(Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk)

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kacang Panjang
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk) merupakan
sayuran yang sudah lama dikenal di Indonesia, meskipun bukan tanaman asli
Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah (Haryanto et al.,
2007). Tanaman ini tumbuh menyebar di daerah-daerah Asia Tropika sehingga
banyak dikenal jenis-jenis lokal sesuai dengan keadaan lingkungan tempat
tumbuhnya.
Susunan klasifikasi kacang panjang dilihat dari hubungan kekerabatannya
dalam dunia tumbuhan secara lengkap adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Subkelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rosales
Famili
: Papilionaceae/Leguminosae
Genus
: Vigna
Spesies
: Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk
Vigna sinensis ssp. Sesquipedalis
Kacang panjang merupakan tanaman perdu semusim. Daunnya majemuk,
tersusun atas tiga helai. Batangnya liat dan sedikit berbulu. Akarnya mempunyai
bintil yang dapat mengikat nitrogen (N) bebas dari udara yang bermanfat untuk
menyuburkan tanah (Haryanto et al., 2007).
Tanaman kacang panjang merupakan tanaman semak, menjalar, semusim
dengan tinggi kurang lebih 2.5 m. Batang tanaman ini tegak, silindris, lunak,
berwarna hijau dengan permukaan licin. Daunnya majemuk, trifoliet, panjang
daun 6 - 8 cm, lebar 3 - 4.5 cm, tepi rata, pangkal membulat, ujung lancip,
pertulangan menyirip, tangkai silindris, panjang kurang lebih 4 cm, berwarna
hijau dan mempunyai petiole sepanjang 5 - 25 cm. Bunga tanaman ini terdapat
pada ketiak daun, majemuk, tangkai bunga silindris dengan panjang kurang lebih
12 cm dan berwarna hijau keputih-putihan, mahkota bunga berbentuk kupu-kupu
dan berwarna putih keunguan, benang sari bertangkai dengan panjang kurang
5
lebih 2 cm dan berwarna putih, kepala sari berwarna kuning, putik bertangkai dan
berwarna kuning dengan panjang kurang lebih 1 cm. Bunga kacang panjang
menyerbuk sendiri. Penyerbukan silang dengan bantuan serangga dapat juga
terjadi dengan kemungkinan 10%. Bijinya lonjong, pipih, berwarna coklat muda
atau hitam dengan hilum berwarna putih, panjang 8 - 12 mm, pertumbuhannya
dengan perkecambahan epigeal (Grubben, 1994).
Pembudidayaan kacang panjang cukup mudah. Tanaman ini dapat hidup di
dataran rendah maupun dataran tinggi. Tanaman ini akan tumbuh lebih baik pada
ketinggian kurang dari 600 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhan optimal
kacang panjang adalah pada ketinggian antara 0 - 200 m di atas permukaan laut
dengan pH tanah sekitar 5.5 - 7.5 (Grubben, 1994). Penanamannya pun dapat
dilakukan sepanjang tahun, baik musim hujan maupun musim kemarau terutama
pada musim kemarau. Tanaman kacang panjang memerlukan sinar matahari
langsung sehingga penanaman harus dilakukan di tempat terbuka. Waktu tanam
yang sesuai yaitu pada awal atau akhir musim hujan. Tanaman kacang panjang
tumbuh dengan baik di daerah beriklim hangat 12.5 - 27.4° C dan rata-rata suhu
bulanan antara 20 - 35° C. Pertumbuhan optimal kacang panjang dapat tercapai pada
suhu siang 27 - 30° C dan suhu malam 17 - 22° C. Tanaman ini lebih toleran terhadap
kondisi panas dan kering, tetapi sangat peka terhadap suhu udara dan suhu tanah
kurang dari 20° C. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman kacang panjang
berkisar antara 600 - 1 500 mm/tahun, namun tanaman ini toleran terhadap curah
hujan dengan variasi cukup besar, yakni 620 - 4 100 mm/tahun (Fatcullah dan
Sutapradja, 1998).
Kacang panjang termasuk tanaman berumur pendek, satu musim tanam
sekitar 3 - 3.5 bulan. Pemanenan sudah dapat dilakukan ketika tanaman berumur
45 hari. Pemanenan buahnya tidak sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap.
Produksi kacang panjang pada lahan seluas 1 ha dapat mencapai 4 - 9 ton polong
muda (Haryanto et al., 2007).
6
Invigorasi Benih
Invigorasi adalah suatu perbaikan dalam keragaan benih oleh perlakuan
benih sebelum tanam. Perlakuan invigorasi mengoptimalkan viabilitas benih,
sehingga benih mampu tumbuh cepat, dan serempak pada kondisi yang beragam
(Basu dan Rudrapal dalam Rusmin, 2007).
Benih yang telah mengalami kemunduran atau deteriorasi dapat
ditingkatkan keragaannya dengan memberi perlakuan invigorasi. Pada benih yang
diberi perlakuan invigorasi terjadi peningkatan integritas membran dan aktivitas
enzim dehidrogenase serta penurunan peroksidasi lipid dalam poros embrio (Saha
et al. dalam Hasan, 1998). Ada berbagai teknik invigorasi benih pratanam, tetapi
secara umum terbagi dua kategori yaitu penyerapan air secara terkontrol dan tidak
terkontrol. Penyerapan air terkontrol terdiri dari dua macam yaitu priming/ liquid
priming/
osmopriming/
osmoconditioning
dan
solid
matrix
priming/
matriconditioning.
Priming adalah perlakuan benih melalui pengendalian masuknya air ke
dalam benih, dengan menempatkan benih dalam udara lembab, media lembab atau
larutan yang bertekanan osmotik tinggi (Widayati et al., 1990). Perlakuan priming
ditujukan untuk mengurangi stres yang dialami benih pada saat ditanam di lapang
terutama benih yang kurang vigor, kurang masak atau benih yang mengalami
kerusakan mekanis.
Teknik priming benih ditemukan efektif untuk perkecambahan yang lebih
baik dan pembentukan kecambah pada padi di bawah kondisi terkontrol (Basra
dalam Farooq et al., 2006). Murray dan Wilson dalam Hasan (1998) menyatakan
pemberian air pada benih dengan cara yang terkontrol sebelum pengeringan
kembali (priming) akan mengurangi stres akibat suhu, memperbaiki kondisi benih
yang telah mundur, mempercepat perkembangan kecambah, juga mengurangi
pengaruh buruk dari penyakit, hama dan stres air tanah.
Perlakuan
osmoconditioning
terbukti
dapat
mengatasi
pengaruh
kemunduran fisiologis beberapa jenis benih. Pada benih kedelai perlakuan
tersebut dapat menurunkan peroksidasi lipid sehingga viabilitas dan vigor benih
meningkat (Saha et al. dalam Hasan, 1998). Benih tomat yang di-priming secara
osmotik menunjukkan peningkatan keragaan tanaman, hasil dan pertumbuhan
7
pada perkecambahan awal. Penyemaian pada benih yang di-priming lebih cepat
muncul dan lebih seragam dibandingkan penyemaian dari benih tanpa perlakuan.
Tanaman dari benih yang di-priming juga memiliki bobot kering tanaman dan
indeks luas daun sebelum periode pembungaan lebih tinggi dibanding tanaman
dari benih tanpa perlakuan (Alvado dan Bradford dalam Farooq et al., 2005).
Murray dan Wilson dalam Rusmin dan Wahab (1994) menyatakan bahwa bahan
yang sering digunakan untuk perlakuan osmoconditioning adalah Polyethylene
Glycol (PEG) dan garam-garam seperti KNO3, KCl, NaNO3, dan K2PO4.
Perlakuan invigorasi benih yang juga terbukti efektif pada berbagai jenis
benih adalah matriconditioning. Matriconditioning adalah perlakuan hidrasi benih
terkontrol dengan media padat lembab yang didominasi oleh kekuatan matriks
untuk memperbaiki pertumbuhan bibit (Khan et al., dalam Ilyas, 2005).
Bahan
untuk perlakuan matriconditioning harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut
(Khan et al., dalam Hasan, 1998): memiliki potensial matrik rendah dan potensial
osmotik dapat diabaikan, daya larutnya dalam air rendah dan tetap utuh selama
perlakuan, merupakan bahan kimia inert dan tidak beracun, kapasitas daya pegang
air tinggi, bermacam-macam ukuran partikel, struktur dan daya serapnya,
memiliki luas permukaan yang besar, memiliki berat jenis yang rendah, dan
memiliki kemampuan melekat pada permukaan benih.
Micro-cel E dan vermikulit yang mempunyai kekuatan adsortif dan kapiler
tinggi telah banyak digunakan untuk penelitian dan praktek perlakuan
conditioning sebelum tanam. Serbuk gergaji, kayu kamfer (Dryobalanops spp.),
abu gosok hasil pembakaran sekam padi (Khan et al., dalam Hasan, 1998)
merupakan alternatif media matriconditioning.
Tanah Salin
Tanah salin adalah tanah yang mempunyai konsentrasi garam-garam yang
terlarut dalam tanah yang sangat tinggi lebih dari 1 000 ppm (Tan dalam
Puspitasari, 2005). Kandungan garam dalam tanah yang dapat larut, yang
memberikan daya hantar listrik (DHL) lebih besar dari 4 mmhos/cm pada suhu
8
25° C, natrium yang dapat dipertukarkan 2 atau 3 me/100 gram dengan pH < 8.5
atau mendekati netral dapat disebut salin (Richard dalam Kleden, 1995).
Umumnya tanah salin dan tanah alkalin tergolong ordo Aridisol, yaitu
tanah-tanah yang terbentuk pada daerah kering atau dengan curah hujan rata-rata
< 500 mm/tahun. Jumlah air hujan tidak cukup untuk mengimbangi air yang
hilang melalui tanah dan tanaman (evapotranspirasi). Pada waktu air diuapkan ke
udara, garam tertinggal di lapisan permukaan. Seiring dengan waktu, akumulasi
garam berlangsung terus. Proses akumulasi garam ini disebut salinisasi. Terdapat
banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya salinitas pada suatu areal.
Kandungan garam-garam yang tertinggal dalam larutan tanah dapat mencapai
4-10 kali lebih tinggi pada tanah-tanah beririgasi akibat adanya proses
evapotranspirasi (Poljakoff-Mayber dan Gale dalam Puspitasari, 2005). Garamgaram yang diakumulasikan diantaranya adalah NaCl, Na2SO4, CaCO3 dan/atau
MgCO3. Salinisasi juga dapat terjadi secara lokal dan berkembang menjadi
reklamasi tanah endapan laut atau estuasi (tanah pesisir pantai).
Di daerah pantai, limpasan air laut ke daratan/tanah akan menyebabkan
tanah tersebut mempunyai salinitas tinggi. Selain itu, tanah salin juga terdapat
pada tanah yang secara alami memang mempunyai deposit garam. Air tanah salin
biasanya mengandung 500 - 30 000 mg/l bahan terlarut (EC 0.7 - 42 dS/m),
sementara air laut konsentrasi bahan terlarutnya ialah 33 000 mg/l dan Laut Mati di
Israel mengandung kadar garam 270 000 mg/l (hipersalin) (Sunner dalam
Puspitasari, 2005).
Ciri kimia tanah salin tidak didasarkan atas nilai pH saja. Oleh karena itu,
United State Laboratory membedakan tanah salin berdasarkan jumlah garam
terlarut dan garam yang dapat dipertukarkan (Tan, 1982). Parameter yang diukur
adalah:
•
Daya hantar listrik atau Electrical Conductivity (EC) untuk kandungan
garam
•
Persentase Na-dd atau Exchangeable Sodium Percentage (ESP)
Berdasarkan nilai ESP dan EC, tanah salin dapat dikelompokkan menjadi tiga
(Tan, 1982), yaitu:
1. Tanah salin
9
2. Tanah salin alkali
3. Tanah nonsalin alkali
Tanah salin. Tanah ini dicirikan oleh nilai EC > 4 mmho/cm pada 25˚C
dengan ESP < 1%, pH < 8.5, oleh karena kelebihan garam dengan jumlah Na-dd
rendah pada kompleks pertukaran, maka tanah ini sering dalam keadaan
terflokulasi. Hal ini menyebabkan permeabilitas tanah ini sama atau lebih besar
daripada kedua tanah yang lain.
Tanah salin alkali. Tanah ini dicirikan oleh EC > 4 mmho/cm pada 25˚C
dengan ESP > 15%, pH ≤ 8.5. Jika tanah tertindih, kandungan garam bebas
berkurang, maka hidrolisis Na-dd dapat menyebabkan reaksi tanah sangat basa
(pH > 8.5).
Tanah nonsalin alkali. Nilai EC tanah ini < 4 mmho/cm pada 25˚C, dengan
ESP > 15 %. Kebanyakan Na berada dalam bentuk dapat ditukarkan dan sedikit
dalam bentuk garam bebas dalam larutan tanah. Kisaran pH umumnya antara 8.5
sampai 10. Hasil dari irigasi dapat menyebabkan kondisi sangat alkali makin
berkembang dan pH mencapai 10.
Penetapan nilai kritik EC = 4 mmho/cm didasarkan pada kandungan garam
yang dapat ditolerir tanaman. Menurut Scofield dalam Tan (1982) tanah akan
menjadi salin bila EC = 4 mmho/cm atau lebih. Berdasarkan pengalaman US
Laboratory menetapkan ESP = 15 % sebagai batas pembeda antar tanah alkali dan
non alkali. Namun demikian, tanaman yang berbeda akan menunjukkan tanggapan
yang berbeda pula terhadap ESP yang sama.
Pengaruh Garam pada Tanah dan Tanaman
Pengaruh salinitas terhadap tanaman antara lain menurunkan kecepatan
respirasi, kecepatan fotosintesis, sintesis protein, sintesis RNA, mengganggu
aktivitas enzim dan absorbsi hara. Pengaruh utama larutan garam terhadap
tanaman adalah terjadi tekanan osmosis dalam sel (internal) yang tinggi, sehingga
menyulitkan penyerapan air bagi pertumbuhan tanaman (Bohn et al., 1979).
Menurut Tan (1982) kepekatan garam yang tinggi menyebabkan tanaman
mengalami plasmolisis, sehingga air dalam tanaman bergerak keluar menuju
10
larutan
tanah.
Tanaman
yang
keracunan
garam
mengalami
hambatan
perpanjangan sel dan daun berwarna hijau kotor (berbintik hitam).
Tanaman yang dapat tumbuh pada tanah salin adalah tanaman-tanaman
yang toleran garam. Jenis tanaman berdasarkan ketahanannya terhadap salinitas
(Richards dalam Soepardi, 1983) adalah:
1. Ketoleranan tinggi: rumput bermuda, kapas, kurma, bit gula, rape, rumput
garam, milo.
2. Ketoleranan sedang: alfalfa, jelai, wortel, anggur, salada, oat, bawang, tomat.
3. Ketoleranan rendah: apel, kol, seledri, jeruk nipis, orange, kentang, pear,
peach.
Mekanisme
gangguan
garam
terhadap
tanaman
dapat
melalui
ketidakseimbangan hara. Kelebihan bikarbonat dapat menyebabkan kahat Fe.
Kelebihan garam dapat menyebabkan kahat Ca dan Mg. Di sisi lain pH tinggi
menyebabkan kelarutan unsur mikro berkurang, sehingga kahat unsur mikro.
Keberadaan ion Na dalam jumlah tinggi menyebabkan tanah tersuspensi.
Bila tanah dikeringkan seakan-akan menjadi gumpalan kompak dan keras, dan
membentuk lapisan keras di permukaan. Hal ini menyebabkan penurunan
porositas tanah, kelancaran udara pun terhambat (Dirjen Depdikbud, 1991).
Semuanya itu menimbulkan gangguan pertumbuhan tanaman.
Download