TELISIK Peran Prof. Notonagoro dalam Pengembangan Pancasila Isti Maryatun Dalam kehidupan sehari-hari setiap warga negara terikat oleh suatu peraturan yang harus ditaati. Dalam hal ini tidak hanya peraturan yang berkaitan dengan hukum saja yang harus ditaati, tetapi juga menyangkut sopan santun yang menjadi pedoman dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Oleh karena pedoman itu menyangkut seluruh perilaku hidup bangsa kita, maka seluruh bagian wajib untuk ikut membentuk etika hidup tersebut dan berperan serta kearah tersusunnya rumusan etika hidup bersama. Berdasarkan buku Serial Pemikiran Tokoh-Tokoh UGM: Prof. Notonagoro dan Pancasila “Analisis Tekstual dan Kontekstual” disebutkan bahwa etika hidup bersama ini tertuang dalam Pancasila, yang telah menetapkan dasar-dasar azasi bagi warga dan bangsa Indonesia dan juga menetapkan sikap batin bagi negara dan bangsa. Pancasila merupakan pandangan hidup dan ideologi Bangsa Indonesia. Sebagai pandangan hidup Pancasila berperan sebagai tuntunan dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari manusia sehingga semua kegiatan akan terkendali, sedangkan sebagai ideologi, Pancasila berperan untuk mewujudkan tujuan nasional yang berupa kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. 30 Riwayat Hidup Prof. Notonagoro Dengan pengantar tersebut di atas maka dipandang perlu pengkajian lebih lanjut mengenai Pancasila. Universitas Gadjah Mada sejak awal berdirinya telah memikirkan agar Pancasila meresap di hati sanubari mahasiswanya. Melalui Seminar Pancasila tanggal 17 Februari 1959, Prof. Notonagoro menyumbangkan pemikiran secara ilmiah mengenai tempat dan kedudukan Pancasila di dalam ketatanegaraan Indonesia. Tokoh yang sangat kental dengan Pancasila ini lahir di Sragen Jawa Tengah pada tanggal 10 Desember 1905, mempunyai seorang istri yang bernama GR. Ayu Koestimah Notonagoro yang dikaruniai dua orang anak, BRAY, Mahyastoeti Sumantri, S.H. dan BRAY Koesmoehamdarimah Heryanto. Prof. Notonagoro meraih Gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Filsafat di UGM pada tahun 1973. Pada tahun 1949 menjabat sebagai penasehat Menteri PP dan K di Yogyakarta yang kemudian ditugaskan untuk ikut mendirikan Universitas Gadjah Mada oleh pemerintah. Pada tahun yang sama beliau juga sebagai guru besar pada Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Tanggal 1 Januari 1973 telah habis masa jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun beliau masih terus mengabdikan dirinya sebagai guru besar luar biasa di UGM. 31 Karya-karya Prof. Notonagoro dalam bidang kefilsafatan diantaranya ialah: (1) Beberapa Hal mengenai Falsafah Pantjasila (1967); (2) Skema Pendidikan Mental, Kesiapan Pribadi Pantjasila (1969); Pantjasila secara Ilmiah Populer (1970) (sumber: Pidato Penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Filsafat kepada Prof. Drs. Notonagoro, S.H. tanggal 19 Desember 1973). Adapun karya-karya Prof. Notonagoro yang dimanfaatkan oleh lembaga pemerintah sebagai kerangka acuan tentang Pancasila, antara lain: (1) Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, yang disampaikan Prof. Notonagoro dalam kedudukannya sebagai promotor pada promosi doktor honoris causa Ir. Soekarno dalam bidang hukum, di UGM, 19 September 1951; (2) Pemboekaan Oendang-Oendang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia), yang pernah disampaikan Prof. Notonagoro pada Dies Natalis Univeritas Airlangga pertama, 10 November 1955; (3) Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Jalan Keluar dari Kesulitan mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, yang disampaikan Prof. Notonagoro sebagai prasaran dalam Seminar Pancasila I di UGM, 17 Februari 1959; (4) Prasaran tentang Filsafat Pancasila dan Pengamalannya, yang pernah disampaikan Prof. Notonagoro pada Lokakarya Pengamalan Pancasila, kerja sama Departemen Dalam Negeri dan UGM, di Yogyakarta, 30 Maret 1976. Dalam pengabdian dirinya kepada bangsa, Prof. Notonagoro juga banyak memperoleh penghargaan. Pada tahun 1970 Beliau mendapatkan Anugerah Pendidikan, Pengabdian dan Ilmu Pengetahuan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap negara sebagai pengabdi dan pendorong dalam bidang sosial dan humanitas pemerintah. Tahun 1972 mendapatkan Anugerah Bintang Kartika Eka Paksi sebagai penghargaan 32 atas jasa-jasanya terhadap Angkatan Darat RI. Tahun 1973 mendapat Anugerah Derajat Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Pemikiran Ilmiah Prof. Notonagoro mengenai Pancasila Salah satu pemikiran Prof. Notonagoro tentang filsafat Pancasila adalah pengertian tentang isi pokok filsafat Pancasila itu sendiri, berikut penjabarannya yang dimulai dari sila 1 – 5: 1. Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa Kesesuain sifat dan keadaan dengan hakekat Tuhan yang hanya satu dan merupakan asal mula segala sesuatu dan bersifat abadi, maha sempurna, dan maha kuasa. 2. Sila II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang tersusun atas raga dan jiwa dengan daya cipta, rasa, dan karsa, serta hakekat manusia sebagai makhluk sosial. 3. Sila III, Persatuan Indonesia Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat yang satu, yaitu diri pribadi dengan ciri khas tersendiri. 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan Kesesuaian sifat keadaan dengan hakekat rakyat sebagai warga negara, bukan satu golongan. 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia 33 Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat adil bagi masyarakat dan negara terhadap warganya; keadilan warga terhadap masyarakat dan negara; dan keadilan sesama warga dalam masyarakat dan negara Prof. Notonagoro mengkaji Pancasila secara ilmiah, disebut Prof. Koento Wibisono dipengaruhi oleh metode aliran filsafat barat, karena Indonesia belum memiliki filsafat sebagai disiplin ilmu. Hal ini dilakukan oleh Prof. Notonagoro sebagai penunjang adanya Pancasila yang berfungsi untuk menuju satu hal yang ideal. Oleh karena itu, Prof. Notonagoro mempunyai kepedulian untuk mengembangkan Pancasila dari sudut “filsafati”. Menurut Prof. Notonagoro, pengertian Pancasila secara ilmiah ialah dasar negara yang mutlak dan obyektif melekat pada kelangsungan negara, tidak bisa diubah dengan jalan hukum, merupakan pengertian umum abstrak dan umum universal. Prof. Notonagoro mengungkapkan hal ini karena keinginannya untuk mencari jalan keluar dari kesulitan mengenai dasar negara RI dalam pembicaraan di dalam konstituante. Dalam sebuah diskusi kelompok pada Seminar Pancasila I, Prof. Notonagoro mengatakan bahwa konstituante bisa berjalan dengan baik bila menerima Pembukaan UUD 1945 sebagai Pembukaan UUD yang baru. Hal ini dikarenakan dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat pengertian ilmiah bahwa undang-undang tersebut merupakan pokok kaidah negara yang fundamental yang secara hukum tidak dapat diubah. Hal itu dikarenakan Pancasila tercantum dalam kaidah negara yang fundamental, maka Pancasila sebagai dasar negara juga tidak dapat diubah dengan jalan hukum. Dari penuturan itulah, menurut Prof. Koento Wibisono, Prof. Notonagoro telah melahirkan gagasan bahwa Pancasila tidak dapat diubah 34 oleh siapapun pun juga, termasuk MPR hasil pemilihan umum. Gagasan ini kemudian dipakai oleh Pemerintah RI dibuktikan dengan diterima oleh MPRS sebagai salah satu ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 yang menegaskan bahwa pembukaan UUD 1945 tidak bisa diubah oleh siapapun. REFERENSI Berita Kagama No. 112/THN.XVII/AGUSTUS 1994. Laporan Penelitian “Konsep Notongoro tentang Etika Pancasila” oleh Sri Soeprapto, 1990. Laporan Tahunan Rektor UGM 19 September 1960. Pidato Penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Filsafat kepada Prof. Drs. Notonagoro, S.H. tanggal 19 Desember 1973. Serial Pemikiran Tokoh-Tokoh UGM: Prof. Notonagoro dan Pancasila “Analisis Tekstual dan Kontekstual” 35