Mencari Format Lembaga Super Rabu, 24 Juni 2009 | 03:21 WIB M Fajar Marta Jangka waktu untuk membentuk Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia tinggal 1,5 tahun lagi. Masa tersebut dinilai amat sempit mengingat perdebatan tentang pembentukan OJK, yang telah berlangsung sejak 10 tahun lalu, tidak juga mengerucut. Satu hal yang membuat pembentukan otoritas super ini penuh tarik ulur dan seolah tak berkesudahan tentu saja perbedaan kepentingan antara pemerintah, yang diwakili Departemen Keuangan, yang menginginkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera dibentuk dan Bank Indonesia yang menginginkan agar pembentukannya tidak terburu-buru serta terlebih dahulu dikaji secara mendalam. Selain alasan teknis meningkatkan dan memadukan pengawasan sektor keuangan, pembentukan OJK pada awalnya juga dimaksudkan untuk mengurangi kekuasaan BI yang dinilai terlalu luas dilihat dari sisi BI yang independen. Tarik ulur kepentingan terkait OJK tentu sudah saatnya diakhiri. Karena itu, semua pihak seyogianya fokus pada hal-hal yang terkait dengan fungsi dan tujuan makropembentukan lembaga pengawasan keuangan yang terpadu, yakni menciptakan stabilitas sistem keuangan dengan pengawasan yang terintegrasi. Mengenai pembentukan lembaga OJK, semua pihak saat ini tampaknya sepakat itu merupakan keniscayaan. Jadi, yang menjadi fokus berikutnya tinggal bagaimana merancang bentuk dan wewenang lembaga tersebut agar fungsi dan tujuannya bisa tercapai. Dalam draf awal Rancangan Undang-Undang OJK yang disusun pemerintah, OJK akan memiliki tiga otoritas, yakni otoritas bank, otoritas lembaga keuangan nonbank, dan otoritas pasar modal. Draf RUU tersebut secara implisit menjelaskan bahwa seluruh tugas pengawasan perbankan, yang selama ini dilakukan BI, akan diambil alih oleh OJK. Begitu pula dengan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan yang saat ini ada di bawah kendali Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Lembaga ini selanjutnya diserahi tugas pokok mengawasi individual bank (mikroprudensial), mengawasi sistem keuangan keseluruhan (makroprudensial), dan mengawasi kegiatan bisnis lembaga dan pasar keuangan (conduct of business). Namun, Inggris yang menerapkan OJK dengan model seperti ini (Financial Services Authority/FSA) ternyata gagal menahan krisis perbankan, yang ditandai dengan jatuhnya Northern Rock, Royal Bank of Scotland, TSB Lloyds, dan bank lainnya. Bank-bank tersebut akhirnya harus direkapitalisasi dengan biaya yang sangat besar, yaitu 1,3 triliun poundsterling. Merespons hal tersebut, parlemen Inggris dua pekan lalu akhirnya merekomendasikan agar fungsi pengawasan bank dan stabilitas keuangan dikembalikan ke bank sentralnya, yakni Bank of England (BOE). Munculnya fakta itu akhirnya mendorong pemerintah meninjau kembali draf RUU OJK. Pemerintah dan BI akhirnya sepakat membentuk tim bersama untuk menggodok format OJK yang paling baik dan paling cocok diterapkan di Indonesia. Hasil rumusan tim bersama nantinya akan dibawa ke DPR untuk dibahas. Pemisahan pengawasan Komite Ekonomi Parlemen Inggris memaparkan tiga kesalahan pokok FSA sehingga menyebabkan krisis keuangan di Inggris. Pertama, kurang efektifnya komunikasi dan koordinasi FSA dengan BOE dan Departemen Keuangan Inggris. Kedua, FSA melupakan tugasnya mengawasi makroprudensial atau lembaga keuangan yang bersifat sistemik. Ketiga, terlalu fokus pada tugas pengawasan kegiatan bisnis (conduct of business) sehingga mengabaikan pengawasan mikroprudensial. Beberapa pakar ekonomi sudah mengingatkan, pemisahan pengawasan bank dari bank sentral dapat menyebabkan terabaikannya pengawasan terhadap pencegahan dan penanganan krisis sistemik. Kelemahan sistem tiga pihak di Inggris juga menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang memiliki wewenang jelas dan bertanggung jawab dalam mengantisipasi krisis perbankan. Bank sentral pun tidak akan efektif menjalankan tugasnya memelihara stabilitas keuangan apabila tidak didukung informasi mikroperbankan, terutama bank-bank besar yang memiliki risiko yang tinggi. Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun mencoba mengambil pelajaran dari Inggris dengan memperluas kewenangan bank sentral AS (The Fed) untuk mengawasi dan mengatur lembaga-lembaga keuangan yang bersifat sistemik. Jadi, pembentukan OJK sebaiknya tidak hanya berlandaskan siapa mengawasi apa. Struktur lembaga pengawas jasa keuangan dinilai akan lebih efektif jika berbasis risiko, yakni risiko sistemik dan nonsistemik. Komisaris Bank Internasional Indonesia Umar Juoro mengatakan, bank sentral sebaiknya tetap diberi wewenang mengawasi lembaga keuangan, baik bank maupun nonbank, yang memiliki risiko sistemik. Kewenangan tersebut dinilai satu paket dengan fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort (LoLR) atau penyedia likuiditas untuk menyelamatkan sistem keuangan. Mustahil bagi Bank Indonesia bisa dengan cepat menyalurkan likuiditas jika tidak memiliki informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang sistemik. Faktor kecepatan dalam pemberian bantuan pada saat bank menghadapi krisis likuiditas merupakan kebutuhan mutlak. Fungsi LoLR harus dilakukan dalam hitungan menit atau sekurang-kurangnya dalam hitungan jam mengingat transaksi pembayaran antarbank terjadi setiap saat. Adapun OJK nantinya akan berkonsentrasi pada tugas pengawasan kegiatan bisnis (conduct of business) yang meliputi perlindungan konsumen, transaksi antarperusahaan, insider trading, dan pemantauan money laundering.