Solo, Kota Budaya Berekonomi Tradisional

advertisement
Solo Masa Depan Adalah Solo Masa Lalu
Oleh : Sujatmiko Wahyu
Solo merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki sejarah panjang. Adanya
dualisme pemerintahan jaman dahulu berupa keraton Kertanegaran dan Kasunanan,
menjadikan kota ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga berbeda dengan kota-kota
lain di Indonesia. Bahkan hingga kini, Solo terus berbenah dengan menerapkan konsep
makronya, ‟Solo Masa Depan Adalah Solo Masa Lalu‟, menjadikan Solo terus menata
ruang kota dengan mengembalikan fungsi awal lokasi-lokasi yang selama ini beralih
fungsi.
Setelah ratusan tahun kota Solo berdiri, tentunya mengalami banyak perubahan signifikan
terhadap tata ruang kota, salah satunya banyak lokasi-lokasi bersejarah atau ruang publik
yang pada awalnya dibangun untuk kenyamanan masyarakat kota, kini berdiri bangunanbangunan liar dan kumuh, para Pedagang Kaki Lima atau PKL yang menempati area
yang tidak semestinya, membuat kota Solo tidak tertata rapih dan terlihat kacau dan
berantakan.
Sehingga pada kepemimpinan Ir. Joko Widodo, ia menciptakan sebuah konsep dasar
dalam membangun kota solo, dengan melihat unsur masa lalu kota Solo yang penuh
sejarah. Bahkan, pria yang biasa disapa Jokowi ini mengaku keberadaan kota Solo pada
100 tahun lalu, adalah kota primadona yang kerap dikunjungi negara-negara Asia.
Kemampuannya menyedot para pengunjung tidak lain untuk mempelajari tata kota Solo
yang rapih dan nyaman. Sayangnya, seiring perkembangan jaman banyak ruang terbuka
kota yang beralih fungsi.
“Kita ingin merancang sebuah kota dengan tata ruang yang benar, karena dulu masamasa 100 tahun lalu, Solo menjadi kota yang paling bagus di Asia. Thailand, Malaysia,
dan negara lain banyak yang datang ke kota Solo untuk belajar penataan kota. Tapi
seiring dengan perkembangan waktu, banyak ruang-ruang kota yang justru bergeser
menjadi alih fungsi. Saya dari dulu ingin Solo menjadi kota pohon dan kota bunga dan itu
sedang kita rancang,” ungkap Ir. Joko Widodo selaku Walikota Solo.
Solo Sebagai Eco Culture City
Untuk menjadikan kota „Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu‟, maka pemerintah
kota memiliki program jangka lima tahun kedepan dengan menjadikan Solo sebagai Eco
Culture City, atau Solo menjadi kota ekobudaya. Bukan sekedar basa-basi program diatas
kertas, dengan karakter walikota yang banyak beraksi dari pada bicara, maka pemerintah
kota Solo telah membuat rancangan, yang kedepannya menciptakan kota Solo yang
memiliki karakteristik berbeda dengan kota lain yang ada di Indonesia
Tahun 2025 pun menjadi target pemerintah kota untuk menjadikan kota Solo yang
berkarakter. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit, karena memang pada dasarnya kota
Solo memiliki potensi sejarahnya, perkembangan kota, sejarah sosial, ekonomi, budaya,
sehingga pemerintah kota telah membuat rumusan-rumusan mengenai tata ruang kota
pada masa depan. Atau dalam artian, Solo akan berbenah diri dengan melakukan
pembangunan karakter yang jelas. Baik itu karakter kawasan maupun karakter bentuk
fisik bangunan.
Agar dapat mewujudkan Solo sebagai eco culture city ini, tentu saja pemerintah kota
berhadapan langsung dengan masyarakat yang menempati lahan yang tidak semestinya,
para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang telah menempati areal publik tersebut dalam
jangka waktu yang cukup lama. Tetapi melalui intervensi sosial berupa pendekatan
kelompok dan pendekatan personal yang cukup lama - 54 kali pertemuan, pemerintah
kota berhasil merelokasi para PKL tanpa menimbulkan bentrokan dan kekerasan.
Sementara itu, menurut Anung, selaku Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah (Bapeda) kota Solo menjelaskan yang dimaksud dengan eco culture city, atau
Solo sebagai kota ekobudaya memiliki dasar pada sisi lingkungan dan budaya. Hal-hal
yang menyangkut budaya tentunya juga tak lepas dari banyaknya bangunan heritage
yang kini dilindung oleh Pemerintah Kota, dimana sedikitnya ada 87 bangunan yang
telah disahkan masuk dalam cagar budaya kota Solo yang tak bisa diganggu gugat.
Pelestarian dan renovasi bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah ini bukanlah
isapan jempol semata. Pasalnya dibawah kepemimpinan Jokowi pelestarian cagar budaya
tersebut dituangkan dalam kekuatan hukum berupa SK Walikota, dimana 87 bangunan
yang terdaftar tak bisa dirubah, sehingga apabila ingin melakukan perubahan tentu saja
harus sepengetahuan dan seijin pemerintah kota. Sementara itu, walaupun belum
memberikan intesif kepada masyarakat yang memiliki bangunan bersejarah, tapi
setidaknya langkah nyata pemerintah kota telah memberikan dana hingga satu milyar
rupiah guna mempercantik kampung batik Kauman.
“Kita akan mulai dengan yang besar-besar dulu, dari keraton Kasunanan,
Mangkunegeran, Masjid Agung, kemudian mulai masuk ke lingkungan yang lebih kecildan lebih kecil lagi. Kita sudah tetapkan melalui SK Walikota ada 87 heritage yang tidak
bisa diapa-apakan. Kalau mau dirubah harus ijin pemerintah dulu. Tapi kita belum
sampai memberikan intensif seperti itu, tapi dikampung batik Kauman, kita memberikan
1 milyar untuk merestorasi rumah-rumah tersebut, walaupun belum maksimal,” jelas
Jokowi di rumah dinasnya.
Seiring dengan pelestarian bangunan bersejarah, Solo juga melakukan pembenahan
lingkungan. Kota Solo merupakan salah satu kota di Indonesia yang sibuk bersolek
dengan memperhatikan aspek lingkungan seperti Solo pada masa lalu, dimana kala itu
Solo banyak memberikan ruang-ruang publik yang hijau dan sangat nyaman untuk
masyarakat kota. Bahkan, sekarang ini, tak sedikit lokasi-lokasi yang berhasil ditertibkan
oleh pemerintah kota disulap menjadi ruang-ruang hijau, taman kota, jalur pejalan kaki,
dan kedepannya membuat jalur sepeda.
Beberapa tempat yang telah dikembalikan alih fungsinya seperti tata ruang kota Solo
masa lalu adalah Bale Kambangan, dimana sebelum lokasi tersebut di rapihkan, bekas
tempat pemandian para keluarga keraton tersebut dihuni oleh bangunan liar, dan dalam
jangka waktu yang lama. Dengan kesemerawutan dan bentuk bangunan yang berantakan
menjadikan tempat ini bukan menjadi tempat tujuan yang nyaman. Tetapi melalui
pendekataan personal dan kelompak, dibawah kepemimpinan Jokowi ini mereka rela
meninggalkan Bale Kambangan dan menerima tawaran pemerintah kota Solo untuk
direlokasi ketempat yang diinginkan oleh mereka.
Pasca Bale Kambangan dikosongkan dari bangunan liar, langkah selanjutnya pemerintah
kota melakukan penataan dan pembenahan kembali dengan mengembalikan fungsi awal
Bale Kambangan, sehingga lokasi yang sebelumnya terlihat kumuh dan berantakan, kini
menjadi lokasi yang nyaman untuk dikunjungi. Selain itu, kawasan disekitar Bale
Kambangan pun berubah menjadi taman hijau tempat masyarakat kota Solo berinteraksi.
Lokasi lain yang menjadi perhatian pemerintah kota adalah kawasan disekitar Keraton
Mangkunegaran. Keraton sebagai titik nol kota Solo tentunya memiliki daerah sekitar
yang bernilai starategis. Sayangnya sepanjang jalan menuju keraton disesaki bangunan
kios yang tak tertata. Sekali lagi dengan melakukan intervensi sosial, pemerintah kota
mampu menyakin para pedagang untuk direlokasi. kawasan pertokoan yang ada disekitar
keraton pun akhirnya dibongkar untuk kemudian dikembalikan sebagai fungsi awalnya
sebagai space open, atau ruang terbuka bagi publik, dimana masyarakat mendapatkan
fasilitas bagi pejalan kaki yang aman dan nyaman. Bahkan kedepannya pemerintah kota
juga merancang jalur khusus bersepeda.
Tak kalah menarik dan unik, Jokowi pun merubah sebuah wilayah Gladag menjadi
sebuah pusat taman kuliner di kota Solo. Sama seperti lokasi-lokasi lain dikota Solo dan
kota lainnya yang banyak dihuni bangunan liar. Jokowi pun melakukan hal yang sama
dalam melakukan pendekatan diantaranya dengan memberikan fasilitas bagi para
pedagang, berupa tenda-tenda gratis, bangku-bangku gratis, promosi gratis, hingga
seragam gratis bagi para mereka yang ada disepanjang Gladag. Uniknya, pusat kuliner
kota Solo ini mulai beroperasi pada malam hari, dimana mulai jam 18.00 ruas jalan yang
awalnya bisa dilalui kendaraan, dilarang untuk melintas, dan dalam sekejap berubah
menjadi taman jajanan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain di Indonesia.
Solo Peduli Ekonomi Tradisional
Dalam atsmofir modernitas, tentunya kebijakan kota Solo yang menganut sistem
ekonomi tradisional menjadi suatu kebijakan yang langka. Ditengah banyaknya kota
besar berlomba menggusur pasar-pasar tradisional dan menjadikannya bangunanbangunan modern demi kepentingan dan keuntungan kapitalis, maka sekali lagi dibawah
kepemimpinan Jokowi, Solo mencoba menyelamatkan perekonomian tradisionalnya
dengan melindungi dan menjaga pasar-pasar tradisional dari gempuran pasar-pasar
modern, toko-toko retail yang saat ini sedang menjamur di kota-kota besar.
Menurut Kepala Bapeda Kota Solo, Anung mengatakan, keberpihakan pemerintah kota
terhadap perekonomian kerakyatan dituangkan dalam kerja nyata, dimana hampir setiap
tahunnya dua pasar tradisional direnovasi total oleh pemerintah kota. Sehingga pada saat
ini telah ada 15 pasar dari 37 pasar tradisional yang telah direnovasi total.
“Setiap tahunnya minimal 2 pasar yang kita rehab total, perbaharui total, dalam arti pasar
dirobohkan kemudian dibangun kembali menjadi bangunan pasar yang baru. Sementara
kalau bangunan memiliki tata ruang seperti pasar pada umumnya, tetapi kini lebih tertata,
lebih rapih seperti pasar Kembangan,” terang Anung saat berada di ruang kerjanya.
Tentunya keberpihakan pemerintah kota terhadap pasar tradisional bukan tanpa alasan
yang jelas. Bagi Anung, pemerintah kota tidak membenturkan antara pasar tradisional
dengan pasar modern yang sedang menjamur. Menurutnya, kebijakan walikota saat ini
mencoba mengawinkan antara pasar modern dengan pasar tradisional, seperti
mengadopsi pasar modern kedalam pasar tradisional.
Seperti Pasar Gading, yang berbentuk pasar tradisional, tetapi dalam pasar tersebut
mengadopsi pasar modern, dengan penataan dagangannya, layanannya, kebersihan tata
letak. Tak hanya itu, Anung pun berpendapat kalau pasar modern juga banyak mengambil
prinsip dasar pasar tradisional, tetapi yang membedakannya kondisi pasar, seperti
ruangan ber-AC, tempatnya bersih. Sementara untuk Pasar Gading saat ini walaupun
tidak berpendingin ruangan tetapi sirkulasi udara ruangannya telah baik, sehingga
masyarakat yanng berinteraksi dipasar tersebut menjadi lebih nyaman.
Kembali kepertanyaan klasik, lantas keuntungan seperti apakah yang didapatkan bagi
pemerintah kota dan para pedagang? Ternyata dengan mempertahankan pasar-pasar
tradisional dan membuat kawasan serta kantong-kantong PKL mampu memberikan
keuntungan dari faktor ekonomi dan tata ruang. Dari sisi Pemasukan Anggaran
Daerah(PAD), pasar tradisional mampu menyumbangkan pemasukan hingga Rp 18, 2
milyar pertahun, melebihi PAD yang didapat dari hotel yang hanya mencapai Rp 7
milyar, parkir Rp 1,8 milyar, terminal dan reklame masing-masing Rp 4 milyar.
Sementara dari sisi tata ruang, dengan adannya program ini maka kota Solo lebih terlihat
rapih, tertata dengan baik, memberikan ruang terbuka hijau lebih banyak seperti kota
Solo pada masa lalu. Sedangkan dilihat dari sisi pedagang, tentunya apa yang diberikan
pemerintah kota memberikan keuntungan yang sangat besar, seperti mendapatkan toko,
ijin usaha, hingga seragam secara gratis. Selain itu, yang paling menakjubkan pemerintah
kota ikut bertanggung jawab dengan memberikan jaminan pemasukan yang sama dengan
cara mengiklankan selama 4 bulan ditelevisi dan koran, memasang baliho diseluruh kota,
memberikan 3 rute trayek yang melewati kawasan PKL. Hasilnya? Kini pedagang kota
Solo mampu mengantongi pendapat mencapai hampir 6 kali lipat. Menakjubkan!
sepertinya kota ‟Solo Masa Depan Adalah Solo Masa Lalu‟ menjadi kota impian bagi
masyarakat kota-kota lain di Indonesia.
Sejarah Kota Solo
Surakarta berkembang dari wilayah sebuah desa Sala, yang mendiami tepian sungai
Bengawan Solo. Berdirinya kota Solo pun tak lepas dari intrik politik yang terjadi pada
masa pemerintahan kerajaan Mataram. Pemicu dari berdirinya kota Solo ini terkait
dengan peristiwa pemberontakan Sunan Kuning atau dikenal dengan Geger Pacinan, pada
kekuasaan Sunan Pakubuwono (PB) II, Raja Kartasura pada tahun 1742.
Namun pemberontakan dapat ditumpas pihak kerajaan dengan turun tangannya pihak
VOC Belanda. Meski kemengan tersebut bukan didapatkan secara gratis. Karena
Pakubuwono II harus merelakan kehilangan beberapa wilayah warisan Mataram sebagai
imbalan atas bantuan yang diberikan VOC.
Sementara itu, bangunan keraton yang telah hancur dianggap sudah ‟tercemar‟, maka
selaku Pemimpin Pakubuwono II memerintahkan Temenggung Honggowongso dan
Temenggung Mangkuyudo beserta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff
mencari lokasi pemerintahan baru, untuk mendirikan keraton yang baru. Berjalan
ketenggara sejauh 20 km, maka pada tahun 1745, tepatnya didesa Sala, Keraton pun
mulai dibangaun, dengan menggunakan bahan kayu jati dari hutan Kethu, yang prosesnya
dihanyutkan melalui sungai Bengawan Solo. Secara resmi keraton mulai ditempati pada
tanggal 17 Februari 1745.
Seiring perjalanan waktu, setelah berlakunya perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755,
Surakarta terbagi menjadi dua pusat pemerintahan, Kasunanan Surakarta dengan rajanya
Pakubuwono, dan Kasultanan Yogyakarta, yang diperintah oleh Mangkubumi (Sultan
Hamengkubuwono (HB I). Keraton Yogyakarta pun dibangun pada 1755 dengan pola
tata kota yang sama dengan Surakarta. Kemudian pada Perjanjian Salatiga pada 1757
mereka memperluas wilayah kota, dengan memberikan wilayah sebelah utara keraton
kepada Pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunegaran 1), sejak saat itulah kota Solo
memiliki dua sistem administrasi.
Tetapi pada masa perang kemerdekaan 1945 hingga 1949 pengaruh dari kota Solo sangat
menyedihkan dengan terjadinya sejumlah peristiwa politik yang menyebabkan Solo
kehilangan hak otonominya sebagai Daerah Istimewa, tidak seperti Yogyakarta yang
bertahan hingga kini.
Kejadian tersebut diawali pada saat mendengar kemerdekaan dibacakan oleh Bung
Karno, maka pemimpin Mangkunegaran dan Kasunanan memberikan kabar dukungannya
kepada Presiden Soerkarno dan menyatakan wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan
Kasunanan adalah bagian dari RI. Sehingga sebagai reaksi atas pengakuan itulah, Bung
Karno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta(DIS).
Disaat yang bersamaan pada tahun 1945 juga muncul gerakan yang sangat anti dengan
sistem monarki, anti feodal, dimana salah satu tokohnya adalah Tan Malaka, tokoh Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang bertujuan membubarkan DIS, dan menghapus
Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan inilah yang kedepannya dikenal dengan
pemberontakan Tan Malaka.
Kondisi Surakarta pun mencekam,banyak terjadi kerusuhan, penculikan, dan
pembunuhan, maka tanggal 16 Juli 1946 pemerintah RI mencabut status Daerah Istimewa
untuk Surakarta. Sejak itulah keduanya kehilangan otonomi, sementara keraton berubah
fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini yang
kemudian mengawali kota Solo tergabung dalam satu administrasi. Kemudian dibentuk
Karisedanan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan dan Praja
Mangkunegaran, sehingga pada tanggal 16 Juni diperingati sebagai hari kelahiran kota
Surakarta.
Download