POLICY BRIEF 05 MENGOPTIMALKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH UNTUK PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM PESAN POKOK Keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS di ngkat daerah bergantung pada kecukupan dukungan pendanaan guna mendorong dan memperkuat proses perencanaan dan penganggaran ru n pemerintah daerah. Suatu pengamatan atas penggunaan anggaran daerah menunjukkan adanya keterbatasan kapasitas penyaluran pendanaan pada badan-badan pelaksana proyek. Penambahan alokasi anggaran hanya akan menambah beban atas situasi yang sudah cukup sulit ini. Upaya integrasi atas proses-proses administra f perencanaan dan penganggaran antar pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi suatu solusi kunci dalam mengatasi berkurangnya dukungan pendanaan internasional dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. MASALAH Hingga saat ini, sumber utama pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia disediakan oleh lembaga donor internasional, baik yang bersifat multilateral seperti Global Fund (GF) dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) maupun lembaga-lembaga bilateral seperti Department of Foreign Affairs And Trade (DFAT) Australia dan United States Agency for International Development (USAID) (Nadjib, 2013). GF merupakan kontributor yang cukup dominan dalam pendanaan program penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu dengan proporsi pendanaan 63.85% (2011) dan 49.53% (2012) dari total pendanaan yang bersumber dari lembaga multilateral maupun bilateral. Sementara pendanaan yang bersumber dari publik didominasi oleh pemerintah pusat dengan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Pada 2012 anggaran pemerintah pusat mencapai 46% dari total pendanaan HIV dan AIDS di Indonesia (lihat Gambar 5.1). Gambar 5.1: Perbandingan Kontribusi GF dengan Kontribusi Pemerintah Pusat dan Daerah, tahun 2009-2012 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000 2009 Kontribusi GF 2010 Dana dari pemerintah pusat 2011 2012 Dana dari pemerintah daerah Sumber: NASA, 2013 Dengan akan berkurangnya dan bahkan berakhirnya dukungan pendanaan dari GF dan mitra pembangunan internasional lainnya, sepanjang tujuh tahun terakhir berbagai badan internasional maupun nasional, baik di tingkat regional maupun nasional telah menyusun perkiraan kebutuhan dan sumber pendanaan potensial untuk penanggulangan HIV dan AIDS Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM (lihat Kementerian Kesehatan, 2012; KPAN 2010 dan 2015; dan UNAIDS 2008). Kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai dokumen ini adalah bahwa guna memenuhi seluruh kebutuhan biaya program-program penanggulangan HIV dan AIDS diperlukan komitmen yang lebih besar lagi dari pemerintah kabupaten dan kota terkait peningkatan alokasi anggaran untuk program-program tersebut. Namun demikian, alokasi pendanaan berbasis estimasi kebutuhan sumber daya tersebut ternyata belum memperlihatkan dampak positif terhadap respon perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah. Beberapa daerah memang sudah menunjukkan komitmen awal terhadap penanggulangan HIV dan AIDS, yang bisa dilihat dari adanya anggaran daerah untuk penanggulangan HIV dan AIDS sekaligus meningkatnya jumlah anggaran tahunan mereka. Secara umum, Gambar 5.1 di atas menunjukkan bahwa kontribusi dana daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia hanya sekitar 20% pada 2009 dan 2010, dan bahkan kembali menurun pada 2011 (13%) dan 2014 (14%). Namun demikian, guna memenuhi seluruh kebutuhan pendanaan, KPAN mengasumsikan tingkat pertumbuhan yang diharapkan dari anggaran kabupaten dan kota sebesar 20% per tahun (SRAN 2015-2019). Pertanyaannya sekarang, mengapa alokasi anggaran HIV dan AIDS belum menjadi prioritas pemerintah daerah? Apakah memungkinkan untuk meningkatkan anggaran kabupaten dan kota secara signifikan guna menutup kebutuhan dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS? Hambatan apa yang perlu ditanggulangi agar kabupaten dan kota mau dan mampu untuk meningkatkan anggaran sesuai kapasitas fiskalnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan penganggaran dan perencanaan terkait penanggulangan HIV dan AIDS. Pertama, dalam konteks desentralisasi, pemerintah seharusnya memiliki otoritas administratif untuk melakukan perencanaan dan penganggaran atas pendanaan mereka daerah mereka untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Akan tetapi, karena dana penanggulangan HIV dan AIDS dianggarkan pada APBN, maka pelaksanaannya bersifat vertikal di mana perencanaan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM program dan anggaran dilakukan oleh Kemenkes dan KPAN, dengan donor dan pemerintah kabupaten dan kota sebagai pelaksana atau bahkan pada beberapa kasus di masa lalu mereka tidak dilibatkan sama sekali. Akibatnya kebutuhan dan biaya penyediaan layanan di tingkat daerah kadang-kadang terabaikan. Bahkan sesudah era desentralisasi tahun 1999, 90% dari anggaran yang tersedia di tingkat daerah masih berasal dari anggaran pusat25 (World Bank, 2008). Kondisi ini membuat kapasitas daerah dalam perencanaan anggaran tidak berkembang dan menimbulkan persepsi bahwa penanggulangan HIV dan AIDS “bukan suatu prioritas” pemerintah daerah sebab sudah ditangani oleh pemerintah pusat ataupun donor. Kedua, hubungan vertikal terkait penanggulangan HIV dan AIDS juga terlihat pada kepemilikan data yang diperlukan untuk merespon HIV dan AIDS di kabupaten dan kota terkait. Program dan yang dihasilkan di tingkat daerah dikumpulkan dan dikelola di tingkat pusat. Sementara di lain sisi masih banyak daerah yang belum memiliki data-data yang dibutuhkan dalam asesmen atas situasi epidemik di daerahnya. Apabila tersedia, datadata tersebut tidak sinkron sehingga sulit untuk diolah dan dimanfaatkan. Para aktor di tingkat pusat seperti KPAN, Kemenkes dan berbagai donor telah menghasilkan beragam survei populasi di tingkat nasional maupun daerah. Namun demikian, hasil-hasil survei tersebut tidak menjadi milik daerah sehingga menghambat kemampuan mereka dalam mengembangkan respon yang sesuai. Akibatnya, penentuan anggaran daerah seringkali mengacu pada alokasi kinerja pada tahun sebelumnya, tidak berdasarkan kebutuhan daerah. Ketiga, pemerintah daerah juga tidak memiliki perkiraan total dana yang dibutuhkan untuk mencukupi penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya. Sebagai konsekuensinya, daerah tersebut tidak mampu melakukan mekanisme koordinasi untuk mengumpulkan serta mengelola berbagai dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di luar anggaran daerah. Contoh, 25 Anggaran pusat ini diberikan dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, sumber daya alam dan pembagian pendapatan, serta Dana Alokasi Khusus. Papua dan Aceh juga mendapatkan Dana Otonomi Khusus. Selain dana-dana dari pusat ini, daerah juga memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang mungkin dapat menjadi sumber dana penganggulangan HIV dan AIDS. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM tidak ada informasi dari lembaga donor maupun pencatatan mengenai pendanaan donor yang dialokasikan dan diimplementasikan di daerah terkait. Pendanaan dari lembaga donor langsung disalurkan kepada pelaksana program tanpa adanya koordinasi dengan pemerintah daerah. Selain itu, karena jumlah pendanaan yang dibutuhkan belum diketahui maka sulit untuk memfasilitasi pengumpulan dana dari sumber-sumber eksternal seperti misalnya CSR dari sektor swasta untuk penganggulangan HIV dan AIDS di lingkungan wilayah operasi masing- masing perusahaan. Terakhir, dalam kaitannya dengan anggaran, nomenklatur yang digunakan dalam penganggaran program HIV dan AIDS tidak sesuai dengan nomenklatur pada dokumen penganggaran pemerintah. Akibatnya, penganggaran kegiatan/program penanggulangan AIDS sulit untuk dimasukkan ke dalam dokumen penganggaran pemerintah yang ada di daerah terkait. Misalnya pengaturan kebutuhan sumber daya kesehatan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang berbeda dengan Nomenklatur Kebutuhan Tenaga AIDS. Perbedaan jenis nomenklatur tenaga kesehatan umum dengan kebutuhan tenaga AIDS terlihat pada tabel berikut: Tabel 1: Perbandingan nomenklatur Tenaga Kesehatan dan Tenaga AIDS Nomenklatur Tenaga kesehatan (PP No. 36 Tahun 2014) 1. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. 2. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan. 3. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. 4. Tenaga ahli kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan, dan sanitarian. 5. Tenaga ahli gizi meliputi nutrisionis dan dietisien. Nomenklatur Kebutuhan Tenaga AIDS (SRAN 2010-2014) A. Tenaga Lapangan Penyuluh (peer educator) Petugas penjangkau outreach workers) Pengawas program tingkat lapangan Manajer program tingkat lapangan B. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM Tingkat Layanan Petugas konselor untuk berbagai layanan (PDP, KT, IMS, PPIA, LASS, PTRM) Dokter spesialis (layanan PDP) Dokter umum untuk berbagai layanan (PDP, KT, IMS, PPIA, LASS, Nomenklatur Tenaga kesehatan (PP No. 36 Tahun 2014) 6. Tenaga terapi fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara. 7. Tenaga teknisi kesehatan meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedik, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan petugas perekam medis. Nomenklatur Kebutuhan Tenaga AIDS (SRAN 2010-2014) PTRM) Petugas laboratorium untuk berbagai layanan (PDP, KT, IMS, PPIA) Perawat untuk berbagai layanan (PDP, KT, IMS, PPIA, LASS, PTRM) Petugas administrasi untuk pencatatan dan pelaporan dari berbagai layanan (PDP, KT, IMS, PPIA, LASS, PTRM) Nutrisionis Bidan Manajer kasus (case managers) C. Manajemen di tingkat Kabupaten Manajer program Pemantauan dan evaluasi, dan surveilans Keuangan dan administrasi Sekertaris atau manajer Demikian pula penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah berdasarkan tupoksi dari setiap Satuan Kerja dan Perangkat Daerah (SKPD), sehingga mata anggaran HIV dan AIDS hanya dapat dimasukkan ke dalam anggaran Dinas Kesehatan meskipun isu HIV dan AIDS merupakan isu lintas sektor. Mata anggaran yang tidak berada dalam tupoksi masing-masing dinas akan diakomodasi dalam mekanisme bantuan sosial yang bersifat tidak berkelanjutan. Anggaran KPAD selama ini selain bergantung pada pendanaan mitra pembangunan internasional melalui KPAN juga didukung dengan mekanisme bantuan sosial di Biro Kesra di Sekretariat Pemerintah Kabupaten, Kota, maupun Provinsi. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM OPSI KEBIJAKAN Perencanaan dan penganggaran kesehatan daerah pada era desentralisasi perlu diintegrasikan ke dalam sistem yang berlaku sesuai dengan dengan kompleksitas penyediaan layanan kesehatan (Atun et al., 2010). Secara teknis integrasi dalam tingkat layanan kesehatan secara fungsional sudah terjadi di daerah26. Namun integrasi secara administratif yang berupa integrasi dalam bentuk pendanaan, perencanaan, pengelolaan layanan dan sistem informasi masih belum terihat. Secara administrasif perencanaan dan penganggaran pada tingkat layanan masih ditentukan secara vertikal baik oleh pemerintah pusat maupun lembaga-lemmbaga pembangunan internasional terkait. Peluang untuk mengintegrasikan mekanisme perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS ke mekanisme pendanaan pemerintah daerah sebenarnya dapat dilakukan melalui pengajuan siklus anggaran melalui dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Anggaran (RKA). Kebijakan perencanaan dan pembiayaan untuk keberlanjutan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di masa transisi pembiayaan mandiri setelah 2017 sudah diamanatkan secara eksplisit dalam pembagian kewenangan terkait pembiayaan kesehatan mengikuti kebijakan desentralisasi (UU No. 23 Tahun 2014) serta kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah (Pemendagri No. 20 Tahun 2007). Kebijakan-kebijakan ini memberikan mandat bahwa perencanaan dan penganggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS dianggarkan baik dalam APBN, APBD, maupun Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APBDes) sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah masing-masing. Pengintegrasian perencanaan dan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS ditentukan oleh prioritas pembangunan daerah dalam sektor kesehatan. Untuk dapat melakukan perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS di daerah diperlukan kapasitas yang memadai untuk mengidentifikasi jenis dan proses kegiatan di daerah 26 PKMK FK UGM, Integrasi Program dan Kebijakan Penanggungan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan, 2015 Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM tersebut, pendanaan untuk tiap-tiap intervensi, sekaligus juga kebutuhan sumber daya manusianya. Selama lebih dari 20 tahun program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, Mitra-mitra Pembangunan Internasional (DFAT, USAID, DFID, GF, dll) melalui program yang dilaksanakan oleh kontraktor masing-masing (ASA, IHPCP, SUM I/II, HCPI, IPF dll) telah menyediakan berbagai model intervensi yang efektif baik yang secara teknis memperkuat sumber daya manusia maupun peningkatan efektivitas dari sisi pembiayaan27. Oleh karena sumber pembelajaran tersebut terkonsentrasi di tingkat pusat maka, pemerintah pusat seperti misalnya Kementerian Kesehatan dan KPAN perlu memprioritaskan penguatan kapasitas perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS berbasis bukti dan efektivitas intervensi yang tersedia bagi pemerintah daerah dan sesuai dengan isu dan kebutuhan HIV dan AIDS di masing-masing daerah. STRATEGI IMPLEMENTASI Strategi-strategi yang dapat dilakukan agar upaya integrasi perencanaan dan penganggaran guna mencapai keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS adalah sebagai berikut: Mengidentifikasi kembali berbagai intervensi dalam pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS yang terbukti efektif dilakukan di Indonesia seperti telah diinisiasi oleh Mitra-mitra Pembangunan Internasional dalam 20 tahun terakhir. Pemilihan intervensi berbasis bukti yang efektif (termasuk cost-effective) menjadi sangat strategis untuk dilakukan oleh pemerintah daerah dalam 27 Pembelajaran Program yang efektif bisa dilihat dalam dokumentasi yang dikembangkan oleh Mitra Pembangunan Internasional dan Badan PBB yang bekerja di Indonesia seperti DFAT – HCPI: http://www.grminternational.com/files/documents/sustaining_2.pdf ; http://www.grminternational.com/files/documents/increased_2.pdf: http://www.grminternational.com/files/documents/containing2.pdf; USAID – SUM: Supporting the HIV Response: A Manual for Civil Society Organizations (FSW-IDU-MSM) 2011, dll. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM merencanakan suatu respon sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan dana di daerah tersebut. Sektor kesehatan perlu melaksanakan penguatan kapasitas dalam bidang perencanaan dan pembiayaan untuk penanggulangan AIDS, tidak hanya di pemerintahan tingkat nasional namun juga di pemerintahan tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2007. Diperlukan kesiapan dan kemampuan Dinas Kesehatan dan KPAD dalam mengembangkan strategi dan rencana aksi daerah yang mencerminkan perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS pada tingkat nasional (SRAN). Contoh, daerah perlu memiliki kapasitas untuk memperkirakan jumlah populasi kunci dan situasi epidemiologi agar dapat diketahui besaran masalah, serta kapasitas untuk menghitung pembiayaan penanggulangan AIDS daerah melalui cost and benefit analysis (analisis biaya dan manfaat). Dengan demikian upaya ini akan memampukan daerah dalam mengembangkan perencanaan penganggulangan HIV dan AIDS yang sesuai dengan kebutuhan wilayahnya. Sejalan dengan agenda SRAN 2015-2019, komitmen terhadap penanggulangan HIV dan AIDS dari para pemangku kepentingan di daerah seperti DPRD, Walikota dan Bappeda perlu ditingkatkan. Dengan demikian, perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah membutuhkan perhatian lebih dan menjadi isu kesehatan prioritas di daerah. Penanggulangan HIV dan AIDS dapat diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan daerah melalui mekanisme yang bersifat inklusif dan partisipatif serta melibatkan instansi lintas sektor daerah terkait, LSM, komunitas terdampak HIV, populasi kunci dan ODHA, serta mitra pembangunan terkait lainnya. Penguatan komitmen pemerintah daerah untuk memprioritaskan AIDS di daerah sangat penting mengingat masih Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM banyak ditemukannya berbagai tantangan di daerah, sebagaimana tercermin pada temuan riset lapangan berikut: Ada kesan bahwa HIV tidak dianggap penting oleh Walikota. Sepertinya tidak dianggap sebagai prioritas utama. Padahal yang paling besar pengaruhnya ya Kepala Daerah dan juga DPRD. Maka itu KPAD dan SKPD-SKPD dan kita semua mestinya lebih gencar mengadvokasi Walikota dan DPRD. Akan diprioritaskan atau tidaknya suatu isu itu sangat tergantung pada sikap Walikota dan DPRD. (DKT, staf KPA Kota Parepare, 3 Juni 2014) Sinkronisasi penanggulangan HIV dan AIDS dalam pembangunan daerah serta penguatan pemangku kepentingan lokal khususnya pemimpin daerah yang memiliki kekuasaan dalam pengambilan kebijakan penting dapat memastikan bahwa HIV dan AIDS di masa yang akan datang akan mendapatkan perhatian dan komitmen dari pemerintah daerah. Mendorong advokasi kepada pemerintah daerah untuk memastikan penanggulangan HIV AIDS menjadi salah satu agenda tetap dalam proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten dan kota hingga tingkat provinsi seperti yang dimandatkan dalam Pemendagri No. 20 Tahun 2007 Pasal 13 Ayat 5 tentang perlunya penganggaran yang berkelanjutan dalam APBDes untuk mendukung penanggulangan HIV dan AIDS melalui pendanaan Alokasi Dana Desa (ADD). Dengan mengalirnya alokasi anggaran secara langsung ke tingkat desa (seperti diamantkan oleh UU Desa), KPAD perlu mendorong terjadinya proses perencanaan dan penganggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS dan memastikan kontribusi dari seluruh pemangku kepentingan terkait di tingkat desa. Integrasi perencanaan dan pembiayaan berupa pendanaan untuk AIDS di tingkat kabupaten dan kota, baik melalui SKPD terkait maupun melalui mekanisme pembiayaan oleh pemerintah di tingkat desa, dan juga pengembangan kemitraan dengan sektor Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM swasta melalui mekanisme CSR atau public-private partnership, perlu dikembangkan secara lebih sistematis. Memastikan efektivitas perencanaan anggaran untuk berbagai program yang dibutuhkan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Saat ini dana daerah terpusat pada program pencegahan, sementara proporsi untuk program Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP) didominasi oleh kontribusi para peangku kepentingan di tingkat pusat. Gambar 5.2 memperlihatkan alokasi dana daerah yang lebih besar untuk program pencegahan, termasuk didalamnya untuk Pencegahan, Pengelolaan dan Lingkungan yang berkisar pada 40%–70%. Sedangkan alokasi dana untuk PDP hanya ada pada kisaran dan/atau kurang dari 5% pada tahun 2011 dan 2012. Dengan pertimbangan bahwa pengalokasian dana pusat di masa yang akan datang akan terpusat pada program PDP (khususnya dalam penyediaan ARV), maka daerah diharapkan untuk tetap fokus pada pendanaan program-program pencegahan. Akan tetapi, perlu dipastikan bahwa alokasi pendanaan tersebut diperuntukkan bagi intervensi-intervensi yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga bisa benar-benar berkontribusi pada pencapaian hasil. Contoh, program pencegahan tidak bisa hanya mengandalkan kegiatan-kegiatan sosialisasi dan pertemuan saja. Kegiatan-kegiatan yang terbukti efektif untuk berkontribusi pada pencegahan juga perlu direncanakan didalam RKPD dan RKA. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM Gambar 5.2: Proporsi Pembelanjaan Program AIDS berdasarkan Jenis Intervensi pada tahun 2011 dan 2012 (dalam USD) Sumber: NASA (2013) Kemenkes atau KPA perlu mengadvokasi Kementerian Keuangan guna memasukkan kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Petunjuk Penyusunan APBD sebagai bagian dari petunjuk perencanaan dan penyusunan anggaran. Langkah ini akan memungkinkan daerah dalam mengalokasikan pendanaan untuk kegiatan penanggulangan AIDS di daerah sebagai bagian dari RKPD dan RKA dari Dinas Kesehatan daerah. Saat ini, kebijakan yang mengatur tentang tenaga kesehatan (PP No. 32/1996) belum menyebutkan adanya posisi-posisi yang dibutuhkan dalam layanan HIV dan AIDS. Dengan memastikan adanya aturan yang secara jelas menyebutkan kebutuhan tenaga yang relevan dengan kebutuhan layanan HIV dan AIDS maka kemungkinan perencanaan dan penganggaran dalam APBD akan terwujud. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM DAFTAR PUSTAKA Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., Adeyi, O. 2010a. Integration of targeted health interventions into health systems: A conceptual framework for analysis. Health Policy and Planning, 25:104-111. KPAN. 2010. Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2010-2014. Komisi Penanggulangan AIDS: Jakarta. KPAN. 2015. Draft Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019. Komisi Penanggulangan AIDS: Jakarta. Kementerian Kesehatan. 2012. Keputusan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2012 tentang Pedoman Exit Strategi Dana Hibah Global Fund untuk AIDS, TB dan Malaria. Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L. and Rosalina, L. 2013. National AIDS Spending Assessment 2011-2012. UNAIDS, 2008. Redefining AIDS in Asia: Creating an effective response. Report of the Commission on AIDS in Asia. Available at: http://www.unaids.org/en/resources/presscentre/featurestories/2008/march/20080326 asiacommission/ World Bank. 2008. Investing in Indonesian's Health: Challenges and Opportunities for Future Public Spending. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM