mengoptimalkan perencanaan dan penganggaran daerah untuk

advertisement
POLICY BRIEF
05
MENGOPTIMALKAN
PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN
DAERAH UNTUK
PENANGGULANGAN
HIV DAN AIDS
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran UGM
PESAN POKOK
Keberlanjutan penanggulangan HIV dan
AIDS di ngkat daerah bergantung pada
kecukupan dukungan pendanaan guna
mendorong dan memperkuat proses
perencanaan dan penganggaran ru n
pemerintah daerah. Suatu pengamatan atas
penggunaan anggaran daerah menunjukkan
adanya keterbatasan kapasitas penyaluran
pendanaan pada badan-badan pelaksana
proyek. Penambahan alokasi anggaran
hanya akan menambah beban atas situasi
yang sudah cukup sulit ini. Upaya integrasi
atas proses-proses administra f
perencanaan dan penganggaran antar
pemerintah pusat dan daerah dapat
menjadi suatu solusi kunci dalam mengatasi
berkurangnya dukungan pendanaan
internasional dalam upaya penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia.
MASALAH
Hingga saat ini, sumber utama pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia disediakan oleh lembaga donor internasional, baik yang bersifat
multilateral seperti Global Fund (GF) dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
maupun lembaga-lembaga bilateral seperti Department of Foreign Affairs
And Trade (DFAT) Australia dan United States Agency for International
Development (USAID) (Nadjib, 2013). GF merupakan kontributor yang
cukup dominan dalam pendanaan program penanggulangan HIV dan AIDS,
yaitu dengan proporsi pendanaan 63.85% (2011) dan 49.53% (2012) dari
total pendanaan yang bersumber dari lembaga multilateral maupun
bilateral. Sementara pendanaan yang bersumber dari publik didominasi
oleh pemerintah pusat dengan kecenderungan yang meningkat setiap
tahunnya. Pada 2012 anggaran pemerintah pusat mencapai 46% dari total
pendanaan HIV dan AIDS di Indonesia (lihat Gambar 5.1).
Gambar 5.1: Perbandingan Kontribusi GF dengan Kontribusi Pemerintah Pusat dan Daerah, tahun
2009-2012
30.000.000
25.000.000
20.000.000
15.000.000
10.000.000
5.000.000
2009
Kontribusi GF
2010
Dana dari pemerintah pusat
2011
2012
Dana dari pemerintah daerah
Sumber: NASA, 2013
Dengan akan berkurangnya dan bahkan berakhirnya dukungan pendanaan
dari GF dan mitra pembangunan internasional lainnya, sepanjang tujuh
tahun terakhir berbagai badan internasional maupun nasional, baik di
tingkat regional maupun nasional telah menyusun perkiraan kebutuhan
dan sumber pendanaan potensial untuk penanggulangan HIV dan AIDS
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
(lihat Kementerian Kesehatan, 2012; KPAN 2010 dan 2015; dan UNAIDS
2008). Kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai dokumen ini adalah
bahwa guna memenuhi seluruh kebutuhan biaya program-program
penanggulangan HIV dan AIDS diperlukan komitmen yang lebih besar lagi
dari pemerintah kabupaten dan kota terkait peningkatan alokasi anggaran
untuk program-program tersebut.
Namun demikian, alokasi pendanaan berbasis estimasi kebutuhan sumber
daya tersebut ternyata belum memperlihatkan dampak positif terhadap
respon perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah. Beberapa daerah
memang sudah menunjukkan komitmen awal terhadap penanggulangan
HIV dan AIDS, yang bisa dilihat dari adanya anggaran daerah untuk
penanggulangan HIV dan AIDS sekaligus meningkatnya jumlah anggaran
tahunan mereka. Secara umum, Gambar 5.1 di atas menunjukkan bahwa
kontribusi dana daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
hanya sekitar 20% pada 2009 dan 2010, dan bahkan kembali menurun
pada 2011 (13%) dan 2014 (14%). Namun demikian, guna memenuhi
seluruh kebutuhan pendanaan, KPAN mengasumsikan tingkat
pertumbuhan yang diharapkan dari anggaran kabupaten dan kota sebesar
20% per tahun (SRAN 2015-2019).
Pertanyaannya sekarang, mengapa alokasi anggaran HIV dan AIDS belum
menjadi prioritas pemerintah daerah? Apakah memungkinkan untuk
meningkatkan anggaran kabupaten dan kota secara signifikan guna
menutup kebutuhan dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS? Hambatan
apa yang perlu ditanggulangi agar kabupaten dan kota mau dan mampu
untuk meningkatkan anggaran sesuai kapasitas fiskalnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat
kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan penganggaran dan
perencanaan terkait penanggulangan HIV dan AIDS. Pertama, dalam
konteks desentralisasi, pemerintah seharusnya memiliki otoritas
administratif untuk melakukan perencanaan dan penganggaran atas
pendanaan mereka daerah mereka untuk penanggulangan HIV dan AIDS.
Akan tetapi, karena dana penanggulangan HIV dan AIDS dianggarkan pada
APBN, maka pelaksanaannya bersifat vertikal di mana perencanaan
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
program dan anggaran dilakukan oleh Kemenkes dan KPAN, dengan donor
dan pemerintah kabupaten dan kota sebagai pelaksana atau bahkan pada
beberapa kasus di masa lalu mereka tidak dilibatkan sama sekali. Akibatnya
kebutuhan dan biaya penyediaan layanan di tingkat daerah kadang-kadang
terabaikan. Bahkan sesudah era desentralisasi tahun 1999, 90% dari
anggaran yang tersedia di tingkat daerah masih berasal dari anggaran
pusat25 (World Bank, 2008). Kondisi ini membuat kapasitas daerah dalam
perencanaan anggaran tidak berkembang dan menimbulkan persepsi
bahwa penanggulangan HIV dan AIDS “bukan suatu prioritas” pemerintah
daerah sebab sudah ditangani oleh pemerintah pusat ataupun donor.
Kedua, hubungan vertikal terkait penanggulangan HIV dan AIDS juga
terlihat pada kepemilikan data yang diperlukan untuk merespon HIV dan
AIDS di kabupaten dan kota terkait. Program dan yang dihasilkan di tingkat
daerah dikumpulkan dan dikelola di tingkat pusat. Sementara di lain sisi
masih banyak daerah yang belum memiliki data-data yang dibutuhkan
dalam asesmen atas situasi epidemik di daerahnya. Apabila tersedia, datadata tersebut tidak sinkron sehingga sulit untuk diolah dan dimanfaatkan.
Para aktor di tingkat pusat seperti KPAN, Kemenkes dan berbagai donor
telah menghasilkan beragam survei populasi di tingkat nasional maupun
daerah. Namun demikian, hasil-hasil survei tersebut tidak menjadi milik
daerah
sehingga
menghambat
kemampuan
mereka
dalam
mengembangkan respon yang sesuai. Akibatnya, penentuan anggaran
daerah seringkali mengacu pada alokasi kinerja pada tahun sebelumnya,
tidak berdasarkan kebutuhan daerah.
Ketiga, pemerintah daerah juga tidak memiliki perkiraan total dana yang
dibutuhkan untuk mencukupi penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya.
Sebagai konsekuensinya, daerah tersebut tidak mampu melakukan
mekanisme koordinasi untuk mengumpulkan serta mengelola berbagai
dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di luar anggaran daerah. Contoh,
25
Anggaran pusat ini diberikan dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari Dana
Alokasi Umum, sumber daya alam dan pembagian pendapatan, serta Dana Alokasi Khusus.
Papua dan Aceh juga mendapatkan Dana Otonomi Khusus. Selain dana-dana dari pusat ini,
daerah juga memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang mungkin dapat menjadi sumber
dana penganggulangan HIV dan AIDS.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
tidak ada informasi dari lembaga donor maupun pencatatan mengenai
pendanaan donor yang dialokasikan dan diimplementasikan di daerah
terkait. Pendanaan dari lembaga donor langsung disalurkan kepada
pelaksana program tanpa adanya koordinasi dengan pemerintah daerah.
Selain itu, karena jumlah pendanaan yang dibutuhkan belum diketahui
maka sulit untuk memfasilitasi pengumpulan dana dari sumber-sumber
eksternal seperti misalnya CSR dari sektor swasta untuk penganggulangan
HIV dan AIDS di lingkungan wilayah operasi masing- masing perusahaan.
Terakhir, dalam kaitannya dengan anggaran, nomenklatur yang digunakan
dalam penganggaran program HIV dan AIDS tidak sesuai dengan
nomenklatur pada dokumen penganggaran pemerintah. Akibatnya,
penganggaran kegiatan/program penanggulangan AIDS sulit untuk
dimasukkan ke dalam dokumen penganggaran pemerintah yang ada di
daerah terkait. Misalnya pengaturan kebutuhan sumber daya kesehatan
mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan yang berbeda dengan Nomenklatur Kebutuhan Tenaga AIDS.
Perbedaan jenis nomenklatur tenaga kesehatan umum dengan kebutuhan
tenaga AIDS terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1: Perbandingan nomenklatur Tenaga Kesehatan dan Tenaga AIDS
Nomenklatur Tenaga kesehatan
(PP No. 36 Tahun 2014)
1. Tenaga medis meliputi dokter
dan dokter gigi.
2. Tenaga keperawatan meliputi
perawat dan bidan.
3. Tenaga kefarmasian meliputi
apoteker, analis farmasi dan
asisten apoteker.
4. Tenaga ahli kesehatan
masyarakat meliputi epidemiolog
kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiolog kesehatan, penyuluh
kesehatan, administrator
kesehatan, dan sanitarian.
5. Tenaga ahli gizi meliputi
nutrisionis dan dietisien.
Nomenklatur Kebutuhan Tenaga AIDS
(SRAN 2010-2014)
A. Tenaga Lapangan
Penyuluh (peer educator)
Petugas penjangkau outreach
workers)
Pengawas
program
tingkat
lapangan
Manajer program tingkat lapangan
B.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
Tingkat Layanan
Petugas konselor untuk berbagai
layanan (PDP, KT, IMS, PPIA, LASS,
PTRM)
Dokter spesialis (layanan PDP)
Dokter umum untuk berbagai
layanan (PDP, KT, IMS, PPIA, LASS,
Nomenklatur Tenaga kesehatan
(PP No. 36 Tahun 2014)
6. Tenaga terapi fisik meliputi
fisioterapis, okupasiterapis dan
terapis wicara.
7. Tenaga teknisi kesehatan
meliputi radiografer, radioterapis,
teknisi gigi, teknisi elektromedik,
analis kesehatan, refraksionis
optisien, otorik prostetik, teknisi
transfusi dan petugas perekam
medis.
Nomenklatur Kebutuhan Tenaga AIDS
(SRAN 2010-2014)
PTRM)
Petugas
laboratorium
untuk
berbagai layanan (PDP, KT, IMS,
PPIA)
Perawat untuk berbagai layanan
(PDP, KT, IMS, PPIA, LASS, PTRM)
Petugas
administrasi
untuk
pencatatan dan pelaporan dari
berbagai layanan (PDP, KT, IMS,
PPIA, LASS, PTRM)
Nutrisionis
Bidan
Manajer kasus (case managers)
C.
Manajemen di tingkat Kabupaten
Manajer program
Pemantauan dan evaluasi, dan
surveilans
Keuangan dan administrasi
Sekertaris atau manajer
Demikian pula penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah
berdasarkan tupoksi dari setiap Satuan Kerja dan Perangkat Daerah (SKPD),
sehingga mata anggaran HIV dan AIDS hanya dapat dimasukkan ke dalam
anggaran Dinas Kesehatan meskipun isu HIV dan AIDS merupakan isu lintas
sektor. Mata anggaran yang tidak berada dalam tupoksi masing-masing
dinas akan diakomodasi dalam mekanisme bantuan sosial yang bersifat
tidak berkelanjutan. Anggaran KPAD selama ini selain bergantung pada
pendanaan mitra pembangunan internasional melalui KPAN juga didukung
dengan mekanisme bantuan sosial di Biro Kesra di Sekretariat Pemerintah
Kabupaten, Kota, maupun Provinsi.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
OPSI KEBIJAKAN
Perencanaan dan penganggaran kesehatan daerah pada era desentralisasi
perlu diintegrasikan ke dalam sistem yang berlaku sesuai dengan dengan
kompleksitas penyediaan layanan kesehatan (Atun et al., 2010). Secara
teknis integrasi dalam tingkat layanan kesehatan secara fungsional sudah
terjadi di daerah26. Namun integrasi secara administratif yang berupa
integrasi dalam bentuk pendanaan, perencanaan, pengelolaan layanan dan
sistem informasi masih belum terihat. Secara administrasif perencanaan
dan penganggaran pada tingkat layanan masih ditentukan secara vertikal
baik oleh pemerintah pusat maupun lembaga-lemmbaga pembangunan
internasional terkait. Peluang untuk mengintegrasikan mekanisme
perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS ke
mekanisme pendanaan pemerintah daerah sebenarnya dapat dilakukan
melalui pengajuan siklus anggaran melalui dokumen Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Anggaran (RKA).
Kebijakan perencanaan dan pembiayaan untuk keberlanjutan upaya
penanggulangan HIV dan AIDS di masa transisi pembiayaan mandiri setelah
2017 sudah diamanatkan secara eksplisit dalam pembagian kewenangan
terkait pembiayaan kesehatan mengikuti kebijakan desentralisasi (UU No.
23 Tahun 2014) serta kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
daerah (Pemendagri No. 20 Tahun 2007). Kebijakan-kebijakan ini
memberikan mandat bahwa perencanaan dan penganggaran untuk
penanggulangan HIV dan AIDS dianggarkan baik dalam APBN, APBD,
maupun Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APBDes) sesuai
dengan kondisi dan kemampuan daerah masing-masing.
Pengintegrasian perencanaan dan pembiayaan penanggulangan HIV dan
AIDS ditentukan oleh prioritas pembangunan daerah dalam sektor
kesehatan. Untuk dapat melakukan perencanaan dan penganggaran
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah diperlukan kapasitas yang
memadai untuk mengidentifikasi jenis dan proses kegiatan di daerah
26
PKMK FK UGM, Integrasi Program dan Kebijakan Penanggungan HIV dan AIDS ke dalam
Sistem Kesehatan, 2015
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
tersebut, pendanaan untuk tiap-tiap intervensi, sekaligus juga kebutuhan
sumber daya manusianya. Selama lebih dari 20 tahun program
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, Mitra-mitra Pembangunan
Internasional (DFAT, USAID, DFID, GF, dll) melalui program yang
dilaksanakan oleh kontraktor masing-masing (ASA, IHPCP, SUM I/II, HCPI,
IPF dll) telah menyediakan berbagai model intervensi yang efektif baik yang
secara teknis memperkuat sumber daya manusia maupun peningkatan
efektivitas dari sisi pembiayaan27. Oleh karena sumber pembelajaran
tersebut terkonsentrasi di tingkat pusat maka, pemerintah pusat seperti
misalnya Kementerian Kesehatan dan KPAN perlu memprioritaskan
penguatan kapasitas perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV
dan AIDS berbasis bukti dan efektivitas intervensi yang tersedia bagi
pemerintah daerah dan sesuai dengan isu dan kebutuhan HIV dan AIDS di
masing-masing daerah.
STRATEGI IMPLEMENTASI
Strategi-strategi yang dapat dilakukan agar upaya integrasi perencanaan
dan penganggaran guna mencapai keberlanjutan penanggulangan HIV dan
AIDS adalah sebagai berikut:

Mengidentifikasi kembali berbagai intervensi dalam pencegahan
dan perawatan HIV dan AIDS yang terbukti efektif dilakukan di
Indonesia seperti telah diinisiasi oleh Mitra-mitra Pembangunan
Internasional dalam 20 tahun terakhir. Pemilihan intervensi
berbasis bukti yang efektif (termasuk cost-effective) menjadi sangat
strategis untuk dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
27
Pembelajaran Program yang efektif bisa dilihat dalam dokumentasi yang
dikembangkan oleh Mitra Pembangunan Internasional dan Badan PBB yang
bekerja di Indonesia seperti DFAT – HCPI:
http://www.grminternational.com/files/documents/sustaining_2.pdf ;
http://www.grminternational.com/files/documents/increased_2.pdf:
http://www.grminternational.com/files/documents/containing2.pdf; USAID –
SUM: Supporting the HIV Response: A Manual for Civil Society Organizations
(FSW-IDU-MSM) 2011, dll.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
merencanakan suatu respon sesuai dengan kemampuan dan
ketersediaan dana di daerah tersebut.

Sektor kesehatan perlu melaksanakan penguatan kapasitas dalam
bidang perencanaan dan pembiayaan untuk penanggulangan
AIDS, tidak hanya di pemerintahan tingkat nasional namun juga di
pemerintahan tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini sesuai
dengan kewenangan pemerintah daerah yang diatur dalam UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2007.
Diperlukan kesiapan dan kemampuan Dinas Kesehatan dan KPAD
dalam mengembangkan strategi dan rencana aksi daerah yang
mencerminkan perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS pada
tingkat nasional (SRAN). Contoh, daerah perlu memiliki kapasitas
untuk memperkirakan jumlah populasi kunci dan situasi
epidemiologi agar dapat diketahui besaran masalah, serta kapasitas
untuk menghitung pembiayaan penanggulangan AIDS daerah
melalui cost and benefit analysis (analisis biaya dan manfaat).
Dengan demikian upaya ini akan memampukan daerah dalam
mengembangkan perencanaan penganggulangan HIV dan AIDS
yang sesuai dengan kebutuhan wilayahnya.

Sejalan dengan agenda SRAN 2015-2019, komitmen terhadap
penanggulangan HIV dan AIDS dari para pemangku kepentingan di
daerah seperti DPRD, Walikota dan Bappeda perlu ditingkatkan.
Dengan demikian, perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS di
tingkat daerah membutuhkan perhatian lebih dan menjadi isu
kesehatan prioritas di daerah. Penanggulangan HIV dan AIDS dapat
diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan daerah melalui
mekanisme yang bersifat inklusif dan partisipatif serta melibatkan
instansi lintas sektor daerah terkait, LSM, komunitas terdampak
HIV, populasi kunci dan ODHA, serta mitra pembangunan terkait
lainnya.
Penguatan komitmen pemerintah daerah untuk
memprioritaskan AIDS di daerah sangat penting mengingat masih
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
banyak ditemukannya berbagai tantangan di daerah, sebagaimana
tercermin pada temuan riset lapangan berikut:
Ada kesan bahwa HIV tidak dianggap penting oleh Walikota.
Sepertinya tidak dianggap sebagai prioritas utama. Padahal
yang paling besar pengaruhnya ya Kepala Daerah dan juga
DPRD. Maka itu KPAD dan SKPD-SKPD dan kita semua mestinya
lebih gencar mengadvokasi Walikota dan DPRD. Akan
diprioritaskan atau tidaknya suatu isu itu sangat tergantung
pada sikap Walikota dan DPRD. (DKT, staf KPA Kota Parepare,
3 Juni 2014)
Sinkronisasi penanggulangan HIV dan AIDS dalam pembangunan
daerah serta penguatan pemangku kepentingan lokal khususnya
pemimpin daerah yang memiliki kekuasaan dalam pengambilan
kebijakan penting dapat memastikan bahwa HIV dan AIDS di masa
yang akan datang akan mendapatkan perhatian dan komitmen dari
pemerintah daerah.

Mendorong advokasi kepada pemerintah daerah untuk
memastikan penanggulangan HIV AIDS menjadi salah satu agenda
tetap dalam proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang), mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten dan kota
hingga tingkat provinsi seperti yang dimandatkan dalam
Pemendagri No. 20 Tahun 2007 Pasal 13 Ayat 5 tentang perlunya
penganggaran yang berkelanjutan dalam APBDes untuk mendukung
penanggulangan HIV dan AIDS melalui pendanaan Alokasi Dana
Desa (ADD). Dengan mengalirnya alokasi anggaran secara langsung
ke tingkat desa (seperti diamantkan oleh UU Desa), KPAD perlu
mendorong terjadinya proses perencanaan dan penganggaran
untuk penanggulangan HIV dan AIDS dan memastikan kontribusi
dari seluruh pemangku kepentingan terkait di tingkat desa.
Integrasi perencanaan dan pembiayaan berupa pendanaan untuk
AIDS di tingkat kabupaten dan kota, baik melalui SKPD terkait
maupun melalui mekanisme pembiayaan oleh pemerintah di
tingkat desa, dan juga pengembangan kemitraan dengan sektor
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
swasta melalui mekanisme CSR atau public-private partnership,
perlu dikembangkan secara lebih sistematis.

Memastikan efektivitas perencanaan anggaran untuk berbagai
program yang dibutuhkan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di
daerah. Saat ini dana daerah terpusat pada program pencegahan,
sementara proporsi untuk program Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan (PDP) didominasi oleh kontribusi para peangku
kepentingan di tingkat pusat. Gambar 5.2 memperlihatkan alokasi
dana daerah yang lebih besar untuk program pencegahan,
termasuk didalamnya untuk Pencegahan, Pengelolaan dan
Lingkungan yang berkisar pada 40%–70%. Sedangkan alokasi dana
untuk PDP hanya ada pada kisaran dan/atau kurang dari 5% pada
tahun 2011 dan 2012. Dengan pertimbangan bahwa pengalokasian
dana pusat di masa yang akan datang akan terpusat pada program
PDP (khususnya dalam penyediaan ARV), maka daerah diharapkan
untuk tetap fokus pada pendanaan program-program pencegahan.
Akan tetapi, perlu dipastikan bahwa alokasi pendanaan tersebut
diperuntukkan bagi intervensi-intervensi yang tepat guna dan tepat
sasaran sehingga bisa benar-benar berkontribusi pada pencapaian
hasil. Contoh, program pencegahan tidak bisa hanya mengandalkan
kegiatan-kegiatan sosialisasi dan pertemuan saja. Kegiatan-kegiatan
yang terbukti efektif untuk berkontribusi pada pencegahan juga
perlu direncanakan didalam RKPD dan RKA.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
Gambar 5.2: Proporsi Pembelanjaan Program AIDS berdasarkan Jenis Intervensi pada
tahun 2011 dan 2012 (dalam USD)
Sumber: NASA (2013)

Kemenkes atau KPA perlu mengadvokasi Kementerian Keuangan
guna memasukkan kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS
ke dalam Petunjuk Penyusunan APBD sebagai bagian dari petunjuk
perencanaan dan penyusunan anggaran. Langkah ini akan
memungkinkan daerah dalam mengalokasikan pendanaan untuk
kegiatan penanggulangan AIDS di daerah sebagai bagian dari RKPD
dan RKA dari Dinas Kesehatan daerah. Saat ini, kebijakan yang
mengatur tentang tenaga kesehatan (PP No. 32/1996) belum
menyebutkan adanya posisi-posisi yang dibutuhkan dalam layanan
HIV dan AIDS. Dengan memastikan adanya aturan yang secara jelas
menyebutkan kebutuhan tenaga yang relevan dengan kebutuhan
layanan HIV dan AIDS maka kemungkinan perencanaan dan
penganggaran dalam APBD akan terwujud.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
DAFTAR PUSTAKA
Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., Adeyi, O. 2010a. Integration of targeted health
interventions into health systems: A conceptual framework for analysis. Health Policy
and Planning, 25:104-111.
KPAN. 2010. Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2010-2014. Komisi
Penanggulangan AIDS: Jakarta.
KPAN. 2015. Draft Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019. Komisi
Penanggulangan AIDS: Jakarta.
Kementerian Kesehatan. 2012. Keputusan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan tahun 2012 tentang Pedoman Exit Strategi Dana Hibah Global Fund
untuk AIDS, TB dan Malaria.
Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L. and Rosalina, L. 2013. National AIDS Spending
Assessment 2011-2012.
UNAIDS, 2008. Redefining AIDS in Asia: Creating an effective response. Report of the
Commission on AIDS in Asia. Available at:
http://www.unaids.org/en/resources/presscentre/featurestories/2008/march/20080326
asiacommission/
World Bank. 2008. Investing in Indonesian's Health: Challenges and Opportunities for
Future Public Spending.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
Download