BERITA TERKINI Terapi Pielonefritis dalam Kehamilan P ielonefritis akut merupakan indikasi rawat inap ante partum (sebelum persalinan) yang paling sering dijumpai; juga merupakan komplikasi pada 1-2% dari semua kehamilan. Perempuan dengan bakteriuria asimtomatik berisiko 20-30 kali untuk menderita pielonefritis dalam kehamilan. Uropatogen yang sering dijumpai yaitu E. coli (70-85% dari kultur); lainnya yaitu Klebsiella, Enterobacter, dan Proteus spp. Bakteriuria asimtomatik (ASB) adalah jika jumlah isolat lebih dari 100.000 cfu (colony forming unit) uropatogen.pada kultur urin mid stream. Patogenesis ASB dan faktor risiko infeksi traktus urinarius simtomatik termasuk pielonefritis belum diketahui secara pasti. Terdapat hal-hal yang saling mempengaruhi antara lain faktor virulensi uropatogen (seperti E. coli dan P. mirabilis) dan mekanisme pertahanan tubuh. Faktor yang meningkatkan melekatnya E. coli terhadap sel uroepitelial sehingga melindungi bakteri dari lavage urinarius dan kemudian bermultiplikasi serta menginvasi jaringan renal adalah produksi adhesin dan haemolysin. Faktor dari P. mirabilis adalah produksi fimbriae dan urease. Patogenesis ASB dan faktor risiko infeksi traktus urinarius simtomatik termasuk pielonefritis belum diketahui secara pasti. Terdapat hal-hal yang saling mempengaruhi antara lain faktor virulensi uropatogen (seperti E. coli dan P. mirabilis) dan mekanisme pertahanan tubuh. Faktor yang meningkatkan melekatnya E. coli terhadap sel uroepitelial sehingga melindungi bakteri dari lavage urinarius dan kemudian bermultiplikasi serta menginvasi jaringan renal adalah produksi adhesin dan haemolysin. Faktor dari P. mirabilis adalah produksi fimbriae dan urease. Pielonefritis dalam kehamilan sering terjadi pada trimester kedua dan ketiga sementara pada trimester pertama hanya 10-20; juga dapat terjadi setelah melahirkan (post partum). Pielonefritis rekuren dapat terjadi pada 20% perempuan sebelum melahirkan. Risiko persalinan prematur terkait dengan pielonefritis dalam kehamilan masih sulit diperkirakan. Komplikasi pielonefritis dalam kehamilan adalah anemia (25%) dan sekitar 15-20% perempuan dengan pielonefritis akan mengalami bakteremia. Bakteri gram negatif menghasilkan endotoksin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi maternal dan kemudian menimbulkan respon kaskade sitokin, histamin, dan bradikinin. Hal tersebut berakibat rusaknya endotel Komplikasi pielonefritis dalam kehamilan adalah anemia (25%) dan sekitar 15-20% perempuan dengan pielonefritis akan mengalami bakteremia. Bakteri gram negatif menghasilkan endotoksin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi maternal dan kemudian menimbulkan respon kaskade sitokin, histamin, dan bradikinin. Hal tersebut berakibat rusaknya endotel 120 CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011 BERITA TERKINI kapiler, hilangnya resistensi vaskular, dan perubahan cardiac output sehingga timbul komplikasi syok septik, koagulasi intravaskular diseminata, insufisiensi pernapasan atau ARDS (acute respiratory distress syndrome). Review Cochrane Database mendapatkan beberapa regimen antibakteri yang dapat diterima dan efektif dapat menurunkan komplikasi seperti demam yang lebih lama dan persalinan prematur (Tabel ). Terapi antimikroba pada ASB dapat memperbaiki outcome yaitu berkurangnya bayi dengan berat lahir rendah dan prematur. Terapi ASB dalam kehamilan menurunkan risiko terjadinya pielonefritis dari 20-35% menjadi 1-4%. Perempuan hamildengan pielonefritis perlu dirawat inap terkait dengan risiko komplikasi serius yaitu insufisiensi pernapasan, syok septik, persalinan prematur, rekuren dengan kemungkinan terjadinya kerusakan renal permanen. IDSA merekomendasikan pemberian terapi antimikroba selama 3-7 hari pada perempuan hamil dengan ASB. Sementara review sistematik Cochrane tidak menemukan evidence yang cukup untuk menentukan apakah regimen dosis tunggal sama efektifnya dengan terapi yang durasinya lebih lama. Terapi yang diberikan adalah antibiotik intravena (rawat inap) yang biasanya dilanjutkan sampai pasien bebas demam 48 jam dan gejala membaik. Kemudian diteruskan dengan terapi oral selama 10-14 hari. Setelah terapi selesai, dilakukan lagi kultur urin. Rawat inap lebih direkomendasikan pada perempuan hamil dengan usia gestasi di atas 24 minggu. Regimen antibakteri yang optimal untuk terapi pielonefritis dalam kehamilan adalah yang: 1. Terbukti efektif dalam uji klinik prospektif, acak, dan buta ganda. 2. Memiliki aktivitas terhadap uropatogen pada infeksi traktus urinarius bagian atas. 3. Kadarnya tetap dapat dipertahankan dalam serum dan jaringan selama terapi. 4. Tidak terkait dengan resistensi. 5. Tidak mahal. 6. Dapat ditoleransi dengan baik. 7. Aman untuk fetus. Simpulan: 1. ASB pada kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya pielonefritis. 2. Pielonefritis pada kehamilan perlu dirawat inap dan diterapi dengan antibiotik (pada awalnya intravena yang dilanjutkan dengan oral). 3. Komplikasi pielonefritis pada kehamilan adalah syok septik, insufisiensi pernapasan, persalinan prematur, kerusakan renal permanen. 4. Terdapat beberapa antibiotik yang dapat diberikan untuk pielonefritis pada kehamilan. Komentar: Pemberian aminoglikosida (dengan atau tanpa kombinasi) sebaiknya dihindari karena kategori menurut FDA adalah C (studi pada hewan menimbulkan efek teratogenik atau embriosidal tetapi belum diketahui pada manusia). (HLI) REFERENSI 1. Joley JA, Wing DA. Pyelonephritis in pregnancy: an update on treatment options for optimal outcomes. Drugs 2010; 70 (13): 1643-55. 2. Colgan R, Nicolle LE, McGlone A, Hooton TM. Asymptomatic bacteriuria in adults. Am Fam Physician 2006; 74(6): 985-90. Tabel. Beberapa regimen antibakteri untuk terapi pielonefritis dalam kehamilan Antibakteri Dosis (pemberian i.v) Frekuensi Kategori (FDA) Ampicillin (kombinasi dengan gentamicin) 1-2 g Tiap 6 jam B Gentamicin (dapat diberikan tanpa kombinasi) Dosis muat 2 mg/kg kemudian 1,7 mg/kg dalam 3 dosis terbagi Tiap 8 jam C Ampicillin/sulbactam 3g Tiap 6 jam B Cefazolin 1-2 g Tiap 6-8 jam B Ceftriaxone 1-2 g Tiap 24 jam B Cefuroxime 0,75-1,5 g Tiap 8 jam B Cefotaxime 1-2 g Tiap 8-12 jam B Cefepime 1g Tiap 12 jam B Cefotetan 2g Tiap 12 jam B Mezlocillin 3g Tiap 6 jam B Piperacillin 4g Tiap 8 jam B Aztreonam 1g Tiap 6-12 jam B CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011 BERITA TERKINI Alopurinol Meregresi Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Penyakit Ginjal Kronis Suatu penelitian metode acak terkontrol plasebo mendapatkan bahwa pasien penyakit ginjal kronis stadium 3 yang mendapat terapi alopurinol dosis tinggi mengalami regresi (penurunan) hipertrofi ventrikel kiri dan perbaikan fungsi endotelnya. Hasil studi ini di laporkan pada XLVII European Renal Association-European Dialysis and Transplant Association Congress. Alopurinol adalah penghambat enzim xantin oksidase dan bekerja sebagai antioksidan karena mencegah pembentukan radikal bebas akibat kerja enzim tersebut. Hipertrofi ventrikel kiri adalah faktor risiko jantung yang penting karena mempermudah timbulnya aritmia; selain itu juga dapat menurunkan perfusi koroner hingga menyebabkan gagal jantung diastolik dan dilatasi atrial kiri, fibrilasi atrium dan stroke embolik Massa ventrikel kiri adalah prediktor kuat kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi esensial dan regresi hipertrofi ventrikel kiri meningkatkan kesembuhan (p=0,002) (Circulation. 1998; 97:48-54). Penurunan tekanan darah juga berkaitan dengan regresi hipertrofi ventrikel kiri. 121 122 Saat ini stres oksidatif sudah mulai diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang berperan penting pada penyakit ginjal berat. Stres oksidatif dapat bermanifestasi sebagai hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi endotel. Hipertrofi ventrikel kiri umum terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis dan merupakan faktor risiko kuat untuk terjadinya penyakit kardiovaskular. Pasien penyakit ginjal ringan dan sedang sekalipun memiliki peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas akibat gangguan jantung melebihi yang diperhitungkan dengan skor risiko Framingham. alah satu sumber stres oksidatif adalah purin; xantin oksidase akan mengkonversi hipoxantin menjadi xantin dengan melepaskan radikal bebas dalam bentuk 2 anion superoksida dan 2 hidrogen peroksida. Penghambatan kerja xantin oksidase akan menghalangi pembentukan radikal bebas ini; juga memperbaiki fungsi endotel pada penderita diabetes, perokok, hiperkolesterol dan gagal jantung kongestif, namun belum pernah diteliti pada pasien gangguan ginjal kronis. Michelle Kao meneliti efek allopurinol dosis tinggi terhadap fungsi endotel dan hipertrofi ventrikel kiri pada pasien gangguan ginjal kronis. Cardiac magnetic resonance digunakan untuk mengukur massa jantung sebelum penelitian dan pada bulan ke-9 setelah pemberian. Fungsi endotel ditentukan dengan bantuan USG dari flow-mediated dilatation (FMD) arteri brakhialis setelah melepaskan tekanan cuff. Derajat dilatasi menjadi indikasi kekakuan arteri. Pada penelitian teracak tersamar ganda terkontrol plasebo ini, pasien gangguan fungsi ginjal stadium 3 secara acak dikelompokkan ke kelompok allopurinol (n=27) atau kelompok plasebo (n=26). Hipertrofi ventrikel kiri ditentukan dengan EKG. Kelompok allopurinol menerima allopurinol 100 mg/hari selama 2 minggu yang kemudian ditingkatkan menjadi 300 mg/hari jika bisa ditoleransi dan tidak ada efek samping pada fungsi ginjal. Semua karakteristik awal mirip di antara kedua kelompok, kecuali CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011