Efek samping umum dari protease inhibitor

advertisement
Efek samping umum dari protease inhibitor hepatitis C:
pedoman pengelolaan klinis diterbitkan
Oleh: Michael Carter, 20 Januari 2012
Sebuah artikel yang diterbitkan di Liver International menyatakan bahwa penambahan protease inhibitor
telaprevir atau boceprevir ke rejimen pengobatan hepatitis C meningkatkan risiko anemia. Para penulis
juga menemukan bahwa pengobatan telaprevir terkait dengan peningkatan risiko ruam dan gatal serta
beberapa gejala anorektal lainnya.
Namun, efek samping ini biasanya ringan dan dapat dikelola tanpa membutuhkan penghentian terapi.
Telaprevir (Incivek/Incivo) dan boceprevir (Victrelis) baru-baru ini disetujui untuk pengobatan
monoinfeksi hepatitis C genotipe 1 dalam kombinasi dengan interferon pegilasi dan ribavirin.
Percobaan klinis menunjukkan bahwa menggunakan salah satu dari obat-obatan ini dalam kombinasi
dengan interferon pegilasi dan ribavirin dapat memperbaiki tingkat tanggapan virologi bertahan
dibandingkan dengan terapi dengan interferon pegilasi dan ribavirin saja.
Studi yang sama juga menunjukkan bahwa penambahan obat-obatan ini juga meningkatkan risiko
beberapa efek samping seperti gatal pada kulit, ruam, neutropenia, anemia dan gangguan gastrointestinal
seperti mual, diare, dan gejala anorektal.
Efek samping dapat memengaruhi kepatuhan terhadap terapi atau memimpin kepada penghentian terapi
secara dini. Pemahaman dari keparahan dan pengelolaan efek samping adalah penting untuk mengelola
efek samping secara optimal pada pasien yang menggunakan terapi hepatitis C di perawatan klinis rutin.
Oleh karena itu, Dr. Christophe Hézode dari Hôpital Henri Mondor, Paris, meninjau hasil dari studi fase
II/III yang dilakukan selama perkembangan telaprevir dan boceprevir.
Tinjauan studi menunjukkan bahwa kedua obat ini meningkatkan risiko anemia. Sekitar 50% dari pasien
yang diobati dengan boceprevir mengembangkan anemia, dan sekitar 40% dari pasien yang diobati
dengan telaprevir mengembangkan anemia. Diperkirakan hal ini disebabkan karena kedua obat memiliki
dampak penekanan pada sumsum tulang.
Anemia merupakan efek samping yang diketahui disebabkan oleh ribavirin. Penambahan salah satu dari
protease inhibitor ini menambah efek samping anemia.
Dampak dari anemia pada perubahan tanggapan virologi bertahan adalah berbeda untuk telaprevir dan
boceprevir. Efek samping tidak memiliki dampak pada tanggapan pengobatan pada pasien yang belum
pernah diobati dengan telaprevir. Namun, studi boceprevir yang mencakup pasien yang pernah
menggunakan dan belum pernah menggunakan pengobatan menunjukkan bahwa kehadiran anemia
terkait dengan hasil yang lebih baik.
Penghentian secara dini yang disebabkan oleh anemia adalah jarang.
Strategi pengelolaan efek samping termasuk penggunaan terapi penunjang atau pengurangan dosis
ribavirin. Pengurangan dosis ribavirin harus dipertimbangkan pada beberapa keadaan.
Dalam penelitian boceprevir, 43% pasien dengan anemia menerima terapi pendukung dengan
eritropoietin (EPO). Namun, penulis berpendapat bahwa strategi tersebut akan bermasalah dalam
perawatan rutin.
Anemia dikelola pada sekitar seperempat pasien dengan menurunkan dosis ribavirin. Hal ini tampaknya
tidak mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk mencapai tanggapan virologi berkelanjutan.
Dalam penelitian boceprevir, hanya pengurangan dosis ribavirin sebesar 60% atau lebih dari dosis yang
direncanakan yang dapat memengaruhi hasil virologi. Pengurangan dosis ribavirin ketika viral load
hepatitis C tidak terdeteksi tampaknya menjadi pilihan yang paling aman.
Namun, penggunaan EPO berarti bahwa dosis penuh ribavirin sering dapat dipertahankan, terapi
pendukung ini mengarah ke peningkatan kualitas hidup pasien.
Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/
Efek samping umum dari protease inhibitor hepatitis C: pedoman pengelolaan klinis diterbitkan
Untuk pasien yang berpengalaman dengan pengobatan, protease inhibitor dikaitkan dengan tingginya
angka anemia (40%-57%). Banyak dari individu memiliki sirosis hati. Terapi EPO diberikan kepada
41%-45% dari pasien dan 4%-17% membutuhkan transfusi darah.
“Terapi kombinasi tiga obat pada pasien dengan sirosis harus diberikan secara hati-hati dengan
pemantauan keamanan yang intensif, termasuk pemantauan anemia,” para penulis mencatat.
Reaksi kulit adalah efek samping terapi kombinasi dengan interferon pegilasi dan ribavirin yang paling
sering terjadi. Risiko ini tampaknya meningkat dengan penambahan protease inhibitor, terutama
telaprevir.
Pada studi Tahap II/III, 55% pasien yang diobati dengan telaprevir mengembangkan ruam, dibandingkan
dengan sepertiga dari mereka di kelompok plasebo.
Ruam ini serupa dengan yang terkait dengan terapi hepatitis C standar. Namun, penambahan telaprevir
membuat ruam lebih meluas dan parah.
Sebagian besar ruam termasuk eksim dan gatal. Lebih dari 90% adalah ringan atau sedang serta
melibatkan kurang dari 30% wilayah tubuh. Ruam dapat berkembang kapan saja selama penggunaan
terapi dengan telaprevir. Risiko terkait obat ini menghilang setelah terapi selesai.
Perkembangan menjadi ruam yang lebih parah adalah jarang. Insidensi keseluruhan dari ruam yang
serius adalah 5% pada lengan studi telaprevir, dibandingkan dengan 0,4% pada lengan plasebo. Tingkat
penghentian terapi karena ruam parah adalah 6% untuk pasien yang diobati dengan telaprevir dan 3%
untuk pasien yang diobati dengan terapi standar.
Beberapa kasus ruam diklasifikasikan sebagai efek samping kulit parah, yang dapat mengancam jiwa.
Ada dua contoh kasus Stevens-Johnson yang dikonfirmasi. Semua efek samping menghilang setelah
terapi dihentikan.
Dr. Hézode mengatakan bahwa dokter perlu untuk dapat membedakan antara dermatitis yang dapat
dikelola, ruam parah dan reaksi kulit yang parah sebagai akibat efek samping.
Ruam lokal, atau ruam yang menyebar kurang dari 50% dari luas permukaan tubuh, dapat dikelola,
namun memerlukan pemantauan ketat untuk gejala perkembangan ruam. Jika ruam terus berkembang,
telaprevir harus dihentikan, dan jika ruam tidak membaik dalam tujuh hari, ribavirin juga harus
dihentikan.
Dalam kasus ruam berat yang meliputi setidaknya separuh dari permukaan tubuh, atau ketika ruam
disertai dengan gejala sistemik seperti demam, atau terdapat ulserasi, pengelupasan kulit atau lesi
lainnya, pasien harus berkonsultasi dengan dokter. Telaprevir harus dihentikan dan jika tidak ada
perbaikan dalam tujuh hari, ribavirin dan/atau interferon pegilasi juga harus dihentikan.
Pada kasus yang paling parah, dimana gejala sistemik hadir bersama dengan eosinofilia, atau ketika
gejala Stevens-Johnson telah berkembang, semua obat harus segera dihentikan dan pasien harus segera
dirawat inap.
Ruam yang kurang serius dapat dikelola dengan:
• Krim emolien untuk mengobati ruam eksim
• Kortikosteroid topikal
• Antihistamin sistemik (bukan astemizol atau terfenadine)
• Baking soda (setengah cangkir) atau oatmeal dalam air mandi
• Mengenakan pakaian longgar.
Telaprevir juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko gejala anorektal (26 vs 5% untuk plasebo).
Gejala ini biasanya berkembang selama dua minggu pertama dari terapi dan biasanya melibatkan wasir,
rasa gatal pada dubur, ketidaknyamanan dan rasa terbakar pada dubur. Sebagian besar gejala ini ringan
atau sedang dan menghilang setelah terapi dengan telaprevir selesai. Namun, pada beberapa orang, gejala
ini sangat parah sehingga pengobatan dihentikan sebelum waktunya.
Pemeriksaan dubur dianjurkan untuk menyingkirkan penyebab lainnya yang dapat menyebabkan gejala
–2–
Efek samping umum dari protease inhibitor hepatitis C: pedoman pengelolaan klinis diterbitkan
yang sama. Manajemen dengan krim topikal dan antihistamin adalah pilihan yang lebih disukai.
Kedua protease inhibitor dimetabolisme oleh hati dan karena itu dapat berinteraksi dengan sejumlah obat
lain.
Kontraindikasi untuk telaprevir termasuk antikonvulsan seperti phenytoin, serta rifampisin, St John wort,
beberapa statin dan obat disfungsi ereksi. Boceprevir memiliki lebih sedikit kontraindikasi yang
diketahui, termasuk kontraindikasi terhadap antimalaria lumefantrine dan halofantrine, beberapa
benzodiazepin oral, dan sejumlah derivatif ergot.
Ringkasan: Common side-effects of hepatitis C protease inhibitors: clinical management advice
published
Sumber: Hézode C Boceprevir and telaprevir for the treatment of chronic hepatitis C: safety management in clinical practice. Liver International
32: 32-38, 2012.
–3–
Download