perkembangan konsep sastra islam - Jurnal UNS

advertisement
PERKEMBANGAN KONSEP SASTRA ISLAM
Bani Sudardi
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
e-mail: [email protected]
Hanifah Hikmawati
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
e-mail: [email protected]
Abstrak: Islam adalah sebuah agama yang dihayati oleh pemeluknya di seluruh dunia.
Konsekuensi logis dari hal tersebut ialah munculnya sastra yang dijiwai nilai-nilai Islam.
Meskipun Islam disampaikan dengan kitab suci Al quran dan hadis yang berbahasa Arab,
sastra Islam tidak selalu bermediakan bahasa Arab. Sastra Islam lahir dari lingkungan
masyarakat bahasa tertentu yang menghayati nilai-nilai islami. Tulisan ini merupakan
suatu penelitian dengan menggunakan metode kajian pustaka (content analysis). Sumber
data adalah buku-buku tentang konsep sastra dan aplikasi sastra Islam. Penelitian
menunjukan bahwa ada satu konsep dasar tentang sastra Islam, yakni menjunjung tinggi
keagungan Islam dengan berbagai aset yang terdapat dalam agama Islam seperti tasawuf,
tokoh Islam, dan nilai-nilai Islami. Konsep sastra Islam terus berkembang dan belum
memperoleh bentuk baku. sastra Islam ialah sastra yang berpegang teguh pada akidah dan
akhlak sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan. Karakteristik sastra Islam sangatlah
beragam, tidak hanya dari bentuk sastranya saja, namun substansinya juga menjadi hal
penting yang harus diperhatikan.
Kata kunci: konsep sastra Islam, nilai Islam, Al quran
PENDAHULUAN
Sebagai agama yang sudah berusia
hampir 15 abad dan menjadi agama
dengan pemeluk terbesar di muka bumi
ini, Islam tentu saja sangat mewarnai
kebudayaan bangsa-bangsa di dunia dalam
berbagai bidang kehidupan. Teknologi
dan sistem ilmu pengetahuan dewasa ini
telah melalui jalur kebudayaan Islam pada
abad tengah. Salah satu sumbangan besar
Islam ialah terbentuknya sasrta Islam
yang berkembang sepanjang abad dalam
berbagai bangsa, budaya, dan bahasa.
Berbicara tentang terbentuknya
sastra Islam tersebut, memang tidak
dapat dipisahkan dari kontribusi Al quran
sebagai karya agung yang diturunkan
di tengah-tengah bangsa Arab sebagai
bangsa yang telah maju dalam bidang
sastra. Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa Al quran adalah kitab Allah yang
diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad
saw. yang isinya sarat penuh dengan
mukjizat (Wargadinata, 2008:215).
Hal ini diperkuat dengan kedudukan
kebudayaan Arab yang selain memiliki
karakter lokal dan nasional, tetapi juga
menembus batas regional dan transregional
melalui sarana bahasa Arab dan agama
Islam (Feener, 2004:59 dalam Fadlil,
2011:1). Keterkaitan antara sastra dengan
agama inilah yang menimbulkan adanya
sastra religius. Hal ini didasarkan dengan
perasaan keagamaan. Sebagaimana yang
27
Perkembangan Konsep Sastra Islam (Bani Sudardi)
dikatakan oleh Subijantoro (2010: 124)
bahwa perasaan keagamaan ialah segala
perasaan batin yang ada hubungannya
dengan Tuhan.
Perasaan keagamaan di sini lekat
dengan keyakinan. Di Indonesia, negara
yang mayoritas penduduknya menganut
agama Islam, ternyata sudah menjalankan
dan mengajarkan sastra sebagai sarana
dakwah. Tentu masyarakat ini bertolak dari
sastra-sastra yang ada di Timur Tengah.
Meski sastra Islam belum seeksis sastra
umum, namun keberadaannya mampu
disokong oleh banyak manusia, khususnya
tokoh-tokoh atau penyair-penyair muslim.
Di sinilah peran sastra sungguh menjadi
tujuan utama dalam mengunggulkan
rasa percaya terhadap Illahi. Selain itu, ia
berperan dalam pembentukan karakter
manusia dalam mengenal sang Rabb
‘Azza Wajalla. Apalagi, era globalisasi
yang kian bebas perlu dinetralisir dengan
keberadaan sastra Islam yang dinilai
dapat membantu menyeimbangkan hidup
dengan konsep ketuhanan.
Sastra, dengan demikian merupakan
hasil seni jiwa yang bergelut dengan
perasaan. Oleh karena itu, banyak sekali
wujud rasa-rasa itu dituangkan dalam
menulis. Hingga kita ketahui banyak
sekali kajian-kajian sastra yang termaktub
dalam buku. Menulis memang lebih berat
daripada berpidato, karena yang ditulis tak
dapat dihapus sedangkan yang dikatakan
cepat dilupakan (Djien, 2012:334). Sebab
itulah, sastrawan lebih peka terhadap
kondisi yang ada pada dirinya dengan
menulis, seperti halnya aktivitas menulis
sastrawan muslim dalam mengungkapkan
perasaan keilahian yang bertujuan untuk
mengunggulkan nilai-nilai sastra Islam.
Sastrawan menciptakan karya sastra
28
berdasarkan kenyataan yang dilihat dan
dialami sesuai dengan visinya. Sastrawan,
dengan kata lain memotret kenyataan
yang
diketahuinya
dan
kemudian
menuangkannya dalam bentuk karya
sastra (Sambodja, 2011:11). Karya-karya
tertulis tersebut diharapkan menjadi
karya langgeng yang senantiasa teringat
sepanjang masa dalam menetralisir
kehidupan yang kian terisolasi oleh
kebebasan zaman.
Selain tersebut di atas, konsep
tentang kesusastraan yang sebetulnya
a priori sudah kita anggap usang atau
kemungkinan sudah usang. Sama halnya
di bidang kebudayaan (Moeljanto dan
Ismail, 1994:104). Berbagai jenis kesenian
dan bentuk kesusastraan juga membantu
menjadi steril hidup terisolasi di luar
geraknya zaman. Demikian pulalah ada
anggapan, penghargaan dan pengertian
kesusastraan dapat ikut membatu, berdiri
sebagai candi tua yang menghadapi
kerontokannya, kalau tidak ditopang
dengan berbagai macam cara. Seperti
halnya sastra Islam, kedudukannya kian
ditopang untuk menjadikannya sebagai
arah baru dalam mengembangkan
kepercayaan
Ilahi
sebagai
upaya
pengawasan kepada perilaku manusia
agar tetap pada syari’at Islam.
Dalam makalah ini, penulis akan
memaparkan konsepsi sastra Islam
dari masa ke masa serta dinamika
perkembangannya di berbagai tempat.
Kajian ini memang belum merupakan
kajian yang menyeluruh. Kajian ini masih
berupa kajian parsial dari berbagai
fenomena yang berhasil ditangkap.
Melalui
pemaparan
ini
pula,
diharapkan dapat memberi sumbangsih
terhadap eksistensi sastra Islam di tengah
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 27-35
sastra umum. Diharapkan pula masyarakat
dapat mengenal secara mendalam
mengenai keyakinan tentang satu-satunya
Dzat yang berhak disembah, dan tidak ada
agama yang benar kecuali Islam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif analitif dengan tujuan utama
mendeskripsikan suatu fenomena konsepsi
sastra Islam. Sumber data penelitian
ialah
sumber-sumber tetulis tentang
sastra Islam di samping berbagai wacana
audio yang pernah penulis dengan dalam
berbagai seminar dan pertemuan tentang
sastra Islam. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan membaca data-data dan
menata data dalam suatu universum yang
terpahami. Analisis yang digunakan ialah
teknik content analysis yang mencakup
serangkaian kegiatan yang terkait dengan
pengurusan data sesuai dengan rentang
permasalahan atau urutan pemahaman
yang ingin diperoleh, pengorganisasian
data dalam formasi, kategori, ataupun unit
perian tertentu sesuai dengan signifikansi
butir-butir ataupun satuan data yang
berhubungan dengan eksistensi sastra
Islam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep Fundamental Sastra Islam
Konsep
sastra
Islam
yang
fundamental dijabarkan Al quran surat
Asyu’ara (26) ayat 221-227:
“Apakah
akan
Aku
beritakan
kepadamu, kepada siapa syaitansyaitan itu turun? Mereka turun
kepada tiap-tiap pendusta lagi yang
banyak dosa. Mereka menghadapkan
pendengaran (kepada syaitan) itu, dan
kebanyakan mereka adalah orang-
orang pendusta. Dan penyair-penyair
itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
Tidakkah kamu melihat bahwasanya
mereka mengembara di tiap- tiap
lembah. dan bahwasanya mereka
suka mengatakan apa yang mereka
sendiri tidak mengerjakan(nya)?
kecuali orang-orang (penyair-penyair)
yang beriman dan beramal saleh dan
banyak menyebut Allah dan mendapat
kemenangan
sesudah
menderita
kezaliman. Dan orang-orang yang
zalim itu kelak akan mengetahui ke
tempat mana mereka akan kembali.
Ayat di atas menunjukan dua kondisi
faktual tentang penyair, yakni penyair
pengikut setan yang pembohong dan
penyair beriman yang merupakan penyair
Islami. Hal ini berhubungan pula dengan
sastra Islam yang harus mencerminkan
jiwa keimanan dan amal saleh.
Al quran menginginkan dari sastra
tidak sebagaimana yang telah ada pada
zaman jahiliyah. Islam menginginkan
syair sebagai alat pembangunan dan
pengembangan bukan sebagai alat
penghancur. Islam menginginkan syair
menyesuaikan diri dengan komunitas
baru yang penuh dengan nilai-nilai luhur
Islam. Maka posisi Islam terhadap sastra
bukan sebagai musuh, akan tetapi sikap
Islam adalah sebagai pentashih sastra,
yang meluruskannya dari noda-noda
hitam kejahiliyahan (Wargadinata, 2008:
13). Oleh karena itu, pengkajian terhadap
Islam itu sendiri kiranya perlu untuk
ditingkatkan lagi agar dalam mensyiarkan
sastra tidak keluar dari batasnya. Kegiatan
syiar melalui sastra telah berlangsung
sejak zaman para nabi, sebagaimana
Rasulullah menyampaikan Islam melalui
sastra. Kemudian aktivitas dakwah
29
Perkembangan Konsep Sastra Islam (Bani Sudardi)
melalui sastra tersebut digubah oleh
masyarakat Indonesia sebagai kontribusi
upaya pertahanan manusia agar tetap
berpedoman kepada nilai-nilai Islam.
Melalui nilai-nilai Islam tersebut,
eksistensi sastra islam mulai ditempatkan
pada posisi yang proporsional. Telah
diakui banyak orang bahwa sastra Islam
merupakan satu jenis pengetahuan yang
memiliki posisi penting dalam menawarkan
sejumlah nilai pada kehidupan. Berbagai
pemahaman terminologis sastra Islam
menekankan pada sisi ontologisnya untuk
berkaitan dengan fungsi normatif Islam.
Tokoh sastrawan muslim Kuntowijoyo
(2006) menyetujui keberadaan sastra
Islam, supaya Islam tetap pada asasnya
(konsisten) maka Islam perlu dijaga.
Kriteria tertentu bagi penafsir Al quran
dimaksudkan supaya ilmu agama tetap
konsisten, tidak berubah dari aslinya.
Pendapat Kuntowijoyo tersebut
sama dengan yang diungkapkan oleh
ulama’ sastra Islam, bernama Qutub
(1983) dan an-Nadawiy (1985). Kedua
tokoh ini menjelaskan dan menegaskan
bahwa sastra Islam adalah suatu gambaran
yang indah tentang semesta, kehidupan,
manusia dan semua wujud alam semesta
ini. Wilayah objek seni dan sastra Islam
adalah semua wilayah kehidupan yang
diungkap dari jiwa dan mengeksplorasinya
dengan penuh keimanan. Ungkapan ini
terpancar dari kehidupan pengarang
yang kemudian dikaitkan dengan hablumminallah dan hablum-minannas. Melalui
hubungan-hubungn itu, kemudian lahirlah
nilai-nilai khusus tentang kemuliaan
dan keindahan dalam pengertian yang
luas yang memegang komitmen dalam
makna yang dikandungnya. Sedangkan
sastra non Islam tidak demikian, ia tidak
30
mencakup alam semesta dan kehidupan,
ia keluar dari batas koridornya, misalnya
tidak terdapat ketakutan antara bersih
dan kotor, baik dan buruk. Sastra Islam
tidak menyukai aurat yang terbuka. Ia
juga bertujuan untuk mencapai hidayah
Allah dalam Islam. Sedangkan sastra
selain Islam tidak demikian, ia lebih
mengutamakan kepuasan belaka dan tidak
adanya komitmen di dalamnya.
Paradigma sastra Islam yang
dikemukakan beberapa tokoh tersebut
di atas sudah termaktub dalam ayat suci
Al quran. Al quran menceraiberaikan
semua norma keunggulan sastra yang
pernah dikenal bangsa Arab. Setiap ayat
Al quran sesuai dan memenuhi norma
sastra yang pernah dikenal, dan bahkan
mengunggulinya. Hal ini tentu menjadi
kebanggaan bagi umat Islam yang
berpegang teguh pada Al quran. Dengan Al
quran, maka penyair-penyair diharapkan
mampu meresapi setiap makna yang
dikandung dalam kitab suci tersebut
dalam bersastra. Bahkan, Islam bukan
saja menerima entitas sastra (walaupun
dengan catatan harus sesuai dengan
moralitas dan spiritualitas), tetapi sumber
utamanya sendiri, yaitu Al quran (Kamil,
2009:81). Hakikat keagungan sastra di
dalam al-Quran dijelaskan Wargadinata
(2008:217).
• Al quran bukan puisi maupun sajak.
Yang pertama berisi bait-bait yang
matra (jumlah, panjang, dan posisi
suku kata), yang kedua adalah prosa
yang kalimat dan frasanya ditandai
dengan sajak di seluruh komposisinya.
Al quran tidak menyerupai keduanya,
meski sebagiannya berisi bagian
karakteristik dari keduanya.
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 27-35
• Ayat Al quran tersusun dari kata dan
frase yang sangat sesuai maknanya.
Artikulasinya benar dan sempurna.
• Kata-kata dan frase-frase Al quran
untuk satu ayat, atau satu bagian ayat,
sebanding atau kontras sama sekali
dengan kata dan frase ayat sebelumnya
atau sesudahnya, baik dalam susunan
maupun maknanya.
• Kata
dan
frase
Al
quran
mengungkapkan makna terkaya dan
terkuat dalam bentuk tersingkat.
Tidak bertele-tele dan tidak ada kata
yang berlebihan.
• Tamsil dan kiasan Al quran, konjungsi
dan difungsi konsep dan petunjuknya,
mengandung daya tarik.
• Komposisi Al quran selalu tepat,
terjalin baik, disampaikan dengan
benar, seperti karya seni yang
sempurna mutlak (Wargadinata,
2008:217).
Al
quran
memaksudkan
penggambaran-penggambaran
archetype semacam itu agar kita dapat menarik
pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa
empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa
peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya
bersifat universal dan abadi. Bukan
data historisnya yang penting, tetapi
pesan moralnya. Bukan bukti objektifempirisnya yang ditonjolkan, akan tetapi
ta’wil subjektif-normatifnya (Kuntowijoyo,
2006:14). Inilah keistimewaan Al quran
yang menjadi pedoman semua umat Islam,
termasuk dalam menyerukan dakwah
melalui sastra harus menjadikan Al quran
sebagai pegangan utama agar tujuan yang
dimaskudkan bisa diterima.
Ruang Lingkup Kajian Sastra Islam
Berdasarkan paparan di atas, dapat
diketahui bahwa sastra Islam adalah sastra
yang mempromosikan sistem kepercayaan
dan ajaran Islam seperti persoalan
kemanusiaannya, memuji dan mengangkat
tokoh-tokoh Islam, mengkritik realitas
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam,
dan sastra yang memiliki komitmen
Islam, atau paling tidak sastra yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam. Dalam sastra Islam, karenanya,
terdapat ruh (napas/semangat) Islam,
berangkat dari risalah (misi) Islam, berisi
pemikiran dan rasa Islami, dan menjadikan
al-Quran dan Hadis sebagai sumber ilham
serta rujukan kreativitas (poetikanya).
Sastra Islam bukanlah sastra Arab
saja, karena Islam melewati batas-batas
kebahasaan. Sastra Islam juga bukanlah
lawan dari sastra Barat, karena dalam
sastra Barat juga terdapat sastra Islam
seperti dalam sebagian karya Goethe (lahir
1749, dalam Kamil, 2009:93) yang percaya
pada keesaan Tuhan, keagungan Al
quran dan kenabian Muhammad. Berikut
beberapa ruang lingkup yang terdapat
pada sastra Islam.
Genre sastra Islam pertama kali
muncul di tangan Hassan bin Tsabit, Ka’ab
bin Malik, ‘Abdullah bin Rawahah dan anNabigah al-Ja’di. Tema yang diusung pada
masa ini ialah pujian kepada Nabi, dan
deskripsi peristiwa penting yang terjadi.
Misalnya berikut cuplikan syair yang
mengandung pujian terhadap nabi oleh alBarzanji :
‫ﻳﺎ رﺳﻮل ﺳﻼم ﻋﻠﻴﻚ‬
‫أﻧﺖ ﻧﻮر ﻓﻮق ﻧﻮر‬
‫ﻳﺎ ﻧﱯ ﺳﻼم ﻋﻠﻴﻚ‬
‫أﻧﺖ ﴰﺲ أﻧﺖ ﺑﺪر‬
31
Perkembangan Konsep Sastra Islam (Bani Sudardi)
“(Wahai Nabi, keselamatan [semoga
tercurah] untukmu, Engkau matahari
dan juga bulan/ Engkau cahaya di atas
cahaya.”
Sastra jenis ini sering disajikan
dalam bentuk audio dan visual dengan
dendang dan tarian. Konsep sastra
ini ialah pengembangan dari konsep
salawat yang merupakan amalan wajib
bagi kaum muslimin yang kemudian
dipersonifikasikan dalam bentuk salawat
dan pujian kepada Nabi Muhammad. Di
Indonesia jenis sastra ini merupakan
sesuatu yang lazim dikumandangkan di
lingkungan komunitas Islam tradisi.
Tradisi dan kepentingan praktis yang
menjadi modal utama dalam melakukan
interpretasi terhadap suatu objek adalah
ciri utama manusia dalam menganggap
dirinya ada melalui pemikiran-pemikiran
yang berkembang melalui gerak akal, rasa,
dan hati. Orang yang mengerti dalam artian
ini, bukan hanya memahami pengetahuan
tertentu, tetapi juga memiliki keterampilan
praktis untuk menerapkannya. Di dalam
hidupnya, manusia selalu mencari arah
baru untuk dituju. Untuk menemukan arah
yang tepat, manusia haruslah memiliki
pengertian yang tepat tentang dirinya
sendiri. Hanya dengan memahami diri
secara tepatlah manusia bisa mewujudkan
potensi-potensinya semaksimal mungkin.
Pokok penting dalam hal ini ialah sastra
yang berisi mengenai etika dan persoalan
transendental, terutama tauhid dan
spiritualitas. Sastra bentuk ini pertama
kali dipelopori oleh ‘Ali bin Abi Thalib.
Bentuk sastra etis dan transendental
dalam literatur sastra lebih dikenal
dengan sastra sufistik, yaitu sastra
yang mementingkan pembersihan hati
(tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak
32
baik agar bisa dekat, sedekat mungkin
dengan Allah. Di Indonesia, karya sastra
ini dikenal dengan karya sastra suluk, yaitu
sastra yang menggambarkan perjalanan
spiritual seorang sufi mencapai taraf
di mana hubungan jiwanya telah dekat
dengan Tuhan, yaitu musyahadah (Kamil,
2009:96). Laku suluk mereka untuk
memangkas wadah-wadah sifat nafsu
dengan bara pencarian dan kerinduan
telah menghasilkan kegelisahan dan
kebingungan dalam diri mereka. Lalu
terlintas di hadapan mereka pemikiran
untuk menyingkap Zat (kasyf az-Zat)
sebelum menjelang pagi, serta menetap
dan mapan dalam maqam fana’ (peleburan
diri) (Jami, 2003:xxxviii).
Salah satu etika yang ditekankan
dalam sastra sufistik adalah zuhud
(kehidupan asketik) sebagai bagian dari
maqamat. Hal ini disampaikan oleh Ibnu
‘Ataillah as-Sakandari
‫ و اﳌﻨﻊ ﻣﻦ اﷲ إﺣﺴﺎن‬، ‫اﻟﻌﻄﺎء ﻣﻦ اﳋﻠﻖ ﺣﺮﻣﺎن‬
“Pemberian makhluk adalah rintangan,
sementara halangan (cobaan) Allah
adalah kebaikan.”
Tema sentral dari sastra sufistik
adalah mengenai pertaubatan kepada
Tuhan, kecintaan kepada-Nya, musyahadah
(menyaksikan keesaan-Nya lewat hati),
bahkan penyatuan dengan-Nya. Kajian
dalam sastra sufistik ini mencakup banyak
hal, ada tentang pertaubatan dan cinta.
Cinta disini ditujukan kepada sang Rabb.
Sastra sufistik yang mengekspresikan cinta
kepada Tuhan dengan bahasa cinta kepada
manusia. Mengenal Allah lebih dalam
tentu akan membuat kita (khususnya
penyair) lebih meningkatkan iman dan
mengembangkan unsur tanggungjawab
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 27-35
sebagai muslim untuk menyerukan
perintah-Nya. Perasaan cinta dan yakin
dengan adanya Rabb ‘Azza wa Jalla ini
memang menjadi sesuatu yang nyata.
Semua yang ada itu merupakan ciptaanNya dan sesungguhnya Dia memang ada
dan berada. Tidak ada satupun makhluk
kecuali makhluk itu bersaksi terhadap
keberadaan-Nya, kekuasann-Nya, ilmuNya, kesempurnaan-Nya dan keindahan
ciptaan-Nya (Al-Basya, 1996:103).
Tuhan adalah zat yang azali (tanpa
permulaan) yang selalu ada. Karena
wujud Tuhan itu sempurna, wujud
tersebut tidak mungkin terdapat sama
sekali pada selain Tuhan, seperti halnya
dengan sesuatu yang sempurna indahnya
ialah apabila tidak terdapat keindahan
semacam itu pada yang lainnya (AlFarabi, dalam Hakim, 2008:458). AlGhazali (dalam bukunya Seberkas Cahaya
dalam Kehidupan) berkata, kebodohan
(tidak mengenal Allah) swt. merupakan
racun yang membinasakan dan maksiat
kepada-Nya dengan mengikuti hawa nafsu
merupakan penyakit yang menyakitkan.
Sebaliknya, mengenal Allah merupakan
penawar yang bisa menghidupkan dan
taat kepada-Nya dengan tidak mengikuti
kehendak hawa nafsu merupakan obat
hati yang menyembuhkan. Dari pengertian
inilah dapat dikatakan bahwa dalam
penciptaan sastra, maka modal utama yang
mendorong ialah rasa cinta terhadap Allah,
yang merupakan cinta di atas segalanya.
Sebagai contoh, Rabi’ah ‘Adawiyyah
mengungkapkan pandangannya bahwa
baginya, makna kehidupan adalah cinta
dan dengan cinta manusia bisa dekat
dengan Tuhannya.
‫ ﻣﻨﻚ و ﺻﻼ ﻓﻬﻮ أﻗﺼﻰ ﻣﻨﻴﱴ‬# ‫ﻗﺪ ﻫﺠﺮت اﳋﻠﻖ ﲨﻴﻌﺎ أرﲡﻰ‬
“Aku telah tinggalkan semua makhluk/
mengharap untuk (dapat) menggapaiMu/karena Engkau adalah puncak
harapanku.”
Unsur mahabbah yang disampaikan
oleh Rabi’ah ini ialah mengosongkan hati
dari segala sesuatu selain Tuhan yang
telah memenuhi hatinya. Oleh sebab itu, ia
pun tidak menikah karena cintanya kepada
Tuhan telah mengalahkan segalanya dan
khawatir tidak bisa berbuat adil kepada
pasangannya. Ia juga menganjurkan dalam
beramal bukan karena menginginkan
surga atau takut dari neraka, tetapi karena
cintanya kepada Allah.
Suluk atau kisah perjalanan rohani
yang dijelaskan di atas memiliki fungsi
ganda sebagai ekspresi sastra dan dakwah.
Pemahaman cinta yang berbentuk
sastra Islam dari beberapa tokoh di atas,
rupanya juga mendapat interpretasi
serupa di Melayu dan tanah air Indonesia.
Tokoh tersebut adalah Hamzah Fansuri
dan Rongowarsito. Kedua tokoh ini
merupakan tokoh penggubah sastra Islam
melalui pemikiran dan gagasannya yang
mengandung kebenaran faktual, dan
ditemukan juga fantasi sastrawi umat
Islam. Redeskripsi pemikiran religius dari
kedua tokoh ini penting untuk dipahami
41 peningkatan kualitas diri di
sebagai upaya
era globalisasi sebagai penetralisir lakulaku kehidupan agar tetap berpegang
pada nilai-nilai Islam dan tidak keluar dari
batasannya.
Hamzah Fansuri adalah pelopor
sastra Islam Melayu melalui rubai yang
mengungkapkan pengalaman mistiknya
yang hidup sekitar abad ke 16-17 di
Kerajaan Aceh. Sebelum masa Hamzah
33
Perkembangan Konsep Sastra Islam (Bani Sudardi)
Fansuri tidak ditemukan karya sastra
berbetuk rubai dalam sastra Melayu klasik
(Drewes, 1986). Dalam perjalanan sejarah,
Hamzah Fansuri yang memiliki faham
wujudiyah dituduh memiliki ajaran sesat
sehingga atas perintah ulama Nuruddin
Arraniri karya-karya Hamzah Fansuri
dibakar dan pengikutnya disadarkan
sebagaiana tercantum dalam pendahuluan
kitab Fathul Mubin karya Nuridn Arraniri
(Bani Sudardi, 2001). Karya rubai Hamzah
Fansuri pernah mendapat syarah dari
muridnya yang bernama Syamsudin
Assamatrani dalam karyanya yang berjudul
Syarh Rubai Hamzah Fasnuri (Sudardi,
2001).
Hamzah Fansuri juga menghasilkan
karya-karya ilmiah berupa penjelasan
tentang paham tasauf seperti Al-Muntahi
dan Sharabul’Asyiqin. Kono, karya-karya
tersebut ditulis dalam bahasa Melayu
(Jawi) dengan maksud membantu orang
yang tidak memahami bahasa Arab dan
bahasa Parsi (Al-Attas, 1970).
Selain
Hamzah
Fansuri,
Ronggowarsito merupakan sastrawan
besar dalam kesusastraan Jawa terdapat
tokoh yang terkenal
yang bernama
lengkap Raden Ngabehi Ranggawarsito
dari Kasunanan Surakarta. Sastrawan
yang hidup pada abad 19 ini merupakan
sastrawan yang menggabungkan antara
faham Jawa dengan Islam. Karya yang
terkenal ialah Wirid Hiayat Jati yang
berisi ajaran kebatinan khas Jawa yang
bernuansa Islam (Romdon, 1996).
Karya-karya Ranggawarsito tidak
lain merupakan aktualisasi pengalaman
hidupnya. Semasa muda tokoh ini
mengembara
di
berbagai
pondok
pesantren dan bertualang sampai ke Bali.
Ia juga menjalani kehidupan kelam sebagai
34
penjudi. Karena itu, karyanyua merupakan
bentuk akulturasi yang unik. Dalam
kitabnya yang berjudul Paramayogya
ia mengungkapkan bahwa para dewata
tidak lain keturunan Nabi Adam.
Dimunculkan juga kisah tentang Nabi Isa
yang melepaskan burung merpati yang
mampu mengalahkan para dewa. Kisah ini
menunjukan pengaruh dari pergaulannya
dengan orang Eropa yang menganut agama
Kristen dengan tokoh utama Isa Almasih.
Kedua tokoh tersebut di atas adalah
tokoh penggerak sastra Islam yang
senantiasa istiqomah menciptakan karyakarya sastra yang berpedoman dengan
nilai-nilai Islam. Hal ini membuktikan
bahwa sesungguhnya sastra Islam memiliki
tujuan dan target yang jelas di balik
tindakannya, kenyataan ini datang dari
hakikat Islam yang besar bahwa seorang
sastrawan muslim harus membersihkan
dirinya dari perbuatan tercela. Akidah
dan akhlak adalah karakteristik utama
dari sastra Islam yang menjadi dasar dari
semua tema genre sastra Islam. Dasar
tema sastra Islam ini berbeda jauh dengan
dunia sastra Barat, khususnya Eropa,
yang mendasarkan diri pada sosialisme
dan eksistensialisme. Dalam sastra Barat
disebutkan oleh Karl Marx bahwa seorang
sastrawan wajib berpegang teguh pada
karyanya, baik tulisan maupun ucapannya.
Derajat yang tertinggi dan paling agung
keadaannya bagi seorang sastrawan
Muslim adalah menampakkan nilai-nilai
akidah dan akhlak kepada masyarakat
mukmin, yang bersumber dari Islam.
Sastra Islam harus menjauhkan diri
dari gelombang keraguan yang menerpa
umat Islam, dan sebaliknya harus
menawarkan kepada pembaca Muslim
untuk berkomitmen pada keyakinan Islam.
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 27-35
Sesungguhnya sastra Islam memiliki tujuan
dan target yang jelas di balik tindakannya.
Kenyataan ini datang dari hakikat Islam
yang besar bahwa seorang sastrawan
Muslim harus membersihkan dirinya
dari perbuatan tercela, atau mengatakan
suatu tanpa maksud, atau mengucapkan
perkataan tanpa memikirkan akibatnya,
apakah akibat yang akan menimpa dirinya
atau orang lain (Fadlil, 2011:170).
SIMPULAN
Jadi, sastra Islam ialah sastra
yang berpegang teguh pada akidah dan
akhlak sesuai dengan syariat yang telah
ditetapkan. Karakteristik sastra Islam
sangatlah beragam, tidak hanya dari
bentuk sastranya saja, namun substansinya
juga menjadi hal penting yang harus
diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad. (1970). The
Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala
Lumpur: University of Malaya Press.
Al-Basya, Abdurrahman Ra’fat. (1996).
Nahwa Madzhab Islamiy. Cairo:
Darul-Adab Al-Islamiy.
Al-Ghazali, Imam. (2007). Seberkas Cahaya
dalam Kegelapan. (Penerjemah; Ibnu
Hasan) Surabaya: Amelia Surabaya.
An-Nadhawiy, Muhammad Hasani ar-Rabi’.
(1985). Al-Adab Al-Islami wa Shiltuhu
bil-Hayah. Beirut: Muassasah Risalah.
Djien, Hong Oei. (2012). Seni dan
Mengoleksi Seni. Jakarta: Gramedia.
Drewes, G.W.J. (1986). The Poem of
Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris
Publications.
Jami,
Mawlana
Abu
ar-Rahman.
(2003). Pancaran Ilahi Kaum Sufi.
(penerjemah: Broer R. Soenardi).
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi.
Kamil, Sukron. (2009). Teori Kritik Sastra
Arab Klasik dan Modern. Jakarta:
Rajawali Press.
Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai Ilmu.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mansur, Fadlil Munawwar. (2011).
Perkembangan Sastra Arab dan Teori
Sastra Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Moeljanto., dan Ismail, Taufiq. (1995).
Prahara Budaya. Bandung: Mizan.
Nasrul Latifi, Yulia. (2008). Jurnal
Penelitian Agama, VOL XVII, NO
3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008.
Kajian Kesusastraan Arab di Era
Postmodernisme. UIN Yogyakarta.
Qutub, Muhammad. (1983). Manhaj al-Fan
al-Islāmī. Mesir: Dar Asy-Syurūq.
Ranggawarsita, R.Ng. (tanpa tahun) Serat
Paramayoya. Alih aksara Kamajaya.
Surakarta/ Yogyakarta: Yayasan
Mangadeg/ Yayasan Centhini.
Romdon. (1996). Ajaran Ontologi Aliran
Kebatinan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sambodja, Asep. (2001). Asep Sambodja
Menulis. Bandung: Ultimus.
Subijantoro, Atmosuwito. (2010). Perihal
Sastra dan Religiusitas dalam Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sudardi, Bani. (2001). Tonggak-tonggak
Sastra Sufistik. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Wargadinata, Wildana dan Fitriani, Laily.
(2008). Sastra Arab Lintas Budaya.
Malang: UIN
35
Download