BAB III PROSES BERKARYA

advertisement
BAB III
PROSES BERKARYA
3.1 Gagasan Berkarya
Gagasan dasar dalam berkarya adalah menggambarkan berbagai macam jalan
kematian, di sini tubuh diolah sebagai media untuk membahas kematian. Sedang
kematian adalah batas akhir dari yang wadag, kemudian segala identitas wadag menjadi
tidak penting lagi dibicarakan. Wacana
yang dimunculkan membicarakan sisi lain
realitas ruh yang dirayakan pada kehidupan setelah kematian. Karya-karya kemudian
menampilkan gagasan ini dalam bentuk realitas yang baru, namun tetap
dikaitkan
dengan wacana kehidupan setelah kematian. Wacana senirupa juga dimunculkan dalam
kecenderungan visual, antara lain adanya pencampuran gaya yang bersifat eklektik,
seolah-olah tidak peduli terhadap kedalaman, tidak terikat oleh konvensi apapun
termasuk gaya, corak bahkan estetik, melepaskan selera individualisme yang sempit
dalam
gagasannya,
yang
pada
akhirnya
karya-karya
dijadikan
alat
untuk
merepresentasikan persoalan, kontemplatif, membuka multi tafsir, dan sebagainya.
Metode ke arah sana, dicoba dengan melihat kematian sebagai korban, entah apa
penyebabnya, mungkin bencana alam, kekerasan atau peperangan, yang jelas jasad telah
berpisah dengan ruh. Jasad telah mati dan ruh masuk di kehidupan ruh itu sendiri. Tubuh
yang menderita, ditinggalkan, dikorbankan dan ruh yang hidup menjadi realitas yang
sangat berhubungan dengan kultur namun percaya dengan paradox seperti itu. Metode
yang lain, dicoba dengan melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang dirayakan
(dalam tradisi). Sangat jelas sekali, yang dirayakan adalah ruhnya, kehidupan setelah
kematiannya. Disini segala bentuk metafora mungkin digunakan sebagai simbolisasi nilai
estetis dari kematian dan kehidupan yang baru. Untuk mencapai ke sana perlu dikaitkan
dengan tema dasar dari karya-karyanya.
3.1.1
Tematik
Tema dasar yang diambil adalah “Kematian yang Nirbatas”. Kematian itu sendiri
adalah batas akhir dari yang wadag, dialami oleh setiap manusia, siapa saja, dimana saja
dan kapan saja. Kematian juga diartikan sebagai terpisahnya ruh dengan jasadnya atau
ruh meninggalkan jasadnya yang fana, ruh tetap hidup. Hanya melalui kematian,
kemudian ruh kembali ke alam asalnya dan semua itu diyakini sebagai sesuatu yang
absurd dan di ranah tradisi selalu dirayakan sebagai peristiwa yang dipenuhi dengan nilai
estetis simbolik.
Kematian dan kehidupan ruh setelah kematian di tradisi ketimuran dipercaya
sebagai sebuah siklus, suatu perjalanan yang selalu berputar. Ada suatu konsekuensi logis
dari pemahaman ini, yaitu ada korelasi dari saat hidup dengan kehidupan setelah
kematian. Inilah yang menjadi motivasi yang tinggi untuk tetap berjuang dan bertahan
dalam segala keadaan di saat hidup karena dipercaya ada kehidupan yang lebih baik
setelah kematian. Reinkarnasi adalah salah satu bentuk kepercayaan yang percaya adanya
penciptaan baru setelah kematian, dengan segala derajat kualitas hidup sebelum dan
setelah kematian.
Di dalam agama Kristen, kehidupan setelah kematian ini menjadi penting karena
ruh yang pulang ke rumah Bapa di Surga diyakini sebagai saat menerima mahkota
kehidupan. Iman dan percaya kepada Tuhan yang teguh disaat hidup di dunia menjadi
bekal yang tidak dapat mati dan dibawa terus menghadap tahta-Nya yang kudus. Bila
semua tugas dan kewajibannya di dunia telah selesai dilakukan dengan tekun, taat dan
setia, maka mahkota kehidupan itu kelak diterimanya yaitu saat kematian tiba, hidup
menjadi abadi penuh kemuliaan.
Kepercayaan Kristen tidak mendoakan bagi yang mati atau meninggal, karena
ruhnya telah berpulang dan menjadi urusan Tuhannya, dan jasadnya kembali ke tanah
seperti asalnya. Itulah sebabnya kenapa perayaan tentang kematian manusia tidak
dijumpai di kepercayaan Kristen.
Secara umum, realitas kematian menyadarkan kepada manusia
betapa
ringkihnya kehidupan manusia, kemudian manusia melihat betapa besarnya kekuasaan
Tuhan atas kehidupan ini. Kebesaran ini dijunjung tinggi oleh manusia dengan segala
kepercayaannya masing-masing. Ranah tradisi lokal, dengan segala pluralitas
kepercayaannya, kemudian merayakan peristiwa kematian dan kehidupan ini melalui
segala cara dan tradisi mereka yang kaya nilai estetis simboliknya. Tentang karya yang
pernah dicoba dalam proses berkarya pada semester sebelumnya adalah mengangkat
problem spiritualitas dalam konteks religi tentang kematian. Mengacu pada adaptasi kaya
Hans Holbein berjudul “Jesus Christ in His Tomb” yang diolah menjadi karya dengan
realitas baru berjudul “Catatan kaki Tubuh yang Ditinggalkan, Tubuh yang
Dikurbankan”. Pada karya ini, kematian Jesus di Kayu Salib yang lambungnya ditusuk
tombak, yang tangan dan kakinya dipaku, yang tubuhnya menderita deraan dan siksaan,
dimunculkan lebih nyata dalam semacam detail yang diperbesar. Pada ibu jari kaki
dipasang seperti identitas mayat pada zaman sekarang, ini merepresentasikan bahwa
Yesus telah mati disalib dan kematian-Nya tetap relevan sampai saat ini, dan ini menjadi
catatan kaki yang penting. Jari tengah-Nya kurus, berkuku, mengacung tegang seakanakan ingin memberi isyarat kepada seseorang tapi tak seorang pun tahu apa (Goenawan
Mohammad, dalam tulisan “Tubuh, Melankoli, Proyek”), diungkap dalam detail tangan
yang lebih jelas yang bagi penulis dimaksudkan sebagai realitas baru tanda kepada
murid-muridnya bahwa Dia akan bangkit dalam tiga hari kemudian.
Problem spiritualitas yang dimunculkan dalam karya ini adalah untuk
memperjelas bahwa kematian Yesus memang telah terjadi melalui penyaliban tubuh yang
ditinggalkan, tubuh yang dikurbankan. Namun kemudian tanda pada jari tengahnya
direpresentasikan sebagai tanda akan bangkitnya Yesus di hari ketiga, mengalahkan
kematian, pengharapan akan kemenangan-Nya.
Gambar 3.1
Judul
: Catatan Kaki Tubuh yang ditinggalkan, Tubuh yang Dikorbankan
Ukuran
: 123 x 217 cm
Media
: Mixed media
Charcoal dan Akrilik diatas canvas
Tahun
: 2007
Perbedaan konsep dengan karya Hans Holbein adalah bahwa pada karya Hans
Holbein tubuh yang menjadi korban, dan korban menanggung sakit yang amat sangat.
Kemurungan dari karya Hans Holbein ialah bahwa kesendirian seakan-akan menandai
kenyataan bahwasanya rasa sakit sang korban tidak bisa dikomunikasikan.
Kristus Holbein menampilkan apa yang sebenarnya tragis karena tak
terhindarkan. Kebisuan itu, tak terjangkaunya rasa sakit sang korban oleh objektifikasi
verbal, kebisuannya yang awal dan akhir, mengingatkan bahwa tubuh bukanlah suatu
yang universal namun tubuh senantiasa partikular, Yesus tak dapat digantikan oleh yang
lain.
Tema “Kematian yang Nirbatas”, selanjutnya diartikan sebagai berikut :
-
Merupakan realitas ketubuhan yang menjadi realitas baru setelah batas (kematian) itu
dialami, setelah kematian wadag.
-
Kematian dilihat sebagai konteks, namun yang dibicarakan adalah setelah kematian
dialami, yang wadag itu berakhir, yaitu kehidupan setelah kematian tentang ruh
dilihat dari sisi fenomena sosial, kultural, tradisi yang sarat dengan problem spiritual,
makna simbolis estetis.
-
Melihat kehidupan setelah kematian menjadi misteri yang diyakini sebagai hidup di
alam keabadian, kekekalan yang tidak mempunyai batas.
Pengembangan tema “Kematian yang Nirbatas” yang diwujudkan dalam karya,
menempatkan kematian sebagai :
-
Perjalanan ruh menuju ke alam keabadian ruh.
-
Penyadaran tentang kosmologi tradisi alam atas, alam tengah dan alam bawah.
-
Korban (kontradiksi melihat korban)
-
Bukan akhir dari segalanya, namun ada proses yang berkelanjutan yaitu kehidupan
ruh setelah kematian.
-
Perjalanan yang panjang dari ruh untuk melangkah secara pasti ke alam keabadian
ruh.
-
Tarian ruh yang sakral yang terbebaskan dari belenggu-belenggu gravitasi.
3.1.2
Konsep Estetik
Proses berkarya juga melewati perjalanan yang panjang melewati proses
elaborasi, yang intinya merambah persoalan estetik maupun persoalan yang non estetik
dan esensinya terus digali, dimunculkan dalam bahasa ungkapan (idiom) seni rupa.
Proses tersebut dapat dicapai melalui dua tahap, yaitu : Proses elaborasi topik, tentu
melalui kajian-kajian pustaka, diskusi, untuk menghadirkan gambaran-gambaran
persoalan yang muncul dan proses berkarya, praktikal, menerjemahkan tema dan konsep
ke dalam visual melalui media lukis dengan eksplorasi estetik.
Tahap Proses Elaborasi
Tahap ini merupakan proses elaborasi yang pada prinsipnya selalu membangun
kerjasama atas pemahaman tentang topik yang dihadapi, baik melalui kajian-kajian
pustaka, diskusi untuk menghadirkan gambaran-gambaran persoalan yang muncul. Topik
yang muncul sangat tergantung pada konteks yang direpresentasikan, misalnya persoalan
rupa. Realistik sebagai bahasa ungkapan dalam lukisan yang dibuat untuk menelusuri
topik ini, dikaji melalui pustaka dan diskusi, kemudian penulis melihat perkembangan
seni rupa dengan segala wacana yang dimunculkan mengenai persoalan bahasa ungkapan
rupa realistik itu sendiri.
Kecenderungan menampilkan rupa realistik ini merupakan arus besar dalam
perkembangan seni rupa Indonesia yang muncul pada akhir 1970-an dan bertahan sampai
kini. Kecenderungan ini tercatat memunculkan wacana yang kuat, yang dalam
perkembangan seni rupa Indonesia mempunyai kaitan erat dengan perubahan sosial di
Indonesia. Gejala ini sempat menjadi tren, muncul pada akhir tahun 1970-an sebagai
akibat keguncangan budaya menghadapi perubahan dunia visual.
Pada tahun-tahun sebelumnya, sekitar tahun 1950-1965, dunia visual di Indonesia
mengalami pemiskinan. Segala bentuk sensasi visual pada tahun ini ditiadakan. Hingga
pada tahun 1965, keadaan seperti ini berakhir dan cukup membawa perubahan besar
dengan munculnya kecenderungan melukis realistik pada tahun 1970-an di Yogyakarta.
Kecenderungan menampilkan rupa realistik muncul dan meningkat bersamaan dengan
masuknya informasi dunia internasional dalam arus besar.
Pada tahun 1990-an, rupa realistik yang bisa bertahan lama itu memunculkan
berbagai pengamatan dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan estetik, pendekatan
sejarah dan juga pada pembacaan masalah sosial budaya yang menekankan pada konteks.
Semua itu terlihat pada kecenderungan pelukis-pelukis memilih rupa realistik, kemudian
memunculkan wacana foto realisme. Wacana ini berpangkal pada pengamatan yang
melihat unsur kesamaan pada kecenderungan lain yang menggunakan rupa realistik
sebagai bahasa ungkapan, yaitu penggunaan foto. Gejala ini menunjukkan rupa realistik
yang tampil adalah hasil menyalin foto dan bukan menyalin kenyataan, dan dari sisi
representasi realitas yang direpresentasikan tidak didasarkan pengalaman emosional dan
renungan personal. Dalam wacana foto realisme, representasi ini didasarkan realitas
fotografi, yang penekanannya lebih kepada pengetahuan dan pemahaman. Representasi
ini mengacu pada deskripsi foto itu sendiri yaitu berita di balik foto dan informasi tentang
foto.
Dari diskusi-diskusi yang telah dialami selama proses studi di studio dan dalam
proses berpameran, kemudian dimunculkan gambaran-gambaran tentang permasalahan
yang selanjutnya dielaborasi dengan kajian pustaka untuk mendapatkan pemahaman yang
diharapkan. Disadari oleh penulis, paradigma yang ada pada diri penulis tentunya
dipengaruhi oleh latar belakang perjalanan dan studi sebelumnya. Penulis mengenal seni
gambar dan seni lukis realistik sejak kecil. Banyak sekali drawing yang telah dikerjakan.
Penulis mengenal seni lukis secara otodidak, sering melihat pelukis Adam Lay melukis
realistik. Drawing yang esensinya adalah garis, dan garis itu kemudian amat berperan
dalam studi S1 yang dijalani, yaitu Teknik Arsitektur. Latar belakang ini membawa
pengaruh yang kuat terhadap karakter garis yang tajam dalam arsiran garis yang kuat
pada karya drawing. Kedua pengalaman ini berpengaruh melahirkan kecenderungan
karya yang realistik, tetapi karena belajar secara otodidak maka pernah juga penulis
menampilkan kecenderungan-kecenderungan yang lain, karya yang ekspresif, formalis
dan juga dekoratif.
Kecenderungan mengolah obyek dalam lukisan terjadi melalui proses yang tidak
hadir secara tiba-tiba, namun melalui perjalanan panjang yang berujung pada sebuah
kontemplasi yang kadang-kadang menegangkan, benturan-benturan, kedalaman selalu
digali, dibongkar dan disatukan menjadi energi yang mencuat melalui sapuan-sapuan
kuas, coretan charcoal di atas kanvas. Realistik, tetapi ada muatan yang lain di balik
realita itu, yaitu olah imajinasi dan rasa untuk menemukan makna di balik semua itu dan
diwujudkan dalam permainan ungkapan simbol menjadi realitas baru. Sebuah konteks
diolah dan direpresentasikan dalam karya realistik yang baru.
Jadi, untuk memahami lukisan realistik yang dibuat hendaknya dibaca sebagai
teks yang dimunculkan sebagai realitas baru. Bentuk-bentuk yang dihadirkan bukan lagi
sekedar bentuk realistik tetapi wacananya adalah konteks yang direpresentasikan. Bukan
lagi sepenuhnya mengungkap realitas kenyataan, tetapi sudah dikembangkan melalui
konteks pemahaman realitas yang berorientasi pada perenungan kedalaman konteks itu
sendiri, kemudian diolah melalui pikiran, perasaan dan
pemahaman yang lebih
mendalam. Konteks menjadi penting dan setelah terolah di bidang lukisan mengandung
metafora dan analisa simbolik. Penulis menyadari bahwa dalam penjelajahan rupa
realistik sebagai idiom atau rupa realistik sebagai permasalahan teks, ruang permasalahan
teks menjadi dominan, sementara ruang yang menyajikan persoalan konteks memang
menjadi sangat tipis. Ini semua timbul dari kesadaran bahwa di dalam lukisan teks dan
konteks tidak dapat dipisahkan. Teks merupakan bahasa ungkapan itu sendiri; ini
pemahaman pada umumnya. Tetapi bagi penulis, teks yang dijelajahi adalah rupa realistik
itu sendiri. Walaupun dalam era seni kontemporer rupa realistik ini sudah dianggap
selesai, tidak mengungkapkan apa-apa, namun penggarapannya bisa diolah melalui tema
yang biasanya digarap mati-matian, digali habis-habisan untuk memunculkan realitas
baru.
Rupa realistik tampil melalui susunan garis dan nuansa atau lindapan dan karena
itu tidak sepenuhnya menyalin kenyataan. Namun justru garis dan lindapan ini bisa
dibaca sebagai bagan rupa realistik merupakan awal dari teks merasakan, melatih dan
menemukan sense of order rupa realistik itu. Kemudian ketika topik kematian menjadi
gagasan utama dalam tugas akhir ini maka dalam diskusi selanjutnya dicari gambarangambaran yang kontekstual. Kematian dapat dilihat sebagai perjalanan panjang ruh untuk
kembali ke alam keabadian. Kematian dapat dilihat sebagai tari ritual untuk bekal di
perjalanan ruh yang dipenuhi simbolisasi kesakralan. Kematian dapat dilihat sebagai
korban, dimana masalah tubuh fisik ditelaah menjadi tidak sekedar fenomena fisik, tetapi
menjadi fenomena sosial juga, identitas dipersoalkan.
Topik kematian ini dibongkar terus-menerus seperti halnya suatu proyek besar
bagi seseorang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran untuk
mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu. Gambarangambaran yang dimunculkan kemudian menjadi bahan kontemplasi pribadi. Benturan,
konflik dan ketegangan menjadi proses yang sangat menentukan dalam proses elaborasi
ini. Olah imajinasi dan rasa dalam mewujudkan makna menjadi tugas yang berat, untuk
menjadikan karya sebagai lukisan yang mempersoalkan sesuatu, yang memberi dampak
kontemplatif dan sebagainya. Dan pada saatnya, rupa realistik individu yang dipilih untuk
merepresentasikan konteks kematian yang digarap.
Tahap Proses Berkarya Praktikal
-
Mengukur potensi kesadaran terhadap skala
Disini dialog pribadi terjadi, apakah besar-kecil ukuran kanvas telah sesuai dengan
ekspresi perwujudan bentuk karya, pertimbangan apakah karya skala tertentu
memberi dampak sensasional atau tidak, menggentarkan atau tidak, mampu terkuasai
atau tidak, dan sebagainya.
-
Memilih dan menentukan media yang akan dipakai
Charcoal yang langsung dan ekspresif, tegas dan tidak ragu-ragu dan sangat
mendukung kecepatan berkarya.
Akrilik
sebagai media untuk melembutkan, menghadirkan idiom warna spesifik
individual, memberi kesan selesai.
-
Sketsa
-
Pewarnaan
Pewarnaan bisa berada di awal sebelum sketsa untuk menghimpun atau
mengkondisikan diri untuk berkarya karena penulis tidak menunggu mood atau
suasana tertentu dalam berkarya. Namun suasana itu diciptakan dengan memulai
pembidangan dasar dengan warna-warna tertentu dan datar. Biasanya semangat
berkarya kemudian menumpuk dan proses selanjutnya menjadi cepat dan semangat
berkarya menjadi konstan. Sementara pewarnaan setelah sketsa selesai dilakukan
bertujuan untuk menghadirkan multi respon dari keseluruhan indra yang ada, perasaan
yang menyertainya, kelanjutan imajinasi yang tak terbatas, juga dimaksudkan untuk
penyelesaian karya. Keseluruhan tahap pendekatan berkarya ini bagi seniman juga
merupakan proses berpikir dan bertindak dengan keseluruhan imajinasi rasa dan indra
yang dimiliki, bukan hanya menjadikan karya sebagai obyek optis semata.
Kecenderungan gaya yang diambil adalah realis ekspresif, tidak seperti realis murni
tapi dalam pengertian realis baru yang ekspresif, berasal dari ekspresi subyektif.
Penyajian dalam bentuk visual melalui teknik drawing atau lukisan, atau
penggabungan keduanya. Teknik ini dipilih karena sudah ditekuni dan dikuasai dalam
berbagai media, charcoal, akrilik dan sebagainya. Teknik drawing dan lukisan
merupakan media yang sangat individual, sangat subjektif untuk mengungkapkan
karakter dan bersifat ekspresif, langsung dan selesai. Sedang penggunaan kanvas sebagai
bidang gambar karena sangat tepat dan baik dengan kedua media diatas dan juga tersedia
dengan ukuran-ukuran yang fleksibel, kuat dan tahan lama.
Tampilan gambar atau lukisan mempunyai gaya realistik ekspresif. Gaya ini tidak
hanya sekedar realistik, mimesis, tetapi disajikan secara ekspresif yang artinya sudah
diolah
secara ekspresif dan dimunculkan dengan penambahan elemen-elemen lain,
seperti penggunaan idiom-idiom tertentu, pengolahan warna tertentu yang berbeda
dengan
yang
lazim,
penggunaan
simbolisasi.
Secara
keseluruhan
lukisan
merepresentasikan realitas baru yang mendukung konteksnya. Penggunaan idiom-idiom
tertentu yang citraannya seperti asap putih, lembut dan meruang, untuk mengungkapkan
misteri kematian itu sendiri dan merepresentasikan drama kematian dalam lukisan.
Sebagian besar karya menggunakan citraan manusia atau figuratif karena sangat
langsung mewakili esensi ketubuhan manusia, selanjutnya tubuh ini dijadikan media
untuk mengungkap tentang kematian dan diwujudkan sebagai realitas baru. Selain itu
setiap manusia mengalami kematian, siapa saja, kapan saja dan dimana saja adalah
realitas yang dihadapi. Kemudian tema kematian menjadi intens dalam karya-karya tugas
akhir ini, melihat konteks kematian dari sisi drama. Drama kematian sebagai perayaan
penuh bentuk simbolik estetik mengangkat ritual dan tradisi lokal tentang kematian.
Drama kematian sangat berbeda dengan misteri kematian, walau dalam penampilan di
dalam karya bisa juga dicampur dengan mengolah bahasa visual yang estetis, misalnya
menggunakan bahasa baru (idiom) untuk melihat kematian sebagai drama dan sekaligus
sebagai misteri.
Drama kematian banyak diolah untuk berjalan bersama dengan misteri kematian
yang direpresentasikan dalam lukisan. Kecenderungan menampilkan figur wanita dalam
visualisasinya karena alasan estetik untuk lebih menarik dan juga penggambaran ritual
tari-menari akan lebih indah bila pelakunya wanita, lebih luwes dan lentur tampilannya
yang diharapkan tidak lagi melihat kematian sebagai suatu yang mengerikan tetapi
dipenuhi dengan keindahan. Ritual tari-menari ini perlu ditampilkan karena di dalam
tarian irama kelembutan dan keluwesan dapat diwujudkan sebagai metafora kematian
yang spesifik, sesuatu yang sakral, mistis dan sekaligus indah.
Pertimbangan Estetik yang Ditampilkan dalam Lukisan
-
Lukisan yang dibuat, mampu menampilkan realitas yang baru dari konteks yang
diangkat, melalui bahasa idiom, warna, simbolisasi atau bentuk keseluruhan.
-
Lukisan yang dibuat, bertumpu pada perenungan-perenungan yang panjang dan
mendalam, oleh karenanya bersifat subjektif terutama dalam visualisasinya.
-
Konteks kematian yang diambil tidak menolak pemahaman kedua anggapan
sebagai berikut :
a. Kematian dianggap sebagai peristiwa yang profan, peristiwa sehari-hari yang
bisa dijumpai dalam perjalanan kehidupan.
b. Kematian dianggap sebagai suatu peristiwa yang harus dirayakan dengan
menumpukan diri pada ritual dan tradisi. Ritual dan tradisi ini merupakan
suatu bentuk simbolik estetik yang keberadaannya tidak dapat lagi dianggap
sebagai biasa lagi.
Terhadap kedua pemahaman atau anggapan tentang kematian tersebut, kemudian
dijadikan strategi berkarya yaitu menyetarakan keduanya, menjadikan apropriasi
dalam berkarya seni. Sikap yang ditampilkan
dalam karya, menampilkan
kecenderungan karya kontemporer karena muatan konsep tentang Kematian yang
Nirbatas membagi diri dalam berbagai makna. Tampilan gaya pada karya lukisan
yang dibuat cenderung mencampur gaya visualisasinya secara eklektik, yang
seolah-olah tidak peduli terhadap kedalaman dan lukisan yang dibuat dijadikan
alat untuk merepresentasikan persoalan, kontemplatif dan membuka multi tafsir.
Tema yang ditampilkan (Kematian yang Nirbatas) diolah dalam kemungkinankemungkinan yang baru, tidak terikat dengan konvensi-konvensi ataupun dogma
manapun, termasuk gaya dan teknik, corak bahkan estetiknya.
-
Karya lukisan tetap diusahakan estetik dan dramatik yang dicapai dengan
pengolahan warna, gelap terang, pengolahan gestur dan sebagainya.
3.2 Proses Berkarya
Proses berkarya yang dimaksud di sini adalah proses pada umumnya untuk
menghasilkan karya, dan berangkat setelah tentang tema “Kematian yang Nirbatas”
dengan segala muatan konteksnya dipahami, tinggal eksekusi dalam bentuk
visualisasinya.
•
Pertimbangan Komposisi
Proses ini mengolah komposisi, yaitu pertimbangan-pertimbangan pengolahan itu
mempertimbangkan besar kecilnya gambar sebagai obyek utama dan pendukung dan
apa arti ruang negatif yang juga menjadi bagian komposisi. Bagi penulis ruang negatif
ini juga berujud sebagai bentuk yang mesti disikapi dan memaknakan apa
keberadaannya dalam komposisi.
Selain unsur bentuk dari obyeknya yang dipertimbangkan sebagai pembentuk
komposisi, juga susunannya, arahnya, kontras gelap terangnya dan juga warnanya.
Kecenderungan komposisi mendatar tentu diwujudkan dalam bentuk bidang gambar
yang horisontal.
Pertimbangan-pertimbangan
dalam
membuat
komposisi
pada
umumnya
menghadirkan aksen sebagai titik perhatian bidang gambar, juga adanya
keseimbangan walaupun tidak simetris. Adanya harmonisasi dari keseluruhan
komposisi.
Walaupun di dalam kecenderungan menampilkan bentuk karya kontemporer, secara
intuisi kepekaan harmonisasi dari komposisi tetap perlu dipertimbangkan karena
semata alasan estetis dan pertimbangan estetis ini harus dimunculkan selain wacana
yang juga harus dapat dibaca. Ada enam karya yang dibuat dalam tugas akhir ini dan
pertimbangan komposisi ini salah satu yang harus diperhatikan selain warna yang
digunakan.
•
Pertimbangan Warna
Dalam mewujudkan karya, warna menjadi elemen penting untuk menghasilkan karya
yang individual dan warna ini bagi penulis juga sebagai bentuk dalam karya.
Sehingga kehadiran warna tertentu sangat berarti dan juga hadir sebagai komposisi
keseluruhan karya. Kecenderungan menampilkan warna hitam dan putih atau warna
yang mengesankan gelap dan kesan terang dimaksudkan untuk menghadirkan alam
ruh, mengkondisikan kehadiran alam ruh yang sakral, misterius yang mendukung
persoalan kematian dan kehidupan ruh.
Warna bergerak dari kecenderungan
gelap ke terang untuk menghadirkan
keheningan dan kontemplatif karya, tetap diusahakan tampil dalam keharmonisan
yang estetis. Pada mulanya latar belakang sengaja sebagai bidang yang dipenuhi
warna datar dimaksudkan sebagai kecenderungan menampilkan kesan eklektik, tidak
mementingkan kedalaman ruang. Wacana keseluruhan dari karyanya yang menjadi
lebih penting dari pada pesona warna sebagai daya tarik visual.
•
Pertimbangan Pilihan Visualisasi Karya
Menghadirkan tubuh manusia sebagai obyek utama karena tubuh digunakan sebagai
simbolisasi, sebagai media untuk membicarakan sekaligus merefleksikan “Kematian
yang Nirbatas”. Pertimbangan lainnya karena semua manusia mengalami kematian,
siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Kehidupan dunia ruh akan lebih mudah
direpresentasikan secara visual sebagai tubuh manusia yang mungkin dalam
pengolahannya mengalami perubahan bentuk, namun gestur dan kesan yang
ditampilkan dimaksudkan sebagai ruh yang sudah terbebaskan dari gravitasi.
Kecenderungan menampilkan tubuh wanita dalam visualisasinya dan berada dalam
gestur
menari
dimaksudkan
untuk
alasan
estetis,
keindahan,
kelenturan,
kelemahlembutan sekaligus pesona. Tampilan visual tubuh yang mengesankan
transparan, overlaping juga usaha untuk memberi kesan wujud tubuh itu adalah ruh
yang tidak lagi terikat pada ruang dan waktu, kadang tampil dengan gestur melayang
juga merepresentasikan ruh.
Secara visual juga terlihat ada bidang-bidang kosong yang seolah
disisakan, justru merepresentasikan alam kekosongan itu, alam ruh yang misterius
dan sakral. Keputusan-keputusan semua di atas jelas mempertimbangkan penampilan
karya yang pasti terlihat dalam tiap karya untuk menghadirkan karya yang estetis,
tidak terjebak dengan keindahan bentuk semata namun memunculkan karya sebagai
realitas yang baru, realitas dari seniman yang subyektif dan jujur.
Download