BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian Pengertian paradigma menurut Dedy Mulyana (2003) dalam Tahir (2011: 59) mendefinisikan paradigma sebagai suatu kerangka berpikir yang mendasar dari suatu kelompok saintis (ilmuwan) yang menganut suatu pandangan yang dijadikan landasan untuk mengungkap suatu fenomena dalam mencari fakta. Definisi yang hampir sama juga diungkapkan oleh Bogdan dan Bikler (1982) dalam Tahir (2011: 59) yang menyatakan bahwa paradigma adalah sekumpulan anggapan dasar mengenai pokok permasalahan, tuuan, dan sifat dasar bahan kajian yang akan diteliti. Jadi, paradigma dapat didefinisikan sebagai acuan yang menjadi dasar bagi setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya (kaptenunismuh.blogspot.co.id). Adapun paradigma kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma post-positivist dengan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian dengan pendekatan ini adalah satu model penelitian humanistik yang menempatkan manusia sebagai subjek utama dalam peristiwa sosial atau budaya. Sifat humanis tersebut terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Pendekatan ini juga memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap sesuatu yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda, yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. Dengan demikian dalam penelitian kualitatif, realitas yang tampak tersebut, jawabannya tidak cukup dicari sampai pada batas apa yang menyebabkan realitas tersebut, tetapi dicari sampai pada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh karena itu, tahap pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan individu atau kelompok yang dipilih sebagai informan yang dianggap mengetahui atau memahami tentang entitas tertentu. Universitas Sumatera Utara 2.2 Kajian Pustaka Dalam sebuah penelitian, kerangka teori merupakan poin penting yang perlu diperhatikan terlebih dahulu sebab kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang penting yang diketahui dalam suatu masalah tertentu. Istilah teori menunjuk pada sumber penyusunan kerangka, yang bisa berupa teori yang ada, definisi konsep, atau malah dapat pula dari logika yang dibangun oleh peneliti sendiri (Rumengan, 2010: 20). Penelitian merupakan suatu karya ilmiah yang memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti permasalahannya. Oleh karena itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut pandang mana masalah akan disoroti (Nawawi, 2001:39-41). 2.2.1 Komunikasi Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu communicatio, yang bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Maka komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2000: 9). Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah peristiwa komunikasi, jadi kalau satu komponen kurang maka komunikasi tak akan terjadi. Dia berkata komunikasi merupakan: 1) transmisi informasi; 2) transmisi pengertian; dan 3) menggunakan simbol-simbol yang sama (Liliweri, 2004: 7). Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication) bahwa komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang mengkehendaki orang –orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan Universitas Sumatera Utara antarsesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (Book, 1980). Definisi berikutnya dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2006: 18-19). Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga menekankan kesamaan atau kebersamaan. Komunitas adalah sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa komunikasi tidak akan ada komunitas. Komunitas bergantung pada pengalaman dan emosi bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh karena itu, komunitas juga berbagi bentuk-bentuk komunikasi yang berkaitan dengan seni, agama dan bahasa, dan masing-masing bentuk tersebut mengandung dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang mengakar kuat dalam sejarah komunitas tersebut (Mulyana, 2007: 46). Penjelasan mengenai pengertian istilah komunikasi juga disampaikan oleh Bernardo Atias (2000) mengatakan bahwa komunikasi itu harus mempertimbangkan tiga model komunikasi (model retorikal dan perspektif dramaturgi, model transmisi, dan model ritual). Jadi komunikasi itu: 1) membuat orang lain mengambil bagian, menanamkan, mengalihkan berita atau gagasan; 2) mengatur kebersamaan untuk...; 3) membuat orang yang terlibat memiliki komunikasi; 4) membuat orang saling berhubungan; dan 5) mengambil bagian dalam kebersamaan. Sementara Walstrom (1992) menampilkan beberapa definisi komunikasi, yakni: 1. Komunikasi antarmanusia sering diartikan dengan pernyataan diri yang paling efektif. Universitas Sumatera Utara 2. Komunikasi merupakan pertukaran pesan-pesan secara tertulis dan lisan melalui percakapan, atau bahkan melalui penggambaran yang imajiner. 3. Komunikasi merupakan pembagian informasi atau pemberian hiburan melalui kata-kata secara tertulis atau lisan dengan metode lainnya. 4. Komunikasi merupakan pengalihan informasi dari seorang kepada orang lain. 5. Pertukaran makna antara individu dengan menggunakan simbol yang sama. 6. Komunikasi adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui suatu saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu. 7. Komunikasi adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis melainkan melalui bahsa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna (Liliweri, 2004: 7-8) 2.2.2 Komunikasi Antarbudaya Definisi komunikasi antarbudaya seperti yang disampaikan oleh Sitaram (1970) adalah seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan. Kemudian Samovar dan Porter (2003) berpendapat bahwa komunikasi antarbudaya terjadi ketika bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya. (Lubis, 2012: 12). Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader, menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku, bangsa, etnik dan ras, antar kelas sosial. Kemudian Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang Universitas Sumatera Utara kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Liliweri, 2004: 11) Seluruh definisi di atas memberi penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Oleh karena itunya, komunikasi antarbudaya memenag mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai perbedaan-perbedaan di antara peserta komunikasi dengan karakteristik yang dibawanya. Guo-Ming dan William J. Starosta juga turut memberikan kontribusi mengenai definisi komunikasi antarbudaya secara gamblang. Mereka mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan: 1) Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan; 2) Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama; 3) Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; 4) Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara (liliweri, 2004: 11-12). Asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka terdapat enam asumsi, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan 2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi 4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan 6. efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2004: 15). 2.2.2.1 Fungsi Komunikasi Antarbudaya Secara umum dijelaskan bahwa ada empat kategori fungsi utama komunikasi yakni fungsi informasi, fungsi pendidikan, fungsi persuasif dan fungsi menghibur. Apabila empat fungsi utama tersebut diperluas maka akan diperoleh dua fungsu, antara lain: 2.2.2.1.1 Fungsi Pribadi Fungsi pribadi komunikasi antarbudaya adalah fungsi-fungsi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu, yaitu: 1. Menyatakan identitas sosial Ada beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas sosial dalam proses komunikasi antarbudaya. Perilaku tersebut dinyatakan melalui tindakan berbahasa, baik secara verbal maupun nonverbal. Hal inilah yang dapat dijadikan sebagai indikator oleh orang lain untuk menentukan identitas sosial yang dimiliki oleh seorang individu, misalnya seperti asal-usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan seseorang. 2. Menyatakan integrasi sosial Universitas Sumatera Utara Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi ataupun antarkelompok namun harus tetap mengakui perbedaanperbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Adapun salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan. Apabila diamati dalam konteks komunikasi antarbudaya, proses pertukaran pesan yang terjadi melibatkan perbedaan budaya di antara para pelaku komunikasi, di mana keberhasilan komunikasi yang berlangsung akan sangat berdampak baik dalam menciptakan integritas sosial. Oleh karena itu, pada praktiknya perlu diterapkan prinsip utama dalam proses pertukaran pesan komunikasi antarbudaya, yaitu : saya memperlakukan Anda sebagaimana kebudayaan Anda memperlakukan Anda bukan sebagaimana yang saya kehendaki. 3. Menambah pengetahuan Perbedaan budaya yang dilibatkan dalam suatu proses komunikasi tentunya memberikan manfaat yang baik antara satu dengan yang lain, sebab informasi yang dimiliki oleh pelaku komunikasi berbeda. Proses komunikasi memungkinkan terjadinya proses belajar dan berbagi informasi yang dapat menambah wawasan maupun pengetahuan bersama khususnya mengenai kebudayaan satu sama lain. 4. Melepaskan diri atau jalan keluar Proses komunikasi yang dilakukan oleh seorang individu dengan orang lain terkadang dapat terjadi atas dorongan untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Pilihan komunikasi seperti itu dikatakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang komplementer dan hubungan yang simetris. Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai perilaku yang berbeda. Perilaku seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku komplementer dari yang lain. Perbedaan di antara dua pihak dalam hubungan komplementer dimaksimumkan. Orang menempati posisi yang berbeda, yang satu atasan-yang lain bawahan, yang satu aktif-yang lain pasif, yang satu kuat-yang Universitas Sumatera Utara lain lemah. Sebaliknya, hubungan yang simetris dilakukan oleh dua orang yang saling bercermin pada perilaku yang lainnya. Hubungan ini bersifat setara atau sebanding dengan penekanan yang meminimalkan perbedaan di antara kedua orang yang bersangkutan. 2.2.2.1.2 Fungsi Sosial Fungsi sosial komunikasi antarbudaya adalah fungsi-fungsi yang berguna bagi masyarakat sekitar, antara lain: 1. Pengawasan Fungsi sosial yang pertama adalah pengawasan . Praktik komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Fungsi ini bermanfaat dalam setiap proses komunikasi antarbudaya untuk menginformasikan perkembangan tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi di sekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda. Akibatnya adalah kita turut mengawasi perkembangan sebuah peristiwa dan berusaha mawas diri seandainya peristiwa tersebut terjadi pula di lingkungan kita. 2. Menjembatani Fungsi komunikasi yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda kebudayaan merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani ini dapat dikontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. Fungsi ini dijalankan pula oleh berbagai konteks komunikasi termasuk komunikasi massa. Media massa membantu khalayak untuk menginterpretasi secara tepat apa yang terjadi tentang lingkungan. 3. Sosialisasi Nilai Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat Universitas Sumatera Utara lainnya. Nilai-nilai berkembang dalam suatu masyarakat bermula dari rumah tempat sebuah keluarga berkumpul dan berlindung. Setiap keluarga menanamkan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga. Ketika seseorang keluar dari rumahnya, dia akan membawa serta nilai-nilai yang diperolehnya dan saling bertukar dengan nilai-nilai yang didapat dari luar serta menjadikannya sebagai pembelajaran dan pengalaman yang baru. Sosialisasi nilai sangat diperlukan untuk mengurangi peristiwa kejut budaya (culture shock) dalam situasi kultural yang berbeda. 4. Menghibur Fungsi menghibur juga sering tampil dalam komunikasi antarbudaya. Misalnya seperti menonton pertunjukan kebudayaan tertentu. Hiburan tersebut termasuk dalam kategori hiburan antarbudaya (Lubis, 2012: 22-35). 2.2.2.2 Hambatan Komunikasi Antarbudaya Chaney & Martin (2004) mengemukakan bahwa hambatan komunikasi (communication barrier) dalam komunikasi antarbudaya (intercultural communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air, di mana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), grup cabang (subcultures group). Sedangkan hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di atas air (above waterline) ada sembilan. Hambatan komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik, Hambatan-hambatan tersebut menurut Chaney & Martin (2004) adalah: Universitas Sumatera Utara a. Fisik (physical) Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik. b. Budaya (cultural) Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada di antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. c. Persepsi (perceptual) Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal setelah berinteraksi dan berkomunikasi. Oleh karena itu, untuk mengartikan sesuatu, setiap budaya akan memiliki pemikiran yang berbeda-beda. d. Motivasi (motivational) Hambatan ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar. Artinya, apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi. e. Pengalaman (experiential) Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu. f. Emosi (emotional) Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi terdengar sangat buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui. g. Bahasa (linguistic) Hambatan ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan. h. Nonverbal Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah Universitas Sumatera Utara wajah marah yang dibuat oleh si penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada si penerima pesan. i. Kompetisi (competition) Hambatan ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular sambil menyetir. Situasi ini tentunya akan menyebabkan tidak maksimalnya proses penerimaan pesan. 2.2.2.3 Tujuan Komunikasi Antarbudaya 1. Mengurangi Tingkat Ketidakpastian Gudykunstt dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni: 1) Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal. Jadi, pada tahapan ini akan muncul pertanyaan seperti apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi; 2) Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah saya seperti dia?; Apakah dia mengerti saya?; apa merugikan waktu saya jika berkomunikasi dengan dia, atau pertanyaan lainnya yang serupa, 3) Closure, merupakan tahap di mana seseorang mulai membuka diri dari yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan seseorang. Pertanyaan yang relevan adalah apa yang mendorong dia berkata, berpikir, atau Universitas Sumatera Utara bertindak demikian. Jika seseorang menampilkan tindakan yang positif, maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang tersebut, karena alasan dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya, jika seorang itu menampilkan tindakan yang negatif, maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula. Sementara itu, kita juga dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit. Karena di saat awal komunikasi atau pada bagian pra-kontak, telah memberikan kesan bahwa orang itu baik, maka semua sifat positifnya akan mengikuti dia, misalnya karena dia baik maka beranggapan bahwa dia pun jujur, ramah, setia kawan, penolong, tidak sombong, dan lainnya. 2. Efektifitas Antarbudaya Manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat bergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manjemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi serta mengurangi konflik (Liliweri, 2004: 19-20). 2.2.3 Persepsi Persepsi sebagai fokus kajian mendasarkan pada asumsi persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran merupakan inti persepsi, identik dengan penyandian balik dalam proses komunikasi. John R. Wienburg dan William W. Wilmot menyatakan bahwa persepsi adalah cara memberi makna, sedangkan Rudolph F. Verderber, persepsi adalah menafsirkan informasi inderawi atau J. Universitas Sumatera Utara Cohen juga memberi definisi yang kurang sama, yaitu interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representasi objek eksternal, pengetahuan yang tampak yang ada di luar diri. Dengan persepsi partisipan komunikasi akan memilih pesan apa yang diterima atau menolak suatu pesan. Persepsi yang sama akan memudahkan partisipan komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan (Purwasito, 2003: 172-173). Selain itu, Sihabudin (2011: 38) dalam bukunya ―Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi‖ turut memberikan sumbangsih mengenai pengertian persepsi. Ia menyatakan: ―Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sebagai hasil dari cara merekea mempersepsi dunia (lingkungannya) sedemikian rupa. Perilakuperilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Artinya, kita merespons kepada suatu stimuli sedemikian rupa, sesuai dengan budaya yang telah diajarkan kepada kita. Budaya menentukan kriteria mana yang penting ketika kita mempersepsi sesuatu‖. De Vito menjelaskan bahwa persepsi berangkat dari diri sendiri dalam perjumpaan (encounter) dengan orang lain, mempengaruhi indera kita melalui umpan-balik yang berharga (kesadaran) mengenai perasaan, pemikiran, dan perilaku kita sendiri. Dari perjumpaan tersebut lahir suatu kesadaran tertentu, yaitu bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Ini adalah pengukuhan positif yang membantu diri seseorang biasa-biasa atau normal-normal saja hidup dalam lingkungan multikultural. Oleh sebab itulah, Philip Goodacre dan Jennifer Foolers menyebut persepsi sebagai prose mental yang digunakan untuk mengenali rangsangan (Purwasito, 2003: 173). Persepsi sosial seseorang sangat tergantung dari pengalaman, seleksi, dan evaluasi seseorang. Persepsi tersebut muncul karena setiap penilaian dan seleksi seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan standar budaya sendiri. Sedangkan budaya asing yang dicurigai berpengaruh negatif dan sering ditentukan Universitas Sumatera Utara sebagai upaya merusak budaya sendiri. Kenyataan ini memungkinkan setiap bangsa atau kelompok masyarakat berusaha untuk melindungi kebudayaannya dari ketergerusan budaya lain yang dianggapnya merusak. Persepsi dalam konteks komunikasi antarbudaya cukup menarik perhatian para ilmuwan-ilmuwan komunikasi untuk memberikan pandangan. Tidak terkecuali Larry A. Samovar (2010) yang secara gamblang menjelaskan bahwa persepsi adalah bagaimana suatu budaya mengajarkan anggotanya untuk melihat dunia ini dengan cara yang berbeda. Ia menyatakan, persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Tidak ada kenyataan selain yang ada di dalam diri tiap individu dan sebagian oleh budayanya. Dunia yang ada di dalam diri individu meliputi simbol, benda,manusia, peristiwa, ideologi dan bahkan iman. Persepsi seseorang mengartikan pengaruh eksternal dengan mengizinkan dirinya untuk menginterpretasi, mengelompokkan, dan mengatur stimulus yang dipilih untuk dimonitor. Ia menyimpulkan, persepsi merupakan proses di mana orang-orang mengubah kejadian dan pengalaman eksternal menjadi pengalaman internal yang berarti. Pendapat tersebut berhubungan dengan pernyataan Marshal Singer (1987): ―We experience everything in the world not ―as it is‖—because there is no way that we can know the world ―as it is‖—but only as the world comes to us through our sencory receptors. From there, these stimuli go instantly into the ―data-storage banks‖ of our brains, where they have to pass through the filters of our censor screen, our decoding mechanism, and the collectivity of everything we have learned from the day we were born‖. (Kita mengalami segala sesuatu di dunia ini bukan ―sebagaimana adanya‖ — namun hanya ketika dunia ini datang kepada kita melalui alat indera kita. Dari sana, rangsangan diteruskan langsung ke dalam bank penyimpanan-data otak kita, di mana rangsangan itu harus melewati filter layar sensor, mekanisme penafsiran kode kita, dan kumpulan dari segala sesuatu yang telah kita pelajari sejak kita dilahirkan‖). Universitas Sumatera Utara Persepsi, sebagaimana dikatakan John R. Wenburg dan William W. Wilmot, diartikan sebagai cara organisme memberi makna. Jadi, persepsi merupakan suatu suatu proses menafsirkan pesan atau informasi melalui inderawi. Persepsi oleh ahli komunikasi dianggap sebagai inti komunikasi karena persepsi menjadi pijakan utama penerimaan pesan. Pesan diterima secara akurat atau tidak akurat dalam tindak komunikasi yang berhasil, sangat tergantung pada persepsi seseorang. Persepsi menentukan seseorang memilih suatu pesan atau mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan para partisipan komunikasi akan semakin tinggi tingkat intensitas dan frekuensi mereka dalam berkomunikasi. Ini artinya bahwa persepsi dan referensi yang sama mendorong orang untuk saling hidup berkumpul dan membentuk kelompok (Purwasito, 2003: 175-176). Samovar dan Porter (Lubis, 2012: 61) menjelaskan bahwa para pakar komunikasi antarbudaya mengakui bahwa persepsi budaya adalah sesuatu yang kompleks, abstrak, dan pervasif (berubah sejalan dengan waktu). Tetapi dapat dijelaskan dengan melihat tiga elemen penting dari persepsi guna menghasilkan efek komunikasi yang diinginkan bersama di antara orang-orang yang berbeda budaya. Ketiga elemen tersebut adalah : pandangan dunia, sistem lambang dan organisasi sosial. 2.2.3.1 Pandangan Dunia Untuk memahami dunia, nilai-nilai dan tindakan-tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka persepsinya. Dalam berkomunikasi antarbudaya yang ideal kita berharap banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi budaya. Tetapi karakter budaya berkecenderungan memperkenalkan kita pada pengalaman-pengalaman yang tidak sama atau berbeda berdasarkan pandangan dunia (world view) yang terbentuk semula. Oleh sebab itu, ia membawa persepsi budaya yang berbebda-beda pada dunia luar budaya sendiri (Lubis, 2012: 63). Sarbaugh (1988) dan Liliweri (2003: 152), menjelaskan pandangan dunia sebagai sistem kepercayaan yang membentuk seluruh sistem berpikir tentang Universitas Sumatera Utara sifat-sifat ―sesuatu‖ secara keseluruhan dan kesannya terhadap persekitaran. Pandangan dunia merupakan struktur yang dipengaruhi oleh kebudayaan yaitu kebudayaan telah menerima peranan yang berbagai, kemudian menggerakkan atau membentuk sejenis semangat kepada individu untuk menjelaskan sebuah peristiwa. Seringkali pandangan dunia dianggap sebagai rumusan persepsi dan andaian fundamental yang meliputi cara sebuah kebudayaan mengajarkan anggotanya untuk menerangkan sebuah sistem kepercayaan, nilai baik dan buruk, serta cara berperilaku (Lubis, 2012: 64). Seterusnya Paige dan Martin (1996) menjelaskan bahwa pandangan dunia merupakan suatu lensa daripada pandangan manusia yang memandang realitas dunia tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling dasar daripada suatu budaya. Dengan cara-cara yang tidak terlihat dan tidak nyata, pandangan ddunia sangat mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Oleh karena iitu, sebagai anggota dari suatu budaya, setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada orang yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainnya memandang dunia sebagaimana dia memandanganya. Pandangan dunia membentuk budaya dan berfungsi membedakan satu budaya dengan budaya lainnya (Lubis, 2012: 64-65). Dalam Lubis (2012: 65-71), agama dan sistem kepercayaan, nilai serta perilaku merupakan hal-hal yang ditanamkan melalui pandangan dunia kepada semua anggota dari suatu kelompok atau kebudayaan tertentu. 2.2.3.1.1 Agama dan Sistem Kepercayaan Menurut Mulyana (2004), salah satu kategori pandangan dunia adalah agama. Hal ini terjadi karena di dalam agama lazimnya terdapat ajaran mengenai bagaimana seharusnya manusia itu berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain, alam semesta dan Tuhan. Peranan agama dalam etnis manapun merupakan unsur utama karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan Universitas Sumatera Utara pendidikan, pembinaan, dan pembentukan moral yang dimulai dari dalam keluarga. Adapun kepercayaan menurut pandangannya adalah suatu persepsi pribadi. Kepercayaan merujuk kepada pandangan di mana sesuatu memiliki ciri-ciri atau kualitas tertentu, tidak peduli apakah sesuatu itu dapat dibuktikan secara empirik (logis) atau tidak. Contohnya, angka 9 adalah angka keberuntungan, berdoa dapat menyembuhkan penyakit, menabrak kucing hitam akan membawa kemalangan. Ketika agama dan sistem kepercayaan kita kaitkan dengan konteks komunikasi antarbudaya, kita tidak bisa memvonis bahwa suatu kepercayaan itu salah atau benar. Bila kita ingin membangun komunikasi yang memuaskan dan sukses, maka kita harus menghargai kepercayaan dari lawan bicara kita, sekalipun tidak sesuai dengan apa yang kita percayai. 2.2.3.1.2 Nilai Samovar dan Porter menjelaskan nilai-nilai sebagai aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan. Nilai-nilai budaya tersebut kemudian dipakai oleh individu dalam mempersepsi apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, sejati, palsu, positif, dan negatif. Nilai-nilai rujukan ini tentunya akan mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang sehingga dapat membedakan atau mentaati perilaku mana yang harus dilakukan dan perilaku mana yang harus dihindari. Meskipun individu-individu memiliki penilaian yang unik tentang nilai, tetapi perlu diketahui bahwa nilai-nilai tersebut tidak bersifat universal karena kecenderungannya yang berbeda-beda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya, dan juga nilai-nilai tersebut dipelajari. Nilai-nilai merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dipegang oleh partisipan-partisipan komunikasi antarbudaya karena nilai-nilai tersebut mengembangkan standar-standar dan dapat menjadi panduan dalam membangun tingkat layak atau tidaknya di dalam masyarakat. Eksistensi nilai dalam sebuah kebudayaan memang sangat berpotensi dalam menciptakan kesatuan anggotanya, namun apabila dibaurkan dengan budaya lain maka dapat memicu konflik. Kekhawatiran ini bisa terjadi biasanya bermula dari adanya kecenderungan setiap masyarakat memandang budayanyalah yang terbaik dan inilah yang disebut Universitas Sumatera Utara sebagai etnosentrisme. Memegang nilai-nilai budaya adalah kewajiban tiap anggota dari satu kebudayaan tertentu dan merupakan hal yang baik, namun akan semakin lebih baik ketika masing-masing anggota pun mampu mengembangkan sikap terbuka terhadap informasi, bersedia mengakui perbedaan yang ada serta mampu untuk saling memahami karakter masing-masing dengan jalan membangun isu komunikasi sebagai person to person contact. 2.2.3.1.3 Perilaku Merupakan tindakan nyata dari ketiga poin yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai- nilai dalam suatu budaya akan tampak dalam bentuk perilakuperilaku para anggota budaya sebagaimana dituntut atau diisyaratkan oleh budaya yang bersangkutan. Misalnya, umat Muslim dituntut untuk menjalankan ibadah puasa dalam bulan Ramadhan, umat Katholik dituntut untuk menghadiri misa, dan sebagainya. 2.2.3.2 Sistem Lambang Menurut Ruben (1984: 129-155), perwujudan dari perilaku itu adalah melalui sistem lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, bertulis dan melalui isyarat badan (bahasa tubuh), penampilan dan lain-lainnya (Lubis, 2012: 72). Kultur (budaya) membingkai komunikasi dengan secara langsung mempengaruhi isi dan susunannya. Penggunaan sistem lambang seperti bahasa lisan sehari-hari misalnya, oleh Forgas (1988) mencatat sebagai suatu peristiwa komunikasi di mana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat spesifik. Bahasa merupakan media utama yang digunakan budaya untuk menyampaikan maksud dan tujuan melalui interaksi di antara individu. Bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, Universitas Sumatera Utara menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Oleh karenanya bahasa merupakan suatu sistem yang tidak pasti untuk menyajikan realitas secara simbol. Hal mana ini diakui oleh Ruben (1975: 171) bahwa komunikasi adalah suatu proses yang mendasari intersubjektivitas suatu fenonema yang terjadi sebagai akibat simbolisasi publik dan penggunaan serta penyebaran simbol. Melalui komunikasi individu-individu ‗menyetel‘ perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, dan perilakuperilaku antara satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, makna kata sangat bergantung pula pada berbagai penafsiran individu-individu yang berkomunikasi (Mulyana dalam Lubis, 2012: 73). Komunikasi verbal menurut Mulyana (2003) mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem kode verbal, terbentuk atas seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Andrea L. Rich mengatakan bahwa bahasa sendiri terikat oleh budaya. Setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman bathin, dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda.Banyak kejadian sehari-hari karena kurang memperhatikan perbedaan tersebut misalnya akibat mengucapkan katakata tertentu, yang dimaknai berbeda oleh orang yang berbeda budaya, menyebabkan kesalahapahaman, kebencian, dan keretakan hubungan antarmanusia. Suatu proses komunikasi tidak hanya melibatkan pesan verbal saja tetapi juga pesan non-verbal. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata (Mulyana,2003:308). Sebagai kata-kata kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi konteks dan budaya. Simbol-simbol nonverbal sangat sulit untuk ditafsirkan bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Walaupun demikian kita sering Universitas Sumatera Utara melihat bahwa bahasa nonverbal cenderung selaras dengan bahasa verbal, misalnya setiap gerakan sinkron dengan ucapan, seperti kita menyatakan setuju selalu disertai dengan anggukan kepala. Menurut Liliweri (2003:98-101) ketika berhubungan dengan menggunakan pesan nonverbal ada beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya yaitu: 1. Kinestik, adalah yang berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh. Tampaknya ada perbedaan antara arti dan makna dari gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan 2. Okulesik, adalah gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan suatu makna tertentu, seperti kasih sayang, marah dan sebagainya. 3. Haptik, adalah tentang perabaan atau memperkenankan sejauhmana seseorang memegang dan merangkul orang lain. 4. Proksemik, adalah tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, misalnya makin dekat artinya makin akrab, makin jauh artinya makin kurang akrab. 5. Kronemik, adalah tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap kalau suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau peradabannya maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktu kemudian yang menghasilkan pengertian tentang oramg malas, malas bertanggungjawab, orang yang tidak pernah patuh pada waktu. 6. Tampilan (Appearance) yaitu bagaimana cara seorang menampilkan diri telah cukup menunjukkan atu berkorelasi sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan biologis dan tampilan yang dicari atau di bentuk. Tampilan biologis misalnya warna kulit, warna dan pandangan mata, tekstur dan warna rambut, serta struktur tubuh. Ada stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang dengan tampilan Universitas Sumatera Utara biologis. Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita terhadap orang lain. 7. Posture, adalah tampilan tubuh waktu sedang berdiri dan duduk. Cara bagaimana orang itu duduk dan berdiri dapat diinterpretasi bersama dalam konteks antarbudaya. Misalnya kalau orang Jawa merasa tidak bebas jika berdiri tegak di depan orang yang lebih tua sehingga harus merunduk hormat, sebaliknya duduk bersila di depan orang yang lebih tua merupakan sikap yang sopan. 8. Pesan-pesan paralinguistik antarpribadi adalah pesan komunikasi yang merupakan gabungan antara perilaku verbal dan non verbal. Paralinguistik terdiri dari satu unit suara, atau gerakan yang menampilkan maksud tertentu dengan makna tertentu. Paralinguistik juga berperan besar dalam komunikasi antarbudaya. 9. Simbolisme dan komunikasi non verbal yang pasif, beberapa diantaranya adalah simbolisme warna dan nomor (arkandien.blogspot.co.id). Sebagaimana disinggung di atas, proses verbal merupakan media utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses nonverbal tidak kalah pentingnya digunakan dalam berkomunikasi ataupun lebih penting bahkan walaupun tidak kita sadari. Hasil penelitian dalam Liliweri (2003: 181) menunjukkan bahwa lebih dari 55% komunikasi dilangsungkan melalui proses tidak verbal, 38% dengan suara (paralinguistik) dan 7% dengan kata-kata. Bahkan Samovar,et.al (1981) mengatakan hanya 35% kontak personal dilakukan dengan verbal dan lebih kurang 65% melalui proses nonverbal (melalui isyarat, ekspresi wajah, postur dan gerakan tubuh, penampilan, sentuhan, ruang, waktu dan lainlain) (Lubis, 2012: 74). 2.2.3.3 Organisasi Sosial Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam membentuk individu, yaitu keluarga dan sekolah. Universitas Sumatera Utara 1. Keluarga Bennett, Wolin and Mc Avity (1998) dalam kajiannya mengatakan bahwa di dalam sebuah keluarga, budaya dapat menggambarkan batasan-batasan, harapan-harapan, aturan-aturan dalam berinteraksi, pola komunikasi, cara penyelesaian masalah dan lain-lain. Pengembangan identitas keluarga dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu identitas keluarga asli dan identitas yang dibentuk sejalan dengan pernikahan dan keturuanan. Melalui sebuah keluarga akan membentuk pandangan dunia seperti mengakui adanya Tuhan sehingga patuh dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya, memiliki nilai-nilai yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh dan perilakunya seperti kemampuan bergaul, setia dan saling menyayangi (Crippen dan Leah Brew dalam Lubis, 2012: 77). Dengan demikian, sistem perilaku wujud dari kepercayaan dan nilai yang dipedomani oleh setiap individu. Perilaku/sikap dibentuk atas sebuah proses belajar yang dipelajari daripada pengalaman sepanjang hidupnya melalui keluarga (Galvin dan Brommel dalam Lubis, 2012: 78). Selain itu, hasil penelitian menegaskan bahwa interaksi komunikasi antarbudaya di antara etnis yang berbeda budaya bermula dari persepsi sebuah keluarga dalam menanamkan pandangan dunia (world view), nilai-nilai dan terwujud dalam perilaku. Keluarga berperan dalam mengajarkan para anggota keluarga untuk mengenali budaya yang dibawa oleh orang tuanya (Lusiana Lubis dalam Lubis, 2012: 78). 2. Sekolah Sekolah berperan dalam memperkenalkan individu dengan sejarah kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Sekolah memelihara kebudayaan dengan menceritakan kepada anggota baru apa yang telah terjadi, memberikan fakta-fakta, menanamkan nilai-nilai dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat diterima dalam kebudayaan yang besar, dan lain sebagainya (Lubis, 2012: 80). Universitas Sumatera Utara Sekolah adalah organisasi sosial yang diberikan tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan masa depan. Sekolah memelihara budaya dengan memberitahu anggota-anggota barunya apa yang telah terjadi, apa yang penting dan apa yang harus diketahui seseorang sebagai anggota budaya (Samovar dan Porter dalam Lubis, 2012: 81). 2.3 Model Teoritik Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono (2011: 60) mengemukakan bahwa ―Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang penting jadi dengan demikian maka kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan. Sedangkan dalam Nawawi (2001: 40), dikemukakan bahwa kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional dan merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yangdicapai dan dapat mengantarkan peneliti pada rumusan hipotesa. Berdasarkan kerangka teori atau kajian yang telah dijabarkan di atas, maka kerangka pemikiran yang terbentuk adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara PE RSE PSI IMIGRA N ARAB Interaksi Komunikasi Antarbudaya MASYAR AKAT LOKAL 3 ELEMEN PEMBENTUK PERSEPSI BUDAYA: 1. 2. 3. Pandangan Dunia Sistem Lambang Organisasi Sosial Gambar 2.1 : Model Teoritik Universitas Sumatera Utara