DBD - USU-IR - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Berdarah Dengue
2.1.1. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus degue. Virus dengue merupakan Arbovirus B (Arthropod borne virus),
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus ini termasuk virus dengan single
stranded RNA (Centers for Disease Control Prevention, 2003).
2.1.2. Epidemiologi
Epidemi pertama kali di wilayah Asia Tenggara terjadi pada tahun 1954 di
Manila, Philipina. Selanjutnya secara berangsur – angsur menyebar ke negara yang
berdekatan. Pada tahun 2005 jumlah kasus DBD di Asia Tenggara cenderung
meningkat 19% dan mortalitas meningkat sekitar 43% dibandingkan tahun 2004 dan
Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus DBD untuk wilayah Asia Tenggara
(World Health Organisation, 2009).
Sejak ditemukan kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, angka
kejadian penyakit DBD meningkat dan menyebar ke seluruh kabupaten di wilayah
Republik Indonesia termasuk kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Timor
Timor. Kasus yang pertama kali dilaporkan dengan jumlah kematian sebanyak 24
orang. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan
Incidence Rate (IR) 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2% (Soegeng, 2008)
Epidemi demam berdarah dengue dilaporkan di Provinsi Sumatera Utara
jumlah kasus DBD tahun 2008 sebanyak 4.454 kasus dengan jumlah kasus meninggal
49 kasus (CFR 1,10%) (IR 34,49) dan jumlah kasus DBD pada tahun 2009 sebanyak
4.534 kasus dengan jumlah kasus yang meninggal 57 kasus (CFR 1,26%) (IR 34,46).
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan 1 dari 6 propinsi yang mengalami peningkatan kasus
DBD pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2008. (Kusriastuti, 2010).
2.1.3. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue yang dapat dibedakan menajadi
4 strain yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus dengue berbentuk batang,
bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksilat,
stabil pada suhu 70°C. Keempat serotipe telah ditemukan pada pasien-pasien di
Indonesia. Dengue 3 merupakan serotype yang paling banyak beredar (Suhendro dkk,
2007).
2.1.4. Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut mengandung virus
dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada
telurnya (transsovarian transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak
penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi
bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Depkes RI, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Patogenesis
Patogenesis DBD dan sindroma syok dengue (SSD) masih merupakan
masalah yang kontroversial karena sejauh ini belum ada teori yang dapat menjelaskan
secara tuntas patogenesis DBD, namun sesuai perubahan patofisiologi utama yang
terjadi yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler dan hemostasis yang abnormal.
Permeabilitas
vaskuler
yang
meningkat
mengakibatkan
kebocoran
plasma,
hipovolemi dan syok. Kebocoran plasma dapat menyebabkan asites. Gangguan
homeostasis dapat menimbulkan vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati,
sehingga memunculkan menifestasi perdarahan seperti petekie, ekimosis, perdarahan
gusi, epistaksis, hematemesis dan melena (Shepherd, 2007).
Secara garis besar ada dua teori yang banyak dianut untuk menjelaskan
perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu teori infeksi primer/teori virulensi
dan teori infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau teori infection
enhancing antibody (Soegeng, 2008; Kumar dkk, 2005).
Teori pertama mengatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasai virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunai kemampuan untuk
menimbulkan wabah (Soegeng, 2008).
Teori tersebut dibuktikan oleh para peneliti di bidang virus yang mencoba
memeriksa sekuens protein virus. Penelitian secara molekular biologi ini
mendapatkan hal yang menarik. Pada saat sebelum KLB (kejadian luar biasa), selama
KLB dan setelah reda KLB ternyata sekuens protein tersebut berbeda (Soegeng,
2008).
Teori kedua menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi
primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi jenis
virus tersebut untuk jangka waktu yang lama tetapi jika orang tersebut mendapat
Universitas Sumatera Utara
infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang
berat (Soegeng, 2008; Suhendro dkk, 2007).
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suhendro dkk, 2007).
Hipotesis yang banyak dianut adalah infeksi sekunder virus dengue heterolog
(the secondary heterologous infection) dan setelahnya virulensi virus. Infeksi
sekunder virus dengue heterolog dimaksud diperkirakan jika terjadi dalam rentang
waktu 5 atau 6 bulan hingga 5 tahun sejak infeksi primer (Soegeng, 2008; Suhendro
dkk, 2007).
Bukti – bukti yang mendukung hipotesis ini antara lain, menghilangnya virus
dengue dengan cepat baik dari darah maupun jaringan tubuh, kadar IgG yang tinggi
sejak permulaan sakit, serta penurunan komplemen serum selama fase renjatan
(Soegeng, 2008).
Pada infeksi sekunder heterolog, virus berperan sebagai super antigen setelah
difagosit oleh manosit atau makrofag, membentuk Ab non-netralising serotipe yang
berperan cross-reaktif serta kompleks Ag-Ab yang mengaktifkan sistem komplemen
(terutama C3a dan C5a) dan histamin (Soegeng, 2008).
Reaksi sekunder setelah peningkatan replikasi virus intra sel adalah aktivasi
sistem komplemen (C3 dan C5), degranulasi sel mast dan aktivasi sistem kinin
(Soegeng, 2008).
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat di (Gambar 2.1.) yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seseorang pasien, respons limfosit T memori akan mengakibatkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue.
Disamping itu, replikasi dapat juga terjadi dalam plasmosit. Hal ini akan
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen yang dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma keluar. Pada pasien dengan
syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung
selama 24-48 jam. Kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan
hematokrit dan penurunan natrium. Akibat pindahnya plasma ke rongga tubuh
seperti pleura dan cavum abdominal dapat menimbulkan efusi pleura dan asites.
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data
epidemiologis dan laboratoris (Soegeng, 2008).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah,
akhirnya dapat mengakibatkan perdarahan. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endhothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. (Suhendro dkk,
2007). Agregasi trombosit ini akan menyebabkan penglepasan platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulasi intravaskular diseminata (KID), sehingga
terjadi penurunanfaktor pembekuan yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrin
degradation product). Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
Hageman akibatnya terjadi aktivasi faktor Hageman akibatnya terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercapat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
Universitas Sumatera Utara
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat shock yang terjadi (Soegeng, 2008; Suhendro dkk, 2007; Dharma dkk,
2006).
Infeksi Virus Dengue Heterologous Sekunder
Replikasi Virus
(antigen)
Respons antibodi sebelumnya
(antibodi)
Kompleks virus antibodi
(Antigen antibodi)
Agregasi trombosit
Pelepasan trombosit
Oleh RES
Trombositopeni
Aktivasi koagulasi
Pelepasan faktor III
trombosit
Aktivasi faktor hegeman
Pemakaian
koagulapati
Aktivasi komplemen
Anafilatoksin
Sistem kinin
Permeabilitas
Pembuluh darah
Kinin
Kegagalan Fungsi
Trombosit
Faktor pembekuan
FDP
Renjatan
Perdarahan hebat
Gambar 2.1. Patogenesis Perdarahan Pada DBD
Sumber : Suvatte, 1977
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Manifestasi Klinis
2.1.6.1. Gejala Klinis
DBD dapat memperlihatkan berbagai macam gejala antara lain (WHO,
2009) :
a.
Gejala pada penyakit DBD diawali dengan demam mendadak dengan facial
flushing dan gejala-gejala konstitusional non spesifik yang lain seperti anoreksia,
lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, sakit kepala (retroorbital pain), nyeri
otot, tulang dan sendi. Beberapa pasien mengeluh sakit tenggorokan, tapi rinitis
dan batuk jarang terjadi. Suhu biasanya tinggi (>39°C) dan tetap seperti itu
selama 2-7 hari. Kadang-kadang suhu dapat mencapai 40-41°C yang dapat
menyebabkan kejang demam pada bayi.
b.
Fenomena perdarahan yang paling umum adalah uji torniquet positif, petekie,
ekimosis, dan purpura. Epistaksis dan perdarahan gingiva jarang terjadi,
perdarahan gastrointestinal dapat dialami selama periode demam.
c.
Hepatomegali (pembesaran hati). Hepar biasanya dapat dipalpasi pertama kali
pada fase demam dan ukurannya bermacam-macam yaitu 2-4 cm dibawah batas
kosta. Walaupun ukuran hepar tidak berkorelasi dengan berat penyakit,
pembesaran hepar ditemukan lebih sering pada kasus syok dari pada non syok.
Limfadenopati pada DBD bersifat generalisata.
d.
Tahap kritis dari rangkaian penyakit didapatkan pada akhir fase demam. Setelah
2-7 hari demam, penurunan cepat suhu sering diikuti tanda-tanda gangguan
sirkulasi. Pasien tampak berkeringat, menjadi gelisah, ekstremitasnya dingin, dan
menunjukkan perubahan pada frekuensi denyut nadi dan tekanan darah. Pada
kasus yang kurang berat, perubahan ini minimal dan sementara. Sebagian pasien
sembuh spontan, atau setelah periode singkat terapi cairan dan elektrolit. Pada
kasus lebih berat, ketika kehilangan banyak melampaui batas kritis maka syok
pun terjadi dan berkembang kearah kematian bila tidak ditangani dengan cepat.
e.
Sindroma syok dengue didiagnosa bila memenuhi semua dari empat kriteria
untuk DBD ditambah bukti kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lemah dan
Universitas Sumatera Utara
cepat dan tekanan darah menurun menjadi <20 mmHg, hipotensi, kulit lembab
dan dingin, gelisah serta perubahan status mental.
2.1.6.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada DBD hasil pemeriksaan laboratorium umumnya memberikan hasil
sebagai berikut (WHO, 2009):
a. Leukopenia dan limfositosis
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa pada pemeriksaan sumsum tulang
penderita DBD pada awal masa demam, terdapat hipoplasia sumsum tulang
dengan hambatan pematangan dari semua sistem hemopoesis. Pada penderita
DBD dapat terjadi leukopenia ringan sampai leukositosis sedang. Leukopenia
dapat dijumpai antara hari pertama dan ketiga dengan hitung jenis yang masih
dalam batas normal. Jumlah granulosit menurun pada hari ketiga sampai
kedelapan. Dalam sediaan apus darah tepi penderita DBD dapat ditemukan
limfosit bertransformasi atau atipik, terutama pada infeksi sekunder.
b.
Trombositopenia
Penyebab trombositopenia pada DBD antara lain diduga trombopoeisis yang
menurun dan destruksi trombosit dalam darah meningkat serta gangguan fungsi
trombosit. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga
sebagai penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh
sistem retikuloendotelial khususnya dalam limpa dan hati.
c.
Hemokonsentrasi, hiponatremia, hipoalbuminemia
Hemokonsentrasi, hiponatremia, hipoalbuminea rendah adalah suatu tanda
hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma sebagai akibat
permeabilitas vaskuler yang meningkat.
d.
PTT dan APTT memanjang, FDP meningkat
Kompleks virus antibodi atau mediator dari fagosit yang terinfeksi virus pada
DBD dapat mengaktifkan sistem koagulasi, dimulai oleh aktivasi faktor XII
Universitas Sumatera Utara
menjadi XIIa, faktor koagulasi kemudian akan diaktifkan secara berurutan
mengikuti suatu kaskade sehingga akirnya terbentuk fibrin. Selain itu faktor XIIa
uga mengaktifkan sistem fibrinolisis yang menyebabkan perubahan plasminogen
manjadi plasmin. Plasmin mempunyai sifat proteolitik dengan sasaran fibrin.
Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat
menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen V, VII, VIII, IX dan X
serta plasminogen. Dan sebagai kompensasinya FDP meningkat, PTT dan APTT
memanjang.
e.
Aspartate transaminase dan alanine transaminase
Hepatitis atau nekrosis fokal pada hepar yang disebabkan oleh infeksi virus
dengue pada hepatosit menyebabkan peningkatan aspartate transaminase dan
alanine transaminase.
2.1.7. Diagnosis DBD
Pedoman yang dipakai dalam menegakkan diagnosis DBD ialah kriteria yang
disusun oleh WHO (1999). Kriteria tersebut terdiri atas kriteria klinis dan laboratoris
(WHO, 2009):
Kriteria Klinis terdiri atas:
1. Demam tinggi mendadak (38,2°C-40°C) dan terus menerus selama 2-7 hari tanpa
sebab yang jelas. Demam pada penderita DBD disertai batuk, faringitis, nyeri
kepala, anoreksia, nausea, vomitus, nyeri abdomen, selama 2-4 hari, juga mialgia
(jarang), atralgia, nyeri tulang dan lekopenia.
2. Manifestasi perdarahan, biasanya pada hari kedua demam, termasuk setidaktidaknya uji bendung (uji Rumple Leede/Tourniquette) positif dan salah satu
bentuk lain perdarahan antara lain purpura, ekimosis, hemstoma, epistaksis,
perdarahan gusi dan konjuntiva. Perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena,
atau hematochezia), mikroskopik hematuria atau menorraghia.
Universitas Sumatera Utara
3. Hepatomegali, mulai dapat terdeteksi pada permulaan demam.
4. Manifestasi kebocoran plasma (hemokonsetrasi), mulai dari yang ringan seperti
kenaikan hematokrit >20% dibandingkan sebelumnya, sampai yang berat yaitu
syok (nadi cepat, lemah, kaki/tangan dingin, lembab, gelisah, sianosis dan
kencing berkurang)
Kriteria Laboratoris terdiri atas:
1.
Trombositopenia (<100.000/mm³) biasanya ditemukan pada hari ke 2 atau 3,
terendah pada hari ke 4-6, sampai hari ke 7-10 sakit.
2.
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%)
Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria klinis dan 2 kriteria
laboratoris (WHO, 1999).
Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan yaitu (WHO, 2009):
a) Derajat I: demam tinggi disertai gejala tidak khas. Satu – satunya tanda perdarahan
adalah tes torniquet positif atau mudah memar.
b) Derajat II: gejala derajat I ditambah dengan perdarahan spontan di kulit atau di
tempat lain.
c) Derajat III: ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi (nadi cepat, lemah,
hipotensi, kaki/tangan dingin, lembab, sianosis, gelisah)
d) Derajat IV: terjadi syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
yang tidak dapat diperiksa. (Gambar 2.2.)
Universitas Sumatera Utara
Infeksi Dengue
Demam
Tes tourniket
positif
Peningkatan
permeabilitas
vaskular
Hepatomegali
Trombositopenia
Derajat I
Manifestasi
perdarahan lain
Derajat II
Peningkatan hematokrit
Hipopreteinemia
Efusi serosa
Rembesan
Plasma
Hipovolemia
Koagulopati
Derajat III
Koagulasi
Intravaskular
diseminata
Syok
Derajat IV
Perdarahan
Hebat
Kematian
Gambar 2.2. Spektrum Demam Berdarah Dengue
Universitas Sumatera Utara
Untuk diagnosis pasti DBD dapat ditegakkan bila ditemukannya virus dengue
didalam darah. Metode isolasi virus merupakan gold standard pemeriksaan virus
dengue (Soegeng, 2008).
Pengambilan darah idealnya harus diambil selama periode demam dan lebih
baik sebelum hari kelima sakit. Setelah spesimen diambil selanjutnya dilakukan
kultur sel dan akhirnya dapat diidentifikasi setelah 2-3 minggu. Keterbatasan metode
ini adalah sulitnya peralatan dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasil, sehingga isolasi virus hanya dilakukan untuk penelitian (Adnin, 2000).
2.1.8. Diagnosis Banding
Yang dapat dijadikan pembanding dari DBD agar tidak keliru dalam
mendiagnosis ialah sebagai berikut
1.
Campak
Penyakit campak disebabkan oleh virus campak. Genus morbilivirus Famili
Paramyxoviridae dengan masa inkubasi selama 8-12 hari dan penularan melalui
aerosol (percikan batuk maupun bersin penderita). Gejala prodormal ditandai dengan
malaise, panas mencapai 38°C berlangsung 7-10 hari, anoreksia batuk pilek dan
konjungtivitis. Patognomonis penyakit campak adalah adanya bercak koplik berupa
bercak merah dengan warna putih ditengahnya di mukosa pipi berhadapan dengan
gigi molar kedua, dijumpai sekitar akhir masa prodormal, tepat sebelum timbul ruam.
Pada hari ke 3-7 hari sakit timbul ruam kemerahan pada kulit yang menyebar
keseluruh tubuh mulai dari muka, kemudian meliputi badandan akhirnya ekstremitas,
akan tetapi telapak tangan dan kaki tidak ditemukan adanya ruam tersebut. Setelah 1
minggu ruam itu pun kemudian menghitam dan mengelupas (Shepherd, 2007).
2. Chikungunya
Chikungunya adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini terdapat di dearah tropis, khususnya di perkotaan wilayah
Asia, India, dan Afrika Timur. Masa inkubasi diantara 2-4 hari dan bersifat self
limiting dengan gejala akut akut (demam onset mendadak (>40°C), sakit kepala, nyeri
Universitas Sumatera Utara
sendi (sendi-sendi dari ekstremitas menjadi bengkak dan nyeri bila diraba), mual,
muntah, nyeri abdomen, sakit tenggorokan, limfadenopati, malaise, kadang timbul
ruam, perdarahan jarang terjadi, dan berlangsung 3-10 hari. Gejala diare, perdarahan
saluran cerna, refleks abnormal, syok dan koma tidak ditemuan pada chikungunya.
Sisa arthralgia suatu masalah untuk beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah
fase akut. Kejang demam bisa terjadi pada anak-anak. Belum ada terapi spesifik yang
tersedia, pengobatan bersifat suportif untuk demam dan nyeri (analgesik dan
antikonvulsan) (Shepherd, 2007).
3.
Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang dapat bersifat akut maupun kronik,
disebabkan oleh protozoa intraselular obligat Plasmodium falciparum, P. vivax, P.
ovale, dan P. malariae yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina.
Penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah, transplantasi organ dan
transplasenta. Masa inkubasi 1-2 minggu, tetapi kadang-kadang lebih dari setahun.
Gejala malaria yaitu demam, menggigil, malaise, anoreksia, mual, muntah, diare
ringan, sakit kepala, pusing, mialgia, nyeri tulang. Peningkatan suhu dapat mencapai
40°C, bersifat intermitten yaitu demam dengan suhu badan yang mengalami
penurunan ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari diantara periode
kenaikan demam. Periode timbulnya demam tergantung pada jenis plasmodium yang
menginfeksi. Pada malaria juga dapat ditemui hepatomegali, splenomegali, anemia,
ikterus, dan dehidrasi. Pada pemeriksaan laboratorium umumnya ditemukan anemia,
leukopenia, dan trombositopenia (Shepherd, 2007).
4.
Demam tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi. Penularan tifoid biasanya melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi feses. Masa inkubasi tifoid sangat berbeda, berkisar dari 3-60 hari.
Gejala awal penyakit adalah demam (peningkatan suhu hingga 40°C) terutama sore
atau malam hari, kedinginan, malaise, sakit kepala, sakit enggorokan, batuk dan
kadang-kadang sakit perut, konstipasi atau diare. Sebagai perkembangan penyakit,
Universitas Sumatera Utara
umumnya didapatkan kelemahan, distensi abdomen, hepatosplenomegali, anoreksia,
dan kehilangan BB. Tanda penting yang ditemui antara lain agak tuli, lidah tifoid
(tremor, tengah kotor, tepi hiperemis, nyeri tekan/spontan pada perut di daerah Mc
Burney (kanan bawah). Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan leukopenia,
limfositosis relatif. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan (Shepherd,
2007).
2.1.9. Penatalaksanaan
Pengobatan simptomatik dan suporif merupakan terapi efektif pada penderita
DBD. Terapi simptomatik yakni pemberian analgetik (parasetamol), kompres hangat.
Terapi suportif antara lain penggantian (replacement) cairan, pemberian oksigen dan
jika diperlukan dapat dilakukan transfusi darah. Pemantauan tanda vital (tekanan
darah, nadi, respirasi), hematokrit, trombosit, elektrolit, kecukupan cairan, urine
output, tingkat kesadaran, dan manifestasi perdarahan berguna untuk mengetahui
perkembangan penyakit (Soegeng, 2008).
2.1.10. Pencegahan
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara diatas, yang disebut dengan “3M Plus” yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa hal seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain (Hiswani, 2003).
2.1.11. Komplikasi
Dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati, kegagalan fungsi hati,
miokarditis, gagal ginjal akut, sindroma uremik akut dan DIC yang menyebabkan
perdarahan masif. Tetapi komplikasi-komplikasi ini sangat jarang terjadi (Soegeng,
2008).
Universitas Sumatera Utara
2.1.12. Prognosis
Dengan manajemen medis yang tepat dan cepat yaitu memonitoring trombosit
dan hematokrit serta terapi cairan yang adekuat maka mortalitasnya dapat diturunkan.
DBD dapat terjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih dini. Jika trombosit
<100.000/ul dan hematokrit meningkat maka harus cepat waspadai DSS (Soegeng,
2008).
2.2. Penurunan Nilai Trombosit pada DBD
Trombosit adalah fragmen atau kepingan-kepingan tidak berinti dari
sitoplasma megakariosit yang berukuran 1-4 mikron dan beredar dalam sirkulasi darah
selama 10 hari. Gambaran mikroskopik dengan pewarnaan Wright – Giemsa, trombosit
tampak sebagai sel kecil, tak berinti, bulat dengan sitoplasma berwarna biru-keabuabuan pucat yang berisi granula merah-ungu yang tersebar merata. Trombosit memiliki
peran dalam sistem hemostasis, suatu mekanisme faal tubuh untuk melindungi diri
terhadap kemungkinan perdarahan atau kehilangan darah (Soegeng, 2008).
Orang-orang dengan kelainan trombosit, baik kualitatif maupun kuantitatif,
sering mengalami perdarahan-perdarahan kecil di kulit dan permukaan mukosa yang
disebut ptechiae, dan tidak dapat mengehentikan perdarahan akibat luka yang disengaja
maupun yang tidak disengaja (Soegeng, 2008).
Uji laboratorium untuk menilai kuantitas trombosit adalah masa perdarahan
(bleeding time) dan hitung trombosit. Jumlah trombosit normal adalah 150.000 –
450.000µ/L darah. Dikatakan trombositopenia ringan apabila jumlah trombosit antara
100.000 – 150.000µ/L darah. Metode untuk menghitung trombombosit telah banyak
dibuat dan jumlahnya jelas tergantung dari kenyataan bahwa sukar untuk menghitung
sel-sel trombosit yang merupakan partikel kecil, mudah aglutinasi dan mudah pecah.
Sukar membedakan trombosit dengan kotoran (Sacher dkk, 2004).
Hitung trombosit dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Metode
secara langsung dengan menggunakan kamar hitung yaitu dengan mikroskop fase
kontras dan mikroskop cahaya (Rees-Ecker) maupun secara otomatis. Metode yang
Universitas Sumatera Utara
dianjurkan adalah penghitungan dengan mikroskop fase kontras dan otomatis. Metode
otomatis akhir-akhir ini banyak dilakukan karena bisa mengurangi subyektifitas
pemeriksaan dan penampilan diagnostik alat ini cukup baik (Sacher dkk, 2004).
Hitung trombosit secara tidak langsung yaitu dengan menghitung jumlah
trombosit pada sediaan apus darah yang telah diwarnai. Cara ini cukup sederhana,
mudah dikerjakan, murah dan praktis. Keunggulan cara ini adalah dalam
mengungkapkan ukuran dan morfologi trombosit, tetapi kekurangannya adalah bahwa
perlekatan ke kaca obyek atau distribusi yang tidak merata di dalam apusan dapat
menyebabkan perbedaan yang mencolok dalam perhitungan konsentrasi trombosit.
Bahan pemeriksaan yang dianjurkan untuk pemeriksaan hitung trombosit adalah darah
EDTA. Antikoagulan ini mencegah pembekuan darah dengan cara mengikat kalsium
dan juga dapat menghambat agregasi trombosit (Sacher dkk, 2004).
Trombositopenia pada penderita DBD diduga terjadi akibat peningkatan
destruksi trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregrasi trombosit akibat endotel
yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang. Penyebab
utamanya adalah peningkatan pemakaian dan destruksi trombosit perifer (Soegeng,
2008).
Destruksi trombosit diperani oleh aktivasi komplemen, seperti ikatan antara
trombosit dengan fragmen C3g, dan ikata antara trombosit dan antigen virus Dengue.
ditemukannya kompleks imun dipermukaan trombosit diduga sebagai penyebab
terjadinya agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh sistem
retikuoendotelial, terutama dalam hati dan limpa (Soegeng, 2008).
Autoantibodi antitrombosit dari kelas/isotipe IgM terdeteksi dalam level yang
tinggi dalam sera dari pasien DBD selama fase akut. Autoantibodi tersebut masih dapat
dideteksi setelah fase konvalense (1-3 minggu setelah fase akut) dan bahkan 8 sampai
9 bulan setelah sakit. Autoantibodi semacam ini tidak terdeteksi pada pasien – pasien
yang terinfeksi virus selain virus dengue. investigasi selanjutnya membuktikan bahwa
autoantibodi dalam serum dapat memnyebabkan terjadinya lisis dari trombosit jika
terdapat komplemen (Soegeng, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Respon imun individu akibat teraktivasi virus Dengue dapat memberikan
dampak positif berupa penghancuran virus atau sebaliknya justru memberikan dampak
negatif yang berakhir dengan jejas dan kematian pada endotel melalui peran sitokin.
Jenis sitokin yang memegang peran penting dalam perjalanan penyakit akibat virus
Dengue adalah TNF-δ, IL-1B, IL-6, dan IFN-γ (Soegeng, 2008).
Dalam keadaan normal, trombosit dalam sirkulasi tidak melekat pada sel-sel
endotel resting, akan tetapi jika terjadi injury vaskuler, trombosit akan melekat dan
menstimulisasi ke sel-sel endotel, dan peran tersebut berperan dalam terjadinya
trombosis dan hemostatis. Terjadinya trombositopenia disebabkan karena banyaknya
trombosit yang melekat pada sel-sel endotel yang terinfeksi oleh virus Dengue
(Soegeng, 2008). (Gambar 2.3.)
îîî
îî
Aktivasi dan
Destruksi Endotel
Inveksi Virus Dengue
Komplemen
Infeksi
Stromal Cell dan
Progenitor Cell
Hematopoiesis
Produksi Sitokin
Inhibitor
È
Antigen Permukaan
Trombosit
Antibodi
Antidengue
Aktivasi-Agregasi
Degranulasi-Lisis
Trombosit
Sekuestrasi
di Limpa dan Hati
Trombositopenia
Hiporesponsif
Agregasi
Exhausted
È
Gambar 2.3. Mekanisme Trombositopenia pada Demam Berdarah Dengue
Sumber : Widodo, 2007
Universitas Sumatera Utara
Penurunan jumlah trombosit selain ditemukan pada DBD dapat juga
dtemukan antara lain pada ITP, myeloma multiple, kanker (tulang, saluran
gastrointestinal, otak), leukemia (limfositik, mielositik, monositik), anemia aplastik,
penyakit hati (sirosis, hepatitis aktif kronis), SLE, DIC, eklampsia, penyakit ginjal,
demam rematik akut. Pengaruh obat : antibiotik (kloromisetin, streptomisin),
sulfonamide, aspirin (salisilat), quinidin, quinine, asetazolamid (Diamox), amidopirin,
diuretik tiazid, meprobamat (Equanil), fenilbutazon (Butazolidin), tolbutamid
(Orinase), injeksi vaksin, agen kemoterapeutik, dan lain-lain (Soejoso dan Atmaji,
1998).
2.3. Peningkatan Nilai Hematokrit pada DBD
Kadar hematokrit adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit
dalam 100 mL darah lengkap. Dengan demikian kadar hematokrit adalah parameter
hemokonsentrasi serta perubahannya. Kadar hematokrit akan meningkat saat terjadinya
peningkatan hemokonsentrasi, baik oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan
kadar plasma darah, misalnya pada kasus hipovolemia. Sebaliknya kadar hematokrit
akan menurun ketika terjadi penurunan hemokonsentrasi, karena penurunan kadar
seluler darah atau peningkatan kadar plasma darah seperti pada terjadinya anemia
(Sutedjo, 2007). Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan menggunakan dua
metode, yaitu:
a. Metode langsung dengan cara makro atau mikro. Cara mikro kini lebih banyak
digunakan, karena hasilnya dapat diperoleh dengan lebih cepat dan akurat.
b. Metode tidak langsung yaitu dengan menggunakan konduktivitas elektrik dan
komputer.
Peningkatan kadar hematokrit pada DBD dapat terjadi karena aktivasi sistem
komplemen oleh kompleks antigen-antibodi akan mengakibatkan pelepasan C3a dan
C5a yang mengaktifkan C3 dan C5. Dimana pengaktifan dari sistem ini akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Perembesan plasma ini yg
Universitas Sumatera Utara
dapat yang dapat mengakibatkan peningkatan hematokrit. Maka pasien dengan syok
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung 24-48
jam (Soegeng, 2008).
Penyakit dengan peningkatan kadar hematokrit selain DBD antara lain yaitu
dehidrasi/hipovolemia, diare berat, polisetimia vera, asidosis diabetikum, emfisema
paru (stadium akhir), trancient ischaemic attack (TIA), eklampsia, trauma,
pembedahan, luka bakar (Soegeng, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Download