Nursilam - Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

advertisement
TRANSFORMASI BIMARISTAN DI BAGHDAD
DARI PUSAT MEDIS MENJADI PUSAT PENDIDIKAN MEDIS
(ABAD KE-2 – 7 H/8 – 13 M)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Mengambil Gelar
Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Universitas Islam negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Disusun oleh:
Nursilam (1112022000073)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/ 1438 H
ABSTRAK
Transformasi Bîmâristân di Baghdad dari Pusat Medis menjadi Pusat
Pendidikan Medis (Abad Ke-2 – 7 H/8 – 13 M).
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana rumah sakit Islam (bîmâristân)
dalam sejarah kebudayaan Islam klasik (abad ke-2 – 7 H/8 – 13 M) mengalami
perubahan (transformasi) dari posisinya sebagai pusat medis menjadi pusat
pendidikan medis (dwi fungsi) yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
ilmu medis abad pertengahan. Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan Roziah
Sidik Mat Sidek yang dalam artikelnya belum mejawab peran khalifah sebagai
salah satu faktor penyebab terjadinya transformasi. Juga, artikel Roziah Sidik
tersebut belum menjawab efek transformasi dalam bidang keilmuan medis.
Penelitian ini bersifat analytical history, maka dari itu penulis menggunakan
metode penelitian yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya,
yakni, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini
penulis menemukan faktor-faktor penyebab terjadinya transformasi rumah sakit,
salah satunya adalah peran khalifah Islam sebagai salah satu faktor penyebab
terjadinya transformasi. Selain itu, penulis juga menemukan efek keilmuan setelah
terjadinya transformasi. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang belum terjawab oleh peneliti
terdahulu, sekaligus menjadi obyek kajian penelitian dalam skripsi ini.
Kata kunci: Transformasi, Bîmâristân, Pusat Medis, Pendidkan Medis
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya bagi para hamba-Nya yang selalu memuja. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikunya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguh
sungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Transformasi Bîmâristân di Baghdad dari Pusat Medis menjadi
Pusat Pendidikan Medis (Abad Ke-2 – 7 H/8 – 13 M).” Meskipun penulis sadar
betul akan banyaknya kekurangan dalam karya ini. Penulis berkeyakinan karya ini
dapat bersumbangsih bagi siapa saja yang ingin bergelut pada dunia penelitian,
khususnya bagi mereka yang memfokuskan kajiannya pada kajian ilmu medis.
Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun
halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa
dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha
dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk
membantu. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala
yang berarti.
Untuk itu penulis persembahkan ucapan terimakasih tersebut kepada:
1.
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Nurhasan, MA. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
4. Solikhatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku sekretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua
administrasi yang penulis butuhkan.
5. Usep Abdul Matin, S.Ag., M.A., M.A., Ph.D., selaku pembimbing,
atas perhatian, diskusi, dan masukannya selama penulis menyusun
skripsi ini.
ii
6. Saiful Umam, M.A., Ph.D. selaku dosen Pembimbing Akademik
selama penulis menjadi mahasiswa atas curahan waktu, motivasi, dan
perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
7. Marsuta dan Supenah selaku orang tua penulis. Terima kasih atas
motivasi, cinta, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan.
Juga, kakak dan adik-adiku tercinta, Sarkinah, Rofah, Narudoh, M.
Tohir dan Naslah. Terima kasih telah menjadikan rumah sebagai
tempat berdiskusi dan mengadu hati.
8. H. Arif Mujahidin & keluarga, yang sudah kuanggap seperti keluarga
sendiri. Beliau telah memberikan banyak motivasi dan bantuan selama
perkuliahan. Juga, unutuk keluarga Ciputat Molek_As-Salaam; Pa
Yusuf, Mas Parman, Mas Bambang, Mas Ade & keluarga, Ibnu
Siregar, Lukas Liani, Habib, kang Hasybiallah, Muhaimin, Hamami,
Faisal Abdurrahman, Durrahman dan segenap pengurus Musola AsSalaam yang sudah menjadi kawan curhat dan menajadi kawan dalam
cerita suka ria.
9. Fitriana, Merindu Fitriani, Titi Maria Ulfah, Suci Kismayanti, Sakinah
Mawaddah W, M. Akibun Najih, Tety Nurjanah, Irma Fauziah, dan
Luqman Kholil, penulis ucapkan banyak terima kasih yang mendalam
telah menjadi teman berjuang selama ini, teman satu kelas dan teman
dalam perburuan sumber. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang
menarik selama perkuliahan.
10. Jainudin, M. Rizal Fahlefi, Andini Rachmalia, Durrotul Muazah, Dede
Delfiah, dan kawan-kawan kelas konsentrasi Asia Tenggara, terima
kasih untuk teman-teman seperjuangan yang selalu membantu di saat
sulit, saling mengingatkan dalam kebaikan dan selalu memberikan
motivasi satu sama lain.
11. Mu‟min dan Suryani, kawan tiga serangkai. Merekalah yang sampai
saat ini yang menjadi sahabat sejati untuk masa kini dan masa depan
melalui bimbingan sang guru; Ifni Kurniawan.
12. Semua personil REMPAH (Rembukan Penggiat Sejarah) ka Hanafi, ka
Endi, ka Yeni, ka Indi, ka Firman, ka Hana, ka Tati, Mulki, syakhril
iii
penulis haturkan terima kasih telah memberikan masukan-masukan
yang berharga dalam penulisan skripsi ini.
13. Dan untuk semua teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu
persatu, tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada
teman-teman yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada
penulis dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian penulisan
karya ini.
Jakarta, 13 Februari 2017
Nursilam
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................ vii
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... xi
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 6
F. Kerangka Teori.......................................................................... 7
G. Metodologi Penelitian .............................................................. 8
H. Sistematika Penulisan ............................................................ 10
BAB II : RUMAH SAKIT (BIMARISTAN) DI BAGHDAD
A. Sejarah Rumah Sakit Islam (bîmâristân) ................................ 12
B. Karakteristik Rumah Sakit Islam ............................................ 18
C. Kontribusi Rumah Sakit Islam ................................................ 21
BAB III : PROSES
TRANSFORMASI
RUMAH
SAKIT
ISLAM
(BIMARISTAN) DI BAGHDAD
A. Peran Khalifah dalam Proses Transformasi bîmâristân .......... 25
B. Penerjemahan Manuskrip Medis ke dalam Bahasa Arab ........ 29
v
BAB IV : EFEK
KEILMUAN
ATAU
DAMPAK
TRANSFORMASI
RUMAH SAKIT ISLAM (BIMARISTAN)
A. Rumah Sakit menjadi Salah Satu Simbol Peradaban Islam .... 34
B. Tabib (dokter) dan Pengajar Menjadi Satu Kesatuan Profesi . 36
C. Metode Keilmuan Ilmu Medis ................................................ 38
D. Masyarakat Tertarik Belajar Ilmu Medis ................................ 39
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 43
B. Penutup dan Saran ................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 46
LAMPIRAN ................................................................................................... 50
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data ditransliterasikan kedalam huruf latin.
Transliterasi ini berdasarkan pedoman transliterasi Arab-Latin dalam buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” Panduan Akademik Program Strata 1 UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012/2013.1 Berikut adalah pedoman
transliterasi Arab-Latin dalam buku tersebut:
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padananya dalam aksara latin.
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan
‫ا‬
b
be
‫ب‬
t
te
‫ت‬
‫ث‬
ts
te dan es
‫ج‬
j
je
‫ح‬
h
h dengan garis bawah
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
kh
ka dan ha
d
dz
r
z
s
de
de dan zet
er
zet
es
sy
es dan ye
s
d
t
z
‫ع‬
„
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
gh
f
q
k
es dengan garis di bawah
de dengan garis di bawah
te dengan garis di bawah
zet dengan garis di bawah
Koma terbalik di atas hadap
kanan
ge dan ha
ef
ki
ka
1
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pedoman Akademik Program Strata 1 2012/2013 (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2012), h.
381-383.
vii
‫ل‬
‫م‬
l
m
el
em
‫ن‬
n
en
‫و‬
‫ه‬
‫ء‬
‫ي‬
w
h
,
y
we
ha
apostrog
ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
a
fathah
‫ــــَـــ‬
i
kasrah
‫ـــِــــ‬
u
dammah
‫ـــُــــ‬
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
ai
a dan i
‫ي‬---au
a dan u
‫و‬---3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin
Keterangan
â
a
dengan
topi di atas
‫ــَا‬
î
i dengan topi di atas
ْ‫ــِى‬
û
u dengan topi di atas
ْ‫ــُو‬
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ‫ال‬, dilahirkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qomariyah. Contoh: al-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah(Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda )َ‫)ـــ‬, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
viii
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata‫ الضرورة‬tidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2 di bawah). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).
No
Kata Arab
AlihAksara
ِ
ٌ‫طَريْ َقة‬
1
tarîqah
ُ‫اجلَ ِام َعةٌُا ِإل ْس ََل ِميٌَّة‬
‫َو ْح َدةٌالْ ُو ُج ْوٌِد‬
2
3
al-jâmi‟ah al-islâmiyyah
Wahdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, anatara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih akasara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis, Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn alRânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimatkalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab
AlihAksara
‫ب ْالأ ْستَاذأ‬
َ ‫ذَ َه‬
dzahaba al-Ustâdzu
ix
‫ت ْالَ ْج أر‬
َ َ‫ثَب‬
‫صريةأ‬
ْ ‫اَ ْلََرَكةأ الْ َع‬
‫أَ ْش َه أد أَ ْن َل الَ َه ال للاأ‬
tsabata al-Ajru
al-harakatu al-„Asriyyatu
asyhadu an lâilâhaillâllâhu
‫صال أح‬
‫َم ْوَلنَا َمل أ‬
َ ْ‫ك ال‬
َ‫يأ َؤث أرأك أم للا‬
‫اَلَظَاه أر الْ َع ْقليةأ‬
‫ض أرْوَرةأ تأب ْي أح الْ َم ْحظأْوَرات‬
َ ‫اَل‬
Maulânâ Maliku al-Sâlihu
yu‟atstsirukumllâha
al-Mazâhiru al-„Aqliyyatu
al-darûrattubihu al-Mahzûrâti
x
DAFTAR ISTILAH
Istilah-Istilah
Asimilasi
Penjelasan
Penyesuaian atau peleburan sifat asli yang dimiliki
dengan sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan
sekitar.
Baitul hikmah
Sebuah perpustakan pada masa khalifah Harun arRasyid,
yang
digunakan
sebagai
basis
ilmu
pengetahuan.
Bîmâristân
Istilah penyebutan nama rumah sakit dalam peradaban
Islam.
Bonestters
Ahli tulang
Dwifungsi
Dua fungsi sekaligus
Gerontocomia
Hospices
Rumah zakat
Tempat peristirahatan untuk para musafir (pejalan
jauh)
Humaniteranian
Sifat kemanusiaan yang menunjukan rasa kasih sesama
manusia.
Iwan
Sebuah kegiatan belajar mengajar di rumah sakit, yang
terdiri dari dokter dan mahasiswa.
Oculist
Oftamologi
Orphanotropia
Ortopedik
Philantropic
Ahli Mata
Cabang ilmu mata
Panti asuhan
Cabang ilmu pembedahan
Sifat kemanusiaan yang menunjukan rasa saling
memberi.
Sa’ur
Kepala rumah sakit (direktur) sekaligus pengajar di
rumah sakit Islam yang telah ditunjuk langsung oleh
khalifah Islam.
Shift
Sistem manajemen pergantian waktu dalam putaran
waktu 24 jam.
xi
Tamaddun
Keadaan masyarakat manusia yang dicirikan atau
didasarkan pada taraf kemajuan kebendaan serta
perkembangan pemikiran (sosial, budaya politik, dll)
yang tinggi.
Transformasi
Transmisi budaya
Waqaf
Perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dll)
Penerusan budaya dari masa ke masa
Sitem manajemen ekonomi yang berfungsi sebagai
aset
konstruksi
pembangunan
kesejahteraan masyarakat.
xii
ekonomi
untuk
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah “transformasi” dan
“pendidikan” untuk menjelaskan sebuah perubahan rumah sakit Islam yang
dikenal dengan sebutan “bîmâristân” yang terjadi pada abad ke-4 H/10 M dari
fungsinya semula sebagai pusat medis menjadi bukan hanya sebagai pusat medis,
melainkan juga sebagai pusat pendidikan medis. Adapun kata pendidikan yang
penulis pakai dalam penelitian ini menggambarkan bahwa aktivitas di Bîmâristân
tersebut mencakup pembelajaran mengenai teori pengobatan dan praktiknya.
Adapun mengenai kata “bîmâristân”, penulis merujuk kepada pendapat Ahmad
‘Isa yang menjelaskan bahwa kata tersebut berasal dari dua kata dalam bahasa
Persia: bimar dan istan. Kata “bimar” mengacu kepada orang sakit, sedangkan
“istan” mengacu kepada tempat atau rumah untuk orang-orang sakit.1 Fungsi awal
bîmâristân adalah sebagai pusat medis yang bertujuan untuk mengobati berbagai
penyakit seperti cedera, demam, dan masalah mental.2
Rumah sakit Islam (bîmâristân) yang dibangun sebelum abad ke-4 H
difungsikan sebagai pusat medis. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit di Baghdad
yang didirikan oleh Khalifah Hârûn ar-Rasyîd atau Hârûn Abu Ja'fâr bin Al Mahdi
bin Al Mansûr (170 H/786 M – 193 H/809 M) yang dipimpin oleh Abû Zakariyya
Yuhanna Ibnu Masawayh.3 Dalam era penguasa yang sama, rumah sakit lain yang
serupa dibangun di Baghdad yaitu Bîmâristân al-Barmaki. Menurut Ibn al-Nadim,
rumah sakit tersebut dibangun oleh keluarga al-Barmaki yang dipimpin oleh Ibnu
1
Ahmad ‘Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta’limi
Wassakofah, 2012), h. 8.
2
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic Civilization From
Medical Treatment Centre into a Teaching Hospital, (Malaysia: Medwell Journal, 2012), h.
435.
3
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), h. 52.
1
2
Dahn
yang
merupakan
seorang
dokter
India
yang
kompeten
dalam
menerjemahkan karya medis dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Arab.4
Jika rumah sakit pada waktu itu belum difungsikan sebagai pusat
pendidikan medis, maka bagaimana kemudian calon dokter mendapatkan
pelatihan dokter. Ibn Abi Usaybi'ah dalam bukunya ‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat alAtibba' pada tahun 1970 mengungkapkan terdapat dua metode pendidikan
kedokteran. Pertama, ada pendidikan kedokteran yang lebih terfokus pada belajar
dari anggota keluarga dan belajar mandiri. Kedua, pendidikan untuk menjadi
dokter adalah proses turun-temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi.5
Dari penjelasan tersebut, ilmu medis atau studi ilmu kedokteran hanya mampu
dijangkau oleh orang-orang yang masih ada ikatan darah (kekeluargaan) dengan
seorang tabib. Peneliti menilai metode yang demikian itu menjadi penyebab
terjadinya transformasi, karena metode tersebut dinilai kurang efektif untuk
mendapatkan dan menyebarluaskan ilmu medis.
Transformasi rumah sakit di Baghdad tidak bisa lepas dari kebudayaan
bangsa Persia.6 Di Persia terdapat pendidikan rumah sakit pertama yang tercatat
dalam sejarah kedokteran adalah Akademi Jundîshâpûr pada masa Kekaisaran
Persia selama era Pemerintahan Dinasti Sassanian.7 Rumah sakit tersebut tidak
hanya berfungsi sebagai pusat medis atau rawat inap untuk pasien. Akan tetapi,
juga sebagai pusat pendidikan medis. Keberadaan dua fungsi tersebut
memfasilitasi proses transmisi keilmuan dari sistem medis Yunani - Aleksandria8,
India dan Persia ke dalam sistem medis Islam.9
4
Yasser Tabbaa. The Functional Aspects of Medieval Islamic Hospitals, - capter five,
h. 97.
5
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic...,h. 436.
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals (New York:
1999), h. 125. Lihat juga, Ana Maria Negoita. The City Of Mansur The Builder. Baghdad
Between The Caliph’s Will And Shari’ah Norms. Artikel University of Bucharest, Bucharest,
2011. Hal. 117.
7
Sayyed Husein Nasr. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press,
Massachussets, UK.,1968. Hal. 384.
8
‘Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 5.
9
Bashar Saad dan Omar Said. Greco – Arab and Islam Herbal Medicine; tradisional
system, etnict, Safety, efficacy, and regulator issu, (Singapur: WILEY, A John Wiley & Sons, Inc.,
2011), hal. 17.
6
3
Para dokter bekerja di rumah sakit tidak hanya mengurusi pasien tetapi juga
membentuk staf pengajar medis di ruang kuliah atau disebut dengan sebutan iwan.
Setelah merawat pasien, dokter akan duduk dalam iwan yang dikelilingi oleh
siswa dokter untuk belajar.10 Dalam iwan itu ditemukan berbagai jenis buku
kedokteran yang digunakan sebagai referensi. Setelah belajar mendalam dari teori
medis, siswa akan menjalani pelatihan klinis atau praktis diawasi oleh dokter
senior. Pelatihan klinis yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik pasien di
tempat tidur, operasi, dan resep obat untuk pasien.11
Perlu diketahui bahwa rumah sakit bukan satu-satunya pusat pendidikan
yang ada dalam peradaban Islam antara abad ke-4 dan ke-7 H. Ada jenis lain dari
non-rumah sakit yang menjadi pusat pendidikan untuk belajar medis. Pertama,
sekolah swasta seperti salah satu milik al-Razi. Popularitasnya sebagai tokoh
medis terkemuka membuat kuliahnya sukses ke titik kepadatan siswa.12
Kedua, kuliah medis swasta. Jenis ini ditemukan dalam penulisan Hamarneh
yang berjudul Ilmu Kesehatan dalam Islam Awal. Dia menjelaskan bahwa jenis
penelitian melibatkan proses belajar mengajar antara siswa dan seorang dokter
terkenal yang disebut Syaikh atau ayah sendiri atau dokter ahli lain dalam
keluarga.13
Ketiga, lembaga rumah sakit itu sendiri. Meskipun rumah sakit adalah pusat
pelatihan praktis bagi mahasiswa kedokteran dari sekolah swasta, seiring waktu
itu berkembang menjadi sebuah pusat dengan memiliki perkuliahan medis sendiri
yang dibangun di rumah sakit.
Studi medis di rumah sakit menyadarkan kita pentingnya pelatihan praktis
di rumah sakit, penelitian medis mulai diselenggarakan di dalamnya. Ini berarti
bahwa mahasiswa kedokteran tidak hanya memperoleh pengetahuan teoritis tetapi
diberi ruang yang luas untuk berlatih. Proses pengajaran di rumah sakit dipimpin
oleh al-Sa'ur, ia sebagai kepala dokter rumah sakit. Muhammad dalam bukunya
yang berjudul “al-Tibb 'ind al-'Arab wa al-Muslimin: Tarikh wa Musahamat”
10
Akram M. Dajani. Medical Education in Islam Civilization, artikel JIMA: Vol. 21,
Jordan, 1989. Hal. 166.
11
Mustofa Dâhiri, ‘Abdul Wahhâb. ‘Imâratu al-Mujma’ât wa al-Mabâni at-Tabiyyah (alBîmâristânât) fi al-Islâm. e-Book from www.alukah.net.
12
Muhammad Mojlum Khan. 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah
(Jakarta: Noura Books, 2012), h. 396.
13
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic...,h. 437.
4
tahun 1987 mencatat banyak nama-nama al-Sa'ur. Misalnya, al-Râzi adalah alSa'ur bertugas di Bîmâristân al-Rayy dan mungkin di Bîmâristân al-‘Adudi juga.14
Sinân bin Tsâbit bin Qurrah dan Ibn al-Tilmidh juga menjabat sebagai al-Sa'ur di
Bîmâristân al-‘Adudi. Selain al-Sa'ur terdapat staf pengajar lainnya yang terdiri
atas dokter senior yang kompeten di bidang medis.15
B. Identifikasi Masalah
Dari penelaahan di atas, penulis menemukan bahwa telah terjadi
transformasi pada rumah sakit Islam (bimaristan) dari aspek fungsinya. Rumah
sakit yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai pusat medis kemudian
bertambah fungsinya sebagai pusat pendidikan medis. Adanya transformasi
tersebut tidaklah terjadi begitu saja, melainkan ada beberapa faktor yang turut
memberikan kontribusi penting. Selain itu, penulis juga menemukan bahwa
transformasi rumah sakit telah membawa pengaruh bagi perkembagan peradaban
Islam di dunia medis. Oleh karena itu, hal ini menurut penulis menarik untuk
dikaji karena keberadaan rumah sakit sampai saat ini sangat penting dan
memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan ilmu medis.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, agar terfokus dan tidak terlalu melebar
dalam pembahasannya, maka peneliti membatasi permasalahan dalam penulisan
ini mengenai faktor-faktor yang menyebabkan transformasi rumah sakit dan efek
keilmuan serta efek sosial.
Dari pemaparan singkat di atas maka rumusan pertanyaan dalam penelitian
ini di antaranya:
1. Bagaimana perubahan sistem dan metode pendidikan medis itu terjadi?
2. Apa dampak dari transformasi rumah sakit tersebut, baik terhadap masyarakat
Islam maupun terhadap peradaban Islam?
14
Muhammad Mojlum Khan. 100 Muslim Paling Berpengaruh..., h. 396.
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler (Yogyakarta:
1993), hal. 24.
15
5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Analisis mendalam tentang perubahan sistem dan metode pendidikan
medis pada abad sebelum dan sesudah abad keempat Hijriah.
2. Untuk menganalisis bagaimana dampak dari transformasi rumah sakit
terhadap masyarakat Muslim secara meluas dan sumbangsih rumah
sakit terhadap peradaban Islam.
Manfaat dari penelitian ini:
1. Memberikan gambaran yang kompherensif tentang sistem dan metode
pendidikan medis di rumah sakit Islam pada sebelum dan sesudah abad
keempat Hijriah.
2. Memberikan gambaran yang kompherensif tentang dampak rumah
sakit terhadap masyarakat Muslim secara meluas.
3. Memberikan gambaran yang kompherensif tentang sumbangsih rumah
sakit terhadap peradaban Islam.
4. Memberi peluang bagi peneliti-peneliti lain untuk meneliti lebih dalam
dengan pendekatan yang lebih kuat mengenai transformasi rumah sakit
sebagai lembaga medis dan pendidikan dalam peradaban Islam.
5. Menambah wawasan bacaan bagi para pembaca terutama tentang ilmu
studi medis atau kedokteran dalam sebuah lembaga pendidikan, karena
kajian ini masih terbilang sedikit dan belum banyak yang meneliti.
6. Menambah khazanah untuk penelitian dan pengkajian tentang lembaga
rumah sakit sebagai salah satu simbolik kejayaan Islam dalam dunia
internasional.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis mencari literatur terkait dengan transformasi rumah sakit di
Baghdad sebelum dan sesudah abad keempat Hijriah, tetapi tidak begitu banyak
literatur yang berkenaan dengan rumah sakit tersebut. Ada beberapa literatur yang
menuliskan mengenai transformasi rumah sakit atau peran rumah sakit dalam
peradaban Islam. Juga, terdapat beberapa sumber dalam bentuk skripsi dan tesis
6
yang menuliskan tentang rumah sakit dan perannya dalam peradaban Islam.
Tulisan tersebut sebagian besar merupakan karya tulisan Universitas luar negeri,
baik dari Universitas Timur maupun Universitas Barat. Sejauh yang peneliti
ketahui dalam penelusuran sumber terkait tentang rumah sakit tersebut, peneliti
tidak menemukan skripsi atau tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang terkait dengan
transformasi rumah sakit Islam dari dalam negeri.
Penelitian ini ingin membahas tentang bagaimana proses transformasi
rumah sakit dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat Muslim serta
terhadap sains medis Islam. Dari beberapa literatur yang ditemukan belum ada
yang menyinggung bahkan menuliskan tentang transformasi rumah sakit di
Baghdad.
Berikut beberapa literatur yang dijadikan tinjauan pustaka:
1. Sebuah artikel yang ditulis oleh Roziah Sidik Mat Sidek yang berjudul
“Transformation of Hospital in the Islamic Civilization From Medical
Treatment Centre into a Teaching Hospital.” Tulisan ini dipublikasikan
oleh Medwell Journals tahun 2012, dari Universiti Kebangsaan Malaysia,
Bangi, Selangor-Malaysia.
Tulisan tersebut menjelaskan tentang
perubahan fungsi rumah sakit Islam secara umum atau di dunia Islam pada
umumnya, sedangkan penulis ingin menjelaskan perubahan rumah sakit
yang terdapat di Bahgdad saja. Hasilnya yang diinginkanpun akan berbeda
karena obyek kajian rumah sakit hanya terbatas di Bahgdad saja, sehingga
hasilnya akan lebih spesifik.
2. Sebuah tesis yang ditulis oleh Mustafa Al Anasari yang berjudul
“Bimaristans Ana Waqf in Islam: Case Studies of Hospital Endowments
During 9th-13th Century In The Muslim World.” Tesis ini dari University
Of Sydney (Australia), Faculty of Art and Social Sciences, Departemen of
Arabic and Islamic Study. Nama rumah sakit pada masa awal Islam adalah
Bîmâristân, sehingga banyak disebutkan dalam sumber-sumber sejarah
dengan kata bimaristan. Tulisan tersebut menjelaskan hubungan antara
rumah sakit dengan waqf, pendirian rumah sakit tidak bisa lepas dari waqf,
karena waqf merupakan sumber utama terbentuknya rumah sakit. Meski
tesis ini membahas tentang rumah sakit dan perannya dalam Islam. Akan
7
tetapi, jelas berbeda kajian antara tesis ini dengan penulis, tesis ini
memfokuskan tentang hubungan atau keterkaitan antara waqf dan rumah
sakit sebagai perwujudan lembaga karena adanya waqf. Sedangkan penulis
ingin memfokuskan tentang transformasi rumah sakitnya dan itupun akan
lebih dispesifikasi lagi hanya di Baghdad sebagai pusat pemerintahan
Islam pada saat itu.
3. Sebuah skripsi yang ditulis oleh Mu’min Anis ‘Abdullah al-Baba yang
berjudul “Albimaristanatu Al-Islamiyati Hatta Nihayati Al-Khilafah AlAbbasiyah (1-656 H/622-1258 M).” Skripsi ini terbitan tahun 2009 oleh
Fakultas Adab, Sejarah dan Arkeologi, Al-Jami’ah Al-Islamiyah Biguzzah,
Palestina. Skripsi tersebut menjelaskan rumah sakit secara umum, baik
dari aspek pendirian, pengembangan serta sumbangsih kepada peradaban
Islam dari awal kelahiran Islam sampai masa kekhilafahan Abbasiyah.
Dalam tulisan tersebut tidak memfokuskan pada rumah sakit tertentu,
namun tulisan tersebut menjelaskan secara keseluruhan rumah sakit yang
tersebar di seluruh kawasan Islam dari masa yang telah ditentukan oleh
penulis. Sedangkan penulis ingin menjelaskan perubahan fungsi rumah
sakit pada masa yang telah ditentukan penulis.
F. Kerangka Teori
Dudung Abdurrahman dalam bukunya “Metode Penelitian Sejarah,”
menjelaskan dalam salah satu ciri dari teori ilmiah adalah suatu teori harus
bersifat kausal. Ini berarti di dalam suatu pernyataan tentang peristiwa terdapat
keterangan yang menyebutkan sebabnya, yang berarti menanyakan sebab
musabab dalam istilah sejarah dikenal dengan teori kausalitas. Menurut
Ankersmit kausalitas dalam pengkajian sejarah biasanya berkaitan dengan prosesproses perubahan, sehingga menyebutkan “sebab” suatu peristiwa itu berkaitan
erat dengan keterangan tentang perubahan. Hal demikian sangatlah lazim dalam
pemikiran sejarah, sebab suatu proses sejarah itu sekaligus melihat hubungan
8
kausalnya dengan gejala yang lain, baik yang terjadi sebelumnya maupun
sesudahnya.16
Teori kausalitas (sebab-akibat) sangat erat kaitanya dengan perubahan,
karena menghubungkan satu peristiwa atau fakta sejarah dengan fakta-fakta
sejarah yang lainnya. Ini sangat sesuai dengan dengan kajian penulis tentang
transformasi atau perubahan rumah sakit secara fungsi lembaga. Rumah sakit
sebelum abad keempat Hijriah hanya menjadi pusat medis saja. Kemudian pada
abad sesudah keempat Hijriah berubah fungsi atau lebih tepatnya memiliki dua
fungsi sekaligus, sebagai pusat medis dan sebagai pusat pendidikan medis.17
G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat sejarah analitis (analytical history), metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah heuristik atau pengumpulan data, kritik
sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran, dan yang terakhir
adalah tahap historiografi atau tahap penulisan sejarah.18
Proses heuristik penulis menggunakan metode kepustakaan (library
research). Penulis mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik yang bersifat
primer maupun sekunder. Untuk sumber primer, penulis menggunakan buku
karya para ulama abad pertengahan yang masyhur dalam bidang kedokteran,
sekaligus sebagai sejarawan kedokteran pertama, yaitu Ibnu Abi ‘Usaibiah, juga
Ar-Razi, Ibnu Sina, dan tokoh lainnya yang masih terkait dengan ilmu medis
(kedokteran), sebagai tokoh kedokteran Islam yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan dunia kedokteran, baik di Timur maupun di Barat.
Untuk sumber sekunder penulis menggunakan buku-buku yang didapat
dari Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah, e-book yang diakses dari
Libgen dan Bookzz, jurnal yang diakses melalui Jstor dan e-ressource
(Perpustakaan Nasional), serta jurnal lain yang diakses melalui Google Cendekia.
Pada umumnya data-data sekunder yang penulis gunakan berupa buku, artikel,
16
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), cetak. II, h.27.
17
Mu’min Anis ‘Abdullah al-Baba. Albimaristanatu Al-Islamiyati Hatta Nihayati AlKhilafah Al-Abbasiyah (1-656 H/622-1258 M), (Palestina: Al-Jami’ah Al-Islamiyah Biguzzah,
2009).
18
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta:
Kencana, 2014), hlm. 218-231.
9
majalah, dan tesis yang penulis temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, dan situs-situs-situs resmi di
internet.
Tahap berikutnya ialah kritik sumber (verifikasi). Dalam proses ini,
penulis melakukan uji keaslian sumber melalui kritik ekstern. Selain itu penulis
juga melakukan uji kelayakan sumber atau kredibilitas, yang penulis telusuri
melalui kritik intern.19 Dalam kritik ekstern penulis mengkritisi secara fisik
mengenai sumber-sumber primer yang penulis dapatkan, kritik ini dilihat dari
buku yang dituliskan oleh tokoh kedokteran Islam sekaligus sebagai sejarawan
kedokteran pertama, yaitu Ahmad bin Qâsim al-Khazraji Ma’rûf Ibnu Abî
`Usaibi’ah dalam karyanya yang berjudul “At-Tibul Islami, ‘Uyûn al-Anbâ 'fî
Tabaqât al-Atibbâ'” yang dapat dilihat atau diuji dari tulisan dan tahun terbitnya,
karena secara fisik asli (cetak) peneliti tidak menemukan langsung, karena masa
yang sangat jauh dari masa sekarang. Maka fisik yang dimaksudkan penulis
adalah tulisan fisik yang isinya sama persis dengan apa yang dituliskan oleh tokoh
tersebut.
Penulis juga menguji kredibilitas sumber (sekunder) dengan menggunakan
kritik intern. Dalam kritik intern penulis membandingkan sumber-sumber yang
penulis dapatkan. Cara menguji kredibilitas tulisan dalam buku, maka penulis
membandingkan antar sumber-sumber yang didapatkan.
Tahap berikutnya yakni melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap
sumber-sumber yang telah penulis himpun untuk memperoleh fakta-fakta yang
berkaitan dengan fokus kajian penulis.20 Dalam tahap ini penulis menggunakan
metode analisis dan sintesis. Dalam proses analisis (penyelidikan), penulis
memperoleh beberapa fakta dari sumber-sumber yang telah penulis baca baik
sumber primer maupun sekunder.
Tahap terakhir yaitu historiografi (penulisan), dalam tahap ini penulis
menguraikan fakta-fakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan
19
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), cetak. II, h.59.
20
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah...., h. 64.
10
kemudian menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan
pokok yang menjadi kajian dalam penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I
Berisi Pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat
permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian,
metodologi
penelitian,
tinjauan
pustaka,
kerangka teori, serta sistematika penulisan.
Bab II
Membahas tentang proses sejarah medis dalam dunia Islam.
Awal mula perkembangan dunia medis dan pengaruh
budaya Yunani, Persia, dan Cina sebagai pusat-pusat medis
terhadap dunia medis dalam Islam. Juga, dalam bab ini
menjelasakan bagaimana kontribusi rumah sakit Islam
terhadap masyarakat muslim dan kemajuan peradaban
Islam.
Bab III
Membahas tentang proses dari sebuah transformasi rumah
sakit Islam di Baghdad. Dalam bab ini ada dua sub bab
pokok inti, pertama, peran pemerintah atau khalifah dalam
transformasi rumah sakit tersebut, karena perubahan
tersebut tidak akan lepas dari campur tangan seorang
khalifah. Kedua, usaha-usaha para intelektual muslim
dalam menerjemahkan manuskrip-manuskrip peninggalan
Yunani, Persia, dan Cina.
Bab IV
Membahas efek keilmuan atau dampak yang ditimbulkan
dari transformasi rumah sakit. Dalam bab ini terdapat empat
sub bab, yaitu: pertama, tabib (dokter) dan pengajar satu
kesatuan profesi. Kedua, rumah sakit dalam hal ini
kedokteran menjadi simbol peradaban Islam. Ketiga,
11
metode keilmuan ilmu medis. Keempat, ketertarikan
masyarakat atas ilmu medis.
Baba V
Berisi
penutup
yang terdiri
atas kesimpulan
yang
merupakan jawaban dari permasalahan yang menjadi tujuan
awal pengkajian penelitian ini, dan saran-saran yang
menjadi masukan-masukan untuk perbaikan penelitian
berikutnya.
BAB II
RUMAH SAKIT ISLAM (BIMARISTAN)
DI BAGHDAD
A. Sejarah Rumah Sakit Islam
Rumah sakit merupakan salah satu prestasi besar dari masyarakat Islam
pada abad pertengahan sebagai sebuah institusi yang memiliki multifungsi,
sebagai amal sosial (penyembuhan) dan pendidikan medis. Institusi rumah sakit
sudah ada sejak masa pra-Islam; dari masa Byzantium (kota Yunani kuno).
Rumah sakit Byzantium memiliki kemiripan dengan rumah sakit Islam dalam hal
nilai sosial secara alami. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Manfred Ullmann
dalam bukunya yang berjudul “Islamic Medicine”, bahwa konsep kedokteran
yang digunakan dalam Islam sangat berkaitan dengan konsep kedokteran Yunani.1
Rumah sakit Byzantium dipandang sebagai pendahulu langsung dari
rumah sakit Islam. Karakteristik humanitarian dan philantropic (suka menderma)
sangat ditandai pada zaman rumah sakit pra-Islam dari Byzantium. Byzantium
memiliki institusi sosial seperti hospices (xenodochia), ptochia (rumah bagi yang
membutuhkan), orphanotropia (panti asuhan), gerontocomia (rumah zakat) dan
lainnya. Institusi khusus dari Byzantium banyak sebagai tempat penyembuhan
(rumah sakit).2
Rumah sakit Islam atau dikenal dengan istilah bîmâristân dibangun untuk
menggantikan kuil penyembahan di masa kuno.3 Pada masa Mesir kuno dan
Mesopotamia orang Yunani memiliki kuil yang diberi nama Asklepion. Asklepion
didedikasikan sebagai bakti kepada Apollon dan Asklepions sebagai Tuhan
penyembuh. Pada masanya, ilmu kedokteran hidup berdampingan dengan religi
dan pengobatan magis.4
Terdapat perbedaan antara bîmâristân dengan kuil penyembuhan pada
masa kuno. Bîmâristân merupakan rumah sakit yang sudah tergolong maju
1
2
Manfred Ullmann. Islamic Medicine (Inggris: Edinburg University Press, 1978), h. 5.
Fajar Ariyanti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit, Cet. 1, (Jakarta Selatan: 2015), h.
80.
3
A. R. Nowsheravi. Muslim Hospitals In The Medieval Period. Islamic Studies, Vol.
22,no.
2,
1983.
Diakses
pada
tanggal
20-10-2015
15:55
UTC,
web:http://www.jstor.org/stable/23076050, h. 52.
4
Fajar Ariyanti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 82.
12
13
dimana orang-orang ditangani oleh para ahli dan meniggalkan cara penyembuhan
dari kuil penyembuhan. Kuil penyembuhan lebih digunakan untuk memisahkan
antara orang-orang yang memiliki penyakit dan orang-orang gila dari masyarakat
umum, dari pada memberikan pengobatan kepada mereka. Peralatan, staf, dan
keorganisasian bîmâristân menjadi contoh bagi rumah sakit di masa selanjutnya.5
Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan Islam tetentang kelahiran
bîmâristân. Setidaknya kita bisa menemukan tiga pendapat yang berbeda tentang
kapan pertama kali bîmâristân dibangun, diantaranya adalah :
a.
Pendapat pertama mengatakan bahwa bîmâristân dibangun pada tahun awal
Islam dan merupakan perintah langsung dari Nabi. Pendapat ini sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hisyâm dalam “Sirah,” bahwa Nabi telah
memerintahkan Sa‟d bin Mu‟âdz untuk membangun sebuah tenda di dalam
Masjid Madinah untuk merawat prajurit muslim yang terluka akibat perang
khandak (parit) dalam melawan orang Quraisy yang menentang Nabi.
Pendapat tersebut juga, diungkapkan oleh Ibnu Ishâq dalam “Sirah,” bahwa
seorang wanita yang bernama Rofîdah telah ditugaskan Nabi untuk merawat
tentara muslim dalam perang parit.6 Jadi, pendapat ini menyimpulkan bahwa
tenda yang didirikan pada masa perang khandak merupakan bîmâristân
pertama dan Nabi Muhammad adalah orang pertama yang membangun
bîmâristân.7
b.
Pendapat kedua dari seorang sejarawan Muslim yang bernama Taqi‟i al-Din
al-Maqrîzî dalam bukunya yang berjudul “Khitat.”8 Ia menjelaskan bahwa
bîmâristân pertama kali dibangun pada masa masa khalifah Bani Umayyah,
al-Walîd bin „Abdul Mâlik pada tahun 88 H/706 M di Damaskus.9 Ia juga,
menjelaskan
bahwa
khalifah
sudah
mempekekerjakan
dokter
dan
menggajinya di bîmâristân secara rutin. Pendapat ini, diperkuat juga dengan
pernyataan Guenter B. Risse dalam bukunya yang berjudul “Mending Bodies,
Saving Souls: A History of Hospitals,” bahwa rumah sakit pertama dalam
5
Fajar Ariyanti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 82.
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta‟limi
Wassakofah, 2012), h. 10.
7
Mohammed El Ayadi. Les maristanes dans le monde arabo-musulman. Jurnal sejarah
ilmu medis, TOME XXVIII, No. 2. Maroko, Casablanca, 1994. h. 148.
8
Mohammed El Ayadi. Les maristanes dans le monde arabo-musulman..., h. 148.
9
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam..., h. 11.
6
14
Islam adalah bîmâristân yang dibangun pada masa khalifah Bani Umayyah,
al-Walîd bin „Abdul Mâlîk di ibu kota Damaskus, Suriah.10
c.
Pendapat ketiga dari sejarawan kontemporer Arab, yang mengatakan bahwa
bîmâristân pertama adalah bîmâristân Hârûn ar-Rasyîd (170-193 H/786-806
M).11 Ia menganggap pembangunan bîmâristân pada masa Hârûn ar-Rasyîd
yang cukup signifikan, karena pengaruh langsung dari sekolah medis
Jundîshâpûr dan perkembangan peradaban Islam dari abad ke-7.12 Dengan
demikian, bîmâristân dianggap dibangun oleh Hârûn ar-Rasyîd di Baghdad
sebagai bîmâristân pertama yang dibangun oleh orang-orang Arab.
Perbedaan pendapat mengenai kapan pertama kali dibangun bîmâristân itu
tergantung sudut pandang saja. Hemat penulis, pembangunan bîmâristân sebagai
pelayanan kesehatan sudah ada sejak masa Nabi. Sedangkan, rumah sakit sebagai
sebuah lembaga rumah sakit dibangun pada masa khalifah Bani Umayyah, alWalîd bin „Abdul Mâlik. Kemudian, rumah sakit mencapai puncak kejayaannya,
baik sebagai pusat pelayanan kesehatan maupun sebagai pusat pendidikan medis,
yaitu pada masa khalifah Hârûn ar-Rasyîd dan setelahnya.
Pada masa Nabi pelayanan kesehatan diberikan kepada kaum Muslim, baik
dalam keadaan damai maupun perang, seperti pada perang Badar, Uhud,
Khandak, dan perang Khaibar. Pengobatan dilakukan di tenda-tenda yang telah
didirikan oleh perawat Muslim atas perintah Nabi. Perawat yang banyak
disebutkan dalam sejarah medis pada masa Nabi adalah Rofîdah binti Sa‟ad alBani Aslam al-Khazraj13, seorang perawat wanita pertama dalam Islam. Ia
memberikan banyak kontribusi terhadap pelayanan kesehatan, juga dalam aktifitas
sosial dan kemanusiaan, seperti memberikan perhatian kepada orang miskin, anak
yatim, dan penderita cacat mental, serta memberikan bekal pendidikan kepada
anak didikannya.
Pada masa khalifah al-Walîd ibnu Abdul Malik pelayanan kesehatan
sudah mengalami perkembangan dan menejemen rumah sakit terorganisir secara
10
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals (New York:
1999), h. 125.
11
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
12
Mohammed El Ayadi. Les maristanes dans le monde arabo-musulman..., h. 148.
13
Surawardi. Sistem dan Kelembagaan Pendidikan Islam Periode Madinah, Jurnal:
Management of Education, Volume 1, Issue 2, Hal. 101.
15
struktur. Juga, rumah sakit al-Walîd, sudah memperkenalkan sistem dokter
spesialis.14 Selanjutnya, pada masa khalifah Hârûn ar-Rasyîd merupakan masa
puncak kejayaan Islam, masa kejayaan ilmu pengetahuan, dan juga masa kejayaan
rumah sakit Islam (bîmâristân). Rumah sakit dibangun dengan arsitek yang paling
modern pada masanya dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dengan bukubuku kedokteran.15 Juga, lengkap dengan alat-alat kedokteran yang termutakhir
pada masanya. Fasilitas pendidikan yang penulis maksudkan di sini adalah rumah
sakit (bîmâristân) yang mempunyai dwi fungsi, sebagai pusat medis dan pusat
pendidikan medis.
Peran institusi kesehatan di bîmâristân dalam peradaban Islam terwujud
dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi pasien, terutama yang miskin dan
yang membutuhkan melalui rumah sakit. Rumah sakit tidak hanya menyediakan
layanan pengobatan pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit saja, namun
melayani pengobatan pasien yang dirawat
di rumah juga. Rumah sakit juga
menyebar ke seluruh dunia Islam dan menjadi sumber kebahagiaan dan keyakinan
bagi masyarakat di semua kelas akan terjaminnya kesehatan mereka. Fasilitas
yang didapat dari rumah sakit Islam, berupa pengobatan, perawatan penuh,
pakaian dan makanan di rumah sakit. Selain itu, setelah abad ke-4 H, banyak
rumah sakit yang juga berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran di samping
fungsi dasarnya merawat pasien dan memastikan kenyamanan mereka.16
Sehingga, bîmâristân disamping berfungsi sebagai institusi sosial dalam arti
pengobatan pasien, juga sebagai institusi pendidikan.17
Bîmâristân juga memiliki berbagai jenis rumah sakit berdasarkan tujuan,
yaitu bîmâristân untuk penyakit mental, bîmâristân untuk penyakit kusta atau
lepra, bîmâristân untuk masyarakat yang bepergian (haji, umroh, dan traveling)
14
Yusuf Assidiq. Babak Kemajuan Kedokteran Islam. Republika Khazanah: Rabu, 28
Juli 2010. Hal. 28.
15
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in
Egypt..., h.6. Lihat juga, Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu
Hindawi Litta‟limi Wassakofah, 2012), h. 21., Ibn Abî Usaybi'ah.„Uyun al-Anba 'fi Tabaqat alAtibba', Juz 2..., hal. 216., Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of
Hospitals..., hal. 127.
16
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami Sebagai Pusat
Pendidikan Perubatan Di Timur Tengah Antara Abad ke-3 hingga ke-7 Hijri (E-Journal of Arabic
Studies & Islamic Civilization, Volume 2, 2015) h. 117.
17
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami…, h. 123.
16
bîmâristân untuk tahanan penjara, dan bîmâristân mobile atau rumah sakit
keliling.18 Bîmâristân bukan hanya digunakan sebagai rumah sakit umum, tetapi
juga sebagai universitas dimana orang-orang dapat belajar untuk menjadi dokter
atau ahli bedah dan akan menerima ijazah saat kelulusan. Oleh karena itu, rumah
sakit dalam peradaban Islam setelah abad ke-4 H memiliki dua tujuan, yaitu
kesejahtraan pasien harus ditangani dengan perawatan yang sesuai dengan
peraturan terbaru dalam perawatan medis, dan bîmâristân digunakan untuk tempat
pendidikan kedokteran bagi lulusan dokter baru agar mereka dapat merawat
pasien dengan sukses.19
Pada abad ke-9 M di Bagdad Khalifah Hârûn al-Rasyîd (786-806 M) dan
putranya al-Ma`mûn (813-833 M) mendirikan bîmâristân. Pada masanya
merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Pada masanya, sudah terdapat
paling tidak sekitar 800 dokter. Keadaan seperti itu sebagaimana yang telah telah
diungkapkan oleh Badri Yatim, bahwa kesejahtraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman
keemasannya. Tingkat kemakmuran dan kemajuan yang sangat tinggi yang telah
diraih Islam dalam semua aspek lini kehidupan, termasuk di dalamnya
kemakmuran yang telah dialami oleh institusi kesehatan.20
Rumah sakit Islam Baghdad selanjutnya adalah Bîmâristân al-Adudi
didirikan pada tahun 982 M (372 H) oleh penguasa Buwaihi yang bernama Abû
Syujâ Fannâ Khusrau atau dikenal dengan nama „Adud al-Dawlah (928-1008
M/318H-398H). Saat didirikan rumah sakit tersebut memiliki 25 dokter, termasuk
oculist (ahli mata), ahli bedah, dan bonestters (ahli tulang).21 Namun, jumlah itu
jauh meningkat kemudian setelah didirikan. Rumah sakit ini memilki
perpustakaan besar, apotek dan dapur, disamping staf administrasi dan yang
bertugas kebersihan di rumah sakit tersebut. Selain itu, dokter bekerja dalam dua
shift (siang dan malam) dalam melayani pasien. Jadi, dalam dua puluh empat jam
18
Sharif Kaf Al-Gazal. The Origin of Bimaristans (Hospital) in Islamic Medical History
(UK: FSTC, 2007), h. 4.
19
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic Civilization ...,h.
435.
20
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta, Rajawali Press,
2011), h.53.
21
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 84
17
dokter mampu melayani pasien secara bergantian melalui menejemen shift yang
telah diberlakukan dalam menejemen rumah sakit Islam.22
Sejarawan Muslim al-Miskawaih menggambarkan pulihnya kembali ranah
keilmuan di Baghdad. „Adud al-Dawlah memberikan hadiah kepada para hakim,
asketis, ahli tafsir, ahli hadis, ahli genealogi, ahli tata bahasa, penyair, astronom,
dokter, ahli matematika, astronom, dan banyak lagi. Di istananya, Adud alDawlah membuat sebuah ruangan khusus bagi para filsuf dan ahli ilmu. Mereka
secara rutin berkumpul di sana untuk berdiskusi, berdebat, dan membangun
kegiatan intelektual. “Ilmu-ilmu akhirnya bisa dihidupkan kembali setelah
mengalami kematian sebelumnya,” papar al-Miskawaih.23
Pada tahun 1184 M (580 H) digambarkan rumah sakit seperti sebuah
istana yang sangat besar. Kurang lebih selama seratus tahun, lima bîmâristân
lainnya telah dibangun di Baghdad. Rumah sakit Islam Baghdad di awal abad ke10 M ditunjukan untuk memberikan perawatan medis ke penjara setiap hari dan
kunjungan dokter ke desa-desa miskin.24
Kunjungan dokter ke desa-desa juga dilakukan pada masa Sultan Saljuk
Mahmûd yang memerintah pada periode 511-525 H / 1117-1131 M terdapat
rumah sakit keliling yang berupa konvoi sejumlah besar unta yang dilengkapi
dengan alat terapi dan obat-obatan, dan disertai oleh sejumlah dokter. Konvoi ini
berkeliling desa-desa terpencil, padang pasir dan pegunungan sehingga bisa
mencapai setiap sudut negara Islam.25
Pertumbuhan rumah sakit Islam tumbuh dan berkembang bukan hanya di
Baghdad saja sebagai pusat kekhalifahan Islam. Di kota-kota besar dalam
kawasan Islam, seperti Kairo - Mesir, Damaskus, Al-Qayrawan (ibu kota Arab
dari Tunisia), Rayy (Iran) dan Cordoba. Di pusat-pusat kota tersebut terdapat
22
Ameera.
Rumah
Sakit
dalam
Peradaban
Islam
dalam
http://www.arrahmah.com/news/2013/11/16/rumah-sakit-sejarah-peradaban-islam2.html#sthash.m7tythEe.dpuf, yang telah diakses pada tanggal 20 Mei 2016.
23
Yusuf Assidiq. Adhud Al-Daulah, Pelindung Ilmu dan Seni (Republika, Khazanah:
Senin, 14 Februari 2011) h. 8.
24
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit…h. 20.
25
Ameera. Rumah Sakit dalam Peradaban Islam..., h. 3.
18
rumah sakit yang besar dan menjadi rujukan umat Islam, baik dengan tujuan
berobat atau belajar ilmu medis.26
Semua rumah sakit tersebut dianggap sebagai basis ilmu pengetahuan
kedokteran karena dengan adanya rumah sakit terjadi sebuah proses
perkembangan kedokteran yang lebih efektif dan cepat karena mengkombinasikan
antara teori dan praktik secara langsung, sehingga pemahaman terhadap ilmu
kedokteran mudah dimengerti, dan ilmu medis berkembang pesat di abad
pertengahan.27
Semua rumah sakit di kawasan Islam dibiayai dari pedapatan hibah yang
disebut dengan waqaf. Orang kaya dan terutama penguasa mendonasikan properti
sebagai waqaf. Waqaf tersebut diarahkan untuk pembangunan dan pemeliharaan
rumah sakit. Anggaran negara juga menjadi bagian dari biaya pemeliharaan rumah
sakit.28 Pada saat itu layanan rumah sakit harus gratis, meskipun ada beberapa
dokter pribadi mungkin yang mengenakan biaya.29
Dana yang dibutuhkan untuk memberikan layanan pengobatan, perawatan,
hingga biaya operasional rumah sakit sepenuhnya berasal dari dana waqaf. Umat
Muslim dan penguasa mewaqafkan sebagian harta mereka untuk kepentingan
sosial dan agama. Pada masa kekhalifahan di abad pertengahan, dana wakaf yang
terkumpul cukup besar.30
Dana wakaf tersebut lebih dari cukup untuk membiayai pembangunan
serta operasional rumah sakit. Sebagian anggaran negara juga didistribusikan ke
rumah sakit, terutama untuk pemeliharaan peralatan dan penyediaan obat-obatan.
Karena itulah, rumah sakit bisa beroperasi secara maksimal dan mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi pasien.31
26
A. R. Nowshera. Muslim Hospitals In The Medieval Period. (Islamic Studies: 1983), h.
51. Diambil pada tanggal 07 Sep. 16 di web: http://iri.iiu.edu.pk/.
27
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 83
28
Stefan Heidemann. The Transformation Pd Middle Eastern Cities in The 12th Century:
Financing Urban Renewa ( German Research Foundations (DFG): 2004), h.
29
A. R. Nowshera. Muslim Hospitals In The Medieval Period… h. 56.
30
Mustafa Al Anasari. Bimaristans Ana Waqf in Islam: Case Studies of Hospital
Endowments During 9th-13th Century In The Muslim World (Australia: November 2013), h. 36.
31
Mustafa al-Ansari. Bimaristan and Waqaf in Islam..., 36.
19
B. Karakteristik Rumah Sakit Islam
Rumah sakit yang tersebar di kawasan kekhalifahan Islam pada saat itu
memiliki karakteristik yang khas. Pertama, rumah sakit Islam melayani semua
orang tanpa membedakan warna kulit, agama, serta latar belakang asal usul
lainnya. Rumah sakit Islam dikelola pemerintah. Direkturnya biasanya seorang
dokter yang dipilih langsung oleh khalifah. Di rumah sakit tersebut semua dokter
dengan keyakinan agama yang berbeda bahu-membahu bekerja sama untuk
menyembuhkan pasiennya.32
Kedua, rumah sakit Islam sudah menerapkan pemisahan ruang rawat
pasien.33 Pasien pria dan wanita menempati ruangan yang terpisah. Penderita
penyakit menular juga dirawat di tempat yang berbeda dengan pasien lainnya,
sebagai upaya untuk pencegahan penularan atau infeksi.34 Ketiga, pembagian
perawat; perawat pria bertugas merawat pria dan perawat wanita merawat pasien
wanita.35
Keempat, memperhatikan kamar mandi dan pasokan air. Shalat lima waktu
merupakan rukun Islam yang wajib bagi setiap Muslim, baik dalam kondisi sehat
maupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban. Setiap Muslim harus
berwudhu membersihkan muka, tangan, kepala dan kaki. Untuk memenuhi
kebutuhan itu, rumah sakit menyediakan air yang melimpah dengan dilengkapi
fasilitas kamar mandi.36 Kebutuhan air bersih di rumah sakit disalurkan langsung
dari Sungai Tigris.37
Kelima, tidak sembarang dokter bisa berpraktik di rumah sakit. Hanya
dokter-dokter yang berkualitas yang diizinkan untuk mengobati pasien di rumah
sakit Islam.38 Khalifah Abbasiyah - Ja‟fâr al-Muqtadîr Billah ibn al-Mu‟tadid ibn
32
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit (Republika Khazanah: Senin, 22 November
2010) h. 20.
33
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 127.
34
Ibn Abî Usaybi'ah.„Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 2. Sebuah kitab klasik
yang di dalamnya memuat 400 tokoh kedokteran Islam. Buku tersebut menjadi best seller di
zamannya dan menjadi rujukan para dokter dan calon dokter di abad pertengahan. Ibn Abî
Usaybi'ah (w. 668 H/1274 H). Kitab tersebut dikaji lagi oleh A. Muller dan Menyusunnya
kembali, kemudian dicetak di Mesir pada 1299H/1882M. Hal. 242.
35
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., h. 20
36
Ibn Abî Usaybi'ah.„Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 2..., h. 260.
37
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., h.20.
38
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine, Light in The Dark
Ages (Jurnal UWOMJ, 2008), h. 15.
20
Ahmad ibn al-Mutawakkil (908–932 M) - sangat memperhatikan betul kualitas
dokter yang bertugas di rumah sakit Islam. Untuk memastikan semua dokter
berkualitas. Khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinân Ibn-Tshabit
untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad.39
Dokter yang mendapat izin praktik di rumah sakit hanyalah mereka yang
lolos seleksi yang ketat.40 Tak hanya di Baghdad, khalifah juga memerintahkan
Abû „Usmân Sa‟id Ibnu Y‟aqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah
Damaskus, Makkah dan Madinah. Hal itu dilakukan karena dua kota suci itu
setiap tahunnya dikunjungi jamaah haji dari seluruh dunia.41
Keenam, rumah sakit Islam pada zaman kekhalifahan Islam khususnya
setelah terjadinya transformasi (setelah abad ke-4 H), rumah sakit tidak hanya
sekedar tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit. Rumah sakit Islam juga
berfungsi sebagai tempat mahasiswa menggali ilmu kedokteran, tempat
pertukaran ilmu kedokteran, dan pusat pengembangan dunia kesehatan dan
kedokteran secara keseluruhan.42 Rumah sakit besar dan terkemuka dilengkapi
dengan perpustakaan mewah yang memiliki koleksi buku-buku terbaru. Selain itu,
rumah sakit Islam juga dilengkapi auditorium untuk pertemuan dan perkuliahan.
Di sekitar rumah sakit Islam juga berdiri perumahan untuk mahasiswa kedokteran
serta staf rumah sakit Islam.43
Ketujuh, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rumah sakit Islam
menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan
ramah sakit yang ada di seluruh dunia.44 Kedelapan, selama era Islam ilmu
farmasi dan apoteker telah berkembang menjadi ilmu dan profesi terkemuka.45
Sejumlah rumah sakit milik pemerintah memiliki laboratorium guna meracik
beragam obat. Tak jarang, pusat farmasi ini sanggup memproduksi obat-obatan
dalam skala besar.46 Sebagian besar obat diberikan untuk pasien rumah sakit dan
sebagian lagi disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Apotek dan
39
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam..., h. 117.
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 127.
41
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine…, h. 15.
42
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 117.
43
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., hal. 20.
44
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine…, h. 15.
45
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam..., h. 16.
46
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 128.
40
21
apoteker sudah berkembang pada abad pertengahan. Sehingga obat-obatan baru
tiap waktu terus bermunculan.47
Umat Islam menguasai perdagangan dunia dan telah menjalin kontak
dengan bangsa-bangsa terkemuka di dunia, termasuk dengan bangsa-bangsa
Eropa. Perkembangan ilmu kedokteran dan perkembangan rumah sakit sudah
meluas sampai ke daratan Eropa, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Yasser Tabba:
“In contrast Florence had about thirty hospitals at the beginning
of the fourteenth century, and a century later there were ten
more. Paris had sixty hospitals, and the smaller towns of Narbonne
and Arles had fifteen and sixteen, respectively. According to Miri
Rubin, "in England alone some 220 hospitals were founded in the
twelfth century and some 310 in the thirteenth." Such numbers
can be produced for nearly all European cities and towns.”48
Artinya: Sebaliknya, di Florence memiliki sekitar tiga puluh rumah sakit di
awal abadke-14 M, dan pada abad selanjutnya bertambah sepuluh
rumah sakit lagi. Paris memiliki enam puluh rumah sakit, dan kotakota kecil dari Narbonne dan Arles, masing-masing memiliki lima
belas dan enam belas. Menurut Miri Rubin, "di Inggris saja terdapat
220 rumah sakit yang didirikan pada abad ke-12 dan pada abad ke-13
terdapat 310 rumah sakit." Angka tersebut terjadi hampir di semua
kota-kota (besar) Eropa dan kota-kota (kecil) Eropa.”
Dari kutipan di atas, penulis memahami bahwa pembangunan rumah sakit
di kota-kota besar di Eropa tumbuh dan berkembang cukup signifikan. Di
Florence (ibu kota Itali) – pada abad pertengahan menjadi pusat perdagangan
Eropa – pada awal abad ke-14, terdapat tiga puluh rumah sakit. Di Paris terdapat
enam puluh rumah sakit, juga kota kota-kota kecil pada saat itu sudah terdapat
rumah sakit seperti di Narbonne dan Arles. Di Inggris pada abad ke-12, terdapat
220 rumah sakit, satu abad kemudian menjadi 310 rumah sakit.
47
48
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., hal. 20.
Yasser Tabbaa. The Function Aspect of Medieval Islamic Hospital..., h. 106-107.
22
C. Kontribusi Rumah Sakit Islam
Islam menolak penyebaran penyakit dan mendesak untuk mencari
perawatan medis.49 Sistem kesehatan dalam peradaban Islam terbangun atas
fondasi yang kuat berdasarkan petunjuk kenabian, sehingga rumah sakit tumbuh
dan berkembang di seluruh kawasan dunia Islam. Sekolah medis beserta dokterdokter lulusannya yang menjadi kebanggaan dunia atas kontribusi mereka
terhadap ilmu kedokteran.50
Rumah sakit Islam menjadi salah satu lembaga yang paling karakteristik di
pusat kota Islam dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang lainnya. Meski
fungsi utama secara institusional adalah sebagai lembaga sosial atau lembaga
amal, namun dalam hal ini fungsi rumah sakit yang memiliki multifungsi. Selain
sebagai lembaga sosial, juga sebagai lembaga pendidikan.51
Manajemen rumah sakit dalam Islam jauh lebih baik dalam penangannya
dari pada rumah sakit di Roma dan beberapa rumah sakit Kristen yang baru ada
ketika itu. Konsep rumah sakit bermula dari dasar pemikiran keimanan,
kemanusiaan, dan sosial.52 Konsep rumah sakit yang diterapkam Islam pada abad
pertengahan sesuai dengan konsep Islam, sebagaimana yang telah dijekaskan oleh
Yasser Tabbaa dalam bukunya yang berjudul The Function Aspect of Medieval
Islamic Hospital bahwa, “Islam sangat menerima semua gagasan tentang
kesejahteraan masyarakat.”53
Dalam konsep rumah sakit Islam terdapat lima aspek pelayanan kesehatan
yang harus diberikan kepada masyarakat sebagai wujud kesejahtraan masyarakat.
Pertama, sikap dan prilaku petugas yang Islami, terlihat dalam penanganan
terhadap seorang pasien. Pasien perempuan ditangani oleh petugas dan dokter
perempuan, begitupun sebaliknya pasien laki-laki ditangani oleh petugas dan
dokter laki-laki.54 Kedua, fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan yang islami.
Pihak rumah sakit Islam membedakan bangsal (ruang pasien) sesuai dengan
49
Mohammad Amin Rodini. Medical Care in Islamic Tradition During the Middle Ages
(Iran: International Journal of Medicine and Molecular Medicine, 2012), h. 1.
50
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine…, h. 16.
51
Yasser Tabbaa. The Function Aspect of Medieval Islamic Hospital..., h. 95.
52
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 89.
53
Yasser Tabbaa. The Function Aspect of Medieval Islamic Hospital..., h.98.
54
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler (Yogyakarta:
1993), hal. 18.
23
penyakit yang dideritanya, tindakan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya
infeksi.55 Ketiga, prosedur atau mekanisme pelayanan kesehatan yang Islami.
Keempat, suasana pelayanan kesehatan yang islami. Kelima, pembiayaan
pelayanan kesehatan yang islami.56 Bahkan, Yusuf Assidiq menjelaskan dalam
Rebublika, dalam kolom Khazanah bahwa seluruh pelayanan dan sarana di rumah
sakit Islam dapat dinikmati oleh pasien tanpa dipungut biaya sepeserpun.57
Kelima aspek tersebut harus dipenuhi oleh rumah sakit Islam sebagai nilai
keunggulan dan keunikan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
pasien.58
Kelima aspek rumah sakit tersebut selalu diikutsertakan dalam setiap
kalimatnya kata “Islami”. Maksudnya adalah semua aspek yang dijalankan rumah
sakit islam berasaskan Islam, yaitu sejalan dengan syara‟ atau tidak berlawanan
dengannya. Ja‟far Khadem Yamani dalam sebuah bukunya yang berjudul
“Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya”, menjelaskan Ath-Thibb-ulIslam-i atau kedokteran Islam tiada lain adalah ilmu pengobatan yang berasaskan
Islam dengan prinsip-prinsip pengobatan, antara lain59 :
1.
Mengobati seorang pasien dengan ihsan, dan tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan al-Qur‟an dan sunah Nabi-Nya.
2.
Tidak sekali-kali menggunakan obat-obatan yang haram atau tercampuri
bahan yang haram, seperti menggunakan arak, opium, delfaa, hasyisy dan
darah sebagai obat, atau mencampur obat-obtan dengan bahan yang haram.
Banyak ramuan obat yang dibuat oleh ahli farmasi bangsa Eropa
menggunakan pepsin babi. Sedangkan di antara obat-obatan ramuan China,
ada yang mengandung darah, sumsum babi dan serbuk tulang mayat.
3.
Pengobatan itu sekali-kali tidak mencacatkan tubuh, kecuali jika keadaan
yang sangat darurat dan tidak ada pengobatan lain di saat itu, seperti
menggunakan al-kayy bakar ketika digigit ular di padang sahara.
55
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 18.
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 99.
57
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., hal. 20.
58
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 99.
59
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya (Bandung:
2005) h. 43.
56
24
4.
Pengobatan tidak berbau takhayul, khufarat dan bid‟ah. Sesunggunya Islam
tidak mengajarkan berobat dengan air wafak, azimat yang berbau syirik.
5.
Islam tidak memberikan seseorang yang tidak mengkaji ilmu kedokteran
kemudian mengobati pasien, sehingga jika terjadi bahaya, ia harus
bertanggung jawab sepenuhnya.
6.
Jauhkanlah bagi seorang tabib muslim dari sifat iri hati, riya, takabur,
merendahkan orang lain, tinggi hati, memeras pasien dan sifat tidak terpuji
lainnya.
7.
Seorang tabib muslim itu harus berpakaian rapih, bersih dan sebaiknya
berpakaian putih.
8.
Lembaga kedokteran, rumah sakit, balai pengobatan dan semacamnya harus
menarik hati pengunjung, indah, rapih, bersih sehingga menjadi tempat
penyiaran Islam.
9.
Bangunan rumah sakit dihiasi dengan lambang-lambang yang Islami.60
Dwifungsi yang dimiliki rumah sakit Islam (bîmâristân) adalah faktor
penting dalam sebuah kemajuan pendidikan medis pada abad pertengahan. Rumah
sakit Islam memfasilitasi pengajaran ilmu medis, juga menyediakan perpustakaan
yang menampung banyak sumber-sumber ilmu medis. Belajar ilmu medis di
tempat dimana ilmu medis itu dipraktikan merupakan langkah yang sangat bagus
yang mampu melahirkan ahli-ahli yang sangat berkualitas, karena dibimbing
langsung oleh ahli medis yang sekaligus mengepalai rumah sakit Islam.
Kemahirannnya yang tak diragukan lagi, karena kepala rumah sakit ditunjuk
langsung oleh khalifah sebagai bukti bahwa keahliannya sudah dipertanggung
jawabkan dan sudah diakui oleh pemerintahan Islam. Salah satu contohnya adalah
al-Razi sebagai al-Sa‟ur (kepala rumah sakit) di bîmâristân al-Ray dan Sinân bin
Tsabit dan Ibn al-Tilmîz di bîmâristân al-Adudi.61
Jadi, bîmâristân atau rumah sakit Islam merupakan institusi sosial yang
berasaskan Islam yang sejak pertama kali didirikan bertujuan untuk mengorganisir
penyembuhan
orang-orang
sakit.
Namun,
seiring
perkembangan
Ilmu
pengetahuan, ilmu medis pun mengalami perkembangan yang signifikan.
60
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya (Bandung:
2005) h. 43.
61
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 121.
25
Perkembangan tersebut, salah satu faktor penyebabnya adalah keberadaan
bîmâristân yang mengalami transformasi bîmâristân atau menambahkan fungsi
pada bîmâristân menjadi dwifungsi bîmâristân; sebagai pusat medis dan sebagai
pusat pendidikan medis.62 Dengan adanya bîmâristân sebagai lembaga pendidikan
medis, maka kajian keilmuan medis dikaji melalaui teori dan praktik secara
langsung. Oleh karena itu, keberadaan bîmâristân sangat penting dalam
perkembangan ilmu medis dalam peradaban Islam.
Keberadaan bimaristan tidak luput dari peran seorang khalifah. Para
khalifah Islam banyak berkontribusi dalam membangun keilmuan khazanah
Islam, dalam hal ini ilmu medis. Dalam bab selanjutnya (BAB III) akan dijelaskan
bagaimana peran khalifah dalam memfasilitasi kajian ilmu medis. fasilitas inilah
yang merupakan bentuk dorongan sekaligus dukungan dari khalifah terhadap ilmu
medis, baik secara moril maupun materiil.
62
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
BAB III
PROSES TRANSFORMASI RUMAH SAKIT ISLAM (BIMARISTAN)
DI BAGHDAD
A. Peran Khalifah dalam Proses Transformasi Bîmâristân
Pada bab satu sudah penulis jelaskan bahwa yang penulis maksud dengan
istilah “bîmâristân” di sini adalah berasal dari bahasa Persia, bimar dan istan. Kata
“bimar” mengacu kepada orang sakit, sedangkan “istan” mengacu kepada tempat
atau rumah untuk orang-orang sakit.1 Pada bagian lanjutan dari bab tiga ini akan saya
soroti peranan khalifah dalam proses transformasi rumah sakit Islam, sehingga kita
bisa melihat peranannya dalam mewujudkan sebuah perubahan rumah sakit.
Kemajuan peradaban Islam pada abad pertengahan merupakan kiblat ilmu
pengetahuan dunia. Kecintaan para khalifah Islam – al-Wâlid bin „Abdul Mâlik (705715 M/86-96 H)2, Hârûn ar-Rasyîd (786-809 M/170-193 H)3, al-Ma‟mûn (813-833
M/197-217 H)4, Adud al-Dawlah (928-1008 M/318-398 H)5 - terhadap ilmu
pengetahuan merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah kemajuan ilmu
pengetahuan. Dengan kecintaan tersebut khalifah membiayai dan mencurahkan
perhatiannya secara penuh terhadap penerjemahan.6 Maka dari itu, banyak
peninggalan-peninggalan Yunani, India dan Persia dalam bentuk manuskrip
1
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta‟limi
Wassakofah, 2012), h.8.
2
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam…, h. 11.
3
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
h.52.
4
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah.., h. 52.
5
Yusuf Assidiq. Adhud Al-Daulah, Pelindung Ilmu dan Seni (Republika, Khazanah: Senin,
14 Februari 2011), h.8
6
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals (New York: 1999),
h. 126.
25
26
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.7 Kemudian dikembangkan oleh umat Islam,
sehingga banyak terlahir para ahli ilmu dalam segala bidang ilmu pengetahuan.8
Peran khalifah dalam kemajuan sebuah peradaban merupakan poin penting
sebagai pendukung sekaligus penyokong. Dukungan tersebut biasanya dituangkan
dalam sebuah kebijakan pemerintahan yang sah. Dengan kebijakan tersebut maka
perkembangan ilmu pengetahuan, dalam hal ini perkembangan ilmu medis dan
pembangunan rumah sakit mengalami kamajuan yang cukup signifikan. Peran
khalifah tersebut sesuai dengan teori politik al-Farabi yang telah digambarkan oleh
Harun Nasution, bahwa:
“... pemerintahan, sebagaimana badan manusia, mempunyai
bagian-bagian yang satu dengan yang lainnnya erat hubungannya
dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk
kepentingan seluruh badan. Pekerjaan yang terpenting dalam
pemerintahan adalah pekerjaan kepala pemerintahan, yang dalam
tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepala adalah
sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam
pemerintahan. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada
ilmu pengetahuan dan pada keadilan ...”9
Dari kutipan tersebut, dapat penulis pahami bahwa peran seorang kepala
pemerintahan atau dalam hal ini peran seorang khalifah dalam kekhilafahan Islam
sangat penting keberadaanya, karena peran khalifah mampu mempengaruhi
perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban Islam. Jadi, kemajuan
ilmu medis dalam hal ini kemajuan rumah sakit sangat erat kaitannya dengan peran
khalifah sebagai penentu kebijakan.
Mengapa kemajuan rumah sakit menjadi salah satu tolak ukur kemajuan ilmu
medis. Begitu pula sebaliknya, mengapa kemajuan ilmu medis dijadikan indikator
kemajuan rumah sakit. Karena, rumah sakit dan ilmu medis merupakan satu kesatuan
yang saling menguatkan dalam sebuah manajemen rumah sakit. Konsep dwifungsi
7
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
8
Chairudin P. Lubis. Sejarah Ilmu Kedokteran (USU: 2008), h. 4.
9
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: 2014), h. 21.
27
(teoritis dan praktis) yang diterapkan di rumah sakit Islam mampu mendongkrak
kemajuan ilmu medis sekaligus mengembangkan rumah sakit.
Pada masa kekhilafahan Abbasiyah corak keilmuan sangat tampak pada
pribadi diri khalifah Abbasiyah. Kecintaan khalifah terhadap ilmu pengetahuan
mendorong umat Islam untuk memperkaya sumber dari peninggalan-peninggalan
bangsa yang pernah jaya sebelum Islam, seperti ilmu pengetahuan dalam bentuk
manuskrip dari peradaban Yunani.10 Pemerintahan Islam membiayai semua proses
penerjemahan bahasa dari bahasa Yunani, Syiria, Hindia, dll ke dalam bahasa Arab
sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam dan bahasa ilmu pengetahuan abad
pertengahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Badri Yatim, bahwa terdapat
dua hal yang menjadi penentu kemajuan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan.11
Pertama, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada
masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa Non-Arab banyak yang masuk Islam.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Pengaruh Persia sangat kuat
di bidang pemerintahan, juga banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan
sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan
astronomi. Sedangkan, pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan
dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat. Jadi, bangsa-bangsa tersebut masingmasing memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam
Islam.12
Kedua, gerakan penerjemahan yang berlangsung selama tiga fase. Fase
pertama, pada masa khalifah al-Mansûr (754-775 M/ 138-159 H) hingga Hârûn alRasyîd (786-809 M/170-193 H). Fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karyakarya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua, masa khalifah Al-Ma‟mûn
(813-842 M/197-217 H) hingga tahun 925 M/300 H. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung
10
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
11
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta, 2011), h. 55.
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam..., h. 55.
7.
12
28
setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu
yang diterjemahkan semakin meluas.13
Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu kedokteran
tersebut tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan khalifah yang sangat mendukung
untuk majunya ilmu pengetahuan. Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya:14
1.
Gubernur, panglima, dan pengawal lainnya, banyak diangkat golongan mawali
keturunan Persia.
2.
Kota Baghdad dijadikan ibu kota negara dan menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan.15 Dengan demikian Baghdad menjadi pusat
internasional yang sangat sibuk dan rami, tempat berkumpul unsur Arab, Turki,
Persia, Romawi, Mesir, Hindia dan sebagainya.
3.
Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang sangat urgen dan mulia. Para
khalifah dan pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
4.
Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia diakuin sepenuhnya. Akal pikiran
dibebaskan dari belenggu taklid sehingga orang leluasa mengeluarkan pendapat
dalam segala bidang.
5.
Para menteri keturunan Persia diberikan hak penuh dalam menjalankan
pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina
tamaddun16 Islam.
Jika kita perhatikan dari kebijakan-kebijakan tersebut maka kita bisa melihat
terdapat tiga aspek penting yang menjadi dasar sebuah kemajuan ilmu pengetahuan.
Pertama, khalifah sebagai penggerak. Kedua, ulama atau ahli ilmu (mayoritas dari
keturunan Persia) yang digerakan penggerak (khlaifah), dalam konteks ini gerakan
penerjemahan. Ketiga, kenapa ulama Islam mampu melampaui kemajuan ilmu bangsa
sebelumnya. Jawabannya adalah karena umat Islam diberikan kebebasan berfikir oleh
13
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam..., h. 56.
Ahmad Fadlali, dkk. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: 2009), h. 65.
15
Salah Zaimeche, dkk. Baghdad (UK: 2005), h. 03.
16
Tamaddun dalam kalimat tersebut dimaknai dengan keadaan masyarakat manusia yang
dicirikan atau didasarkan pada taraf kemajuan kebendaan serta perkembangan pemikiran (sosial,
budaya politik, dll) yang tinggi.
14
29
penggerak (khalifah). Sebagaimana yang tertuang dalam kebijakan khalifah yang
ketiga bahwa ilmu pengetahuan dianggap sesuatu yang sangat urgen dan mulia. Oleh
karena itu, maka banyak muncul penemuan-penemuan penting dalam ilmu
kedokteran bagi kemajuan peradaban dan mampu menyelesaikan problematika umat
Islam.
Oleh karena itu, peran khalifah dalam memberikan dukungan yang sangat
besar terhadap penerjemahan karya-karya ilmu kedokteran Yunani India dan Persia
merupakan langkah awal dalam proses transformasi rumah sakit Islam.17 Sehingga
program penerjemahan menjadi penting pada masa awal pemerintahan Islam. Juga,
menjadi kebijakan khusus dalam pemerintahan Islam.
B. Penerjemahan Manuskrip Medis ke dalam Bahasa Arab
Kemajuan peradadaban Islam tidak terlepas dari usaha penerjemahan yang
dilakukan oleh ulama Islam terhadap manuskrip-manuskrip peninggalan peradaban
Yunani.18 Sehingga peradaban yang telah berkembang pada masa Yunani bisa
dipelajari oleh kaum muslimin. Proses transmisi tersebut sebagaimana yang
dijelaskan oleh Harun Nasution dalam bukunya “Falsafat dan Mistisme dalam Islam”,
bahwa kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas besar di daerah
daerah ini. Daerah yang dimaksudkan dalam pernyataan tersebut adalah Macedonia di
Eropa, kerajaan Ptolemeus di Mesir dengan Mesir sebagai Ibu kota, dan kerajaan
Seleucid (Seleucus) di Asia.19
Di abad ke-3 M pusat-pusat kebudayaan Yunani ini ditambah dengan kota
Jundîshâpûr yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (didirikan pada tahun 762 M). Di
sana sewaktu kota itu masuk ke bawah kekuasaan Islam, telah terdapat suatu akademi
(Universitas Jundîshâpûr; dibangun pada masa Shapur II (309-379 M))20 atau rumah
8.
17
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
18
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
19
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 3.
Mohammad Reza Afshar. Jundishapur, A Symbol of Intercultural Understanding..., h. 519.
8.
20
30
sakit. Ketika khalifah Bani Abbas yang bernama Abû Ja‟fâr al-Mansûr sakit (tahun
765 M), atas nasihat mentrinya, Khâlid Ibnu Barmâk (orang Persia), kepala rumah
sakit Jundîshâpûr, Jurjîs Ibn jibrîl ibn Bakhtîshû21 dipanggil untuk mengobatinya.
Khâlid Ibnu Barmâk sendiri berasal dari Bactra. Keluarga Barmak dikenal sebagai
keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta falsafat dan condong pada paham
Muktazilah.22
Di kota Jundîshâpûr (sekarang Khūzestān, Iran) ini juga tinggal keluarga alMâsawayh (meninggal tahun 857 M). Ia seorang lulusan lembaga kedokteran tinggi
Jundîshâpûr. Untuk mengamalkan ilmunya, ia pergi ke Baghdad dan akhirnya
bermukim kota Bagdad. Pada masa khalifah Hârûn ar-Rasyîd, al-Mâsawih menjadi
tabib istana sekaligusn sebagai kepala “baitul hikmah.”23 Ia adalah seorang tabib
termashur dan tidak taklid pada siapapun. Maka al-Mâsawaih pun menyusun kitabkitab kedokteran yang berisikan metode kedokterannya sendiri.24
Hârûn al-Rasyîd menjadi khalifah di tahun 786 M, dan sebelumnya ia belajar
di Persia di bawah asuhan Yahya Ibnu Khâlid Ibnu Barmâk dan dengan demikian
banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga Barmâk pada ilmu pengetahuan dan
falsafat. Di bawah pemerintahan Hârûn al-Rasyîd, penerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai.25 Orang-orang dikirim ke
kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Pada mulanya yang
dipentingkan ialah buku-buku mengenai kedokteran, tetapi kemudian juga mengenai
ilmu-ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Buku-buku itu diterjemahkan terlebih dahulu
6.
21
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
22
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
23
7.
24
A. R. Nowsheravi. Muslim Hospitals In The Medieval Period. Islamic Studies, Vol. 22, no.
2, 1983. Diakses pada tanggal 20-10-2015 15:55 UTC. web:http://www.jstor.org/stable/23076050, h.
52.
25
Ana Maria Negoita. The City Of Mansur The Builder. Baghdad Between The Caliph’s Will
Andshari’ah Norms (University of Bucharest: 2011), h. 117.
31
ke dalam bahasa Syiria, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia di waktu itu,
kemudian baru ke dalam bahasa Arab.26
Penerjemah-penerjemah termasyhur di zaman itu antara lain adalah 27:
1.
Hunayn Ibnu Ishâq (wafat 873 M), seorang Kristen, yang pandai berbahasa Arab
dan Yunani (pernah berkunjung ke Yunani). Ia menguasai bahasa Siryani, Arab,
Yunani, Latin, Persia, dan sedikit bahasa Yahudi Ibrani baru.28 Ia terjemahkan 20
buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab.
Hunayn mempunyai 90 pembantu dan murid dalam kegiatan penerjemahan ini.29
2.
Anak Hunayn bernama Ishâq (wafat 910 M) dan Hubays, kemenakan Hunayn.
Keduanya telah menterjemahkan 73 buah kitab, yaitu 60 buah dari bahasa
Yunani kedalam bahasa Arab, dan 13 buah dari bahasa Yunani ke dalam bahasa
Siryani.30
3.
Tsâbit Ibnu Qurrah al-Hurâni (825-901 M) dari Hurran, Irak. Ia adalah salah satu
murid Hunayn yang cukup terkenal.31
4.
Abu Bisr Matta Ibnu Yûnus (wafat 939 M), juga seorang Kristen.32
5.
Yuhana Ibnu Mâsawaih ad-Damsyiki, ia adalah seorang tahbib dan guru at-thibb
di akademi Jundîshâpûr. Ia hidup pada pertengahan abad ke-3 H.33
6.
Jâbir ibnu Hayyân, ia lahir dari keluarga al-Bârmaki seorang menteri terpenting
pada zaman khlaifah Hârûn ar-Rasyîd. Ia terkenal sebagai seorang tabib ahli
obat, filsafat dan ahli kimia.34
7.
Abû Bakar ibnu Zakariya ar-Râzi (251-320 H/841-925 M), seorang Persia yang
lahir di Rayy. Kitab al-Hawi fi al-Tibb merupakan karyanya yang sangat
26
Manfred Ullman. Islamic Medicine (Inggris: Edinburgh University Press, 1978), h. 7.
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
28
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
27
7.
29
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya (Bandung:
2005) h. 55.
31
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 56.
32
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
33
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 57.
34
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 57.
30
32
monumental.35 Ia mengkaji ilmu kedokteran dari `Ali ibnu Sûhal bin Rabân atTabâri, ia banyak menulis kedokteran, salah satunya Kitabu al-Firdaus alHikmah.36
Dengan kegiatan penerjemahan ini, sebagian besar dari karangan-karangan
Aristoteles, juga sebagian dari karangan-karangan Plato serta karangan-karangan
mengenai Neoplatonisme, sebagian besar dari karangan Galen serta karangankarangan dalam Ilmu kedokteran lainnya, dan juga mengenai karangan-karangan
mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam.
Dengan usaha penerjemahan-penerjemahan tersebut maka munculah dari
kalangan umat Islam sendiri filosof-filosof dan ahli-ahli ilmu pengetahuan, terutama
dalam ilmu pengetahuan kedokteran, seperti „Abdûl Abbas al-Sarkasyi (abad ke-9
M). Filosof Islam yang pertama, muncul di abad ke-9 M adalah al-Kindi, diikuti oleh
filosof-filosof lain seperti al-Râzi (abad ke-9 M), al-Farabi (abad ke-9 M), Ibnu Sina
(abad ke-10 M), al-Birûni (abad ke-10 M), Al-Maushili (abad ke-10 M), Ibnu Butlan
(abad ke-10), Ibnu Zuhrî (abad ke-11 M), Ibnu Thufail (abad ke-11 M), ibnu Habal
al-Baghdadi (abad ke-11 M) ,al-Qurthûbi (menjelang abad ke-12 M), Ibnu Nâfis
(abad ke-12 M), ibnu Khâitam (abad ke-13 M) dan lain-lain.37 Filosof-filosof ini
banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof-filosof Yunani, terutama Aristoteles, Plato
dan Plotinus.38
Para penerjemah tersebut bukan hanya menterjemahkan semata, namun
mereka juga membuat banyak terobosan. Para penerjemah mengkobinasikan hasil
dari semua yang didapat dari penerjemahan manuskrip tersebut dengan nilai-nilai
Islam. Sebagimnana yang dapat kita temukan dalam karyanya Hunayn Ibn Ishâq yang
berjudul “Ten Treatises of the Eye”, karya tersebut menunjukan kemajuan yang
sangat signifikan jika dibandingkan dengan pengetahuan pada masa Yunani.39
35
Muhammad Mojlum Khan. 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah (Jakarta:
2012), h. 391.
36
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 56.
37
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., dari h. 58-74.
38
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
39
Raza Naqvi, Meds & Urszula Zurawska, Meds. History Of Medicine, Light in The Dark
Ages (UWOMJ: 2008), h. 16.
33
Dengan melihat peran khalifah yang begitu besar pada ilmu medis, maka
banyak dilakukan penerjemahan-penerjemahan manuskrip ilmu medis. Selain upaya
penerjemahan manuskrip, khalifah juga memerintahkan membangun rumah sakit
sebagai pusat medis. Di sini pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat dalam
pembangunan rumah sakit Islam.40 Pengaruh tersebut menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya transformasi bimaristan.
Pengaruh Persia yang dimaksudkan penulis di sini adalah pengaruh akademi
Jundîshâpûr sebagai pusat pendidikan medis sekaligus sebagai pusat medis yang
dibangun pada masa Shapur II (309-379 M) Dinasti Sassanid.41
42
Pada masa
Khalifah Harûn ar-Rasyîd, khalifah memerintahkan pembangunan rumah sakit,
kemudian memberikan kuasa atas rumah sakitnya tersebut kepada Jurjîs ibn Jibrîl ibn
Bakhtîshû‟ sebagai kepala rumah sakit (Sau’r).43 Bakhtîshû sendiri adalah lulusan
sekolah Jundîshâpûr. Sehingga pengalaman keilmuan yang didapatkan Bukhtîshû dari
Jundîshâpûr diterapkan juga pada rumah sakit Islam.
Jadi, peran khalifah dalam mendorong pengembangan ilmu medis, baik
materil maupun moril terhadap pembangunan rumah sakit dan gerakan penerjemahan
menjadi salah satu penyebab terjadinya transformasi rumah sakit.
40
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
6.
41
Sayyed Husein Nasr. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press,
Massachussets, UK.,1968. Hal. 384.
42
Mohammad Reza Afshar. Jundishapur, A Symbol of Intercultural Understanding. Sebuah
jurnal Jundishapur J Microbiol, 03 Juli 2012. Ahvaz, IR Iran. H. 519.
43
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
6.
BAB IV
EFEK KEILMUAN ATAU DAMPAK TRANSFORMASI
RUMAH SAKIT ISLAM
A. Rumah Sakit menjadi Salah Satu Simbol Peradaban Islam
Dalam pandangan Islam ilmu medis dipandang sesuatu yang sangat
penting dan mulia.1 Dianggap penting karena dengan ilmu medis dapat
mewujudkan sebuah kehidupan yang bersih dan sehat dalam mengantisipasi setiap
penyakit. Juga, dianggap mulia karena masuk dalam ranah sosial sebagai bentuk
bakti amal terhadap agama.2 Pentingnya ilmu medis sebagaimana yang telah
dinyatakan oleh Abu „Ala‟i „Alauddîn „Alî bin Abî Hamzah bin Nâfis Qurosyi
atau dikenal dengan sebutan Ibnu Nâfis yang dilahirkan di Damaskus (kini
wilayah Suriah) pada tahun (807 – 885 H/1210 – 1288 M), ia adalah seorang
tokoh Islam penemu pembuluh darah kapiler, ia mengatakan kepada orang
tuannya ketika hendak menuntut Ilmu medis ke Damaskus di rumah sakit AnNuri:
“Ayah... Ibu... ahli fiqih dan bahasa sekarang ini telah banyak
ahlinya. Sedang di kalangan umat Islam terlalu sedikit yang
mendalami ilmu kedokteran. Alangkah baiknya bila aku menjadi
salah seorang ahli di bidang kesehatan. Dan setelah itu aku akan
mengabdikan kepada hamba-hamba Allah yang sakit degan Ilmu
itu...!”3
Ungkapan Ibnu Nafis tersebut menggambarkan bahwa ilmu medis sangat
dibutuhkan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam Islam, karena
keberadaan ahli medis (tabib) masih dikatakan lebih sedikit dari pada ahli-ahli
fiqih dan bahasa.
Dalam lembaran sejarah keberadaan ilmu medis erat kaitannya dengan
keberadaan rumah sakit. Setiap masa dan zaman, masing-masing memiliki istilah
1
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals (New York:
1999), h. 126.
2
Usep Abdul Matin. Fake Vaccines Versus Hospitality, dipublikasikan di Jakarta Pos
pada hari Jum‟at, 5 Augustus tahun 2016,
03:38 pm. Diakses melalui web:
http://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/05/fake-vaccines-versus-hospitality.html.
3
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler (Yogyakarta:
1993), hal. 13.
34
35
dalam penyebutannya. Di era Islam rumah sakit dikenal dengan nama
“bîmâristân.” Keberadaan rumah sakit sama pentingnya dengan keberadaan ilmu
medis. Oleh karena itu, rumah sakit menajadi prioritas utama bagi kekhalifahan
Islam. Dibuktikan dengan berdirinya rumah sakit yang besar
yang memiliki
fasilitas lengkap. Bahkan ada yang menggambarkan bahwa bangunan rumah sakit
tersebut bagaikan sebuah bangunan istana.4
Rumah sakit merupakan institusi penting dan berada langsung di bawah
pengawasan khalifah Islam. Para khalifah Islam memberikan penghargaan yang
sangat tinggi terhadap dokter yang kompeten dalam bidang ilmu medis. Juga,
khalifah mendorong pembangunan bîmâristân dan lembaga kesehatan lainnya,5
baik secara moril (dalam bentuk dorongan batin) maupun materil (dalam bentuk
waqaf).6 Dukungan moril terlihat pada sikap para khalifah yang sangat mencintai
ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan perintah khalifah (dalam bentuk kebijakan)
untuk menterjemahkan manuskrip-manuskrip ilmu pengetahuan yang sudah
berkembang sebelum Islam, seperti penerjemahan karya-karya Hipokrates dan
Galen sebagai tokoh kedokteran Yunani kuno. Sebagaimana yang telah
diungkapkan dalam risalah „Alî ibnu Ridwân - (tahun 988-1061 M/568-641 H),
seorang ahli bedah asal Mesir pada era khalifah Abbasiyah,7 - risâlah fi daf’
madârr al-abdan bi-ard Misr, bahwa Khalifah Hârûn Ar-Rasyîd membangun
sebuah bimaristan di Baghdad dan memerintahkan keluarga Bakhtîshû (seorang
dokter Nestorian)8 untuk bertanggung jawab penuh dalam mengatur bîmâristân.
Khalifah menilai bahwa Bakhtîshû merupakan lulusan dari akademi Jundîshâpûr
yang telah diakui kemasyuhrannya dalam dunia medis dan perumah sakitan.9
Dalam sejarah pendidikan ilmu medis rumah sakit adalah tempat yang
paling efektif dalam pembelajaran ilmu medis. Karena di rumah sakit, murid bisa
4
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., h. 20.
M. Akram Dajani. Medical Education in Islam Civilization, artikel JIMA: Vol. 21,
(Jordan: 1989), h. 166.
6
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 125.
7
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 42.
8
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 125.
9
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
5
36
langusung melihat sang guru (sâu’r)10 bagaimana ilmu medis itu dipraktikan
(kombinasi antara teoritis dan praktis).11 Jika kita bandingkan tempat pendidikan
ilmu medis pada masa-masa sebelumnya, seperti menggunakan masjid, baitul
hikmah, house of science (rumah ilmu), dan sekolah kedokteran teoritis.12 Oleh
karena itu, penulis menyimpulkan bahwa keberadaan rumah sakit sangat penting
dan menjadi simbol kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu medis.
Rumah sakit Islam bukan hanya sebagai simbol kemajuan ilmu medis,
akan tetapi juga sebagai simbol kekuasaan politik dan ekonomi. Sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh Guenter B. Risse dalam bukunya yang berjudul
“Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals,” bahwa rumah sakit
menjadi simbol kekuasaan politik dan ekonomi. Berdirinya rumah sakit
menunjukan eksistensi kekuasaan politik, terlihat dari nama-nama rumah sakit
yang telah dibangun oleh khalifah, contohnya khalifah „Adudu Ad-Dawlah,
penguasa Buwaihi, mendirikan sebuah rumah sakit dengan nama Bîmâristân alAdudi. Sedangkan, rumah sakit dikatakan simbol kekuasaan ekonomi, karena
stabilitas ekonomi sebuah pemerintahan stabil. Pembangunan rumah sakit yang
mewah dengan dilengkapi fasilitas yang lengkap adalah bukti bahwa ekonomi
pemerintahan Islam stabil, sehingga mempu mendanai semua keperluan rumah
sakit Islam. Maka dari itu, rumah sakit terus mengalami perkembangan yang
sangat siginifikan pada abad pertengahan. Khususnya setelah abad ke-9 M/4 H,
rumah sakit besar sudah menyebar di seluruh kota-kota besar Islam, seperti Kairo
(874 M), Baghdad barat (918 M), timur Baghdad (981 M), Damaskus (1156 M),
Kairo (1284 M), dan Granada (1366 M).13
10
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta‟limi
Wassakofah, 2012), h. 16.
11
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami Sebagai Pusat
Pendidikan Perubatan Di Timur Tengah Antara Abad ke-3 hingga ke-7 Hijri (E-Journal of Arabic
Studies & Islamic Civilization, Volume 2, 2015) h. 123.
12
M. Akram Dajani. Medical Education in Islam Civilization..., h. 167-168.
13
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 126.
37
B. Tabib (Dokter) dan Pengajar Sebagai Satu Kesatuan Profesi
Bîmâristân al-Adudi14 yang didirikan pada tahun 372 H/982 M di
Baghdad, mempunyai dua orang tenaga pengajar, yaitu Abu Hassan „Ali bin
Ibrâhîm bin Bakkas (m. 394 H) dan Ali bin Ibrahim bin Bukhtîsyû‟. Selain itu,
juga Amîn ad-Dawlah Abu Hassan Hibatullah bin al-Tilmîdz (m. 560 H) yang
mengabdi bîmâristân ini. Abu Hassan sering melakukan pemeriksaan kepada
pasien yang turut dihadiri oleh para pelajar yang dibimbingnya. Setelah selesai
memeriksa, Abu Hassan akan bertanya kepada para pelajarnya bagaimana mereka
diperbolehkan membuat keputusan dalam sesuatu pemeriksaan terhadap pasien.
Diantara ahli medis yang mendapat pengajaran di Bimaristan ini ialah Abu alFarâj bin at-Tayyîb (m. 406 H).15
Dalam catatan Ibn Abi `Usaybi'ah (w. 668 H/1274 H), seorang sejarawan
kedokteran pertama yang lahir di Damaskus (tahun 590-668 M/1204-1274 H)
dalam bukunya ‘Uyûn al-Anbâ` fî Tabaqât al-Atibbâ`, juga menjelaskan bahwa di
Bîmâristân al-Fariqi di Mayyafâriqîn terdapat kuliah medis yang dijalankan oleh
Abu Sa‟id Mansyûr bin „Isa.16 Beliau menjadikan kumpulan teks soal tanya
jawab permasalahan medis antara beliau dan pelajarnya sebagai teks utama. Kitab
ini dinamai al-Fûsul wa al-Masâil wa aljawâbât.17
Proses belajar-mengajar dilakukan di rumah sakit yang dipimpin langsung
oleh seorang dokter (al-sa’ur).18 Sorang dokter memeriksa pasien di bangsal
dimana pasien diperiksa. Para mahasiswa berdiri di sekeliling bangsal dan
memperhatikan
bagaimana
dokter
memperaktikan
ilmu
medis.
Setelah
memeriksa, dokter menjelaskan semua tentang pemeriksaanya kepada murid14
Bîmâristân al-Adudi adalah sebuah nama rumah sakit yang diambil dari nama
pendirinya yaitu Abu Syuja Fanna Khusrau atau dikenal dengan sebutan Adhud al-Daulah. Ia
adalah amir Dinasti Buwaihi yang berkuasa selama 80 tahun (dari tahun 928 – 1008 M). Adhud
al-Daulah sejatinya adalah gelar yang diberikan oleh Khalifah al-Muthi, yang berarti Penyangga
Negara. (diambil dari Jurnal Republika, Khazanah, terbitan hari Senin, 14 Februari 2011, hal. 8).
15
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami Sebagai Pusat
Pendidikan Perubatan Di Timur Tengah Antara Abad ke-3 hingga ke-7 Hijri (E-Journal of Arabic
Studies & Islamic Civilization, Volume 2, 2015) h. 120.
16
Ibn Abî Usaybi'ah.‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 2. Sebuah kitab klasik
yang di dalamnya memuat 400 tokoh kedokteran Islam. Buku tersebut menjadi best seller di
zamannya dan menjadi rujukan para dokter dan calon dokter di abad pertengahan. Ibn Abî
Usaybi'ah (w. 668 H/1274 H). Kitab tersebut dikaji lagi oleh A. Muller dan Menyusunnya
kembali, kemudian dicetak di Mesir pada 1299H/1882M. Hal. 232.
17
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 120.
18
Yasser Tabbaa. The Functional Aspects of Medieval Islamic Hospitals, - capter five.
H. 98.
38
muridnya. Gambaran situasi demikian digambarkan oleh Ibnu Nafis ketika ia
berkunjung ke rumah sakit an-Nûri di Damaskus unutuk menuntut ilmu medis. Ia
bertemu kepala rumah sakit sekaligus menjadi gurunnya, ia adalah ad-Dahwâr
Muhadzibudîn Abdurrahîm, ia menjabat drektur Bîmâristân an-Nûri tahun (807
H/1210 M).19 Ia berkata kepada Ibn Nafis:
“ ..... pada hari ini engkau bisa menemui dokter-dokter senior
kami, yang akan mengobati pasien-pasien degan penyakit kronis.
Sudah menjadi kebiasaan mereka, apabila kami membutuhkan
tenaga mereka sewaktu-waktu, mereka akan selalu siap sedia
membantu kami mengobati pasien yang kronis ....” 20
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa seorang murid akan melihat
bagaimana seorang dokter mengobati pasien. Di saat yang tepat, Ibnu Nafis
sangat beruntung bisa menemui dokter senior yang akan mengobati penyakit
kronis, yang datang di saat-saat tertentu saja. Dokter senior tersebut adalah
Tabib ar-Rahabi (tahun 533-607 H/1136-1210 M) dan Tabib Imron (tahun
503-627 H/1150-1220 M). Mereka berdua adalah dokter yang paling ahli
dalam bidang pengobatan penyakit kronis. Selain itu mereka juga sangat
berjasa dalam mengembangkan ilmu kedokteran, antara lain dalam
menambah koleksi perpustakaan dengan buku-buku ilmu kedokteran yang
bermutu tinggi.21
Oleh karena itu, pada abad pertengahan profesi dokter merangkap
sebagai pengajar ilmu kedokteran. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa
dokter dan pengajar menjadi satu kesatuan profesi, karena pada masa itu
keberadaan dokter ditetapkan juga sebagai pengajar. Profesi tersebut sebagai
bentuk efek dari transformasi bimaristan dari sebagai pusat medis saja
menjadi juga sebagai pusat pendidikan medis atau dikenal dengan dwi
fungsi.
19
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 16.
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 22-23.
21
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 22.
20
39
C. Metode Keilmuan Ilmu Medis di Rumah Sakit Islam
Pengobatan adalah sebuh ilmu praktis dan eksperimental. Untuk alasan ini
maka adanya kebutuhan yang mendesak unutuk mahasiswa kedokteran agar
kontak langsung dengan pasien. Rumah sakit Islam dilengkapi dengan sebuah
perpustakaan medis yang kaya dengan sumber-sumber ilmu medis. Sehingga
rumah sakit sebagai pendidikan ilmu medis dinilai nyaman dan efektif untuk
mahasiswa kedokteran karena memperoleh pembelajaran, baik teoritis maupun
praktis dengan pengamatan klinis di samping tempat tidur pasien.22
Pengajaran ilmu medis atau kedokteran dalam peradaban Islam melewati
berbagai tahap jika dilihat dari segi tempatnya, mulai dari masjid - baitul hikmah
(perpustakaan) – house of Science (rumah ilmu) – sekolah kedokteran teoritis –
sekolah kedokteran praktis (rumah sakit/bîmâristân).23 Tempat-tempat tersebut
merupakan sebuah proses perubahan dari satu masa ke masa yang dilatarbelakangi
oleh budaya dan ilmu pengetahuan. Sampai pada tempat dimana ilmu medis
diajarkan di rumah sakit dengan alasan bahwa pengobatan adalah sebuah ilmu
praktis dan eksperimental.24
Rumah sakit Islam sebelum abad ke-4 H merupakan sebuah institusi yang
hanya melayani pengobatan semata. Kemudian pada abad ke-4 H dan sesudahnya
rumah sakit menambah fungsi, yaitu juga sebagai pendidikan medis atau menjadi
perguruan tinggi medis. Oleh karena itu, rumah sakit memiliki fungsi ganda,
dengan fungsi ganda tersebut ilmu medis berkembang cukup signifikan di
berbagai daerah kawasan Islam khususnya di Baghdad sebagai pusat khilafahan
Bani Abbas pada abad pertengahan.
Bîmâristân dalam peradaban Islam telah memiliki menejemen organisasi
yang teratur. Setiap elemen yang tersusun dalam struktur organisasi mempunyai
peran penting, diantaranya adalah khalifah menjadi pengawas bîmâristân,
pengawas waqaf bîmâristân, pengarah bîmâristân yang dikenal dengan sebutan
al-sa’ur, dan almuhtâsib yang memantau khusus terhadap bidang medis. Tugas
al-sa’ur dibantu oleh ketua jabatan yang berada di bawahnya, yang terdiri dari
22
M. Akram Dajani. Medical Education in Islam Civilization, artikel JIMA: Vol. 21,
(Jordan: 1989) h. 168.
23
Akram M. Dajani. Medical Education in Islam Civilization..., hal. 167-168.
24
Akram M. Dajani. Medical Education..., h. 168.
40
ketua jabatan ortopedik (cabang ilmu pembedahan), surgeri, oftamologi (cabang
ilmu mata), pireksia (ahli demam), farmasi, dan para pegawai staf rumah sakit.25
D. Masyarakat Tertarik Belajar Ilmu Medis
Faktor-faktor yang menyebabkan ketertarikan masyarakat terhadap ilmu
medis adalah pertama, karena ahli ilmu medis (tabib) masih terbilang sedikit,
sehingga tenaga ahli medis sangat dibutuhkan peranannya di masyarakat Islam.
Alasan ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ibnu Nafis, ahli medis abad
pertengahan, ia adalah seorang tokoh penemu pembuluh kapiler. Ia menyatakan
bahwa yang mendalami ilmu kedokteran masih terbilang lebih sedikit dari pada
ilmu-ilmu keagamaan, seperti ilmu fiqih dan bahasa.26 Oleh karena itu, banyak
masyarakat muslim yang tertarik untuk belajar ilmu medis di pusat kota-kota
besar kawasan Islam, salah satunya Baghdad sebagai pusat pemerintahan Islam.
Kedua, ilmu medis mendapat dukungan penuh dari khalifah sebagai
penyandang kekuasaan dan kebijakan pemerintahan Islam. Pemerintah Islam
membiayai seluruh proses penerjemahan sumber-sumber kedokteran (pada masa
awal Islam), dan membangun bangunan fasilitas pendidikan yang lengkap dengan
buku-buku kedokteran.27 Juga, lengkap dengan alat-alat kedokteran yang
termutakhir pada masanya. Fasilitas pendidikan yang penulis maksudkan di sini
adalah rumah sakit (bîmâristân) yang mempunyai dwi fungsi, sebagai pusat medis
dan pusat pendidikan medis. Bîmâristân adalah institusi pendidikan ilmu medis
yang dinilai paling bagus dan paling efektif, karena mengkombinasikan antara
teoritis dan praktis.28 Oleh karena itu, penulis menilai dukungan yang kuat dari
pemerintah tersebut merupakan salah satu faktor ketertarikan masyarakat muslim
untuk mengkaji ilmu medis.
Ketiga, metode pembelajaran medis di bîmâristân terorganisir dan
menerima siapapun yang hendak ingin belajar ilmu medis. Metode belajar seperti
25
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 118.
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., hal. 13.
27
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in
Egypt..., h.6. Lihat juga, Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu
Hindawi Litta‟limi Wassakofah, 2012), h. 21., Ibn Abî Usaybi'ah.‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat alAtibba', Juz 2..., hal. 216., Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of
Hospitals..., hal. 127.
28
Akram M. Dajani. Medical Education..., h. 168.
26
41
itu hanya bisa ditemukan dalam institusi bîmâristân. Karena mahasiswa bebas
memilih guru atau pembimbing, namun tetap berada dalam aturan-aturan
organisasi bîmâristân.29 Jika kita bandingkan metode pembelajaran ilmu medis
antara sebelum dan sesudah terjadinya transformasi, maka kita bisa melihat
perbedaannya dari aspek metode pengajarnya (al-sa’ur). Pada awal Islam sampai
sebelum abad ke-4 H, ilmu medis diajarkan secara turun-temurun, seperti yang
telah dipraktekan oleh Nazar bin al-Harîts bin al-Khâladah al-Taqafî (meningga
abad ke-2 H) yang belajar ilmu medis dari ayahnya al-Harîts b. al-Khâladah,30
Hunayn bin Ishâq mengajar anaknya Daud dan Ishâq dan Tsabit bin Qurrah
mengajar anaknya Sinân bin Tsâbit.31 Juga, keluarga yang terkenal sebagai ahli
medis secara turun temurun yaitu keluarga al-Bukhtîsyû‟. Keluarga ini
mempunyai 11 orang ahli medis yang mengabdikan diri dalam daulah
„Abbasiyyah.32
Sedangkan, setelah terjadinya transformasi bîmâristân yang terjadi setelah
abad ke-4 H. Metode pengajaran ilmu medis dipraktekan secara terorganisir dalam
sebuah institusi pendidikan ilmu medis, atau dikenal sebutan bîmâristân. Metode
seperti ini digambarkan oleh Ibnu Nafis (Abu „Al-„Ala‟i Ali) ketika ia
mengunjungi bîmâristân An-Nuri, dalam rangka pertemuan para dokter terkemuka
pada masa itu.33 Pertemuan itu dihadiri oleh Ad-Dahwâr Muhazibudîn
„Abdurrahîm (ahli mata), Radiuddîn ar-Rahabi (guru dari Ad-Dahwâr), Dr. Imran
Israili, Ibnu Abi `Usahaibi`ah, Badruddin al-Muzaffar, „Abdul Latîf al-Muhandis
dan Yusuf as-Sabti.34 Pertemuan tersebut berlangsung di ruangan yang cukup luas
di dalam bangunan rumah sakit. Ruangan tersebut dilengkapi dengan buku-buku
kedokteran yang berjejer rapi. Ruangan tersebut, biasa digunakan unutuk
perkuliahan ilmu medis bersama calon-calon dokter.35
29
Akram M. Dajani. Medical Education..., h. 171.
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 119.
31
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: 2014), h. 4. Lihat juga,
Ibn Abî Usaybi'ah.‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 1..., h. 215 – 226.
32
Ibn Abî Usaybi'ah.‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 1..., h. 123 – 148. Juga,
disebutkan oleh Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 119.
33
Sulaiman Fayyad. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler (Yogyakarta:
1993), h. 16.
30
34
35
Sulaiman Fayyad. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h, 23.
Sulaiman Fayyad. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h, 23-25.
42
Dari gambaran yang dijelaskan oleh Ibnu Nafis tersbut, penulis ingin
menyatakan bahwa perkuliahan tersebut diikuti oleh siapa saja masyarakat
muslim yang ingin mendalami ilmu medis. Tanpa harus ada sebuah ikatan
kekeluargaan (turun-temurun) dengan sang guru (tabib) senior. Oleh karena itu,
masyarakat Muslim lebih mudah untuk mengakses ilmu-ilmu medis, jika
dibandingkan pada masa sebelum terjadinya transformasi bîmâristân.
Dari ketiga faktor tersbut penulis menyimpulkan bahwa era baru dalam
dunia medis yang mencapai kegemilangan merupakan hasil dari sebuah
transformasi bîmâristân. Transformasi bîmâristân mengindikasikan perubahan dan
keberhasilan ahli medis Islam yang sukses dalam mengembangkan ilmu medis
menjadi kiblat atau tolak ukur kemajuan ilmu medis dunia. Sehingga institusi
bîmâristân patut penulis katakan sebagai salah salah satu simbol peradaban dunia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rumah sakit Islam (bîmâristân) dalam sejarah kebudayaan Islam klasik
(abad ke-2 H/8 M – 7 H/13 M) telah terjadi transformasi pada aspek fungsinya,
dari sebagai pusat medis menjadi pusat medis sekaligus pusat pendidikan medis
(dwi fungsi). Pada abad ke 2-3 H, rumah sakit masih hanya menjadi pusat medis,
dan pendidikan medis masih dilakukan di berbagai tempat, seperti masjid, baitul
hikmah, house of science (rumah ilmu),
dan sekolah kedokteran teoritis.
Kemudian, pada abad ke-4 H, merupakan puncak transformasi, yang menjadikan
fungsi rumah sakit menjadi pusat medis dan pusat pendidikan medis.
Dari pemaparan hasil penelitian penulis, akhirnya terjawab pertanyaan
besar terkait rumusan masalah yang menjadi fokus kajian penulis. Berdasarkan
fakta-fakta yang telah penulis himpun dan olah, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Transformasi rumah sakit Islam (bimaristan) disebabkan oleh beberapa
faktor, diahtarahya; pertama, peran khalifah sebagai penguasa penentu
kebijakan
pemerintahan,
dalam
hal
ini
kebijakan
terkait
dengan
pengembangan Ilmu medis dan ilmu pengetahuan yang lainnya, seperti
filsafat, astronomi, matematika, dll. Kedua, gerakan penerjemahan yang masif
yang dilakukan oleh para penerjemah yang kompeten dalam menerjemahkan
karya-karya ilmu kedokteran bangsa Yunani, Hindia, dan Persia, ke dalam
bahasa Arab. Ketiga, pengaruh budaya Persia, rumah sakit Islam mendapat
pengaruh langsung dari akademi Jundîshâpûr, sebagai basis pusat ilmu medis
pada era Dinasti Sassanian, pada masa Shapur II (309-379 M).
2.
Transformasi rumah sakit Islam (bimaristan) memberikan dampak positif
terhadap perkembangan ilmu medis dan mempengaruhi minat umat Islam
untuk mengkaji ilmu medis. Ilmu medis Islam menjadi kiblat ilmu medis
dunia. Baghdad sebagai pusat kekhilafahan abad pertengahan juga menjadi
pusat kajian ilmu medis. Meskipun, penulis juga tidak menafikan
43
44
perkembangan ilmu medis di pusat kota-kota besar Islam, seperti Kairo Mesir, Damaskus, Al-Qayrawan (ibu kota Arab dari Tunisia), Rayy (Iran)
dan Cordoba. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa rumah sakit
Islam menjadi salah satu simbol peradaban Islam.
B. Saran
Melalui skripsi ini penulis berusaha untuk menjadi penggiat kajian sejarah
ilmu medis, atau lebih tepatnya kajian lembaga rumah sakit Islam (bîmâristân).
kajian rumah sakit Islam masih terbilang minim, sehingga menurut penulis sangat
tepat jika penulis melakukan kajian rumah sakit Islam dalam perkembangan
sejarah peradaban Islam. Meskipun penulis merasa cukup sulit untuk mendaptkan
sumber primer, karena rentang waktu yang sangat jauh. Penulis mengambil tahun
dari abad ke-2 H sampai abad ke-7, karena proses transformasi rumah sakit Islam
berlangsung pada rentang waktu tersebut. Meskipun, terjadinya transformasi
tersebut berlangsung pada abad ke-4 H dan sesudahnya. Oleh karena itu, dengan
rentang waktu yang begitu panjang, penulis hanya mampu menemukan beberapa
sumber yang dijadikan sebagai sumber primer, diantaranya adalah karangan Ibn
Abî Usaybi'ah yang berjudul ‘Uyûn al-Anbâ` fî Tabaqât al-Atibbâ`, ia adalah
tokoh yang lahir abad ke-13 dan menulis buku tersebut. Ia dikenal sebagai
sejarwan kedokteran pertama.
Kajian ini akan menjadi menarik jika diperkaya dengan sumber-sumber
primer. Karena setelah ditelusuri keberbagai sumber, tranfomasi bîmâristân ini
memiliki efek yang sangat besar terhadap kemajuan ilmu medis dunia. Peran
bîmâristân yang mengemban dua tanggung jawab, sebagai pusat medis dan
sebagai pusat pendidikan medis, ternyata bukan melemahkan perannya sebagai
institusi. Namun, justru sebaliknya, dengan
terjadinya transformasi banyak
perubahan dalam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan secara umum.
Maka dari itu, penulis sebagai peneliti ilmu medis (bîmâristân)
menyarankan, kepada para pengkaji, pendidik, dan kepada yang mempunyai
wewenang (kebijakan) terkait dengan ilmu medis dan kedokteran, serta rumah
sakit, menyarankan:
45
a. Kepada pengkaji (peneliti lain) terkait ilmu medis, dalam hal ini yang
dimaksudkan adalah rumah sakit. Penulis menyarankan kajian lebih
konpherensif lagi terkait institusi rumah sakit, karena penulis sadar
betul akan kekuarangan kajian ini.
b. Kepada pendidik (lembaga medis). Metode pembelajaran medis yang
telah diterapkan pada abad pertengahan yang menggabungkan antara
teoritis dengan praktis eksperimental, sebagai bentuk akibat dari
transformasi rumah sakit. Penulis menilai metode seperti itu mampu
diterapkan di lembaga-lemabaga medis di Indonesia dan mampu
menghasilkan para dokter yang benar-benar ahli serta kompeten
dalam bidang kedokteran.
c.
Kepada pemegang kebijakan (pemerintahan). Dukungan yang kuat
(moril dan materil), terhadap realisasi pengembangan ilmu medis di
Indonesia. Sebagaimana yang telah dicontohkan dalam sejarah Islam,
para khalifah memberikan dukungan penuh – penerjemahan,
pebangunan rumah sakit, serta dilengkapi dengan kaya sumber
bacaan – melalui lembaga waqaf dalam hal pendanaan (materil) dan
pribadi diri khalifah yang cinta akan ilmu pengetahuan (moril).
Wallau’alam Bishawwab
Daftar Pustaka
Buku
‘Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in
Egypt. Diterjemahkan oleh Dols, Michael W, tahun 1942. Judul asli
buku tersebut adalah Risâlah fî daf’mdârr al-abdân bi-ard Misr.
London: University of Clifornia Press, 1984.
‘Isa, Ahmad. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam. Mesir: Muassasatu Hindawi
Litta’limi Wassakofah, 2012.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, cet. Ke-2, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Al-Gazal, Sharif Kaf. The Origin of Bimaristans (Hospital) in Islamic Medical
History. United Kingdom: FSTC, 2007.
Ariyanti, Fajar. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta Selatan: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
B. Risse, Guenter. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals. New
York: Oxford University Press, 1999.
Bakar, Osman. The History And Philosophy
Islamic Text Society, 1999.
Of Islamic
Science, Britis:
Fayyadh, Sulaiman. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler.
Yogyakarta: CV. PUSTAKA MANTIK, 1993.
Ibn Abî Usaybi'ah. At-Tibul al-Islâm 1, ‘Uyûn al-Anbâ’ fî Tabaqat at-tibba'.
A.Muller (ed). Frankfurt: Universtas Frankfurt, 1995.
Ibn Abî Usaybi'ah. At-Tibul al-Islâm 2, ‘Uyûn al-Anbâ’ fî Tabaqat at-tibba'.
A.Muller (ed). Frankfurt: Universtas Frankfurt, 1995.
Khan, Muhammad Mojlum. 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah.
Penerjemah, Wiyanto Suud, Khairul Imam; editor, Hanif. Jakarta:
Noura Books, 2012.
Madjid, M. Dien dan Wahyudi, Johan. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta:
Kencana, 2014.
Mustofa Dâhiri, ‘Abdul Wahhâb. ‘Imâratu al-Mujma’ât wa al-Mabâni atTabiyyah (al-Bîmâristânât) fi al-Islâm. e-Book from www.alukah.net.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intlektual Barat, Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Nasr, Sayyed Husein. Science and Civilization in Islam. Harvard University
Press, Massachussets, UK.,1968.
46
47
Nasr, Sayyed Husein. Science and Civilization in Islam. Massachussets,
Harvard University Press, 1968.
UK :
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. cet. Ke-12, Jakarta: Bulan
Bintang, 2014.
Saad, Bashar dan Said, Omar. Greco – Arab and Islam Herbal Medicine;
tradisional system, etnict, Safety, efficacy, and regulator issu,
Singapur: WILEY, A John Wiley & Sons, Inc., 2011.
Ullmann, Manfred. Islamic Medicine. Inggris: Edinburg University Press, 1978.
Yamani, Ja’far Khadem. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya. Cet1, Bandung: Dzikra, 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Jurnal dan Artikel
Afshar, Mohammad Reza. Jundishapur, A Symbol of Intercultural Understanding.
Sebuah jurnal Jundishapur J Microbiol, 03 Juli 2012. Ahvaz, IR Iran.
Ameera. Rumah Sakit dalam Peradaban Islam. Diakses pada tanggal 20 Mei
2016.
http://www.arrahmah.com/news/2013/11/16/rumah-sakitsejarah-peradaban-islam-2.html#sthash.m7tythEe.dpuf.
Assidiq,Yusuf. Tata Letak Rumah Sakit. Republika Khazanah: Senin, 22
November 2010.
Yusuf Assidiq. Babak Kemajuan Kedokteran Islam. Republika Khazanah: Rabu,
28 Juli 2010.
Dajani, M. Akram. Medical Education in Islam Civilization, artikel JIMA: Vol.
21, Jordan, 1989.
El Ayadi, Mohammed. Les maristanes dans le monde arabo-musulman. Jurnal
sejarah ilmu medis, TOME XXVIII, No. 2. Maroko, Casablanca,
1994.
Mat Sidek, Roziah Sidik. Transformation of Hospital in the Islamic Civilization
From Medical Treatment Centre into a Teaching Hospital,
Malaysia: Medwell Journal, 2012.
Matin, Usep Abdul. Fake Vaccines Versus Hospitality, dipublikasikan di Jakarta
Pos pada hari Jum’at, 5 Augustus tahun 2016, 03:38 pm. Diakses
melalui
web:
:
http://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/05/fake-vaccinesversus-hospitality.html.
Nowshera, A. R. Muslim Hospitals In The Medieval Period. Islamic Studies,
1983.
48
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine, Light in The
Dark Ages. Jurnal UWOMJ, 2008.
Rodini, Mohammad Amin. Medical Care in Islamic Tradition During the Middle
Ages. Iran: International Journal of Medicine and Molecular Medicine,
2012.
Surawardi. Sistem dan Kelembagaan Pendidikan Islam Periode Madinah, Jurnal:
Management of Education, Volume 1, Issue 2.
Tabbaa, Yasser. The Functional Aspects of Medieval
capter five.
Islamic Hospitals, -
Virk, Zakaria. Medical Breakthroughs in Islamic Medicine, Canada.
Zaimeche, Salah, dkk. Bagdad, United Kingdom: FSTC Limited, 2015. Negoita,
Ana Maria. The City Of Mansur The Builder. Baghdad Between The
Caliph’s Will And Shari’ah Norms. Artikel University of Bucharest,
Bucharest, 2011.
Skripsi, Tesis dan Disertasi
Mu’min Anis ‘Abdullah al-Baba. Albimaristanatu Al-Islamiyati Hatta Nihayati
Al-Khilafah Al-Abbasiyah (1-656 H/622-1258 M), Palestina: AlJami’ah Al-Islamiyah Biguzzah, 2009.
Mustafa al-Ansari. Bimaristan and Waqf in Islam, Case Studies Of Hospital
Endowments During 9th-13th Century Ce In The Muslim World.
Sebuah tesis dari fakultas seni dan ilmu sosial, jurusan Arab dan studi
Islam, di Universitas Sydney, Australi, tahun 2013.
LAMPIRAN
Lampiran 1. 5 – Rancangan bangunan rumah sakit an-Nuri di Damaskus
Sumber: https://www.pinterest.com/pin/503418064575800298/
(akses, 03 Januari 2016)
49
50
Lampiran 1.4 – Rumah sakit an-Nûri. Rumah sakit ini dibangun oleh Nur ud-Din
Zanki pada 1154 sebagai rumah sakit dan sekolah kedokteran. RS ini memiliki
kedudukan penting sebagai lembaga medis dan paling maju pada masanya serta
terus berfungsi sebagai rumah sakit sampai abad ke-19. Bangunan ini kini
difungsikan sebagai museum kedokteran Islam.
Sumber: http://keprimedia.com/2016/09/15/rumah-sakit-tertua-dalam-sejarahislam/
(akses, 03 Januari 2017)
51
Lampiran 1.1 – Ilustrasi yang menggambarkan pengajaran ilmu medis oleh
‘Abdullah Ibn Bukhtîsyû’ (940-1058 M) kepada muridnya.
Sumber:
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Rare_medical_manuscript_in_Arabic_script_f
rom_the_Manuscript_Institute.jpg#/media/File:Rare_medical_manuscript_in_Arabic_sc
ript_from_the_Manuscript_Institute.jpg
(akses : 28-11-2016, 10.02 WIB)
52
Lampiran 1.2 – Batu Akrad untuk Waqaf Bîmâristân yang menempel di pintu
Bimaristan.
Sumber: Gambar ini diambil dari buku sejarah Bîmâristân yang ditulis oleh
Ahmad ‘Isa yang diterbitkan pada tahun 2012 di Mesir.
Lampiran 1.3 – Ilustrasi pengobatan yang dilakukan oleh thabib (dokter) yang
dikelilingi oleh para murid.
Sumber: http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/doktermuslim-saat-mengobati-pasien-ilustrasi-_120612210522-497.jpg
(akses, 03 Januari 2017)
Download