BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi penderita Diabetes Melitus (DM) di dunia menurut International Diabetes Federation pada tahun 2010 sekitar 6,4% atau 285 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 7,7% atau sekitar 439 juta jiwa di tahun 2030. Estimasi peningkatan tersebut terjadi sekitar 69% di negara berkembang dan 20% di negara maju (Show et al., 2010). Jumlah penderita diabetes di Indonesia menurut WHO dalam Perkeni 2011 akan mengalami kenaikan dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 diperkirakan dengan prevalensi DM sebesar 14,7% di daerah urban dan 7,2% di daerah rural maka diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia tahun 2030 di daerah urban akan mencapai sebesar 12 juta dan daerah rural sebesar 8,1 juta (Perkeni, 2011). Prediabetes atau hiperglikemia intermediate merupakan kondisi risiko tinggi diabetes di mana kadar glukosa darah di atas normal tetapi belum memenuhi standar diagnosis diabetes. Sekitar 5-10% prediabetes tiap tahunnya akan berkembang menjadi DM. Prevalensi prediabetes meningkat secara global dan diperkirakan terdapat 314 juta prediabetes saat ini dan akan mencapai 470 juta penderita prediabetes tahun 2030 (Tabak et al., 2012). Perubahan metabolisme glukosa yang menyebabkan kondisi hiperglikemia transitorik maupun penurunan toleransi glukosa memainkan faktor 1 2 risiko penting terhadap kejadian kardiovaskular, retinopati dan neuropati (Nichols et al., 2008; Dyck et al., 2007). Intoleransi glukosa akibat perubahan metabolisme glukosa dapat menyebabkan lesi saraf perifer (Novella et al., 2001). Onset kerusakan saraf dapat mulai terjadi pada fase inisial abnormalitas metabolik selama periode intoleransi glukosa (Quintanilha et al., 2011). Prevalensi neuropati akibat DM berkisar antara 8-54% pada DM tipe I dan 13-46% pada DM tipe II. Prevalensi neuropati diabetika (ND) pada pasien diabetes sekitar 30% dari pasien DM yang dirawat di rumah sakit dan 20% pada pasien komunitas umum. Insidensi neuropati diabetika mencapai 50% pada pasien yang mengalami diabetes selama lebih dari 25 tahun (Tesfaye, 2004). Sedangkan prevalensi neuropati yang terjadi akibat prediabetes berkisar 11-24% (Ziegler et al., 2008). Berkembangnya ilmu kedokteran dalam penatalaksaan penderita DM serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan mengakibatkan angka kesakitan dan kematian akibat komplikasi akut diabetes berangsur geser menuju komplikasi kronis. Lebih dari 50% penderita DM mengalami neuropati yang merupakan salah satu komplikasi jangka panjang (Boulton et al., 2004). Gambaran klinis neuropati terkait gangguan metabolisme glukosa sangat bervariasi. Pada fase awal gangguan metabolisme glukosa, neuropati serabut saraf kecil (small fiber neuropathy) merupakan komplikasi yang awal terjadi (Yi-Ning et al., 2004). Kesimpulan ini diperkuat dengan pernyataan bahwa small fiber merupakan serabut yang pertama akan terpajan dari sisi distal ekstremitas menuju ke sisi proksimal (Pittenger et al., 2004). 3 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa prediabetes erat kaitannya dengan disfungsi saraf perifer dan saraf otonom (Sahin et al., 2009). Prediabetes merupakan faktor risiko terjadinya small fiber neuropathy yang dikenal dengan istilah neuropathy associated prediabetes (NAP) dan menunjukkan tahap awal dari kejadian neuropati diabetika (Tavee & Zhou, 2009). Neuropathy associated diabetes (NAP) merupakan distal symmetric sensory neuropathy yang terjadi pada kondisi hiperglikemia intermitten atau resistensi insulin terkait prediabetes (Singleton & Smith, 2007). Hubungan antara severitas hiperglikemia dan derajat neuropati menunjukkan bahwa penderita prediabetes cenderung mengalami small fiber neuropathy sedangkan penderita DM cenderung mengalami polineuropati dengan keterlibatan serabut saraf kecil dan besar (Tavee & Zhou, 2009). Kriteria diagnosis neuropati menurut Dyck et al. (1992) yaitu apabila ditemukan kelainan dua dari keadaan sebagai berikut: pemeriksaan klinis, pemeriksaan elektrodiagnostik NCS, tes sensori kuantitatif dan pemeriksaan patologi jaringan. Konsensus San Antonio (1995) mengemukakan kriteria neuropati diabetika yaitu minimal ditemukan satu kelainan yaitu dari gejala klinis, tanda klinis, pemeriksaan elektrodiagnosis, tes sensori kuantitatif (tes sensasi suhu dan sensasi getar) serta penilaian fungsi otonom. Toronto Diabetic Neuropathy Expert Group (2010) mengemukakan kriteria baru neuropati diabetika yaitu ditemukannya kombinasi dari gejala dan tanda klinis neuropati disertai abnormalitas NCS (Tesfaye et al., 2010). 4 Neuropati akan mengakibatkan hambatan transmisi pada saraf tepi yang diakibatkan kerusakan dari mielin maupun akson (Gooch & Tanya, 2007). Pemeriksaan F-Response, nerve conduction velocity (NCV) saraf sensoris dan saraf motorik merupakan pemeriksaan yang penting untuk penegakan dan evaluasi fungsi saraf (Bansal et al., 2006). Tesfaye et al. (2007) menyatakan bahwa pemeriksaan NCV dan amplitudo merupakan pemeriksaan yang objektif guna menilai progresivitas neuropati. Pemeriksaan nerve conduction study (NCS) bersifat objektif, sensitif dan repeatable sehingga dapat menjadi kriteria minimal yang harus dilakukan untuk neuropati. Beberapa konsensus termasuk American Neurologic Association, American Diabetes Association dan Peripheral Nerve Society mendukung pemeriksaan elektrofisiologi NCS sebagai bagian evaluasi pada penelitian klinis neuropati perifer. Kecepatan hantar saraf dan amplitudo sensoris memiliki standar yang tinggi, sensitif dan indeks yang reliabel untuk mengetahui integritas fungsional serabut saraf. Parameter ini juga telah digunakan untuk mendeteksi perbaikan atau perburukan neuropati pada beberapa penelitian klinis multi-center sebelumnya (Greene, 1999). NCS sebagai pemeriksaan diagnostik hanya dapat menilai fungsi serabut saraf besar saja dan akan memberikan hasil yang normal pada small fiber neuropathy (Tavee & Zhou, 2009). Keterlibatan small fiber neuropathy pada prediabetes tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan elektroneurofisiologis (Lauria et al., 2003; Gibbons et al., 2006; Herrmann et al., 2006). Keterlibatan serabut saraf kecil pada awal penyakit sistemik seperti prediabetes tidak dapat 5 terdeteksi melalui pemeriksaan NCS (Devigili et al., 2008). Penderita prediabetes akan menunjukkan hasil pemeriksaan konduksi saraf yang cenderung normal dibandingkan neuropati diabetika (Holland & Prodan, 2003). Pemeriksaan NCS yang tidak dapat mendeteksi adanya keterlibatan small fiber neuropathy dibantah oleh beberapa peneliti. Penelitian Singleton et al. (2001) memaparkan bahwa hasil pemeriksaan elektrofisiologis pada pasien Impaired Glucose Tolerance (IGT) menunjukkan 61% populasi penelitian mengalami penurunan nilai amplitudo saraf sensoris sural dan 21% populasi penelitian didapatkan penurunan nilai amplitudo saraf motorik peroneal. LeRoith et al. (1996) dalam penelitian skala besar menyatakan bahwa lebih dari 20% penderita prediabetes menunjukkan adanya bukti neuropati dari pemeriksaan fisik dan NCS. Penelitian lain melaporkan perubahan pada saraf sural dorsalis yang terdeteksi melalui tes konduksi saraf pada penderita prediabetes (Kocer et al., 2007). Penelitian Im et al. (2012) menunjukkan bahwa abnormalitas NCS ditemukan pada 16% penderita IGT dengan keterlibatan saraf sensori distal bilateral. Penelitian Devigili et al. (2008) mendapatkan bahwa 13% pasien small fiber neuropathy menunjukkan keterlibatan serabut saraf besar dan abnormalitas sensorimotor NCS. Fujimoto et al. (1987) memaparkan bahwa abnormalitas NCS ditemukan sebesar 2,9% pada individu prediabetes. Pemeriksaan elektrodiagnostik NCS pada neuropati perifer hampir tidak ada yang hanya mengenai saraf serabut kecil saja, hal ini dapat dilihat pada hasil pemeriksaan NCS saraf tepi yaitu berupa penurunan hantar serabut sensoris dan 6 motorik, perubahan gelombang F, perubahan amplitudo potensial aksi otot serta peningkatan latensi distal. Alasan ini yang menjadikan elektrodiagnosis NCS sebagai standar baku diagnosis neuropati. Kontroversi terhadap deteksi gambaran elektrodiagnostik NCS pada penderita prediabetes terkait kecenderungan terlibatnya small fiber neuropathy pada prediabetes perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran elektrodiagnostik NCS antara prediabetes dan diabetes melitus. B. Rumusan Masalah 1. Prevalensi dan insidensi prediabetes dan DM semakin meningkat dan masih merupakan masalah bagi negara maju maupun berkembang. 2. Neuropathy associated prediabetes dan neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi pada penderita prediabetes dan DM yang memiliki angka insidensi tinggi. 3. Pemeriksaan untuk mendiagnosis NAP diperlukan untuk menegakkan neuropati awal terkait prediabetes. 4. Penanganan awal yang optimal pada NAP dapat mencegah perburukan neuropati yang lebih berat. 5. NCS merupakan standar baku dalam pemeriksaan neuropati. 6. Penelitian tentang NAP secara elektrodiagnostik masih kontroversial. 7 C. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah terdapat perbedaan gambaran karakteristik parameter NCS antara NAP dan ND? 2. Apakah abnormalitas saraf tepi lebih berat pada NAP dibandingkan ND? 3. Apakah terdapat perbedaan gangguan akson dan mielin saraf tepi pada NAP? 4. Apakah terdapat perbedaan gangguan saraf tepi antara ekstremitas atas dan ekstremitas bawah pada NAP? 5. Apakah gambaran karakteristik gangguan saraf tepi terjadi lebih awal pada NAP dibandingkan ND? D. Tujuan Penelitian 1. Membandingkan hasil gambaran karakteristik latensi distal, amplitudo, dan kecepatan hantar saraf (KHS) pada NAP dan ND. 2. Mengetahui dominasi abnormalitas saraf tepi antara NAP dan ND. 3. Mengetahui perbedaan gambaran gangguan akson dan mielin saraf tepi pada NAP. 4. Mengetahui dominasi gangguan saraf tepi antara ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. 5. Mengetahui awal kejadian gangguan saraf tepi antara NAP dan ND. 8 E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai gambaran elektrodiagnostik NCS yang terjadi pada NAP dan ND. 2. Memberikan pengetahuan saraf perifer yang terlibat dalam NAP dan ND. 3. Sebagai bahan pertimbangan dalam pendekatan penegakan diagnosis, pemberian terapi dan evaluasi terapi pada status prediabetes. F. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil pencarian sumber didapatkan beberapa penelitian yang membandingkan pemeriksaan elektrodiagnostik antara prediabetes dan diabetes melitus seperti tertera pada tabel 1. Tabel 1. Keaslian penelitian No Peneliti Judul Sampel Metode 1. Singleton et al., 2001 Penderita neuropati idiopatik Kohort prospektif 2. Sumner et al., 2003 Increased prevalence of impaired glucose tolerance in patients with painful sensory neuropathy The spectrum of neuropathy in diabetes and impaired glucose tolerance Penderita neuropati perifer Kohort prospektif 3. Sahin et al., 2009 Penderita IGT dan kontrol Kohort prospektif 4. Im et al., 2012 Penderita diabetes melitus, IGT, dan kontrol Kohort prospektif 5. Penelitian ini Determination of nerve conduction abnormalities in patients with impaired glucose tolerance Assessment of the medial dorsal cutaneous, dorsal sural, and medial plantar nerves in IGT and diabetic patients with normal sural and superficial peroneal nerve responses Perbedaan gambaran elektrodiagnostik antara prediabetes dan diabetes melitus Penderita prediabetes, diabetes melitus dan normal Cross Sectional Alat Ukur • SCS suralis • MCS tibial • MCS peroneal • F-respons • Amplitudo n.suralis • Kecepatan hantar n.suralis • Intraepidermal nerve fiber densities (IENFD) • NCS saraf medianus • NCS saraf ulnaris • MCS saraf peroneal • MCS saraf tibialis • MCS saraf suralis • NCS medial dorsal cutaneous nerve • NCS dorsal sural • NCS medial plantar nerve • MCS saraf medianus • SCS saraf medianus • MCS saraf tbialis • SCS saraf suralis