2. tinjauan pustaka

advertisement
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp)
Ikan pelagis adalah jenis ikan yang hidup di kolom air bagian atas atau
permukaan air, dan pada umumnya memiliki kemampuan gerak dan mobilitas
yang tinggi (Nikijuluw 2002). Sumberdaya ikan pelagis kecil bersifat poorly
behaved, karena makanan utamanya adalah plankton. Kelompok ikan pelagis kecil
umumnya bertubuh pipih memanjang dengan warna tuhuh yang relatif terang
(Widodo et al. 1994 vide Nelwan 2010). Daur hidup ikan pelagis kecil pada
umumnya berlangsung seluruhnya di laut, yang dimulai dari telur, kemudian
larva, dewasa, memijah dan sampai akhirnya mati. Larva dan juvenil ikan pelagis
kecil bersifat planktonis, sehingga larva biasanya akan bergerak sesuai dengan
arah arus (Nelwan 2010).
Ikan pelagis kecil umumnya memiliki ciri - ciri, yaitu senang bergerombol,
baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya, bersifat fototaksis
positif (tertarik pada cahaya) serta benda - benda yang terapung, cenderung
bergerombol berdasarkan kelompok ukuran, kebiasaan makan umumnya pada
waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam, dan merupakan jenis pemakan
plankton, baik plankton nabati maupun plankton hewani. Ikan pelagis kecil
merupakan elemen yang penting dalam ekosistem laut karena biomassa yang
signifikan pada level menengah dari jaring makanan, sehingga memegang peranan
penting menghubungkan tingkatan trophic bagian atas dan bawah dalam struktur
trophic level (Bakun 1996, Cury et al. 2000; Fréon et al. 2005; Palomera et al.
2007 vide Nelwan 2010).
Ikan layang (Decapterus spp.) merupakan jenis pelagis kecil yang banyak
ditangkap oleh nelayan Indonesia dan tergolong dalam kelompok ekonomis
penting. Penyebarannya hampir diseluruh perairan Indonesia, namun potensi yang
dimiliki sangat berbeda menurut wilayah penyebarannya.
Glorbert dan Kailola
(1984) vide Simbolon (2011) menjelaskan bahwa ikan layang secara umum yang
ditemukan di perairan Indonesia ada lima jenis, yaitu : Decapterus ruselli, D.
macrosoma, D. layang, D. macarellus, dan D. curroides. Jenis Decapterus ruselli
mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus
10
macrosoma mempunyai nama umum layang deles atau layang scad. Adapun
klasifikasi ikan layang Menurut Saanin (1984) vide Simbolon (2011), sebagai
berikut :
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleotei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidae
Famili : Carangidae
Sub Famili : Carangidae
Spesies : Decapterus ruselli
D. macrosoma
D. layang
D. Kurroides
D. macarellus
Nama Decapterus sendiri terdiri atas dua suku kata, yaitu Deca artinya
sepuluh dan Pteron artinya sayap, dengan demikian kata Decapterus berarti ikan
yang memiliki sepuluh sayap. Ikan ini hidup di perairan lepas pantai dan
berbentuk gerombolan (schooling) serta mampu bergerak cepat dalam perairan.
Panjang tubuhnya bisa mencapai 30 cm dengan kisaran panjang umumnya anatara
20 - 30 cm, bentuk badan agak memanjang dengan bentuk tubuh seperti cerutu
dan sisiknya yang halus (Simbolon, 2011).
Jenis ikan ini tergolong stenohaline, hidup diperairan dengan kadar garam
relatif tinggi (32 - 34 o/oo) dengan kisaran yang sempit, menyukai perairan yang
jernih (Amri 2002). Suhu optimum ikan layang berkisar antara 20 - 30 oC,
sedangkan suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12 - 25oC (Laevastu
dan Hela, 1970 vide Amri, 2002). Adapun jenis ikan layang (Decapterus spp)
dapat dilihat pada Gambar 2.
11
Decapterus ruselli
Decapterus macarellus
Decapteerus Kuroides
Sumber : www.fishbase.org
Gambar 2 Beberapa Jenis ikan layang (Decapterus spp).
Ikan layang tergolong ikan yang aktif berenang. Ketika tidak aktif berenang,
ikan ini akan membentuk scholling di suatu perairan yang sempit atau sekitar
benda yang terapung, seperti bongkahan kayu dan rumpon. Tingkah laku yang
demikian, maka ikan layang sering dijumpai di sekitar rumpon dengan cara
membelakangi rumpon dan cenderung melawan arus. Jenis Decapterus ruselli
memiliki daerah penyebaran terluas diantara jenis yang dijumpai di Indonesia
(Simbolon, 2011). Jenis Decapterus ruselli dan D. maruadsi termasuk dalam jenis
layang yang berukuran besar dan habitatnya terdapat di laut dalam hingga pada
kedalaman 100 meter atau lebih, seperti Laut Banda (Nontji, 2005).
12
2.2 Parameter Oseanografi
Kata oseanografi adalah kombinasi dari dua kata yunani: oceanus
(samudera) dan graphos (uraian/deskripsi) sehingga mempunyai arti deskripsi
tentang samudera (Supangat dan Susana 2003). Oseanografi sendiri seringkali
diungkapkan berdasarkan empat kategori keilmuan yaitu fisika, biologi, kimia,
dan geologi (Stowe 1983). Oseanografi fisika khusus mempelajari segala sifat dan
karakter fisik
yang
membangun sistem fluidanya. Oseanografi biologi
mempelajari sisi hayati samudera guna mengungkap berbagai siklus kehidupan
organisme yang hidup di atau dari samudra. Oseanografi kimia melihat berbagai
proses aksi dan reaksi antar unsur, molekul, atau campuran dalam sistem
samudera yang menyebabkan perubahan zat secara reversible atau irreversible.
Oseanografi geologi memfokuskan pada bangunan dasar samudera yang berkaitan
dengan struktur dan evolusi cekungan samudera. Dalam konteks perikanan
tangkap pengetahuan mengenai kondisi oseanografi perairan merupakan hal yang
sangat penting, hal ini terkait dengan keberadaan setiap jenis spesies ikan di
perairan. Faktor oseanografi yang sering diamati, yaitu suhu permukaan laut,
klorofil-a dan salinitas.
2.2.1 Suhu permukaan laut
Suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat
dominan terhadap kehidupan ikan dan sumberdaya hayati laut pada umumnya,
setiap spesies ikan mempunyai kisaran suhu yang sesuai dengan lingkungan untuk
makan, memijah dan aktivitas lainnya (Simbolon et al. 2009). Suhu permukaan
laut dipengaruhi oleh beberapa kondisi meteorologi seperti penguapan, curah
hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas matahari,
sehingga suhu permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Selanjutnya
dikatakan bahwa secara vertikal suhu perairan Indonesia dapat dibedakan atas tiga
lapisan, yaitu: lapisan homogen hangat (bagian atas), lapisan termoklin (bagian
tengah) dan lapisan dingin pada bagian bawah (Nontji 1987 vide Simbolon et al.
2009).
13
Suhu permukaan laut perairan tergantung pada insolasi dan penentuan
jumlah panas yang kembali diradiasikan ke atmosfer. Semakin panas permukaan
maka semakin banyak radiasi baliknya. Panas juga ditransfer di sepanjang
permukaan laut melalui konduksi dan konveksi serta pengaruh penguapan maka
ketikan suhu permukaan laut lebih panas dari udara di atasnya maka panas dapat
ditransfer dari laut ke udara. Biasanya permukaan laut lebih panas dari udara
diatasnya sehingga terdapat sejumlah panas yang hilang dari laut melalui
konduksi. Kehilangan tersebut relatif tidak penting untuk total panas lautan dan
pengaruhnya dapat diabaikan kecuali untuk pencampuran konvektif oleh angin
yang memindahkan udara hangat dari permukaan laut (Supangat dan Susana
2003).
Menurut Hutabarat (2001) suhu merupakan faktor pembatas bagi proses
produksi di lautan dan bersifat tidak langsung, pertama suhu yang terlalu tinggi
dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton (kandungan enzim dan sel tubuh),
sehingga akan mengganggu proses fotosintesis, kedua, akan mengganggu
kestabilan perairan itu sendiri. Suhu yang terlalu tinggi di bagian permukaan juga
akan mengakibatkan terjadinya proses percampuran dengan massa air di bawah.
Akibatnya fitoplankton akan terbawa ke kolom air yang lebih dalam dan membuat
perairan tersebut tidak produktif.
Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25oC
hingga 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan
bertambahnya kedalaman hingga 80 db (±8m) (Tomascik et al.1997) sedangkan
menurut Nontji (2005) suhu permukaan laut di perairan Nusantara umunya
berkisar antara 28 - 31oC pada lokasi penaikan massa air (upwelling) terjadi,
misalnya Laut Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai sekitar 25oC, hal ini
disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas. Menurut
Soegiarto dan Birowo (1975) vide Sinaga (2009) suhu pada lapisan permukaan di
perairan Indonesia berkisar antara 26oC hingga 30oC, lapisan termoklin berkisar
9oC hingga 26oC dan lapisan dalam berkisar antara 2oC hingga 8oC. Sebaran suhu
secara vertikal di perairan Indonesia umumnya mempunyai pola seperti pada
Gambar 3.
14
Suhu (oC)
a
b
c
Sumber : Nontji (2005)
Gambar 3 Sebaran vertikal suhu secara umum di perairan Indonesia
a) Lapisan hangat, b) Lapisan termoklin, c) Lapisan dingin.
Informasi mengenai suhu permukaan laut saat ini telah mudah diperoleh
dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi inderaja. Informasi
tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis dan memprediski
fenomena upwelling ataupun front yang merupakan indikator tentang daerah
penangkapan ikan potensial (Simbolon et al. 2009).
2.2.2 Produktivitas perairan
Produktivitas suatu perairan pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan
perairan tersebut mensintesis bahan - bahan organik dari bahan anorganik.
Sebagai contoh adalah proses fotosintesis, dalam proses ini bahan - bahan organik
yang dikandung dalam air seperti H2O, CO2 dan lain - lain akan diikat menjadi
bahan organik seperti gula melalui proses fikokimiawi dengan bantuan energi
sinar matahari. Persenyawaan tersebut dapat terjadi karena adanya zat hijau daun
(chlorophyl) yang banyak dikandung dalam tumbuh - tumbuhan hijau yang
banyak hidup melayang di perairan. Dengan adanya hasil bahan organik, maka
hewan plankton (zooplankton) dan ikan akan memanfaatkan tumbuh - tumbuhan
plankton (fitoplankton) sebagai bahan makanannya. Kemudian zooplankton akan
dimanfaatkan oleh hewan lain yang ukurannya lebih besar, baik yang hidup di
15
dasar maupun yang berenang secara aktif seperti ikan (Gambar 4). Hal ini
menunjukkan bahwa plankton adalah organisme yang sangat penting peranannya
dalam menentukan tingkat produktivitas suatu perairan. Produktivitas (primary
production) oleh fitoplankton pada setiap habitat akan berbeda satu dengan
lainnya. Kondisi ini sangat dipengaruhi ketersedian sinar matahari yang cukup
untuk membantu tumbuh - tumbuhan melakukan proses fotosintesa. Produktivitas
ini sangat ditentukan oleh kondisi oseanografi seperti sifat fisika dan kimia (zat
hara/nutrient) air laut dari satu sisi dan organisme hidup pendukung di sisi lainnya
(Hutabarat 2001).
Zat Hara
Dilaut
Produsen Pertama
(Primer)
Fitoplankton
Energi
Sinar Matahari
Produsen Kedua
Zooplankton
(Herbivora)
Produsen Ketiga
Zooplankton
(Carnivora)
Produsen Tingkat
Tinggi (Manusia)
Sumber : Hutabarat (2001)
Gambar 4 Diagram yang menunjukkan tingkat pemanfaatan energi dalam sistem
rantai makanan di perairan.
Produktivitas primer merupakan laju produksi zat hara organik melalui
proses fotosintesis. Reaksi fotosintesis adalah rekasi yang sangat rumit, tetapi
secara keseluruhan dapat disederhanakan sebagai berikut (Nontji, 2008):
Cahaya
+ − − − − − − −(
) + Klorofil
Dalam proses fotosintesis, cahaya matahari (sebagai sumber energi) disadap oleh
pigmen klorofil yang ada dalam tumbuhan, dan dengan adanya karbon dioksida
(CO2), air dan zat - zat hara akan terjadi reaksi kimia yang akan menghasilkan
senyawa organik (misalnya karbohidrat) yang mempunyai potensi energi kimiawi
yang tinggi yang disimpan dalam sel (Nontji 2008). Proses energi kimiawi yang
16
terkandung sel tumbuhan ini dapat dialihkan ke berbagai hewan melalui jaringan
pakan dengan demikian akan menimbulkan produktivitas sekunder, tersier dan
seterusnya sesuai dengan posisinya dalam trophic level (Azhari 1994).
Menurut Nontji (2008) produktivitas primer dapat dibagi ke dalam 2 jenis
yaitu (1) produkstfitas primer kotor (gross primary productivity) adalah
produktivitas primer zat organik dalam jaringan tumbuhan, termasuk yang
digunakan untuk respirasi, (2) produktivitas primer bersih (net primary
productivity) adalah produktivitas primer kotor dikurangi dengan yang digunakan
dalam respirasi. Hasil produktivitas primer inilah yang dapat dialihkan ke
berbagai komponen ekosistem di laut. Pengukuran produktivitas primer kini dapat
dilakukan secara langsung di lapangan atau secara tidak langsung dengan
pendugaan dari hasil pengukuran klorofil di laut atau dengan penerapan teknologi
inderaja (remote sensing).
Kemampuan fotosintesis tidak lepas dari kandungan klorofil yang dimiliki
oleh fitoplankton. Salah satu jenis klorofil yang keberadaannya hampir terdapat
pada semua jenis fitoplankton adalah klorofil-a (Nontji, 2008). Klorofil-a
berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan besarnya biomassa
fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Klorofil-a
adalah pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat pada hampir
seluruh organisme fitoplankton dan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam
alkohol, dietil eter, benzen dan aseton dengan absorbsi yang maksimum oleh
klorofil-a bersama pelarutnya terjadi pada panjang gelombang 430 nm dan 663
nm (Simbolon et al, 2009).
Selanjutnya Simbolon et al. (2009) menjelaskan bahwa sebaran klorofil-a
bervariasi secara geograris maupun berdasarkan kedalaman perairan. Hal ini
diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien
yang terdapat di suatu perairan. Pada daerah tertentu di perairan lepas pantai
dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini
disebabkan oleh tingginya nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air,
karena massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan ketika terjadi upwelling.
17
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada
konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan
akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga
dikemukakan oleh Brown et al. (1989) bahwa nutrien memiliki konsentrasi
rendah dan berubah - ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan
meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi
maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.
Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya
fitoplaknton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk
produktivitas perairan. Berdasarkan penelitian Nontji (1974) vide Presetiahadi,
(1994) nilai rata - rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19
mg/m3, nilai rata - rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg/m3)
menunjukkan nilai yang lebih besar daripada musim barat (0,16 mg/m3). Daerah
dengan nilai klorofil-a tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses
penaikan massa air/upwelling (Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa),
proses pengadukan dan pengaruh sungai - sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan
Laut Cina Selatan).
2.2.3 Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1
liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan o/oo (per mil) (Simbolon et al, 2009).
Sebaran salinitas pada perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Pada perairan lepas pantai
yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga
membentuk lapisan homogen sampai kira - kira setebal 50 - 70 m atau lebih
tergantung intensitas pengadukan (Nontji, 2005).
Menurut Hutabarat (2001) dalam air permukaan lautan, kisaran salinitas
adalah 33 - 37 o/oo tetapi bila paparan - paparan laut dan kondisi lokal kisaran
melebar menjadi 28 - 40o/oo atau lebih. Air Payau mempunyai salinitas kurang
dari 25o/oo sementara air hipersalin lebih besar dari 40o/oo. Komposisi konsentrasi
ion - ion utama utama dalam air laut dalam bagian per seribu (g kg-1 atau gl-1)
(Tabel 1).
18
Tabel 1
Konsentrasi ion - ion utama utama dalam air laut dalam bagian per
seribu (g kg-1 atau gl-1)
Ion
o
/oo Terhadap Berat
Keterangan
-
Clorida, C
18,980
Total ion - ion negatif
Sulfat, SO422,649
(anion) = 21,861 o/oo
Bikarbonat, HCO3
0,140
Bromida, Br0,065
Borat, H2BO30,026
0,001
Florida, FSodium, Na+
10,556
Total ion - ion positif
2+
Magnesium, Mg
1.272
(kation) = 12,621 o/oo
2+
0,400
Kalsium, Ca
0,380
Potasium, K+
0,013
Strontium, Sr2+
Total Salinitas
34,482 o/oo
Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003)
Distribusi salinitas dapat menjadi informasi yang memudahkan dalam
melacak pola sirkulasi di lautan. Distribusi ini terjadi secara vertikal dan
horizontal. Di perairan samudra, salinitas biasanya berkisar antara 34 - 35o/oo,
sedangkan pada perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena
pengaruh aliran sungai, salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya pada daerah yang
memiliki penguapan yang kuat, salinitas bisa meningkat tinggi (Nontji, 2005).
Salinitas bervariasi tergantung keseimbangan antara penguapan dan
presipitasi, serta besarnya pencampuran antara air permukaan dan air di
kedalaman. Secara umum, perubahan salinitas tidak mempengaruhi proporsi
relatif ion - ion utama. Konsentrasi ion - ion berubah dalam proporsi yang sama
yaitu rasio ioniknya tetap konstan. Distribusi temperatur dan salinitas memberikan
informasi yang memudahkan oseanografer melacak pola tiga dimensi sirkulasi
lautan. baik secara vertikal dan horisontal. Peta dan profil salinitas merupakan
gambaran yang stabil dalam jangka waktu panjang yang dihasilkan secara
dinamik. Perlu diingat bahwa salinitas sulit berubah tiap tahunnya tetapi air dapat
berganti tiap waktu (Supangat dan Susana, 2003).
Salinitas air permukaan laut maksimum terjadi di daerah tropis dan lintang
subtropis karena di wilayah tersebut penguapan melampaui presipitasi. Daerah ini
berhubungan dengan adanya padang pasir yang panas di lintang yang sama.
Salinitas berkurang ke arah lintang tinggi maupun ke arah Ekuator (Gambar 5).
19
Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003)
Gambar 5 (a) Posisi rata - rata permukaan isohalin tahunan.
(b) Plot nilai rata - rata salinitas permukaan, S (garis tebal), dan
perbedaan antara rata - rata penguapan dan presipitasi tahunan
(E - P) (garis putus - putus) terhadap lintang.
2.2.4 Upwelling
Upwelling merupakan suatu proses naiknya massa air dari lapisan bawah ke
lapisan atas. Fenomena ini menimbulkan suatu daerah yang kaya akan larutan
nutrien, seperti nitrat dan fosfat dan karena itu mereka cenderung mengandung
fitoplankton (Simbolon et al. 2009). Luas daerah upwelling diperkirakan hanya
0,1% dari total luas perairan laut namun produktivitas primer dan rata - rata
produksi ikan di wilayah ini sangat tinggi (Tabel 2).
Tabel 2 Produktivitas perikanan beberapa lokasi di Indonesia
Habitat
Laut Terbuka
Pantai
Upwelling
Presentase luas perairan
Rata - rata Produktivitas
primer (g.C/m2/tahun)
Total Produksi (109 ton
C/tahun)
Jumlah energi yang ditransfer
dalam beberapa tingkat trofik
Rata - rata efisiensi tingkat
ekologi
Rata - rata produksi ikan (mg
C/m2/tahun)
Total produksi ikan (106 ton
C/tahun)
90
50
9,9
100
0,1
300
16,3
3,6
0,1
5
3
1,5
10%
15%
20%
0,5
340
36.000
0,2
12
12
Sumber : Wolff (2004) vide Widodo dan Suadi (2008)
20
Upwelling merupakan proses yang penting untuk mengembalikan zat-zat
hara dari lapisan air dekat dasar ke daerah permukaan, oleh karena itu daerah yang
terjadi proses upwelling akan sangat kaya akan nutrien, sehingga plankton
melimpah, dan ikan - ikan akan berkumpul, yang tentunya merupakan daerah
yang sangat baik untuk usaha penangkapan ikan (Edward dan Tarigan 2003).
Menurut Simbolon et al. (2009) sebaran suhu permukaan laut merupakan salah
satu parameter yang bisa digunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling
di suatu perairan.
Unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) merupakan unsur hara (nutrisi) yang
diperlukan oleh flora (tumbuhan laut) untuk pertumbuhan dan perkembangan
hidupnya. Unsur - unsur tersebut ada dalam bentuk nitrat (NO3) dan fosfat
(PO4). Unsur - unsur kimia ini bersama - sama dengan unsur - unsur lainnya
seperti belerang (S), kalium (K) dan karbon (C) disebut juga unsur hara (nutrien).
Zat - zat hara ini dibutuhkan oleh fitoplankton maupun tanaman yang hidup di
laut untuk pertumbuhannya. Penelitian yang dilakukan Edward dan Tarigan
(2003) tentang fluktuasi kadar zat hara fosfat dan nitrat selama proses upwelling
di laut Banda menunjukkan kadar fosfat dan nitrat di perairan Laut Banda masih
relatif homogen dan meningkat kadarnya dengan bertambahnya kedalaman laut.
Kadar fosfat dan nitrat rata - rata pada pada bulan Agustus cenderung lebih tinggi
dibandingkan bulan Februari, Mei dan November. Kecenderungan peningkatan
zat hara fosfat dan nitrat pada bulan Agustus memperlihatkan terjadinya proses
upwelling di perairan Laut Banda pada musim timur dan musim peralihan II .
2.2.5 Thermal front
Thermal Front di paparan laut adalah daerah - daerah batas antara air
homogen (tercampur sempurna) dan berlapis - lapis, dimana keseimbangan antara
lapisan dan pencampuran tergantung kekuatan arus pasang surut. Gambar 6
menunjukkan bagaimana sebuah thermal front terbentuk antara air homogen
(kanan) dan air terlapis (kiri) di paparan laut. Lapisan tercampur bawah
disebabkan oleh arus pasut sementara lapisan tercampur atas disebabkan oleh
pencampuran oleh angin dan batas bawahnya adalah termoklin musiman
(kemungkinan bertemu dengan piknoklin). Kedua lapisan tercampur akan bersatu
dan bercampur dimana airnya lebih dangkal.
21
Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003)
Gambar 6 Ilustrasi pembentukan thermal front.
Dobson (1986) vide Mukhlishin (1995) mengklasifikasikan thermal front
dalam enam tipe yaitu :
1. Planetary front merupakan front yang bersama dengan konvergen skala
besar dari transport ekman permukaan dan biasanya ditemukan di tengah
laut. contognya ialah daerah konvergen Antartika atau front kutub.
2. Front yang terjadi karena 'western current edges' dimana air tropis yang
hangat dan bersalinitas tinggi dibawa oleh western boundary current
relatif dekat dengan perairan lintang tinggi yang dingin dan segar.
3. Shelf break front yang terbentuk pada pinggiran paparan benua, dimana
sifat perairan daerah paparan sangat sempit bertemu dan bercampur
dengan perairan yang bertipe lerengan benua atau laut dalam.
4. Upwelling dan Front dimana biasanya dibarengi dengan transport ekman
yang menjahui pantai dan dipicu oleh angin yang menyusuri pantai. front
ini dicirikan oleh sebuah pycnoclin. Pycnoclin merupakan istilah untuk
mencirikan dua massa air yang berbeda sifat terutama densitasnya.
5. Plume front yaitu front yang terjadi pada perbatasan dari perairan tawar
yang diproduksi dari sungai - sungai besar dengan perairan laut.
6. Shallow sea front yaitu front yang terbentuk dalam laut yang sempit dan
estuaria sekitar pulau. Front yang terstratifikasi baik yang disebabkan oleh
angin dan pasang surut.
22
Robinson (1991) vide Simbolon et al. (2009) menyatakan bahwa front
penting dalam produktivitas perairan laut karena cenderung membawa bersama sama massa air yang dingin dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan
yang lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari suhu dan peningkatan
kandungan hara yang timbul dari pencampuran ini akan meningkatkan
produktivitas fitoplankton. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di
daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air merupakan
penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang
besar (Simbolon et al 2009).
2.3 Pemanfaatan Teknologi Inderaja di Bidang Perikanan Tangkap
Teknik
penginderaan
jarak
jauh
berkembang
sangat
pesat
sejak
diluncurkannya satelit penginderaan jauh ERTS (Earth Resources Teknologi
Satellite) pada tahun 1972 (Purwadhi, 2001). Penginderaan jauh (remote sensing)
adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah
atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa
kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand dan
Kiefer 1994). Konsep dasar pengideraan jauh terdiri atas beberapa komponen
yang meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di
permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data.
Dengan teknologi inderaja faktor - faktor lingkungan laut yang
mempengaruhi distribusi, migrasi, dan kelimpahan ikan seperti suhu permukaan
laut (SPL), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah
dan kecepatan arus dan tingkat produktivitas primer dapat diperoleh secara
berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas (Zainuddin, 2006). Ikan dengan
mobilitas tinggi akan lebih mudah dilacak di suatu area melalui teknologi ini,
karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti
peristiwa upwelling, eddy (dinamika arus pusaran) dan front gradient pertemuan
dua massa air yang berbeda baik salinitas, suhu atau klorofil-a (Zainuddin, 2006).
Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada
umumnya mempergunakan hasil pengukuran
tidak langsung satelit terhadap
parameter suhu permukaan laut (SPL) dan warna laut (ocean color). Untuk
pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran
23
panjang gelombang 3 - 14 µm. Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL
tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenomena laut seperti upwelling,
front dan pola arus permukaan yang merupakan indikasi dari suatu wilayah
perairan yang kaya dengan unsur hara atau subur. Perairan subur merupakan
tempat kecendurangan dari migrasi suatu sumber daya ikan, yang dapat dikatakan
juga sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang
menggunakan kanal infra merah jauh, sebagai contoh SPL diturunkan dari
pencitraan satelit serial NOAA ataupun Fengyun FY-1 (Andrius, 2007).
Dalam bidang perikanan terdapat 3 jenis satelit yang sering digunakan
dalam dalam melakukan pendugaan terhadap daerah penangakapan ikan di
wilayah perairan Indonesai, antara lain Satelit NOAA - AVHRR, Aqua MODIS
dan SeaWiFS.
2.3.1 Satelit NOAA - AVHRR
Satelit NOAA adalah Satelit meteorologi generasi ketiga milik "National
Oceanic and Atmosperik Administrastion" (NOAA) Amerika Serikat (Gambar 7).
Satelit ini menggantikan generasi sebelumnya, yaitu seri TIROOS (Television and
Infra red Observation Sattelite) dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite).
Adapun konfigurasi Satelit NOAA yaitu tinggi orbit 833 - 870 km. inklinasi
sekitar 98.7o - 98,9o, mampu mengindera suatu daerah dua kali dalam 24 jam,
resolusi spasial 1,1 km. Satelit ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi
mengenai keadaan fisik ocean dan atmosfer. Satelit ini dilengkapi dengan lima
sensor utama, yaitu AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer),
TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), HIRS (High Resolution Infrared
Sounder), DCS (Data Collection System), SEM (Space Envirotment Monitor),
Sarsat (Search And Rescue Sattelite System). Untuk aktivitas pemantauan
lingkungan kelautan satelit NOAA memanfaatkan sensor advanced very high
resolution radiometer (AVHRR). yang terdiri dari lima kanal (band) berdasarkan
jenis pengamatan dan panjang gelombang yang digunakan (Tabel 3).
24
Sumber : http://marine.rutgers.edu/coolroom/instruments/instrument_avhrr.html
Gambar 7 Satelit NOAA - AVHRR.
Tabel 3 Nama kanal, panjang gelombang (A), spektrum dan jenis penginderaan
sensor jauh AVHRR - NOAA
Kanal
A (µm)
1
0.56 - 0.68
2
0.73 - 1.10
3
3.55 - 3.93
4
10.5 - 11.5
5
11.5 - 12.5
Spektrum
Pengamatan
Tampak
 Albedo siang hari (pemetaan
awan)
 Pemantauan lapisan es dan cuaca
Tampak
sampai Pemantauan
perkembangan
infra merah
tumbuhan
Infra merah
 Pemetaan awan malam hari
 Pengukuran suhu permukaan
 membedakan daratan dan lautan
 Pemantauan aktifitas vulkanik
 Pentauan
penyebaran
debu
vulkanik
Jendela
Infra  Pemetaan awan siang dan malam
merah
 Pengukuran suhu permukaan laut
 Penelitian air tanah untuk
pertanian
Jendela
Infra  Pemetaan siang dan malam
merah
 Pengukuran suhu permukaan laut
 Penelitian air tanah dan pertanian
Sumber : Soenarmo (2003)
2.3.2 Satelit Aqua MODIS
MODIS merupakan sensor yang dimaksudkan untuk menyediakan data
darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Sensor MODIS terpasang
pada satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra dan Aqua dirancang juga untuk
25
membawa sensor lain yaitu AVHRR dan CZCS. Satelit Terra dan Aqua memiliki
orbit selaras matahari (sun synchronous) dan dekat kutub (near - polar). Satelit
mengorbit bumi 2 hari sekali dengan ketinggian 705 kilometer di atas permukaan
bumi. Field of View MODIS sekitar 55o dan lebar sapuan 2,330 km.
Citra yang dihasilkan oleh satelit MODIS memiliki tiga resolusi spasial
yaitu 250 meter, 500 meter, dan 1000 meter. Karakteristik panjang gelombang
terdiri 36 buah saluran dan 12-bit kepekaan radiometrik (Gambar 8). Sensor
MODIS yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua dapat mengukur hampir
semua parameter darat, laut, dan udara sehingga kegunaannya menjadi sangat
luas. Satelit ini dapat mendeteksi indeks tumbuhan, kelembaban tanah, kadar
aerosol di udara, suhu permukaan laut, dan kandungan klorofil laut, yang
seluruhnya ada 86 parameter sehingga banyak keperluan lain yang bisa
ditumpangkan. MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999
dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. Lalu, pada tanggal
4 mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya
lebih ke lautan (Maccherone, 2005)
Sumber : http://lalumuhamadjaelani.wordpress.com/2009/03/10/spesifikasi-sensor-modis/
Gambar 8 Satelit Aqua MODIS.
Data MODIS pada Satelit Aqua mampu memberikan informasi distribusi
warna permukaan laut yang berkaitan dengan kandungan klorofil-a di suatu
perairan. Penentuan konsentrasi klorofil-a dilaksanakan berdasarkan ratio radiansi
atau reklektansin yang diukur dalam band spectral visible yaitu band biru dan
hijau.
26
2.3.3 Satelit SeaStar - SeaWiFS
Satelit SeaStar merupakan satelit generasi terbaru yang diperuntukkan
memperoleh data/informasi mengenai kondisi fisik laut dan atmosfer. Satelit ini
diluncurkan tahun 1997/1998, dengan lintasan polar (sunsynchronous), ketinggian
lintasan edar (orbit) 705 km, inklinasi 98.25o, mempunyai periode 98.9 menit dan
pengulangan orbit16 hari, radiometer yang digunakan 10 bit, dilengkapi dengan
scanner dengan lebar cakupan 2801 km. Sensor yang digunakan bernama
SeaWiFS yang terdiri dari 8 kanal (band) (Soenarmo, 2003). Adapun data,
spesifikasi dan bentuk dari Satelit Seastar - SeaWiFS dapat dilihat pada Tabel 4
dan Gambar 9.
Tabel 4 Data Satelit Seastar - SeaWiFS dan spesifikasinya
Spesifikasi Data
Sumber Data
(order,
 8 bands (Visible, NIR)  NASA
electronically)
 Resolusi Spasial
GAC : 4 km
 Data (Level 1,2)
LAC : 1 km
 Periode
1997
Sekarang
Parameter
(Produk)




Klorofil-a
Endapat terlarut (TSM)
Kekeruhan perairan
Batimetri
Sumber : Simbolon et al. (2009)
Sumber : http://ajiputrap.multiply.com/journal/item/90/SeaWIFS
Gambar 9 Satelit Seastar - SeaWiFS.
Terukur
27
2.4 Karakteristik Pukat Cincin
Pukat cincin (purse seine) merupakan alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap ikan yang bergelombol (schooling), seperti layang (Decapterus sp),
lemuru (Sardinella lemuru), tongkol (Euthynnus sp), cakalang (Katsuwonus
pelamis) dan ikan kembun (Rastelliger spp). Menurut Sudirman dan Mallawa
(1999) vide Tenrisa’na (2009) purse seine adalah alat yang digunakan untuk
menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan. Pada satu unit purse seine
terdiri dari jaring, kapal, dan alat bantu (roller, lampu, rumpon dan sebagainya).
Umumnya berbentuk empat persegi panjang. Prinsip penangkapannya adalah
melingkari gerombolan ikan dengan jaring secara vertikal dan horizontal. Disebut
dengan pukat cincin sebab pada jaring bagian bawah dipasangi cincin (ring) yang
berguna untuk memasang tali kerut (purse line) atau biasa juga disebut juga tali
kolor. Pengoperasiannya ada yang dilakukan pada malam, subuh atau siang hari.
Komponen utama purse seine menurut Subani dan Barus (1988) vide Mukhlisa
(2009) terdiri atas (1) bagian jaring terdiri atas jaring utama, jaring sayap, dan
jaring kantong, (2) srampad (selvedge), dipasang pada bagian pinggiran jaring
yang berfungsi memperkuat jaring sewaktu dioperasikan, terutama saat penarikan
jaring. (3) tali temali, terdiri atas tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah, tali
pemberat, tali kolor, dan tali selambar, (4) pelampung, (5) pemberat, dan (6)
cincin (ring).
Ukuran kapal pukat cincin di perairan Kendari rata - rata berkisar antara 15
meter (panjang) x 4 meter (lebar). Kapal yang digunakan terbuat dari bahan kayu.
Besaran tonase kapal berkisar antar 20 - 30 GT. Jumlah ABK berkisar antara 13 20 orang. Guna mempermudah dalam pencarian lokasi rumpon, sebagian besar
nelayan menggunakan alat bantu Global Positioning System (GPS). Konstruksi
armada penangkapan yang dioperasikan diperairan Kendari dapat dilihat pada
Gambar 10.
28
Sumber : Data lapangan
Gambar 10 Kapal pukat cincin (purse seine).
Ukuran jaring yang digunakan antara 200 - 400 meter dan terbuat dari jenis
polyethilene (PE) dan polyamide (PA) yang dikombinasikan. Ukuran mesh size
antara 1.5 - 2 inci. Pada bagian atas jaring dipasangkan pelampung yang terbuat
dari plastik, jarak antara pelampung antar 10-20 cm. Disamping itu dilengkapi
juga dengan pelampung tanda dan lampu buoy. Pemberat dipasang pada bagian
bawah jaring yang berbentuk cincin, disamping berfungsi mempercepat proses
tenggelam jaring juga berfungsi sebagai tempat tali kolor (purse line). Adapun
desain alat tangkap purse seine yang dioperasikan di perairan kendari dapat dilihat
pada Gambar 11.
a
b
c
Gambar 11 Bagian - bagian utama purse seine yang beroperasi di perairan
Kendari, a) Cincin, b) pelampung, 3) jaring
Seiring perkembangan pengetahuan nelayan tentang metode penangkapan
ikan, saat ini banyak nelayan telah menggunakan rumpon untuk mengumpulkan
ikan dengan harapan akan meningkatkan hasil tangkapan. Penggunaan rumpon
juga banyak digunakan oleh nelayan purse seine yang beroperasi di perairan
Kendari.
29
2.5 Sistem Informasi Geografis Perikanan Tangkap
2.5.1 Sistem informasi geografis
Pada dasarnya istilah sistem informasi geografis (SIG) merupakan gabungan
dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan geografis. Penekanan SIG ada
pada informasi geografis yang dihasilkan. Istilah informasi geografis mengandung
pengertian mengenai tempat - tempat yang terletak dipermukaan bumi,
pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi dan
berisi informasi mengenai keterangan - keterangan tertentu yang terdapat di
permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Prahasta, 2001)
Pengertian sistem informasi geografis sendiri telah banyak diberikan oleh
para ahli SIG. Menurut Arronof (1989) mendefinikan SIG sebagai suatu “sistem”
berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data
bereferensi geografis, yakni pemasukan, pengelolaan atau manajemen data
(penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis, dan keluaran.
Sedangkan Burrough (1986) mengemukakan bahwa SIG adalah seperangkat alat
(tools) yang bermanfaat untuk pengumpulkan, penyimpanan, pengambilan data
yang dikehendaki, pengubahan dan penayangan data keruangan yang berasal dari
gejala nyata di permukaan bumi. Ekadinata et al (2008) mendefinisikan SIG
sebagai sebuah sistem atau teknologi yang berbasis komputer yang dibangun
dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa
serta menyajikan data dan informasi dari suatu objek atau fenomena yang
berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi. Dalam sejarah
perkembangan SIG, dekade 1990-an dinyatakan sebagai periode terobosan
(breakthrough), sejak orientasi objek dalam sistem dan desain database makin
baik, didiringi dengan makin meluasnya pengakuan terhadap aktivitas SIG
sebagai aktivitas profesional dan berkembang pesatnya teori - teori informasi
spasial sebagai dasar teori SIG. Saat ini, telah beredar berbagai macam perangkat
lunak SIG komersial, seperti ERDAS, IDRISI, ILWIS, ARC/INFO, MAP INFO,
AutoCad Map, ArcView, ArcGIS, E-View, dan lain - lain dalam berbagai versi.
Terdapat beberapa komponen utama yang membaguan sebuah SIG antara lain
perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna dan aplikasi (Gambar 12)
30
Data
Perangkat
Lunak
Perangkat
Keras
Sistem Informasi
Geografis
Aplikasi
Pengguna
Sumber : Ekadinata et al (2008)
Gambar 12 Komponen sistem infromasi geografis.
Secara umum sistem informasi geografis terbagi kedalam 4 subsistem
utama,
yaitu
data
input,
data
output,
data
manajemen
dan
data
manipulation/analisis (Prahasta, 2001).
1) Data
input,
subsistem
ini
bertugas
untuk
mengumpulkan
dan
mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem
ini
pula
yang
bertanggung
jawab
dalam
mengkonversi
atau
mentransformasi format - format data-data aslinya ke dalam format yang
dapat digunakan oleh SIG.
2) Data output adalah subsistem SIG yang bertugas menampilkan dan
menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk
softcopy atau hardcopy, seperti tabel, peta, grafik atau yang lainnya.
3) Data
management
merupakan
subsistem
yang
berfungsi
untuk
mengorganisasikan baik data spasial atau atribut ke dalam bentuk sebuah
basis data, sehingga memudahkan dalam analisis, editing atapun update
basis data tersebut.
4) Data manupulation/analisis adalah subsistem yang berfungsi untuk
menentukan informasi yang dapat di hasil oleh SIG. Selain itu, subsistem
ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan
informasi yang diharapkan.
Sistem informasi geografis sebagai sebuah alat diharapkan mampu
memberikan manfaat bagi setiap pengguna dan bisa diaplikasi dalam menjawab
persoalan yang dihadapi manusia. Teknologi SIG telah banyak diaplikasikan
dalam berbagai bidang seperti evaluasi kesesuaian lahan, pemetaan daerah bahaya
longsor, perancangan perkotaan, jalur listrik, pipa dan lain sebagainya. Di bidang
31
perikanan pemanfaatan teknologi SIG masih terus dimaksimalkan baik itu untuk
keperluan konservasi wilayah perairan, pengelolaan kawasan pesisir, ataupun
pemanfaatan untuk penentuan daerah penangkapan ikan.
2.5.2 Aplikasi sistem informasi geografis di bidang perikanan tangkap
Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar wilayahnya
adalah laut, sehingga sering disebut sebagai negara maritim. Luas wilayah
perairan sekitar 5.8 juta km2 menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu
wilayah yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar.
sementara itu pengelolaan perikanan belum dikelola secara optimal dan lestari
merupakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi di Indonesia (Simblon et
al., 2009).
Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis
(SIG) di bidang perikanan telah banyak digunakan, salah satunya pada sektor
perikanan tangkap. Permasalahan utama yang banyak dikaji dengan menggunakan
teknologi indraja dan SIG terkait dengan optimalisasi hasil tangkapan adalah
keterbatasan data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan
dengan daerah penangkapan yang potensial. Sehingga dengan adanya teknologi
penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis banyak
membantu dalam upaya peningkatan hasil tangkapan secara optimal.
Menurut Simbolon et al (2009) terdapat dua teknologi yang digunakan
dalam perkembangan ilmu pemetaan di bidang perikanan yaitu pengideraan jarak
jauh dan sistem informasi geografis. Sistem informasi geografis diartikan sebagai
alat dengan sistem komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan
peristiwa yang terjadi di permukaan bumi. Secara lebih luas SIG diartikan sebagai
sistem manual dan atau komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan, mengelola dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan
spatial atau geografis. Penginderaan jarak jauh (remote sensing) adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh tanpa kontak langsung dengan objek, daerah
atau fenomena yang dikaji (Lilesand dan Kiefer, 1994).
32
Parameter oseanografi dan fenomena perairan merupakan paramater yang
dapat dimanfaatkan untuk memprediksi daerah penangkapan potensial. Teknologi
penginderaan jarak jauh saat ini telah mampu mengamati berbagai fenomena
perairan dan kondisi oseanografi tersebut, seperti suhu permukaan laut,
konsentrasi klorofil-a, salinitas, arus, sedimentasi perairan, pasang surut perairan,
fenomena upwelling, thermal front, dan eddies yang kesemuanya dapat
dimanfaatkan guna penentuan daerah penangkapan potensial. Menurut Zainuddin
(2006) salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik dalam penentuan
daerah penangkapan potensial dengan mengkombinasikan kemampuan SIG dan
penginderaan jauh (indraja). Dengan teknologi indraja faktor - faktor yang
mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara
berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut
antara lain suhu permukaan laut (SPL), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan
tinggi permukaan perairan, arah dan kecepatan arus, serta tingkat produktifitas
primer. Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah
mencari hubungan antara spesies ikan dengan faktor lingkungan di sekelilingnya
(Zainuddin, 2006). Parameter yang digunakan dalam penentuan daerah
penangkapan potensial ini kemudian diolah dengan menggunakan teknologi SIG.
Pemanfaatan teknologi SIG pada bidang perikanan tangkap harus didukung oleh
sejumlah konsep - konsep ilmiah dan data yang memadai sehingga diperoleh hasil
yang lebih akurat.
Download