12 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi kajian
pustaka penelitian yaitu pengertian perilaku seksual, remaja, fujoshi, dan boys’
love.
2.1
Pengertian Perilaku Seksual
Menurut Sarwono (2005) perilaku seksual adalah segala macam bentuk
kegiatan yang dapat menyalurkan dorongan seksual seseorang. Menurut Crooks
dan Baur (1999) perilaku seksual adalah cara seseorang dalam mengekspresikan
seksualnya, diantaranya dapat dengan celibacy, mimpi dan fantasi erotik,
masturbasi, dan sexual expression.
a.
Celibacy
Menurut Crooks dan Baur (1999) celibacy memiliki arti seseorang
yang telah matang secara fisik namun tidak melakukan perilaku seksual.
Crooks dan Baur (1999) menyatakan celibacy masih dapat dikatakan
menjadi pilihan dalam perilaku seksual untuk individu walaupun terlihat
seperti bukan bagian dalam ekspresi seksual. Lebih lanjut, Crooks dan
Baur (1999) menyatakan celibacy dibagi menjadi dua bagian yaitu
Complete Celibacy yang memiliki arti seorang individu tidak melakukan
masturbasi dan hubungan seksual dengan orang lain, dan Partial Celibacy
yang memiliki arti seorang individu melakukan masturbasi tetapi tidak
12
melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Menurut pernyataan
Crooks dan Baur (dalam Soebekthy, 2013) terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang melakukan celibacy, diantaranya celibacy
dilakukan dengan alasan agama yang bertujuan merubah energi seksual
menjadi energi untuk melayani orang lain atau melakukan misi
kemanusiaan. Selain itu banyak alasan orang melakukan selibat
dikarenakan faktor agama dan kepercayaan moral, belum menemukan
pasangan
yang
cocok
untuk
melakukan
hubungan
seksual,
mempertahankan keperawanan, pernah mengalami kekecewaan di
hubungan yang sebelumnya, ingin memiliki suatu hubungan yang tidak
dicampuri dengan interaksi seksual, khawatir akan terkena penyakit
menular seksual, dan menghindari kehamilan. Crooks dan Baur (1999)
menambahkan, celibacy juga dapat diterapkan pada orang-orang yang
sedang dalam tahap pemulihan dari ketergantungan alkohol dan obatobatan. Kecemasan yang sering kali muncul dari adanya interaksi seksual
dapat menyebabkan mereka kembali mengkonsumsi alkohol atau narkoba
(Crooks & Baur, 1999).
b.
Mimpi dan Fantasi Erotik
Menurut Crooks dan Baur (1999) mimpi dan fantasi erotik
merupakan pengalaman mental yang mungkin timbul dari imajinasi kita
atau pengalaman hidup atau dapat dirangsang oleh buku, gambar, foto atau
film. Crooks dan Baur (1999) menyatakan mimpi dan fantasi erotik
13
terkadang disertai dengan orgasme, dan cenderung terjadi tanpa arahan
secara sadar.
Seperti mimpi pada umumnya, isi dari mimpi erotik dapat bersifat
realistis maupun tidak bersifat realistis, mulai dari perilaku seks yang biasa
dilakukan atau perilaku seksual yang dianggap tabu (Crooks & Baur,
1999). Menurut Crooks dan Baur (1999), saat individu yang mengalami
mimpi erotis terbangun, kadangkala terdapat tanda-tanda gairah seksual
diantaranya seperti ereksi, keluarnya cairan vagina, atau pergerakan
pinggul. Crooks dan Baur (1999) menambahkan, ketika pria mengalami
orgasme saat tidur, hal ini disebut dengan “mimpi basah”. Wanita juga
dapat mengalami orgasme saat tidur namun lebih sulih untuk diidentifikasi
secara fisik karena tidak ada bukti-bukti orgasme secara fisik (Crooks &
Baur, 1999). Lebih lanjut, Crooks dan Baur (1999) menyatakan, wanita
yang sering melakukan hubungan seksual dan mengalami orgasme dengan
masturbasi memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami orgasme
saat tidur.
Fantasi seksual dapat muncul saat orang sedang melamun,
masturbasi atau saat berhubungan seksual dengan orang lain (Crooks &
Baur, 1999). Isi dari fantasi seksual bermacam-macam, dapat berupa
hubungan seksual yang hanya bersifat imajinasi atau hubungan seksual
yang pernah dilakukan (Crooks & Baur, 1999). Dalam fantasi seksual,
menurut Crooks dan Baur (1999) terdapat beberapa fungsi seseorang
melakukan fantasi seksual diantaranya :1) untuk memfasilitasi gairah
14
seksual, 2) untuk membayangkan kegiatan yang individu dan pasangannya
belum pernah mereka lakukan sebelumnya, 3) untuk meningkatkan daya
tarik pasangan, 4) untuk menghilangkan kebosanan, 5) tak menentu.
c.
Masturbasi
Masturbasi adalah stimulasi organ genital yang dilakukan oleh diri
sendiri untuk mendapatkan kepuasan seksual (Crooks & Baur, 1999).
Lebih lanjut Crooks dan Baur (dalam Soebekthy, 2013) menyatakan
bahwa terdapat beberapa alasan seseorang melakukan masturbasi
diantaranya: 1) melepas ketegangan seksual, 2) kadangkala orang lebih
mendapatkan
kepuasan
dari
melakukan
masturbasi
dibandingkan
berhubungan seks dengan pasangan, 3) bagi pasangan yang memiliki
keterbukaan dalam hal seksual, masturbasi dapat dilakukan (dengan
memiliki keterbukaan dalam hal seksual, masturbasi dapat dilakukan
(dengan bantuan pasangan) apabila salah satu dari pasangan sedang
menginginkan hubungan seksual sedangkan pasangannya sedang tidak
ingin berhubungan seksual, 4) digunakan sebagai sarana untuk lebih
mengenal diri sendiri secara seksual. Stimulasi diri dapat membantu
wanita untuk mengetahui cara agar dirinya dapat mencapai orgasme,
sedangkan pada pria dapat membantunya untuk mengenal pola respon
dirinya dalam mencapai ejakulasi.
Self pleasuring techniques merupakan teknik masturbasi yang
digunakan untuk mendapatkan kenikmatan (Crooks & Baur, 1999). Selain
itu self pleasuring techniques juga merupakan latihan untuk dapat
15
mengekplorasi diri sehingga seseorang menjadi lebih sadar akan alat
kelamin dan sensasi yang ada di seluruh tubuh (Crooks & Baur, 1999).
Menurut Crooks dan Baur (1999), bagi seseorang yang pertama kali
mencoba mengenai kenikmatan dari teknik tersebut cenderung dikatakan
sesuatu hal yang tidak biasa sehingga berakibat timbulnya rasa cemas pada
seseorang. Crooks dan Baur (1999) menyatakan, dalam melakukan self
pleasuring techniques, wanita memiliki berbagai teknik stimulasi yaitu
dengan cara tangan melingkar, bolak-balik, atau naik-turun dan gerakan
yang berlawanan pada mons dan daerah kelenjar klitoris. Crooks dan Baur
(1999)
menambahkan,
beberapa
individu
dan
pasangan
yang
menggunakan variasi tambahan untuk menambah kenikmatan mereka
dalam hubungan seksual seperti menggunakan alat bantu yaitu vibrator,
dildo (alat berbentuk penis), dan alat berbentuk vagina.
d.
Sexual Expression
Menurut Crooks dan Baur (1999) dalam melakukan aktivitas
seksual terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi seperti aspek
perasaan, hasrat dan sikap seseorang. Crooks dan Baur (1999)
menambahkan, selain ketiga aspek tersebut, sensitivitas terhadap
kebutuhan seksual diri sendiri dan pasangan lebih menentukan kepuasan
seksual dibandingkan berbagai macam teknik yang ada.
Sexual Expression: Kissing and Touching
Menurut Crooks dan Baur (1999), bibir dan mulut adalah organ
yang sensitif, memiliki syaraf yang memberikan kenikmatan dan
16
menimbulkan perasaan nikmat saat mencium atau dicium seseorang
dengan variasi yang tidak terbatas. Lebih lanjut Crooks dan Baur (1999)
menyatakan bahwa berciuman dengan menutup mulut cenderung lebih
lembut dan penuh kasih sayang sedangkan berciuman dengan mulut
terbuka atau yang biasa disebut dengan “French kissing” biasanya lebih
merangsang seseorang. Crooks dan Baur (1999) menambahkan bahwa
semua tempat yang ada di tubuh seseorang bisa dicium.
Crooks dan Baur (1999) menyatakan bahwa sentuhan tidak harus
selalu diarahkan kepada organ-organ vital seperti dada atau kemaluan.
Menurut Crooks dan Baur (1999) seluruh permukaan tubuh termasuk alat
indra, dan sentuhan―hampir dimana saja―dapat meningkatkan keintiman
dan rangsangan seksual. Crooks dan Baur (1999) menambahkan bahwa
setiap orang dapat memiliki pilihan yang berbeda-beda dimana dirinya
ingin disentuh, maka dari itu penting untuk berbicara kepada pasangan
dibagian mana seseorang ingin disentuh. Lebih lanjut menurut Crooks dan
Baur (1999) banyak laki-laki dan perempuan menyukai sentuhan di dada
dimana dapat membuat mereka terangsang, beberapa orang lainnya tidak
sedangkan stimulasi yang dilakukan pada kemaluan seseorang seringkali
sangat terasa nikmat untuk para laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut
Crroks dan Baur (1999) menambahkan bahwa banyak orang melakukan
pertama dengan menstimulasi kemaluannya secara manual saat sedang
melakukan masturbasi, dan kegiatan ini dapat menjadi pengetahuan dasar
17
bagi seorang individu untuk dikemudian hari melakukannya bersama
pasangan mereka.
2.2
Pengertian Remaja
Masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan antara
masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek
fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia, dkk., 2009). Masa remaja, menurut
Papalia dkk., (2009) berlangsung pada usia 10 tahun sampai dengan 20 tahun.
2.2.1 Perkembangan Fisik
Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas
(puberty), proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan
seksual, atau fertilitas―kemampuan untuk melakukan reproduksi (Papalia,
dkk., 2009). Perubahan yang paling terlihat jelas di masa ini adalah
terdapatnya tanda-tanda kematangan seksual serta pertambahan tinggi dan
berat tubuh (Santrock, 2012).
Di masa remaja, konsentrasi hormon-hormon tertentu dapat
meningkat secara dramatis (Roa, dkk., dalam Santrock, 2012). Testosteron
adalah hormon yang diasosiasikan dengan perkembangan genital,
bertambahnya ketinggian tubuh, dan perubahan suara pada laki-laki.
Estradiol adalah hormon yang diasosiasikan dengan perkembangan
payudara, uterus, dan kerangka pada perempuan (Santrock, 2012). Baik
testosteron maupun estradiol terdapat pada hormon yang membangun
pada
laki-laki
dan
perempuan,
18
namun
testosteron
mendominasi
perkembangan
pubertas
pria,
sementara
estradiol
mendominasi
perkembangan pubertas pria (Santrock, 2012).
Menurut Crooks dan Baur (dalam Martiana, 2007), pengetahuan
seksualitas mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Perubahan fisik remaja, mencakup perubahan hormon dan
karakteristik seksual sekunder, misalnya perkembangan buah
dada, perkembangan alat genital, perubahan suara, pertumbuhan
bulu pada muka, tubuh, dan daerah kemaluan.
b. Efek dari perubahan fisik tersebut, misalnya, hormon testosteron
menyebabkan adanya dorongan, minat dan gairah seksual,
estrogen dan progesteron menyebabkan siklus menstruasi.
Menurut Santrock (2012), remaja adalah masa eksplorasi dan
eksperimen
seksual,
masa
fantasi
dan
realitas
seksual,
masa
mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Dorongan
seksual seorang anak yang sudah memasuki usia remaja akan meningkat,
hal ini wajar karena munculnya sekresi dari berbagai hormon, yang
berdampak pada kebutuhan remaja (Sarwono, 2009). Perkembangan
remaja yang cepat menuntut penyesuaian yang tidak sedikit, sehingga
dalam perkembangan selanjutnya penyesuaian perilaku tidak dapat
mengimbangi kecepatan pertumbuhan, dan dengan matangnya fungsifungsi seksual, maka timbul pula dorongan-dorongan dan keinginankeinginan untuk pemuasan seksual (libido seksualis) (Sarwono, 2009).
Santrock (2012) menyatakan remaja memiliki rasa ingin tahu dan
19
seksualitas yang hampir tidak dapat dipuaskan. Lebih lanjut, Santrock
(2012) menambahkan, remaja memikirkan apakah dirinya secara seksual
menarik, bagaimana nasib kehidupan seksualitas mereka, dan cara
melakukan hubungan seks. Namun menurut Sarwono (2009), remaja
Indonesia tinggal di negara dengan kebudayaan yang tidak mengizinkan
hubungan
seksual
di
luar
perkawinan.
Sarwono
(2009)
juga
menambahkan, padahal, perkawinan biasanya menuntut persyaratan yang
berat dan baru dapat dilakukan bertahun-tahun setelah haid atau mimpi
basah pertama. Maka dari itu, lebih lanjut Sarwono (2009) menyatakan,
para remaja terpaksa mencari pemuasannya pada khayalan, membaca buku
atau film porno dan sebagainya.
2.2.2 Perkembangan Kognitif
Menurut Papalia, dkk (2009) remaja tidak hanya berpenampilan
berbeda dibandingkan anak-anak; mereka juga berpikir secara berbeda.
Papalia, dkk (2009) menambahkan walaupun cara berpikir mereka
mungkin tetap belum matang dalam beberapa hal, banyak yang mampu
untuk berpikir secara abstrak dan memiliki penilaian moral yang canggih
serta dapat merencanakan masa depan secara lebih realistis. Menurut
Piaget
(dalam
perkembangan
Papalia,
kognitif
dkk.,
2009),
remaja
tertinggi―operasional
memasuki
tingkat
formal
(formal
operation)―saat mereka mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara
abstrak. Mereka dapat berpikir tentang hal yang mungkin terjadi, tidak
hanya apa yang sedang terjadi (Papalia, dkk., 2009). Mereka dapat
20
membayangkan kemungkinan dan membentuk serta menguji hipotesis atau
dugaan (Papalia, dkk., 2009). Kemampuan untuk berpikir abstrak juga
memiliki konsekuensi emosional (Papalia, dkk., 2009).
2.2.3. Perkembangan Psikososial
Remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebaya
dan lebih sedikit dengan keluarga (Papalia, dkk., 2009). Menurut Sullivan
(dalam Santrock, 2012), sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan sosial. Sullivan (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa
kebutuhan akan intimasi meningkat di masa remaja awal, dan memotivasi
remaja untuk mencari sahabat. Lebih lanjut, Sullivan (dalam Santrock,
2012) menyatakan, dibandingkan anak-anak yang lebih muda, remaja lebih
terbuka mengenai hal-hal yang intim dan informasi yang bersifat pribadi
kepada kawan-kawannya. Remaja juga lebih banyak tergantung pada
kawan-kawan daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan mereka atas
kebersamaan, ketentraman hati, dan intimasi (Sullivan, dalam Santrock,
2012). Sullivan (dalam Santrock, 2012) menambahkan, jika remaja gagal
untuk menempa persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami
kesepian dan penghayatan akan martabat-dirinya (self-worth) juga akan
menurun.
2.2.3.1 Clique dan Crowds
Clique dan crowds memainkan peran penting di dalam
kehidupan remaja dibandingkan anak-anak (Brown & Dietz;
Brown dkk., dalam Santrock, 2012). clique adalah kelompok kecil
21
yang jumlah anggotanya berkisar dari 2 hingga 12 individu dan
rata-rata 5 hingga 6 individu. Crowd bersifat lebih besar dari clique
dan kurang personal. Sebagian besar clique dan crowds terbentuk
karena persahabatan, berbagi minat yang sama, atau terlibat dalam
aktivitas yang sama sehingga mereka sering kali menghabiskan
waktu bersama dan menikmati kebersamaan mereka (Santrock,
2012).
2.2.3.2 Orientasi Seksual
Menurut Papalia, dkk (2009), dalam masa remajalah
orientasi seksual (sexual orientation) seseorang biasanya menjadi
isu yang penting: apakah orang tersebut secara konsisten tertarik
pada lawan jenis (heteroseksual), pada sesama jenis (homoseksual),
atau kedua jenis kelamin (biseksual).
2.3
Fujoshi
Perempuan penggemar kisah bergenre boys’ love disebut dengan fujoshi
(Puspitasari, 2013). Fujoshi juga merupakan sebutan penggemar perempuan di
dalam boys’ love atau yaoi fandom. Fandom (fans kingdom) menurut Bury (2005)
berkaitan dengan bagaimana seseorang dan orang lain memiliki pandangan yang
sama akan sesuatu. Bury (2005) juga menjelaskan bahwa konsep dari sebuah
fandom adalah komunitas yang diciptakan oleh penggemar untuk melakukan
aktifitas yaitu berdiskusi secara online yang mengacu pada kumpulan penggemar
dengan menggunakan bulletin boards, mailing list, dan forum. Menurut Youssef
22
(2004), komunitas boys’ love hampir berada pada setiap fandom, dengan kata lain
mereka dapat ditemukan hampir disetiap fandom. Bahkan fandom biasa yang
berfokus pada media film, buku, idola musik, olahraga dan aktor dari film.
Menurut Suzuki (2013), sekitar tahun 2000, kata fujoshi banyak dipakai
dalam anime online dan komunitas penggemar game. Chizuko Ueno (dalam
Suzuki, 2013) menyatakan bahwa kata fujoshi pertama kali dipakai sekitar awal
dari tahun 2000 pada papan pesan online 2channel. Pada saat itu, fujoshi
mengindikasikan anak atau remaja perempuan atau wanita dewasa yang secara
proaktif membaca hal-hal yang berbau yaoi, mereka juga melihat hubungan
romantis antar lelaki yang sebenarnya tidak dimaksudkan seperti itu pada anime
atau manga heteroseksual (manga yang tidak memiliki genre boys’ love).
Kemunculan pertama kata fujoshi di media massa adalah sebuah artikel tentang
penggemar wanita dalam special issue majalah Aera, yang dipublikasikan oleh
Asahi Shimbun Publishing dan terbit pada 20 Juni, 2005 (Sugiura, dalam Suzuki,
2013). Karakter kanji untuk kata fujoshi sendiri dapat diartikan sama dengan
karakter kanji untuk “wanita”, tetapi karakter pertama yaitu fu (wanita) dapat
digantikan dengan homonim fu (busuk atau rusak), sehingga istilah yang
dihasilkan, “wanita dengan pemikiran yang busuk atau rusak” (Suzuki, 2013).
Lebih lanjut, Suzuki (2013) menyatakan dapat diasumsikan bahwa fujoshi pada
awalnya dimaksudkan untuk menunjukkan ketertarikan seorang perempuan pada
tindakan unik terhadap imajinasi dan mengekspresikan hubungan romantis antar
lelaki. Fujoshi menikmati imajinasi yang berkaitan dengan hal-hal yang akan
terjadi jika karakter pria dari manga dan anime atau bahkan terkadang sesuatu
23
yang berasal dari dunia nyata seperti idola lelaki saling mencintai (Puspitasari,
2013). Pada saat ini, istilah fujoshi juga dapat diartikan sebagai perempuan
penggemar atau pembuat karya-karya yang berfokus pada kisah romantis antar
lelaki (Suzuki, 2013). Terdapat banyak fan product (hasil karya) dari para
penggemar boys’ love yang diciptakan dari boys’ love pairing seperti doujinshi,
fanfiction, dan fan art (O’Brien, 2008).
Menurut Suzuki (2013) dalam penelitiannya, alasan mengapa orang-orang
melihat
fujoshi
adalah
sesuatu
yang
“rusak”
dikarenakan:
Pertama,
pengkonsumsian dan pembuatan karya-karya yaoi dapat terlihat seperti kesalahan
dalam membaca plot karya original (dalam hal ini “pembuatan” yang dimaksud
adalah seperti pembuatan doujinshi, fanfiction dan fan art dari manga atau anime
heteroseksual). Kedua, terdapat perasaan memalukan saat melihat perempuanperempuan melihat karya-karya tersebut dengan pandangan dimana karakterkarakternya adalah homoseksual, yang sebenarnya adalah karakter heteroseksual
atau karakter yang orientasi seksualnya tidak pernah secara eksplisit dinyatakan,
terlebih melihat karakter tersebut secara seksual.
2.4
Boys’ Love
Salah satu kebudayaan populer Jepang yang sangat terkenal di seluruh
dunia adalah komik khas Jepang atau biasa disebut manga (Nurizky, 2012).
Manga digemari karena genre-genrenya yang berbeda dengan komik Amerika.
Komik khas Amerika biasa diidentifikasikan dengan komik produksi Marvell
seperti Spiderman, Iron-Man, Captain America dan lain-lain atau komik produksi
24
DC Comics seperti Batman dan Superman. Orang yang membaca komik Amerika
terbiasa dengan cerita pahlawan super (superhero). Sedangkan manga memiliki
banyak genre yang ditujukan kepada pembaca yang berbeda-beda juga.
Pembagian genre ini bisa dibagi dalam beberapa kelompok besar, antara lain
adalah Shounen manga yaitu manga untuk remaja laki-laki dan Shoujo manga
yaitu manga untuk remaja perempuan (Nurizky, 2012).
Pada umumnya, manga terdiri dari berbagai genre seperti komedi, drama
yang diambil dari kisah nyata, karir, olahraga, misteri, horror, dan lain-lain
(Nurizky, 2012). Genre-genre tersebut dapat ditemui baik dalam shounen manga
maupun shoujo manga, tapi kebanyakan dari shoujo manga bercerita tentang
roman wanita dengan pria dengan tema dan latar belakang yang berbeda-beda.
Yang menarik dari subgenre shoujo manga adalah Boys’ Love, biasanya disingkat
menjadi BL.
Genre boys’ love pertama kali muncul dalam bentuk manga atau komik
(Nurizky, 2012). Pagliassotti (2008) menyatakan bahwa boy’s love mengarah pada
cerita homoerotis antar lelaki dan biasanya terdapat pada manga. Pagliassotti
(2008) juga menyatakan bahwa boy’s love pertama kali berkembang di Jepang dan
sekarang telah menjadi fenomena global. Dalam boys’ love manga, yang menjadi
sorotan adalah karakter dua lelaki homoseksual dan romansa yang terjadi di antara
keduanya. Kebanyakan boys’ love manga digambar (atau ditulis) oleh mangaka
wanita dan ditujukan kepada pembaca wanita, tapi tidak tertutup kemungkinan
boys’ love manga ditulis oleh pria dan dibaca oleh pria juga (Nurizky, 2012).
25
Kisah bergenre boys’ love melibatkan dua peran yaitu lelaki dominan
(bergender maskulin) disebut seme, dan lelaki penurut atau bersikap tunduk
(bergender feminim) yang disebut uke (Puspitasari, 2013). Seme dan uke dalam
boys’ love manga memiliki ciri khas dan membuat pembaca mudah
membedakannya.
Seme
pada
umumnya
adalah laki-laki
yang
atraktif,
berperawakan tinggi besar, memiliki perut six-pack, memiliki tatapan mata yang
tajam, sangat maskulin dan biasanya sudah menjadi gay sejak awal (Nurizky,
2012). Sebaliknya, uke adalah laki-laki yang cenderung feminim (bersifat
layaknya perempuan seperti mudah menangis, malu-malu, manja, dan lain
sebagainya), bertubuh lebih kecil, bermata besar dan biasanya pada awalnya
bukan gay (Nurizky, 2012). Willow (dalam O’Brien, 2006), mendeskripsikan uke
dan seme sebagai stereotipe pada boys’ love manga, dimana uke hampir selalu
bersifat ramah, emosional dan pasangan yang suka berteman sedangkan seme
digambarkan sebagai sosok yang protektif, tabah, dan sering kali lebih tinggi
dibandingkan dengan uke. Ciri-ciri tersebut sangat banyak ditemukan dalam boys’
love manga sehingga menjadi tolok ukur penggambaran seme dan uke. Sebagai
contoh: tokoh-tokoh uke dalam manga Junjou Romantica karya Nakamura
Shungiku sangat bisa dibedakan dengan tokoh-tokoh seme seperti contoh di dalam
gambar berikut ini.
26
Gambar 1.1
Penggambaran seme (kanan) dan uke (kiri) dalam manga Junjou
Romantica karya Nakamura Shungiku
(http://www.zerochan.net/1273460)
Namun menurut penelitian Nurizky (2012), pada manga tahun 2000-an,
ciri-ciri tersebut tidak terlalu diikuti dan mangaka (pengarang manga)
menciptakan penggambaran tokoh yang lebih realistis. Uke tidak digambarkan
sebagai laki-laki yang feminim melainkan laki-laki yang sama maskulinnya
dengan yang seme atau paling tidak yang uke berperawakan sama besar dengan
yang seme. Sifat yang dibawa oleh tokoh uke juga tidak seperti perempuan yang
sensitif melainkan keras dan tegas seperti layaknya laki-laki. Sebagai contoh
adalah karakter Katou Youji dan Iwaki Kyousuke dalam manga Haru wo Daiteita
karya Niita Youka.
27
Gambar 1.2
Penggambaran seme (kanan, Katou Youji) dan uke (kiri, Iwaki Kyousuke)
dalam manga Haru wo Daiteita karya Youka Niita
(http://youka-nitta.livejournal.com/)
Berdasarkan penelitian McLelland (2006), tema tentang homoseksual
muncul pertama kali pada tahun 1970, dimana para penulis manga di Jepang
mulai menulis dan menggambarkan tentang “beautiful boys” (bishounen) sebagai
pemeran utama dalam cerita karangan mereka. Bishounen adalah karakter lelaki
yang digambarkan memiliki kecantikan seperti perempuan. Pada masa ini cerita
bishounen lebih berfokus pada pencarian cinta, penerimaan diri dan identitas diri.
Kemudian seiring berjalannya waktu bishounen berlanjut pada cerita romantis
antar lelaki yang disebut dengan shonen-ai. Menurut Suzuki (2013) shoujo manga
yang menampilkan adegan shonen-ai juga menjadi salah satu yang mempunyai
pengaruh terbesar. Namun genre ini tidak terlalu populer sampai pada tahun 1990an (Lunsing, 2006).
Pada 1986 terjadi shounen ai dan yaoi boom di kalangan pengarang
perempuan (Arif, 2011). Pada tahun itu muncul anime-anime yang populer seperti
28
Captain Tsubasa, Saint Seiya, dan Ronin Warriors yang pada umumnya berkisah
tentang persahabatan remaja laki-laki. Para penggemarnya, khususnya perempuan
penggemar anime, membuat versi parodi dalam doujinshi yang dibuatnya, yang
sebagian besar mengambil tema yaoi dengan tokoh atau karakter yang diambil
dari serial-serial anime yang sedang populer tersebut (Arif, 2011). Sejak
kemunculan
serial
Captain
Tsubasa,
mulai
banyak
doujinshi
bertema
homoseksual atau homoerotis yang dibuat oleh perempuan penggemar yaoi
(Suzuki, 2013). Berkat fujoshi, doujinshi dengan genre yaoi mengalami
perkembangan yang pesat. Dalam penelitiannya, Suzuki (2013) menyatakan
bahwa dalam manga doujinshi convention seperti Comic Market (Comiket),
banyak pengarang manga amatiran mendistribusikan karya-karya buatan mereka
(doujinshi) dimana karya tersebut menampilkan hubungan romantis antar lelaki.
Pengunjung Comiket yang pada tahun 1989 berjumlah sekitar 40.000 orang
meningkat dengan tajam hingga 250.000 orang pada tahun 1990, sementara
jumlah peserta yang pada tahun 1986 berjumlah 4.400 circles meningkat menjadi
13.000 circles pada tahun 1990 (Arif, 2011). Kemudian pada akhir tahun 1990
shonen-ai dan yaoi menjadi genre manga yang cukup terkemuka (McLelland,
2006).
Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan boys’ love manga,
diantaranya adalah june, shota-con, shounen-ai, yaoi dan lain-lain. Masingmasing memiliki pengertian berdasarkan kisah cinta seperti apa yang dialami
seme-ukenya dan cara menggambar tokoh seme-ukenya.
29
Shounen-ai (sama dengan boys’ love) adalah manga yang terfokus kepada
roman kedua tokoh. Adegan seks bukan esensi terpenting dari manga jenis ini,
walaupun terkadang dimasukkan beberapa halaman gambar adegan seks. Boys’
love manga jenis ini biasanya memiliki banyak volume buku karena ceritanya
yang kompleks. Boys’ love manga dengan tema ini adalah yang paling populer di
antara tema lainnya karena keromantisan yang dibawakan tidak berbeda jauh
dengan roman antara pria dan wanita (Nurizky, 2012).
Yaoi adalah boys’ love manga yang mengandung konten seksual yang
sangat eksplisit dan tidak memiliki jalan cerita yang jelas (Nurizky, 2012). Yaoi
juga dikenal dengan sebutan boy’s love. Sebagian orang barat menganggap bahwa
yaoi sama seperti boy’s love, karena memiliki materi yang hampir sama namun,
sebenarnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda (Puspitasari, 2013).
Boy’s love lebih mengacu pada cerita bergenre shonen-ai yaitu kisah percintaan
yang berisikan tema-tema percintaan antar lelaki yang memfokuskan pada kisah
romantis daripada hubungan seksual sedangkan, yaoi adalah kisah percintaan
antar lelaki yang berisikan percintaan antar lelaki dengan materi hubungan seksual
yang lebih banyak dan lebih jelas (McLelland, 2006). Yaoi dikatakan adalah
akronim dari “yama nashi, ochi nashi, imi nashi” yang berarti “tanpa klimaks,
tanpa maksud, tanpa arti” dan selalu disangkutkan dengan definisi pornografi dan
jalan cerita yang tidak memiliki inti (Camper, 2006).
2.4.1 Boys’ love di Indonesia
Di dalam bukunya yang berjudul Boys’ Love Manga, McHarry dan
Pagliassotti (2010) menjelaskan bahwa boys’ love tumbuh subur di
30
Indonesia. Tahun 2004 keduanya (McHarry & Pagliassotti) mencoba
mempublikasikan kisah dengan genre boys’ love dan mendapatkan
tanggapan dari studio penerbit Indonesia. Kepala studio penerbit tersebut
yang bernama Adetyar menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam
namun didalamnya terdapat banyak penggemar boys’ love. Mereka
menemukan bahwa boys’ love merupakan suatu sensasi di Indonesia.
McHarry & Pagliassotti (2010) menyatakan, di Indonesia, tidak terdapat
iklan atau produk yang menayangkan hal-hal yang berkaitan dengan boys’
love. Selain itu, McHarry dan Pagliassotti menambahkan, terdapat budaya
yang benar-benar melarang dan membatasi hal tersebut. Setelah beberapa
tahun melakukan penelitian, mereka berdua (McHarry & Pagliassotti)
menemukan bahwa sejarah, politik, agama, dan budaya sangat
mempengaruhi perkembangan
boys’ love di
Indonesia, terutama
mendominasinya agama Islam yang mencapai 87 persen populasi,
sehingga Islam menjadi dasar hukum untuk menentukan moral didalam
Negara tersebut.
Lebih lanjut dalam bukunya McHarry dan Pagliassotti (2010)
menyatakan, penggemar dan penulis boys’ love di Indonesia berhasil
mengekspor cerita boys’ love, mempopulerkan serta menikmatinya diamdiam dengan menggunakan media internet. McHarry & Pagliassotti (2010)
juga menyatakan bahwa internet adalah media yang sangat penting sebagai
tempat mengkontribusikan kepopuleran boys’ love. Lebih lanjut McHarry
& Pagliassotti (2010) menambahkan, kebanyakan dari penggemar di
31
Indonesia mengetahui boys’ love dari internet dan bermula dari anime atau
manga yang mereka sukai. Ketika mereka menjelajahi internet, mereka
akan menemukan sebuah forum untuk berdiskusi dan menemukan webweb yang berisi boys’ love. Kemudian muncullah rasa penasaran dan
itulah yang biasanya menjadi alasan mengapa seseorang menyukai boys’
love (McHarry & Pagliassoti, 2010).
32
Download