50 berhubungan negatif secara signifikan dengan koherensi (family coherence), ikatan (family bonding) dan fleksibilitas keluarga (family flexibility). PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan deskripsi karakteristik keluarga, rata-rata usia suami dan istri tergolong dalam usia produktif, pendidikan suami dan istri setara SMA. Sebagian besar keluarga tergolong keluarga kecil (4 orang) dan rata-rata telah menikah selama 10.6 tahun. Pendapatan perkapita keluarga sebagian besar tidak tergolong dalam kategori miskin. Berdasarkan deskripsi karakteristik pekerjaan istri, ratarata keluarga istri dengan jenis pekerjaan informal lebih tua dalam hal usia, lebih rendah dalam pendidikan dan pendapatan keluarganya, lebih lama dalam pernikahan, serta lebih sering berpindah kerja (stabilitas pekerjaan) dibandingkan dengan keluarga istri dengan jenis pekerjaan formal. Temuan ini mendukung hasil penelitian Sunarti (2014) bahwa level pendidikan yang lebih tinggi membuat seseorang untuk dapat memampukan seseorang menjadi pekerja yang menghasilkan penghasilan. Sementara, seseorang dengan pendidikan lebih rendah cenderung memiliki kesempatan untuk mendapat pekerjaan di sektor informal, dengan penghasilan yang tidak stabil, dibandingkan dengan orang yang bekerja di sektor formal. Pendidikan istri secara konsisten berhubungan secara signifikan dengan konflik kerja-keluarga, dan kepuasan perkawinan. Dengan meningkatkan kualitas pendidikan, keluarga dengan suami-istri bekerja dapat meningkatkan sumberdaya keluarga agar dapat mengelola stres dengan lebih baik. Pendidikan dapat memperluas wawasan dan meningkatkan pemaknaan mengenai berbagai permasalahan hidup, sehingga diharapkan dengan meningkatkan kualitas pendidikan, maka meningkat pula kemampuan istri bekerja dalam mengelola konflik kerja-keluarga dan mampu memaknai perkawinannya dengan lebih baik sehingga dapat merasa lebih puas dalam pernikahannya. Menggalakkan sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan sangat diperlukan, baik pada pekerja formal maupun informal. Sebenarnya, pekerjaan yang membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi adalah di sektor informal karena diperlukan seseorang yang kreatif, mandiri, mudah mendapat akses dan jeli dalam mencari peluang, serta dapat lebih mengantisipasi jika menghadapi berbagai kondisi yang tidak diinginkan (Sunarti, 2014). Pengalaman pindah kerja dan lama perjalanan bekerja antara istri yang bekerja di sektor formal dan informal memperlihatkan perbedaan yang signifikan, berarti dalam hal stabilitas pekerjaan, istri yang bekerja di sektor formal lebih sedikit berpindah kerja dibandingkan istri yang bekerja di sektor informal. Lama perjalanan bekerja memperlihatkan cakupan wilayah kerja istri yang bekerja di sektor formal akan membutuhkan waktu lebih lama karena rata-rata mereka bekerja di kantoran atau jaraknya jauh dari rumah (jauh dari wilayah rumah atau di luar kota Bogor). Sedangkan istri yang bekerja di sektor informal, rata-rata bekerja berwirausaha atau menjadi Pekerja Rumah Tangga, sehingga jarak dengan rumah tidak terlalu jauh. Temuan ini memperkaya penelitian Sunarti (2013c), bahwa keluarga dengan pekerjaan yang lebih stabil memiliki tekanan ekonomi 51 yang lebih rendah, dan kesejahteraan subyektif dan obyektif yang lebih tinggi dibandingkan keluarga dengan pekerjaan yang tidak stabil. Berdasarkan uji beda, dimensi konflik kerja keluarga yang dipersepsi lebih tinggi oleh istri bekerja adalah konflik kerja mengganggu keluarga, dan istri yang bekerja di sektor formal cenderung mengalami konflik kerja mengganggu keluarga lebih tinggi dibanding istri yang bekerja di sektor informal. Hal ini dapat menduga bahwa istri yang bekerja di sektor formal terikat dengan berbagai aturan dan kontrak di tempat kerja dan membutuhkan waktu menuju tempat kerja lebih lama. Waktu mereka cenderung tersita oleh urusan yang berkaitan dengan pekerjaan sehingga tuntutan peran di tempat kerja lebih tinggi dibanding tuntutan dari perannya di keluarga. Temuan ini memperkuat hasil penelitian Sunarti (2013c), bahwa istri yang bekerja di sektor formal cendering mengalami konflik kerja mengganggu keluarga lebih besar karena bekerja sebagai pegawai swasta, dengan jam kerja panjang dan jadwal yang tidak fleksibel. Sedangkan istri yang bekerja di sektor informal cenderung lebih luang dalam mengatur waktu kerja karena tidak terikat aturan yang ketat dalam bekerja. Hasil uji hubungan memperlihatkan konflik kerja mengganggu keluarga berhubungan negatif secara signifikan dengan tiga indikator tipologi keluarga, yaitu koherensi (coherence), ikatan (bonding) dan fleksibilitas keluarga (flexibility). Hal ini berarti kemampuan koherensi, ikatan, dan fleksibilitas keluarga sebagai perangkat keluarga dalam mengatasi stressor yang datang pada istri bekerja dapat membantu mereka untuk mengatasi stres yang ditimbulkan konflik kerja mengganggu keluarga. Kemampuan koherensi dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seseorang dalam membangun lingkungan kerja yang memungkinkan seseorang untuk menyeimbangkan kehidupan kerja dan keluarga (Takeuchi dan Yamazaki, 2010). Suatu keluarga dapat berfungsi dengan baik bila memiliki ikatan yang tinggi (Gottman, 1995). Semakin fleksibel seseorang dalam mengelola jam kerja dan penyelesaian tugas maka semakin berkurang konflik kerja-keluarga dan semakin meningkat kepuasan hidupnya (Boushey, 2011). Usaha istri menghadapi tekanan yang diakibatkan oleh konflik kerja mengganggu keluarga dapat diindikasikan dari kategori tinggi-rendah indikator tipologi keluarga. Berdasarkan circumplex keluarga regeneratif, didapatkan hasil bahwa belum semua keluarga dengan istri bekerja memiliki tipe keluarga regeneratif, masih ada sebagian keluarga yang tersebar dalam tipe keluarga aman (secure) dan keluarga tahan lama (durable family). Hal ini mengindikasikan perlu peningkatan pada indikator ketangguhan keluarga (hardiness). Berdasarkan circumplex keluarga lenting (resilient), didapatkan hasil bahwa sebagian besar istri bekerja (baik di sektor formal dan informal) memiliki tipe keluarga lunak (pliant). Hal ini mengindikasikan perlu peningkatan pada indikator ikatan keluarga (bonding). Ketangguhan dan ikatan keluarga dapat meningkatkan kemampuan istri dalam mengelola stres akibat konflik dari tempat kerja, sehingga keluarga dengan istri bekerja memiliki tipe keluarga terbaik dan berhasil mengelola stres. Strategi penyeimbangan antara aktivitas pekerjaan dan rumah tangga yang dilakukan oleh wanita bekerja adalah agar segala sesuatunya berjalan lancar, dan tidak terjadi disfungsi keluarga yang dapat mengakibatkan hancurnya suatu keluarga. Apabila perempuan bekerja dapat menyeimbangkan antara kepentingan pekerjaan dan keluarga maka akan terjadi peningkatan kesejahteraan