9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) Ikan pelagis adalah jenis ikan yang hidup di kolom air bagian atas atau permukaan air, dan pada umumnya memiliki kemampuan gerak dan mobilitas yang tinggi (Nikijuluw 2002). Sumberdaya ikan pelagis kecil bersifat poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton. Kelompok ikan pelagis kecil umumnya bertubuh pipih memanjang dengan warna tuhuh yang relatif terang (Widodo et al. 1994 vide Nelwan 2010). Daur hidup ikan pelagis kecil pada umumnya berlangsung seluruhnya di laut, yang dimulai dari telur, kemudian larva, dewasa, memijah dan sampai akhirnya mati. Larva dan juvenil ikan pelagis kecil bersifat planktonis, sehingga larva biasanya akan bergerak sesuai dengan arah arus (Nelwan 2010). Ikan pelagis kecil umumnya memiliki ciri - ciri, yaitu senang bergerombol, baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya, bersifat fototaksis positif (tertarik pada cahaya) serta benda - benda yang terapung, cenderung bergerombol berdasarkan kelompok ukuran, kebiasaan makan umumnya pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam, dan merupakan jenis pemakan plankton, baik plankton nabati maupun plankton hewani. Ikan pelagis kecil merupakan elemen yang penting dalam ekosistem laut karena biomassa yang signifikan pada level menengah dari jaring makanan, sehingga memegang peranan penting menghubungkan tingkatan trophic bagian atas dan bawah dalam struktur trophic level (Bakun 1996, Cury et al. 2000; Fréon et al. 2005; Palomera et al. 2007 vide Nelwan 2010). Ikan layang (Decapterus spp.) merupakan jenis pelagis kecil yang banyak ditangkap oleh nelayan Indonesia dan tergolong dalam kelompok ekonomis penting. Penyebarannya hampir diseluruh perairan Indonesia, namun potensi yang dimiliki sangat berbeda menurut wilayah penyebarannya. Glorbert dan Kailola (1984) vide Simbolon (2011) menjelaskan bahwa ikan layang secara umum yang ditemukan di perairan Indonesia ada lima jenis, yaitu : Decapterus ruselli, D. macrosoma, D. layang, D. macarellus, dan D. curroides. Jenis Decapterus ruselli mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus 10 macrosoma mempunyai nama umum layang deles atau layang scad. Adapun klasifikasi ikan layang Menurut Saanin (1984) vide Simbolon (2011), sebagai berikut : Kelas : Pisces Sub kelas : Teleotei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidae Famili : Carangidae Sub Famili : Carangidae Spesies : Decapterus ruselli D. macrosoma D. layang D. Kurroides D. macarellus Nama Decapterus sendiri terdiri atas dua suku kata, yaitu Deca artinya sepuluh dan Pteron artinya sayap, dengan demikian kata Decapterus berarti ikan yang memiliki sepuluh sayap. Ikan ini hidup di perairan lepas pantai dan berbentuk gerombolan (schooling) serta mampu bergerak cepat dalam perairan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 30 cm dengan kisaran panjang umumnya anatara 20 - 30 cm, bentuk badan agak memanjang dengan bentuk tubuh seperti cerutu dan sisiknya yang halus (Simbolon, 2011). Jenis ikan ini tergolong stenohaline, hidup diperairan dengan kadar garam relatif tinggi (32 - 34 o/oo) dengan kisaran yang sempit, menyukai perairan yang jernih (Amri 2002). Suhu optimum ikan layang berkisar antara 20 - 30 oC, sedangkan suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12 - 25oC (Laevastu dan Hela, 1970 vide Amri, 2002). Adapun jenis ikan layang (Decapterus spp) dapat dilihat pada Gambar 2. 11 Decapterus ruselli Decapterus macarellus Decapteerus Kuroides Sumber : www.fishbase.org Gambar 2 Beberapa Jenis ikan layang (Decapterus spp). Ikan layang tergolong ikan yang aktif berenang. Ketika tidak aktif berenang, ikan ini akan membentuk scholling di suatu perairan yang sempit atau sekitar benda yang terapung, seperti bongkahan kayu dan rumpon. Tingkah laku yang demikian, maka ikan layang sering dijumpai di sekitar rumpon dengan cara membelakangi rumpon dan cenderung melawan arus. Jenis Decapterus ruselli memiliki daerah penyebaran terluas diantara jenis yang dijumpai di Indonesia (Simbolon, 2011). Jenis Decapterus ruselli dan D. maruadsi termasuk dalam jenis layang yang berukuran besar dan habitatnya terdapat di laut dalam hingga pada kedalaman 100 meter atau lebih, seperti Laut Banda (Nontji, 2005). 12 2.2 Parameter Oseanografi Kata oseanografi adalah kombinasi dari dua kata yunani: oceanus (samudera) dan graphos (uraian/deskripsi) sehingga mempunyai arti deskripsi tentang samudera (Supangat dan Susana 2003). Oseanografi sendiri seringkali diungkapkan berdasarkan empat kategori keilmuan yaitu fisika, biologi, kimia, dan geologi (Stowe 1983). Oseanografi fisika khusus mempelajari segala sifat dan karakter fisik yang membangun sistem fluidanya. Oseanografi biologi mempelajari sisi hayati samudera guna mengungkap berbagai siklus kehidupan organisme yang hidup di atau dari samudra. Oseanografi kimia melihat berbagai proses aksi dan reaksi antar unsur, molekul, atau campuran dalam sistem samudera yang menyebabkan perubahan zat secara reversible atau irreversible. Oseanografi geologi memfokuskan pada bangunan dasar samudera yang berkaitan dengan struktur dan evolusi cekungan samudera. Dalam konteks perikanan tangkap pengetahuan mengenai kondisi oseanografi perairan merupakan hal yang sangat penting, hal ini terkait dengan keberadaan setiap jenis spesies ikan di perairan. Faktor oseanografi yang sering diamati, yaitu suhu permukaan laut, klorofil-a dan salinitas. 2.2.1 Suhu permukaan laut Suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan dan sumberdaya hayati laut pada umumnya, setiap spesies ikan mempunyai kisaran suhu yang sesuai dengan lingkungan untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya (Simbolon et al. 2009). Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh beberapa kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas matahari, sehingga suhu permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Selanjutnya dikatakan bahwa secara vertikal suhu perairan Indonesia dapat dibedakan atas tiga lapisan, yaitu: lapisan homogen hangat (bagian atas), lapisan termoklin (bagian tengah) dan lapisan dingin pada bagian bawah (Nontji 1987 vide Simbolon et al. 2009). 13 Suhu permukaan laut perairan tergantung pada insolasi dan penentuan jumlah panas yang kembali diradiasikan ke atmosfer. Semakin panas permukaan maka semakin banyak radiasi baliknya. Panas juga ditransfer di sepanjang permukaan laut melalui konduksi dan konveksi serta pengaruh penguapan maka ketikan suhu permukaan laut lebih panas dari udara di atasnya maka panas dapat ditransfer dari laut ke udara. Biasanya permukaan laut lebih panas dari udara diatasnya sehingga terdapat sejumlah panas yang hilang dari laut melalui konduksi. Kehilangan tersebut relatif tidak penting untuk total panas lautan dan pengaruhnya dapat diabaikan kecuali untuk pencampuran konvektif oleh angin yang memindahkan udara hangat dari permukaan laut (Supangat dan Susana 2003). Menurut Hutabarat (2001) suhu merupakan faktor pembatas bagi proses produksi di lautan dan bersifat tidak langsung, pertama suhu yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton (kandungan enzim dan sel tubuh), sehingga akan mengganggu proses fotosintesis, kedua, akan mengganggu kestabilan perairan itu sendiri. Suhu yang terlalu tinggi di bagian permukaan juga akan mengakibatkan terjadinya proses percampuran dengan massa air di bawah. Akibatnya fitoplankton akan terbawa ke kolom air yang lebih dalam dan membuat perairan tersebut tidak produktif. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25oC hingga 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (±8m) (Tomascik et al.1997) sedangkan menurut Nontji (2005) suhu permukaan laut di perairan Nusantara umunya berkisar antara 28 - 31oC pada lokasi penaikan massa air (upwelling) terjadi, misalnya Laut Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai sekitar 25oC, hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas. Menurut Soegiarto dan Birowo (1975) vide Sinaga (2009) suhu pada lapisan permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26oC hingga 30oC, lapisan termoklin berkisar 9oC hingga 26oC dan lapisan dalam berkisar antara 2oC hingga 8oC. Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia umumnya mempunyai pola seperti pada Gambar 3. 14 Suhu (oC) a b c Sumber : Nontji (2005) Gambar 3 Sebaran vertikal suhu secara umum di perairan Indonesia a) Lapisan hangat, b) Lapisan termoklin, c) Lapisan dingin. Informasi mengenai suhu permukaan laut saat ini telah mudah diperoleh dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi inderaja. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis dan memprediski fenomena upwelling ataupun front yang merupakan indikator tentang daerah penangkapan ikan potensial (Simbolon et al. 2009). 2.2.2 Produktivitas perairan Produktivitas suatu perairan pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan perairan tersebut mensintesis bahan - bahan organik dari bahan anorganik. Sebagai contoh adalah proses fotosintesis, dalam proses ini bahan - bahan organik yang dikandung dalam air seperti H2O, CO2 dan lain - lain akan diikat menjadi bahan organik seperti gula melalui proses fikokimiawi dengan bantuan energi sinar matahari. Persenyawaan tersebut dapat terjadi karena adanya zat hijau daun (chlorophyl) yang banyak dikandung dalam tumbuh - tumbuhan hijau yang banyak hidup melayang di perairan. Dengan adanya hasil bahan organik, maka hewan plankton (zooplankton) dan ikan akan memanfaatkan tumbuh - tumbuhan plankton (fitoplankton) sebagai bahan makanannya. Kemudian zooplankton akan dimanfaatkan oleh hewan lain yang ukurannya lebih besar, baik yang hidup di 15 dasar maupun yang berenang secara aktif seperti ikan (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa plankton adalah organisme yang sangat penting peranannya dalam menentukan tingkat produktivitas suatu perairan. Produktivitas (primary production) oleh fitoplankton pada setiap habitat akan berbeda satu dengan lainnya. Kondisi ini sangat dipengaruhi ketersedian sinar matahari yang cukup untuk membantu tumbuh - tumbuhan melakukan proses fotosintesa. Produktivitas ini sangat ditentukan oleh kondisi oseanografi seperti sifat fisika dan kimia (zat hara/nutrient) air laut dari satu sisi dan organisme hidup pendukung di sisi lainnya (Hutabarat 2001). Zat Hara Dilaut Produsen Pertama (Primer) Fitoplankton Energi Sinar Matahari Produsen Kedua Zooplankton (Herbivora) Produsen Ketiga Zooplankton (Carnivora) Produsen Tingkat Tinggi (Manusia) Sumber : Hutabarat (2001) Gambar 4 Diagram yang menunjukkan tingkat pemanfaatan energi dalam sistem rantai makanan di perairan. Produktivitas primer merupakan laju produksi zat hara organik melalui proses fotosintesis. Reaksi fotosintesis adalah rekasi yang sangat rumit, tetapi secara keseluruhan dapat disederhanakan sebagai berikut (Nontji, 2008): Cahaya + − − − − − − −( ) + Klorofil Dalam proses fotosintesis, cahaya matahari (sebagai sumber energi) disadap oleh pigmen klorofil yang ada dalam tumbuhan, dan dengan adanya karbon dioksida (CO2), air dan zat - zat hara akan terjadi reaksi kimia yang akan menghasilkan senyawa organik (misalnya karbohidrat) yang mempunyai potensi energi kimiawi yang tinggi yang disimpan dalam sel (Nontji 2008). Proses energi kimiawi yang 16 terkandung sel tumbuhan ini dapat dialihkan ke berbagai hewan melalui jaringan pakan dengan demikian akan menimbulkan produktivitas sekunder, tersier dan seterusnya sesuai dengan posisinya dalam trophic level (Azhari 1994). Menurut Nontji (2008) produktivitas primer dapat dibagi ke dalam 2 jenis yaitu (1) produkstfitas primer kotor (gross primary productivity) adalah produktivitas primer zat organik dalam jaringan tumbuhan, termasuk yang digunakan untuk respirasi, (2) produktivitas primer bersih (net primary productivity) adalah produktivitas primer kotor dikurangi dengan yang digunakan dalam respirasi. Hasil produktivitas primer inilah yang dapat dialihkan ke berbagai komponen ekosistem di laut. Pengukuran produktivitas primer kini dapat dilakukan secara langsung di lapangan atau secara tidak langsung dengan pendugaan dari hasil pengukuran klorofil di laut atau dengan penerapan teknologi inderaja (remote sensing). Kemampuan fotosintesis tidak lepas dari kandungan klorofil yang dimiliki oleh fitoplankton. Salah satu jenis klorofil yang keberadaannya hampir terdapat pada semua jenis fitoplankton adalah klorofil-a (Nontji, 2008). Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Klorofil-a adalah pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat pada hampir seluruh organisme fitoplankton dan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol, dietil eter, benzen dan aseton dengan absorbsi yang maksimum oleh klorofil-a bersama pelarutnya terjadi pada panjang gelombang 430 nm dan 663 nm (Simbolon et al, 2009). Selanjutnya Simbolon et al. (2009) menjelaskan bahwa sebaran klorofil-a bervariasi secara geograris maupun berdasarkan kedalaman perairan. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terdapat di suatu perairan. Pada daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, karena massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan ketika terjadi upwelling. 17 Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989) bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah - ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan. Berdasarkan penelitian Nontji (1974) vide Presetiahadi, (1994) nilai rata - rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg/m3, nilai rata - rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg/m3) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada musim barat (0,16 mg/m3). Daerah dengan nilai klorofil-a tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/upwelling (Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan pengaruh sungai - sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan). 2.2.3 Salinitas Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan o/oo (per mil) (Simbolon et al, 2009). Sebaran salinitas pada perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Pada perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira - kira setebal 50 - 70 m atau lebih tergantung intensitas pengadukan (Nontji, 2005). Menurut Hutabarat (2001) dalam air permukaan lautan, kisaran salinitas adalah 33 - 37 o/oo tetapi bila paparan - paparan laut dan kondisi lokal kisaran melebar menjadi 28 - 40o/oo atau lebih. Air Payau mempunyai salinitas kurang dari 25o/oo sementara air hipersalin lebih besar dari 40o/oo. Komposisi konsentrasi ion - ion utama utama dalam air laut dalam bagian per seribu (g kg-1 atau gl-1) (Tabel 1). 18 Tabel 1 Konsentrasi ion - ion utama utama dalam air laut dalam bagian per seribu (g kg-1 atau gl-1) Ion o /oo Terhadap Berat Keterangan - Clorida, C 18,980 Total ion - ion negatif Sulfat, SO422,649 (anion) = 21,861 o/oo Bikarbonat, HCO3 0,140 Bromida, Br0,065 Borat, H2BO30,026 0,001 Florida, FSodium, Na+ 10,556 Total ion - ion positif 2+ Magnesium, Mg 1.272 (kation) = 12,621 o/oo 2+ 0,400 Kalsium, Ca 0,380 Potasium, K+ 0,013 Strontium, Sr2+ Total Salinitas 34,482 o/oo Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003) Distribusi salinitas dapat menjadi informasi yang memudahkan dalam melacak pola sirkulasi di lautan. Distribusi ini terjadi secara vertikal dan horizontal. Di perairan samudra, salinitas biasanya berkisar antara 34 - 35o/oo, sedangkan pada perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh aliran sungai, salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya pada daerah yang memiliki penguapan yang kuat, salinitas bisa meningkat tinggi (Nontji, 2005). Salinitas bervariasi tergantung keseimbangan antara penguapan dan presipitasi, serta besarnya pencampuran antara air permukaan dan air di kedalaman. Secara umum, perubahan salinitas tidak mempengaruhi proporsi relatif ion - ion utama. Konsentrasi ion - ion berubah dalam proporsi yang sama yaitu rasio ioniknya tetap konstan. Distribusi temperatur dan salinitas memberikan informasi yang memudahkan oseanografer melacak pola tiga dimensi sirkulasi lautan. baik secara vertikal dan horisontal. Peta dan profil salinitas merupakan gambaran yang stabil dalam jangka waktu panjang yang dihasilkan secara dinamik. Perlu diingat bahwa salinitas sulit berubah tiap tahunnya tetapi air dapat berganti tiap waktu (Supangat dan Susana, 2003). Salinitas air permukaan laut maksimum terjadi di daerah tropis dan lintang subtropis karena di wilayah tersebut penguapan melampaui presipitasi. Daerah ini berhubungan dengan adanya padang pasir yang panas di lintang yang sama. Salinitas berkurang ke arah lintang tinggi maupun ke arah Ekuator (Gambar 5). 19 Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003) Gambar 5 (a) Posisi rata - rata permukaan isohalin tahunan. (b) Plot nilai rata - rata salinitas permukaan, S (garis tebal), dan perbedaan antara rata - rata penguapan dan presipitasi tahunan (E - P) (garis putus - putus) terhadap lintang. 2.2.4 Upwelling Upwelling merupakan suatu proses naiknya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas. Fenomena ini menimbulkan suatu daerah yang kaya akan larutan nutrien, seperti nitrat dan fosfat dan karena itu mereka cenderung mengandung fitoplankton (Simbolon et al. 2009). Luas daerah upwelling diperkirakan hanya 0,1% dari total luas perairan laut namun produktivitas primer dan rata - rata produksi ikan di wilayah ini sangat tinggi (Tabel 2). Tabel 2 Produktivitas perikanan beberapa lokasi di Indonesia Habitat Laut Terbuka Pantai Upwelling Presentase luas perairan Rata - rata Produktivitas primer (g.C/m2/tahun) Total Produksi (109 ton C/tahun) Jumlah energi yang ditransfer dalam beberapa tingkat trofik Rata - rata efisiensi tingkat ekologi Rata - rata produksi ikan (mg C/m2/tahun) Total produksi ikan (106 ton C/tahun) 90 50 9,9 100 0,1 300 16,3 3,6 0,1 5 3 1,5 10% 15% 20% 0,5 340 36.000 0,2 12 12 Sumber : Wolff (2004) vide Widodo dan Suadi (2008) 20 Upwelling merupakan proses yang penting untuk mengembalikan zat-zat hara dari lapisan air dekat dasar ke daerah permukaan, oleh karena itu daerah yang terjadi proses upwelling akan sangat kaya akan nutrien, sehingga plankton melimpah, dan ikan - ikan akan berkumpul, yang tentunya merupakan daerah yang sangat baik untuk usaha penangkapan ikan (Edward dan Tarigan 2003). Menurut Simbolon et al. (2009) sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang bisa digunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan. Unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) merupakan unsur hara (nutrisi) yang diperlukan oleh flora (tumbuhan laut) untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Unsur - unsur tersebut ada dalam bentuk nitrat (NO3) dan fosfat (PO4). Unsur - unsur kimia ini bersama - sama dengan unsur - unsur lainnya seperti belerang (S), kalium (K) dan karbon (C) disebut juga unsur hara (nutrien). Zat - zat hara ini dibutuhkan oleh fitoplankton maupun tanaman yang hidup di laut untuk pertumbuhannya. Penelitian yang dilakukan Edward dan Tarigan (2003) tentang fluktuasi kadar zat hara fosfat dan nitrat selama proses upwelling di laut Banda menunjukkan kadar fosfat dan nitrat di perairan Laut Banda masih relatif homogen dan meningkat kadarnya dengan bertambahnya kedalaman laut. Kadar fosfat dan nitrat rata - rata pada pada bulan Agustus cenderung lebih tinggi dibandingkan bulan Februari, Mei dan November. Kecenderungan peningkatan zat hara fosfat dan nitrat pada bulan Agustus memperlihatkan terjadinya proses upwelling di perairan Laut Banda pada musim timur dan musim peralihan II . 2.2.5 Thermal front Thermal Front di paparan laut adalah daerah - daerah batas antara air homogen (tercampur sempurna) dan berlapis - lapis, dimana keseimbangan antara lapisan dan pencampuran tergantung kekuatan arus pasang surut. Gambar 6 menunjukkan bagaimana sebuah thermal front terbentuk antara air homogen (kanan) dan air terlapis (kiri) di paparan laut. Lapisan tercampur bawah disebabkan oleh arus pasut sementara lapisan tercampur atas disebabkan oleh pencampuran oleh angin dan batas bawahnya adalah termoklin musiman (kemungkinan bertemu dengan piknoklin). Kedua lapisan tercampur akan bersatu dan bercampur dimana airnya lebih dangkal. 21 Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003) Gambar 6 Ilustrasi pembentukan thermal front. Dobson (1986) vide Mukhlishin (1995) mengklasifikasikan thermal front dalam enam tipe yaitu : 1. Planetary front merupakan front yang bersama dengan konvergen skala besar dari transport ekman permukaan dan biasanya ditemukan di tengah laut. contognya ialah daerah konvergen Antartika atau front kutub. 2. Front yang terjadi karena 'western current edges' dimana air tropis yang hangat dan bersalinitas tinggi dibawa oleh western boundary current relatif dekat dengan perairan lintang tinggi yang dingin dan segar. 3. Shelf break front yang terbentuk pada pinggiran paparan benua, dimana sifat perairan daerah paparan sangat sempit bertemu dan bercampur dengan perairan yang bertipe lerengan benua atau laut dalam. 4. Upwelling dan Front dimana biasanya dibarengi dengan transport ekman yang menjahui pantai dan dipicu oleh angin yang menyusuri pantai. front ini dicirikan oleh sebuah pycnoclin. Pycnoclin merupakan istilah untuk mencirikan dua massa air yang berbeda sifat terutama densitasnya. 5. Plume front yaitu front yang terjadi pada perbatasan dari perairan tawar yang diproduksi dari sungai - sungai besar dengan perairan laut. 6. Shallow sea front yaitu front yang terbentuk dalam laut yang sempit dan estuaria sekitar pulau. Front yang terstratifikasi baik yang disebabkan oleh angin dan pasang surut. 22 Robinson (1991) vide Simbolon et al. (2009) menyatakan bahwa front penting dalam produktivitas perairan laut karena cenderung membawa bersama sama massa air yang dingin dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari suhu dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari pencampuran ini akan meningkatkan produktivitas fitoplankton. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar (Simbolon et al 2009). 2.3 Pemanfaatan Teknologi Inderaja di Bidang Perikanan Tangkap Teknik penginderaan jarak jauh berkembang sangat pesat sejak diluncurkannya satelit penginderaan jauh ERTS (Earth Resources Teknologi Satellite) pada tahun 1972 (Purwadhi, 2001). Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand dan Kiefer 1994). Konsep dasar pengideraan jauh terdiri atas beberapa komponen yang meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Dengan teknologi inderaja faktor - faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi, dan kelimpahan ikan seperti suhu permukaan laut (SPL), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat produktivitas primer dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas (Zainuddin, 2006). Ikan dengan mobilitas tinggi akan lebih mudah dilacak di suatu area melalui teknologi ini, karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti peristiwa upwelling, eddy (dinamika arus pusaran) dan front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik salinitas, suhu atau klorofil-a (Zainuddin, 2006). Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap parameter suhu permukaan laut (SPL) dan warna laut (ocean color). Untuk pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran 23 panjang gelombang 3 - 14 µm. Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenomena laut seperti upwelling, front dan pola arus permukaan yang merupakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya dengan unsur hara atau subur. Perairan subur merupakan tempat kecendurangan dari migrasi suatu sumber daya ikan, yang dapat dikatakan juga sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kanal infra merah jauh, sebagai contoh SPL diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun Fengyun FY-1 (Andrius, 2007). Dalam bidang perikanan terdapat 3 jenis satelit yang sering digunakan dalam dalam melakukan pendugaan terhadap daerah penangakapan ikan di wilayah perairan Indonesai, antara lain Satelit NOAA - AVHRR, Aqua MODIS dan SeaWiFS. 2.3.1 Satelit NOAA - AVHRR Satelit NOAA adalah Satelit meteorologi generasi ketiga milik "National Oceanic and Atmosperik Administrastion" (NOAA) Amerika Serikat (Gambar 7). Satelit ini menggantikan generasi sebelumnya, yaitu seri TIROOS (Television and Infra red Observation Sattelite) dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite). Adapun konfigurasi Satelit NOAA yaitu tinggi orbit 833 - 870 km. inklinasi sekitar 98.7o - 98,9o, mampu mengindera suatu daerah dua kali dalam 24 jam, resolusi spasial 1,1 km. Satelit ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik ocean dan atmosfer. Satelit ini dilengkapi dengan lima sensor utama, yaitu AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), HIRS (High Resolution Infrared Sounder), DCS (Data Collection System), SEM (Space Envirotment Monitor), Sarsat (Search And Rescue Sattelite System). Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer (AVHRR). yang terdiri dari lima kanal (band) berdasarkan jenis pengamatan dan panjang gelombang yang digunakan (Tabel 3). 24 Sumber : http://marine.rutgers.edu/coolroom/instruments/instrument_avhrr.html Gambar 7 Satelit NOAA - AVHRR. Tabel 3 Nama kanal, panjang gelombang (A), spektrum dan jenis penginderaan sensor jauh AVHRR - NOAA Kanal A (µm) 1 0.56 - 0.68 2 0.73 - 1.10 3 3.55 - 3.93 4 10.5 - 11.5 5 11.5 - 12.5 Spektrum Pengamatan Tampak Albedo siang hari (pemetaan awan) Pemantauan lapisan es dan cuaca Tampak sampai Pemantauan perkembangan infra merah tumbuhan Infra merah Pemetaan awan malam hari Pengukuran suhu permukaan membedakan daratan dan lautan Pemantauan aktifitas vulkanik Pentauan penyebaran debu vulkanik Jendela Infra Pemetaan awan siang dan malam merah Pengukuran suhu permukaan laut Penelitian air tanah untuk pertanian Jendela Infra Pemetaan siang dan malam merah Pengukuran suhu permukaan laut Penelitian air tanah dan pertanian Sumber : Soenarmo (2003) 2.3.2 Satelit Aqua MODIS MODIS merupakan sensor yang dimaksudkan untuk menyediakan data darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Sensor MODIS terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra dan Aqua dirancang juga untuk 25 membawa sensor lain yaitu AVHRR dan CZCS. Satelit Terra dan Aqua memiliki orbit selaras matahari (sun synchronous) dan dekat kutub (near - polar). Satelit mengorbit bumi 2 hari sekali dengan ketinggian 705 kilometer di atas permukaan bumi. Field of View MODIS sekitar 55o dan lebar sapuan 2,330 km. Citra yang dihasilkan oleh satelit MODIS memiliki tiga resolusi spasial yaitu 250 meter, 500 meter, dan 1000 meter. Karakteristik panjang gelombang terdiri 36 buah saluran dan 12-bit kepekaan radiometrik (Gambar 8). Sensor MODIS yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua dapat mengukur hampir semua parameter darat, laut, dan udara sehingga kegunaannya menjadi sangat luas. Satelit ini dapat mendeteksi indeks tumbuhan, kelembaban tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut, dan kandungan klorofil laut, yang seluruhnya ada 86 parameter sehingga banyak keperluan lain yang bisa ditumpangkan. MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. Lalu, pada tanggal 4 mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya lebih ke lautan (Maccherone, 2005) Sumber : http://lalumuhamadjaelani.wordpress.com/2009/03/10/spesifikasi-sensor-modis/ Gambar 8 Satelit Aqua MODIS. Data MODIS pada Satelit Aqua mampu memberikan informasi distribusi warna permukaan laut yang berkaitan dengan kandungan klorofil-a di suatu perairan. Penentuan konsentrasi klorofil-a dilaksanakan berdasarkan ratio radiansi atau reklektansin yang diukur dalam band spectral visible yaitu band biru dan hijau. 26 2.3.3 Satelit SeaStar - SeaWiFS Satelit SeaStar merupakan satelit generasi terbaru yang diperuntukkan memperoleh data/informasi mengenai kondisi fisik laut dan atmosfer. Satelit ini diluncurkan tahun 1997/1998, dengan lintasan polar (sunsynchronous), ketinggian lintasan edar (orbit) 705 km, inklinasi 98.25o, mempunyai periode 98.9 menit dan pengulangan orbit16 hari, radiometer yang digunakan 10 bit, dilengkapi dengan scanner dengan lebar cakupan 2801 km. Sensor yang digunakan bernama SeaWiFS yang terdiri dari 8 kanal (band) (Soenarmo, 2003). Adapun data, spesifikasi dan bentuk dari Satelit Seastar - SeaWiFS dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 9. Tabel 4 Data Satelit Seastar - SeaWiFS dan spesifikasinya Spesifikasi Data Sumber Data (order, 8 bands (Visible, NIR) NASA electronically) Resolusi Spasial GAC : 4 km Data (Level 1,2) LAC : 1 km Periode 1997 Sekarang Parameter (Produk) Klorofil-a Endapat terlarut (TSM) Kekeruhan perairan Batimetri Sumber : Simbolon et al. (2009) Sumber : http://ajiputrap.multiply.com/journal/item/90/SeaWIFS Gambar 9 Satelit Seastar - SeaWiFS. Terukur 27 2.4 Karakteristik Pukat Cincin Pukat cincin (purse seine) merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan yang bergelombol (schooling), seperti layang (Decapterus sp), lemuru (Sardinella lemuru), tongkol (Euthynnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan kembun (Rastelliger spp). Menurut Sudirman dan Mallawa (1999) vide Tenrisa’na (2009) purse seine adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan. Pada satu unit purse seine terdiri dari jaring, kapal, dan alat bantu (roller, lampu, rumpon dan sebagainya). Umumnya berbentuk empat persegi panjang. Prinsip penangkapannya adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring secara vertikal dan horizontal. Disebut dengan pukat cincin sebab pada jaring bagian bawah dipasangi cincin (ring) yang berguna untuk memasang tali kerut (purse line) atau biasa juga disebut juga tali kolor. Pengoperasiannya ada yang dilakukan pada malam, subuh atau siang hari. Komponen utama purse seine menurut Subani dan Barus (1988) vide Mukhlisa (2009) terdiri atas (1) bagian jaring terdiri atas jaring utama, jaring sayap, dan jaring kantong, (2) srampad (selvedge), dipasang pada bagian pinggiran jaring yang berfungsi memperkuat jaring sewaktu dioperasikan, terutama saat penarikan jaring. (3) tali temali, terdiri atas tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah, tali pemberat, tali kolor, dan tali selambar, (4) pelampung, (5) pemberat, dan (6) cincin (ring). Ukuran kapal pukat cincin di perairan Kendari rata - rata berkisar antara 15 meter (panjang) x 4 meter (lebar). Kapal yang digunakan terbuat dari bahan kayu. Besaran tonase kapal berkisar antar 20 - 30 GT. Jumlah ABK berkisar antara 13 20 orang. Guna mempermudah dalam pencarian lokasi rumpon, sebagian besar nelayan menggunakan alat bantu Global Positioning System (GPS). Konstruksi armada penangkapan yang dioperasikan diperairan Kendari dapat dilihat pada Gambar 10. 28 Sumber : Data lapangan Gambar 10 Kapal pukat cincin (purse seine). Ukuran jaring yang digunakan antara 200 - 400 meter dan terbuat dari jenis polyethilene (PE) dan polyamide (PA) yang dikombinasikan. Ukuran mesh size antara 1.5 - 2 inci. Pada bagian atas jaring dipasangkan pelampung yang terbuat dari plastik, jarak antara pelampung antar 10-20 cm. Disamping itu dilengkapi juga dengan pelampung tanda dan lampu buoy. Pemberat dipasang pada bagian bawah jaring yang berbentuk cincin, disamping berfungsi mempercepat proses tenggelam jaring juga berfungsi sebagai tempat tali kolor (purse line). Adapun desain alat tangkap purse seine yang dioperasikan di perairan kendari dapat dilihat pada Gambar 11. a b c Gambar 11 Bagian - bagian utama purse seine yang beroperasi di perairan Kendari, a) Cincin, b) pelampung, 3) jaring Seiring perkembangan pengetahuan nelayan tentang metode penangkapan ikan, saat ini banyak nelayan telah menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan dengan harapan akan meningkatkan hasil tangkapan. Penggunaan rumpon juga banyak digunakan oleh nelayan purse seine yang beroperasi di perairan Kendari. 29 2.5 Sistem Informasi Geografis Perikanan Tangkap 2.5.1 Sistem informasi geografis Pada dasarnya istilah sistem informasi geografis (SIG) merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan geografis. Penekanan SIG ada pada informasi geografis yang dihasilkan. Istilah informasi geografis mengandung pengertian mengenai tempat - tempat yang terletak dipermukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi dan berisi informasi mengenai keterangan - keterangan tertentu yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Prahasta, 2001) Pengertian sistem informasi geografis sendiri telah banyak diberikan oleh para ahli SIG. Menurut Arronof (1989) mendefinikan SIG sebagai suatu “sistem” berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yakni pemasukan, pengelolaan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis, dan keluaran. Sedangkan Burrough (1986) mengemukakan bahwa SIG adalah seperangkat alat (tools) yang bermanfaat untuk pengumpulkan, penyimpanan, pengambilan data yang dikehendaki, pengubahan dan penayangan data keruangan yang berasal dari gejala nyata di permukaan bumi. Ekadinata et al (2008) mendefinisikan SIG sebagai sebuah sistem atau teknologi yang berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa serta menyajikan data dan informasi dari suatu objek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi. Dalam sejarah perkembangan SIG, dekade 1990-an dinyatakan sebagai periode terobosan (breakthrough), sejak orientasi objek dalam sistem dan desain database makin baik, didiringi dengan makin meluasnya pengakuan terhadap aktivitas SIG sebagai aktivitas profesional dan berkembang pesatnya teori - teori informasi spasial sebagai dasar teori SIG. Saat ini, telah beredar berbagai macam perangkat lunak SIG komersial, seperti ERDAS, IDRISI, ILWIS, ARC/INFO, MAP INFO, AutoCad Map, ArcView, ArcGIS, E-View, dan lain - lain dalam berbagai versi. Terdapat beberapa komponen utama yang membaguan sebuah SIG antara lain perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna dan aplikasi (Gambar 12) 30 Data Perangkat Lunak Perangkat Keras Sistem Informasi Geografis Aplikasi Pengguna Sumber : Ekadinata et al (2008) Gambar 12 Komponen sistem infromasi geografis. Secara umum sistem informasi geografis terbagi kedalam 4 subsistem utama, yaitu data input, data output, data manajemen dan data manipulation/analisis (Prahasta, 2001). 1) Data input, subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasi format - format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. 2) Data output adalah subsistem SIG yang bertugas menampilkan dan menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy atau hardcopy, seperti tabel, peta, grafik atau yang lainnya. 3) Data management merupakan subsistem yang berfungsi untuk mengorganisasikan baik data spasial atau atribut ke dalam bentuk sebuah basis data, sehingga memudahkan dalam analisis, editing atapun update basis data tersebut. 4) Data manupulation/analisis adalah subsistem yang berfungsi untuk menentukan informasi yang dapat di hasil oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Sistem informasi geografis sebagai sebuah alat diharapkan mampu memberikan manfaat bagi setiap pengguna dan bisa diaplikasi dalam menjawab persoalan yang dihadapi manusia. Teknologi SIG telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti evaluasi kesesuaian lahan, pemetaan daerah bahaya longsor, perancangan perkotaan, jalur listrik, pipa dan lain sebagainya. Di bidang 31 perikanan pemanfaatan teknologi SIG masih terus dimaksimalkan baik itu untuk keperluan konservasi wilayah perairan, pengelolaan kawasan pesisir, ataupun pemanfaatan untuk penentuan daerah penangkapan ikan. 2.5.2 Aplikasi sistem informasi geografis di bidang perikanan tangkap Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar wilayahnya adalah laut, sehingga sering disebut sebagai negara maritim. Luas wilayah perairan sekitar 5.8 juta km2 menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar. sementara itu pengelolaan perikanan belum dikelola secara optimal dan lestari merupakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi di Indonesia (Simblon et al., 2009). Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) di bidang perikanan telah banyak digunakan, salah satunya pada sektor perikanan tangkap. Permasalahan utama yang banyak dikaji dengan menggunakan teknologi indraja dan SIG terkait dengan optimalisasi hasil tangkapan adalah keterbatasan data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan dengan daerah penangkapan yang potensial. Sehingga dengan adanya teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis banyak membantu dalam upaya peningkatan hasil tangkapan secara optimal. Menurut Simbolon et al (2009) terdapat dua teknologi yang digunakan dalam perkembangan ilmu pemetaan di bidang perikanan yaitu pengideraan jarak jauh dan sistem informasi geografis. Sistem informasi geografis diartikan sebagai alat dengan sistem komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi di permukaan bumi. Secara lebih luas SIG diartikan sebagai sistem manual dan atau komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spatial atau geografis. Penginderaan jarak jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand dan Kiefer, 1994). 32 Parameter oseanografi dan fenomena perairan merupakan paramater yang dapat dimanfaatkan untuk memprediksi daerah penangkapan potensial. Teknologi penginderaan jarak jauh saat ini telah mampu mengamati berbagai fenomena perairan dan kondisi oseanografi tersebut, seperti suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a, salinitas, arus, sedimentasi perairan, pasang surut perairan, fenomena upwelling, thermal front, dan eddies yang kesemuanya dapat dimanfaatkan guna penentuan daerah penangkapan potensial. Menurut Zainuddin (2006) salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik dalam penentuan daerah penangkapan potensial dengan mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh (indraja). Dengan teknologi indraja faktor - faktor yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan laut (SPL), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan perairan, arah dan kecepatan arus, serta tingkat produktifitas primer. Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dengan faktor lingkungan di sekelilingnya (Zainuddin, 2006). Parameter yang digunakan dalam penentuan daerah penangkapan potensial ini kemudian diolah dengan menggunakan teknologi SIG. Pemanfaatan teknologi SIG pada bidang perikanan tangkap harus didukung oleh sejumlah konsep - konsep ilmiah dan data yang memadai sehingga diperoleh hasil yang lebih akurat.