BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Perspektif/Paradigma Kajian
Pengertian paradigma menurut Dedy Mulyana (2003) dalam Tahir (2011:
59) mendefinisikan paradigma sebagai suatu kerangka berpikir yang mendasar
dari suatu kelompok saintis (ilmuwan) yang menganut suatu pandangan yang
dijadikan landasan untuk mengungkap suatu fenomena dalam mencari fakta.
Definisi yang hampir sama juga diungkapkan oleh Bogdan dan Bikler (1982)
dalam Tahir (2011: 59) yang menyatakan bahwa paradigma adalah sekumpulan
anggapan dasar mengenai pokok permasalahan, tuuan, dan sifat dasar bahan
kajian yang akan diteliti. Jadi, paradigma dapat didefinisikan sebagai acuan yang
menjadi dasar bagi setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta melalui
kegiatan penelitian yang dilakukannya (kaptenunismuh.blogspot.co.id).
Adapun paradigma kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma post-positivist dengan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian
dengan pendekatan ini adalah satu model penelitian humanistik yang
menempatkan manusia sebagai subjek utama dalam peristiwa sosial atau budaya.
Sifat humanis tersebut terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai
penentu utama perilaku individu dan gejala sosial.
Pendekatan ini juga
memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap
sesuatu yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda,
yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. Dengan demikian dalam penelitian
kualitatif, realitas yang tampak tersebut, jawabannya tidak cukup dicari sampai
pada batas apa yang menyebabkan realitas tersebut, tetapi dicari sampai pada
makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh karena itu, tahap
pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan individu
atau kelompok yang dipilih sebagai informan yang dianggap mengetahui atau
memahami tentang entitas tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Kajian Pustaka
Dalam sebuah penelitian, kerangka teori merupakan poin penting yang
perlu diperhatikan terlebih dahulu sebab kerangka teori adalah suatu model yang
menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang penting
yang diketahui dalam suatu masalah tertentu. Istilah teori menunjuk pada sumber
penyusunan kerangka, yang bisa berupa teori yang ada, definisi konsep, atau
malah dapat pula dari logika yang dibangun oleh peneliti sendiri (Rumengan,
2010: 20).
Penelitian merupakan suatu karya ilmiah yang memerlukan kejelasan titik
tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti permasalahannya.
Oleh karena itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran
yang menggambarkan dari sudut pandang mana masalah akan disoroti (Nawawi,
2001:39-41).
2.2.1 Komunikasi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu communicatio, yang
bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah
sama makna. Maka komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna
mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh
komunikan (Effendy, 2000: 9).
Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi, setelah
membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah peristiwa
komunikasi, jadi kalau satu komponen kurang maka komunikasi tak akan terjadi.
Dia berkata komunikasi merupakan: 1) transmisi informasi; 2) transmisi
pengertian; dan 3) menggunakan simbol-simbol yang sama (Liliweri, 2004: 7).
Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang
mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication)
bahwa komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang mengkehendaki
orang –orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan
Universitas Sumatera Utara
antarsesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk menguatkan
sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah
laku itu (Book, 1980). Definisi berikutnya dikembangkan oleh Rogers bersama D.
Lawrence Kincaid (1981) menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di
mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi
dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian
yang mendalam (Cangara, 2006: 18-19).
Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu
pesan dianut secara sama. Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah
komunitas (community) yang juga menekankan kesamaan atau kebersamaan.
Komunitas adalah sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk
mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa
komunikasi tidak akan ada komunitas. Komunitas bergantung pada pengalaman
dan emosi bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu.
Oleh karena itu, komunitas juga berbagi bentuk-bentuk komunikasi yang
berkaitan dengan seni, agama dan bahasa, dan masing-masing bentuk tersebut
mengandung dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang
mengakar kuat dalam sejarah komunitas tersebut (Mulyana, 2007: 46).
Penjelasan mengenai pengertian istilah komunikasi juga disampaikan oleh
Bernardo
Atias
(2000)
mengatakan
bahwa
komunikasi
itu
harus
mempertimbangkan tiga model komunikasi (model retorikal dan perspektif
dramaturgi, model transmisi, dan model ritual). Jadi komunikasi itu: 1) membuat
orang lain mengambil bagian, menanamkan, mengalihkan berita atau gagasan; 2)
mengatur kebersamaan untuk...; 3) membuat orang yang terlibat memiliki
komunikasi; 4) membuat orang saling berhubungan; dan 5) mengambil bagian
dalam kebersamaan. Sementara Walstrom (1992) menampilkan beberapa definisi
komunikasi, yakni:
1.
Komunikasi antarmanusia sering diartikan dengan pernyataan diri yang
paling efektif.
Universitas Sumatera Utara
2.
Komunikasi merupakan pertukaran pesan-pesan secara tertulis dan lisan
melalui percakapan, atau bahkan melalui penggambaran yang imajiner.
3.
Komunikasi merupakan pembagian informasi atau pemberian hiburan
melalui kata-kata secara tertulis atau lisan dengan metode lainnya.
4.
Komunikasi merupakan pengalihan informasi dari seorang kepada orang
lain.
5.
Pertukaran makna antara individu dengan menggunakan simbol yang
sama.
6.
Komunikasi adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang
melalui suatu saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu.
7.
Komunikasi adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau
perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis melainkan
melalui bahsa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal lain di
sekelilingnya yang memperjelas makna (Liliweri, 2004: 7-8)
2.2.2 Komunikasi Antarbudaya
Definisi komunikasi antarbudaya seperti yang disampaikan oleh Sitaram
(1970) adalah seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang
berbeda kebudayaan. Kemudian Samovar dan Porter (2003) berpendapat bahwa
komunikasi antarbudaya terjadi ketika bagian yang terlibat
dalam kegiatan
komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang
berbeda yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya. (Lubis,
2012: 12).
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan
Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader, menjelaskan bahwa
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan, misalnya antar suku, bangsa, etnik dan ras, antar kelas sosial.
Kemudian Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Liliweri,
2004: 11)
Seluruh definisi di atas memberi penekanan pada perbedaan kebudayaan
sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi
antarbudaya. Oleh karena itunya, komunikasi antarbudaya memenag mengakui
dan mengurusi permasalahan mengenai perbedaan-perbedaan di antara peserta
komunikasi dengan karakteristik yang dibawanya.
Guo-Ming dan William J. Starosta juga turut memberikan kontribusi
mengenai definisi komunikasi antarbudaya secara gamblang. Mereka mengatakan
bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem
simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam
menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya
itu dilakukan:
1)
Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan
antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui
simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai
makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks, dan makna-makna
itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;
2)
Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan
antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat
untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;
3)
Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun
bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;
4)
Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan
diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara
(liliweri, 2004: 11-12).
Asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat
pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana
teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Dalam rangka
memahami kajian komunikasi antarbudaya maka terdapat enam asumsi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1.
komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada
perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan
2.
dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi
3.
gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4.
komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian
5.
komunikasi berpusat pada kebudayaan
6.
efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya
(Liliweri, 2004: 15).
2.2.2.1 Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Secara umum dijelaskan bahwa ada empat kategori fungsi utama
komunikasi yakni fungsi informasi, fungsi pendidikan, fungsi persuasif dan fungsi
menghibur. Apabila empat fungsi utama tersebut diperluas maka akan diperoleh
dua fungsu, antara lain:
2.2.2.1.1
Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi komunikasi antarbudaya adalah fungsi-fungsi yang
ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu,
yaitu:
1.
Menyatakan identitas sosial
Ada beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk
menyatakan identitas sosial dalam proses komunikasi antarbudaya. Perilaku
tersebut dinyatakan melalui tindakan berbahasa, baik secara verbal maupun nonverbal. Hal inilah yang dapat dijadikan sebagai indikator oleh orang lain untuk
menentukan identitas sosial yang dimiliki oleh seorang individu, misalnya seperti
asal-usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan seseorang.
2.
Menyatakan integrasi sosial
Universitas Sumatera Utara
Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan
antarpribadi ataupun antarkelompok namun harus tetap mengakui perbedaanperbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Adapun salah satu tujuan komunikasi
adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator
dan komunikan. Apabila diamati dalam konteks komunikasi antarbudaya, proses
pertukaran pesan yang terjadi melibatkan perbedaan budaya di antara para pelaku
komunikasi, di mana keberhasilan komunikasi yang berlangsung akan sangat
berdampak baik dalam menciptakan integritas sosial. Oleh karena itu, pada
praktiknya perlu diterapkan prinsip utama dalam proses pertukaran pesan
komunikasi antarbudaya, yaitu : saya memperlakukan Anda sebagaimana
kebudayaan Anda memperlakukan Anda bukan sebagaimana yang saya
kehendaki.
3.
Menambah pengetahuan
Perbedaan budaya yang dilibatkan dalam suatu proses komunikasi
tentunya memberikan manfaat yang baik antara satu dengan yang lain, sebab
informasi yang dimiliki oleh pelaku komunikasi berbeda. Proses komunikasi
memungkinkan terjadinya proses belajar dan berbagi informasi yang dapat
menambah wawasan maupun pengetahuan bersama khususnya mengenai
kebudayaan satu sama lain.
4.
Melepaskan diri atau jalan keluar
Proses komunikasi yang dilakukan oleh seorang individu dengan orang
lain terkadang dapat terjadi atas dorongan untuk melepaskan diri atau mencari
jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Pilihan komunikasi seperti itu
dikatakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang komplementer
dan hubungan yang simetris.
Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai
perilaku yang berbeda. Perilaku seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku
komplementer dari yang lain. Perbedaan di antara dua pihak dalam hubungan
komplementer dimaksimumkan. Orang menempati posisi yang berbeda, yang satu
atasan-yang lain bawahan, yang satu aktif-yang lain pasif, yang satu kuat-yang
Universitas Sumatera Utara
lain lemah. Sebaliknya, hubungan yang simetris dilakukan oleh dua orang yang
saling bercermin pada perilaku yang lainnya. Hubungan ini bersifat setara atau
sebanding dengan penekanan yang meminimalkan perbedaan di antara kedua
orang yang bersangkutan.
2.2.2.1.2
Fungsi Sosial
Fungsi sosial komunikasi antarbudaya adalah fungsi-fungsi yang berguna
bagi masyarakat sekitar, antara lain:
1.
Pengawasan
Fungsi sosial yang pertama adalah pengawasan . Praktik komunikasi
antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan
berfungsi saling mengawasi. Fungsi ini bermanfaat dalam setiap proses
komunikasi antarbudaya untuk menginformasikan perkembangan tentang
lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang
menyebarluaskan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi di sekitar kita
meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda.
Akibatnya adalah kita turut mengawasi perkembangan sebuah peristiwa dan
berusaha mawas diri seandainya peristiwa tersebut terjadi pula di lingkungan kita.
2.
Menjembatani
Fungsi komunikasi yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda
kebudayaan merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi
menjembatani ini dapat dikontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan,
keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga
menghasilkan makna yang sama. Fungsi ini dijalankan pula oleh berbagai konteks
komunikasi termasuk komunikasi massa. Media massa membantu khalayak untuk
menginterpretasi secara tepat apa yang terjadi tentang lingkungan.
3.
Sosialisasi Nilai
Fungsi
sosialisasi
merupakan
fungsi
untuk
mengajarkan
dan
memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Nilai-nilai berkembang dalam suatu masyarakat bermula dari rumah
tempat sebuah keluarga berkumpul dan berlindung. Setiap keluarga menanamkan
nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga. Ketika seseorang
keluar dari rumahnya, dia akan membawa serta nilai-nilai yang diperolehnya dan
saling bertukar dengan nilai-nilai yang didapat dari luar serta menjadikannya
sebagai pembelajaran dan pengalaman yang baru. Sosialisasi nilai sangat
diperlukan untuk mengurangi peristiwa kejut budaya (culture shock) dalam situasi
kultural yang berbeda.
4.
Menghibur
Fungsi menghibur juga sering tampil dalam komunikasi antarbudaya.
Misalnya seperti menonton pertunjukan kebudayaan tertentu. Hiburan tersebut
termasuk dalam kategori hiburan antarbudaya (Lubis, 2012: 22-35).
2.2.2.2 Hambatan Komunikasi Antarbudaya
Chaney & Martin (2004) mengemukakan bahwa hambatan komunikasi
(communication
barrier)
dalam
komunikasi
antarbudaya
(intercultural
communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di
dalam air, di mana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di
atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Faktor-faktor
hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di bawah air (below waterline)
adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan
semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan
semacam
ini
adalah
persepsi
(perceptions),
norma
(norms),
stereotip
(stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules), jaringan
(networks), nilai (values), grup cabang (subcultures group).
Sedangkan hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di atas air
(above waterline) ada sembilan. Hambatan komunikasi semacam ini lebih mudah
untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik,
Hambatan-hambatan tersebut menurut Chaney & Martin (2004) adalah:
Universitas Sumatera Utara
a.
Fisik (physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu,
lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik.
b.
Budaya (cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan
sosial yang ada di antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya.
c.
Persepsi (perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi
yang berbeda-beda mengenai suatu hal setelah berinteraksi dan
berkomunikasi. Oleh karena itu, untuk mengartikan sesuatu, setiap budaya
akan memiliki pemikiran yang berbeda-beda.
d.
Motivasi (motivational)
Hambatan ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar. Artinya,
apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut
atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi
sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
e.
Pengalaman (experiential)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak
memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu
mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat
sesuatu.
f.
Emosi (emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar.
Apabila emosi terdengar sangat buruk maka hambatan komunikasi yang
terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
g.
Bahasa (linguistic)
Hambatan ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan penerima pesan
(receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata
yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.
h.
Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk
kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah
Universitas Sumatera Utara
wajah marah yang dibuat oleh si penerima pesan (receiver) ketika
pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat
tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja
pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan
pesan kepada si penerima pesan.
i.
Kompetisi (competition)
Hambatan ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan
lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular
sambil
menyetir. Situasi
ini tentunya
akan menyebabkan tidak
maksimalnya proses penerimaan pesan.
2.2.2.3 Tujuan Komunikasi Antarbudaya
1.
Mengurangi Tingkat Ketidakpastian
Gudykunstt dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak
kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan
yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian
itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni:
1)
Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal
maupun non verbal. Jadi, pada tahapan ini akan muncul pertanyaan
seperti apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari
komunikasi;
2)
Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan
yang muncul dari kontak awal tersebut. Pertanyaan yang timbul
adalah: apakah saya seperti dia?; Apakah dia mengerti saya?; apa
merugikan waktu saya jika berkomunikasi dengan dia, atau
pertanyaan lainnya yang serupa,
3)
Closure, merupakan tahap di mana seseorang mulai membuka diri
dari yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan
kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus
lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi
atas suatu perilaku atau tindakan seseorang. Pertanyaan yang
relevan adalah apa yang mendorong dia berkata, berpikir, atau
Universitas Sumatera Utara
bertindak demikian. Jika seseorang menampilkan tindakan yang
positif, maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif
kepada orang tersebut, karena alasan dia bernilai bagi relasi kita.
Sebaliknya, jika seorang itu menampilkan tindakan yang negatif,
maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula.
Sementara itu, kita juga dapat mengembangkan sebuah kesan
terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran sebuah
kepribadian implisit. Karena di saat awal komunikasi atau pada
bagian pra-kontak, telah memberikan kesan bahwa orang itu baik,
maka semua sifat positifnya akan mengikuti dia, misalnya karena
dia baik maka beranggapan bahwa dia pun jujur, ramah, setia
kawan, penolong, tidak sombong, dan lainnya.
2.
Efektifitas Antarbudaya
Manusia
tidak
dapat
dikatakan
berinteraksi
sosial
kalau
tidak
berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang
efektif sangat bergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus
menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi
yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya
yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara
komunikator dan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manjemen
komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga
kepada berhasilnya pembagian teknologi serta mengurangi konflik (Liliweri,
2004: 19-20).
2.2.3 Persepsi
Persepsi sebagai fokus kajian mendasarkan pada asumsi persepsi adalah
inti komunikasi, sedangkan penafsiran merupakan inti persepsi, identik dengan
penyandian balik dalam proses komunikasi. John R. Wienburg dan William W.
Wilmot menyatakan bahwa persepsi adalah cara memberi makna, sedangkan
Rudolph F. Verderber, persepsi adalah menafsirkan informasi inderawi atau J.
Universitas Sumatera Utara
Cohen juga memberi definisi yang kurang sama, yaitu interpretasi bermakna atas
sensasi sebagai representasi objek eksternal, pengetahuan yang tampak yang ada
di luar diri. Dengan persepsi partisipan komunikasi akan memilih pesan apa yang
diterima atau menolak suatu pesan. Persepsi yang sama akan memudahkan
partisipan komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan
(Purwasito, 2003: 172-173).
Selain itu,
Sihabudin
(2011: 38)
dalam
bukunya
―Komunikasi
Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi‖ turut memberikan sumbangsih
mengenai pengertian persepsi. Ia menyatakan:
―Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,
mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.
Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sebagai hasil dari cara
merekea mempersepsi dunia (lingkungannya) sedemikian rupa. Perilakuperilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Artinya,
kita merespons kepada suatu stimuli sedemikian rupa, sesuai dengan budaya
yang telah diajarkan kepada kita. Budaya menentukan kriteria mana yang
penting ketika kita mempersepsi sesuatu‖.
De Vito menjelaskan bahwa persepsi berangkat dari diri sendiri dalam
perjumpaan (encounter) dengan orang lain, mempengaruhi indera kita melalui
umpan-balik yang berharga (kesadaran) mengenai perasaan, pemikiran, dan
perilaku kita sendiri. Dari perjumpaan tersebut lahir suatu kesadaran tertentu,
yaitu bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain.
Ini adalah pengukuhan positif yang membantu diri seseorang biasa-biasa atau
normal-normal saja hidup dalam lingkungan multikultural. Oleh sebab itulah,
Philip Goodacre dan Jennifer Foolers menyebut persepsi sebagai prose mental
yang digunakan untuk mengenali rangsangan (Purwasito, 2003: 173).
Persepsi sosial seseorang sangat tergantung dari pengalaman, seleksi, dan
evaluasi seseorang. Persepsi tersebut muncul karena setiap penilaian dan seleksi
seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan standar budaya sendiri.
Sedangkan budaya asing yang dicurigai berpengaruh negatif dan sering ditentukan
Universitas Sumatera Utara
sebagai upaya merusak budaya sendiri. Kenyataan ini memungkinkan setiap
bangsa atau kelompok masyarakat berusaha untuk melindungi kebudayaannya
dari ketergerusan budaya lain yang dianggapnya merusak.
Persepsi dalam konteks komunikasi antarbudaya cukup menarik perhatian
para ilmuwan-ilmuwan komunikasi untuk memberikan pandangan. Tidak
terkecuali Larry A. Samovar (2010) yang secara gamblang menjelaskan bahwa
persepsi adalah bagaimana suatu budaya mengajarkan anggotanya untuk melihat
dunia ini dengan cara yang berbeda. Ia menyatakan, persepsi merupakan suatu
cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Tidak ada
kenyataan selain yang ada di dalam diri tiap individu dan sebagian oleh
budayanya. Dunia yang ada di dalam diri individu meliputi simbol,
benda,manusia, peristiwa, ideologi dan bahkan iman. Persepsi seseorang
mengartikan
pengaruh
eksternal
dengan
mengizinkan
dirinya
untuk
menginterpretasi, mengelompokkan, dan mengatur stimulus yang dipilih untuk
dimonitor. Ia menyimpulkan, persepsi merupakan proses di mana orang-orang
mengubah kejadian dan pengalaman eksternal menjadi pengalaman internal yang
berarti. Pendapat tersebut berhubungan dengan pernyataan Marshal Singer (1987):
―We experience everything in the world not ―as it is‖—because there is no way
that we can know the world ―as it is‖—but only as the world comes to us
through our sencory receptors. From there, these stimuli go instantly into the
―data-storage banks‖ of our brains, where they have to pass through the filters
of our censor screen, our decoding mechanism, and the collectivity of
everything we have learned from the day we were born‖.
(Kita mengalami segala sesuatu di dunia ini bukan ―sebagaimana adanya‖ —
namun hanya ketika dunia ini datang kepada kita melalui alat indera kita. Dari
sana, rangsangan diteruskan langsung ke dalam bank penyimpanan-data otak
kita, di mana rangsangan itu harus melewati filter layar sensor, mekanisme
penafsiran kode kita, dan kumpulan dari segala sesuatu yang telah kita pelajari
sejak kita dilahirkan‖).
Universitas Sumatera Utara
Persepsi, sebagaimana dikatakan John R. Wenburg dan William W.
Wilmot, diartikan sebagai cara organisme memberi makna. Jadi, persepsi
merupakan suatu suatu proses menafsirkan pesan atau informasi melalui inderawi.
Persepsi oleh ahli komunikasi dianggap sebagai inti komunikasi karena persepsi
menjadi pijakan utama penerimaan pesan. Pesan diterima secara akurat atau tidak
akurat dalam tindak komunikasi yang berhasil, sangat tergantung pada persepsi
seseorang.
Persepsi
menentukan
seseorang
memilih
suatu
pesan
atau
mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan para partisipan
komunikasi akan semakin tinggi tingkat intensitas dan frekuensi mereka dalam
berkomunikasi. Ini artinya bahwa persepsi dan referensi yang sama mendorong
orang untuk saling hidup berkumpul dan membentuk kelompok (Purwasito, 2003:
175-176).
Samovar dan Porter (Lubis, 2012: 61) menjelaskan bahwa para pakar
komunikasi antarbudaya mengakui bahwa persepsi budaya adalah sesuatu yang
kompleks, abstrak, dan pervasif (berubah sejalan dengan waktu). Tetapi dapat
dijelaskan dengan melihat tiga elemen penting dari persepsi guna menghasilkan
efek komunikasi yang diinginkan bersama di antara orang-orang yang berbeda
budaya. Ketiga elemen tersebut adalah : pandangan dunia, sistem lambang dan
organisasi sosial.
2.2.3.1 Pandangan Dunia
Untuk memahami dunia, nilai-nilai dan tindakan-tindakan orang lain, kita
harus memahami kerangka persepsinya. Dalam berkomunikasi antarbudaya yang
ideal kita berharap banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi budaya.
Tetapi
karakter
budaya
berkecenderungan
memperkenalkan
kita
pada
pengalaman-pengalaman yang tidak sama atau berbeda berdasarkan pandangan
dunia (world view) yang terbentuk semula. Oleh sebab itu, ia membawa persepsi
budaya yang berbebda-beda pada dunia luar budaya sendiri (Lubis, 2012: 63).
Sarbaugh (1988) dan Liliweri (2003: 152), menjelaskan pandangan dunia
sebagai sistem kepercayaan yang membentuk seluruh sistem berpikir tentang
Universitas Sumatera Utara
sifat-sifat ―sesuatu‖ secara keseluruhan dan kesannya terhadap persekitaran.
Pandangan dunia merupakan struktur yang dipengaruhi oleh kebudayaan yaitu
kebudayaan telah menerima peranan yang berbagai, kemudian menggerakkan atau
membentuk sejenis semangat kepada individu untuk menjelaskan sebuah
peristiwa. Seringkali pandangan dunia dianggap sebagai rumusan persepsi dan
andaian fundamental yang meliputi cara sebuah kebudayaan mengajarkan
anggotanya untuk menerangkan sebuah sistem kepercayaan, nilai baik dan buruk,
serta cara berperilaku (Lubis, 2012: 64).
Seterusnya Paige dan Martin (1996) menjelaskan bahwa pandangan dunia
merupakan suatu lensa daripada pandangan manusia yang memandang realitas
dunia tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan
merupakan landasan paling dasar daripada suatu budaya. Dengan cara-cara yang
tidak terlihat dan tidak nyata, pandangan ddunia sangat mempengaruhi
komunikasi antarbudaya. Oleh karena iitu, sebagai anggota dari suatu budaya,
setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada orang
yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak
lainnya memandang dunia sebagaimana dia memandanganya. Pandangan dunia
membentuk budaya dan berfungsi membedakan satu budaya dengan budaya
lainnya (Lubis, 2012: 64-65).
Dalam Lubis (2012: 65-71), agama dan sistem kepercayaan, nilai serta
perilaku merupakan hal-hal yang ditanamkan melalui pandangan dunia kepada
semua anggota dari suatu kelompok atau kebudayaan tertentu.
2.2.3.1.1 Agama dan Sistem Kepercayaan
Menurut Mulyana (2004), salah satu kategori pandangan dunia adalah
agama. Hal ini terjadi karena di dalam agama lazimnya terdapat ajaran mengenai
bagaimana seharusnya manusia itu berhubungan dengan dirinya sendiri, orang
lain, alam semesta dan Tuhan. Peranan agama dalam etnis manapun merupakan
unsur utama karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan
Universitas Sumatera Utara
pendidikan, pembinaan, dan pembentukan moral yang dimulai dari dalam
keluarga.
Adapun kepercayaan menurut pandangannya adalah suatu persepsi pribadi.
Kepercayaan merujuk kepada pandangan di mana sesuatu memiliki ciri-ciri atau
kualitas tertentu, tidak peduli apakah sesuatu itu dapat dibuktikan secara empirik
(logis) atau tidak. Contohnya, angka 9 adalah angka keberuntungan, berdoa dapat
menyembuhkan penyakit, menabrak kucing hitam akan membawa kemalangan.
Ketika agama dan sistem kepercayaan kita kaitkan dengan konteks
komunikasi antarbudaya, kita tidak bisa memvonis bahwa suatu kepercayaan itu
salah atau benar. Bila kita ingin membangun komunikasi yang memuaskan dan
sukses, maka kita harus menghargai kepercayaan dari lawan bicara kita, sekalipun
tidak sesuai dengan apa yang kita percayai.
2.2.3.1.2 Nilai
Samovar dan Porter menjelaskan nilai-nilai sebagai aspek evaluatif dari
sistem-sistem kepercayaan. Nilai-nilai budaya tersebut kemudian dipakai oleh
individu dalam mempersepsi apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar
dan apa yang salah, sejati, palsu, positif, dan negatif. Nilai-nilai rujukan ini
tentunya akan mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang sehingga dapat
membedakan atau mentaati perilaku mana yang harus dilakukan dan perilaku
mana yang harus dihindari. Meskipun individu-individu memiliki penilaian yang
unik tentang nilai, tetapi perlu diketahui bahwa nilai-nilai tersebut tidak bersifat
universal karena kecenderungannya yang berbeda-beda antara budaya yang satu
dengan budaya yang lainnya, dan juga nilai-nilai tersebut dipelajari.
Nilai-nilai merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dipegang oleh
partisipan-partisipan
komunikasi
antarbudaya
karena
nilai-nilai
tersebut
mengembangkan standar-standar dan dapat menjadi panduan dalam membangun
tingkat layak atau tidaknya di dalam masyarakat. Eksistensi nilai dalam sebuah
kebudayaan memang sangat berpotensi dalam menciptakan kesatuan anggotanya,
namun apabila dibaurkan dengan budaya lain maka dapat memicu konflik.
Kekhawatiran ini bisa terjadi biasanya bermula dari adanya kecenderungan setiap
masyarakat memandang budayanyalah yang terbaik dan inilah yang disebut
Universitas Sumatera Utara
sebagai etnosentrisme. Memegang nilai-nilai budaya adalah kewajiban tiap
anggota dari satu kebudayaan tertentu dan merupakan hal yang baik, namun akan
semakin lebih baik ketika masing-masing anggota pun mampu mengembangkan
sikap terbuka terhadap informasi, bersedia mengakui perbedaan yang ada serta
mampu untuk saling memahami karakter masing-masing dengan jalan
membangun isu komunikasi sebagai person to person contact.
2.2.3.1.3 Perilaku
Merupakan tindakan nyata dari ketiga poin yang telah dijelaskan
sebelumnya. Nilai- nilai dalam suatu budaya akan tampak dalam bentuk perilakuperilaku para anggota budaya sebagaimana dituntut atau diisyaratkan oleh budaya
yang bersangkutan. Misalnya, umat Muslim dituntut untuk menjalankan ibadah
puasa dalam bulan Ramadhan, umat Katholik dituntut untuk menghadiri misa, dan
sebagainya.
2.2.3.2 Sistem Lambang
Menurut Ruben (1984: 129-155), perwujudan dari perilaku itu adalah
melalui sistem lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, bertulis dan
melalui isyarat badan (bahasa tubuh), penampilan dan lain-lainnya (Lubis, 2012:
72).
Kultur (budaya) membingkai komunikasi dengan secara langsung
mempengaruhi isi dan susunannya. Penggunaan sistem lambang seperti bahasa
lisan sehari-hari misalnya, oleh Forgas (1988) mencatat sebagai suatu peristiwa
komunikasi di mana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya
yang sangat spesifik. Bahasa merupakan media utama yang digunakan budaya
untuk menyampaikan maksud dan tujuan melalui interaksi di antara individu.
Bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi sekaligus
sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi,
Universitas Sumatera Utara
menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Oleh karenanya bahasa merupakan
suatu sistem yang tidak pasti untuk menyajikan realitas secara simbol. Hal mana
ini diakui oleh Ruben (1975: 171) bahwa komunikasi adalah suatu proses yang
mendasari intersubjektivitas suatu fenonema yang terjadi sebagai akibat
simbolisasi publik dan penggunaan serta penyebaran simbol. Melalui komunikasi
individu-individu ‗menyetel‘ perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, dan perilakuperilaku antara satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, makna kata sangat
bergantung pula pada berbagai penafsiran individu-individu yang berkomunikasi
(Mulyana dalam Lubis, 2012: 73).
Komunikasi verbal menurut Mulyana (2003) mengatakan bahwa bahasa
sebagai sistem kode verbal, terbentuk atas seperangkat simbol, dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami
suatu komunitas. Andrea L. Rich mengatakan bahwa bahasa sendiri terikat oleh
budaya. Setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang
melukiskan realitas pikiran, pengalaman bathin, dan kebutuhan pemakainya. Jadi
bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir,
melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda,
dan karenanya berperilaku secara berbeda.Banyak kejadian sehari-hari karena
kurang memperhatikan perbedaan tersebut misalnya akibat mengucapkan katakata tertentu, yang dimaknai berbeda oleh orang yang berbeda budaya,
menyebabkan
kesalahapahaman,
kebencian,
dan
keretakan
hubungan
antarmanusia.
Suatu proses komunikasi tidak hanya melibatkan pesan verbal saja tetapi
juga pesan non-verbal. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat
yang bukan kata-kata (Mulyana,2003:308). Sebagai kata-kata kebanyakan isyarat
nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari,
bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita
semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun dimana, kapan, dan
kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi
konteks dan budaya. Simbol-simbol nonverbal sangat sulit untuk ditafsirkan bila
dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Walaupun demikian kita sering
Universitas Sumatera Utara
melihat bahwa bahasa nonverbal cenderung selaras dengan bahasa verbal,
misalnya setiap gerakan sinkron dengan ucapan, seperti kita menyatakan setuju
selalu disertai dengan anggukan kepala. Menurut Liliweri (2003:98-101) ketika
berhubungan dengan menggunakan pesan nonverbal ada beberapa faktor yang
mempengaruhi komunikasi antarbudaya yaitu:
1.
Kinestik, adalah yang berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari
posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh.
Tampaknya ada perbedaan antara arti dan makna dari gerakan-gerakan
tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan
2.
Okulesik, adalah gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna
yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata
atau posisi mata menggambarkan suatu makna tertentu, seperti kasih
sayang, marah dan sebagainya.
3.
Haptik, adalah tentang perabaan atau memperkenankan sejauhmana
seseorang memegang dan merangkul orang lain.
4.
Proksemik, adalah tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu
berkomunikasi, misalnya makin dekat artinya makin akrab, makin jauh
artinya makin kurang akrab.
5.
Kronemik, adalah tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal
yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap kalau suatu
kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau
peradabannya maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktu
kemudian yang menghasilkan pengertian tentang oramg malas, malas
bertanggungjawab, orang yang tidak pernah patuh pada waktu.
6.
Tampilan (Appearance) yaitu bagaimana cara seorang menampilkan diri
telah cukup menunjukkan atu berkorelasi sangat tinggi dengan evaluasi
tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan biologis dan tampilan
yang dicari atau di bentuk. Tampilan biologis misalnya warna kulit, warna
dan pandangan mata, tekstur dan warna rambut, serta struktur tubuh. Ada
stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang dengan tampilan
Universitas Sumatera Utara
biologis. Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita terhadap orang
lain.
7.
Posture, adalah tampilan tubuh waktu sedang berdiri dan duduk. Cara
bagaimana orang itu duduk dan berdiri dapat diinterpretasi bersama dalam
konteks antarbudaya. Misalnya kalau orang Jawa merasa tidak bebas jika
berdiri tegak di depan orang yang lebih tua sehingga harus merunduk
hormat, sebaliknya duduk bersila di depan orang yang lebih tua merupakan
sikap yang sopan.
8.
Pesan-pesan paralinguistik antarpribadi adalah pesan komunikasi yang
merupakan gabungan antara perilaku verbal dan non verbal. Paralinguistik
terdiri dari satu unit suara, atau gerakan yang menampilkan maksud
tertentu dengan makna tertentu. Paralinguistik juga berperan besar dalam
komunikasi antarbudaya.
9.
Simbolisme dan komunikasi non verbal yang pasif, beberapa diantaranya
adalah simbolisme warna dan nomor (arkandien.blogspot.co.id).
Sebagaimana disinggung di atas, proses verbal merupakan media utama
untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses nonverbal tidak kalah
pentingnya digunakan dalam berkomunikasi ataupun lebih penting bahkan
walaupun tidak kita sadari. Hasil penelitian dalam Liliweri (2003: 181)
menunjukkan bahwa lebih dari 55% komunikasi dilangsungkan melalui proses
tidak verbal, 38% dengan suara (paralinguistik) dan 7% dengan kata-kata. Bahkan
Samovar,et.al (1981) mengatakan hanya 35% kontak personal dilakukan dengan
verbal dan lebih kurang 65% melalui proses nonverbal (melalui isyarat, ekspresi
wajah, postur dan gerakan tubuh, penampilan, sentuhan, ruang, waktu dan lainlain) (Lubis, 2012: 74).
2.2.3.3 Organisasi Sosial
Organisasi
sosial
adalah
cara
bagaimana
suatu
kebudayaan
dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan
dalam membentuk individu, yaitu keluarga dan sekolah.
Universitas Sumatera Utara
1.
Keluarga
Bennett, Wolin and Mc Avity (1998) dalam kajiannya mengatakan bahwa
di dalam sebuah keluarga, budaya dapat menggambarkan batasan-batasan,
harapan-harapan, aturan-aturan dalam berinteraksi, pola komunikasi, cara
penyelesaian masalah dan lain-lain. Pengembangan identitas keluarga dipengaruhi
oleh dua faktor utama yaitu identitas keluarga asli dan identitas yang dibentuk
sejalan dengan pernikahan dan keturuanan. Melalui sebuah keluarga akan
membentuk pandangan dunia seperti mengakui adanya Tuhan sehingga patuh dan
bertanggung jawab terhadap
lingkungannya, memiliki nilai-nilai yang dapat
membedakan yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh dan
perilakunya seperti kemampuan bergaul, setia dan saling menyayangi (Crippen
dan Leah Brew dalam Lubis, 2012: 77).
Dengan demikian, sistem perilaku wujud dari kepercayaan dan nilai yang
dipedomani oleh setiap individu. Perilaku/sikap dibentuk atas sebuah proses
belajar yang dipelajari daripada pengalaman sepanjang hidupnya melalui keluarga
(Galvin dan Brommel dalam Lubis, 2012: 78).
Selain itu, hasil penelitian menegaskan bahwa interaksi komunikasi
antarbudaya di antara etnis yang berbeda budaya bermula dari persepsi sebuah
keluarga dalam menanamkan pandangan dunia (world view), nilai-nilai dan
terwujud dalam perilaku. Keluarga berperan dalam mengajarkan para anggota
keluarga untuk mengenali budaya yang dibawa oleh orang tuanya (Lusiana Lubis
dalam Lubis, 2012: 78).
2.
Sekolah
Sekolah berperan dalam memperkenalkan individu dengan sejarah
kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Sekolah memelihara kebudayaan
dengan menceritakan kepada anggota baru apa yang telah terjadi, memberikan
fakta-fakta, menanamkan nilai-nilai dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik
yang dapat diterima dalam kebudayaan yang besar, dan lain sebagainya (Lubis,
2012: 80).
Universitas Sumatera Utara
Sekolah adalah organisasi sosial yang diberikan tanggung jawab besar
untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan
penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan masa depan. Sekolah
memelihara budaya dengan memberitahu anggota-anggota barunya apa yang telah
terjadi, apa yang penting dan apa yang harus diketahui seseorang sebagai anggota
budaya (Samovar dan Porter dalam Lubis, 2012: 81).
2.3 Model Teoritik
Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono (2011: 60) mengemukakan bahwa
―Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang
penting jadi dengan demikian maka kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman
yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang
paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk
proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan.
Sedangkan dalam Nawawi (2001: 40), dikemukakan bahwa kerangka
pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional dan merupakan uraian yang
bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yangdicapai dan
dapat mengantarkan peneliti pada rumusan hipotesa. Berdasarkan kerangka teori
atau kajian yang telah dijabarkan di atas, maka kerangka pemikiran yang
terbentuk adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
PE
RSE
PSI
IMIGRA
N ARAB
Interaksi
Komunikasi
Antarbudaya
MASYAR
AKAT
LOKAL
3 ELEMEN
PEMBENTUK
PERSEPSI
BUDAYA:
1.
2.
3.
Pandangan
Dunia
Sistem Lambang
Organisasi Sosial
Gambar 2.1 : Model Teoritik
Universitas Sumatera Utara
Download