TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Kebutuhan Kedelai Produksi kedelai nasional pada tahun 2011 sebesar 851 ribu ton mengalami penurunan sebesar 56 ribu ton dibandingkan produksi tahun 2010 (BPS 2012). Penurunan produksi diperkirakan terjadi akibat dari penurunan luas panen (Tabel 1). Sebaliknya, kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, misalnya kebutuhan pada tahun 2011 adalah sebesar 2.16 juta ton, kemudian kebutuhan pada tahun 2012 meningkat menjadi sebesar 2.2 juta ton kedelai. Produksi kedelai nasional hanya sebesar 851 ribu ton atau 29% dari total kebutuhan, sehingga Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 2.09 juta ton untuk memenuhi 71% kebutuhan kedelai dalam negeri (BPS 2012). Tabel 1. Produksi, luas panen dan rataan produktivitas kedelai nasional tahun 2006-2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Produksi (ribu ton) 747.61 592.53 775.71 974.51 907.03 851.30 Luas Panen (Ha) 580 534 459 116 590 956 722 791 660 823 620 928 Produktivitas (Ku/Ha) 12.88 12.91 13.13 13.48 13.73 13.59 Sumber : BPS (2012) Taksonomi, Morfologi dan Budidaya Kedelai Kedelai dikelompokkan pada divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, ordo Rosales, famili Leguminoseae, sub famili Papilionaceae, genus Glycine, spesies Glycine max (L.) Merill. Kedelai memiliki jumlah kromosom somatik 2n = 40. Tanaman kedelai merupakan tanaman semusim, tanaman tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang, dan umur tanaman antara 72-90 hari. Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang (Adie & Krisnawati 2007). 8 Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri, yakni pada kepala putik diserbuki oleh tepung sari dari bunga yang sama. Bunga kedelai biasanya membuka pada pagi hari pada kondisi suhu relatif rendah dengan kelembaban yang cukup. Biasanya bunga kedelai telah terserbuki sebelum bunga membuka. Kemungkinan untuk terjadi penyerbukan silang sangat kecil yaitu kurang dari 1%. Keadaan ini mengakibatkan kedelai menjadi homozigot dan kemurnian varietas dapat dipertahankan selama beberapa generasi, sehingga biji-biji dalam satu polong adalah identik (Poelhman 1996). Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Kedelai diklasifikasikan sebagai tanaman hari pendek dikarenakan hari yang pendek akan menginisisasi pembungaan, karena lama periode gelap merupakan faktor yang menentukan dalam pembungaan. Penelitian menunjukkan bahwa dalam satu menit periode gelap dapat menghambat perkembangan bunga. Suhu hangat dapat mempercepat pembungaan dan pemasakan kedelai dan sebaliknya, suhu dingin akan menghambat dua proses tersebut (Adie & Krisnawati 2007). Kedelai dibudidayakan melalui tahapan pemilihan benih, persiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan. Dalam upaya meningkatkan produktivitas kedelai sangat diperlukan ketersediaan varietas unggul dan benih yang bermutu tinggi. Kedelai dapat tumbuh di berbagai agroekosistem dengan jenis tanah, kesuburan tanah, iklim, dan pola tanam yang berbeda sehingga kendala satu agroekosistem akan berbeda dengan agroekosistem yang lain. Oleh karena itu, ketersediaan varietas yang beradaptasi dengan setiap wilayah agroekosistem sangat diperlukan (Arsyad 2000). Tanaman kedelai biasanya ditanam pada lahan sawah (irigasi dan tadah hujan), lahan kering (masam dan non masam) dan lahan pasang surut (Adisarwanto & Sunarlim 2000). 9 Pengaruh Cekaman Al dan Mekanisme Toleransi Al pada Tanaman Lahan marginal di Indonesia sebagian besar berupa tanah kering masam dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai perluasan areal tanam karena luasnya mencapai 102.8 juta ha di Indonesia dan tersebar di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Luas tanah kering masam yang sesuai untuk usaha pertanian sekitar 55.8 juta ha (Mulyani et al. 2004). Tanah masam memiliki pH tanah ≤ 5.5 (Kochian et al. 2005). Saat pH tanah berada dibawah 5 maka aluminium (Al) dalam bentuk Al3+ akan meracuni perakaran tanaman. Sementara itu Sanchez (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman yang buruk pada tanah masam berkaitan dengan kejenuhan Al yang tinggi. Tanah masam dapat mengubah populasi dan aktivitas jasad mikro yang berperan pada transformasi N, S dan P dalam tanah, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur tersebut bagi tanaman.Tanah masam akan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur Mn dan Al (Kennedy 1992). Unsur-unsur ini merupakan racun bagi tanaman. Keberadaan Mn dan Al ada pada saat pH tanah rendah. Gejala keracunan Al sangat cepat (dimulai pada hitungan menit) akan menyebabkan kerusakan pada akar dan penyerapan air dan nutrisi akan terhambat. Respon yang sangat cepat mengindikasikan bahwa Al pertama kali akan menghambat perkembangan dan sel pada akar serta perpanjangan akar. Daerah keracunan Al terlokalisasi pada ujung akar (Ryan et al. 1997). Karena Al sangat reaktif maka banyak daerah yang menjadi target keracunan yaitu dinding sel, permukaan plasma membran, sitoskleton dan nukleus. Aluminium tidak hanya mempengaruhi dinding sel tetapi juga mengakibatkan kerusakan struktur membran plasma akar. Interaksi Al dengan senyawa lipid dan protein membran dapat memicu peroksidasi lipid sehingga sel kehilangan integritas membran plasma (Yamamoto et al. 2003). Dampak dari Al yaitu akan menginduksi reactive oxygen species (ROS) dan juga rusaknya membran oleh peroxidative (Horst et al. 1992). Mekanisme toleransi terhadap Al pada tanaman secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu mekanisme eksternal dan internal. Perbedaan utama antara dua mekanisme tersebut adalah tempat detoksifikasi Al, yaitu pada mekanisme eksternal di apoplas dan pada mekanisme internal di simplas. Mekanisme 10 eksternal merupakan mekanisme eksklusi Al (mencegah Al agar tidak melintasi membran plasma masuk ke simplas), yaitu selektivitas membran plasma terhadap pengambilan Al, meningkatkan pH dalam rizosfir atau apoplas akar, eksudasi senyawa organik pengkelat Al, dan immobilisasi Al pada dinding sel. Mekanisme internal merupakan mekanisme yang menyebabkan tanaman memiliki daya toleransi untuk mengakumulasi Al dalam sel (tanaman membiarkan Al masuk ke dalam simplas dan tidak memperlihatkan gejala keracunan). Mekanisme internal yaitu kompartementasi (pengurungan) Al di vakuola, sintesis protein pengikat Al yang akan menurunkan serapan Al, dan kelatisasi oleh asam organik (asam malat, oksalat, fenolat, fulfat dan tartat) di sitosol (Kochian et al. 2005). Mekanisme internal umumnya dimiliki oleh spesies tanaman pengakumulasi Al seperti tanaman teh (Camelia sinensis L.) dan melastoma (Melastoma sp). Kedelai tumbuh baik pada tanah yang sedikit masam sampai mendekati netral, pada pH 5.5-7.0 dan pH optimal 6.0-6.5. Pada kisaran pH tersebut hara makro dan mikro tersedia bagi tanaman kedelai. Pada tanah yang bereaksi masam (pH < 5.5), hara fosfor (P), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), dan sulfur (S) tidak mudah tersedia bagi tanaman kedelai (Khan et al. 2001). Pada tanah masam, unsur Mn, Al, dan Fe tersedia secara berlebihan, sehingga dapat bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah masam yang mengandung Al tinggi yaitu lebih dari 20% akan menyebabkan terjadinya keracunan pada akar kedelai, sehingga akar tidak berkembang (pendek dan tebal), tanaman tumbuh kerdil, daun berwarna kuning kecoklatan, dan tidak mampu membentuk polong (Sumarno & Manshuri 2007). Pemanfaatan Variasi Somaklonal untuk Seleksi In Vitro Variasi somaklonal adalah keragaman genetik yang berasal dari kultur in vitro (Larkin & Scowcroft 1981). Keragaman genetik merupakan faktor yang sangat penting dalam program pemulian tanaman. Variasi somaklonal pada tanaman yang dihasilkan dari kultur in vitro dapat digunakan untuk mendapatkan sumber keragaman genetik baru dalam upaya perbaikan sifat tanaman yang diinginkan serta untuk menghasilkan kultivar baru (Jain 2001). Perubahan genetik yang terjadi dalam kultur in vitro disebabkan oleh penggandaan kromosom, 11 perubahan struktur kromosom (pindah silang), perubahan gen dan sitoplasma (Bairu et al. 2011). Menurut Evans dan Sharp (1986) perubahan genetik yang terjadi dalam kultur in vitro meliputi mutasi gen pada genom nukleus dan sitoplasma, translokasi, delesi, inversi, transposabel elemen dan amplifikasi gen. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya variasi somaklonal yaitu sumber eksplan yang digunakan, lamanya sel atau jaringan tanaman yang dikulturkan secara in vitro, tipe regenerasi yang digunakan, genotipe tanaman donor, konsentrasi dan tipe zat pengatur tumbuh yang digunakan. Pada tanaman kedelai telah dilaporkan terjadi variasi somaklonal yang diregenerasikan melalui proses embriogenesis dan organogenesis. Penggunaan auksin 2,4-D dengan konsentrasi yang tinggi juga telah dilaporkan dapat menginduksi variasi somaklonal. Berbagai karakter dapat berubah akibat variasi somaklonal, akan tetapi karakteristik yang lain dilaporkan tetap menyerupai tanaman induknya (Gesteira et al. 2002). Seleksi in vitro adalah teknik yang sangat berguna untuk menghasilkan somaklon yang mempunyai karakteristik tertentu. Dengan teknik ini, variasi somaklonal akan dapat diinduksi dan hasilnya dapat diseleksi dalam media selektif yang sesuai. Dengan menggunakan seleksi in vitro, intensitas seleksi yang lebih besar dan lebih homogen dapat diberikan ke populasi sel dan jaringan tanaman sehingga dapat meningkatkan efisiensi didapatkannya varian tanaman yang diinginkan (Widholm 1996). Husni et al. (2006) menunjukkan bahwa metode seleksi in vitro dapat meningkatkan toleransi kedelai terhadap kekeringan yang ditunjukkan oleh kandungan prolin dari somaklon lebih tinggi daripada tanaman asalnya. Masalah yang sering dihadapi dalam seleksi in vitro adalah sulitnya induksi kalus dan teknik regenerasi dari sel yang tahan terhadap komponen seleksi menjadi planlet. Dengan demikian, induksi kalus serta teknik regenerasi perlu dikuasai terlebih dahulu. Variasi somaklonal dapat dimanfaatkan sebagai sumber keragaman genetik pada seleksi in vitro untuk memperoleh suatu sifat unik yang diinginkan. Teknik seleksi in vitro digunakan untuk mengembangkan tanaman toleran terhadap cekaman abiotik seperti toleran terhadap cekaman kekeringan, cekaman temperatur rendah dan tinggi, cekaman aluminium serta cekaman salinitas (Bajji 12 et al. 2004). Seleksi in vitro lebih efisien karena melalui seleksi in vitro jutaan sel dapat diseleksi dengan hanya menggunakan beberapa botol kultur, sedangkan seleksi di lapang harus menggunakan beratus-ratus tanaman yang diuji pada areal yang lebih luas, selain itu seleksi in vitro tidak terlalu dipengaruhi oleh lingkungan serta memungkinkan melakukan seleksi pada tingkat sel (Biswas et al. 2002). Embriogenesis Somatik Kedelai Tersedianya metode embriogenesis somatik merupakan salah satu syarat untuk melakukan seleksi in vitro. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Williams & Maheswaran 1986). Keuntungan embriogenesis dibandingkan metode lain adalah bahwa pada proses embriogenesis dilaporkan dapat dipertahankan dalam waktu yang relatif lama melalui pembentukkan kalus embriogenik yang berulang-ulang sehingga tidak tergantung sumber eksplan (Raemakers et al. 1995). Proses embriogenesis kedelai dilakukan melalui enam tahap yaitu induksi, proliferasi, histodifferensiasi, desikasi, germinasi dan konversi (Gambar 3). Proses induksi kalus yang ditunjukkan angka satu pada Gambar 3, dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan yang berasal dari embrio zigotik, kotiledon muda dan bagian tanaman seperti kotiledon, daun serta petiol. Untuk eksplan embrio zigotik, induksi dilakukan dengan menggunakan ZPT auksin, sedangkan untuk eksplan yang berasal dari kotiledon muda, digunakan auksin sebagai sumber ZPT, dan pada eksplan yang berasal dari bagian tanaman seperti kotiledon, daun serta petiol digunakan sumber ZPT kombinasi antara auksin dan sitokinin. Tahap proliferasi pada embrio somatik yang berasal dari eksplan kotiledon muda membutuhkan ZPT jenis auksin. Proses selanjutnya adalah maturasi atau pendewasaan kemudian desikasi lalu germinasi atau perkecambahan dan proses terakhir adalah konversi menjadi tanaman. 13 Embrio zigotik Bagian kotiledon, daun, petiol Kotiledon Muda Eksplan Sitokininn Auksin Eksplan Eksplan Auksin + Sitokinin Induksi Proliferasi Auksin Ekspl an Histodifferensiasi/ Maturasi Desikasi Gambar 3. Germinasi Konversi Proses embriogenesis pada kedelai. (Sumber : Wiebke-Strohm et al. 2012) Eksplan yang digunakan dapat berasal dari embrio zigotik, kotiledon muda, dan bagian dari jaringan tanaman yaitu kotiledon, buku batang, daun (Lazzeri 1985). Embriogenesis somatik pada kedelai dilaporkan pertama kali oleh Christianson et al. (1983). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa embrio somatik dapat diperoleh secara langsung atau tidak langsung (melalui kalus) 14 (Ranch et al. 1985; Barwale et al. 1986). Keberhasilan dalam somatik embriogenesis sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yaitu genotipe, jenis dan umur eksplan dan konsentrasi ZPT (Jimènez 2005). Penelitian mengenai embriogenesis somatik kedelai telah dilakukan oleh para peneliti baik di Indonesia dan di manca negara yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Penelitian embriogenesis somatik kedelai di manca negara dan di Indonesia Varietas/Genotipe Eksplan Komposisi media ZPT Hasil penelitian Pustaka 10 kultivar kedelai Kotiledon muda 4-6 mm Induksi : ½ MS + vit B5 + sukrosa 30 g/l + phytagel 2 g/l , pH 7.0 Proliferasi : ½ MS + vit B5 + sukrosa 30 g/l + phytagel 2 g/l , pH 5.8 Histodifferensiasi : MS + vit B5 + maltosa 60 g/l + 5 g/l arang aktif + phytagel 2 g/l , pH 5.8 Maturasi : MS + Vit B5 + maltosa 60 g/l + phytagel 2 g/l , pH 5.8 Germinasi : MS0 + vit B5 + sukrosa 30 g/l + phytagel 2 g/l , pH 7.0 2,4-D 180µM (40 mg/l) 2,4-D 90µM (20 mg/l) cv. CD 12 merupakan genotipe harapan untuk menghasilkan somatik embrio. Untuk mendapatkan tanaman pada metode embriogenesis memerlukan waktu sepuluh bulan. Texeira et al. 2011 BRSMG 68 Vencedora, IAS-5 Kotiledon muda 3-4 mm Induksi : MS + vit B5 + sukrosa 30 g/l + phytagel 2 g/l, pH 7.0 Proliferasi : MS + vit B5 + sukrosa 30 g/l + phytagel 2 g/l , pH 5.8 2,4-D 180µM (40 mg/l) 2,4-D 90µM (20 mg/l) BRSMG 68 Vencedora memiliki potensi untuk menginduksi embrio yang tinggi Droste et al. 2010 cv. K10 Kotiledon, pucuk, buku akar, kotiledon muda, embrio aksis muda Induksi embrio somatik primer : MS + vit B5 + sukrosa 60 g/l + gelrite 2 g/l + asparagin 5 mM + glutamin 684μM, pH 5.8 Induksi embrio somatik sekunder : MS + vit B5 + sukrosa 30 g/l + gelrite 2 g/l + asparagin 5 mM + glutamin 684μM, pH 5.8 Maturasi : MS + vit B5 + maltosa 60 g/l + gelrite 2 g/l + arang aktif 5 g/l, pH 5.8 2,4-D 164.8μM Pemilihan jenis dan umur eksplan berpengaruh terhadap keberhasilan embriogenesis somatik. Penggunaan eksplan embrio muda (2-3 minggu setelah anthesis) sesuai pada genotipe cv. K10 dibandingkan penggunaan eksplan yang lain. Loganathan et al. 2010 2,4-D 123.6μM 15 Varietas/ Genotipe 98 varietas kedelai dari Cina Ceneng, Pangrango, CG30-10, CG-76-10, Godek, Slamet Eksplan Komposisi media Kotiledon muda Germinasi: MS0 + vit B5 + sukrosa 30 g/l + gelrite 2 g/l , pH 7.0 Regeneras i: MS0 + vit B5 + manitol 30 g/l+ gelrite 2 g/l Induksi : MS + 2 g/l gelrite B5 + 30 g/l sukrosa Kotiledon muda Proliferasi : MS + 2 g/l gelrite B5 + 30 g/l sukrosa ZPT ABA 5 mg/l NAA 10 mg/l + 2,4-D 10 mg/l NAA 5 mg/l + 2,4-D 5 mg/l Ceneng, Godek, CG-76-10, Cg30-10 Kotiledon muda Induksi : MS + 2 g/l gelrite B5 + 30 g/l sukrosa NAA 5 mg/l 14 genotipe kedelai Kotiledon muda Induksi embrio somatik primer : MS + 2 g/l gelrite + vit B5 + 30 g/l sukrosa 2,4-D 40 mg/l Induksi embrio somatik sekunder : MS + 2 g/l gelrite + vit B5 + 30 g/l sukrosa Germinasi: MS + 2 g/l gelrite + vit B5 + sukrosa 30 g/l arang aktif 1g/l 2,4-D 10 mg/l + NAA 10 mg/l GA3 2 mg/l + BAP 2 mg/l Regenerasi: MS + 2 g/l gelrite + vit B5 + sukrosa 30 g/l 10 var Kedelai Embrio aksis muda MS + 2 g/l gelrite + 60 g/l sukrosa + glisin 2 mg/l +arginin 100 mg/l + glutamin 100 mg/l 2,4-D 40 mg/l Hasil penelitian Pustaka Eksplan kotiledon muda (4-5 mm) paling sesuai untuk embriogenesis somatik. Genotipe Ceneng menunjukkan respon induksi dan proliferasi kalus embriogenik terbaik. Yang et al. 2009 Genotipe Ceneng menghasilkan rataan embrio fase globular tertinggi. Eksplan kotiledon yang ditanam dalam media yang mengandung 2,4D dengan atau tanpa NAAA membentuk ES lebih banyak dibandingkan dalam media dengan NAA. Media dengan 2,4D lebih cocok untuk menginduksi pembentukan embrio somatik sekunder dari embrio somatik primer. Riyadi 2009 varietas Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu, Agromulyo menunjukkan sifat lebih embrionik Mariska et al. 2004 Khumaida dan Handayani 2010 Widoretno et al. 2003 16 Zat Pengatur Tumbuh Beberapa faktor penting yang mempengaruhi induksi kalus dan regenerasi tanaman yaitu pemilihan jenis eksplan, genotipe dan suplemen media yang digunakan mencakup tipe dan kuantitas zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dalam perbanyakan in vitro, auksin berperan dalam merangsang pembentukan kalus, pemanjangan sel, pembesaran jaringan dan pembentukan akar. Pengaruh sitokinin dalam perbanyakan in vitro adalah merangsang pembelahan sel dan multiplikasi tunas (George & Sherrington, 1984). Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik pada kedelai (Texeira et al. 2011, Droste et al. 2010, Loganathan et al. 2010). Tahap proliferasi pada embrio somatik yang berasal dari eksplan kotiledon muda membutuhkan ZPT jenis auksin. Perbandingan konsentrasi auksin dan sitokinin perlu diperhatikan karena adanya sifat antagonis dari sitokinin terhadap auksin dalam inisiasi dan perbanyakan akar. Tunas akan terbentuk apabila media mengandung sitokinin yang tinggi dan auksin yang rendah, sedangkan akar terbentuk apabila perbandingan zat-zat tersebut didalam media adalah sebaliknya. Morfogenesis eksplan tergantung kepada keseimbangan auksin dan sitokinin di dalam media dan interaksi antara zat pengatur tumbuh endogen pada tanaman serta zat pengatur tumbuh eksogen yang diserap dari media tumbuh (Wattimena 1992). Komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro sangat berperanan dalam induksi kalus serta regenerasi kalus menjadi tunas. Interaksi antara sitokinin dan auksin merupakan hal yang sangat penting dalam mengontrol proses pertumbuhan dan perkembangan dalam kultur in vitro. Walaupun auksin berperan utama dalam pembelahan sel, namun dalam beberapa tanaman sitokinin juga sangat dibutuhkan untuk poliferasi kalus (Wattimena 1992).