BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar modal merupakan tempat bertemunya antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memiliki kekurangan dana. Dalam pasar modal ini, berbagai jenis investasi jangka panjang diperjual belikan dimulai dalam bentuk utang maupun dalam bentuk modal bagi perusahaan atau dengan menyertakan modalnya sebagai bentuk kepemilikan atas perusahaan tersebut. Dengan adanya pasar modal sebagai wadah untuk melakukan kegiatan investasi maka terdapat berbagai jenis investasi yang dapat dilakukan salah satunya adalah investasi dalam bentuk saham. Investasi dalam bentuk saham merupakan suatu kegiatan penyimpanan dana yang dilakukan investor untuk bisa mendapatkan kelebihan atas dana yang ditanamkan dimasa mendatang yaitu dengan adanya tingkat pengembalian (return) baik itu dalam bentuk dividen yang merupakan imbalan atas investasi yang dibayarkan perusahaan dan capital gain yang merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli. Dengan adanya tingkat return yang akan diterima maka investor akan melakukan pertimbangan berkaitan dengan risiko yang harus ditanggung serta tingkat return yang diharapkan pada masa yang akan datang (expected return). Risiko yang melekat tersebut yaitu risiko sistematis yang merupakan risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan diversifikasi dan risiko tidak sistematis yang mana risiko ini merupakan risiko yang dapat dihilangkan dengan adanya diversifikasi. Maka, dengan adanya hal tersebut dibentuklah portofolio saham yang merupakan salah satu bentuk dari diversifikasi guna meminimalisir risiko yang harus ditanggung oleh investor sehingga risiko yang masih melekat hanya risiko sistematis saja. Dalam menentukan tingkat return dimasa yang akan datang (expected return) dalam portofolio terdapat dua model diantaranya yang dapat digunakan yaitu Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT). Namun, kedua model ini sangatlah berbeda dalam menghitung return 1 yang akan diterima dimasa mendatang. Hal ini dimana model Capital Assets Pricing Model (CAPM) ini memperhitungkan risiko sistematis yang melekat pada portofolio sedangkan Arbitrage Pricing Theory (APT) merupakan model yang tidak hanya mempertimbangkan risiko sistematis saja melainkan model ini dapat melibatkan berbagai faktor dalam menetukan tingkat return yang akan diterima oleh investor. Selain itu, model perhitungan Arbitrage Pricing Theory (APT) ini merupakan model penyempurna dari perhitungan model Capital Assets Pricing Model (CAPM). Dari penelitian-penelitian terdahulu masih terdapat perdebatan berkaitan dengan kedua model tersebut dimana seperti penelitian yang dilakukan oleh Gancar Candra Premananto dan Muhammad Madyan (2004) yang dilakukan pada industri manufaktur sebelum dan sesudah masa krisis ekonomi yang menunjukan hasil bahwa model CAPM merupakan model yang lebih akurat dibandingkan dengan model APT dalam memprediksikan return saham pada industri manufaktur sebelum dan semasa krisis ekonomi. Sparta (2010) pada sektor keuangan di BEI yang menunjukan hasil model CAPM dapat digunakan pada saham BEKS, BNGA, dan BVIC dalam mengestimasi return saham dan betanya. Sedangkan, model APT tidak dapat digunakan dalam memprediksi return ketiga bank BEKS, BNGA, dan BVIC. Selain itu, dilihat dari hasil perbandingan keakuratan maka model CAPM lebih cocok digunakan dalam memprediksi return dan beta saham ketiga bank tersebut. Kristin Laia dan Ivonne Saerang (2015) dilakukan pada saham bank umum swasta nasional devisa pada tahun 2015 yang menunjukan bahwa Arbitrage Pricing Theory (APT) lebih akurat dalam memprediksi expected return ketimbang Capital Assets Pricing Model (CAPM). Lemiyana (2015) pada saham syariah (JII) selama periode 2007-2012 yang menunjukan bahwa model CAPM merupakan model yang lebih akurat ketimbang APT dalam memprediksi return saham di Jakarta Islamic Index. Terdapat pula penelitian-penelitian internasional yang sebelumnya pernah dilakukan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Professor Raj S. Dhankar, Ph.D. dan Rohini Singh, ESQ (2005) pada Indian Stock Market 2 yang menunjukkan hasil APT dengan menggunakan beberapa faktor merupakan model yang lebih baik dalam mengindikasikan risiko atas aset dan dalam mengestimasikan tingkat pengembalian daripada CAPM yang menggunakan beta sebagai ukuran tunggal dari risiko. Penelitian yang dilakukan oleh Theriou, N., V. Aggelidis dan D. Maditinos (2006) yang melakukan penelitian terkait dengan hubungan risiko dan return terhadap CAPM dan APT yang menunjukan hasil bahwa APT dapat menunjukan hasil yang lebih baik dari CAPM. Erie Febrian dan Aldrin Herwany (2010) yang melakukan investigasi terhadap CAPM dan APT dalam menjelaskan return pada saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dilakukan sebelum, saat, dan setelah terjadinya krisis ekonomi yang menunjukan hasil bahwa APT lebih baik dalam menjelaskan return di Bursa Efek Indonesia (BEI). H. Jamal Zubairi dan Shazia Farooq (2012) yang melakukan penelitian dalam pengecekan model CAPM dan APT pada perusahaan minyak, gas, dan pupuk yang terdaftar di Karachi Stock Exchange pada tahun 2004 hingga 2009 yang menunjukan bahwa adanya korelasi yang lemah antara return dan pengembalian yang diharapkan berdasarkan CAPM. Sedangkan, pada model APT mencerminkan bahwa faktor ekonomi makro termasuk perubahan GDP, inflasi, nilai tukar, dan return pasar serta tidak merupakan penentu yang baik dari return saham minyak, gas dan pupuk. Dengan adanya hal tersebut maka, dapat ketahui bahwa kedua model baik CAPM maupun APT tidak ada model yang paling akurat atau kedua metode tersebut tidak dapat dijadikan penentu yang baik dalam menentukan tingkat return pada saham minyak, gas, dan pupuk. R. Selvamathi dan Dr.A.A.Ananth (2014) yang melakukan penelitian pada Indian Stock Market yang menunjukan hasil bahwa model APT dapat menjelaskan faktor-faktor yang lebih baik daripada CAPM untuk sampel dari pasar saham India. Zainul Kisman, Shintabelle Restiyanita M (2015) yang melakukan pengukuran validitas dari Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT) dalam memprediksi return pada sahamsaham yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2008-2010 yang 3 menunjukan hasil bahwa APT lebih baik dalam memprediksi return saham jika dibandingkan dengan CAPM. Dengan adanya perbedaan hasil penelitian tersebut maka adanya keinginan untuk mengetahui adakah perbedaan dalam keakuratannya dengan membandingkan model CAPM dan APT ini mengingat pada tahun 2013 ini mulai terjadinya ketidakstabilan perekonomian terbukti dengan adanya pelemahan pada nilai tukar rupiah yang dikarenakan oleh adanya ketidakstabilan perekonomian secara global yang berlanjut hingga tahun 2015. Pada tahun 2013 ini saja IHSG pun anjlok Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menurun drastis dan bahkan mencapai rekor dimana IHSG ini menembus angka 5.217,13 pada bulan Mei dan hal ini pun berlanjut hingga tahun 2014 serta pada tahun 2015 pun IHSG masih cenderung berfluktuatif (http://bisniskeuangan.kompas.com;2014). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terus menurun. Setelah mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 persen pada 2011, dan 6,23 persen pada 2012, pertumbuhan ekonomi 2013 berada dibawah 6 persen (http://bisniskeuangan.kompas.com;2014). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2013 sebesar hanya 5,78 persen. Angka tersebut turun dibandingkan sepanjang 2012 sebesar 6,23 persen (http://bisniskeuangan.kompas.com;2014). Sedangkan, pada tahun 2015 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,79% dan ini menjadi yang terendah sejak tahun 2010 meskipun pada akhir tahun 2015 ini terjadi peningkatan menjadi 5,04% (http://ekbis.sindonews.com;2015). 4 Grafik 1.1 Tingkat Kurs USD Tahun 2013 - 2015 Kurs Tengah Januari 2013-Desember 2015 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Sumber : Data Diolah Penulis dari www.bi.go.id/ Dilihat dari tingkat kurs nilai tukar antara rupiah terhadap dollar pada tahun 2013 hingga tahun 2015 masih belumlah mengalami kenaikan yang cukup terlihat dari tabel diatas atau dengan kata lain adanya pelemahan dari nilai rupiah terhadap dollar. Terjadinya hal tersebut dimulai dengan adanya serangan global ini lebih kepada perbaikan ekonomi AS, penutupan (shut down) Pemerintah AS, serta rencana tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), the Fed. Terlihat pula pada awal tahun 2013 ini nilai rupiah dibuka di level Rp9.600-an per USD dan kini tersungkur di level Rp12.200 per USD (http://economy.okezone.com;2013) walaupun diakhir tahun 2015 masih terjadi penurunan namun belumlah begitu jauh. Berdasarkan beberapa informasi yang sudah dijelaskan diatas, nampak bahwa investor harus memperhitungkan dampak dari berbagai fenomena yang terjadi terhadap perolehan return atas saham yang dipegangnya terkait juga dengan risiko yang mungkin terjadi. Terdapat banyak pilihan yang dapat dipilih oleh investor dengan munculnya berbagai indeks saham. Seperti pada Indeks JII (Jakarta Islamic Index) yang merupakan salah satu jenis indeks yang berbasis syariah pada saat terjadinya keadaan perekonomian yang semakin 5 memburuk ataupun bahkan mengalami fluktuasi pada tahun 2013 saham JII ini justru tidak terlalu terkena pengaruh tersebut terbukti dengan pernyataan Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Friderica Widyasari Dewi yang menyatakan bahwa saham-saham syariah less risiko ketika terjadi gunjangan ekonomi. Penjelasan lainnya yang menyatakan bahwa ketika terjadi guncangan ekonomi, kebanyakan yang terkena di dalam financial seperti perbankan. Karena tidak ada saham-saham perbankan di pasar saham syariah sehingga saham syariah menjadi less risiko. Dari 293 saham-saham yang termasuk dalam efek syariah didominasi dari sektor pertanian, pertambangan, jasa perdagangan, investasi, dan properti yang menyumbang sebesar 30%. Berdasarkan catatan detik Finance, secara historis indeks berbasis syariah sejauh ini hanya minus 4% atau lebih kecil dibandingkan Indeks LQ45 yang minus 5% dan Jakarta Composite Indeks (JCI) yang minus 8% saat kondisi pasar melemah. Jika dilihat lebih jauh lagi sektor perbankan memiliki bobot yang besar di IHSG sekitar 25%. Hal ini yang menyebabkan pertumbuhan Earning Per Share (EPS) yang lebih lambat pada IHSG dibanding dengan Jakarta Islamic Indeks (JII) (http://finance.detik.com;2013). Berlanjut pada tahun 2014 indeks saham JII terhitung pada bulan Juli indeks saham JII mengalami kenaikan sebesar 16,17% (http://finance.detik.com;2014) dan pada bulan selanjutnya pun Agustus 2014 indeks saham JII masih mengalami kenaikan sebesar 3,48 poin atau sebesar 0,4% ke 700,18 (http://economy.okezone.com;2014). Kenaikan ini berlanjut pada tahun 2015 dimana indeks syariah bergerak positif yang didorong kenaikan 90% saham syariah. Hal ini dimana Jakarta Islamic Index (JII) yang menguat sebesar 0,63% atau 3,74 poin ke level 596,64 dan indeks naik ke 0,87% atau 5,19 poin ke level 598,09. Hal ini terlihat pada tanggal 7 Desember 2015 ini dari 30 saham syariah yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, sebanyak 27 saham syariah menguat, 1 saham syariah melemah, dan 2 saham syariah stagnan. Terlihat dimana saham syariah PT Astra International Tbk (ASII) dan saham syariah PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) memimpin kenaikan Islamic Index. Sedangkan, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk 6 (MIKA) adalah satu-satunya saham syariah yang melemah(http://syariah.bisnis.com;2015). Investasi saham pada saham-saham syariah yang notabene less risk, tetapi investor tetap harus mempertimbangkan return dan risk atas sahamnya. Oleh karena itu, untuk mempertimbangkan risk dan return saham investor dapat menggunakan berbagai model diantaranya Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT). Maka dengan adanya penelitian ini dapat menjawab Perbandingan Keakuratan Model Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT) Dalam Memprediksi Tingkat Return Pada Indeks JII Tahun 2013-2015. 1.2 Rumusan Masalah Dengan adanya permasalahan tersebut maka dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran return saham pada Indeks JII tahun 2013 sampai 2015 dengan menggunakan model Capital Assets Pricing Model (CAPM)? 2. Bagaimana gambaran return saham pada Indeks JII tahun 2013 sampai 2015 dengan menggunakan model Arbitrage Pricing Theory (APT)? 3. Saham-saham apa saja yang dapat dibentuk sebagai portofolio optimal dengan menggunakan model Capital Assets Pricing Model (CAPM)? 4. Saham-saham apa saja yang dapat dibentuk sebagai portofolio optimal dengan menggunakan model Arbitrage Pricing Theory (APT)? 5. Apakah terdapat perbedaan keakuratan antara model Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT) dalam memprediksi return saham? 1.3 Tujuan Penelitian Dengan adanya rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui gambaran return saham pada Indeks JII pada tahun 2013 sampai dengan 2015 dengan menggunakan model Capital Assets Pricing Model (CAPM). 7 2. Untuk mengetahui gambaran return saham pada Indeks JIIpada tahun 2013 sampai dengan 2015 dengan menggunakan model Arbitrage Pricing Theory (APT). 3. Untuk mengetahui saham-saham yang dapat dibentuk sebagai portofolio optimal dengan menggunakan model Capital Assets Pricing Model (CAPM). 4. Untuk mengetahui saham-saham yang dapat dibentuk sebagai portofolio optimal dengan menggunakan model Arbitrage Pricing Theory (APT). 5. Untuk mengetahui terdapat ada atau tidaknya perbedaan keakuratan pada model Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT) dalam memprediksi return saham. 1.4 Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini, maka terdapat manfaat yang bisa diuraikan sebagai berikut: 1. Bagi Investor Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu investor dalam pemilihan saham yang sebaiknya dilakukan untuk investasi serta dapat memberikan informasi kepada investor atas keakuratan pada model-model yang dilakukan penelitian dalam memprediksi return saham serta dapat menjawab kebimbangan investor dalam keakuratan penggunaan model CAPM (Capital Assets Pricing Model) ataupun APT (Arbitrage Pricing Theory) untuk memilih saham yang akan diinvestasikan. 2. Bagi Perusahaan Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada perusahaan yang menerbitkan saham terkait dengan kinerja saham perusahaannya dan keadaan pasar yang sedang terjadi. 3. Bagi Penulis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana dalam pengembangan ilmu yang telah didapatkan semasa kuliah khususnya berkaitan dengan investasi saham. 8 1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif komparatif. Pengertian dari metode deskriptif komparatif tersebut seperti menurut Umar (2013:22) metode deskriptif yaitu: “Metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. ” Sedangkan, pengertian metode komparatif menurut Arikunto (2013:6) yaitu: “Kata komparasi dalam bahasa inggris comparation, yaitu perbandingan yang mana dalam penelitian ini peneliti bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang ada di dua tempat, apakah kedua kondisi tersebut sama, atau ada perbedaan, dan kalau ada perbedaan, kondisi di tempat mana yang lebih baik.” 1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada saham-saham yang termasuk ke dalam indeks JII pada periode tahun 2013 sampai 2015. Namun, dikarenakan adanya keterbatasan dalam waktu dan jarak maka data yang digunakan yaitu data sekunder. Data sekunder yang digunakan berasal dari website Bank Indonesia, Yahoo Finance, dan IDX dengan lokasi penelitian yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Widyatama dengan waktu penyelesaian penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2016 hingga bulan Mei 2016. 9