurun
juga disumbang oleh permintaan komoditi CPO yang melemah, khususnya dari Eropa karena stok komoditas
subtitusi CPO, rapeseed oil, yang melimpah. Sektor pertambangan yang terkontraksi lebih dalam dan
pelemahan perkebunan, berimbas menekan kinerja ekspor lebih dalam. Sementara itu, impor mengalami
peningkatan terutama impor barang modal, yang digunakan untuk penyelesaian proyek smelter di Kalimantan
Barat serta beberapa proyek pemerintah.
Memasuki triwulan IV 2015, pertumbuhan ekonomi Kalimantan diperkirakan mulai tumbuh membaik meski
masih cenderung terbatas. Perekonomian Kalimantan diperkirakan tumbuh tipis menjadi 0,01% (yoy) pada
triwulan IV 2015. Perbaikan pertumbuhan didorong oleh industri pengolahan, terutama LNG karena adanya
peningkatan lifting gas alam. Sejalan dengan hal tersebut, ekspor LNG ke luar negeri meningkat utamanya ke
Jepang. Hal tersebut didukung oleh berbagai indikator perekonomian, antara lain prognosa lifting gas alam,
yang tumbuh meningkat.
Secara keseluruhan tahun, perekonomian Kalimantan tumbuh melambat pada tahun 2015 pada kisaran 0,54%
(yoy), atau lebih rendah dari tahun sebelumnya (3,19%, yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh kontraksi
yang terjadi pada sektor pertambangan. Di samping itu, melemahnya permintan batubara global disertai harga
yang cenderung terus menurun berdampak negatif pada kinerja sektor pertambangan. Demikian halnya
dengan industri hasil perkebunan yang cenderung tumbuh melambat sepanjang tahun 2015 akibat produksi
yang menurun seiring dengan rendahnya harga di pasar ekspor. Penurunan kinerja pertambangan dan
perkebunan pada gilirannya berimbas pada melemahnya konsumsi masyarakat.
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Pertumbuhan konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai
daerah di Kalimantan meningkat pada triwulan III 2015. Provinsi yang mengalami pertumbuhan konsumsi
swasta tertinggi antara lain Kalimantan Selatan (5,75%) dan Kalimantan Tengah (4,96%). Meningkatnya
konsumsi swasta utamanya lebih didorong oleh meningkatnya aktivitas lembaga atau organisasi politik
menjelang pelaksanaan Pilkada serentak di beberapa daerah yang mendorong peningkatan konsumsi lembaga
swasta nirlaba. Dari sisi konsumsi rumah tangga, peningkatan dipengaruhi oleh adanya beberapa event
perayaan hari besar keagamaan seperti Ramadhan, Idul Adha, serta periode tahun ajaran baru dan liburan
sekolah. Hal tersebut sejalan dengan Survei Tendensi Konsumen yang menunjukan peningkatan optimisme
pada triwulan III 2015 (Grafik IV.1). Selain itu, peningkatan konsumsi rumah tangga terlihat dari hasil liaison
dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang masing-masing menunjukkan terjadinya kenaikan penjualan
domestik dan kecenderungan peningkatan realisasi kegiatan usaha. Namun, peningkatan konsumsi rumah
tangga tertahan oleh menurunnya pendapatan karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan
pertambangan. Perkembangan konsumsi swasta juga terlihat dari penghimpunan DPK dan penyaluran kredit
(Grafik IV.2). Dana Pihak Ketiga (DPK) menunjukan kecenderungan perlambatan pada triwulan III, khususnya
pada deposito, sementara penyaluran kredit konsumsi tercatat tinggi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK)
Grafik IV.2. Pertumbuhan Tahunan Kredit Konsumsi
Memasuki triwulan IV 2015, konsumsi swasta diperkirakan masih terus melanjutkan tren peningkatan
pertumbuhan. Optimisme konsumen dalam memandang perekonomian ke depan masih terjaga, hal tersebut
terkonfirmasi dari Indeks Tendensi Konsumen di triwulan IV, yang masih berada pada level yang cukup tinggi
(Grafik IV.1). Selain itu, hasil liaison dan SKDU kepada pelaku usaha perdagangan hotel dan restoran,
menunjukkan optimisme pelaku usaha akan terjadinya peningkatan penjualannya dan kenaikan margin, serta
perkiraan terjadinya peningkatan kegiatan usaha. Dari sisi pembiayaan, diperkirakan konsumen masih
menggunakan dana di perbankan untuk membiayai konsumsi mereka. Hal tersebut terkonfirmasi dari hasil
Survei Konsumen yang memperlihatkan jumlah konsumen memanfaatkan kartu kredit dan kredit lainnya
cenderung sedikit meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Selain itu hasil Survei Konsumen juga
menunjukkan adanya penurunan penggunaan deposito oleh konsumen, yang diindikasikan untuk membiayai
kebutuhan konsumen di tengah belum pulihnya perekonomian Kalimantan.
Secara kumulatif tahun 2015, konsumsi rumah tangga diproyeksikan akan melambat dibandingkan dengan
tahun 2014. Melemahnya konsumsi rumah tangga sejalan dengan menurunnya kinerja sektor utama
Kalimantan (pertanian, industri dan pertambangan) yang menurunkan ketersediaan lapangan pekerjaan, yang
pada akhirnya berimbas pada penurunan pendapatan rumah tangga. Perkembangan kredit konsumsi sampai
dengan September juga mengindikasikan adanya penurunan pertumbuhan pada tahun berjalan 2015 apabila
dibandingkan dengan tahun 2014.
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan periode sebelumnya. Masih terbatasnya
penyerapan anggaran, terutama di Kalimantan Timur, menyababkan pertumbuhan konsumsi pemerintah
masih terbatas. Sampai dengan triwulan III 2015 belanja pemerintah daerah Kalimantan Timur tercatat sebesar
45,10% dari anggaran atau lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu
sebesar 49,39% (Grafik IV.3). Selain itu, tingkat konsumsi pemerintah yang nilainya tidak terpaut jauh pada
tahun 2015 dan 2014, terkonfirmasi dari penempatan dana PEMDA di perbankan khususnya pada bulan
September 2015 yang hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan posisi September 2014 (Grafik IV.4).
Tingginya pertumbuhan konsumsi pemerintah Kalimantan Timur pada triwulan III 2014, akibat telatnya
pencairan dana bagi hasil pada tahun tersebut, sehingga memberikan efek perlambatan pada periode yang
sama tahun 2015.
Memasuki triwulan IV 2015, konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan berada pada tren yang melambat.
Terbatasnya realisasi konsumsi pemerintah diperkirakan masih berlangsung hingga akhir tahun. Meski
demikian, secara keseluruhan tahun 2015, konsumsi pemerintah diperkirakan akan meningkat dibandingkan
dengan tahun 2014. Tren peningkatan terutama terjadi pada semester pertama, meski peningkatan tersebut
tertahan akibat perlambatan konsumsi pemerintah pada semester kedua. Peningkatan konsumsi pemerintah
pada semester pertama, antara lain disebabkan oleh terhambatnya pola konsumsi di Kalimantan Timur pada
semester pertama tahun 2014, pasca terlambatnya pencairan Dana Bagi Hasil pada tahun 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
Sumber: DJPK, Biro Keuangan Provinsi
Grafik IV.3. Realisasi Konsumsi Pemda
Grafik IV.4. Penempatan Dana Pemda di Perbankan
INVESTASI
Investasi Kalimantan pada triwulan III 2015 meningkat, dengan peningkatan terjadi di hampir seluruh provinsi.
Provinsi yang tercatat mengalami kenaikan investasi pertumbuhan tertinggi adalah Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Peningkatan pertumbuhan investasi terutama terkait dengan
pembangunan smelter sebagaimana terindikasi dari kenaikan impor barang modal. Selain itu, terdapat
beberapa proyek yang mulai dikerjakan pada triwulan III, antara lain pembangunan PLTU di Tabalong
(Kalimantan Selatan), pengembangan gas di Tarakan (Kalimantan Utara), serta perbaikan jalan di beberapa
daerah di Kalimantan. Realisasi investasi Penanaman Modal Asing juga mengindikasikan terjadinya
peningkatan. Pada aspek pembiayaan, kredit investasi mengindikasikan terjadinya peningkatan pada triwulan
III 2015, apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hasil survei kegiatan dunia usaha, juga
mengkonfirmasi kondisi investasi pada triwulan III 2015 yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II
2015. Meski demikian, secara umum investasi bangunan melambat dibandingkan periode sebelumnya yang
terkonfirmasi dari kinerja sektor konstruksi.
Sumber: BKPM, diolah
Grafik IV.5. Realisasi PMA di Kalimantan
Sumber: BKPM, diolah
Grafik IV.6. Realisasi PMDN di Kalimantan
Memasuki triwulan IV 2015, investasi diperkirakan tetap tumbuh meningkat. Masih tingginya pertumbuhan
investasi didorong oleh penyelesaian smelter di Kalimantan Barat. Melihat secara keseluruhan tahun 2015,
investasi Kalimantan diperkirakan relatif stabil pada level yang tinggi. Hal tersebut, terutama disebabkan oleh
masih banyaknya penyelesaian proyek infrastruktur di berbagai provinsi di Kalimantan, serta pembangunan
smelter di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan sehingga mendorong investasi pada tahun 2015.
Ekspor
Ekspor Kalimantan pada triwulan III 2015 terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan triwulan II 2015.
Penurunan tersebut terutama dipengaruhi oleh melambatnya ekspor antar daerah dan ekspor luar negeri yang
masih terkontraksi. Melambatnya ekspor antar daerah sejalan dengan menurunnya produksi CPO dan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
batubara untuk domestik. Sementara kontraksi yang masih dialami ekspor luar negeri disebabkan oleh
penurunan ekspor migas dan batubara (Grafik IV.7.), terutama ke India. Adapun provinsi yang mengalami
penurunan ekspor paling dalam adalah Kalimantan Timur yang merupakan daerah eksportir komoditas
tambang, sementara ekspor provinsi lainnya masih tumbuh meskipun cenderung melambat.
Memasuki triwulan IV 2015, total ekspor diperkirakan membaik. Perbaikan ekspor utamanya didorong oleh
ekspor antar daerah yang meningkat didukung perbaikan industri olahan. Kembali normalnya cuaca pada
bulan November mendorong produksi pertanian khususnya tanaman bahan makanan. Namun, ekspor luar
negeri diperkirakan masih terkontraksi. Produksi batubara diperkirakan tidak dapat mencapai target produksi
yang ditetapkan, sedangkan dari sisi harga masih belum ada perbaikan harga komoditas dimaksud. Hal
tersebut terkonfirmasi dari hasil liaison pada bulan Oktober 2015, yang menunjukkan belum adanya
kecederungan perbaikan ekspor luar negeri sebagaimana tercermin pada likert scale penjualan ekspor yang
lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Belum membaiknya kinerja ekspor sektor pertambangan,
terutama komoditas batubara menjadi faktor utama tertahannya pertumbuhan ekspor Kalimantan.
Untuk keseluruhan tahun 2015, perkembangan ekspor Kalimantan diperkirakan tumbuh negatif. Kinerja
produksi batubara dan harga komoditas tersebut yang masih dalam tren menurun menjadi faktor utama
terkontraksinya pertumbuhan ekspor. Selain itu, beberapa faktor lain seperti kinerja sektor perkebunan juga
diperkirakan belum membaik, produksi smelter masih belum optimal dan ekspor mineral yang semula akan
dimulai pada tahun 2015 masih belum dapat terealisir sehingga akan menyebabkan ekspor terkontraksi cukup
dalam pada tahun 2015. Sejalan dengan perlambatan produksi CPO sejak awal tahun, ekspor antar daerah juga
mengalami perlambatan. Selain itu, tidak tercapainya target serapan batubara domestik juga turut berperan
terhadap perlambatan ekspor antar daerah.
Grafik IV.7. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Berdasar
Komoditas, %
Grafik IV.8. Likert Scale Penjualan Ekspor
Impor
Impor meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya dipengaruhi terutama oleh meningkatnya
aktivitas impor barang modal (Grafik IV.9.). Meningkatnya impor terutama terjadi di Provinsi Kalimantan Barat,
Selatan dan Timur seiring dengan berlanjutnya proses pembangunan industri olahan dan pembangunan
infrastruktur. Kenaikan impor luar negeri untuk penyelesaian smelter diperkirakan terus terjadi sampai akhir
2015. Selain itu, impor barang konsumsi di Kalimantan secara umum juga mengalami kenaikan sejalan dengan
konsumsi rumah tangga yang meningkat pada triwulan III 2015. Hal tersebut, pada akhirnya mendorong impor
secara keseluruhan di tahun 2015. Di sisi lain, impor antar daerah tumbuh melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
Grafik IV.9. Pertumbuhan Impor Tahunan, %
KINERJA SEKTOR UTAMA DAERAH
Sektor Pertambangan
Pada triwulan III 2015 sektor pertambangan, yang merupakan sektor dengan pangsa terbesar di Kalimantan,
mengalami kontraksi semakin dalam. Sektor pertambangan terkontraksi sebesar 8,11% (yoy) atau lebih dalam
dibanding triwulan sebelumnya yang terkontraksi 3,36% (yoy). Menurunnya kinerja sektor pertambang
disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan lifting migas akibat sudah tuanya sumur dan turunnya produksi
batubara akibat rendahnya permintaan global. Menurunnya permintaan batubara oleh India, terutama
disebabkan adanya peningkatan produksi batubara di negara tersebut. Penurunan permintaan dari Tiongkok
terjadi karena perlambatan ekonominya menyebabkan permintaan energinya berkurang. Selain itu, kebijakan
pengurangan polusi dengan shifting sumber energi menjadi lebih bersih seperti energi terbarukan dan gas juga
turut memengaruhi permintaan batubara secara umum. Sedikit meningkatnya ekspor ke Tiongkok pada
triwulan laporan bersifat temporer karena adanya penambang di Tiongkok sempat menurunkan produksi di
awal triwulan III untuk menahan kerugian di tengah koreksi harga yang masih terus berlangsung.
Pada triwulan IV 2015, kinerja sektor pertambangan diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam hingga
mencapai -8,94% (yoy). Hal tersebut terutama disebabkan oleh penurunan produksi batubara dan minyak
bumi. Selain itu, permintaan ekspor dari Tiongkok, India dan Korea Selatan diperkirakan masih cenderung
lemah. Faktor utama yang menahan permintaan di pasar Tiongkok adalah akibat perlambatan ekonomi dan isu
pencerman lingkungan. Selain itu, pasar India mulai meningkatkan produksi Coal India Ltd (BUMN, satusatunya produsen batubara) sehingga secara tidak langsung menyebabkan tertahannya permintaan akan
batubara dari negara lain. Dampak penerapan pajak impor batubara di Korea Selatan sejak 2014 sudah mulai
memberikan dampak negatif pada ekspor Indonesia, yakni mulai terjadinya shifting permintaan Korea ke
Australia. Faktor lain yang menghambat pertumbuhan sektor pertambangan adalah semakin ketatnya
kompetisi di pasar ekspor batubara dunia, pasca masuknya Afrika Selatan sebagai eksportir besar baru di dunia
yang berekspansi ke Asia.
Selain batubara, produksi minyak juga menjadi faktor penahan pertumbuhan, dengan prognosa produksi
minyak bumi pada triwulan IV 2015 diperkirakan turun hingga terkontraksi sampai dengan 37,6% (yoy). Di sisi
lain, prognosa lifting gas mengalami peningkatan sampai 7,3% (yoy), sehingga menahan turunnya kinerja
sektor pertambangan lebih dalam.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
76
74
72
70
68
66
64
62
60
58
Produksi
(juta ton)
I
II
III
2013
IV
I
g. yoy (RHS)
II
III
2014
IV
I
(% yoy) 35
30
25
20
15
10
5
0
-5
-10
-15
II
III
2015
Sumber : IHS MCCloskey, diolah
Grafik IV.10. Produksi Batubara PKP2B Kalimantan
Sumber: KPPBC, diolah
Grafik IV.11. Pertumbuhan Ekspor Komoditas Batubara
Berdasarkan Provinsi
Sumber : Kementerian ESDM, diolah
Grafik IV.12.Lifting Gas Kalimantan
Sumber: Kementerian ESDM, diolah
Grafik IV.13.Lifting Minyak Kalimantan
Selama tahun 2015, sektor pertambangan diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan tahun
2014. Hal tersebut sejalan dengan penurunan produksi batubara sebagai dampak lesunya permintaan global,
terutama pasar Tiongkok. Konsumsi energi Tiongkok yang melambat, merespon pertumbuhan ekonominya
yang melambat dari 7,3% (yoy) menjadi 6,8% (yoy) serta usaha menekan emisi sehingga terjadi pergeseran
penggunaan sumber energi dari batubara menjadi gas alam dan energi terbaharukan. Selain itu, pasar
batubara Tiongkok semakin ketat pasca masuknya batubara Afrika Selatan. Demikian pula pasar India tidak
memberikan dampak yang maksimal pada permintaan batubara Kalimantan. Meskipun India mengalami
peningkatan permintaan energi karena peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 7,3% (yoy) menjadi 7,5%
(yoy), namun peningkatan permintaan energi diimbangi oleh peningkatan produksi batubara Coal India Ltd
dan masuknya Afrika Selatan sebagai kompetitor sehingga pasar batubara India semakin ketat.
Sektor Industri Pengolahan
Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan III 2015 membaik meski masih tumbuh pada level yang rendah.
Sektor industri pengolahan tumbuh dari -1,06% (yoy) menjadi 0,17% (yoy). Hal ini sejalan dengan hasil likert
scale Kalimantan yang mengindikasikan adanya perbaikan ekspor dari produk industri olahan pada triwulan III,
khususnya industri LNG dan karet. Produksi LNG tumbuh membaik dari -1,1% (yoy) menjadi 2,98% (yoy) (Grafik
IV.14.), dan produksi karet meningkat dari 13,6% (yoy) menjadi 35,3% (yoy). Meski demikian, kenaikan
pertumbuhan sektor dimaksud tertahan oleh perlambatan pada industri CPO dan pupuk. Melemahnya industri
CPO terutama disebabkan oleh turunnya permintaan Eropa di tengah mencukupinya stok rapeseed oil yang
merupakan produk substitusi CPO.
Pada triwulan IV 2015, industri olahan diperkirakan dapat terus membaik. Industri olahan diperkirakan tumbuh
4,50% (yoy) pada triwulan IV 2015. Perbaikan tersebut sejalan dengan hasil SKDU yang mengindikasikan
adanya perbaikan kegiatan dunia usaha dan prompt manufacturing index yang meningkat. Perbaikan
utamanya didukung oleh meningkatnya produksi LNG dan pupuk. Membaiknya produksi LNG disebabkan oleh
optimisme lifting gas, sehingga produksi LNG di triwulan IV 2015 berpotensi meningkat sampai dengan 15,8%
(yoy). Sementara itu, dengan beroperasinya pabrik PKT V dan tutupnya PKT I membuat kapasitas produksi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
pupuk urea dan amonia meningkat, masing-masing sebesar 18,7% (yoy) dan 13,8% (yoy). Di sisi lain, industri
hasil perkebunan sawit dan karet menjadi faktor penahan. Terus terkoreksinya harga karet menjadi pendorong
turunnya tingkat produksi, bahkan berdasarkan hasil liaison di Kalimantan Barat, penoreh karet sudah mulai
alih profesi menjadi petani lada dan sawit.
Indeks Produksi
140 (indeks)
g yoy (RHS)
(% yoy) 25
120
20
100
15
10
80
5
60
0
40
-5
20
-10
0
-15
I
II III IV
2012
Grafik IV.14. Produksi LNG Kalimantan
Sumber : KPPBC, diolah
Grafik IV.16.Ekspor Karet Luar Negeri Kalimantan
I
II III IV
2013
I
II III IV
2014
I
II III
2015
Grafik IV.15. Produksi Pupuk
Sumber: KPPBC, diolah
Grafik IV.17.Ekspor CPO Kalimantan ke luar Negeri
Pada keseluruhan tahun 2015, sektor industri pengolahan diperkirakan tumbuh melambat dari 2,19% (yoy)
menjadi 0,12% (yoy). Perlambatan terjadi di semua provinsi, dengan perlambatan yang terbesar terjadi di
Kalimantan Tengah. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya kinerja industri CPO dan
produksi kilang BBM. Perlambatan pada industri CPO terjadi akibat penerapan moratorium tahun 2011, yang
membekukan izin ekspansi lahan sawit di rawa dan gambut sehingga menyebabkan pertumbuhan lahan 4
tahun setelahnya (tahun 2015) mengalami perlambatan. Potensi perlambatan yang semakin dalam cukup
besar terkait dengan dampak kekeringan akibat el nino yang menyebabkan produktivitas CPO menurun. Selain
CPO, perlambatan juga disumbang oleh produksi kilang minyak di Balikpapan yang terindikasi turun sampai
dengan -2,6% (yoy). Di sisi lain, perkembangan produksi LNG berpotensi meningkat menjadi tumbuh 2,8%
(yoy) apabila lifting gas dapat terealisasi optimal. Produksi pupuk juga menjadi penopang pertumbuhan 2015
pasca beroperasinya PKT V pada bulan November 2015.
Sektor Pertanian
Sektor pertanian Kalimantan pada triwulan III 2015 tumbuh melambat dari 5,18% (yoy) menjadi 3,50% (yoy).
Arah pertumbuhan ini sejalan dengan hasil SKDU yang mengindikasikan terjadinya perlambatan di sektor
pertanian (Grafik IV.18). Secara spasial, perlambatan terjadi di semua provinsi Kalimantan kecuali Kalimantan
Barat. Perlambatan terutama disebabkan oleh melambatnya hasil produksi TBS sawit. Namun di sisi lain,
peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan menjadi penahan menurunnya sektor pertanian.
Produksi tanaman bahan makanan diperkirakan meningkat, khususnya produksi padi yang merupakan
implikasi dari peningkatan luas tanam karena mengeringnya lahan rawa akibat El Nino.
Sektor pertanian diperkirakan stabil pada triwulan IV 2015 dengan pendorong utama pertumbuhan dari
tanaman bahan makanan. Produksi padi diperkirakan meningkat sejalan dengan peningkatan luas lahan
melalui program Upaya Khusus (UPSUS) dan mengeringnya lahan rawa. Pada sisi lain, kenaikan tabama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
ditahan oleh penurunan perkebunan sawit dan karet. Moratorium lahan sawit tahun 2011, menjadi salah satu
penyebab penurunan kinerja produksi komoditas dimaksud. Sementara, pada komoditi karet, rendahnya harga
menjadi faktor penghambat kinerja produksinya. Perlambatan perkebunan membuat kinerja sektor pertanian
pada tahun 2015 secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2014.
Sumber : BPS, diolah
Grafik IV.18.Pertumbuhan Sektor Pertanian
Grafik IV.19.Realisasi SKDU Pertanian
PERKEMBANGAN INFLASI
Perkembangan inflasi di berbagai daerah Kalimantan sepanjang triwulan III 2015 relatif terjaga. Hal ini
tercermin dari laju kumulatif inflasi (year-to-date) periode Januari-September 2015 yang tercatat sebesar
3,57% (ytd), lebih rendah dibanding rata-rata periode yang sama dalam empat tahun terakhir yaitu sebesar
5,56% (ytd). Terjaganya inflasi terutama didukung oleh terkendalinya kenaikan harga pangan seiring dengan
terjaganya stok bahan makanan terutama beras. Tekanan inflasi di wilayah ini meningkat pada Juli 2015 yang
didorong oleh peningkatan permintaan memasuki periode Ramadhan. Beberapa komoditas yang menunjukkan
kenaikan harga antara lain daging ayam ras, telur, dan bawang merah. Berbagai upaya yang cukup intensif
dilakukan oleh pemerintah daerah bersama TPID dalam rangka menjaga kenaikan laju inflasi, antara lain
melalui penyelenggaraan pasar murah dan program komunikasi lainnya. Kegiatan tersebut dilakukan untuk
menahan tekanan kenaikan harga lebih lanjut. Pada bulan Agustus dan September, tekanan inflasi kembali
mereda yang tercermin pada penurunan laju inflasi tahunan pada periode dimaksud. Secara tahunan (year-onyear), inflasi di Kalimantan masih berada pada level yang tinggi karena pengaruh tingginya tekanan inflasi
volatile food akibat masih belum optimalnya ketersediaan sarana distribusi dan struktur pasar yang cenderung
oligopoli. Inflasi Kalimantan pada September 2015 tercatat sebesar 7,4% (yoy), dengan inflasi tertinggi terjadi
di Provinsi Kalimantan Barat (8,84%) dan Kalimantan Timur (7,33%).
Memasuki awal triwulan IV 2015, inflasi berbagai daerah di Kalimantan mengalami tekanan lebih tinggi. Pada
Oktober 2015, inflasi Kalimantan tercatat sebesar 0,28% (mtm) dan secara tahunan menjadi 7,55% (yoy), naik
dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik IV.20). Kenaikan inflasi terjadi utamanya pada kelompok
volatile foods akibat pasokan yang berkurang. Andil inflasi volatile foods terbesar berasal dari subkelompok
sayur-sayuran sebesar 0,21%. Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian, Kelautan dan Perkebungan (DPKP)
Kota Balikpapan mayoritas petani sayuran dataran rendah (sawi hijau, kangkung, bayam) mengalami gagal
panen akibat kekeringan. Selain itu, sub kelompok ikan segar yang memberikan andil inflasi cukup besar yakni
0,02%, juga mengalami kenaikan inflasi khususnya pada komoditas ikan gabus di Provinsi Kalimantan Selatan.
Kemarau panjang menyebabkan rawa yang merupakan habitat ikan gabus kekeringan sehingga pasokan ikan
gabus menurun cukup signifikan. Di sisi lain, faktor penahan kenaikan harga volatile foods berasal dari deflasi
pada subkelompok daging dan hasilnya serta bumbu-bumbuan. Sejumlah komoditas hortikultura seperti cabe
merah mengalami penurunan harga. Bahkan koreksi harga cabai merah di Kalimantan Selatan merupakan yang
terbesar secara nasional mencapai 49,55% (mtm). Pada kelompok administered prices, inflasi tahunan tercatat
lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya serta terhadap inflasi nasional. Pada Oktober 2015,
kelompok administered prices tercatat mengalami inflasi sebesar 8,98% (yoy), lebih rendah dibandingkan
bulan September sebesar 10,24% (yoy). Capaian inflasi ini juga lebih rendah dibandingkan inflasi nasional yang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
tercatat sebesar 9,83% (yoy). Penurunan kelompok administered prices terutama didorong oleh koreksi tarif
listrik, dan bahan bakar rumah tangga. Koreksi tarif listrik sejalan dengan kebijakan tariff adjustment pada
kelompok pelanggan listrik dengan daya diatas 2200VA. Penurunan inflasi komoditas bahan bakar rumah
tangga bersumber dari koreksi harga LPG 12 kg sebesar Rp6.000 per tabung atau Rp500 per kg pada 15
September 2015.
Sumber: data BPS diolah
Grafik IV.20. Perkembangan Inflasi Kalimantan dan Nasional
Sumber: BPS (diolah menggunakan pendekatan kelompok)
Grafik IV.21. Disagregasi Inflasi Kalimantan
Sampai dengan akhir triwulan IV 2015, inflasi Kalimantan diproyeksi turun menjadi 4,99% (yoy). Penurunan
inflasi terjadi di semua kelompok, yaitu volatile foods, administered prices, dan inti. Menurunnya inflasi volatile
foods, terutama didukung oleh meningkatnya produksi padi. Sementara pada kelompok administered prices,
hilangnya dampak kenaikan BBM November 2014 serta implementasi dampak paket kebijakan III (turunnya
harga BBM dan LPG serta diskon tarif listrik waktu tertentu), dapat menurunkan inflasi dari kelompok ini. Dari
sisi inflasi inti, terjaganya ekspektasi harga baik dari konsumen dan pelaku usaha turut mendorong ke bawah
tekanan inflasi. Hal tersebut sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang menunjukan ekspektasi konsumen
pada 3 bulan mendatang cenderung menurun. Selain itu, likert scale hasil liaison mengindikasikan tren
penurunan harga jual yang masih akan berlanjut beberapa bulan ke depan.
Grafik IV.22. Perkembangan Ekspektasi Harga 3 bulan yang
Akan Datang Hasil Survei Konsumen
Grafik IV.23. Perkembangan Perkiraan Harga yang Akan
Datang Hasil Liaison
Meskipun demikian, terdapat beberapa beberapa risiko yang berpotensi meningkatkan tekanan inflasi pada
periode mendatang. Pada kelompok volatile foods, dampak lanjutan kekeringan akibat El Nino yang
diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun, berpotensi menyebabkan berkurangnya pasokan bahan
makanan ke wilayah Kalimantan. Pada sisi administered prices, beberapa kebijakan energi terkait penyesuaian
tariff listrik rumah tangga, pengalihan pelanggan listrik dengan daya 450VA dan 900VA ke daya 1300VA , serta
penyesuaian harga LPG 3 kg, meningkatkan risiko kenaikan inflasi ke depan. Selain itu, penyelenggaraan
Pemilukada serentak pada Desember 2015, akan ikut meningkatkan risiko tekanan inflasi dipenghujung tahun
2015.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Mencermati sejumlah risiko inflasi di 2015, antara lain dampak el nino terhadap produksi pangan nasional,
kenaikan konsumsi masyarakat pada masa pilkada akhir 2015 dan kenaikan batas atas tarif angkutan udara,
TPID di Wilayah Kalimantan senantiasa berupaya untuk mengantisipasi tekanan inflasi kedepan. Adapun
sejumlah rekomendasi yang akan ditindaklanjuti oleh TPID wilayah Kalimantan antara lain: (1) mencermati
risiko peningkatan harga yang mungkin timbul dan mempengaruhi pasokan beras, TPID akan berkoordinasi
dengan pihak-pihak terkait dalam rangka menjaga stok bahan pangan serta memantau ketersediaannya.
Tindaklanjut lainnya yaitu, (2) TPID Kalimantan akan bekerjasama dengan BULOG untuk membuka gerai beras
lokal di Pasar Kahayan dan Pasar Besar Kalimantan Tengah, (3) mengoptimalkan kandang dan kolam
penyangga menjelang akhir tahun 2015, (4) melakukan komunikasi melalui talk show dan press rilis dengan
masyarakat untuk mengendalikan ekspektasi.
Sehubungan dengan bencana kabut asap yang melanda sejumlah wilayah di Kalimantan (Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Barat), tedapat beberapa kegiatan yang telah dikoordinasikan oleh TPID Provinsi Kalimantan
Tengah antra lain mengadakan HLM Khusus bencana kabut asap di kota Sampit. Selain itu, TPID Kalimantan
Tengah juga melaksanakan pasar penyeimbang, dalam rangka menekan dampak inflasi akibat bencana kabut
asap, yang akan berlangsung sampai dengan akhir 2015.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pembiayaan ke sektor korporasi di Kalimantan pada triwulan III 2015 didominasi oleh sektor pertanian,
terutama disalurkan untuk perkebunan sawit dengan pangsa 32,57% terhadap total kredit. Selain sektor
pertanian, sektor pertambangan, industri dan perdagangan juga memiliki peran yang cukup dominan dalam
pembiayaan oleh sektor korporasi Kalimantan dengan pangsa masing-masing 15,41%, 13,64% dan 11,44%.
Pada triwulan III 2015, pembiayaan sektor korporasi di Kalimantan mengalami peningkatan, terutama
didorong oleh menguatnya kredit industri olahan (Grafik IV.24), yang memiliki pangsa cukup besar yaitu
sebesar 13,64%. Peningkatan pertumbuhan kredit tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah dan terendah
di Provinsi Kalimantan Selatan.
Total
Pertambangan
120 (% yoy)
Pertanian
Industri
12 (% NPL)
10
100
2014-I
2014-IV
2015-III
2014-II
2015-I
2014-III
2015-II
8
80
6
60
4
40
2
20
-
0
-20
-40
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
I
II
III
2015
Grafik IV.24. Pertumbuhan Kredit Sektoral
Grafik IV.25. NPL Sektoral
Meski demikian, risiko kredit korporasi cenderung mengalami peningkatan pada triwulan III 2015. Hal tersebut
tercermin pada kenaikan NPL dari 4,29% menjadi 4,91% (Grafik IV.25). Kontraksi yang terjadi di perekonomian
Kalimantan Timur menyebabkan NPL meningkat baik pada sektor utama, yakni pertambangan maupun
pendukungnya (Grafik IV.26). Tingkat risiko tertinggi berada di Kalimantan Timur dengan NPL mencapai 6,8%,
sementara di provinsi lainnya tingkat NPL masih berada pada level yang baik atau berada di bawah 5%. Namun
kondisi dimaksud perlu diwaspadai karena pergerakan NPL dimaksud memilki kecenderungan meningkat
cukup cepat, terutama sejak 2014 (Grafik IV.27).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
2014-I
2014-II
2014-III
2014-IV
2015-I
2015-II
2015-III
18 (% NPL)
16
14
12
10
8
6
4
2
-
8
(% NPL)
Kalimantan
Kalbar
Kalteng
7
6
Kalsel
Kaltim
5
4
3
2
1
0
I
II
III IV
I
II
2012
Grafik IV.26. NPL Sektoral Kaltim
III IV
I
II
2013
III IV
I
2014
II
III
2015
Grafik IV.27. NPL Per Provinsi
Kemudian, pertumbuhan penghimpunan DPK sektor korporasi, pada triwulan III 2015 tercatat mengalami
kontraksi sebesar 3,27% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,28% (yoy). Secara spasial, kontraksi
tersebut terutama berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (Grafik IV.28), yang masingmasing terkontrakasi sebesar 17,34% (yoy) dan 7,65% (yoy). Sedangkan Provinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Barat masing-masing mencatat pertumbuhan sebesar 13,54% (yoy) dan 2,63% (yoy). Kontraksi
pertumbuhan DPK sektor korporasi di Kalimantan, terutama didorong oleh didominasi dana murah yaitu
tabungan dan deposito, sedangkan giro masih tumbuh meningkat (Grafik IV.29).
100 (% yoy)
Kalimantan
Kalbar
Kalteng
80
60
Kalsel
Kaltim
40
20
0
-20
-40
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
I
2013
II
III IV
2014
I
II
2015
-60
Grafik IV.28. Pertumbuhan DPK Per Provinsi
III
160 (% yoy)
140
120
100
80
60
40
20
0
I II III IV
-20
-40
2012
-60
Total
Tabungan
I
II
III IV
2013
Giro
Deposito
I
II
III IV
2014
I
II
III
2015
Grafik IV.29. Pertumbuhan DPK Per Form
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Stabilitas sistem keuangan sektor rumah tangga di Kalimantan masih terjaga. Hal ini terindikasi dari
meningkatnya kredit sektor tumah tangga yang diikuti dengan rendahnya risiko kredit. Kredit sektor rumah
tangga meningkat dari 14,67% (yoy) menjadi 15,33% (yoy), hal ini sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang
meningkat pada triwulan III 2015. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh kenaikan kredit multiguna
yang mencapai 24,99% (yoy), kredit perumahan sebesar 11,63% (yoy), kredit ruko 4,89% (yoy), dan KKB 0,32%
(yoy) (Grafik IV.30).
Peningkatan kredit tersebut diikuti dengan tingkat risiko yang masih tetap terjaga. Hal tersebut tercermin pada
rendahnya tingkat NPL sektor rumah tangga pada triwulan III 2015, yaitu sebesar 1,99% atau relatif tidak
mengalami perubahan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu 1,96% (Grafik IV.31). Semua provinsi di
Kalimantan menunjukan NPL tercatat yang cukup rendah atau berada di bawah 5%.
Masih tingginya ketahanan stabilitas sistem keuangan sektor rumah tangga juga terindikasi oleh rendahnya
level debt-to-service ratio Kalimantan pada triwulan III 2015 (Grafik IV.32). Berdasarkan hasil Survei Konsumen,
tingkat DSR Kalimantan tercatat hanya sebesar 13,86%. Secara spasial, level debt-to-service ratio di seluruh
provinsi di Kalimantan juga masih dalam level yang sehat yakni jauh di bawah 30%, atau pada rentang 12,70%
hingga 17,65%.
Sementara itu, DPK perseorangan di Kalimantan masih tumbuh relatif stabil (Grafik IV.33). Pada triwulan III
2015, DPK di Kalimantan tumbuh sebesar 7,24% (yoy), atau relatif sama dibandingkan periode sebelumnya
yang tumbuh 7,25% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
100 (% yoy)
Total
Ruko
Multiguna
80
2014-I
2015-I
4.0 (% NPL)
KPR/KPA
KKB
2014-II
2015-II
2014-III
2015-III
2014-IV
3.5
3.0
60
2.5
40
2.0
1.5
20
1.0
0.5
0
I
II
-20
III IV
I
2012
II
III IV
I
2013
II
III IV
I
2014
II
III
Total
2015
Grafik IV.30. Pertumbuhan Kredit RT
KPR/KPA
Ruko
KKB
Multiguna
Grafik IV.31.Perkembangan NPL
40 (% yoy)
Kalimantan
Kalbar
Kalteng
35
30
Kalsel
Kaltim
25
20
15
10
5
0
I
II
III IV
I
II
2012
Grafik IV.32. Debt-to-Service Ratio Per Provinsi
III IV
I
2013
II
III IV
2014
I
II
III
2015
Grafik IV.33.Pertumbuhan DPK Perseorangan
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Penyaluran kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kalimantan pada triwulan III 2015
cenderung meningkat. Pertumbuhan kredit UMKM naik dari 4,78% (yoy) pada triwulan II 2015, menjadi 5,81%
(yoy) pada triwulan III 2015. Hal ini sejalan dengan kinerja kredit UMKM nasional yang menunjukkan
peningkatan, akibat dorongan realisasi khususnya pada sektor perdagangan. Secara spasial, kredit UMKM
hampir di seluruh provinsi Kalimantan pada triwulan III 2015 meningkat.
Di sisi lain, risiko kredit UMKM di Kalimantan masih tetap perlu diwaspadai. NPL kredit UMKM yang berada di
atas 5% selama tiga triwulan berturut-turut dan dalam tren meningkat hinggga mencapai 5,95% pada akhir
triwulan III 2015. Peningkatan risiko kredit tersebut terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang
perekonomiannya didominasi oleh sektor pertambangan, yang sedang mengalami tren perlambatan. NPL
kredit UMKM pada sektor pertambangan tercatat paling tinggi yaitu sebesar 14,47%, diikuti sektor konstruksi
dan sektor jasa, dengan NPL masing-masing sebesar 13,95% dan 12,71%.
70 (% yoy)
16 (% NPL)
14
12
10
8
6
4
2
-
Total
Pertanian
Konstruksi
Perdagangan
60
50
40
30
20
10
2014-I
2015-I
2014-II
2015-II
2014-III
2015-III
2014-IV
0
-10
-20
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
I
II
III
2015
Grafik IV.34. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik IV.35. Pertumbuhan DPK Per Form
Berdasarkan rasio-rasio yang ada, keuangan inklusif di Kalimantan cenderung masih belum sebaik di wilayah
lainnya. Hal ini tercermin pada masih rendahnya rasio rekening per penduduk di Kalimantan dibandingkan
dengan nasional. Selain itu, dukungan keuangan dalam perekonomian relatif masih terbatas yang diindikasikan
oleh rasio kredit dan DPK terhadap PDRB di Kalimantan yang cenderung tidak setinggi nasional. Secara spasial
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
ketersediaan jumlah bank paling baik berada di Kalimantan Timur, yang juga berdampak pada tingginya rasio
rekening terhadap penduduk dewasa. Namun demikian, dalam hal dukungan terhadap PDRB, Kalimantan barat
merupakan yang paling baik dicerminakn dari rasio kredit dan DPK terhadap PDRB. Sementara itu, dukungan
terhadap UMKM paling baik berada di Kalimantan Tengah (Tabel IV.1).
Tabel IV.1 Indikator Keuangan Inklusif
Sumber: BPS, Bank Indonesia, diolah
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Sejalan dengan perlambatan kinerja ekonomi wilayah Kalimantan pada triwulan III 2015, pertumbuhan
transaksi non tunai secara agregat menunjukan perlambatan dari 45,74% (yoy) menjadi 30,48% (yoy) dengan
total transaksi Rp361,35 triliun. Perlambatan pada periode laporan berumber dari deselerasi transaksi RTGS
dari 49,38% (yoy) menjadi 32,4% (yoy). Perlu dicermati bahwa kenaikan nominal transaksi RTGS sejak triwulan
II 2015, disinyalir merupakan dampak dari penerapan kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah
NKRI. Selain itu, transaksi kliring masih tumbuh meningkat, meski masih berada pada level yang rendah 3,36%
(yoy).
Tabel IV.2 Perkembangan RTGS Kalimantan
2013
Nilai (Rp triliun)
g. Nilai (% yoy)
Volume (ribu lembar)
g. Volume (% yoy)
I
214.7
34.96
237.9
14.46
II
256.8
28.11
249.9
4.90
III
247.4
31.04
233.3
-3.01
IV
250.7
15.97
252.3
-5.86
I
215.5
0.36
221.5
-6.89
2014
II
243.7
-5.11
226.4
-9.40
III
258.6
4.51
226.8
-2.80
IV
276.4
10.23
226.2
-10.37
I
236.9
9.93
128.1
-42.17
2015
II
364.0
49.38
129.6
-42.76
III
342.4
32.40
123.6
-45.49
IV
20.0
-1.99
555.1
-3.06
I
18.7
-0.36
539.2
2.55
2015
II
18.6
-1.43
540.3
-1.28
III
18.9
3.36
557.0
7.11
Tabel IV.3 Perkembangan Kliring Kalimantan
Nilai (Rp triliun)
g. Nilai (% yoy)
Volume (ribu lembar)
g. Volume (% yoy)
I
18.2
6.06
549.6
1.48
2013
II
18.4
2.61
570.8
1.12
III
19.3
10.71
558.5
0.60
IV
20.4
11.81
572.7
1.79
I
18.7
2.99
525.8
-4.34
2014
II
18.8
2.33
547.3
-4.12
III
18.3
-5.24
520.0
-6.90
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Transaksi tunai Bank Indonesia se-Kalimantan pada triwulan III 2015 tercatat mengalami net outflow Rp2,99
triliun. Net outflow tersebut masih berada dalam pola normal sistem pembayaran tunai Kalimantan, yakni
pada triwulan II sampai dengan IV setiap tahunnya, terjadi net outflow uang kartal. Sejalan dengan lesunya
perekonomian, permintaan uang tunai juga tidak setinggi sebelumnya. Hal tersebut tercermin pada
perlambatan pertumbuhan outflow yang lebih dalam dibandingkan dengan inflow. Pertumbuhan outflow yang
melambat cukup dalam, yaitu dari 29,3% (yoy) menjadi hanya tumbuh 2,31% (yoy). Sementara itu inflow
tumbuh sedikit melambat dari 9,67% (yoy) menjadi 8,17% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
Secara spasial, net outflow terjadi di hampir semua provinsi kecuali Kalimantan Selatan yang mengalami net
inflow. Pada triwulan laporan, perkembangan uang yang diragukan keasliannya sedikit menunjukkan
peningkatan dari 706 lembar menjadi 772 lembar dengan temuan terbanyak di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah.
Tabel IV.4 Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di
Kalimantan
Provinsi
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Kalimantan
Inflow
2,236,209
1,267,214
2,878,654
2,968,003
9,350,079
Outflow Net Outflow
2,404,320
168,111
2,938,429
1,671,215
2,130,839
-747,815
4,864,227
1,896,224
12,337,814 2,987,735
Grafik IV.36 Perkembangan Inflow-outflow Kalimantan
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pada tahun 2016, perekonomian Kalimantan diproyeksi tumbuh membaik. Perekonomian Kalimantan
diprakirakan tumbuh di kisaran 2,0%-2,5% (yoy). Prospek membaiknya pertumbuhan terutama didorong oleh
berkurangnya kontraksi di sektor pertambangan serta meningkatnya kinerja sektor industri dan pertanian.
Pada sisi permintaan, peningkatan ditopang oleh perbaikan ekspor. Kemudian secara spasial, perbaikan
perekonomian Kalimantan pada 2016 diprakirakan akan terjadi di semua daerah.
Sektor pertambangan diperkirakan membaik terutama didukung oleh adanya potensi peningkatan permintaan
batubara untuk kebutuhan PLTU di berbagai negara Asia dan peningkatan produksi mineral pasca beroprasinya
smelter alumina di Kalimantan Barat dan smelter besi di Kalimantan Selatan. Meski demikian, lifting gas alam,
yang mendominasi migas Kalimantan, diperkirakan tidak setinggi tahun 2015 sehingga menjadi penahan
perbaikan pertambangan lebih lanjut. Berdasarkan asumsi APBN 2016, lifting gas nasional diperkirakan turun
dari 1.300 BOPD menjadi 1.100-1.200 BOPD. Kinerja sektor industri pengolahan diproyeksi meningkat karena
terdapat smelter baru yang mulai beroperasi dan kinerja CPO di perkirakan sudah mengalami perbaikan. Pada
tahun 2016 diperkirakan terdapat smelter yang akan beroperasi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
Perbaikan industri CPO sejalan dengan semakin landainya koreksi harga pada tahun 2016. Namun demikian,
perlu diwaspadai dampak El Nino di 2015 yang berpotensi menurunkan produktivitas CPO di tahun 2016. Di sisi
lain, produksi LNG diperkirakan menjadi faktor penghambat di sektor industri. Menurunnya asumsi lifting gas
semakin membatasi produksi LNG di Kalimantan.
Sementara itu, sektor pertanian diproyeksi meningkat didukung oleh naiknya kinerja subsektor perkebunan.
Masih terus meningkatnya produktivitas sawit Kalimantan menjadi faktor pendorong peningkatan output.
Selain itu, stabilnya harga karet pada level USD 80-50/ton, diperkirakan menjadi sentimen positif peningkatan
perkebunan karet sehingga akan memberikan dampak kenaikan pada pertumbuhan sektor pertanian secara
keseluruhan.
Prospek Inflasi
Pada tahun 2016, inflasi Kalimantan diperkirakan masih tetap terjaga. Inflasi Kalimantan 2016 diperkirakan
berada pada kisaran 4,79%-5,29%. Adapun permasalahan struktural yang dihadapi Kalimantan menyebabkan
inflasi masih berada di atas target inflasi nasional. Kemudian, pada kelompok volatile foods, permasalahan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
struktural berasal dari rendahnya produksi tanaman pangan dan kurang baiknya distribusi di Kalimantan.
Upaya penyelesaian berbagai permasalahan ini telah dituangkan dalam roadmap pengendalian inflasi yang
disusun oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah di Kalimantan dan telah diturunkan menjadi program-program di
daerah yang dapat dilaksanakan sehingga diharapkan dapat meredam tekanan inflasi yang akan dihadapi.
Selain itu, pada kelompok administered prices dan inflasi inti masih terdapat beberapa risiko yang perlu
diwaspadai, antara lain penyesuaian tariff angkutan udara dan barang-barang impor seiring dengan masih
adanya potensi penguatan USD serta peningkatan tarif dasar listrik dan harga elpiji 3Kg.
Terjaganya inflasi pada tahun 2016 didukung menurunnya tekanan inflasi di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Selatan. Optimisme produksi tanaman pangan di Kalimantan Selatan menjadi penahan kenaikan
inflasi volatile foods. Di sisi lain, inflasi di Kalimantan Timur diperkirakan naik pada tahun 2016, sejalan dengan
membaiknya permintaan masyarakat. Dalam survei konsumen, indeks perkiraan harga 6 bulan yang akan
datang meningkat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
Dinamika perkembangan ekonomi global yang tengah diwarnai ketidakpastian yang tinggi disertai turunnya
harga komoditas mengisyaratkan pengembangan ekonomi ke depan tidak lagi dapat mengandalkan komoditas
primer. Perekonomian Kalimantan yang selama ini memperoleh keuntungan dari boom harga komoditas
khususnya batubara, dalam beberapa waktu terakhir justru menghadapi tantangan yang berat dengan
turunnya harga komoditas di pasar ekspor. Sejak akhir tahun 2011, harga batubara terus mengalami koreksi.
Tercatat koreksi Harga Batubara Acuan (HBA) sejak tahun 2012 sampai dengan 2015 masing-masing sebesar
-22,74%, -1,76%, -19,5% dan -11,23% (ytd Oktober 2015). Selain itu, mulai tingginya preferensi konsumen
untuk beralih pada energi ramah lingkungan menjadi menjadi faktor yang akan menekan bagi
berkembanganya permintaan batubara primer ke depan. Oleh karena itu, peran permintaan domestik
kedepannya menjadi sangat penting bagi sektor tambang batubara, baik melalui pembangunan PLTU maupun
pengembangan industri bernilai tambah tinggi.
Potensi kekayaan barang tambang yang begitu besar dimiliki oleh Kalimantan memberikan peluang yang besar
untuk dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan baku bagi industri bernilai tambah tinggi cukup besar. Salah
satunya adalah sebagai input bagi industri kimia. Saat ini Indonesia banyak melakukan impor bahan kimia
dasar, khususnya sebagai input industri di Pulau Jawa. Secara konvensional, bahan dasar industri petrokimia
bersumber dari minyak bumi dan gas alam, yang cadangannya sudah semakin menipis di Indonesia (minyak
21,4 tahun, gas 54 tahun-SKK Migas). Seiring perkembangan teknologi, bahan dasar industri petrokimia kini
dapat dihasilkan dengan proses gasifikasi batubara yang cadangannya relatif melimpah di Indonesia, terutama
di Kalimantan (52,3 miliar ton, ESDM) dan Sumatera (52,48 miliar ton, ESDM). Beberapa produk petrokimia
yang sudah dihasilkan di Kalimantan antara lain methanol (990.000 ton/tahun), ammonia (2,7 juta ton/tahun),
urea (2,8 juta ton/tahun) dan granular urea (570.000 ton/tahun).
Gambar IV.1. Peta Ringkas Produk Petrokimia
Melalui proses gasifikasi batubara, berbagai produk petrokimia dapat dihasilkan seperti methanol, ammonia
dan olefin yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Dari Gambar
IV.1 dapat dilihat gasifikasi batubara dapat menjadi subtitusi gas bumi yang diantaranya akan menghasilkan
ammonia dan methanol. Produk methanol yang dihasilkan nantinya akan diolah lebih lanjut menjadi ethylene,
propylene serta olefin yang dapat menjadi input industri di Pulau Jawa. Selama ini produk tersebut diperoleh
melalui impor namun dengan adanya tambahan produk dari Kalimantan maka defisit neraca perdagangan
akan terjaga.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
Pengembangan industri petrokimia di Kalimantan perlu menjadi prioritas sebagai salah satu sumber bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Melalui Rencana Induk Pengembangan industri Nasional
(RIPIN) 2015–2035, pemerintah merencanakan konsep pengembangan industri petrokimia berbasis gasifikasi
batubara di Kalimantan. Adapun beberapa langkah konkrit pengembangan industri petrokimia dasar yang akan
dibangun di Kalimantan antara lain, (1) pengembangan kawasan petrokimia berbasis gas dan batubara atau
Coal Bed Methan (CBM) di Kalimantan Selatan, (2) industri petrokimia berbasis batubara di Kalimantan Timur,
(3) Coal to Methanol (output 1,4 juta ton methanol/tahun) di Kalimantan Utara dan (5) Industri Ammonium
nitrat (dapat digunakan sebagai campuran pupuk dan pembius) di Kalimantan Timur. Meski demikian, masih
terdapat beberapa tantangan dalam pengembangannya ke depan, terutama terkait dengan ketersediaan
infrastruktur dan energi. Untuk itu, dalam pengembagan industri petrokimia perlu adanya sinergi kebijakan
antara pusat dan daerah yang difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana, serta pembiayaan yang
dibutuhkan untuk tumbuh berkembangnya industri tersebut.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan III 2015 tumbuh lebih lambat dari triwulan
sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di sejumlah provinsi yang bertumpu sektor
primer pertanian dan pertambangan. Pertumbuhan ekonomi KTI melambat dari 9,03% (yoy) pada triwulan II
2015 menjadi 7,75% (yoy) pada triwulan III 2015. Provinsi yang tumbuh melambat adalah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, dan bahkan Papua tercatat tumbuh negatif. Potensi perlambatan ekonomi yang lebih
dalam di KTI tertahan oleh membaiknya produksi dan ekspor tembaga di Nusa Tenggara Barat (NTB), serta
industri pengolahan di Sulawesi Tengah yang didukung oleh beroperasinya pabrik baru LNG dan smelter nikel.
Memasuki periode triwulan IV 2015, pertumbuhan ekonomi KTI terindikasi masih dalam tren yang melambat.
Potensi melambatnya pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh penurunan produksi pertambangan sejalan
dengan tren harga komoditas global yang masih menurun serta berakhirnya izin ekspor tembaga di NTB. Selain
itu, kekeringan yang berlangsung dari Februari hingga Oktober menyebabkan bergesernya musim tanam
komoditas tanaman baahan makanan (tabama) ke bulan November dan Desember, sehingga berpengaruh ke
penurunan kinerja sektor pertanian. Perlambatan pada kedua sektor primer tersebut turut berdampak pada
perlambatan kinerja sektor industri yang mengolah hasil tambang dan pertanian. Di sisi lain, beroperasinya
pabrik baru LNG dan smelter nikel di Sulawesi Tengah, serta diberikannya perpanjangan ijin ekspor tembaga
Papua relatif dapat menopang perekonomian pada triwulan berjalan. Untuk keseluruhan tahun 2015,
perekonomian KTI diperkirakan tumbuh pada 7,4%-7,8% atau lebih tinggi dibanding capaian tahun 2014
(6,03%) meski lebih disebabkan oleh faktor dapat dilakukannya kembali ekspor barang tambang mineral yang
sempat terhenti sebagai bagian dari upaya mendorong hilirisasi.
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Kinerja konsumsi swasta pada triwulan III 2015 tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
terutama disebabkan oleh perlambatan konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat
dari 5,87% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 5,27% (yoy) pada triwulan laporan. Hal ini diperkirakan
dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas SDA yang menyebabkan pendapatan ekspor relatif terbatas.
Selain itu, penurunan produksi pertanian akibat kekeringan yang terjadi di sebagian sentra produksi pangan
yaitu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur
(NTT), dan Bali, turut memberikan tekanan pada konsumsi rumah tangga (Grafik V.1). Keyakinan konsumen
rumah tangga yang tercermin pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di beberapa kota besar di KTI juga
terkonfirmasi menurun, khususnya pada indikator ketepatan waktu pembelian barang tahan lama (Grafik V.2).
Di sisi lain, perlambatan konsumsi swasta tertahan oleh membaiknya kinerja konsumsi lembana non
pemerintah yang melayani rumah tangga (LNPRT). Konsumsi LNPRT pada triwulan laporan tumbuh meningkat
signifikan dari -1,46% (yoy) pada triwulan II 2015, menjadi 8,96% (yoy). Peningkatan konsumsi LNPRT terutama
terkait dengan meningkatnya belanja persiapan pelaksanaan Pilkada serentak di Desember 2015.
Memasuki triwulan IV 2015, konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh stabil dibandingkan triwulan
sebelumnya. Berbagai indikator terkini mengonfirmasi tendensi stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah
tangga pada triwulan berjalan. Meski demikian, tren penurunan indeks keyakinan konsumen (IKK) terindikasi
masih berlanjut. Indikasi masih relatif lemahnya konsumsi rumah tangga juga tercermin dari ekspektasi
penurunan pendapatan oleh responden survei konsumen. Selain itu, kredit konsumsi juga masih dalam tren
yang menurun. Adapun perayaan hari besar keagamaan nasional (Natal) dan event akhir tahun diperkirakan
akan menjadi penopang konsumsi rumah tangga baik dari pembelian barang maupun jasa termasuk jasa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 59
pariwisata. Konsumsi LNPRT juga diprediksi tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2015 seiring dengan
pelaksanaan Pilkada serentak. Hal tersebut telah mulai tercermin dari omset penjualan eceran yang tumbuh
positif dan terus meningkat hingga posisi akhir Oktober 2015 (Grafik V.3). Secara keseluruhan 2015, konsumsi
rumah tangga tumbuh melambat meski terdapat dukungan konsumsi LNPRT yang meningkat di akhir tahun.
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.1. Nilai Tukar Petani
Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen
Bank Indonesia
Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan III 2015, laju pertumbuhan penyerapan anggaran KTI melambat, sehingga berbeda dengan pola
siklikalnya. Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan III 2015 melambat dari 5,29% (yoy) pada
triwulan II 2015 menjadi 4,09% (yoy). Salah satu kendala dalam realisasi belanja terkait dengan lebih
lambatnya proses lelang dan administrasi pengadaan sebagai dampak dari keterlambatan pengesahan APBD di
awal tahun seperti yang terjadi di Sulawesi Barat, NTT dan NTB. Lambatnya realisasi anggaran juga tercermin
dari posisi giro pemerintah daerah yang masih cukup tinggi hingga September 2015 (Grafik V.4).
Giro Pemerintah Daerah
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
%, yoy
100
80
60
40
20
0
(20)
(40)
1
3
I
5
7
II
9
III
2013
Grafik V.3. Omset Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran
Bank Indonesia
gGiro Pemda - Skala Kanan
Rp Triliun
11
IV
1
3
I
5
7
II
9
III
2014
11
IV
1
3
I
5
II
7
9
III
2015
Grafik V.4. SimpananGiro Pemerintah Daerah
Pada triwulan IV 2015, mengikuti pola siklikalnya, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan akan lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya. Realisasi anggaran yang belum optimal hingga triwulan III 2015 diperkirakan
akan dapat diakselerasi pada triwulan akhir tahun 2015. Adapun faktor pendorong realisasi belanja terutama
berasal dari komponen belanja operasional. Sementara itu, pelaksanaan Pilkada di Desember 2015 juga akan
turut mendukung realisasi belanja APBD yang lebih tinggi. Realisasi akhir tahun yang lebih tinggi tersebut
berpotensi mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah yang lebih tinggi pada tahun 2015 dibandingkan
dengan tahun 2014.
Investasi
Pada triwulan III 2015, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mencatat pertumbuhan yang meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya. Kinerja investasi tumbuh sebesar 10,07% (yoy), meningkat dari
pertumbuhan sebelumnya yang tercatat 9,87% (yoy), didukung khususnya oleh investasi bangunan. Investasi
bangunan tersebut terutama berasal dari proyek pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas
L a p o r a n N u s a n t a r a | 60
(pelabuhan laut, bandar udara, jalan) oleh pemerintah yang saat ini tengah berjalan (lihat Boks Progress
40
Perkembangan Infrastruktur Pendukung Konektivitas di KTI) . Namun, progress proyek pembangunan
infrastruktur pendukung konektivitas hingga September 2015, masih berada pada level relatif rendah terkait
dengan berbagai kendala teknis. Sementara itu, progress beberapa proyek pembangunan fisik yang bersumber
dari investasi swasta dan bersifat multiyears, diantaranya pusat perbelanjaan, hotel, kompleks perumahan dan
pabrik smelter, juga belum terlalu menjanjikan. Investasi swasta tertahan sejalan dengan dinamika ekonomi
nasional dan global yang masih dalam tren melambat. Indikator penanaman modal asing (PMA) maupun dalam
negeri (PMDN) turut mengonfirmasi lemahnya kinerja investasi swasta (Grafik V.5). Adapun dukungan dari sisi
perbankan untuk investasi tercatat relatif stabil pada triwulan III 2015 (Grafik V.6).
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah
Grafik V.5. Realisasi Penanaman Modal
Grafik V.6. Penyaluran Kredit Investasi
Grafik V.7. Investasi Pada Kategori Industri Pengolahan , SKDU Bank Indonesia
Pada triwulan IV 2015, PMTB diperkirakan tumbuh melambat terutama sebagai pengaruh dari perlambatan
investasi swasta. Hal ini diperkirakan terkait dengan perilaku investor secara umum masih cenderung wait and
see terkait dengan masih berjalan lambatnya pemulihan ekonomi domestik maupun global. Perlambatan
investasi diprediksi terjadi baik pada investasi bangunan maupun non bangunan dari sejumlah proyek swasta
yang mencakup proyek smelter, hotel dan restoran, serta properti. Meski belanja modal pemerintah
diperkirakan membaik pada triwulan berjalan, namun diperkirakan belum akan dapat mendorong
pertumbuhan yang lebih tinggi pada investasi secara total. Berdasarkan hasil SKDU, indikator realisasi investasi
pada sektor industri pengolahan juga mengalami penurunan sehingga memperkuat dugaan pelemahan
investasi (Gravik V.7). Secara keseluruhan 2015, perlambatan investasi pada paruh kedua 2015 diprediksi tidak
memengaruhi kinerja investasi untuk tumbuh lebih tinggi pada tahun 2015 daripada tahun sebelumnya.
40
Sejumlah proyek infrastruktur yang berjalan adalah proyek di Pelabuhan Gili Mas (NTB), Pelabuhan Perikanan Nusantara Teluk Awang
(NTB), Gorontalo Outer Ring Road (Gorontalo), Jalan Nasional Wilayah I Provinsi Papua (Papua), pengembangan Bandara Internasional
Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan proyek pembangunan Bandara Buntu Kunik Tana Toraja (Sulawesi Selatan).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 61
Ekspor
Pada triwulan III 2015, kinerja ekspor tercatat tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
yang bersumber baik dari penurunan ekspor luar negeri maupun ekspor antar daerah. Ekspor luar negeri
tumbuh 9.33% (yoy) pada triwulan III 2015, melambat cukup dalam dibandingkan pertumbuhan pada triwulan
II 2015 sebesar 44,0%(yoy), terutama karena melambatnya pertumbuhan ekspor pertambangan (Grafik V.8).
Kondisi ini antara lain terkait dengan penyesuaian pelaku usaha terhadap kebijakan pengaturan ekspor barang
41
mineral tambang disertai masih lemahnya permintaan ekspor untuk barang-barang tambang. Hal ini
berdampak pada terbatasnya ekspor olahan nikel dari Sulawesi. Di sisi lain, ekspor tembaga yang berasal dari
NTB meningkat tinggi untuk mengejar target pemenuhan kuota sebelum ijin ekspor berakhir pada September
2015.
Sementara itu, ekspor antara daerah juga tercatat mengalami pertumbuhan yang negatif meski tidak sedalam
triwulan sebelumnya. Menurunnya produksi hasil perkebunan komoditas kakao serta produksi tabama
menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan ekspor antar daerah. Sementara itu, produksi perikanan
tangkap yang meningkat sebagai dampak positif dari El Nino relatif dapat menahan penurunan ekspor antar
daerah yang lebih dalam.
Memasuki triwulan IV 2015, ekspor diperkirakan masih akan tumbuh lebih lambat dengan berlanjutnya
penurunan kinerja ekspor luar negeri maupun antar daerah. Ekspor luar negeri berpotensi tertahan oleh
ekspor pertambangan tembaga dari NTB yang menurun dengan berakhirnya ijin ekspor tembaga sesuai
ketentuan yang telah ditetapkan. Menurunnya permintaan global terhadap produk olahan tambang yang
tercermin dari tren penurunan harga komoditas SDA, diprediksi juga akan menambah tekanan pada kinerja
ekspor KTI pada triwulan berjalan. Selain itu, dukungan dari ekspor produk pertanian juga diperkirakan masih
terbatas, seiring dengan berakhirnya puncak panen komoditas tabama dan kakao. Secara keseluruhan kinerja
ekspor tahun 2015 masih diproyeksikan membaik dibandingkan tahun 2014 sebagai pengaruh tingginya
pertumbuhan ekspor pada paruh pertama tahun 2015.
Impor
Pada triwulan III 2015, impor KTI tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya terutama pada
komponen impor antar daerah, sementara impor luar negeri cenderung meningkat dalam level yang moderat.
Perlambatan impor antar daerah disebabkan oleh penurunan permintaan secara umum di KTI. Meski masih
tumbuh negatif, kontraksi dari impor luar negeri mengecil terutama pada impor barang modal dan bahan baku
(Grafik V.9). Meningkatnya kebutuhan bahan baku untuk industri menjadi sumber perbaikan impor barang
modal selama triwulan III 2015. Selain itu, pelaku usaha juga meningkatkan persediaan bahan baku sebagai
persiapan dalam menghadapi periode peak season akhir tahun. Impor luar negeri pada triwulan III 2015
tumbuh sebesar 0,10% (yoy), setelah sebelumnya terkontraksi sebesar -0,90% (yoy).
Pada triwulan IV 2015, impor luar negeri diperkirakan tumbuh rendah. Pergerakan impor yang menurun
tersebut diperkirakan sebagai dampak dari melambatnya kinerja pertambangan sehingga kebutuhan barang
modal relatif terbatas. Selain itu, progress pembangunan smelter yang relatif lebih lambat, sejalan dengan
telah selesainya pembangunan sejumlah pabrik smelter pada periode sebelumnya, turut menjadi penyebab
menurunnya impor barang modal.
41
Permendag No.4/2015 mengatur penggunaan L/C untuk Ekspor Barang Tertentu termasuk di dalamnya ekspor mineral tambang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 62
Total Ekspor - Skala Kiri
gPertanian
gIndustri
gPertambangan
%, yoy
150
Juta US$
1,000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
100
50
0
(50)
(100)
(150)
II
III
IV
I
II
2014
gBarang Modal
gBahan Baku
gBarang Konsumsi
Juta US$
%, yoy
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
(200)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
I
350
300
250
200
150
100
50
0
Total Impor - Skala Kiri
I
III
II
III
IV
I
II
2014
2015
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik V.8. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas
III
2015
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik V.9. Impor Luar Negeri Menurut Sektor Barang
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian di KTI mengalami perlambatan pada triwulan III 2015 terutama
disebabkan oleh kontraksi pada sektor pertambangan di Papua. Angka pertumbuhan sektor pertambangan
pada triwulan III 2015 tercatat sebesar 13,71% (yoy), lebih lambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
sebesar 21,98% (yoy). Penurunan produksi konsentrat tembaga dan emas di Papua (Grafik V.10) disebabkan
oleh penyesuaian pelaku usaha dalam merespons kebijakan terkait penggunaan L/C dalam ekspor. Selain itu, El
Nino juga turut memengaruhi produksi pertambangan di Papua terkait dengan kurangnya pasokan air untuk
42
proses produksi. Adapun kinerja pertambangan tembaga di NTB dan nikel matte di Sulawesi Selatan (Grafik
V.11) tercatat masih mengalami peningkatan, sehingga dapat menahan perlambatan lebih lanjut di sektor
pertambangan.
Unit
600
Produksi Tembaga (Juta Pon)
Produksi Emas (Ribu Ons)
gProduksi Tembaga (Papua)
gProduksi Emas (Papua)
%, yoy
Produksi Nikel Matte
Ton Metrik
25,000
250
200
500
150
400
100
300
50
200
%, yoy
gProduksi Nikel Matte (Sulawesi Selatan)
20,000
15,000
10,000
0
100
(50)
0
(100)
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
5,000
0
I
2015
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.10. Produksi Emas & Tembaga Papua
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
70
60
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)
(30)
III
2015
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.11. Produksi Nikel Matte Sulsel
Pada triwulan IV 2015, sektor pertambangan KTI diperkirakan kembali mengalami perlambatan yang terutama
bersumber dari turunnya kinerja pertambangan di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan NTB. Perlambatan
kinerja produksi nikel matte di Sulawesi Selatan disebabkan oleh adanya konsolidasi untuk mencapai target
produksi. Sementara itu, sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara diperkirakan tidak akan tumbuh lebih
cepat dari triwulan III 2015 karena adanya pesimisme terhadap permintaan negara mitra dagang pada
komoditas bijih nikel. Adapun untuk NTB, perlambatan disebabkan oleh belum adanya izin ekspor bagi
produsen konsentrat tembaga sehingga produksi terbatas hanya untuk pengolahan di smelter dalam negeri
42
Hasil liaison/komunikasi dengan stakeholder di Papua dan informasi anekdotal
L a p o r a n N u s a n t a r a | 63
43
saja. Meski diperkirakan kembali melambat pada triwulan berjalan, kinerja sektor pertambangan pada
keseluruhan tahun 2015 diproyeksikan tetap lebih baik dibandingkan dengan tahun 2014.
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan III 2015, sektor industri pengolahan KTI tumbuh melambat sejalan dengan melemahnya
perekonomian di KTI. Angka pertumbuhan pada sektor industri tercatat sebesar 6,61% (yoy) setelah tumbuh
sebesar 10,75% (yoy) pada triwulan II 2015. Perlambatan kinerja sektor industri terindikasi pada industri
makanan di Sulawesi Selatan dan industri pengolahan hasil tambang di Sulawesi Tenggara. Produksi terigu dari
Sulawesi Selatan mengalami kontraksi setelah meningkat pada triwulan sebelumnya karena demand yang
tinggi pada periode Lebaran (Grafik V.12). Sejumlah industri mikro dan kecil di beberapa daerah yang sebagian
mengolah produk makanan juga menunjukkan kinerja yang menurun (Grafik V.13). Kinerja industri pengolahan
nikel di Sulawesi Tenggara masih melanjutkan tren penurunan karena permintaan global yang belum pulih
(Grafik V.14). Di sisi lain, aktivitas hilirisasi dari bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) dan LNG di Sulawesi
Tengah terus meningkat. Kegiatan produksi dari fasilitas hilirisasi baru tersebut dimulai pada triwulan laporan,
44
seiring dengan dilakukannya ekspor ke luar negeri.
Produksi Terigu
Ton Metrik
200,000
180,000
160,000
140,000
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
0
Bali
%, yoy
25
20
15
10
5
0
(5)
(10)
(15)
(20)
(25)
(30)
gProduksi Terigu (Sulawesi Selatan)
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
IV
I
II
2014
170
160
150
140
130
120
110
100
90
80
Maluku Utara
Gorontalo
NTT
Indeks
I
III
II
III
IV
I
II
2012
2015
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
2015
Sumber : BPS, diolah
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.12. Produksi Terigu Sulawesi Selatan
Grafik V.13. Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil
Produksi Feronikel
Ton Ni
6,000
%, yoy
gProduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara)
50
40
5,000
30
4,000
20
10
3,000
0
2,000
(10)
(20)
1,000
(30)
0
(40)
I
II
III
IV
I
II
2012
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
2015
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.14. Produksi Feronikel Sulawesi Tenggara
Pada triwulan IV 2015, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan meningkat karena dorongan faktor
musiman serta masih adanya base effect dari pengoperasian fasilitas baru yang mendukung hilirisasi di
Sulawesi Tengah. Memasuki periode akhir tahun, kegiatan industri makanan olahan dan pakaian jadi akan
terdorong oleh adanya event hari besar keagamaan nasional (Natal) dan musim liburan akhir tahun. Aktivitas
dari smelter baru di Sulawesi Tengah juga diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan optimisme
43
44
Hasil liaison/komunikasi dengan stakeholder di NTB dan informasi anekdotal
Hasil liaison kepada fasilitas hilirisais baru di Sulawesi Tengah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 64
45
terhadap permintaan global pada komoditas nikel. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) terkait
perkiraan kinerja industri pengolahan pada triwulan IV 2015 juga menunjukkan peningkatan.
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan III 2015 mengalami perlambatan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, seiring dengan produksi tabama yang mengalami kontraksi. Angka
pertumbuhan sektor pertanian tercatat sebesar 4,04% (yoy) setelah sebelumnya tumbuh sebesar 6,50% (yoy).
Pada triwulan laporan terjadi kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen pada sejumlah provinsi yang
menjadi sentra produksi di KTI yaitu Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Di samping itu, beberapa daerah
lain juga mengalami penurunan produksi pertanian seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Bali, NTB, dan NTT. Berlalunya musim panen raya semakin menekan kinerja
subsektor pertanian pada triwulan laporan. Indikator Nilai Tukar Petani (NTP) di beberapa daerah juga tidak
sebaik periode sebelumnya (Grafik V.2). Dari subsektor perkebunan, meski terdapat panen di awal triwulan
laporan, produksi kakao tidak mampu menopang kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, meski
harga internasional kakao sedikit meningkat (Grafik V.15).
Kakao
US$/kg
%, yoy
gHarga - Skala Kanan
3.5
50
3.0
40
2.5
30
2.0
20
1.5
10
1.0
0
0.5
(10)
0.0
(20)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2013
2014
2015
Sumber: World Bank, diolah
Grafik V.15. Harga Internasional Kakao
Pada triwulan IV 2015, subsektor pertanian diperkirakan akan kembali tumbuh melambat terutama karena
dampak dari kekeringan yang berkepanjangan yang menyebabkan produksi tabama di beberapa daerah lebih
rendah dari perkiraan. Selain itu, juga terjadi pergeseran musim tanam di beberapa sentra produksi
46
pertanian . Kinerja produksi Kakao pada beberapa daerah sentra juga diperkirakan akan lebih rendah seiring
dengan penurunan produktivitas, meski tren peningkatan harga jual kakao berpotensi untuk berlanjut.
Subsektor perikanan juga diperkirakan melambat seiring dengan dimulainya musim paceklik ikan pada bulan
November 2015 yang merupakan pengaruh dari tingginya gelombang laut dan curah hujan.
Sektor Konstruksi
Pada triwulan III 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tercatat meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Sektor ini mampu tumbuh sebesar 8,94% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 10,77% (yoy) pada triwulan III
2015, seiring dengan adanya dukungan dari proyek-proyek pembangunan infrastruktur pemerintah. Proyek
pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas yang berjalan saat ini diantaraya adalah 9 pelabuhan laut,
47
8 bandar udara dan 9 jalan nasional . Meski demikian, progress pembangunan infrastruktur tersebut masih
45
Hasil liaison kepada fasilitas hilirisasi baru di Sulawesi
46
Hasil Liaison kepala pelaku usaha pertanian menunjukkan bahwa musim tanam bergeser hingga ke akhir November, sehingga sebagian
sentra yang semula diperkirakan berproduksi di akhir triwulan IV bergeser ke awal tahun 2016.
47
Rincian progress dan kapasitas masing-masing proyek dijelaskan pada Boks Progress PerkembanganInfrastruktur Konektivitas Kawasan
Timur Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 65
relatif terbatas, sehingga menahan potensi pertumbuhan sektor konstruksi yang lebih tinggi. Dari sisi swasta,
pembangunan berbagai proyek multiyears pada beberapa sektor strategis khususnya pabrik smelter cenderung
48
lambat, seiring dengan perilaku investor yang masih menunggu perbaikan ekonomi nasional dan global . Hal
tersebut dikonfirmasi dengan turunnya jumlah proyek baru skala besar (lebih dari US$200 juta) yang telah
memasuki konstruksi pada triwulan III 2015. Jumlah proyek skala besar yang telah memasuki konstruksi
tersebut hanya sebanyak 65 proyek, jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tercatat mencapai 169
proyek (Grafik V.16).
Proyek
Jumlah Proyek
%, yoy
gProyek - Skala Kanan
140
100
80
60
40
20
0
(20)
(40)
(60)
(80)
(100)
(120)
120
100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
IV
2015
Sumber: BCI Asia, diolah
Grafik V.16. Jumlah Proyek Baru Dalam Tahap Konstruksi
Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan relatif stabil dibandingkan triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan konstruksi pada periode berjalan ditopang oleh masih berlangsungnya proyek
infrastruktur pemerintah, ditengah indikasi masih terbatasnya proyek konstruksi swasta. Perkembangan
ekonomi nasional dan global yang tidak sebaik perkiraan, menyebabkan terbatasnya realisasi investasi
khususnya pada sektor pertambangan. Meski demikian, pertumbuhan konstruksi untuk keseluruhan tahun
2015 diperkirakan masih akan meningkat daripada tahun sebelumnya dengan adanya ekspansi proyek
konstruksi di awal tahun hingga triwulan III 2015.
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju inflasi KTI pada triwulan III 2015 tercatat mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yaitu dari 7,43% (yoy) menjadi 7,25% (yoy). Secara spasial, penurunan inflasi terutama terjadi di
Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Bali, NTB, dan NTT. Berdasarkan
komponen disagregasinya, inflasi tahunan yang lebih rendah pada triwulan III 2015 disebabkan oleh
penurunan inflasi administered prices. Adanya penyesuaian tarif dasar listrik (TDL), penurunan harga bahan
bakar, serta koreksi berbagai tarif angkutan pasca Lebaran menjadi faktor utama penurunan inflasi. Beberapa
komoditas pangan juga tercatat berkontribusi pada penurunan inflasi, yaitu komoditas cabai merah, bawang
merah, dan ikan segar. Hal tersebut didukung oleh kondisi pasokan yang membaik selama triwulan laporan
sehingga harga mengalami penurunan. Meski demikian, inflasi volatile food secara keseluruhan masih
mencatat kenaikan yang terutama sebagai pengaruh dari peningkatan inflasi pada komoditas beras (Grafik
V.17). Adapun inflasi inti tercatat meningkat secara terbatas dari triwulan II ke triwulan III 2015, ditengah tren
depresiasi nilai tukar. Hal ini sejalan denganpermintaan pasca Lebaran yang lebih rendah.
Mengawali triwulan IV 2015, inflasi pada bulan Oktober 2015 tercatat rendah, yakni sebesar 0,09% (mtm).
Inflasi terutama didorong oleh kelompok transpor, sandang, dan bahan makanan. Inflasi terjadi hampir di
seluruh kelompok barang konsumsi, namun tertahan oleh deflasi pada kelompok bahan makanan. Kelompok
makanan jadi dan transpor merupakan kelompok dengan inflasi tertinggi. Pada kelompok makanan jadi,
48
Industri olahan hasil tambang memiliki ketergantungan tinggi terhadap dinamika ekonomi Negaratujuan utama antara lain Cina, Jepang
dan Eropa. Ekonomi ketiga Negara tersebut saat ini masih dalam kondisi yang melambat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 66
kenaikan harga terjadi subkelompok minuman tidak beralkohol dan tembakau. Kenaikan harga rokok dan
beberapa jenis minuman kemasan serta gula pasir menjadi faktor pendorong meningkatnya tekanan inflasi.
Untuk kelompok transpor, penyumbang utama inflasi adalah tarif angkutan udara. Penurunan inflasi kelompok
bahan makanan terutama pada komoditas aneka bumbu. Survei ekspektasi konsumen jangka pendek di
Makassar (bobot tertinggi kota IHK di KTI) juga cenderung turun pada Oktober 2015 (Grafik V.18). Prospek laju
inflasi yang lebih rendah pada triwulan berjalan didukung oleh penyesuaian pada kelompok administered
prices dan volatile food, sementara inflasi inti diperkirakan relatif stabil. Dengan perkembangan tersebut,
inflasi hingga akhir tahun 2015 diprakirakan sebesar 4,26% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya (8,31%, yoy).
Beras
Cabe Merah - Skala Kanan
50
Daging Ayam Ras
Bawang Merah - Skala Kanan
%, yoy
%, yoy
40
Ekspektasi Harga Konsumen
Indeks
500
400
30
Inflasi KTI (mtm) Kumulatif 3 Bulan - Skala Kanan
200
8
7
6
5
4
3
2
1
0
(1)
(2)
190
300
20
10
200
0
180
100
170
0
160
(10)
(20)
(30)
(100)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2013
2014
2015
Grafik V.17. Perkembangan Harga Komoditas, Survei
Pemantauan Harga Bank Indonesia
%
150
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2013
2014
2015
Grafik V.18. Ekspektasi Harga Konsumen Jangka Pendek,
Survei Konsumen Bank Indonesia
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Pola historis perayaan hari besar keagamaan nasional (Idul Fitri) dan musim liburan mewarnai pergerakan
inflasi pada periode triwulan III 2015. Karakteristik inflasi KTI yang juga dipengaruhi oleh sisi supply, khususnya
terkait pasokan dan distribusi bahan makanan, menuntut adanya koordinasi yang baik dan berkesinambungan
untuk mengambil langkah antisipatif. Hal ini agar dampak inflasi terutama dengan adanya sejumlah kebijakan
tarif dapat diminimalkan. Hasil dari koordinasi yang semakin baik melalui forum Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID) di KTI terlihat dari inflasi Lebaran periode Juli 2015 yang tercatat sebesar 0,99% (mtm), lebih
rendah dari pola historis yang berada di atas 1% (mtm).
Untuk mengatasi permasalahan ketersediaan pangan dan menjaga fluktuasi inflasi administered prices selama
periode triwulan III 2015, TPID di masing-masing provinsi telah melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan
harga baik melalui program peningkatan produksi pangan maupun koordinasi dan pemantauan bersama
dengan stakeholder di daerah. Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh oleh TPID dapat dirangkum
sebagai berikut:
Tabel V.1. Rencana Aksi TPID
L a p o r a n N u s a n t a r a | 67
Upaya untuk lebih berkoordinasi di daerah terkait pengendalian inflasi juga telah dirumuskan oleh TPID di
masing-masing daerah melalui penyusunan Roadmap Pengendalian Inflasi. Identifikasi komoditas-komoditas
yang memiliki bobot besar dalam struktur nilai konsumsi inflasi daerah serta memiliki frekuensi tinggi sebagai
penyumbang inflasi bulanan, telah dilakukan di setiap provinsi. Hal tersebut menjadi tahap awal dalam
penyusunan langkah dan program kebijakan yang lebih efektif. Tantangan yang dihadapi dalam upaya
pengendalian inflasi, baik tantangan jangka pendek maupun struktural akan terus dievaluasi dalam rangka
lebih memfokuskan penyusunan program kerja TPID seluruh daerah.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN
PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Memasuki triwulan III 2015, kredit korporasi KTI masih menunjukkan pertumbuhan, namun kondisi tersebut
disertai dengan NPL yang meningkat. Pertumbuhan kredit korporasi KTI tercatat sebesar 21,43% (yoy) pada
triwulan laporan atau meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 20,59% (yoy) (Grafik V.19).
Pertumbuhan kredit korporasi didorong oleh akselerasi kredit pada sektor perdagangan dan pertambangan
serta masih tingginya realisasi kredit pada sektor industri. Faktor penahan pertumbuhan kredit korporasi
muncul dari sektor pertanian yang mencatatkan kontraksi 9,85% (yoy) seiring dengan faktor cuaca yang kurang
mendukung produksi pertanian.
Grafik V.19. Pertumbuhan Kredit Korporasi
Grafik V.20. NPL Kredit Korporasi
Sementara itu, pada triwulan laporan NPL tercatat semakin meningkat dari 4,56% pada triwulan sebelumnya
menjadi 4,78% pada triwulan laporan (Grafik V.20). Kondisi tersebut disebabkan oleh peningkatan NPL pada
sektor subsektor perdagangan eceran di Papua dan Papua barat serta subsektor akomodasi di Sulawesi
Selatan. Di sisi lain, pertumbuhan dana korporasi KTI masih melanjutkan tren perlambatan sebagaimana
terjadi pada triwulan sebelumnya.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Perkembangan kredit sektor rumah tangga menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan pada
triwulan laporan. Hal tersebut ditandai dengan terakselerasinya kredit di tengah NPL yang relatif terjaga.
Kredit sektor rumah tangga tercatat tumbuh sebesar 12,26% (yoy) pada triwulan laporan atau lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 11,91% (yoy) (Grafik V.21). Akselerasi kredit rumah tangga
didorong oleh meningkatnya pertumbuhan KPR serta kredit multiguna. Peningkatan KPR yang didorong oleh
realisasi kredit untuk jenis rumah menengah dan besar, sejalan dengan terbitnya ketentuan baru LTV oleh BI
pada pertengahan 2015 yang lebih memberikan ruang untuk ekspansi kredit perumahan.
Sementara itu, ketahanan sektor rumah tangga terpantau masih sangat baik. Rasio NPL relatif terjaga di level
1,54% pada triwulan laporan atau lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 1,56% (Grafik
V.22). Di sisi lain, penghimpunan dana rumah tangga di KTI menunjukkan adanya perlambatan pada triwulan III
2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu dari 9,04% (yoy) menjadi 8,64% (yoy). Perlambatan
tersebut bersumber dari jenis simpanan deposito, dan sebaliknya akselerasi simpanan rumah tangga terjadi di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 68
rekening giro dan tabungan. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil survei konsumen KTI yang mengonfirmasi
menurunnya porsi penghasilan masyarakat KTI yang dialokasikan untuk tabungan dari 17,6% di triwulan lalu
menjadi 16,2% pada triwulan laporan.
Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik V.22. NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Dari sisi UMKM, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM yang terjadi sejak dua tahun ke belakang masih
terus berlanjut hingga saat ini. Namun, kualitas kredit UMKM pada triwulan laporan relatif mengalami
perbaikan. Kredit UMKM terus tumbuh melambat pada triwulan III 2015, yaitu dari 10,04% (yoy) pada triwulan
sebelumnya menjadi 6,7% (yoy) (Grafik V.23). Perlambatan tersebut disebabkan oleh menurunnya
pertumbuhan penyaluran kredit kepada UMKM di sektor perdagangan, pertanian dan industri. Perlambatan
tersebut juga terkait erat dengan sikap perbankan yang cenderung menahan laju penyaluran kreditnya untuk
lebih fokus kepada perbaikan kualitas kredit. Hal tersebut tercermin dari NPL kredit UMKM yang relatif
membaik pada triwulan laporan. NPL kredit UMKM berada di level 4,35% dari sebelumnya yang sebesar 4,63%
(Grafik V.24). Penurunan NPL juga sangat terkait erat dengan kondisi suku bunga kredit UMKM yang dalam
tren menurun semenjak satu tahun terakhir.
Grafik V.23. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik V.24. NPL Kredit UMKM
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Kegiatan sistem pembayaran nontunai di KTI berdasarkan dari indikator transaksi kliring dan transaksi real time
gross settlement (RTGS) tercatat mengalami penurunan, sejalan dengan perlambatan ekonomi pada triwulan
laporan. Transaksi dengan RTGS tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,04% (yoy) pada triwulan III 2015
setelah tumbuh sebesar 8,31% (yoy) pada triwulan II 2015 (Grafik V.25). Sementara itu, transaksi dengan
kliring, hingga triwulan III 2015, tercatat mengalami kontraksi sebesar 12,63% (yoy) setelah membukukan
pertumbuhan sebesar 4,43% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik V.26).
Dalam rangka meningkatkan intensitas penggunaan instrumen sistem pembayaran nontunai, Bank Indonesia
terus menggalakkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di wilayah KTI. Sampai dengan triwulan III 2015,
GNNT telah disosialisasikan dan diimplementasikan melalui MoU terkait elektronifikasi pembayaran gaji
L a p o r a n N u s a n t a r a | 69
(payroll) pegawai pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa provinsi juga telah melakukan kerja
sama dengan pihak ketiga (selain pemerintah) untuk pelaksanaan elektronifikasi pembayaran, salah satunya
adalah Provinsi Maluku. Kerja sama dilakukan dalam pembayaran jasa kepelabuhan dengan ASDP serta
transaksi pembayaran di kampus Universitas Pattimura.
Grafik V.25. Perkembangan Total Transaksi RTGS
Grafik V.26. Perkembangan Total Transaksi Kliring
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Pengedaran uang kartal di KTI tercatat mengalami peningkatan pada sisi inflow maupun outflow selama
triwulan III 2015. Kondisi tersebut dipegaruhi oleh peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat di bulan Juli
menjelang hari raya Idul Fitri (Grafik V.27). Peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh pembayaran gaji ke13
di bulan Juli serta realisasi proyek pemerintah untuk pembayaran termin proyek di pertengahan tahun.
Sementara itu, temuan uang palsu sempat mengalami lonjakan pada bulan Juli namun kembali mengalami
penurunan memasuki akhir triwulan III 2015 (Grafik V.28). Upaya untuk meningkatkan kehati-hatian
masyarakat terhadap penipuan dengan uang palsu terus digiatkan oleh Bank Indonesia di daerah melalui
berbagai sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang Rupiah.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI diproyeksikan mengalami perlambatan dengan kisaran pertumbuhan antara 6,4% -6,8%
(yoy) pada tahun 2016. Faktor perlambatan terkait dengan pesimisme pelaku usaha pertambangan terkait
kontinuitas (perpanjangan) izin ekspor. Melihat perkembangan di akhir 2015, perpanjangan izin ekspor luar
negeri untuk komoditas konsentrat tembaga dari NTB masih mengalami ketidakpastian.
Faktor risiko dari perekonomian KTI bersumber internal maupun eksternal. Dari sisi internal, terdapat berbagai
kendala dalam merealisasikan pembangunan infrastruktur dan hilirisasi. Untuk itu, pembangunan infrastruktur
dan smelter di KTI perlu dikawal dengan komitmen bersama untuk mengatasi segala hambatan baik di level
teknis maupun kebijakan. Faktor risiko yang lain adalah kebijakan morotarium dan transshipment yang
menurunkan kinerja produksi ikan tangkap dan olahannya. El Nino juga menjadi hal yang perlu diwaspadai
karena menurunkan produksi tabama, khususnya padi. Dari sisi eksternal, harga komoditas global yang masih
cenderung menurun, memberikan risiko pada terbatasnya kinerja ekspor KTI, khususnya pada komoditas CPO,
kakao, bijih nikel, dan tembaga. Potensi berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang juga dapat
memengaruhi tingkat permintaan komoditas ekspor ikan olahan.
Prospek Inflasi
Pada tahun 2016, inflasi KTI diperkirakan meningkat sejalan dengan tekanan dari inflasi administered prices
dan inflasi inti. Fokus pemerintah pusat untuk memperluas ruang fiskal melalui pengurangan subsidi energi
(listrik dan gas) menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi tekanan inflasi administered prices.
Sementara itu, meningkatnya pertumbuhan ekonomi diperkirakan juga akan memberikan tekanan dari sisi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 70
demand yang terindikasi dari akselerasi konsumsi rumah tangga termasuk permintaan perumahan. Selain itu,
belanja dan investasi infrastruktur pemerintah juga berpotensi memberikan dorongan dari sisi demand.
Upaya peningkatan produksi pangan melalui penguatan infrastruktur dan konektivitas diharapkan juga akan
turut mendukung penurunan inflasi ke tingkat yang lebih rendah. Ekspektasi masyarakat diperkirakan relatif
terkendali seiring dengan berbagai upaya pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam
mengendalikan inflasi. Dukungan TPID terutama dalam membangun awareness terhadap risiko inflasi di
daerah. Terjaganya ekspektasi akan mendukung pencapaian inflasi yang stabil dan rendah, di tengah tekanan
nilai tukar yang masih mungkin terjadi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 71
Dalam mendukung transformasi ekonomi nasional serta percepatan pembangunan di Kawasan Timur
Indonesia (KTI) yang berkualitas dan berkesinambungan, pemerintah mencanangkan berbagai program
pembangunan infrastruktur dengan titik berat pada peningkatan konektivitas di KTI. Timpangnya kondisi
infrastruktur di KTI dibandingkan dengan wilayah lain menjadi faktor pentingnya pembangunan infrastruktur di
KTI untuk segera direalisasikan.
Pengembangan infrastruktur pendukung konektivitas di KTI diharapkan dapat mendorong industrialisasi yang
mengoptimalkan potensi SDA untuk diolah agar memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Proyek
infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah dan tertuang di dalam RPJMN 2015-2019 mencakup proyek
infrastruktur pendukung konektivitas darat, laut maupun udara. Untuk merealisasikan pembangunan proyek
infrastruktur di KTI yang terkait konektivitas ini telah dialokasikan anggaran sebesar Rp66 triliun sampai
dengan tahun 2019.
Tabel V.2. Proyek Utama Infrastruktur Konektivitas KTI
Pro y e k Inf rast rukt ur U t am a
Ko ne kt iv it as KT I
Jalur KA. Makassar-Parepare-Pel.Garonggong
Jalur KA. Parepare-Mam uju
Jalur KA. Bit ung-Goront alo-Isim u
Jalur KA. Manado-Bit ung
Jalur KA. Sorong-Manokw ari
Jalan Tol Manado Bit ung
By Pass Palu-Parigi
By Pass Kendari-Konaw e
Jalan Poros Morow ali
New Port Makassar
Pelabuhan Bit ung
Pelabuhan Lom bok
Pelabuhan Kupang
Pelabuhan Am bon
Pelabuhan Sorong
Pelabuhan Merauke
Pelabuhan Jayapura
Pelabuhan Halm ahera
Bandara
Bandara
Bandara
Bandara
Bandara
Bandara
Bandara
Bandara
Miangas
Siau
Morow ali
Bunt u Kunik
Nam niw el
Kabir Pant ar
W erur
Korow ai Bat u
Lo kasi
Ke t e rang an
Inf rast rukt ur D arat
Sulsel
145 Km
Sulsel, Sulbar
225 Km
Sulut, Gorontalo
450 Km
Sulut
145 Km
Papua Barat
390 Km
Sulut
39,9 Km
Sulteng
48,7 Km
Sultra
80 Km
Sulteng
52 Km
Inf rast rukt ur Laut
Sulsel
3,5 Juta TEUs/Tahun
Sulut
1 Juta TEUs/Tahun
NTB
1.250 m (dermaga)
NTT
90 x 20,5 m (dermaga)
Maluku
7000 m (Lap. Penampung)
Papua Barat
700 Ribu TEUs/Tahun
Papua
100 m (dermaga)
Papua
Peningkatan Faspel
Malut
Pemb. 4 pelabuhan & Faspel
Inf rast rukt ur U d ara
Sulut
1.400 m (runway)
Sulut
1.400 m (runway )
Sulteng
1.850 m (runway)
Sulsel
1.950 m (runway)
Maluku
1.250 m (runway)
NTT
900 m (runway)
Papua
1.200 m (runway)
Papua
900 m (runway)
N ilai
Inv e st asi
T arg e t
6,4 triliun
2,4 triliun
2,5 triliun
9,65 triliun
10,3 triliun
3,9 triliun
10 triliun
280 miliar
1,7 triliun
2017 (Operasional)
2018 (Konstruksi)
2018 (Konstruksi)
2017 (Konstruksi)
2018 (Konstruksi)
2018 (Operasional)
2019 (Operasional)
2019 (Operasional)
2016 (Konstruksi)
9,3 triliun
3 triliun
600 miliar
1,5 triliun
1 triliun
411 miliar
142 miliar
1 triliun
1,5 triliiun
2030 (Operasional)
2030 (Operasional)
2016 (Operasional)
2016 (Konstruksi)
2016 (Operasional)
2016 (Operasional)
2016 (Oprasional)
2016 (Operasional)
2016 (Operasional)
90 miliar
68 miliar
25,5 miliar
100,6 miliar
2 miliar
20 miliar
39 miliar
20 miliar
2016 (Operasional)
2016 (Operasional)
2015 (Operasional)
2018 (Operasional)
2015 (Operasional)
2018 (Operasional)
2016 (Operasional)
2018 (Operasional)
Sumber : Pelindo, RPJMN, RPJMD, BKPM
Kemajuan Pembangunan Infrastruktur Darat
Pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas darat di KTI difokuskan pada pembangunan jalur kereta
api dan pembangunan jalan bebas hambatan maupun jalan poros (non tol). Berdasarkan data Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat 5 jalur pengembangan kereta api yang menjadi prioritas, yaitu
jalur Bitung-Gorontalo-Isimu, Makassar-Pare-pare-Pelabuhan Garonggong, Manado-Bitung, Pare-pareMamuju, dan Sorong-Manokwari. Namun, dari 5 proyek senilai Rp31,25triliun tersebut, tercatat hanya satu
proyek yang telah memasuki tahap konstruksi, yaitu jalur KA Makassar-Parepare. Jalur kereta ini tengah
memasuki tahap konstruksi tahap I sepanjang 10 km dan proses pembebasan lahan tahap II sepanjang 30 km
L a p o r a n N u s a n t a r a | 72
yang 90% diantaranya telah selesai. Adapun 4 proyek jalur kereta api lainnya masih dalam tahap studi
kelayakan.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur jalan baik jalan tol non tol yang seluruhnya berlokasi di Pulau
Sulawesi sampai dengan saat ini juga masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dari 4 proyek
utama pembangunan jalan yaitu Tol Manado-Bitung, By Pass Palu-Parigi, By Pass Kendari-Konawe dan Jalan
Poros Morowali, hanya 1 (satu) proyek yang telah memasuki tahap konstruksi, yaitu pembangunan Jalan Tol
Manado-Bitung. Proyek pembangunan jalan utama KTI lainnya masih dalam tahap persiapan baik di tahapan
penyusunan master plan maupun perizinan AMDAL.
Kendala utama dalam proyek pembangunan infrastruktur darat di KTI adalah proses pembebasan lahan.
Kepemilikan lahan yang tidak jelas, permasalahan tanah adat (Papua dan Papua Barat) serta koordinasi yang
belum optimal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan faktor yang menghambat
percepatan realisasi pembangunan infrastruktur darat.
Kemajuan Pembangunan Infrastruktur Laut
Pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas laut sejalan dengan cita-cita pemerintah untuk
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam rentang tahun 2015-2019, terdapat 9 proyek
pembangunan infrastruktur laut di KTI yang terfokus pada peningkatan kapasitas pelabuhan, diantaranya
adalah 2 pelabuhan hub di Makassar dan Bitung, serta 6 pelabuhan feeder yang tersebar di Lombok, Kupang,
Ambon, Halmahera, Jayapura, dan Merauke. Dari 9 proyek dengan total investasi senilai Rp 18,5 triliun
tersebut, tercatat hanya New Port Makassar dan Pelabuhan Jayapura yang telah mamasuki tahap konstruksi.
Sementara 7 pelabuhan lainnya baru memasuki tahap persiapan dan perizinan (AMDAL).
Faktor penghambat dalam pengembangan infrastruktur pelabuhan diantaranya adalah permasalahan
pembiayaan (Bitung), proses perizinan yang memakan waktu lama serta kendala dalam proses pembebasan
lahan (Kupang, Lombok, Ambon).
Sumber : FGD, Liaison
Gambar V.1.Progress Pengembangan Infrastruktur Konektivitas Utama KTI
Kemajuan Pembangunan Infrastruktur Udara
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat 8 proyek pembangunan bandara
baru di KTI di antara tahun 2015-2019, yaitu Bandara Bulu Kunik, Morowali, Siau, Milangas, Kabir-Pantar,
Namniwei, Werur dan Korowai Batu. Dari 8 proyek bandara baru senilai Rp365 miliar tersebut, tercatat hanya
3 proyek yang mengalami perkembangan, yaitu bandara Werur dan Siau yang sudah memasuki tahap
konstruksi serta Bandara Minggas yang baru memasuki tahap penyusunan AMDAL. Sementara lima bandara
L a p o r a n N u s a n t a r a | 73
lainnya belum menunjukkan perkembangan berarti. Pembangunan bandara KTI yang mayoritas dilakukan di
daerah terpencil menjadi tantangan tersendiri dalam prosesnya mengingat belum banyaknya infrastruktur
pendukung pembangunan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kemajuan pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas di KTI
masih berjalan lebih lambat dari yang diharapkan. Berbagai hambatan sosial, teknis dan koordinasi dalam
realisasi proyek infrastruktur membutuhkan sinergitas yang lebih baik antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah serta pemangku kepentingan lainnya. Upaya untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur
juga disertai sosialisasi dan komunikasi yang baik kepada masyarakat guna menghindari terhambatnya
pengerjaan proyek yang disebabkan oleh faktor sosial. Penyelesaian berbagai hambatan tersebut diharapkan
mampu meningkatkan realisasi pembangunan infrastruktur konektivitas sehingga dapat menopang
pertumbuhan ekonomi KTI yang saat ini berada dalam tren melambat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 74
Peran industri dalam perekonomian cenderung mengalami penurunan dalam satu dasawarsa terakhir ini. Hal
ini terutama dipengaruhi perubahan struktur ekspor yang dominan kepada komoditas berbasis SDA dan faktor
melemahnya daya saing industri. Perubahan struktur ekspor lebih kepada komoditas yang berbasis SDA tidak
terlepas dari insentif boom harga komoditas yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir sehingga justru
menjadi disinsentif bagi berkembangnya industri yang lebih berimbang. Selain itu,melemahnya daya saing
industri, khususnya industri medium & high tech, ditengah persaingan global yang semakin meningkat
menyebabkan peran industri nasional dalam rantai pasok global tergolong rendah. Pengembangan industri
perlu diperkuat melalui penataan strategi dan prioritas industrialisasi yang terpadu dengan mengedepankan
penguatan integrasi industri di domestik dan global, serta menjadikan Indonesia sebagai basis produksi global.
Gambaran Umum Industri Nasional
Peran industri nasional dalam perekonomian terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir, di
tengah peralihan struktur perekonomian ke sektor jasa untuk memenuhi permintaan kelas menengah
domestik yang meningkat pesat. Pangsa ekspor produk industri juga mengalami penurunan dari sebesar 57%
pada 2005 menjadi 43,7% di 2014. Struktur ekspor nasional juga bergeser lebih mengarah ke ekspor sumber
daya alam (SDA) terkait dengan tren kenaikan harga komoditas di pasar global. Boom ekspor komoditas SDA
turut menyebabkan semakin cepatnya perkembangan kelas menengah yang mendorong permintaan
49
domestik . Namun, pada saat yang bersamaan industri belum dapat sepenuhnya mampu merespons atau
mengimbangi berkembangnya permintaan domestik terutama dari sisi harga, jenis, dan kualitas standar
tertentu sehingga berimbas pada menurunnya penguasaan pasar domestik serta terus meningkatnya impor.
2005
43.0
SDA
Grafik VI.1. Pangsa Lapangan Usaha PDB
2014
57.0
56.3
Industri
SDA
43.7
Industri
Grafik VI.2. Perubahan Pangsa Ekspor
Secara spasial, penurunan pangsa industri dalam PDRB terbesar dialami oleh Jawa dan Kalimantan. Sebaliknya,
pangsa industri dalam PDRB Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengalami peningkatan. Sejumlah faktor
memengaruhi dinamika perkembangan pangsa industri di setiap wilayah tersebut. Di wilayah Jawa, penurunan
pangsa terutama terkait dengan menurunnya daya saing manufaktur dengan semakin meningkatnya kompetisi
global serta berbagai kendala struktural yang dihadapi oleh industri antara lain terkait masalah keterbatasan
infrastruktur, hambatan dalam investasi dan perdagangan. Di wilayah Kalimantan yang didominasi oleh
industri pengolahan migas, termasuk industri petrokimia, tren penurunan pangsa industri terutama terkait
dengan fantor natural declining yaitu kemampuan produksi minyak dan gas (migas) yang semakin terbatas
karena faktor menuanya umur sumur/ladang eksplorasi migas.
49
Boom komoditas SDA juga cenderung mendorong apresiasi nilai tukar yang berpotensi memperlemah daya saing ekspor industri sebagai
materi indikasi dari penurunan struktur ekspor industry dari pasca krisis 1998 hingga puncak boom harga komoditas SDA yang terjadi di
akhir 2011.
Laporan Nusantara| 75
Sementara itu, pangsa industri dalam PDRB wilayah Sumatera relatif stagnan, sebaliknya kenaikan pangsa
justru terjadi di KTI. Di wilayah Sumatera, tantangan berkembangnya industri terutama berasal dari besarnya
ketergantungan terhadap industri berbasis perkebunan khususnya pengolahan kelapa sawit yang tidak disertai
oleh berkembangnya industri turunan yang memberikan nilai tambah lebih seperti industri minyak goreng,
shortening, vegetable ghee dan margarin, bahan busa pada industri sabun, bahan kimia methyl ester, gliserin,
bahan pelumas industri baja, industri tekstil, kosmetik, dan juga pengembangan industri alternatif energi
biodiesel pengganti BBM. Di sisi lain, pangsa industri yang meningkat di KTI dipengaruhi oleh mulai
berkembangnya hilirisasi pengolahan mineral seperti industri tepung terigu, semen, migas, meski dalam
besaran yang masih relatif terbatas dan terkonsentrasi di daerah-daerah yang lebih "matang" dalam hal
infrastruktur. Pengembangan industri yang belum cukup optimal di KTI terutama terkait dengan ketersediaan
infrastruktur, terutama energi dan logistik, yang masih belum memadai.
Grafik VI.3. Pangsa Industri dalam PDRB
Grafik VI.4. Perubahan Pangsa Ekspor
Daya Saing Industri
Pengukuran daya saing industri dapat dilihat dari kemampuan industri dalam dalam berkompetisi di pasar
ekspor global. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat pada Revealed Comparative
Advantage (RCA) atau yang secara sederhana dengan melihat seberapa besar pangsa sebuah produk
manufaktur yang dihasilkan terhadap total produk yang sama di pasar ekspor global. Hasil pengukuran RCA
menunjukkan bahwa tingkat daya saing yang baik hanya dimiliki pada industri berbasis komoditas SDA,
khususnya olahan mineral tambang, sedangkan industri yang bersifat low-tech maupun medium-high tech
berada dalam posisi yang masih rendah.
Sumber : Anglingkusumo, dkk (2013), Transformasi Perekonomian Indonesia: Membangun Kapabilitas Industrial untuk
Mendukung Migrasi ke High Income Country, Internal Working Paper 04/2013
Gambar VI.1. Penentuan Daya Saing Berdasarkan RCA (Keunggulan Komparatif)
Menurunnya daya saing industri low-tech yang sebagian mengolah SDA pertanian dan perikanan mengalami
penurunan daya saing sebagai pengaruh persaingan global serta peningkatan biaya produksi khususnya dari
L a p o r a n N u s a n t a r a | 76
komponen biaya tenaga kerja (tergolong industri padat karya). Sementara posisi industri medium-high tech
yang tidak kompetitif terutama terkait dengan masih rendahnya integrasi industri domestik ke rantai pasok
global. Dari domestik, keterbatasan kapabilitas inovasi (R&D) dan produksi menjadi tantangan terbesar, selain
juga kemampuannya dalam menghasilkan produk yang memiliki standar internasional. Sebagian dari industri
medium-high tech ini terkonsentrasi di Jawa karena faktor ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dan
pasokan tenaga kerja dengan kualifikasi lebih baik.
Dari pengukuran RCA per wilayah, sebagian besar komoditas ekspor industri baik manufaktur maupun olahan
SDA mengalami penurunan. Di Sumatera, tren penurunan keunggulan komparatif terutama pada komoditas
kelapa sawit (CPO) dan timah. Tertinggalnya hilirisasi kelapa sawit dibandingkan Malaysia menjadi faktor tren
penurunan keunggulan komparatif. Meski demikian, pertumbuhan eskpor kelapa sawit Sumatera masih
berada di atas pertumbuhan ekspor kelapa sawit dunia. Ekspor timah dari Sumatera juga menunjukan kinerja
yang lebih buruk dan saat ini telah berada di kuadran tidak kompetitif.
Tabel VI.1. Daya Saing Berdasarkan RCA (Keunggulan Komparatif) Wilayah
1
2
3
4
5
SUMATERA
Kelapa Sawit
Timah
Karet
Turunan CPO
Bubur Kertas
Tren* JAWA
TPT
Kimia
Mamin
Otomotif
Elektronik
Tren* KALIMANTAN
Batubara
Kelapa Sawit
Karet
Kayu Lapis
Pupuk
Tren* KTI
Minyak Kelapa
Tembaga
Nikel
Ikan
Kakao
Tren*
 Tren 5 tahun terakhir
Di Jawa, penurunan keunggulan komparatif terjadi pada industri tekstil dan produk tekstil (TPID) serta industri
kimia. Persaingan pasar global dan fasilitas pendukung lokasi investasi menjadi faktor penurunan keunggulan
komparatif industri TPT. Kebijakan perdagangan pasar bebas turut memengaruhi daya saing produk TPT terkait
dengan perbedaaan dalam pengenaan bea impor. Keunggulan komparatif dari industri kimia juga mengalami
kecenderungan menurun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan produksi bahan baku dalam negeri.
Sementara itu, Kalimantan masih memiliki tren peningkatan keunggulan komparatif walaupun lebih
didominasi oleh barang-barang olahan tambang dan perkebunan. Keunggulan komparatif pada industri kelapa
sawit di Kalimantan juga lebih disebabkan oleh ekspansi perkebunan sawit yang cenderung meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Meski demikian, isu lingkungan menjadi tantangan terbesar dalam pengembangan
daya saing industri di Kalimantan.
%
60
Proyek
3500
3000
50
2500
40
2000
30
1500
20
1000
10
500
Grafik VI.5. Pangsa Ekspor Industri
Proyek
PMDN
Pangsa
PMA
Pangsa
PMDN
2014
2013
2012
2011
0
2010
0
Proyek
PMA
Grafik VI.6. Perubahan Pangsa Ekspor
Tren penurunan keunggulan komparatif industri di KTI terindikasi pada pengolahan tembaga, nikel, serta
kakao. Meski telah didorong upaya hilirisasi komoditas mineral tambang semenjak 2012, namun
perkembangannya masih relatif lambat. Pengembangan industri smelter di KTI masih terbatas terkait dengan
persoalan ketersediaan infrastruktur energi dan logistik yang belum memadai. Sementara daya saing industri
kakao di pasar global antara lain menghadapi tantangan dari aspek spesifikasi yang belum memenuhi
kebutuhan pasar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 77
Secara agregat, daya saing ekspor industri nasional dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga di regional
ASEAN juga lebih rendah. Hal ini merupakan tantangan yang sangat berat seiring dengan implementasi pasar
tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta upaya mendorong ASEAN sebagai basis produksi. Pasca krisis
finansial 2009, pemulihan ekspor industri dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia dan Thailand.
Namun, dalam perkembangannya semenjak 2011, pangsa ekspor industri Indonesia terus mengalami
penurunan (2,0% di 2011 menjadi 1,7% di 2014), sementara pangsa ekspor industri Thailand terjaga.
Grafik VI.7. Tingkat Penggunaan Komponen Teknologi pada Industri Nasional
50
Salah satu faktor yang turut berkontribusi pada penurunan pangsa ekspor industri Indonesia adalah
terbatasnya daya tarik investasi khususnya penanaman modal asing (PMA) untuk pengembangan industri
berorientasi ekspor. Sebagian besar PMA termasuk dari multinational corporations (MNC) yang masuk ke
Indonesia lebih tertarik pada pembangunan industri dengan orientasi pasar domestik. Dalam beberapa tahun
terakhir, kinerja investasi PMA jauh lebih tinggi dibandingkan investasi dari sumber penanaman modal dalam
negeri (PMDN), baik dari jumlah proyek maupun nilai investasi secara total. Tren investasi PMDN ke
pengembangan industri yang menurun, ditengarai sebagai pengaruh dari pelambatan ekonomi. Selain itu,
tantangan pembiayaan turut menjadi aspek yang memengaruhi realisasi investasi industri dari sumber
domestik.
Grafik VI.8. Neraca Perdagangan Industri
Hal lain yang menyebabkan daya saing ekspor industri Indonesia menurun adalah masalah keterbatasan dalam
penggunaan teknologi. Berdasarkan tingkat penggunaan komponen teknologi pada produk ekspor industri,
Indonesia tertinggal pada ekspor produk high-tech dan hanya unggul pada primary products dibandingkan
negara peers di ASEAN. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pergeseran struktur ekspor dari low-tech dan
high-tech menjadi medium-tech dan resource-based. Produk ekspor Indonesia memiliki tingkat kompleksitas
50
Sumber data adalah WDI, WITS (World Bank). Klasifikasiprodukmenurutkomponenteknologimenggunakan SITC 3 digit
berdasarkanHatzichronoglou (1997) danLall (2000).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 78
51
yang lebih rendah dalam hal penggunaan teknologi dibandingkan negara peers . Pergeseran struktur ekspor
industri juga berimplikasi pada faktor ketergantungan impor, khususnya pada barang modal untuk investasi
dan bahan baku untuk produksi. Ketergantungan impor terutama pada industri medium-high tech yang
teridentifikasi dari postur defisit neraca perdagangan pada kategori tersebut.
Lemahnya posisi Indonesia dalam rantai produksi global atau global production network (GPN) adalah faktor
lain yang turut memengaruhi penurunan daya saing industri. Hal ini ditunjukkan dari masih rendahnya
kapabilitas ekspor dalam memproses Foreign Value Added (FVA) atau kemampuan mengekspor produk olahan
dengan bahan baku impor. Kondisi ini tidak terlepas dari beberapa tantangan yang dihadapi terutama terkait
dengan lingkungan pendukung berkembangnya industri yang berorientasi pada ekspor atau merupakan bagian
terintegrasi dari rantai pasok global. Tantangan utama terkait dengan aspek ketenagakerjaan. Kapasitas dan
kapabilitas tenaga kerja yang belum optimal bagi kebutuhan industri karena masih minimnya dukungan
ketersediaan pusat pelatihan formal atau pendidikan vokasi. Di samping itu, infleksibilitas tenaga kerja dengan
aturan ketenagakerjaan yang relatif lebih rigid dibandingkan negara peers berpengaruh pada biaya tenaga
52
kerja yang lebih tinggi - dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara itu, rasio upah minimum
dibagi produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan China, Malaysia dan India.
Grafik VI.9. Kapabilitas Ekspor dlm GPN
Grafik VI.10. Kapabilitas dlm FVA
90
Percent of firms offering formal training
Proportion of workers offered formal training (%)*
80
70
60
50
40
30
20
10
0
China
Grafik VI.11. Produktivitas Taker
Indonesia
India
Malaysia
Philippines
Thailand
Vietnam
Grafik VI.12. Pelatihan Formal Karyawan
Belum mendukungnya fasilitasi perdagangan juga menjadi faktor yang turut menghambat berkembangnya
industri yang terintegrasi dengan GPN. Waktu yang dibutuhkan untuk proses ekspor dan impor di Indonesia
relatif lama dibandingkan negara peers karena masih adanya hambatan akses di darat serta proses bongkar
muat di pelabuhan. Indeks Logistic Performance Index (LPI) untuk Indonesia sedikit meningkat pada 2 tahun
51
Perhitungan product sophistication (EXPY) merujuk pada Hausmann, Hwang and Rodrik (2007). EXPY diukur dari proporsi ekspor atas
PRODY masing-masing produk, dan PRODY merupakan tingkat kecanggihan suatu produk yang diukur dari pendapatan per kapita negara
(pada PPP) pengekspor utama produk tersebut di dunia.
52
Biaya PHK dihitung dari berapa kali minggu gaji yang harus dibayarkan. Di Indonesia, jumlah pesangon dalam PHK lebih tinggi dari
seluruh negara peers di ASEAN.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 79
terakhir, meski masih lebih rendah dibandingkan mayoritas negara peers. Kondisi infrastruktur juga membaik
pada 2 tahun terakhir, namun lebih rendah dibandingkan mayoritas negara peers.
30
3.70
Hari
Time to export (days)
25
3.50
Malaysia
Time to import (days)
20
3.30
China
15
Thailand
3.10
Vietnam
10
2.90
5
Indonesia
India
2.70
0
Philippines
2.50
2007
Grafik VI.13. Waktu Ekspor & Impor
2010
2012
2014
Grafik VI.14. Indeks Logistik (LPI)
Strategi dan Prioritas Pengembangan Industri
Menghadapi sejumlah tantangan pada daya saing industri, dibutuhkan penajaman strategi dan pengaturan
prioritas dalam kebijakan industrialisasi. Dalam kaitan tersebut diperlukan kesamaan pandang dalam mencapai
tujuan akhir pembangunan, yakni diarahkannya pengembangan ke industri berorientasi ekspor yang
memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. Perlu menjadi perhatian faktor dari inward network yang yang
fokus pada integrasi antar lokasi industri (aglomerasi) untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sebagai
bagian dari upaya peningkatan daya saing. Sementara di level global (outward network), perlu dioptimalkan
integrasi ke rantai produksi global khususnya melalui investasi MNC.
Outward
Outward Network
Network
Global Production
Production
Network
Network
Sasaran Akhir:
Sasaran
Akhir:
Kesejahteraan
KesejahteraanSosial
Sosialdan
&
Stabilitas makro
makro
Stabilitas
Inward
Inward Network
Network
Spatial
linkages
Spatial linkages
Orientasi
dan peningkatan
peningkatannilai
nilaitambah
tambah
Orientasi ekspor dan
Upgrading dan Deepening Industri
Efisiensi + Produktivitas = Daya Saing
Berbasis SDA
Padat Karya
Teknologi
Menengah
Teknologi
Tinggi
Teknologi Tinggi
Strategi Peningkatan Daya Saing Industri
Institusi
dan
Institusi dan
Leadership
Leadership
• Koordinasi (antar
sektor, pusat-daerah)
• Trust & collective
action
• Efektivitas
manajemen
pemerintahan & Tata
kelola
Skema
Trade
Skemainsentif
insentif Trade
dan
Investment
dan Investment
SDM &
SDM & TK
Ketenagakerjaan
Infrastruktur
Infrastruktur
Efisiensi
Teknis
Efisiensi
Teknis&&
business
services
business
services
•
•
•
•
•
• Penyempurnaan
sistem pendidikan
nasional (Link dan
Match)
• Keterampilan &
produktivitas kerja
• Kebijakan TK
• Konektivitas
(jalan, logistik, pel
abuhan, customs)
• Energi & utilitas
• Kebijakan fiskal di
bidang logistik
• Koordinasi dan
regulasi
• Technological
improvement
• R&D dan Inovasi
• Business services
• HAKI
Promosi ekspor
Fasilitasi investasi
kawasan industri
Insentif fiskal
Lingkungan makro (inflasi
terkendali dan nilai tukar
yang stabil)
Akses
Akses
Pembiayaan
Pembiayaan
• Akses
pembiayaan
(Financial
inclusion)
• Modal ventura
• Sumber
pembiayaan
jangka panjang
Akses Pasar
Akses Pasar
• Trade Agreement
• Sertifikasi/
standarisasi
• Sistem informasi
(repository)
• Perluasan pasardan
sistem
Gambar VI.2. Bagan Konsep Strategi dan Prioritas Pengembangan Industri Nasional
Kebangkitan industri perlu diawali dengan perumusan strategi dan prioritas dalam upgrading dan deepening
industri menuju industri berbasis teknologi, tanpa mengesampingkan pengembangan industri padat karya
maupun industri berbasis SDA yang bernilai tambah tinggi. Sejumlah strategi peningkatan daya saing dapat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 80
difokuskan pada 7 aspek sebagai berikut : (1) institusi dan kepemimpinan; (2) skema insentif perdagangan dan
investasi; (3) penguatan SDM tenaga kerja; (4) pembangunan infrastruktur; (5) efisiensi teknis dan business
services; (6) akses pembiayaan; (7) akses pasar. Dalam merumuskan dan merencanakan strategi dan prioritas
pembangunan industri secara lebih detil, perlu menjadi perhatian target pembangunan industri nasional sesuai
dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015 – 2035.
Paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar mencakup deregulasi kebijakan industri merupakan langkah
terobosan yang dapat mendorong tumbuh berkembangnya industri ke depan. Langkah kebijakan pemerintah
ini merupakan awal dari kebangkitan industri nasional melalui peningkatan daya saing utamanya dengan
negara peersdi kawasan regional ASEAN. Segala upaya yang dapat mendukung peningkatan daya saing industri
nasional perlu senantiasa disinergikan antar institusi terkait baik pemerintah maupun swasta.
Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah dinamika kebijakan perdagangan global yang terus
berkembang. Kesiapan industri nasional dalam menghadapi era pasar bebas perlu dicermati terkait dengan
daya saing ekspor serta potensi tergerusnya akses pasar domestik sejalan dengan semakin agresifnya negara
peers dalam memanfaaatkan free trade agreement (FTA). Hilangnya penguasaan pasar domestik memberikan
risiko peningkatan impor yang berdampak pada kinerja neraca perdagangan.
Gambar VI.3. Kerjasama Perdagangan Pasar Bebas
L a p o r a n N u s a n t a r a | 81
Ditengah kondisi perekonomian yang masih dalam tahap perbaikan secara gradual hingga saat ini, penguatan
peran sektor ekonomi yang mampu tumbuh berkelanjutan dan berbasis pada potensi domestik menjadi
semakin relevan. Kedua kriteria tersebut mampu disajikan oleh sektor pariwisata yang secara kontinu
mengalami peningkatan pertumbuhan, bahkan ditengah kondisi perekonomian yang kurang kondusif dan
berbagai hambatan yang dihadapi. Pengembangan sektor pariwisata masih dihadapkan pada berbagai
tantangan, baik yang bersifat struktural maupun jangka pendek, sehingga berdampak pada daya saing sektor
pariwisata nasional yang relatif rendah dibandingkan negara-negara kawasan. Melalui berbagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing pariwisata nasional diantaranya berupa
peningkatan akses (infrastruktur pendukung), atraksi dan amenitas, diharapkan target RPJMN pariwisata
dapat tercapai. Langkah yang ditempuh untuk pengembangan pariwisata memerlukan sinergi dan komitmen
antara pusat dan daerah agar kebijakan yang diputuskan ditingkat daerah dapat selaras dengan strategi
pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Selain itu, diperlukan juga komitmen ditingkat antar
daerah untuk saling berkoordinasi dalam pengembangan pariwisata dalam konsep ‘great’ (kewilayahan
berdasarkan pintu masuk wisatawan mancanegara). Kebijakan pengembangan integrasi destinasi wisata perlu
semakin ditingkatkan sebagai perwujudan konsep ‘great’ diatas.
Gambaran Umum Pariwisata Nasional
Pariwisata merupakan sebuah industri yang berkelanjutan dengan bahan baku yang tak terbatas dan memiliki
potensi untuk dapat memicu efek multiplier bagi sektor lainnya. Pariwisata memiliki peran yang strategis baik
dalam perekonomian global maupun nasional. Di tingkat global, pariwisata mengambil porsi 5% (senilai USD
1,4 triliun) dari total ekspor dunia dan 9,5% dari total PDB dunia. Sementara secara nasional, peran strategis
pariwisata tercermin dari solidnya kontribusi yang diberikan oleh sektor ini bagi perekonomian nasional
bahkan dikala perlambatan kinerja terjadi dihampir seluruh sektor.
53
Grafik VI.15. Share dan Growth Pariwisata
Grafik VI.16. Transaksi Berjalan dan
Pangsa Pariwisata dalam Ekspor
Pariwisata dipandang sebagai satu dari lima sektor yang dianggap akan mampu menopang akselerasi
perekonomian nasional selain sektor agroindustri dan manufaktur. Pariwisata nasional selama 3 tahun terakhir
tumbuh dikisaran 6%, diatas pertumbuhan PDB yang rata-rata sebesar 5,5%. Selain itu, pariwisata memiliki
53
Berdasarkan share sektor hotel dan restaurant serta jasa hiburan dan rekreasi dalam PDB.
Laporan Nusantara| 82
54
pangsa yang cukup besar dalam PDB yaitu 9,3% dan merupakan penghasil devisa kelima terbesar sejumlah
USD 11,17 Juta, setelah devisa yang dihasilkan komoditas SDA unggulan ekspor (migas, batubara, CPO, &
karet). Pariwisata juga diklaim mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan sektor lain,
dimana pada 2014 pariwisata nasional mampu menghasilkan 9,8 juta lapangan kerja.
Grafik VI.17. Sektor Penyumbang Devisa Nasional
Kinerja pariwisata nasional menunjukkan perkembangan yang cukup baik khususnya dalam lima tahun
terakhir, baik terkait dengan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara
(wisnus). Jumlah wisman meningkat secara kontinu sepanjang 2009-2014 dengan rata-rata peningkatan sekitar
7,2% per-tahun, sementara kunjungan wisnus rata-rata meningkat 2% per-tahun. Peningkatan kunjungan
wisman Indonesia pada 2014 tercatat sebesar 7,2%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yang hanya
sebesar 4,7%. Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap USD yang terjadi dalam dua tahun belakangan
terindikasi memiliki korelasi yang positif terhadap peningkatan jumlah kunjungan wisman. Peningkatan
kunjungan wisman disertai dengan peningkatan penerimaan devisa negara rata-rata sebesar 12,23% per
tahun. Pada tahun 2014, jumlah wisman tercatat sebesar 9,4 juta orang dengan penerimaan devisa sebesar
USD 11,1 Miliar.
Grafik VI.18. Perkembangan Jumlah Wisatawan
Mancanegara
Grafik VI.19. Perkembangan Kunjungan Wisatawan
Nusantara
Data Kementerian Pariwisata menunjukkan bahwa wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia
sebagian besar dalam rangka berlibur (57%) dan Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition (MICE, 33%),
kemudian sisanya berkunjung dalam rangka belajar dan lainnya (10%). Pada tahun 2014, jumlah wisman
terbesar berasal dari Australia, kemudian diikuti oleh Singapura dan Tiongkok. Wisman asal Australia
membukukan pendapatan devisa terbesar (USD 1.802 Juta), sejalan dengan durasi tinggal yang lebih lama
dibandingkan dengan wisman asal negara lain. Secara rata-rata, durasi tinggal wisman masih relatif singkat
yaitu sekitar 7,7 hari dengan tingkat pengeluaran sekitar USD 1.409 per hari. Namun, sepanjang lima tahun
54
Direct, indirect effect dan dampak ikutan (WWTC, 2014)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 83
terakhir, lama tinggal wisman belum mengalami perubahan berarti. Hal ini mengindikasikan belum optimalnya
pengembangan sisi attraction (daya tarik) destinasi bagi wisman.
Secara umum, pangsa pariwisata dalam perekonomian daerah masih terbilang minim terutama di wilayah
Sumatera (1,3%), Kalimantan (1,2%). Sementara pangsa pariwisata di wilayah Jawa dan KTI lebih besar yaitu
masing-masing 3,98% dan 3,47%, didukung oleh daerah yang memiliki core ekonomi pariwisata dan
infrastruktur pariwisata yang memadai seperti Jakarta dan Bali. Secara wilayah, kunjungan wisman terbesar
berada di wilayah KTI terutama Bali-NTB, kemudian diikuti oleh Sumatera yang ditopang oleh Batam.
Pariwisata di Jawa lebih didukung oleh tingginya jumlah wisnus yang mencapai 95% dari total wisatawan
dengan tujuan utama MICE, sementara pariwisata Kalimantan masih relatif minim dan hanya didukung oleh
kunjungan wisnus dalam rangka MICE.
Gambar VI.4. Profil Wisatawan Mancanegara
Grafik VI.20. Devisa, Lama Kunjungan & Jumlah Wisatawan
Berdasar Negara Asal Wisman
Permasalahan: Daya Saing Rendah terhadap negara kawasan
Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati dan kebudayaan yang kaya dengan jumlah
aset dan aspek kepariwisataan yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain di kawasan, sepatutnya
pariwisata Indonesia memiliki daya saing yang lebih baik. Namun, daya saing pariwisata nasional berada di
55
peringkat 50, hanya lebih baik dari Filipina, Vietnam dan Myanmar . Meskipun peringkat daya saing pariwisata
Indonesia mengalami perbaikan dibandingkan posisi delapan tahun sebelumnya, namun perbaikan tersebut
tidak menggeser Indonesia ke posisi yang lebih baik, relatif terhadap posisi Malaysia, Singapura maupun
Thailand. Perbaikan daya saing pariwisata nasional lebih didorong oleh faktor price competitiveness dan
kuatnya prioritas kebijakan pemerintah terhadap sektor Tourism & Travel (T&T). Namun, persoalan
infrastruktur masih mengemuka sebagai faktor yang menghambat perbaikan daya saing. Hal khusus lainnya
yang mengemuka pada daya saing pariwisata nasional adalah terkait minimnya standar kesehatan dan
kebersihan (hygiene) serta belum cukup kuatnya proteksi terhadap enviromental sustainability ditengah daya
tarik kekuatan pariwisata natural resources.
Sumber : World Economic Forum, 2015
Gambar VI.5. Peringkat Daya Saing Pariwisata Indonesia
55
Berdasarkan peringkat yang disusun oleh World Economic Forum (WEF) dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report, 2015
L a p o r a n N u s a n t a r a | 84
Bila dibandingkan dengan pencapaian beberapa negara peers, peran pariwisata nasional terhadap
perekonomian dapat dikatakan masih relatif terbatas. Sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand
dan Filipina mencatatkan pangsa pariwisata terhadap perekonomian yang cukup tinggi yaitu antara 10%
hingga 19%. Hal ini didukung oleh cukup optimalnya kapitalisasi pariwisata di negara tersebut. Malaysia,
Singapura dan Thailand merupakan tiga negara dengan jumlah kunjungan wisman dan perolehan devisa
pariwisata tertinggi di kawasan, dan dukungan anggaran promosi yang jauh lebih tinggi dibandingkan
Indonesia. Namun, pariwisata Indonesia dianggap masih memiliki potensi yang besar sehingga Word Travel
and Tourism Council (WTTC) memperkirakan pangsa pariwisata Indonesia akan terus meningkat hingga
mencapai USD 12 Miliar pada 2024. Saat ini, WTTC menempatkan Indonesia pada peringkat 12 (dari 184
negara) negara dengan tingkat pertumbuhan pariwisata tertinggi.
Sumber: Paparan Kementerian Pariwisata, April 2015
Grafik VI.21. Alokasi Anggaran Promosi
Upaya Pengembangan Pariwisata Nasional dan Daerah
Dalam rangka mewujudkan kemandirian perekonomian berbasis sektor strategis domestik serta mendukung
perekonomian yang berkelanjutan, pembangunan sektor pariwisata menjadi salah satu sasaran strategis yang
harus dicapai dalam pembangunan jangka menengah 2015-2019. Pengembangan pariwisata nasional didukung
oleh keragaman potensi alam dan budaya yang disertai pengembangan industri pariwisata berbasis penciptaan
nilai tambah ekonomi. Namun, pencapaian target pengembangan pariwisata nasional yang diamanatkan oleh
RPJMN mensyaratkan perlunya upaya peningkatan daya saing pariwisata. Sasaran pembangunan dan
peningkatan daya saing pariwisata mencakup peningkatan kinerja pariwisata dari sisi pangsa terhadap
perekonomian nasional, jumlah perolehan devisa dan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun
nusantara. Sementara sasaran pembangunan pariwisata secara inklusif mencakup pengembangan dari sisi
sosial yaitu peningkatan peran usaha lokal dan kualitas tenaga kerja pariwisata.
Sumber : RPJMN 2015-2019, Bappenas
Gambar VI.6. Target Pengembangan dan Arah Kebijakan Pariwisata
L a p o r a n N u s a n t a r a | 85
Untuk mencapai target RPJMMN tersebut, arah dan kebijakan strategi peningkatan daya saing pariwisata
dalam lima tahun mendatang difokuskan pada (i) pembangunan destinasi pariwisata; (ii) pemasaran pariwisata
nasional; (iii) pembangunan industri pariwisata; dan, (iv) pembangunan kelembagaan pariwisata. Upaya
peningkatan daya saing pariwisata secara umum mencakup perbaikan dari sisi aksesibilitas, atraksi (daya tarik
destinasi) dan amenitas yang juga didukung oleh perbaikan kualitas SDM dan kemudahan investasi. Strategi
tersebut kemudian dituangkan secara lebih detail melalui berbagai upaya peningkatan daya saing pariwisata
sebagaimana tercantum pada Gambar VI.4 dibawah. Kunci sukses peningkatan daya saing pariwisata
utamanya bergantung pada dua hal yaitu terkait dengan pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata dan
SDM.
Sumber : Ripparnas 2010-2025 PP No. 50/2011, Kemenpar
Gambar VI.7. Strategi Pengembangan Pariwisata Nasional
Strategi pengembangan pariwisata nasional saat ini tengah diarahkan untuk pengembangan pariwisata
56
berbasis kewilayahan melalui pengembangan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) , Kawasan Strategis
57
58
Pariwisata Nasional (KSPN) dan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) . Pada tahun 2015,
59
terdapat 10 DPN prioritas yang akan dikembangkan , salah satunya adalah DPN Borobudur di Jawa Tengah
yang ditargetkan untuk mencapai jumlah kunjungan sebesar 2 juta wisman pada tahun 2019. Dalam
implementasinya, diperlukan sinergi antara Jawa Tengah sebagai lokasi dari DPN dengan DI. Yogyakarta
sebagai pintu masuk terdekat baik melalui jalur darat maupun udara. Selain pengembangan pariwisata
nasional secara kewilayahan, promosi pariwisata juga dilakukan dengan mengedepankan konsep kewilayahan
60
berdasarkan pintu masuk wisman terbesar di wilayah tersebut (great ). Promosi pariwisata kewilayahan
dibagi dalam 10 great, dengan tiga great utama yaitu Great Batam, Great Jakarta dan Great Bali. Selain itu,
promosi pariwisata nasional difokuskan pada lima pasar utama wisman yaitu Tiongkok, Singapira, Malaysia,
Australia dan Jepang. Tiongkok disasar sebagai pasar utama tujuan pariwisata ke Indonesia karena
pertumbuhan wisman yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian, wisman asal
Singapura, Malaysia, Australia dan Jepang tetap diproyeksikan memiliki kontribusi besar dari jumlah dan
belanja wisman.
56
Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) adalah destinasi pariwisata yang berskala nasional (RIPPARNAS, 2011)
57
Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) : suatu ruang pariwisata yang mencakup luasan area tertentu sebagai suatu
kawasan dengan komponen Kepariwisataannya, serta memiliki karakter atau tema produk wisata tertentu yang dominan dan melekat kuat
sebagai komponen pencitraan kawasan tersebut (RIPPARNAS, 2011)
58
Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) : kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk
pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial
dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan (RIPPARNAS, 2011)
59
Mencakup Borobudur-Jawa Tengah, Mandalika-NTB, Labuhan Bajo-NTT, Bromo Tengger Semeru-Jawa Timur, Kepulauan Seribu-Jakarta,
Toba-Sumut, Wakatobi-Sultra, Tanjung Lesung-Banten, Morotai-Maluku Utara, dan Tanjung Kelayan-Belitung (Kemenpar, 2015)
60
Great Batam, Great Sumatera, Great Jakarta, Great Bandung, Great Yogyakarta, Great Surabaya, Great Kalimantan, Great Bali, Great
Sulawesi, dan Great Maluku-Papua.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 86
Pengembangan pariwisata berdasarkan kewilayahan perlu disertai dengan peningkatan daya saing yang
merata diseluruh daerah. Berdasarkan identifikasi awal, daerah dengan tingkat daya saing pariwisata tinggi
sebagian besar terdapat di wilayah Jawa. Masih lebih kuatnya daya saing pariwisata di beberapa daerah di
Jawa, Bali, dan NTB, tidak terlepas dari faktor infrastruktur pendukung yang lebih memadai dibandingkan
daerah lainnya antara lain seperti dukungan teknologi, ketersediaan fasilitas hotel dan infrastruktur jalan.
Meskipun infrastruktur perhubungan di Jawa relatif lebih baik dibandingkan wilayah lainnya, namun
perkembangan pariwisata Jawa menghadapi hambatan konektivitas antar destinasi wisata yang belum
sepenuhnya terintegrasi dan hanya dapat diakses melalui jalan darat non kereta api. Kondisi ini berdampak
pada minimnya durasi tinggal wisman di Jawa yang kurang dari 2 hari. Selain itu faktor infratsruktur, faktor
kapasitas SDM dan regulasi juga memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam menentukan daya saing pariwisata
daerah.
Gambar VI.8. Pengembangan Kewilayahan Pariwisata Nasional
Gambar VI.9. Peta Daya Saing Pariwisata Daerah
61
Berbagai implementasi strategi pengembangan pariwisata nasional yang telah diagendakan oleh pemerintah
untuk meningkatkan daya saing sekaligus memperbaiki positioning pariwisata nasional khususnya di kawasan,
memerlukan komitmen kuat tidak hanya dari pemerintah pusat saja, namun juga pemerintah daerah. Hal ini
61
Dilihat dari 4 aspek utama yaitu (i) EEI (Enabling Environment Index); (ii)Komponen Inf. I (T&T Policy & Enabling Conditions); (iii)
Komponen TPCI (T&T Policy & Enabling Conditions) ; (iv) Komponen NCRI (Natural & Cultural Resources Index), berdasarkan elemen:
Human Tourism Indicator (HTI), Price Competitiveness Indicator (PCI), Infrastructure Development Indicator (IDI), Environment Indicator
(EI), Technology Advancement Indicator (TAI), Human Resources Indicator (HRI), Openess Indicator (OI), Social Development Indicator
(SDI), TSII (Tourist Service Infrastructure, PTTI (Prioritization of Travel & Tourism Indicator), KPPN (Jumlah Kawasan Pengembangan
Pariwisata Nasional), VI (Visit Indicator).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 87
mengingat peningkatan daya saing pariwisata juga memerlukan perbaikan yang bersifat struktural, khususnya
terkait infrastruktur, dan karakteristik sebagian Pemerintah Daerah belum sepenuhnya memiliki komitmen
dalam pengembangan pariwisata dan lebih berfokus pada pencapaian target Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang bersifat jangka pendek. Sebagai awal dari peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengembangan
pariwisata, maka penetapan prioritas DPN yang dilakukan setiap tahun perlu didukung oleh kebijakan daerah
yang selaras dengan upaya peningkatan kualitas akses, amenitas dan atraksi (daya tarik) khususnya terkait
dengan integrasi antar destinasi dan harmonisasi kebijakan pariwisata di dalam maupun antar wilayah ‘great’.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 88
Indikator Makroekonomi
Daerah
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor
Impor
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan
Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda
Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan
Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan Sosial
Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan
Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
2014
Tahun Dasar 2010
2015
II
III
2.88
3.04
IVp
4.14
2015p
2016p
4.64
I
3.55
3.40
Ip
4.05 - 4.55
Total
4.01 - 4.51
5.42
11.19
3.03
5.24
-3.10
1.94
5.16
-3.10
2.79
4.78
4.45
6.54
4.91
5.14
4.21
5.02
0.78
4.01
4.71 - 5.21
4.97 - 5.47
4.60 - 5.10
5.14 - 5.64
4.02 - 4.52
4.82 - 5.32
3.98
1.34
1.06
2.45
3.49
2.10
4.13 - 4.63
3.74 - 4.24
-
-
5.45
5.69
2.30
0.37
4.32
3.08
4.28 - 4.78
3.72 - 4.22
-1.71
4.81
5.92
-3.33
1.97
4.70
-2.17
2.86
0.80
-1.62
4.38
1.26
-0.89
4.75
3.33
-2.00
3.51
2.53
(1.24) - (0.74)
4.53 - 5.03
4.37 - 4.87
(1.57) - (1.07)
3.96 - 4.46
7.31 - 7.81
4.90
5.38
6.25
4.43
5.61
5.42
4.34 - 4.84
5.82 - 6.32
7.03
3.45
2.41
4.71
5.58
4.07
5.70 - 6.20
6.67 - 7.17
5.73
4.87
4.29
3.37
4.12
4.15
4.22 - 4.72
4.61 - 5.11
6.41
7.88
7.15
8.34
5.90
7.30
5.70 - 6.20
6.19 - 6.69
7.82
8.06
6.74
7.50
7.78
7.52
7.09 - 7.59
8.62 - 9.12
7.59
3.79
6.60
6.65
8.26
4.67
5.59
6.65
9.12
0.69
5.50
6.15
8.73
4.66
5.69
5.19
7.78
4.46
5.83
5.74
8.47
3.62
5.65
5.92
8.22 - 8.72
4.36 - 4.86
5.53 - 6.03
6.17 - 6.67
8.72 - 9.22
5.19 - 5.69
5.17 - 5.67
6.33 - 6.83
6.12
5.86
8.15
7.27
6.22
6.87
5.34 - 5.84
5.34 - 5.84
7.86
9.29
7.42
7.22
5.59
7.33
5.49 - 5.99
6.38 - 6.88
7.38
6.76
7.52
8.83
5.57
7.16
5.91 - 6.41
5.72 - 6.22
6.73
7.23
7.62
7.24
6.11
7.04
5.82 - 6.32
6.12 - 6.62
1.65
5.23
5.85
2.62
7.76
7.32
4.68
5.49
5.08
4.68
(2.02)
4.82
5.49
(0.03)
5.95
7.16
4.62
5.38
4.95
4.10
(2.21)
5.13
5.31
(2.54)
5.17
6.25
4.74
5.23
5.08
3.97
(0.38)
5.08
4.71
(1.87)
4.53
5.72
4.89
5.17
5.18
3.96
1.03
5.19
4.92
1.72
4.94
5.86
5.21
5.06
5.33
4.40
(0.89)
5.05
5.10
(0.70)
5.14
6.24
4.87
5.21
5.13
4.11
2.43 - 2.93
4.91 - 5.41
5.25 - 5.75
1.30 - 1.80
5.07 - 5.57
5.81 - 6.31
4.96 - 5.46
4.94 - 5.44
4.98 - 5.48
4.06 - 4.56
3.59 - 4.09
5.01 - 5.51
5.11 - 5.61
0.19 - 0.69
5.31 - 5.81
6.50 - 7,00
5.32 - 5.82
5.02 - 5.52
5.05 - 5.55
4.18 - 4.68
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 89
Indikator Makroekonomi
Daerah
Inflasi IHK (%,yoy)
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
2014
8.62
8.08
8.17
11.57
8.64
7.59
8.75
8.48
10.85
8.09
9.04
Tahun Dasar 2010
2015
I
II
III
8.62
6.12
7.74
8.08
5.45
6.24
8.17
6.14
7.81
11.57
6.28
8.17
8.64
6.17
7.39
7.59
5.66
8.21
8.75
4.88
6.42
8.48
6.26
7.49
10.85
7.65
9.90
8.09
6.64
8.17
9.04
6.74
6.90
IVp
6.79
4.19
6.62
6.25
5.70
8.30
5.30
6.99
8.65
7.70
7.33
2015p
2.70
2.38
2.88
0.55
2.65
3.65
2.18
1.87
3.23
3.90
4.50
2016p
Ip
2.70
2.38
2.88
0.55
2.65
3.65
2.18
1.87
3.23
3.90
4.50
Total
5.18 - 5.68
4.48 - 4.98
6.25 - 6.75
3.78 - 4.28
4.72 - 5.22
4.72 - 5.22
4.82 - 5.32
4.52 - 5.02
7.22 - 7.72
5.67 - 6.17
6.15 - 6.65
L a p o r a n N u s a n t a r a | 90
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor
Impor
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan Sosial
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Inflasi IHK (%,yoy)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kredit Perbankan (%, yoy)
NPL (%)
DPK (%, yoy)
2014
5.59
Tahun Dasar 2010
2015
I
II
III
5.13
5.04
5.39
IVp
5.54
2015p
2016p
5.28
Ip
5.07 - 5.47
Total
5.29 - 5.69
4.83
12.73
2.29
4.84
2.59
1.15
-2.21
4.70
-11.81
0.87
5.15
-1.13
-3.44
5.59
4.73
-12.26
1.49
4.82
-2.72
-7.95
0.00
4.24
4.61
5.67
5.40
0.40
-6.05
-6.76
4.67
5.68
5.50
6.05
4.60
0.88
-
4.76
-5.68
3.01
5.08
3.04
-2.60
-
4.49 - 4.89
5.04 - 5.44
4.66 - 5.06
5.07 - 5.47
6.55 - 6.95
1.53 - 1.93
-
4.74 - 5.14
3.13 - 3.53
5.76 - 6.16
5.65 - 6.05
8.31 - 8.71
4.88 - 5.28
-
0.79
3.54
5.87
4.16
2.23
-0.37
4.73
-4.60
6.10
5.94
3.75
-4.05
2.04
2.79
4.70
-3.50
5.63
4.43
4.98
0.75
4.92
3.32
4.57
-1.96
7.71 - 8.11
(38.67) - (39.07)
4.62 - 5.02
(16.12) - (16.52)
5.34 - 5.74
3.51 - 3.91
4.65 - 5.05
2.69 - 3.09
3.32
4.73
4.34
3.99
4.89
4.63
(15.64) - (16.04)
3.46 - 3.86
5.45
4.62
3.85
4.99
6.72
5.17
6.13 - 6.53
5.77 - 6.17
4.44
4.35
4.33
4.35
5.05
4.61
4.97 - 5.37
5.05 - 5.45
8.60
8.08
8.49
7.59
7.22
7.94
1.29 - 1.69
7.83 - 8.23
7.28
6.24
6.41
7.03
6.71
6.38
(13.83) - (14.23)
6.29 - 6.69
11.14
4.82
6.07
8.91
9.98
7.50
5.64
7.19
10.05
2.62
4.98
7.65
8.96
11.44
4.59
7.88
9.68
8.24
5.28
8.23
9.67
7.61
5.28
7.77
(3.91) - (4.31)
3.35 - 3.75
1.06 - 1.46
1.93 - 2.33
9.74 - 10.14
7.42 - 7.82
5.81 - 6.21
8.41 - 8.81
1.58
2.87
4.00
4.29
3.79
3.71
0.25 - 0.65
3.89 - 4.29
7.39
8.88
8.19
6.80
8.69
7.75
8.44
7.67
6.44
8.07
8.69
6.96
5.17
7.26
-9.78
7.06
7.93
-2.97
0.79 - 1.19
2.88 - 3.28
(37.95) - (38.35)
5.3 - 5.7
7.47 - 7.87
(1.95) - (2.35)
5.95
5.07
5.47
5.42
5.18
5.86
8.35
8.95
7.60
10.20
8.21
6.59
7.77
12.14
5.08
4.93
5.69
5.55
4.20
5.18
6.31
7.10
5.46
7.46
5.64
5.12
6.17
11.70
2.15
16.95
5.15
4.88
5.26
4.84
4.72
5.25
7.07
7.59
6.51
8.91
6.15
5.68
6.77
10.67
2.25
13.40
5.96
5.03
5.18
4.95
5.30
5.44
6.71
7.24
6.11
8.14
5.78
5.23
6.69
11.12
2.41
14.03
6.06
5.11
5.31
5.10
5.42
5.69
2.86
3.03
2.64
3.46
1.91
3.38
3.14
-
5.57
4.97
5.22
5.08
4.91
5.39
2.86
3.03
2.64
3.46
1.91
3.38
3.14
-
-
5.30 - 5.70
5.02 - 5.42
5.18 - 5.58
5.20 - 5.60
5.04 - 5.44
5.62 - 6.02
4.08 - 4.48
4.33 - 4.73
3.67 - 4.07
5.12 - 5.52
3.56 - 3.96
3.20 - 3.60
4.21 - 4.61
-
-
-
-
-
12.84
L a p o r a n N u s a n t a r a | 91
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor
Impor
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan Sosial
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Inflasi IHK (%,yoy)
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kredit Perbankan (%, yoy)
NPL (%)
DPK (%, yoy)
3.19
Tahun Dasar 2010
2015
I
II
III
1.54
1.09
-0.41
IVp
0.01
4.67
8.70
4.13
6.06
-0.11
0.32
3.31
-4.49
8.91
5.92
-1.39
-1.35
3.34
3.48
8.82
3.97
-0.53
2.70
3.66
8.68
6.48
8.49
-3.01
3.50
4.25
0.08
2.19
15.81
3.95
-0.86
-3.02
36.49
5.18
-3.36
-1.06
22.72
6.65
3.40
7.50
2014
2015p
2016p
0.54
Ip
1.31 - 1.81
Total
2.04 - 2.54
3.84
9.43
3.29
5.75
-1.14
4.05
3.54
4.19
6.11
6.02
-1.52
2.27
3.59 - 4.09
5.92 - 6.42
0.57 - 1.07
4.50 - 5.00
0.44 - 0.94
4.09 - 4.59
3.78 - 4.28
2.88 - 3.38
4.75 - 5.25
5.88 - 6.38
1.57 - 2.07
4.45 - 4.95
3.50
-8.11
0.17
26.58
3.46
-8.94
4.50
2.81
4.02
-5.36
0.12
20.06
3.2 - 3.7
(-6.1) - (-5.6)
5.02 - 5.52
21.32 - 21.82
4.03 - 4.53
(-1.56) - (-1.06)
0.87 - 1.37
14.62 - 15.12
5.55
4.02
6.92
4.99
3.49 - 3.99
4.36 - 4.86
5.18
3.61
3.52
3.42
3.91
6.05 - 6.55
4.52 - 5.02
5.43
3.54
3.61
3.16
5.38
3.93
5.48 - 5.98
3.91 - 4.41
6.73
6.65
6.98
5.30
5.76
6.15
5.54 - 6.04
6.68 - 7.18
5.93
5.21
6.59
6.52
7.84
6.56
5.21 - 5.71
6.4 - 6.9
10.47
5.24
6.86
8.18
11.57
4.84
5.61
3.20
10.24
-0.48
4.42
2.19
10.78
5.16
4.15
2.63
11.61
4.20
5.17
2.11
11.05
3.42
4.83
2.52
8.8 - 9.3
6.03 - 6.53
4.11 - 4.61
2.15 - 2.65
8.42 - 8.92
3.82 - 4.32
5.18 - 5.68
4.09 - 4.59
7.95
7.14
12.41
15.99
13.96
12.57
14.88 - 15.38
6.28 - 6.78
9.88
7.43
7.22
9.84
7.17
6.38
10.25
10.03
7.92
10.97
10.98
8.06
8.66
10.08
8.72
9.90
9.58
7.79
8.44 - 8.94
6.33 - 6.83
6.78 - 7.28
8.03 - 8.53
9.29 - 9.79
6.79 - 7.29
5.02
6.21
4.85
2.02
7.87
9.43
7.07
7.28
7.67
9.69
3.01
5.25
4.85
7.67
3.91
-0.56
7.31
8.94
5.90
7.00
7.08
7.59
3.35
8.03
4.10
6.99
3.14
-0.89
7.33
9.04
5.85
6.07
7.55
7.44
3.42
6.46
4.23
6.66
3.86
-3.49
7.40
8.84
5.75
7.04
7.33
7.74
3.82
5.34
4.46
6.20
4.12
-2.79
4.99
6.02
4.50
4.83
4.73
4.41
6.87
3.76
-1.94
4.99
6.02
4.50
4.83
4.73
4.24 - 4.74
5.4 - 5.9
3.98 - 4.48
(-0.58) - (-0.08)
5.46 - 5.96
6.08 - 6.58
4.47 - 4.97
5.34 - 5.84
5.47 - 5.97
4.49 - 4.99
6.67 - 7.17
3.85 - 4.35
0.31 - 0.81
4.79 - 5.29
5.83 - 6.33
3.98 - 4.48
4.45 - 4.95
4.69 - 5.19
L a p o r a n N u s a n t a r a | 92
Indikator Makroekonomi Daerah
2014
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah
Tangga
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor Luar Negeri
Impor Luar Negeri
Net Impor Antardaerah
6.03
Tahun Dasar 2010
2015
I
II
III
6.84
9.01
7.75
6.03
6.72
5.87
5.27
10.05
4.59
8.75
-2.10
46.10
-10.40
-3.95
7.38
9.62
26.27
-8.56
50.05
-1.46
5.29
9.87
44.00
-0.90
36.03
6.60
-2.99
7.94
9.66
4.16
10.52
4.78
7.70
5.57
8.39
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB Menurut Provinsi (%, yoy)
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku Utara
Maluku
Papua Barat
Papua
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
IVp
6.91
2015p
2016p
7.63
Ip
5.61 - 6.01
Total
6.38 - 6.78
5.28
5.77
5.16 - 5.56
6.71 - 7.11
8.96
4.09
10.07
9.33
0.13
11.79
9.53
8.07
7.75
9.06
-7.05
10.62
3.23
6.23
9.29
19.9
-4.2
23.0
4.93 - 5.33
5.21 - 5.61
6.01 - 6.41
7.56 - 7.96
-16.28 - 15.88
9.92 - 10.32
2.58 - 2.98
7.56 - 7.96
7.69 - 8.09
4.88 - 5.28
-13.33 - -12.93
11.91 - 12.31
6.50
21.98
10.75
-3.61
4.04
13.71
6.61
-2.45
3.65
4.55
10.63
5.15
4.60
12.47
8.22
1.66
3.98 - 4.38
-2.16 - -1.76
10.74 - 11.14
10.44 - 10.84
4.89 - 5.29
-2.17 - -1.77
13.86 - 14.26
13.59 - 13.99
2.30
9.10
3.38
8.94
0.98
10.77
3.95
10.57
2.66
9.89
6.81- 7.21
6.06 - 6.46
8.68 - 9.08
5.81 - 6.21
7.56
6.84
6.04
6.40
6.59
7.18
7.33
8.28
8.03
7.85
7.00
7.46
7.75 - 8.15
9.15 - 9.55
8.29 - 8.69
8.97 - 9.37
7.04
7.26
6.77
7.70
7.68
6.89
7.34
9.99
6.91
4.00
5.48
7.35
2.54
6.60
5.15
5.72
8.11
9.78
6.24
6.33
7.22
8.19
6.41
6.80
6.83
6.32
7.76
7.14
6.63
5.60
7.85 - 8.25
5.16 - 5.56
4.67 - 5.07
6.30 - 6.70
7.69 - 8.09
8.74 - 9.14
5.62 - 6.02
6.76 - 7.16
7.34 - 7.74
7.76 - 8.16
8.09
7.38
8.74
7.58
6.20
9.00
7.70
7.12
7.07
8.34
8.02
6.88
7.00
7.83
9.44
7.95
7.73
4.99
6.21
7.35
7.04
7.45
7.80
7.33
8.65 - 9.05
8.09 - 8.49
5.90 - 6.30
7.46 - 7.86
9.38 - 9.78
8.78- 9.18
6.51 - 6.91
7.83 - 8.23
7.57
8.73
6.26
5.11
7.29
6.31
5.49
6.70
5.38
3.25
6.72
5.06
5.04
5.36
5.96
5.74
16.81
4.69
6.40
5.26
4.16
-2.11
5.79
6.20
16.52
4.66
7.79
9.05
7.22
15.72
6.54
6.27
6.54
5.63
6.94
12.77
6.03
16.51
5.09
7.34
6.72
6.96
15.08
5.80
6.28
6.76
5.27
6.43
-0.59
6.29
26.12
5.11
7.59
7.65
7.09
15.70
6.98
6.49
6.31
5.77
8.36
8.99
6.57
-5.74
5.29
7.05
7.36
6.77
15.81
6.00
6.36
6.22
5.22
4.84
6.59
6.28
12.88
5.05
6.57 - 6.97
8.02 - 8.42
6.11 - 6.51
13.37 - 13.77
5.86 - 6.26
6.28. - 6.68
6.53 - 6.93
5.53 - 5.93
5.47 - 5.87
7.07 - 7.47
6.22 - 6.62
-9.13 - -8.73
4.59 - 4.99
7.51 - 7.91
6.99 - 7.39
6.92 - 7.32
14.42 - 14.82
6.99 - 7.39
6.38 - 6.78
6.31 - 6.71
5.46 - 5.86
6.06 - 6.46
6.51 - 6.91
6.33 - 6.73
-4.64 - -4.24
5.07 - 5.47
L a p o r a n N u s a n t a r a | 93
Indikator Makroekonomi Daerah
Inflasi IHK (%,yoy)
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kredit Perbankan (%, yoy)
DPK (%, yoy)
NPL (%)
2014
8.31
8.61
7.89
8.45
8.84
6.14
9.67
7.19
9.35
9.11
6.56
8.43
7.22
7.76
13.28
11.20
2.49
Tahun Dasar 2010
2015
I
II
III
6.83
7.21
7.25
7.13
7.20
8.36
6.68
6.28
6.48
7.80
7.72
7.25
5.28
5.87
5.36
5.28
5.82
7.39
7.99
7.97
9.35
9.07
8.73
8.14
7.92
8.92
6.60
6.84
9.10
7.06
7.00
7.45
6.11
6.42
6.95
6.56
5.98
6.73
5.41
5.39
5.60
6.74
13.51
13.43
13.03
14.57
12.38
12.89
2.70
2.92
2.98
IVp
4.26
4.97
4.02
2.44
4.24
3.60
5.11
6.52
5.09
3.84
5.59
3.07
3.94
4.04
2015p
2016p
Ip
5.15 - 5.55
5.86 - 6.26
5.13 - 5.53
2.91 - 3.31
6.79 - 7.19
4.73 - 5.13
5.94 - 6.34
4.17 - 4.57
5.86 - 6.26
4.76 - 5.16
4.89 - 5.29
4.57 - 4.97
5.00 - 5.40
5.18 - 5.58
Total
4.51 - 4.91
4.62 - 5.02
5.68 - 6.08
2.61- 3.01
4.08 - 4.48
3.14 - 3.54
4.07 - 4.47
5.50 - 5.90
4.86 - 5.26
4.65 - 5.05
5.00 - 5.40
4.79 - 5.19
5.53 - 5.93
3.35 - 3.75
L a p o r a n N u s a n t a r a | 94
Penanggung Jawab dan Editor
Solikin M. Juhro
Koordinator Penyusun
Noor Yudanto
Tim Penulis
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Grup Asesmen Ekonomi
:
Grup Riset Ekonomi
:
Departemen Regional I
(Sumatera)
Departemen Regional II
(Jawa)
Departemen Regional III
(Kalimantan)
:
Departemen Regional IV
(Kawasan Timur Indonesia)
:
:
:
Handri Adiwilaga
Darius Tirtosuharto
Maximilian T. Tutuarima
Neva Andina
Puput Kurniati
Anggi Adiprasetio
MHA. Ridhwan
Gunawan Wicaksono
Febby Leorisa
Septine Wulandini
Komalia Rahmayani
Rizki Fitrama
FridaYunita Sinurat
Adela Putri Rizkia
Bernad Hasiholan
Ratu Miana Ulfani
Evy Marya Deswita Siburian
Andree Breitner Makahinda
Donny Pratama
Laporan Nusantara
Laporan Nusantara
Download