BAB III PROSES BERKARYA 3.1 Gagasan Berkarya Gagasan dasar dalam berkarya adalah menggambarkan berbagai macam jalan kematian, di sini tubuh diolah sebagai media untuk membahas kematian. Sedang kematian adalah batas akhir dari yang wadag, kemudian segala identitas wadag menjadi tidak penting lagi dibicarakan. Wacana yang dimunculkan membicarakan sisi lain realitas ruh yang dirayakan pada kehidupan setelah kematian. Karya-karya kemudian menampilkan gagasan ini dalam bentuk realitas yang baru, namun tetap dikaitkan dengan wacana kehidupan setelah kematian. Wacana senirupa juga dimunculkan dalam kecenderungan visual, antara lain adanya pencampuran gaya yang bersifat eklektik, seolah-olah tidak peduli terhadap kedalaman, tidak terikat oleh konvensi apapun termasuk gaya, corak bahkan estetik, melepaskan selera individualisme yang sempit dalam gagasannya, yang pada akhirnya karya-karya dijadikan alat untuk merepresentasikan persoalan, kontemplatif, membuka multi tafsir, dan sebagainya. Metode ke arah sana, dicoba dengan melihat kematian sebagai korban, entah apa penyebabnya, mungkin bencana alam, kekerasan atau peperangan, yang jelas jasad telah berpisah dengan ruh. Jasad telah mati dan ruh masuk di kehidupan ruh itu sendiri. Tubuh yang menderita, ditinggalkan, dikorbankan dan ruh yang hidup menjadi realitas yang sangat berhubungan dengan kultur namun percaya dengan paradox seperti itu. Metode yang lain, dicoba dengan melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang dirayakan (dalam tradisi). Sangat jelas sekali, yang dirayakan adalah ruhnya, kehidupan setelah kematiannya. Disini segala bentuk metafora mungkin digunakan sebagai simbolisasi nilai estetis dari kematian dan kehidupan yang baru. Untuk mencapai ke sana perlu dikaitkan dengan tema dasar dari karya-karyanya. 3.1.1 Tematik Tema dasar yang diambil adalah “Kematian yang Nirbatas”. Kematian itu sendiri adalah batas akhir dari yang wadag, dialami oleh setiap manusia, siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Kematian juga diartikan sebagai terpisahnya ruh dengan jasadnya atau ruh meninggalkan jasadnya yang fana, ruh tetap hidup. Hanya melalui kematian, kemudian ruh kembali ke alam asalnya dan semua itu diyakini sebagai sesuatu yang absurd dan di ranah tradisi selalu dirayakan sebagai peristiwa yang dipenuhi dengan nilai estetis simbolik. Kematian dan kehidupan ruh setelah kematian di tradisi ketimuran dipercaya sebagai sebuah siklus, suatu perjalanan yang selalu berputar. Ada suatu konsekuensi logis dari pemahaman ini, yaitu ada korelasi dari saat hidup dengan kehidupan setelah kematian. Inilah yang menjadi motivasi yang tinggi untuk tetap berjuang dan bertahan dalam segala keadaan di saat hidup karena dipercaya ada kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Reinkarnasi adalah salah satu bentuk kepercayaan yang percaya adanya penciptaan baru setelah kematian, dengan segala derajat kualitas hidup sebelum dan setelah kematian. Di dalam agama Kristen, kehidupan setelah kematian ini menjadi penting karena ruh yang pulang ke rumah Bapa di Surga diyakini sebagai saat menerima mahkota kehidupan. Iman dan percaya kepada Tuhan yang teguh disaat hidup di dunia menjadi bekal yang tidak dapat mati dan dibawa terus menghadap tahta-Nya yang kudus. Bila semua tugas dan kewajibannya di dunia telah selesai dilakukan dengan tekun, taat dan setia, maka mahkota kehidupan itu kelak diterimanya yaitu saat kematian tiba, hidup menjadi abadi penuh kemuliaan. Kepercayaan Kristen tidak mendoakan bagi yang mati atau meninggal, karena ruhnya telah berpulang dan menjadi urusan Tuhannya, dan jasadnya kembali ke tanah seperti asalnya. Itulah sebabnya kenapa perayaan tentang kematian manusia tidak dijumpai di kepercayaan Kristen. Secara umum, realitas kematian menyadarkan kepada manusia betapa ringkihnya kehidupan manusia, kemudian manusia melihat betapa besarnya kekuasaan Tuhan atas kehidupan ini. Kebesaran ini dijunjung tinggi oleh manusia dengan segala kepercayaannya masing-masing. Ranah tradisi lokal, dengan segala pluralitas kepercayaannya, kemudian merayakan peristiwa kematian dan kehidupan ini melalui segala cara dan tradisi mereka yang kaya nilai estetis simboliknya. Tentang karya yang pernah dicoba dalam proses berkarya pada semester sebelumnya adalah mengangkat problem spiritualitas dalam konteks religi tentang kematian. Mengacu pada adaptasi kaya Hans Holbein berjudul “Jesus Christ in His Tomb” yang diolah menjadi karya dengan realitas baru berjudul “Catatan kaki Tubuh yang Ditinggalkan, Tubuh yang Dikurbankan”. Pada karya ini, kematian Jesus di Kayu Salib yang lambungnya ditusuk tombak, yang tangan dan kakinya dipaku, yang tubuhnya menderita deraan dan siksaan, dimunculkan lebih nyata dalam semacam detail yang diperbesar. Pada ibu jari kaki dipasang seperti identitas mayat pada zaman sekarang, ini merepresentasikan bahwa Yesus telah mati disalib dan kematian-Nya tetap relevan sampai saat ini, dan ini menjadi catatan kaki yang penting. Jari tengah-Nya kurus, berkuku, mengacung tegang seakanakan ingin memberi isyarat kepada seseorang tapi tak seorang pun tahu apa (Goenawan Mohammad, dalam tulisan “Tubuh, Melankoli, Proyek”), diungkap dalam detail tangan yang lebih jelas yang bagi penulis dimaksudkan sebagai realitas baru tanda kepada murid-muridnya bahwa Dia akan bangkit dalam tiga hari kemudian. Problem spiritualitas yang dimunculkan dalam karya ini adalah untuk memperjelas bahwa kematian Yesus memang telah terjadi melalui penyaliban tubuh yang ditinggalkan, tubuh yang dikurbankan. Namun kemudian tanda pada jari tengahnya direpresentasikan sebagai tanda akan bangkitnya Yesus di hari ketiga, mengalahkan kematian, pengharapan akan kemenangan-Nya. Gambar 3.1 Judul : Catatan Kaki Tubuh yang ditinggalkan, Tubuh yang Dikorbankan Ukuran : 123 x 217 cm Media : Mixed media Charcoal dan Akrilik diatas canvas Tahun : 2007 Perbedaan konsep dengan karya Hans Holbein adalah bahwa pada karya Hans Holbein tubuh yang menjadi korban, dan korban menanggung sakit yang amat sangat. Kemurungan dari karya Hans Holbein ialah bahwa kesendirian seakan-akan menandai kenyataan bahwasanya rasa sakit sang korban tidak bisa dikomunikasikan. Kristus Holbein menampilkan apa yang sebenarnya tragis karena tak terhindarkan. Kebisuan itu, tak terjangkaunya rasa sakit sang korban oleh objektifikasi verbal, kebisuannya yang awal dan akhir, mengingatkan bahwa tubuh bukanlah suatu yang universal namun tubuh senantiasa partikular, Yesus tak dapat digantikan oleh yang lain. Tema “Kematian yang Nirbatas”, selanjutnya diartikan sebagai berikut : - Merupakan realitas ketubuhan yang menjadi realitas baru setelah batas (kematian) itu dialami, setelah kematian wadag. - Kematian dilihat sebagai konteks, namun yang dibicarakan adalah setelah kematian dialami, yang wadag itu berakhir, yaitu kehidupan setelah kematian tentang ruh dilihat dari sisi fenomena sosial, kultural, tradisi yang sarat dengan problem spiritual, makna simbolis estetis. - Melihat kehidupan setelah kematian menjadi misteri yang diyakini sebagai hidup di alam keabadian, kekekalan yang tidak mempunyai batas. Pengembangan tema “Kematian yang Nirbatas” yang diwujudkan dalam karya, menempatkan kematian sebagai : - Perjalanan ruh menuju ke alam keabadian ruh. - Penyadaran tentang kosmologi tradisi alam atas, alam tengah dan alam bawah. - Korban (kontradiksi melihat korban) - Bukan akhir dari segalanya, namun ada proses yang berkelanjutan yaitu kehidupan ruh setelah kematian. - Perjalanan yang panjang dari ruh untuk melangkah secara pasti ke alam keabadian ruh. - Tarian ruh yang sakral yang terbebaskan dari belenggu-belenggu gravitasi. 3.1.2 Konsep Estetik Proses berkarya juga melewati perjalanan yang panjang melewati proses elaborasi, yang intinya merambah persoalan estetik maupun persoalan yang non estetik dan esensinya terus digali, dimunculkan dalam bahasa ungkapan (idiom) seni rupa. Proses tersebut dapat dicapai melalui dua tahap, yaitu : Proses elaborasi topik, tentu melalui kajian-kajian pustaka, diskusi, untuk menghadirkan gambaran-gambaran persoalan yang muncul dan proses berkarya, praktikal, menerjemahkan tema dan konsep ke dalam visual melalui media lukis dengan eksplorasi estetik. Tahap Proses Elaborasi Tahap ini merupakan proses elaborasi yang pada prinsipnya selalu membangun kerjasama atas pemahaman tentang topik yang dihadapi, baik melalui kajian-kajian pustaka, diskusi untuk menghadirkan gambaran-gambaran persoalan yang muncul. Topik yang muncul sangat tergantung pada konteks yang direpresentasikan, misalnya persoalan rupa. Realistik sebagai bahasa ungkapan dalam lukisan yang dibuat untuk menelusuri topik ini, dikaji melalui pustaka dan diskusi, kemudian penulis melihat perkembangan seni rupa dengan segala wacana yang dimunculkan mengenai persoalan bahasa ungkapan rupa realistik itu sendiri. Kecenderungan menampilkan rupa realistik ini merupakan arus besar dalam perkembangan seni rupa Indonesia yang muncul pada akhir 1970-an dan bertahan sampai kini. Kecenderungan ini tercatat memunculkan wacana yang kuat, yang dalam perkembangan seni rupa Indonesia mempunyai kaitan erat dengan perubahan sosial di Indonesia. Gejala ini sempat menjadi tren, muncul pada akhir tahun 1970-an sebagai akibat keguncangan budaya menghadapi perubahan dunia visual. Pada tahun-tahun sebelumnya, sekitar tahun 1950-1965, dunia visual di Indonesia mengalami pemiskinan. Segala bentuk sensasi visual pada tahun ini ditiadakan. Hingga pada tahun 1965, keadaan seperti ini berakhir dan cukup membawa perubahan besar dengan munculnya kecenderungan melukis realistik pada tahun 1970-an di Yogyakarta. Kecenderungan menampilkan rupa realistik muncul dan meningkat bersamaan dengan masuknya informasi dunia internasional dalam arus besar. Pada tahun 1990-an, rupa realistik yang bisa bertahan lama itu memunculkan berbagai pengamatan dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan estetik, pendekatan sejarah dan juga pada pembacaan masalah sosial budaya yang menekankan pada konteks. Semua itu terlihat pada kecenderungan pelukis-pelukis memilih rupa realistik, kemudian memunculkan wacana foto realisme. Wacana ini berpangkal pada pengamatan yang melihat unsur kesamaan pada kecenderungan lain yang menggunakan rupa realistik sebagai bahasa ungkapan, yaitu penggunaan foto. Gejala ini menunjukkan rupa realistik yang tampil adalah hasil menyalin foto dan bukan menyalin kenyataan, dan dari sisi representasi realitas yang direpresentasikan tidak didasarkan pengalaman emosional dan renungan personal. Dalam wacana foto realisme, representasi ini didasarkan realitas fotografi, yang penekanannya lebih kepada pengetahuan dan pemahaman. Representasi ini mengacu pada deskripsi foto itu sendiri yaitu berita di balik foto dan informasi tentang foto. Dari diskusi-diskusi yang telah dialami selama proses studi di studio dan dalam proses berpameran, kemudian dimunculkan gambaran-gambaran tentang permasalahan yang selanjutnya dielaborasi dengan kajian pustaka untuk mendapatkan pemahaman yang diharapkan. Disadari oleh penulis, paradigma yang ada pada diri penulis tentunya dipengaruhi oleh latar belakang perjalanan dan studi sebelumnya. Penulis mengenal seni gambar dan seni lukis realistik sejak kecil. Banyak sekali drawing yang telah dikerjakan. Penulis mengenal seni lukis secara otodidak, sering melihat pelukis Adam Lay melukis realistik. Drawing yang esensinya adalah garis, dan garis itu kemudian amat berperan dalam studi S1 yang dijalani, yaitu Teknik Arsitektur. Latar belakang ini membawa pengaruh yang kuat terhadap karakter garis yang tajam dalam arsiran garis yang kuat pada karya drawing. Kedua pengalaman ini berpengaruh melahirkan kecenderungan karya yang realistik, tetapi karena belajar secara otodidak maka pernah juga penulis menampilkan kecenderungan-kecenderungan yang lain, karya yang ekspresif, formalis dan juga dekoratif. Kecenderungan mengolah obyek dalam lukisan terjadi melalui proses yang tidak hadir secara tiba-tiba, namun melalui perjalanan panjang yang berujung pada sebuah kontemplasi yang kadang-kadang menegangkan, benturan-benturan, kedalaman selalu digali, dibongkar dan disatukan menjadi energi yang mencuat melalui sapuan-sapuan kuas, coretan charcoal di atas kanvas. Realistik, tetapi ada muatan yang lain di balik realita itu, yaitu olah imajinasi dan rasa untuk menemukan makna di balik semua itu dan diwujudkan dalam permainan ungkapan simbol menjadi realitas baru. Sebuah konteks diolah dan direpresentasikan dalam karya realistik yang baru. Jadi, untuk memahami lukisan realistik yang dibuat hendaknya dibaca sebagai teks yang dimunculkan sebagai realitas baru. Bentuk-bentuk yang dihadirkan bukan lagi sekedar bentuk realistik tetapi wacananya adalah konteks yang direpresentasikan. Bukan lagi sepenuhnya mengungkap realitas kenyataan, tetapi sudah dikembangkan melalui konteks pemahaman realitas yang berorientasi pada perenungan kedalaman konteks itu sendiri, kemudian diolah melalui pikiran, perasaan dan pemahaman yang lebih mendalam. Konteks menjadi penting dan setelah terolah di bidang lukisan mengandung metafora dan analisa simbolik. Penulis menyadari bahwa dalam penjelajahan rupa realistik sebagai idiom atau rupa realistik sebagai permasalahan teks, ruang permasalahan teks menjadi dominan, sementara ruang yang menyajikan persoalan konteks memang menjadi sangat tipis. Ini semua timbul dari kesadaran bahwa di dalam lukisan teks dan konteks tidak dapat dipisahkan. Teks merupakan bahasa ungkapan itu sendiri; ini pemahaman pada umumnya. Tetapi bagi penulis, teks yang dijelajahi adalah rupa realistik itu sendiri. Walaupun dalam era seni kontemporer rupa realistik ini sudah dianggap selesai, tidak mengungkapkan apa-apa, namun penggarapannya bisa diolah melalui tema yang biasanya digarap mati-matian, digali habis-habisan untuk memunculkan realitas baru. Rupa realistik tampil melalui susunan garis dan nuansa atau lindapan dan karena itu tidak sepenuhnya menyalin kenyataan. Namun justru garis dan lindapan ini bisa dibaca sebagai bagan rupa realistik merupakan awal dari teks merasakan, melatih dan menemukan sense of order rupa realistik itu. Kemudian ketika topik kematian menjadi gagasan utama dalam tugas akhir ini maka dalam diskusi selanjutnya dicari gambarangambaran yang kontekstual. Kematian dapat dilihat sebagai perjalanan panjang ruh untuk kembali ke alam keabadian. Kematian dapat dilihat sebagai tari ritual untuk bekal di perjalanan ruh yang dipenuhi simbolisasi kesakralan. Kematian dapat dilihat sebagai korban, dimana masalah tubuh fisik ditelaah menjadi tidak sekedar fenomena fisik, tetapi menjadi fenomena sosial juga, identitas dipersoalkan. Topik kematian ini dibongkar terus-menerus seperti halnya suatu proyek besar bagi seseorang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran untuk mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu. Gambarangambaran yang dimunculkan kemudian menjadi bahan kontemplasi pribadi. Benturan, konflik dan ketegangan menjadi proses yang sangat menentukan dalam proses elaborasi ini. Olah imajinasi dan rasa dalam mewujudkan makna menjadi tugas yang berat, untuk menjadikan karya sebagai lukisan yang mempersoalkan sesuatu, yang memberi dampak kontemplatif dan sebagainya. Dan pada saatnya, rupa realistik individu yang dipilih untuk merepresentasikan konteks kematian yang digarap. Tahap Proses Berkarya Praktikal - Mengukur potensi kesadaran terhadap skala Disini dialog pribadi terjadi, apakah besar-kecil ukuran kanvas telah sesuai dengan ekspresi perwujudan bentuk karya, pertimbangan apakah karya skala tertentu memberi dampak sensasional atau tidak, menggentarkan atau tidak, mampu terkuasai atau tidak, dan sebagainya. - Memilih dan menentukan media yang akan dipakai Charcoal yang langsung dan ekspresif, tegas dan tidak ragu-ragu dan sangat mendukung kecepatan berkarya. Akrilik sebagai media untuk melembutkan, menghadirkan idiom warna spesifik individual, memberi kesan selesai. - Sketsa - Pewarnaan Pewarnaan bisa berada di awal sebelum sketsa untuk menghimpun atau mengkondisikan diri untuk berkarya karena penulis tidak menunggu mood atau suasana tertentu dalam berkarya. Namun suasana itu diciptakan dengan memulai pembidangan dasar dengan warna-warna tertentu dan datar. Biasanya semangat berkarya kemudian menumpuk dan proses selanjutnya menjadi cepat dan semangat berkarya menjadi konstan. Sementara pewarnaan setelah sketsa selesai dilakukan bertujuan untuk menghadirkan multi respon dari keseluruhan indra yang ada, perasaan yang menyertainya, kelanjutan imajinasi yang tak terbatas, juga dimaksudkan untuk penyelesaian karya. Keseluruhan tahap pendekatan berkarya ini bagi seniman juga merupakan proses berpikir dan bertindak dengan keseluruhan imajinasi rasa dan indra yang dimiliki, bukan hanya menjadikan karya sebagai obyek optis semata. Kecenderungan gaya yang diambil adalah realis ekspresif, tidak seperti realis murni tapi dalam pengertian realis baru yang ekspresif, berasal dari ekspresi subyektif. Penyajian dalam bentuk visual melalui teknik drawing atau lukisan, atau penggabungan keduanya. Teknik ini dipilih karena sudah ditekuni dan dikuasai dalam berbagai media, charcoal, akrilik dan sebagainya. Teknik drawing dan lukisan merupakan media yang sangat individual, sangat subjektif untuk mengungkapkan karakter dan bersifat ekspresif, langsung dan selesai. Sedang penggunaan kanvas sebagai bidang gambar karena sangat tepat dan baik dengan kedua media diatas dan juga tersedia dengan ukuran-ukuran yang fleksibel, kuat dan tahan lama. Tampilan gambar atau lukisan mempunyai gaya realistik ekspresif. Gaya ini tidak hanya sekedar realistik, mimesis, tetapi disajikan secara ekspresif yang artinya sudah diolah secara ekspresif dan dimunculkan dengan penambahan elemen-elemen lain, seperti penggunaan idiom-idiom tertentu, pengolahan warna tertentu yang berbeda dengan yang lazim, penggunaan simbolisasi. Secara keseluruhan lukisan merepresentasikan realitas baru yang mendukung konteksnya. Penggunaan idiom-idiom tertentu yang citraannya seperti asap putih, lembut dan meruang, untuk mengungkapkan misteri kematian itu sendiri dan merepresentasikan drama kematian dalam lukisan. Sebagian besar karya menggunakan citraan manusia atau figuratif karena sangat langsung mewakili esensi ketubuhan manusia, selanjutnya tubuh ini dijadikan media untuk mengungkap tentang kematian dan diwujudkan sebagai realitas baru. Selain itu setiap manusia mengalami kematian, siapa saja, kapan saja dan dimana saja adalah realitas yang dihadapi. Kemudian tema kematian menjadi intens dalam karya-karya tugas akhir ini, melihat konteks kematian dari sisi drama. Drama kematian sebagai perayaan penuh bentuk simbolik estetik mengangkat ritual dan tradisi lokal tentang kematian. Drama kematian sangat berbeda dengan misteri kematian, walau dalam penampilan di dalam karya bisa juga dicampur dengan mengolah bahasa visual yang estetis, misalnya menggunakan bahasa baru (idiom) untuk melihat kematian sebagai drama dan sekaligus sebagai misteri. Drama kematian banyak diolah untuk berjalan bersama dengan misteri kematian yang direpresentasikan dalam lukisan. Kecenderungan menampilkan figur wanita dalam visualisasinya karena alasan estetik untuk lebih menarik dan juga penggambaran ritual tari-menari akan lebih indah bila pelakunya wanita, lebih luwes dan lentur tampilannya yang diharapkan tidak lagi melihat kematian sebagai suatu yang mengerikan tetapi dipenuhi dengan keindahan. Ritual tari-menari ini perlu ditampilkan karena di dalam tarian irama kelembutan dan keluwesan dapat diwujudkan sebagai metafora kematian yang spesifik, sesuatu yang sakral, mistis dan sekaligus indah. Pertimbangan Estetik yang Ditampilkan dalam Lukisan - Lukisan yang dibuat, mampu menampilkan realitas yang baru dari konteks yang diangkat, melalui bahasa idiom, warna, simbolisasi atau bentuk keseluruhan. - Lukisan yang dibuat, bertumpu pada perenungan-perenungan yang panjang dan mendalam, oleh karenanya bersifat subjektif terutama dalam visualisasinya. - Konteks kematian yang diambil tidak menolak pemahaman kedua anggapan sebagai berikut : a. Kematian dianggap sebagai peristiwa yang profan, peristiwa sehari-hari yang bisa dijumpai dalam perjalanan kehidupan. b. Kematian dianggap sebagai suatu peristiwa yang harus dirayakan dengan menumpukan diri pada ritual dan tradisi. Ritual dan tradisi ini merupakan suatu bentuk simbolik estetik yang keberadaannya tidak dapat lagi dianggap sebagai biasa lagi. Terhadap kedua pemahaman atau anggapan tentang kematian tersebut, kemudian dijadikan strategi berkarya yaitu menyetarakan keduanya, menjadikan apropriasi dalam berkarya seni. Sikap yang ditampilkan dalam karya, menampilkan kecenderungan karya kontemporer karena muatan konsep tentang Kematian yang Nirbatas membagi diri dalam berbagai makna. Tampilan gaya pada karya lukisan yang dibuat cenderung mencampur gaya visualisasinya secara eklektik, yang seolah-olah tidak peduli terhadap kedalaman dan lukisan yang dibuat dijadikan alat untuk merepresentasikan persoalan, kontemplatif dan membuka multi tafsir. Tema yang ditampilkan (Kematian yang Nirbatas) diolah dalam kemungkinankemungkinan yang baru, tidak terikat dengan konvensi-konvensi ataupun dogma manapun, termasuk gaya dan teknik, corak bahkan estetiknya. - Karya lukisan tetap diusahakan estetik dan dramatik yang dicapai dengan pengolahan warna, gelap terang, pengolahan gestur dan sebagainya. 3.2 Proses Berkarya Proses berkarya yang dimaksud di sini adalah proses pada umumnya untuk menghasilkan karya, dan berangkat setelah tentang tema “Kematian yang Nirbatas” dengan segala muatan konteksnya dipahami, tinggal eksekusi dalam bentuk visualisasinya. • Pertimbangan Komposisi Proses ini mengolah komposisi, yaitu pertimbangan-pertimbangan pengolahan itu mempertimbangkan besar kecilnya gambar sebagai obyek utama dan pendukung dan apa arti ruang negatif yang juga menjadi bagian komposisi. Bagi penulis ruang negatif ini juga berujud sebagai bentuk yang mesti disikapi dan memaknakan apa keberadaannya dalam komposisi. Selain unsur bentuk dari obyeknya yang dipertimbangkan sebagai pembentuk komposisi, juga susunannya, arahnya, kontras gelap terangnya dan juga warnanya. Kecenderungan komposisi mendatar tentu diwujudkan dalam bentuk bidang gambar yang horisontal. Pertimbangan-pertimbangan dalam membuat komposisi pada umumnya menghadirkan aksen sebagai titik perhatian bidang gambar, juga adanya keseimbangan walaupun tidak simetris. Adanya harmonisasi dari keseluruhan komposisi. Walaupun di dalam kecenderungan menampilkan bentuk karya kontemporer, secara intuisi kepekaan harmonisasi dari komposisi tetap perlu dipertimbangkan karena semata alasan estetis dan pertimbangan estetis ini harus dimunculkan selain wacana yang juga harus dapat dibaca. Ada enam karya yang dibuat dalam tugas akhir ini dan pertimbangan komposisi ini salah satu yang harus diperhatikan selain warna yang digunakan. • Pertimbangan Warna Dalam mewujudkan karya, warna menjadi elemen penting untuk menghasilkan karya yang individual dan warna ini bagi penulis juga sebagai bentuk dalam karya. Sehingga kehadiran warna tertentu sangat berarti dan juga hadir sebagai komposisi keseluruhan karya. Kecenderungan menampilkan warna hitam dan putih atau warna yang mengesankan gelap dan kesan terang dimaksudkan untuk menghadirkan alam ruh, mengkondisikan kehadiran alam ruh yang sakral, misterius yang mendukung persoalan kematian dan kehidupan ruh. Warna bergerak dari kecenderungan gelap ke terang untuk menghadirkan keheningan dan kontemplatif karya, tetap diusahakan tampil dalam keharmonisan yang estetis. Pada mulanya latar belakang sengaja sebagai bidang yang dipenuhi warna datar dimaksudkan sebagai kecenderungan menampilkan kesan eklektik, tidak mementingkan kedalaman ruang. Wacana keseluruhan dari karyanya yang menjadi lebih penting dari pada pesona warna sebagai daya tarik visual. • Pertimbangan Pilihan Visualisasi Karya Menghadirkan tubuh manusia sebagai obyek utama karena tubuh digunakan sebagai simbolisasi, sebagai media untuk membicarakan sekaligus merefleksikan “Kematian yang Nirbatas”. Pertimbangan lainnya karena semua manusia mengalami kematian, siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Kehidupan dunia ruh akan lebih mudah direpresentasikan secara visual sebagai tubuh manusia yang mungkin dalam pengolahannya mengalami perubahan bentuk, namun gestur dan kesan yang ditampilkan dimaksudkan sebagai ruh yang sudah terbebaskan dari gravitasi. Kecenderungan menampilkan tubuh wanita dalam visualisasinya dan berada dalam gestur menari dimaksudkan untuk alasan estetis, keindahan, kelenturan, kelemahlembutan sekaligus pesona. Tampilan visual tubuh yang mengesankan transparan, overlaping juga usaha untuk memberi kesan wujud tubuh itu adalah ruh yang tidak lagi terikat pada ruang dan waktu, kadang tampil dengan gestur melayang juga merepresentasikan ruh. Secara visual juga terlihat ada bidang-bidang kosong yang seolah disisakan, justru merepresentasikan alam kekosongan itu, alam ruh yang misterius dan sakral. Keputusan-keputusan semua di atas jelas mempertimbangkan penampilan karya yang pasti terlihat dalam tiap karya untuk menghadirkan karya yang estetis, tidak terjebak dengan keindahan bentuk semata namun memunculkan karya sebagai realitas yang baru, realitas dari seniman yang subyektif dan jujur.