Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Kawasan Asia Selatan Citra Hennida Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRAK Kondisi politik internasional berubah drastis sejalan dengan kondisi Bumi yang memasuki masa perubahan bio-physical akibat perubahan iklim. Perubahan iklim berimbas pada keamanan nasional negara-negara di dunia, termasuk negara-negara Asia Selatan. Dalam tulisan ini, dipaparkan bahwa bahwa perubahan iklim berkontribusi terhadap kemunculan konflik di Asia Selatan. Hubungan tersebut tidak bersifat secara langsung. Perubahan iklim menciptakan ketidakamanan dalam hal sumber daya alam yang kemudian berkembang menjadi masalah ketidakamanan manusiawi di bidang makanan, air, dan tempat tinggal. Kondisi ini diperburuk dengan kontur geografis, karakteristik demografi, dan terjadinya partisi di Asia Selatan. Faktor-faktor tersebut menjadikan Asia Selatan sebagai wilayah yang tidak stabil dengan beragam ancaman konflik. Kata-Kata Kunci: perubahan iklim, konflik, ketidakamanan manusiawi, Asia Selatan. The international political environment changes substantially as the Earth enters a period of rapid bio-physical transation driven by climate change. Climate change has impact on the national security of the state around the world, including in South Asia. This article argues that climate change has contributed to conflict in South Asia. The relation is not direct. Climate change creates resources insecurity which turns into human insecurity on food, water and shelter. The condition is worsened by geographical condition, demographic characteristic and partition in South Asia. Those have made South Asia an unstable region with many potential conflicts comes. Keywords: climate change, conflict, human insecurity, South Asia. 201 Citra Hennida Asia Selatan dianggap sebagai kawasan yang kurang stabil dan memiliki integrasi yang lemah dibandingkan kawasan lain, bahkan setelah era Perang Dingin usai (Matthew 2002, 236). Masalah terkait dengan partisi kedua negara, kepemilikan nuklir dan perebutan wilayah Kashmir oleh India dan Pakistan, konflik etnis di hampir semua negara Asia Selatan, serta ancaman terorisme dan militansi. Terlepas dari semua penyebab yang melatarbelakangi munculnya konflik-konflik tersebut, perubahan iklim muncul sebagai salah satu pemicunya. Perubahan iklim dan akibat-akibat yang ditimbulkan seperti naiknya tingkat batas air laut, intensifnya badai tropis, kekeringan, banjir, perubahan suhu bumi dan cuaca berkontribusi terhadap menurunnya ketersediaan pangan, air, dan semakin terbatasnya tempat hidup yang pada akhirnya memunculkan konflik. Artikel ini selanjutnya membahas tentang kaitan antara perubahan iklim dan potensi meningkatnya konflik di Asia Selatan. Argumen yang dibangun adalah perubahan iklim mengancam ketersediaan pangan, air, dan lingkungan hidup yang pada akhirnya mendorong munculnya konflik-konflik terkait perebutan sumber daya tersebut di kawasan. Untuk membangun argumentasinya, artikel ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama terkait dengan hubungan antara konflik dan perubahan iklim, dasar teorisasinya, dan konsep-konsep yang ada. Bagian kedua membahas mengenai wilayah geografis dan pemetaan demografis Asia Selatan serta kerentanannya terhadap perubahan iklim. Terakhir adalah pembahasan konflik di Asia Selatan yang dipicu oleh perubahan iklim. Contoh yang diambil terutama adalah konflik antara India dan Bangladesh serta antara India dan Nepal. Hubungan antara Konflik dan Perubahan Iklim Menurut UN Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), perubahan iklim mengakibatkan terganggunya proses hidrologi 1 dan pasokan air, ikan dan biota air lainnya, biota darat, pertanian, dan kehutanan (Rozenzweig et al. 2007, 83). Hal ini dianggap akan mengancam keamanan manusia. Sedangkan UN Development Program (UNDP) mendefinisikan keamanan manusia sebagai keamanan akan ketakutan habisnya sumber-sumber yang ada dan keamanan akan keinginan atas sumber-sumber yang ada tersebut. Keamanan tersebut meliputi keamanan ekonomi, politik, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi, komunitas, dan entitas masyarakat. 1 Hidrologi termasuk di dalamnya banjir di wilayah-wilayah pantai, salinasi, erosi, sedimentasi, meluapnya sungai, dan kerapnya badai. 202 Global & Strategis, Th. 6, No. 2 Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Asia Selatan Sebagian besar masyarakat Asia Selatan khususnya di Pakistan, India, Bangladesh, dan Srilanka bekerja di sektor pertanian yang tergantung dengan iklim dan ketersediaan air. Pakistan, India, dan Bangladesh yang dilewati oleh sungai-sungai besar juga mengembangkan budidaya ikan air tawar. Perubahan iklim telah memgubah periode tanam tanaman pangan menjadi lebih pendek dan potensi sedimentasi serta salinasi sungai menjadi lebih besar. Masyarakat di Kepulauan Maldives dan negara pulau Srilanka tergantung pada cadangan biota laut. Naiknya suhu laut mengakibatkan coral bleaching yang berakibat cadangan biota laut menjadi menurun. Selain pertanian, masyarakat di Nepal dan Bhutan yang merupakan negara land locked dan berada di kaki pegunungan Himalaya juga menggantungkan kehidupan mereka pada hutan. Dari contoh-contoh di atas, dapat dikatakan bahwa selain potensi kerawanan pangan, perubahan iklim juga akan mengancam ketersediaan lapangan kerja di negara-negara tersebut. Menurut Mathew et al. (2009, 377-378) dan Myers (1993, 31-32), konflik akan terjadi ketika akses terhadap pangan, air, tempat hidup, lapangan pekerjaan, dan pelayanan kesehatan tidak ada. Hal inilah yang mesti diperhatikan oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait adaptasi perubahan iklim. Dalam artikel ini, selanjutnya hubungan antara perubahan iklim dan keamanan manusia dikaji dalam tiga wilayah. Pertama, perubahan iklim mengancam produksi pangan. IPCC (2007, 13-14) memprediksikan bahwa produksi pangan di wilayah Asia Selatan akan menurun sebesar 30 persen. Perubahan iklim meningkatkan hujan dan badai yang intensif namun dalam waktu yang singkat. Akibatnya masa tanam yang singkat akan menurunkan kapasitas produksi pangan. Hal ini diperkeruh dengan banjir, erosi, dan salinasi yang juga akan menghilangkan wilayahwilayah subur untuk ditanami (Perry 1990, 2). Permasalahan salinasi lahan ini menjadi permasalahan yang serius di Pakistan(World Studies Asia and the Pacific 2005, 192). Singkatnya, perubahan iklim mengancam keamanan pangan, yaitu pada tingkat ketersediaan pangan (supply), akses terhadap pangan, maupun kepada daya beli masyarakat atas produk pangan tersebut (demand dan distribusi). Kedua, perubahan iklim akan mengancam ketersediaan air. Masih menurut sumber yang sama, IPCC memprediksi bahwa pada tahun 2080, untuk wilayah-wilayah kering, pasokan air akan mengalami penurunan pasokan air sebesar 10-30 persen, sedangkan untuk wilayah-wilayah basah tropis, pasokan air akan naik sebesar 10-40 persen. Sedangkan untuk wilayah dingin, cadangan salju dan glasier akan mencair dan kemudian menipis akibat naiknya suhu permukaan bumi. Asia Selatan dalam sebaran geografisnya memiliki wilayah-wilayah ini. Bahasan lebih lanjut terkait sebaran geografis Asia Selatan dan kerawanannya terhadap perubahan iklim dibahas dalam bagian kedua artikel ini. Global & Strategis, Juli-Desember 2012 203 Citra Hennida Ketiga, perubahan iklim akan berdampak pada ketersediaan tempat hidup. IPCC memprediksikan pada tahun 2080, jutaan orang terpapar banjir setiap tahunnya. Orang-orang yang mendiami delta sungai, dataran rendah, pulau kecil, dan kepulauan adalah kelompok masyarakat yang rentan akan banjir, naiknya permukaan laut, dan terpaan badai (IPCC 2007, 12-15). Seperti dijelaskan di atas bahwa perubahan iklim mengancam keamanan manusia terkait dengan pangan, air, dan ketersediaan tempat hidup. Karena itu, perubahan iklim secara tidak langsung berpengaruh kepada meningkatnya intensitas konflik dan munculnya konflik baru terkait dengan perebutan sumber daya tersebut. Peter Gizewski & Thomas Homer Dixon (1998) berpendapat bahwa degradasi lingkungan akan mengintensifkan konflik dan mempertajam isu-isu pemisahan diri di dalam internal negara. Untuk mengatasi potensi konflik internal, elit politik menciptakan ‘musuh’ bersama yang mengacu pada negara tetangga. Ke depan, potensi ini akan semakin besar mengingat tekanan dari pertumbuhan penduduk dan perubahan kualitas lingkungan yang semakin cepat pula. Artinya semakin banyak penduduk memperebutkan ruang wilayah yang terbatas dan berusaha memenuhi keamanan pangan dan keamanan air dengan sumber yang terbatas pula. Akibatnya adalah akan muncul konflik-konflik baru dan juga semakin intensifnya konflikkonflik yang selama ini sifatnya laten. Misalnya saja, seperti yang dikatakan oleh Norman Myers (1993), militansi antara Hindu dan Islam di kawasan Asia Selatan dipengaruhi sedikit banyak oleh memburuknya kualitas lingkungan di Iran yang akhirnya mendorong kelompok militansi Islam untuk keluar dari wilayah tersebut dan kemudian tersebar ke wilayah Asia Selatan. Brock (1991) dan Renner et al. (1991) berpendapat bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan munculnya konflik interstate terkait dengan ketersediaan sumber daya. Dupont (2008, 31) berpendapat bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan negara menjadi lebih rentan, melemahkan strategi geopolitik negara, dan mengancam keberlangsungan sebuah masyarakat. Itu semua akan memunculkan konflik baik di dalam negara maupun antarnegara. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Swain (1996, 189-190) dengan mengatakan bahwa hubungan antara perubahan lingkungan (termasuk yang diakibatkan oleh perubahan iklim) dan konflik dapat dilihat ke dalam dua dimensi, yaitu perubahan [baca: kerusakan] lingkungan sebagai akibat dari konflik, atau perubahan lingkungan mengakibatkan munculnya konflik di dalam masyarakat. Biasanya terkait dengan gelombang migrasi penduduk yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan di tempat asal. Para pendatang ini tidak saja mengonsumsi sumber daya (wilayah, air dan pangan) yang sama dengan penduduk asli, Global & Strategis, Th. 6, No. 204 2 Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Asia Selatan tetapi juga membawa kebiasaan dan afiliasi politik yang bisa jadi berbeda dengan penduduk asli. Hal inilah yang kemudian memunculkan konflik baru atau juga semakin mempertajam konflik laten yang ada. Konflik tersebut bisa jadi lokal antara kelompok pengungsi dan penduduk lokal di dalam suatu negara, dan akan bersifat internasional ketika kelompok pengungsi tersebut sudah bersinggungan dengan kelompok lain di luar wilayah negaranya, misalnya gelombang pengungsi lingkungan dari Bangladesh ke India. Perubahan iklim semakin meningkatkan keterbatasan akan sumber daya dalam level supply, demand, dan distribusi (Homer-Dixon 1999, 48). Ada pada level supply ketika sumber daya semakin terbatas dalam hal kuantitas dan kualitas. Industri perikanan dan pertanian menjadi terbatas dalam hal kuantitas dan kualitas akibat perubahan iklim. Ada pada level demand ketika pertumbuhan penduduk semakin meningkat, tetapi tidak diikuti dengan pertumbuhan sumber daya dan keterbatasan tempat hidup. Ada pada level distribusi ketika karena keterbatasan-keterbatasan tersebut lantas kelompok lain menguasai distribusi atas kelompok lainnya. Selanjutnya, Maxwell dan Reuveny (2000, 303) menambahkan adanya kecenderungan bahwa menurunnya kualitas lingkungan akan memperlemah institusi politik. Gabungan atas kepentingan ekonomi, makin meningkatnya jumlah pengungsi lingkungan, dan lemahnya institusi politik yang pada akhirnya akan memunculkan konflik. Pemetaan Geografis dan Demografis Asia Selatan dan Kerentanannya terhadap Perubahan Iklim Pengaruh perubahan iklim terhadap wilayah Asia Selatan adalah besar. Hal ini terkait dengan kondisi geografis dan posisi geografis kawasan ini. Dilihat dari kondisi geografisnya, Asia Selatan memiliki wilayah pegunungan, gurun, dan monsoon di daratan utama. Sedangkan, Srilanka dan Kepulauan Maldives memiliki karakter geografis berbeda yang terhadap kenaikan permukaan laut dan hurricane. India memiliki karakter monsoon yaitu memiliki curah hujan yang tinggi. Dengan perubahan iklim, curah hujan menjadi semakin kerap terjadi. India mendapatkan hujan lebih banyak dibandingkan negara tetangganya seperti Bangladesh, Nepal, dan Bhutan. Potensi munculnya badai tropis dan hurricane merupakan ancaman bagi wilayah Asia Selatan yang tanpa adanya perubahan iklim yang ekstrim sekalipun, curah hujan di wilayah ini besar. Selanjutnya, ada empat pemetaan geografis Asia Selatan yang rawan terhadap perubahan iklim. Pertama, wilayah geografis Asia Selatan berbatasan dengan jajaran Pegunungan Himalaya di bagian utara dan timur, Samudera Hindia di bagian selatan. Dua batas geografis ini rentan terhadap perubahan iklim. Global & Strategis, Juli-Desember 2012 205 Citra Hennida Perubahan iklim akan berpengaruh kepada perubahan suhu bumi, sirkulasi laut dan atmosfer, meningkatnya batas air laut, serta intensifnya potensi munculnya badai tropis dan hurricane (Michener et al. 1997, 770). Untuk Nepal dan Bhutan, mereka berada di bawah kaki Pegunungan Himalaya yang sensitif dengan kenaikan suhu bumi terkait dengan cadangan glasier yang dimilikinya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Whetton (1994), estimasi kenaikan suhu di Asia Selatan akibat perubahan iklim adalah 0,10-0,30 celcius di tahun 2010. Diprediksikan, di tahun 2070, kenaikan suhu meningkat antara 0,40-2.00 celcius. Meningkatnya suhu di kawasan akan meningkatkan juga kasus-kasus banjir, kekeringan, dan badai. Potensi munculnya badai akan besar ketika suhu di atas permukaan laut adalah lebih dari 270 celcius. Kedua, meningkatnya batas permukaan laut adalah ancaman bagi Srilanka dan Maldives. Sekitar 80 persen wilayah Maldives berada hanya satu meter di atas permukaan laut (Chari 1999, 412). Kenaikan batas air laut akan mengakibatkan wilayah-wilayah ini terendam bahkan tenggelam. Sedangkan di Bangladesh, yang merupakan wilayah daratan terendah di kontinen, juga akan menghadapi masalah yang sama ketika batas air laut naik. Berdasarkan IPCC, pada tahun 2050, 15-17 persen wilayah Bangladesh akan tenggelam diakibatkan oleh naiknya permkaan laut setinggi 10 meter (D’Costa 2001, 140). Naiknya suhu bumi juga akan memunculkan coral bleaching. Dengan banyaknya koral yang mati, produksi ikan akan menurun sehingga mengancam kehidupan nelayan yang merupakan mayoritas pekerjaan di Maldives. Meningkatnya batas permukaan laut juga ancaman bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah pantai. Akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi, wilayah pemukiman di India dan Srilanka kemudian bergeser ke wilayahwilayah pantai. Mereka tidak hanya rentan terpapar oleh naiknya permukaan laut, tetapi juga rentan terpapar oleh badai tropis yang kerap muncul seiring dengan perubahan iklim. Ketiga, wilayah Asia Selatan dilalui oleh beberapa sungai besar yaitu Sungai Indus, Gangga, Brahmaputra, Meghna, Fenney, Karmanbuli, dan Kaladan (lihat Gambar 1). Sungai-sungai ini berpotensi memunculkan konflik-konflik yang melibatkan Pakistan, India, Nepal, Bhutan, dan Bangladesh mengingat alirannya melewati negara-negara tersebut. Apalagi di beberapa negara, aliran sungai-sungai tersebut adalah sumber air utama yang penting terkait dengan industri dan konsumsi. Wilayah Sungai Indus cenderung kering. Wilayah deltanya meliputi mayoritas Pakistan dan enam negara bagian India (Wolf 1999 dalam Giordano & Wolf 2002, 299). Untuk Pakistan, mayoritas kebutuhan airnya menyandarkan pada Sungai Indus, sedangkan sisanya berasal dari hujan monsoon dan mencairnya glasier. Bendungan Tarbela yang membendung sungai ini merupakan sumber hydropower dan pengatur sistem air dan irigasi di Pakistan. Hydropower menggerakkan industri di Pakistan. Global & Strategis, Th. 6, No. 206 2 Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Asia Selatan Industri tekstil, yang merupakan industri utama di Pakistan menggantungkan pada pasokan energi dari hydropower. Separuh lebih penduduk Pakistan yang bekerja di sektor ini juga menggantungkan ketersediaan air sepenuhnya dari Sungai Indus yang dibendung di Tarbela. Karena itu, ketersediaan air adalah penting. Kerap munculnya bencana kekeringan dan banjir sejak tahun 2001, merupakan isu yang penting di Pakistan (World Studies Asia and the Pasific 2005, 191-4). Para ahli memprediksikan bahwa produksi beras secara gradual akan turun sebesar 3,9 persen setiap tahunnya sebagai dampak dari perubahan iklim. Diprediksikan juga sebesar 40 juta orang rentan terhadap paparan air berarsenik akibat turunnya kualitas lingkungan sebagai dampak perubahan iklim (D’Costa 2001, 141-2). Gambar 1 menunjukkan bahwa Gangga-Brahmaputra-Meghna (GBM) adalah sistem sungai terbesar di wilayah Asia Selatan. Wilayah delta sungai-sungai ini mencakup 1,7 km2 dan mencakup sepertiga wilayah India, hampir keseluruhan wilayah Bangladesh dan sebagian kecil wilayah di Nepal, Bhutan, Cina dan Myanmar (Wolf 1999 dalam Giordano & Wolf 2002, 297). Di India, sistem sungai ini berada pada wilayah yang merupakan wilayah monsoon dengan curah hujan yang tinggi (Giordano & Wolf 2002, 298). Pengaturan air di dalamnya kerap memunculkan konflik antara India dan Bangladesh. Gambar 1 Delta sungai di Asia Selatan Sumber: Giordano & Wolf 2002. Terakhir, karakter geografis lainnya adalah wilayah gurun. Gurun Thar ada di wilayah Pakistan dan India. Wilayah ini mengalami erosi angin yang parah. Diprediksikan sekitar 59 juta hektar wilayah tersebut terpapar erosi angin. Perubahan iklim akan mempersering munculnya erosi angin. Global & Strategis, Juli-Desember 2012 207 Citra Hennida Pemetaan demografis Asia Selatan yang tidak merata menjadikan kawasan ini tampak unik. India, Pakistan, dan Bangladesh memiliki jutaan penduduk, jauh di atas Bhutan dan Maldives yang hanya dihuni ribuan penduduk. Pada 2007, India memiliki total penduduk 1,17 milyar, Pakistan 164 juta, dan Bangladesh 159 juta. Sementara, Bhutan berpenduduk 658 ribu dan Maldives 306 ribu (Veron 2008, 9). Asia Selatan juga merupakan wilayah berpenduduk terpadat dengan tingkat pertumbuhan yang termasuk tinggi di dunia. Berdasarkan data dari PBB (Veron 2008, 9), hampir 24 persen dari total penduduk dunia mendiami Asia Selatan dan penduduk tersebut mendiami hanya 4 persen bagian bumi. Sedangkan rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk per tahunnya adalah 2,1 persen, dibandingkan rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk dunia yang hanya 1.6 persen (UNDP 2006). Untuk wilayah-wilayah konflik lingkungan di India (lihat Gambar 3) seperti Jammu dan Kashmir, New Delhi, Bombay, Assam, Bihar, dan West Bengal jumlah penduduknya adalah tinggi. Berdasarkan sensus tahun 2001, New Delhi dihuni oleh 13 juta penduduk, Bombay sebesar 30 juta, Assam sebesar 26 juta, Bihar sebesar 83 juta, West Bengal sebesar 80 juta, serta Jammu dan Kashmir sebesar 10 juta (Banthia 2001 dalam Veron 2008, 17). Komposisi etnis di wilayah-wilayah tersebut juga beragam dan mendapatkan intervensinya dari Pakistan (khususnya wilayah Jammu dan Kashmir), Nepal, Bhutan, dan Bangladesh. Apalagi, tidak diperlukan visa antara India dan Nepal, India dan Bhutan, serta Bhutan dan Nepal. Sedangkan, pengungsi dari Bangladesh ke India kebanyakan adalah pengungsi ilegal (Khadria2005). Hal-hal tersebut merupakan bahan bakar konflik yang kecepatan munculnya juga dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terkait perubahan iklim. Perubahan Iklim Sebagai Katalisator Terhadap Konflik Laten Seperti dijelaskan di atas bahwa perubahan iklim bukan penyebab langsung konflik melainkan lebih bertindak secara tidak langsung dan berfungsi sebagai katalisator terhadap munculnya konflik. Potensi konflik yang ada kemudian akan berputar pada tiga hal di atas yaitu keamanan pangan, keamanan air, dan keamanan tempat hidup. Konflik yang terjadi antara India dan Bangladesh misalnya, akan sering terjadi akibat perubahan iklim. Konflik ini terkait dengan pengaturan air di wilayah Sungai Gangga. Awal konflik dalam pengaturan air di aliran Sungai Gangga dimulai sejak tahun 1970-an. Untuk menunjang Industrinya, India membangun bendungan Farakka dan kanal-kanalnya. Pada 1975, diatur perjanjian antara India dan Bangladesh yang mengatur dibuka tutupnya kanal-kanal tersebut (distribusi air). Di awal-awal perGlobal & Strategis, Th. 6, No. 208 2 Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Asia Selatan janjian, pengaturan berjalan normal dengan pembaruan perjanjian setiap lima tahun. Namun sejak 1988, mekanisme tersebut tidak berjalan dan tidak ada muatan sanksi bagi India yang sering secara sepihak menutup kanal-kanal tersebut (Swain 1996, 191). Reduksi pasokan air ke Bangladesh tidak hanya mengakibatkan kekeringan. Hal ini juga mengancam industri pertanian dan industri lainnya di Bangladesh. Pertanian yang sangat tergantung dengan pasokan air menjadi tutup dan keamanan pangan menjadi ancaman yang serius di Bangladesh. Migrasi penduduk adalah ancaman yang lain. Sepertiga penduduk Bangladesh hidup di wilayah Gangga tersebut (Swain 1996, 192). Akibatnya, ada sekitar sepertiga penduduk Bangladesh yang kemudian harus bermigrasi ketika bencana muncul. Gambar 2 menunjukkan wilayah Bangladesh yang terpengaruh oleh sistem Farakka. Gambar 2 Wilayah Bangladesh yang Terpengaruh Sistem Distribusi Air Farakka Sumber: Swain 1996. Perubahan iklim menambah pelik permasalahan. Perubahan iklim ditandai dengan periode musim kemarau lebih panjang dan mengakibatkan kekeringan. India sering secara sepihak menutup kanal-kanal tersebut untuk mengamankan pasokan air untuk wilayahnya, baik untuk konsumsi penduduknya yang padat maupun untuk kebutuhan industri. Akibatnya, Bangladesh kurang mendapat pasokan air dan mengalami kekeringan. Di musim penghujan, akibat perubahan iklim, curah hujan semakin banyak dan intens yang mengakibatkan meluapnya air di Global & Strategis, Juli-Desember 2012 209 Citra Hennida Sungai Gangga. India kemudian secara sepihak membuka kanal-kanal tersebut agar wilayahnya tidak banjir. Akibatnya, Bangladesh mendapatkan kiriman banjir dari India. Hal ini juga memunculkan pengungsipengungsi lingkungan baik yang sifatnya intrastate maupun bermigrasi ke luar wilayah Bangladesh ke India khususnya ke Assam, dan wilayahwilayah utara dan timur India lainnya (lihat Gambar 3). Hal ini akan memunculkan konflik baru di wilayah pengungsi terkait dengan perebutan sumber daya pangan, air dan, tempat hidup. Brown et al. (2007, 1148) mengatakan bahwa pengungsi lingkungan yang kemudian bermigrasi ke wilayah-wilayah konflik memunculkan tekanan terhadap sumber daya yang ada di wilayah baru dimana mereka tinggal. Terkait dengan perebutan tempat hidup misalnya, wilayah delta GBM di India yang menjadi wilayah tujuan pengungsi adalah wilayah yang kumuh dan padat. Wilayah delta GBM merupakan 1 persen wilayah dunia yang menampung 10 persen jumlah penduduk dunia (Ahmad et al. 2001; Rangachari & Verghese 2001; Shah 2001 dalam Giordano & Wolf 2002, 298). Padatnya penduduk akan berpengaruh juga terhadap distribusi pangan dan air. Singkatnya, tambahan penduduk menambah tekanan terhadap sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Permasalahan lain disebabkan pula oleh berbedanya latar belakang etnis dan agama. Penduduk Bangladesh yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam kemudian berpindah ke wilayah utara dan timur India yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Hindu. Dalam sejarah, terbentuknya negara-negara di Asia Selatan tidak terlepas dari konflik yang terjadi antara Islam dan Hindu. Tahun 1947 terjadi partisi atau pemisahan diri antara penduduk muslim dan Hindu di India yang kemudian menciptakan Pakistan. Wilayah timur Pakistan kemudian memisahkan diri dan membentuk Bangladesh tahun 1971. Kedudukan kaum muslim di India selama ini termarginalisasi. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Justice Rajinder Sachar Commission tahun 2006, disebutkan bahwa penduduk muslim India menempati porsi 13 persen dari keseluruhan populasi. Namun, keterwakilan mereka di sektorsektor publik amatlah minim. Misalnya, hanya 3 persen dari posisi administratif publik dipegang oleh orang-orang muslim (Ganguly 2009, 43). Penduduk muslim juga memiliki tingkat edukasi yang rendah jika dibandingkan oleh mayoritas Hindu. Hal ini kemudian melemahkan daya saing mereka pada pasar tenaga kerja. Ini kemudian memunculkan ketidaksenangan di kalangan remaja muslim yang kemudian memunculkan tindakan-tindakan radikalisasi. Serangan bom di Jaipur, Bangalore, Ahmedabad, dan New Delhi diklaim oleh kelompok radikal muslim sebagai aksinya (Ganguly 2009, 43). Selain kelompok radikal muslim, di India juga terdapat kelompok hypernationalist Hindu seperti Bharatiya Janata Party dan Maharashtra 210 Global & Strategis, Th. 6, No. 2 Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Asia Selatan Navnirman Sena yang banyak menentang kebijakan pemerintah terkait pendatang dan muslim (Ganguly 2009, 45-46). Mereka mengambinghitamkan pendatang muslim sebagai perebut lapangan kerja di Bombay dan New Delhi. Karena itu, gelombang pengungsi muslim dari Bangladesh dapat menjadi bahan bakar terhadap radikalisasi dan juga memunculkan kebencian atas dasar agama terhadap penduduk asli. Sedangkan, konflik terbuka antara Hindu dan pendatang muslim sudah terlihat di Assam (lihat Gambar 3). Di wilayah ini, ada sekitar 15 juta pengungsi Bangladesh dan keturunannya (Chari 1999, 450). Kebencian terhadap pengungsi Bangladesh ditunjukkan oleh kelompok suku Bodo. Tahun 2008, kelompok ini menyerang komunitas-komunitas muslim Bangladesh di Assam dan menewaskan 53 penduduk serta membuat 150.000 lainnya menyebar di berbagai wilayah pegunungan (Ganguly 2009, 46). Gambar 3 Arus Migrasi dari Bangladesh ke India serta Potensi Konfliknya Sumber: Swain 1996. Selanjutnya, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Giordano dan Wolf pada 2002, selain konflik antara India dan Bangladesh, konflik-konflik lainnya terkait air juga terjadi di Afganistan, Bhutan, Nepal, dan Pakistan. Sungai-sungai yang menjadi pemicunya adalah Indus, GanggaBrahmaputra, Meghna, Irrawaddy, Kaladan, Kamanahuli, dan Fenney. Misalnya, akibat penebangan hutan yang masif di wilayah Nepal, ketika hujan turun, sedimentasi menjadi menumpuk di wilayah hilir sungai GBM yang kemudian menambah ancaman banjir di delta sungai-sungai tersebut seperti di Terai dan Bihar (Thapliyal 1999, 248). Sebagai kompensasi, India meminta hak penggunaan hydropower di Nepal. Untuk diketahui bahwa kapasitas hydropower di Nepal adalah 83,000 MW yang berasal dari 6000 sungai yang mengalir di wilayah Nepal. Namun karena kurangnya penguasaan teknologi hydropower, semua pembaGlobal & Strategis, Juli-Desember 2012 211 Citra Hennida ngunan teknologinya berasal dari India yang juga sebagai bentuk kompensasi atas banjir yang ditimbulkan. Hal ini memunculkan sentimen-sentimen anti-India di Nepal. Mereka beranggapan bahwa kompensasi pemanfaatan hydropower atas banjir terlalu besar (Thapliyal 1999, 249). Dengan perubahan iklim yang semakin meningkatkan intensitas hujan, maka konflik laten akan mudah muncul di permukaan. Kesimpulan Kawasan Asia Selatan termasuk kawasan yang kurang stabil setelah Perang Dingin akibat potensi konflik dan konflik yang muncul selama ini. Konflik tersebut disebabkan oleh partisi dan perebutan atas sumbersumber yang terbatas. Kerentanan konflik di Asia Selatan kemudian mendapatkan pemicu lainnya, yaitu perubahan iklim. Perubahan iklim ditandai dengan naiknya suhu bumi yang pada akhirnya berdampak kepada naiknya permukaan laut, semakin intensnya hujan, badai dan hurricane, banjir, dan kekeringan. Hal ini mengancam keamanan masyarakat yang terkait dengan pangan, air, dan tempat hidupnya, baik pada level supply, demand, dan distribusinya. Ada pada level supply ketika sumber daya semakin terbatas dalam hal kuantitas dan kualitas. Ada pada level demand ketika pertumbuhan penduduk semakin meningkat sedangkan tidak diikuti dengan pertumbuhan sumber daya dan keterbatasan tempat hidup. Ada pada level distribusi ketika karena keterbatasan-keterbatasan tersebut lantas kelompok lain menguasai distribusi atas kelompok lainnya. Sifat laten ini memunculkan konflik baik di dalam negara maupun antar negara di kawasan. Daftar Pustaka Buku Chari, PR., 1999. “Towards a New Paradigm for National Security”, dalam PR Chari (ed.), Perspectives on National Security in South Asia: in Search of a New Paradigm. Delhi: Rajkamal Electric Press. Homer-Dixon, T., 1999. Environment, Scarcity, and Violence. Princeton: Princeton University Press. Jacobs, Heidi, 2005. World Studies Asia and the Pacific: Geography History Culture. Boston: Pearson Hall. Khadria, B., 2005. Migration in South and South West Asia. Global Commission on International Migration 2005. Perry, M., 1990. Climate Change and World Agriculture. London: Earthscan Publications Ltd. 212 Global & Strategis, Th. 6, No. 2 Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Asia Selatan Thapliyal, S., 1999.“ Nepal and Bhutan”, dalam Chairi, P.R. (ed.), 1999. Perspectives on National Security in South Asia: in Search of a New Paradigm. Delhi: Rajkamal Electric Press. Whetton, P, 1994. “Constructing Climate Scenarios: The Practice”, dalam Jakeman, A.J. dan A.B. Pittock (eds.), 1994. Climate Impact Assessment Methods for Asia and Pacific. Australian International Development Assistance Bureau 1994. Artikel Jurnal Dupont, A., 2008. “The Strategic Implications of Climate Change”, Survival, 5 (3): 31. Ganguly, S., 2009. “India in 2008: Domestic Turmoil and External Hopes”, Asia Survey, 49 (1): 39-52. Matthew, R.A., 2002. “Environment, Population and Conflict: New Modalities of Threat and Vulnerability in South Asia”, Journal of International Affairs, 56 (1): 236. Artikel Online Brown, O. et al., 2011. “Climate Change as the New Security Threat: Implications for Africa” [online]. dalam http://www.proquest.umi [diakses 7 Desember 2011]. D’Costa, B., 2011. “Bangladesh in 2010” [online]. dalam http://www. jstor.org/stable/10.1525/as.2011.51.1.138 [diakses 6 Desember 2011]. Giordano, M., dan A. Wolf, 2002. “The Geography of Water Conflict and Cooperation: Internal Pressure and International Manifestations” [online]. dalam http://www.jstor.org/stable/3451473 [diakses 6 Desember 2011]. IPCC, 2007. “Summary for Policy Makers” [online]. dalam http://www.ipcc.ch/publications_and_data/publications_ipcc_four th_assessment_report_wg2_report_impacts_adaptation_and_vuln erability.htm [diakses 6 Desember 2011]. Matthew, R.A. et al., 2003. “The Elusive Quest: Linking Environmental Change and Conflict” [online]. dalam http://www.jstor.org/stable/ 3233214 [diakses 6 Desember 2011]. Michener, W. et al., 1997. “Climate Change, Hurricanes and Tropical Storms, and Rising Sea Level in Coastal Wetlands” [online]. dalamhttp://www.jstor.org/ [diakses 6 Desember 2011]. Swain, A, 1996. “Displacing the Conflict: Environmental Destruction in Bangladesh and Ethnic Conflict in India” [online]. dalam http://www.jstor.org/stable/425436 [diakses 6 Desember 2011]. Veron, J, 2008. “The Demography Of South Asia From the 1950s to the 2000s: a Summary of Changes and a Statistical Assesment” [online]. dalam http://www.jstor.org/stable/27645336 [diakses 5 Desember 2011]. Global & Strategis, Juli-Desember 2012 213