4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sistem Saraf Perifer Sistem saraf perifer dapat dikategorikan secara luas sebagai motorik, sensorik atau otonom (Quan, 2014). Saraf motorik berasal dari sistem saraf pusat dan meluas melalui kornu anterior medula spinalis lalu keluar dari sumsum tulang belakang (melalui ventral root) dan bergabung dengan serat lain dalam pleksus brakialis atau pleksus lumbalis dan menginervasi organ sasaran melalui saraf perifer (Quan, 2014). Saraf sensorik berasal dari dorsal root ganglia dan berjalan seiring dengan saraf motorik. Saraf sensorik dibagi lagi menjadi kategori sesuai dengan modalitas sensorik yang disampaikan masing-masing saraf (lihat tabel 2.1.) (Quan, 2014). Saraf otonom terdiri dari saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Sistem saraf simpatis mendominasi pada keadaan darurat atau stres yang mendorong respon-respon yang mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik yang berat. Sistem parasimpatis mendominasi pada situasi-situasi yang tenang dan santai, dan mendorong aktivitas untuk memelihara tubuh, misalnya pencernaan (Sherwood, 2012). Tabel 2.1. Subdivisi dari Neuron Sensorik Tipe Serat Ukuran A-alpha (I) 13-20 mikrometer A-beta (II) 6-12 mikrometer A-delta (III) 1-5 mikrometer C (IV) 0,2-1,5 mikrometer Dikutip dari: Quan D, Lin H.C, Khardori R, Busis N.A, Kothari M.J, Talavera F. 2014. Diabetic Neuropathy: Introduction Anatomy of Peripheral Nervous System. Medscape Medical News [Accessed 11 mei 2015]. 5 2.2. Neuropati diabetik 2.2.1. Definisi Istilah neuropati merupakan terminologi yang sangat luas, dimana saraf tepi mengalami gangguan fungsi yang disebabkan berbagai faktor antara lain metabolik, trauma, jebakan, penyakit defisiensi, keracunan, gangguan imunologis, dan genetik. Neuropati diabetik adalah keadaan dimana saraf tepi mengalami gangguan fungsi akibat kerusakan seluler maupun molekuler yang etiologinya karena penyakit DM. Polineuropati diabetik menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi gangguan motorik, sensoris, maupun otonom (Tesfaye, 2004). Neuropati diabetik bersifat kronis, distal symetrical sensory motor length dependent polyneuropathy, merupakan neuropati yang paling sering pada penderita DM dan diperkirakan mekanismenya akibat perubahan metabolik dan mikrovaskular sebagai akibat dari hiperglikemia kronis pada pasien DM (Tesfaye, 2004). 2.2.2. Epidemiologi Diabetes melitus merupakan salah satu penyebab utama dari neuropati perifer yang terjadi pada banyak kasus. Insidensi dari ND pada pasien DM cukup tinggi, seperti yang ditunjukkan melalui penelitian di Mayo Clinic, dimana didapatkan 47% pasien DM mengalami ND. Penelitian lain juga melaporkan prevalensi dari ND mencapai 70% pada pasien yang mengalami DM tipe 2 selama 25 tahun atau lebih. Prevalensi DM di Amerika mencapai 24 juta orang, berdasarkan penelitian ini diperkirakan setidaknya 15 juta penduduk Amerika akan mengalami ND, jumlah ini akan bertambah menjadi sekitar 20 juta jika penduduk pre-diabetes diikutsertakan. Beberapa penelitian terakhir telah memperkirakan prevalensi dari ND pada pasien DM mencapai 20% . Berdasarkan hal ini dapat diperkirakan bahwa hampir 5 juta penduduk di Amerika memiliki gejala ND (Tanenberg, 2009). 6 Epidemiologi dari nyeri ND belum diteliti secara luas. Berdasarkan penelitian epidemiologi ND yang sudah ada, tidak ada yang membedakan antara pasien ND dengan atau tanpa nyeri, tetapi mengikutsertakan nyeri sebagai salah satu kriteria inklusinya. Selain itu, banyak penelitian yang juga tidak menjelaskan apakah penderita dengan nyeri neuropati akibat etiologi selain DM telah dieksklusikan. Pada literatur dikatakan prevalensi dari nyeri ND berkisar antara 10-20% pada pasien DM. Evaluasi lebih lanjut dari nyeri ND telah dilakukan di Eropa melalui sebuah penelitian multisenter yang melibatkan 1.171 pasien dengan DM tipe 1 dan 2, dimana penelitian ini digunakan untuk menggambarkan perjalan penyakit nyeri ND yang kompleks. Zieger et al melaporkan prevalensi nyeri ND yang lebih rendah secara signifikan pada kedua ekstremitas baik ekstremitas bawah maupun atas pada pasien dengan DM tipe 1 dibandingkan dengan kedua ekstremitas baik ekstremitas bawah maupun atas pada pasien dengan DM tipe 2 (Veves, 2008). Neuropati diabetik paling sering dijumpai pada penderita DM yang berumur lebih dari 50 tahun, bisa dijumpai pada usia di bawah 30 tahun dan sangat jarang pada anak-anak (Adam, 2005). 2.2.3. Patofisiologi Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya ND tetapi sampai sekarang belum sepenuhnya dipahami. Beberapa teori yang dapat diterima saat ini adalah: 2.2.3.1. Teori vaskular (iskemik-hipoksia) Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi Nitric oxide(NO), yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis, trombosis pada arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya aliran 7 darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular, stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor resiko kardiovaskular yaitu, kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok, dan hipertensi (Subekti, 2009). 2.2.3.2. Teori Metabolik Pada keadaan kadar gula darah normal, sebagian besar glukosa intrasel difosforilasi menjadi glukosa 6 fosfat oleh heksokinase, hanya sebagian kecil glukosa yang masuk pada jalur poliol. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yanag merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase (SDH) menjadi fruktosa. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stres osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Natrium (Na) intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf (Subekti, 2009). Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) saraf yang merupakan kofaktor penting untuk glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi nitric oxide (NO) (Subekti, 2009). Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzimatik pada protein seluler. AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, kemudian menyebabkan aliran darah ke saraf menurun (Subekti, 2009). 8 Gambar 2.1. Mekanisme Neuropati Diabetik melalui Jalur Poliol Dikutip dari: Rayas, A.M. 2005. Pathophysiologiy of Diabetic Neuropathy. in: Donnelly, R., Horton, E., editors. Vascular Complications of Diabetes: Current Issues in Pathogenesis and Treatment. 2th. Ed. Blackwell Publishing. pp. 85-90 2.2.3.3 Proses Proinflamasi Jaringan saraf pada DM juga mengalami reaksi proinflamasi yang menimbulkan gejala dan memperkuat perkembangan ND. Jaringan saraf mempunyai makrofag dan limfosit yang melepaskan Tumor Necrotizing Factor-α (TNF-α) dan Interleukin (IL). Penghambatan pelepasan sitokin atau migrasi makrofag dihubungkan dengan perbaikan kecepatan hantar saraf (Yagihashi, 2011). Reaksi proinflamasi merangsang hiperaktivitas jalur poliol dan peningkatan pembentukan AGE. Kadar TNF-α dalam plasma telah dibuktikan sebagai faktor risiko terpenting dan paling konsisten terhadap kejadian nyeri ND (Purwata, 2010). 2.2.3.4 Peranan Faktor Selular dan Tropik Kekurangan neutrophin memegang peranan penting dalam patogenesis ND. Neutrophin Growth Factor (NGF) diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penyandang DM, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat ND. NGF juga berperan dalam regulasi gen substansi P dan Calcitonin-Gen-Regulated Peptide (CGRP). Peptida 9 ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada ND (Subekti, 2009). 2.2.3.5 Peranan radikal bebas Stres oksidatif didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan antara penyokong pembentukan radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang mengakibatkan suatu kerusakan. Terdapat 3 radikal bebas dari ROS yang penting bagi proses fisiologi normal yaitu superoksida, hidrogen peroksida, dan nitric oxide (NO). Radikal bebas ini membentuk oksigen tunggal reaktif, radikal hidroksil dan peroksinitrit yang dapat merusak protein, lipid dan DNA. Kerusakan ini dapat menurunkan aktivitas biologi sel, hilangnya metabolisme energi, sinyal sel, transporasi dan beberapa fungsi utama sel (Warner, 2004). Hiperglikemia yang lama menyebabkan hiperaktivitas kaskade metabolik dari jalur poliol, reaksi AGE/reseptor dan peningkatan ROS. Semua proses tersebut mengganggu pembuluh darah mikrovaskuler dan jaringan saraf melalui aktivasi PARP, perubahan PKC, peningkatan MAPK, demikian juga peningkatan Nuclear Factor-kB (NF-kB), yang menyebabkan perubahan fungsi dan struktur saraf perifer. Penyimpangan metabolik saraf perifer merangsang reaksi proinflamasi dengan peningkatan pelepasan sitokin, migrasi makrofag, menekan neurotropin yang merangsang perkembangan kearah neuropati. Sebagai tambahan iskemia/ reperfusi juga merangsang sel saraf termasuk reaksi inflamasi. Faktor lain termasuk hipertensi, merokok, resistensi insulin juga berperanan dalam perkembangan neuropati (Yagihashi, 2011). 2.2.4. Faktor Risiko Faktor risiko dari komplikasi DM terbagi 2 yaitu: faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi untuk komplikasi mikrovaskular dari DM antara lain: 10 1. Usia lanjut Pada pasien DM dengan usia lanjut terjadi peningkatan risiko terhadap terjadinya ND, karena pada usia lanjut fungsi tubuh secara fisiologis menurun (Hastuti, 2007) 2. Genetik (polimorfisme dari gen aldose reductase) 3. Peningkatan durasi DM Lama mengidap DM mempunyai rentang yang luas. Pada umumnya ND didapat setelah mengidap DM lebih dari 5 tahun, meskipun jangka waktu tersebut dapat bervariasi antara 4-10 tahun (Subiyantoro, 2002). 4. Tinggi badan Pasien DM yang lebih tinggi lebih rentan untuk mengalami ND karena memiliki saraf perifer yang lebih panjang (Tanenberg, 2009) 5. Jenis kelamin Pada umumnya laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, maka lebih banyak laki-laki yang mengalami ND dibandingkan perempuan (Tanenberg, 2009). Faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk komplikasi mikrovaskular dari DM antara lain: 1. Hiperglikemia Hiperglikemia merupakan salah satu faktor risiko utama ND. Kontrol glikemik intensif merupakan terapi yang sangat efektif untuk mengurangi insiden atau memperlambat progresivitas ND dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM yang mengidap ND. Untuk menilai kontrol gula darah dapat digunakan glycosylated haemoglobin (HbA1c) sebagai penanda (Booya, 2005). Penelitian multisenter yang dilakukan oleh kelompok studi The European Diabetes Prospective Compications Study melaporkan perkembangan dari ND sangat berhubungan dengan durasi dan level dari HbA1c (Tanenberg, 2009). Kegunaan utama HbA1c adalah untuk menilai perubahan kontrol metabolik yang mengikuti perubahan terapi. Terapi DM berdasarkan pada hasil HbA1c yang mengekspresikan presentase hemoglobin yang terglikasi (Booya, 2005). 11 2. Lain-lain: Hipertensi, Dislipidemia, Merokok, Peminum alkohol, Kolesterol total, low density lipoprotein (LDL) kolestrol, trigliserida, indeks massa tubuh (IMT), mikroalbuminuria dan penyakit kardiovaskular (Tanenberg, 2009). 2.2.5. Manifestasi Klinis dan Klasifikasi Gambaran ND dapat asimptomatis atau subklinis dan simptomatis atau menunjukkan gejala klinis. Gangguan sensoris merupakan gangguan yang sering dirasakan pasien. Gangguan rasa getar pada jari kaki paling sering terkena. Rasa nyeri, suhu, dan rasa raba hilang sesuai dengan distribusi kaos kaki dan bila ada gangguan sensoris ekstremitas atas bentuknya sesuai dengan distribusi sarung tangan (glove and stocking distribution). Berdasarkan hilangnya modalitas sensoris, neuropati dapat dibagi menjadi tipe saraf besar (terutama hilangnya rasa getar, rasa raba ringan, dan rasa posisi sendi) dan tipe saraf kecil (terutama hilangnya nyeri dan suhu). Pada kasus yang lebih berat, hilangnya sensoris dapat meluas ke dada depan dan dinding abdomen, serta meluas ke lateral sekitar tubuh (Llewelyn, 2003). Gejala sensorik positif adalah nyeri, parastesia, keluhan rasa panas, kesemutan, rasa dingin, nyeri seperti ditusuk, rasa tebal dan alodinia (Widjaja, 2004). Gejala sensorik negatif berupa hilangnya rasa sensoris lebih sering terjadi pada seluruh perjalanan DM. Pasien tidak dapat merasakan, mengenal, atau menggunakan benda kecil. Pasien secara perlahan mengalami kehilangan kemampuan untuk menilai suhu, perasaan nyeri atau rangsangan yang mengancam. Gangguan persarafan motorik dapat menyebabkan atrofi otot-otot kaki, deformitas seperti jari-jari kaki palu (hammertoes) yang mengakibatkan timbulnya kalus dan akhirnya ulserasi (diabetic foot ulcer) (Va´rkonyi, 2008). Gejala klinis ND otonom berupa anhidrosis, keringat berkurang, hipotensi ortostatik, tekanan darah tidak stabil, gastroparesis atau diare, kelemahan kandung kemih dan disritmia kardiak. Kasusnya kurang dari 5% dari pasien DM. Impotensi dan fungsi kardiak otonom (Valeria, 2010). 12 Tabel 2.2. Klasifikasi Neuropati Diabetik Dikutip dari: Tesfaye S. 2004. Classification of Diabetic Peripheral Neuropathies. Ad Stud Med, 4: 1-8 Kelainan neurofisiologis berupa penurunan KHS sensoris dan motorik terutama bagian distal. Kecepatan hantaran saraf sensoris menunjukkan amplitudo rendah dan latensi distal memanjang, biasanya lebih jelas daripada perubahan kecepatan hantar saraf motorik. Amplitudo respon motorik mungkin normal atau berkurang bila penyakitnya bertambah parah. Kecepatan hantaran saraf setinggi segmen proksimal sering menurun dan respon memanjang, keduanya menunjukkan demielinisasi ringan. Elektromiografi (EMG) biasanya jarang 13 menunjukkan aktivitas spontan abnormal. Timbulnya aktivitas spontan abnormal dan amplitudo motor unit bertambah menunjukkan hilangnya akson dengan inervasi kompensatoris (Widjaja, 2004). 2.2.6. Penegakan Diagnosis Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. Distal symetrical sensorymotor polyneuropathy ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motor (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah proksimal. Diagnosis ND dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya ND (Subekti, 2009). Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap: 1. Refleks motorik 2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotensiometer) dan rasa tekan (estensiometer dengan filamen mono Semmes-Weinstein) 3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu 4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantaran saraf melalui EMG Bentuk lain ND yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom (parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN). Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan : 1) Tes respon denyut jantung terhadap manuever valsava; 2) Variasi denyut jantung (interval RR) selama napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan : 1)Respon tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); 2) Respon tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik) (Subekti, 2009). 14 2.2.7. Penatalaksanaan Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan ND dibagi kedalam 3 bagian. Strategi pertama adalah diagnosis ND sedini mungkin, diikuti strategi kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya, dan strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluhan ND/nyeri ND setelah strategi kedua dikerjakan (Subekti, 2009). Mengingat ND merupakan komplikasi kronik dengan berbagai faktor risiko yang terlibat, maka pada pengelolaan ND perlu melibatkan banyak aspek, seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah dan parameter metabolik lain sebagai komponen tak terpisahkan secara terus menerus (Subekti, 2009). 2.2.7.1 Perawatan umum/ kaki Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropati kompresi (Subekti, 2009). 2.2.7.2 Pengendalian glukosa darah Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan ialah pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala. Disamping itu pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Tiga studi epidemiologi besar, Diabetes Control and Complication Trial (DCCT), KumamotoStudy dan Unites Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) membuktikan bahwa dengan mengendalikan glukosa darah, komplikasi kronik DM termasuk neuropati dapat dikurangi. Pada DCCT, kelompok pasien dengan terapi intensif yang berhasil menurunkan HbA1c dari 9 ke 7%, telah menurunkan resiko timbul dan berkembangnya komplikasi mikrovaskular, termasuk menurunkan risiko timbulnya neuropati sebesar 60% dalam 5 tahun. Pada studi Kumamoto, suatu penelitian mirip DCCT tetapi pada DM tipe 2, juga membuktikan bahwa dengan terapi intensif mampu menurunkan risiko komplikasi, termasuk perbaikan kecepatan hantaran saraf dan ambang rangsang vibrasi. Demikian juga dengan 15 UKPDS yang memberikan hasil serupa dengan 2 studi sebelumnya (Subekti, 2009). 2.2.7.3 Terapi medikamentosa Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada bukti kuat suatu terapi dapat memperbaiki atau mencegah ND. Namun demikian, untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM termasuk neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya komplikasi kronik DM, yaitu: 1. Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa 2. ACE-inhibitors 3. Neurotropin a. Nerve growth factor b. Brain-derived neurotrophic factor 4. Alpha lipoic acid (suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali glutathion 5. Penghambat protein kinase C 6. Gangliosida (merupakan komponen utama membran sel) 7. Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekursor membran fosfolipid 8. Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs 9. Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik maupun non neurologik akibat penyakit autoimun. Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk memahami mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran post sinaptik spinal cord dan pengeluaran substansi P dari serabut saraf besar A yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri. Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri menjalar, dan lain-lain. Pemahaman 16 terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat memberi terapi yang lebih rasional, meskipun terapi nyeri ND pada dasarnya bersifat simptomatis. Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan ialah: 1. NSAID: Ibuprofen 600 mg 4x/hari, Sulindac 200 mg 2x/hari 2. Antidepresan trisiklik: Amitriptilin 50-150 mg malam hari, Imipramin 100 mg 1x/hari, Nortriptilin 50-150 mg malam hari, Paroxetine 40 mg 1x/hari 3. Antikonvulsan: Gabapentin 900 mg 3x/hari, Karbamazepin 200 mg 4x/hari 4. Antiaritmia: Mexilletin 150-450 mg 1x/hari 5. Topikal: Capsaicin 0,075% 4x/hari, Fluphenazine 1 mg 3x/hari 6. Transcutaneous electrical nerve stimulation. Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal mampu mengatasi nyeri ND. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat anti-depresan atau anti-konvulsan tergantung ada tidaknya efek samping. Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadang-kadang kombinasi anti-depresan dan anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan regimen ini belum atau kurang perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat dilakukan (Subekti, 2009). 2.2.7.4. Edukasi Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan kenyataan seperti itu, edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri ND. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal, dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu penjelasan tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki pada setiap pertemuan dengan dokter, dan pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya neuropati diabetik pada pasien DM (Subekti, 2009).