BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak masa nabi SAW., penafsiran Al-Qur‟an berdasarkan ro’yu1 telah ada. Para
sahabat berijtihad
untuk memahami sebagian ayat al-Qur‟an apabila mereka tidak
mendapatkan penjelasan dari ayat lain atau dari Nabi saw.. Kemungkinan untuk berijtihad
bagi para sahabat sangatlah mudah, karena al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab dan
mereka paham benar tentang uslub, (tata bahasa). bahasa Arab. Selain itu para sahabat
mendapat bimbingan langsung dari Nabi saw..
Pada periode berikutnya, produk tafsir pada masa sahabat tersebut dijadikan sumber
rujukan oleh para tabi‟in untuk berijtihad memahami ayat-ayat yang ghumud, (samar)
sebagai penyempurnaan terhadap hasil penafsiran para sahabat (Mana‟ al-Qoththon, 1973:
338). Kemudian penyempurnaan penafsiran tersebut terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman para mufasirnya.
Kondisi
lingkungan
mufasir
mempengaruhi
terhadap
gaya
tafsir
yang
ditampilkannya. Terbukti adanya perbedaan aliran tafsir antara tafsir yang dihasilkan oleh
seorang mufasir satu madzhab dengan mufasir madzhab lainnya.
Oleh karena itu menurut penulis, tafsir merupakan salah satu media yang tepat untuk
menyampaikan pesan al-Qur‟an melalui ide dan gagasan para mufasir, dalam upaya
membimbing umat islam menuju mardhoti Alloh. Upaya tersebut harus senantiasa
1
Kata al-Ro‟yu adalah masdar (kata benda jadian) dari kata kerja roa. Menurut bahasa, ro’y u bisa berarti dugaan,
fikiran, pendapat. Lihat: Al-Munawir, Pustaka Progressif, hal. 496. menurut istilah tafsir, ro’yu berarti penjelasan
mengenai al-Qur‟an dengan jalan ijtihad apabila kriteria-kriteria mufasir telah terpenuhi. Lihat: Mahmud Basuni
Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur‟an Perkenalandengan metodologi Tafsir, Terjemah, Pustaka, Bandung, 1987, hal. 62.
1
diperjuangkan oleh kaum muslimin melalui penafsiran al-Qur‟an,karena al-Qur‟an
mengisyaratkan agar kaum muslimin memikirkan ayat-ayat al-Qur‟an, sehingga karenanya
bagi setiap orang yang mempunyai akal yang kuat mereka mendapat pelajaran (Q.S. 38: 29).
Dengan demikian al-Qur‟an benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum muslimin
(Q.S. 16: 89). Jadi dalam al-Qur‟an ada ayat-ayat yang bisa ditafsirkan oleh ro’yu bagi
orang-orang yang memiliki pemikiran yang tajam dan kuat.
Para mufasir yang membolehkan menafsikan al-Qur‟an dengan ro’yu berhujjah
dengan hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas:
“Bahwa Rasul saw. Berada dirumah Maemunah lalu aku menyediakan air baginya
untuk wudhu malam. Kata Ibnu Abbas kemudian Maemunah berkata: Wahai
Rasulullah yang menyediakan air untuk-Mu ini adalah Abdulloh bin Abbas. Maka
Rasul saw. Berdo’a: Wahai Tuhanku, berikanlah kepadanya keluasan paham dalam
ilmu agama dan ajarkanlah ta’wil2 kepadanya” (Musnad Ahmad, hal. 250) 33.
2
Ta’wil adalah kata benda jadian dari kata kerja „ala artinya kembali dan menjadi.adapun yang dimaksud dengan
ta’wil adalah memindahkan zhohir lafazh dari tempat asalnya kepada arti yang dibutuhkan karena ada dalil (yang
lain) tidaklah meninggalkan arti yang zhahir tersebut (Al-Nihayah fi Ghorib al-Hadits wa al-Atsar,Juz I, hal. 80).
Menurut Mana‟Qoththon: Ta’wil adalah tafsir al-kalam dua arti yang berdekatan atau dua persamaan arti
(Mana‟Qoththon,hal. 327).
3
Lihat juga: Musnad Ahmad, Juz I, hal. 266, 314, 335, Bukhori, Juz I,hal. 40, muslim, Juz 4, hal. 44.
2
Pada zaman sekarang, jika kita memperhatikan dan membaca karya-karya para
mufasir, maka kita akan melihat
kenyataan bahwa tafsir al-Qur‟an selalu dipengaruhi
perkembangan pikiran dan ilmu pengetahuan yang sedang menguasai suatu zaman, dan
mencerminkan pendapat, pemikiran, teori serta madzhab yang sedang berlaku pada zaman
itu, jarang sekali ada kitab tafsir yang kosong sama sekali dari pengaruh pikiran, pandangan
dan hukum yang sedang berlaku (Al-Baghdadi, 1988: 42).
Dari pernyataan tersebut diatas berarti terdapat kebolehan bagi kaum muslimin untuk
menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yunya, namun di pihak lain ada hadits yang diterma dari
sahabat bahwasanya Nabi saw., menyatakan melarang dengan sabdanya:
“Barang siapa mengatakan (menafsirkan ) al-Qur’an berdasarkan ro’yunya,biarpun
ro’yunya (ijtihadnya) itu benar, namun sesungguhnya dia dipandang salah” (Sunan
Tirmidzi, Juz 4, hal. 269 ) 4.
Melihat kedua bentuk pernyataan hadits tersebut di atas dari segi Zhahir lafazh
haditsnya sekilas nampak adanya kontradiktif antara hadits yang menyatakan kewenangan
mufasir menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yu dan yang menyatakan tidak ada kewenangan
mufasir menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yunya.
4
Lihat dalam Sunan Abu Daud, bab Ilmu ban nomor 5 hal 84. Dan Tafsir Thobari, Juz I,hal. 35
3
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa:
Pertama, Al-Qur‟an
mengisyaratkan adanya kewenangan bagi seorang yang mamiliki
kemampuan daya pikir serta pengetahuan yang dalam untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan
ro’yu.
Kedua, Adanya bukti bahwa para mufasir itu menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yu. Akan
tetapi, ada hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang menolak menafsirkan alQur‟an dengan ro’yu, bahkan dipandang salah sekalipun hasilnya itu benar.
Bertolak dari masalah tersebut, maka yang merjadi pokok permaslahan dalam
penelitian ini adalah meneliti kualitas hadits tentang anti ro‟yu dalam menafsirkan alQur‟an.
Agar pembahasan ini sistimatis, maka masalah ini akan penulis bagi kepada dua
masalah pokok, yaitu:
Pertama, Penelitian terhadap kualitas hadits-hadits tentang anti ro‟yu yang meliputi:
a.
Bagaimana keadaan sanad dan para periwayatnya;
b.
Bagaimana keadaan matan haditsnya.
Kedua, Penelitian terhadap kedudukan hadits-hadits tentang anti ro‟yu menurut pendapat
ulama yang meliputi:
a.
Bagaimana pendapat ulama hadits tentang kualitas hadits tersebut;
b.
Bagaimana pendapat ulama tafsir tentang kualitas hadits tersebut.
Dengan demikian, maka judul penelitian ini adalah hadits-hadits tentang anti ro‟yu
dalam penapsiran al-Qur‟an
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
1.
Untuk mengetahui kualitas hadits-hadits tentang anti ro‟yu baik kualitas sanadnya
maupun kualitas matannya
2.
Untuk mengetahui nilai kehujahan hadits-hadits tentang anti ro‟yu menurut ahli hadits
dan para mupasir bi al-ro‟yi.
D.
Kerangka Pemikiran
Hadits yang bisa dijadikan hujjah adalah hadits maqbul yaitu hadits shohih atau
hadits hasan dan hadits tersebut muhkam tidak marjuh dan tidak mansukh (Hasbi) 1980:219.
Untuk mengetahui kehujahan hadits tersebut dengan jalan memeriksanya. Ada dua
cara yang harus dilakukan dalam memeriksa hadits tersebut, yaitu (1) memeriksa sanadnya;
dan (2) memeriksa matannya.
Dalam memeriksa sanad yang harus dilakukan adalah (1) mencari mutabi‟ dan
syahid; dan (2)meneliti kuantitasnya (masyhur.‟aziz dan gorib); (3) meneliti kualitasnya
(shahih, hasan dan dho‟if); dan (4) menentukan maqbul dan mardudnya.
Dalam memeriksa matan yang harus dilakukan adalah meneliti otentisitas matan,
yaitu meneliti ada atau tidak adanya kecacatan (illat) dan kejanggalan (syudzudz) dalam
maknanya dan lafazhnya.
Untuk meneliti kualitas hadits, penulis menggunakan teori ilmu ushul al-takhrij dan
dirosah al-asanid. Kedua teori tersebut oleh A.Zarkasyi Chumaedy disebut dengan tipe
penelitian hadits. Dengan demikian ada dua tipe penelitian hadits: (1) tipe penelitian segi
5
takhrij; dan (2) tipe penelitian segi asanid (A. Zarkasyi Chumaedy dalam mimbar studi)
1991:95.
Kedua tipe penelitian hadits tersebut saling menunjang. Metode takhrij, memberikan
gambaran bagaimana cara untuk mengeluarkan hadits dari kitab sumber asalnya lengkap
dengan sanadnya, sedangkan metode penelitian asanid, membahas tentang silsilah rijal
isnad (mata rantai rangkaian penyandaran para periwayat) dengan cara memeriksa biografi
setiap periwayatnya.
Menurut Mahmud Thohan, dalam
metoda takhrij ada lima pendekatan untuk
mentakhrij hadits dari kitab sumber asalnya yaitu:
1.
Pendekatan perowi hadits dari sahabat;
2.
Pendekatan kalimat pertama dalam matan hadits;
3.
Pendekatan kalimat yang jarang ditemui dalam matan hadits;
4.
Pendekatan topik (judul masalah);
5.
Pendekatan sifat-sifat pada sanad atau matan.
Pada akhir penelitian takhrij, pentakhrij harus menunjukkan sumber asalnya dengan
menggunakan kalimat seperti:
atau
( Mahmud Thohan, 1978: 12)
Cara kerja metoda penelitian asanid mengacu kepada kriteria kesahihan hadits.
Kriteria kesahihan hadits ada lima, tiga, berkaitan dengan kriteria kesahihan sanad,dan dua
berkaitan dengan criteria kesahihan sanad dan matan hadits. Ketiga kriteria yang khusus
kesahihan sanad adalah:
6
1.
Sanad bersambung;
2.
Seluruh periwayat dalam sanad harus adil; dan
3.
Seluruh periwayat dalam sanad harus dhobit, sedangkan dua lagi yaitu keterhindaran
dari syudzudz dan illat selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad,juga kriteria
untuk kesahihan matan hadits (Syuhudi Ismail, 1988: 111)
Apabila satu syarat dari kelima syarat kesahihan hadits tersebut tidak terpenuhi yaitu
berkurang dalam kedhobitannya hadits tersebut sisebut hadits hasan. Dan jika tidak
terkumpul syarat hadits shahih dan hasan, maka hadits tersebut disebut hadits dho’if (Ajaj
al-Khotib, 1989: 305).
Dari kelima kriteria kesahihan hadits di atas,kemudian diturunkan dalam bentuk
tahapan cara kerja metode penelitian asanid, yaitu:
1.
Memeriksa biograpi para periwayat dalam sanad dari kitab terjemah (kitab yang
menghimpun biografi para periwayat);
2.
Menggaris bawahi bagian-bagian terpenting dari biograpi para periwayat. Seperti
waktu dilahirkan dan waktu meninggal, guru-guru dan muridnya, agar diketahui
bersambung atau tidaknya sanad;
3.
Membahas keadilan dan kedhabitan periwayat kemudian menyimpulkannya dengan
menggunakan kalimat
ْ‫ِشمَح‬
atau
ْ‫شَثَد‬
dan sebagainya;
4.
Memeriksa pada kitab-kitab illat hadits sebelum menentukan kualitasnya;
5.
Menentukan kualitas hadits baik sanadnya maupun matannya.
Penilaian sanad hadits menggunakan kata-kata:
atau
atau
7
Adapun untuk menentukan matan hadits yaitu dengan cara melihat apakah terdapat
kejanggalan (syudzudz) atau
kecacatan (illat), atau adakah diriwayatkan matan hadits
tersebut dengan sanad yang lain yang karena sanad
tersebut bisa berubah ketentuan
(kualitas) hadits.cara menentukan nilai hadits tersebut misalnya dengan perkataan:
,
atau
(Mahmud Thohah) 1978: 156-157.
E. Langkah-langkah Penelitian
Supaya pembahasan ini tersusun secara sistematis, maka pembahasan ini penulis
menyusunnya dalam langkah-langkah penelitian sebagai berikut:
Langkah pertama membahas tentang kedudukan dan kehujahan hadits dalam Islam.
Pembahasan pertama bertujuan untuk mengetahui peringkat hadits dalam kedudukannya
sebagai sumber hukum dalam Islam. Dalam kaitan ini hadits punya peran dan fungsi apa
terhadap al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam pertama. Dalam pembahasan kedua
bertujuan untuk mengetahui tingkat kualitas hadits beserta persyaratannya dan menyetujui
kriteria kahujahan hadits beserta cara-cara yang dipakai oleh para ulama dalam menentukan
kahujahan suatu hadits. Disamping itu, pembahasan dimaksudkan
juga sebagai dasar
pembahasan selanjutnya dalam usaha mengetahui dan menjelaskan hadits-hadits tentang
anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur‟an. Materi bahasan ini disajikan dalam bab II. Uraian
materi tersebut berdasarkan al-hadits,al-Qur‟an dan kaedah-kaedah ulum al-hadits yang
bersumber dari al-Qur‟an,al-hadits dan karya-karya ulama ahli ilmu hadits.
Langkah kedua mengkaji biograpi para perowi hadits tentang otoritas akal dan
membahas proses penelitian takhrij haditsnya.bahasan ini terdiri atas dua bagian: bagian
8
pertama membahas tentang sejarah singkat sahabat yang meriwayatkan hadits diatas, dan
bagian kedua membahas tentang kemutabi‟an dan proses penelitian takhrijnya.
Dalam proses penelitian ini, yaitu mentahrij hadits yang berhubungan dengan hadits
tentang otoritas akal dalam penafsiran Al-Qur‟an dari kitab asalnya. Tujuan penelitian
takhrij ini untuk mengetahui tekh aslinya dari mukhorrij (periwayat terakhir) dalam
kitabnya. Materi pembahasan ini disajikan dalam bab III. Sumber kajian dari kitab-kitab
biograpi sahabat dan dari kitab sumber asal baik kitab hadits maupun kitab tafsir.
Langkah ketiga membahas preoses penelitian sanad hadits-hadits tentang anti ro‟yu
dalam penafsiran al-Qur‟an dan menganalisisnya. Dalam bahasan penelitian ini merupakan
kelanjutan dari tahapan penelitian di bab III, yaitu menilai kualitas hadits tentang anti ro‟yu
dalam penafsiran Al-Qur‟an tersebut dengan cara meneliti sanadnya dan matannya serta
kandungannya. Penilaian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kualitas
hadits tersebut. Pada tahap akhir membandingkannya dengan pendapat ulama hadits dan
ulama tafsir bi al-ro‟yi. Tujuannya untuk menentukan kehujahan hadits tersebut. Materimateri tersebut disajikan dalam bab IV. Sumber kajian dari kitab-kitab karya ulama ahli
hadits dan karya mufasir bi al-ro’yi beserta kitab lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Berdasrkan jenisnya sumber kajian tersebut ada dua sumber yaitu:
1)
Sumber primer; dan
2)
Sumber sekunder.
Sumber primer untuk takhrij al-hadits adalah karya mukorrij al-hadits yang disebut
kitab sumber asal (mashodir al-ashliyah) dan sumber sekundernya adalah kitab-kitab
takhrij. Sumber primer untuk biografi para periwayat adalah kitab biografi para periwayat
kutub al-sittah, sedangkan sumber sekundernya adalah kitab-kitab syarah kutub al-
9
sittah,kitab rijal al-hadits dan kitab jaroh wa ta’dil.untuk mengetahui pendapat ulama
tafsir bi al-ro’yi sumber primernya adalah kitab tafsir karya mufasir bi al-ro’yi, dan sumber
sekundernya adalah kitab tafsir lainnya. Kitab penunjangnya adalah kitab-kitab ‘ulum alhadits, „ulum al-Qur’an, tarikh dan kamus.
Dengan demikian, pembahasan penelitian ini semuanya dilakukan dengan pengkajian
buku-buku perpustakaan. Pengkajian tersebut penulis lakukan dengan cara membandingkan
data dari satu sumber dengan sumber yang lainnya.
Langkah keempat menyusun kesimpulan penelitian. Hasil pembahasan di bab-bab
sebelumnya dirumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan sebagai jawaban atas
masalah-masalah yang diajukan pada penelitian ini. Penyajian kesimpulan ini penulis
sajikan pada bab IV.
BAB II
KEDUDUKAN DAN KEHUJAHAN HADITS DALAM ISLAM
10
A. Pengertian Hadits
Menurut bahasa, kata hadits berasal dari bahasa Arab; al-hadits; jamaknya: al-ahadits,
al-hidtsan dan al-hudtsan. Artinya: (1) al-Jadid (yang baru), lawan dari al-qodim (yang lama);
dan (2) al-khobar (kabar atau berita) Ibnu Manzhur (t.t:436-439) dalam Syuhudi Isma'il
(1983:24).
Pengertian hadits menurut istilah, sebagian besar ulama ahli hadits berpendapat bahwa alhadits searti dengan. Istilah al-khobar, al-atsar dan al-sunnah. Artinya yaitu:
ْٚ‫ْشٍ َأ‬٠ِ‫ْ َذمْش‬ٚ‫ْ فِؼًٍْ َأ‬ٚ‫ْيٍ َأ‬ٛ‫َعٍََُْ ِِْٓ َل‬ٚ ِْٗ١ٍََ‫ اهللُ ػ‬ٍََٝ‫يِ اهللِ ط‬ُٛ‫وًُُ َِا أُشِشَ ػَٓ سَع‬
ِ‫ غَاس‬ِٝ‫خحَُٕصِِٗ ف‬
َ‫َاءٌ أَوَاَْ رٌَِهَ لَثًَْ اٌثِؼْصَ ِح ن‬ٛ‫ع‬
َ ٍ‫ْ َشج‬١ِ‫ْ ع‬ٚ‫َحٍ َأ‬١ِ‫ْ خٍُُم‬ٚ‫ٍَج َأ‬ٟ‫طِفَحٍ خٍَْ ِم‬
.‫حِشَاءٍ َأَْ تَ ْؼ َذَ٘ا‬
Artinya : "Setiap sesuatu yang diperoleh yang datangnya dari Rasul saw. berupa perkataan,
perbuatan, budi pekerti atau biografi hidupnya baik sebelum diutus (jadi Rasul)
seperti bertahannuts (menyepi) di goa Hiro; atau sesudah diutusnya jadi Rasul (Ajjaj
Al-Khothib) 1989:19,27.
Dalam definisi yang lebih ringkas lagi dikatakan:
‫َ٘ا‬َٛ ‫ح‬
ْ َٔ ْٚ‫ْشًا َأ‬٠ِ‫ْ ذَمْش‬ٚ‫ْ فِؼًٍْا َأ‬ٚ‫ًٌْا َأ‬ٛ‫َعٍََُْ َل‬ٚ ِْٗ١ٍََ‫ اهللُ ػ‬ٍََٝ‫ِ ط‬ٟ‫ْفَ ٌٍَِٕ ِث‬١ِ‫َِا ُأض‬
Artinya : "Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan atau yang sebangsanya" (Al-Tarmisy) 1955:7.
Menurut sebagian ahli hadits lain dalam istilah-istilah di atas terdapat perbedaan yang
masing-masing mempunyai maksud tersendiri. Dalam kitab Tafsir Mushtholahu'l-Hadits karya
11
Mahmud Thohan (1985:15-16) dijelaskan bahwa istilah al-khobar lebih umum dari al-hadits. AlHadits hanya mencakup sesuatu yang datang dari Nabi saw., sedangkan al-khobar selain datang
dari Nabi saw. juga dari yang lainnya; al-atsar sesuatu yang disandarkan kepada shohabat dan
tabi'in baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu setiap hadits pasti khobar dan
tidak setiap khobar itu hadits. Orang yang menyibukkan diri kepada sunnah disebut muhaddits
dan yang menyibukkan diri pada sejarah dan yang lainnya disebut akhbari (Umar Hasyim)
1984:23-24.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam mendefinisikan hadits tersebut, disebabkan
terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan
sifat peninjauan mereka itu dapat disimpulkan bahwa pengertian hadits ada dua macam: (1)
pengertian hadits secara terbatas; dan (2) pengertian hadits secara luas. Pengertian hadits secara
terbatas yaitu pengertian hadits yang telah dikemukakan oleh jumhur muhadditsin di atas.
Pengertian hadits secara luas yaitu yang dikemukakan oleh sebagian muhadditsin. Di
antaranya Muhammad Mahfuzh dalam kitabnya Manhaj Dzawi al-Nazhor (l955 : 7) mengatakan
bahwa hadits tidak hanya mencakup sesuatu yang disandarkan (dimarfu'kan) kepada Nabi saw.
saja, tetapi juga perkataan dan perbuatan serta taqrir yang disandarkan kepada sohabat dan
tabi'in pun disebut. al-hadits. Dengan demikian hadits menurut ta'rif ini, meliputi segala berita
yang marf u', mauquf (disandarkan kepada shohabat) dan maqthu' (disandarkan kepada tabi'iy),
sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Mahfudh:
ِِٗ‫ تًَْ ظَاءَتِا ِءعٍَْال‬.ٍَََُ‫َع‬ٚ ِْٗ١ٍََ‫ اهللُ ػ‬ٍََٝ‫ِْٗ ط‬١ٌَِ‫ْعِ إ‬ٛ‫َخْ َرضُ تِاٌَّْشْ ُف‬٠‫ْسَ ٌَا‬٠ِ‫حذ‬
َ ٌْ ‫إَِْ ا‬
ِ‫ْع‬ٛ‫غ‬
ُ ‫َاٌَّْ ْم‬ٚ )ِِٖٛ ‫ح‬
ْ ََٔٚ ٍ‫ْي‬ٛ‫ِ ِِْٓ َل‬ٝ‫ اٌظَحَا ِت‬ٌََِٝ‫ْفَ إ‬١ِ‫ََِاُاض‬ُٛ٘ َٚ ( ِ‫ْف‬ٛ‫ْ ُل‬َّٛ ٌٍِْ ‫ضًا‬٠ْ َ‫أ‬
.)َ‫ِ َوزٌَِه‬ِٝ‫ْفَ ٌٍِرَاتِؼ‬١ِ‫ََِاأُض‬ُٛ٘ َٚ (
12
Artinya
: “Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya yang dimarfu‟kan kepada Nabi saw. Saja,
melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang „mauquf‟ (dihubungkan dengan
perkataan, dan sebagainya dari sahabat), dan apa yang „maqthu‟ (dihubungkan
dengan perkataan dan sebagainya dari tabi‟iy). (Fatchur-Rahman) 1970:27.
B. Kedudukan Hadits Dalam Syari'at Islam
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa Al-Hadits adalah salah satu sumber perundangundangan hukum Islam, tetapi ada pula sebagian kecil umat Islam yang menolak kehujahan
hadits sebagai sumber hukum Islam. Golongan yang menetapkan hadits sebagai salah satu dasar
perundang-undangan hukum Islam menetapkan
wajib menta'atinya. Golongan yang tidak
menetapkan hadits sebagai salah satu dasar perundang-undangan
hukum Islam hanya
mencukupkan dengan al-Qur'an saja. Golongan mayoritas umat Islam pun yang menetapkan
hadits sebagai salah satu dasar sumber perundang-undangan hukum Islam, berbeda pendapatnya
dalam meletakkan posisi kedudukan antara Al-Qur'an dengan Al-Hadits.
Dari perbedaan pendapat di atas, penulis hanya akan membahas dua masalah saja: (1)
dalil-dalil yang menetapkan hadits sebagai salah satu sumber dasar perundang-undangan hukum
Islam; dan (2) kedudukan hadits sebagai sumber dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an beserta
pendapat ulama madzhab yang empat tentang posisi kedudukan hadits sebagai sumber hukum
Islam setelah Al-Qur'an.
1. Dalil-dalil yang menetapkan Hadits Sebagai Salah Satu Sumber Dasar Hukum Islam.
Menurut Fatchur Rahman (1970: 61-62) dalil-dalil yang menetapkan hadits sebagai salah
satu sumber dasar perundang-undangan hukum Islam ada tiga: (1) berdasarkan petunjuk akal;
(2) berdasarkan petunjuk nash-nash al-Qur'an; dan (3) berdasarkan ijma‟ para shohabat.
13
Berdasarkan petunjuk akal bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Rasul Tuhan yang telah
diakui dan dibenarkan umat Islam untuk melaksanakan tugas Agama, Yaitu menyampaikan
hukum-hukum Syari'at kepada umat. Di dalam menyampaikan hukum-hukum Syari'at tersebut
Rasul saw. kadang-kadang membawakan peraturan-peraturan yang isi dan redaksinya telah
diterima dari Allah SWT. Dan kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan hasil
ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah SWT. Terkadang pula beliau membawakan hasil
ijtihad sendiri mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh
ilham. Hasil ijtihad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhnya. Sudah layak
sekali kalau peraturan-peraturan dan inisiatif beliau, kita tempatkan sebagai sumber hukum
positip. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Tuhan mengharuskan
kepada kita untuk mentaati segala peraturan yang dibawanya.
Berdasarkan petunjuk nash Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa kita
wajib ittiba' dan mentaati hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad, saw.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah:
a. Surat Al-Hasyr ayat 7 :
.)7 : ‫ا (اٌحشش‬َُٛٙ‫َا ُوُْ ػَُْٕٗ فَأْر‬َٙٔ ‫ََِا‬ٚ ُْٖٚ ‫خ ُز‬
ُ َ‫ْيُ ف‬ٛ‫ع‬
ُ َ‫ََِا أَذَا ُوُُ اٌش‬ٚ
Artinya : "Apa-apa yang disampaikan Rasululloh kepadamu, terimalah, dan apa-apa yang
dilarangnya bagimu tinggalkanlah" Depag (1971:9l6).
b. Surat Al-Nisa' (4) ayat 64;
ِ‫غَاعَ ِتِئرِْْ اهلل‬١ُ ٌِ َ‫يٍ إِّال‬ُٛ‫ََِآأَسْعٍََْٕا ِِٓ سَع‬ٚ
14
Artinya: "Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk dita'ati dengan idzin
Alloh" Depag (1971:129)
c. Surat Al-Ahzab (33) ayat 36
ِِْٓ ُ‫َ َشج‬١ِ‫ُُ اٌْخ‬ُٙ ٌَ َُْٛ‫َى‬٠ َْ‫ٌَُٗ أَِْشًا أ‬ُٛ‫َسَع‬ٚ ُ‫ اهلل‬َٝ‫َّالَ ُِؤَِِْٕحٍ ِإرَا َلض‬ٚ ٍِِْٓ‫ََِاوَاَْ ٌِ ُّؤ‬ٚ
}36 { ُِْ٘ ‫أَِْ ِش‬
Artinya : "Tidak layak bagi seorang Islam laki-laki dan perempuan apabila Alloh dan
Rasulnya telah
menetapkan suatu -peraturan- menggunakan hak pilihannya" Depag
(1971:673).
Berdasarkan ijma‟ shohabat menetapkan bahwa wajibul ittiba' terhadap hadits, baik pada
masa Rasululloh saw. masih hidup maupun setelah wafat. Semasa Rasul hidup, para sahabat taat
patuh terhadap peraturan-peraturan dan meninggalkan terhadap larangan-larangan Rasululloh.
Setelah Rasul wafat tetap mereka menanyakan ketentuan dalam hadits, jika mereka tidak
mendapatkan sesuatu hukum dalam nash al-Qur-an (Fatchur Rahman) 1970 : 61-62.
2. Kedudukan Hadits sebagai sumber Dasar Hukum Islam setelah Al-Qur'an dan Pendapat
ulama Madzhab yang empat Tentang Posisi Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum
Islam Setelah Al-Qur'an
Membahas kedudukan hadits sebagai sumber dasar hukum Islam tidak lepas dari fungsi
hadits terhadap al-Qur'an. Oleh karena itu untuk mengetahui kedudukan hadits tersebut terlebih
dahulu akan dijelaskan tentang fungsi hadits terhadap Al-Qur'an.
Fungsi hadits terhadap al-Qur'an ada tiga macam : Pertama; berfungsi menetapkan
(tatsbit) dan memperkukuh (taukid) apa-apa yang terdapat dalam al-Qur'an. Dalam hal ini
15
kedua-duanya satu martabat sebagai sumber hukum Islam; baik al-Qur'an maupun al-Hadits
sebagai wahyu Allah SWT. sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat An-Najm ayat 3
}4-3 : ُ‫ {إٌع‬َٝ‫ح‬ُٛ٠ ٌٟ‫ح‬
ْ َٚ‫ّال‬
َ ِ‫َ إ‬ُٛ٘ ِْْ‫ إ‬.ََٜٛٙ ٌْ‫غكُ ػَِٓ ا‬
ِ ْٕ َ٠‫ََِا‬ٚ
Artinya : "dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) Depag
(1971: 871)
Contohnya hadits-hadits yang menguatkan perintah kewajiban shalat, zakat, puasa, haji,
shodaqoh dan keharaman riba.
Kedua; hadits berfungsi menjelaskan al-Qur‟an menafsirkan yang masih samar
(mubham), memerinci (tafshil) yang masih mujlmal (global), memeberikan taqyid (persaratan)
yang masih muthlaq, mentakhsish ayat-ayat yang masih umum. Sebagaimana firman Allah
dalam surat an-Nahl ayat 44:
}44{ َُْٚ‫َرَفَىَش‬٠ ُُْٙ ٍََ‫ٌََؼ‬ٚ ُِْٙ ْ١ٌَِ‫َِٓ ٌٍَِٕاطِ َِأُضِيَ إ‬١َ‫هَ اٌزِوْشٌَِرُث‬١ْ ٌَِ‫َأَٔضٌََْٕآإ‬ٚ
Artinya : "Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (perintah-perintah, laranganlarangan, aturan-aturan dan lain-lain yang terdapat dalam al-Qur'an) dan supaya
mereka memikirkan. Depag (l971:408) (Al-A'zhomy) 1980:12.
Contohnya seperti menjelaskan cara-cara shalat, jumlah rakaat shalat dan waktu-waktu
shalat.
Ketiga : hadits berfungsi menetapkan hukum-hukum yang tidak terdapat nashnya dalam
al-Qur'an. Mengenai fungsi hadits ketiga ini Ajjaj al-Khotib (1989 : 49-50) mengutip pendapat
Imam Syafi'iy dalam kitab Risalahnya (1940: 88-89) yang mengatakan bahwa sesuatu hukum
16
yang dibuat (diadakan) oleh Rasul saw., yang bukan dari al-Qur'an, maka hal tersebut dihukumi
sunnahnya dengan hukum Allah, sebagaimana berita yang telah disampaikan Allah dalam
firman-Nya:
)٥٢:ٜ‫س‬ٛ‫ طِشَاطُ اهلل)(اٌش‬.ُْ١ِ‫ طِشَاطٍ ُِغْرَم‬ٌَِٝ‫ إ‬ِٜ‫ذ‬ْٙ َ‫َإِ َٔهَ ٌَر‬ٚ(
Artinya : "Dan sesuagguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Yaitu jalan Alloh. Depag (1971:791).
Rasul saw, telah membuat hukum bersumber dari kitab Allah, dan membuat aturan yang
tidak termuat dalam al-Qur‟an melalui petunjuk al-Kitab. Dan setiap sesuatu yang disunnahkan
oleh Rasul, maka Allah mewajibkan kepada kita untuk menurutinya, menurutinya berarti
mentaatinya. Dan perbuatan yang cenderung untuk tidak ittiba’ kepada sunnah adalah termasuk
inkar kepadanya.
Contohnya seperti pangharaman meminum arak dan haram memakan binatang buas
yang bertaring, larangan seseorang berpoligami terhadap seorang wanita dengan bibinya. Ajjaj
Al-Khotib (1989:46-30).
Dengan memperhatikan fungsi hadits terhadap al-Qur'an tersebut, maka dapatlah
dikatakan bahwa kedudukan hadits dalam perundang-undangan hukum Islam adalah sebagai
sumber dasar perundang-undangan hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an.
Para ulama berbeda pendapatnya dalam meletakkan posisi kedudukan hadits sebagai
dasar syari'at Islam. Diantaranya tokoh ulama madznab yang empat. Imam Syafi'iy dan imam
Ahmad Ibnu Hanbal keduanya meletakkan hadits sejajar dengan al-Qur'an, hanya saja diantara
keduanya ada perbedaan dalam mengambil hadits. Imam Syafi'iy mengambil hadis yang sohih
saja, sedangkan Ahmad mengambil hadits yang marfu‟. Dua imam madzhab lain yaitu Imam
17
Abu Hanifah dan Imam Malik ibnu Anas meletakkan hadits derajatnya menduduki kedua
setelah al-Qur'an. Hasbi Ash-Shiddieqy (1980:99-107).
C. Kualitas dan Kehujahan Hadits
1. Pembagian Hadits berdasarkan Kualitasnya
Para ulama berbeda pendapatnya dalam membagi hadits berdasarkan kualitas. Masalah
yang diperselisihkan adalah tentang memasukkan hadits hasan kepada pembagian tersebut.
Sebagian muhaddits memasukkan hadits hasan kepada hadits shohih, karena mereka melihat dari
segi hukum bahwa hadits shohih dengan hadits hasan sama-sama bisa dijadikan hujjah. Sebagian
lagi memandang
berdasarkan diterima atau tidaknya periwayatan, rowi yang diterima
riwayatnya, haditsnya disebut hadits shohih, sedangkan yang tidak diterima haditsnya disebut
hadits dloif. Oleh karenanya mereka membagi hadits menjadi dua bagian: (1) hadits shohih; dan
(2) dlo'if.
Akan tetapi, dalam sebagian hadits lain persyaratan rowi yang diterima riwayatnya tidak
mencapai derajat yang tinggi (shohih). Disebabkan karena tidak sempurna keteguhan hafalannya
dan kedlobitannya. Sedikit di bawah kedlobitan para periwayat hadits shohih. Mereka tergolong
derajat periwayat pertengahan antara shohih dengan dlo'if, tetapi haditsnya diterima dan
diamalkan. Dan terhadap yang demikian itu muhaddits menyebutnya hadits Hasan. Pendapat ini
diantaranya dikemukakan oleh Al-Turmudzi (Al-Sakhowy) 1968:16-17).
Dengan demikian. pembagian hadits berdasarkan kualitasnya menjadi tiga bagian, yaitu:
(1) shohih; (2) hasan; dan (3) dlo'if.
a. Hadits Shohih
Definisi hadits shohih adalah:
18
ُٖ‫َا‬َٙ‫ ُِْٕر‬ٌَِٝ‫َ َرظًُِ إِعَْٕا ُدُٖ تَِٕمًِْ اٌْ َؼذْيِ اٌضَا ِتظِ ػَِٓ اٌْ َؼذْيِ اٌضَا ِتظِ إ‬٠ ِٞ‫اٌَُّْغْ َٕذُ اٌَز‬
.‫ٌََا ُِؼًٍٍََا‬ٚ ‫ُْ شَارًا‬ُٛ‫َى‬٠ ‫ٌََا‬ٚ
Artinya : "Hadits yang bersanbung sanadnya diriwayatkan (dinukil) oleh periwayat yang adil
lagi dlobith dari periwayat yang adil dan dlobith sampai akhir sanad dan tidak
terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (illat). (Ibnu Al-Sholah) t.t.:6 dalam Ajjaj
al-Khotib (1989:304).
Dalam definisi yang lebih ringkas lagi adalah:
ٍ‫ٌََا شَار‬ٚ ًٍٍََ‫ْشُ ُِؼ‬١َ‫ػذْيٌ ذَاَُ اٌضَ ْثظِ ُِ َرظًُِ اٌغَ َٕذِ غ‬
َ ٍََُٗ‫َِا َٔم‬
Artinya : "Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung tidak ber'illat dan tidak janggal"
(Fatchur Rahman) 1970:
117.
Dari dua definisi hadits shohih di atas, maka dapat ditentukan bahwa syarat-syarat hadits
shohih ada lima, yaitu:
1. Sanadnya bersambung; dengan demikian tidak termasuk di dalamnya hadits yang tidak
sempurna persambungan sanadnya Ajjaj al-Khotib (1989:305). Yang dimaksud dengan sanad
bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari
periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari
hadits itu (Syuhudi Ismail) 1988:111.
2. Para periwayatnya bersifat adil, yaitu orang yang beragama Islam dan teguh dalam
beragamanya, bagus akhlaknya, selamat dari perbuatan fasik dan memelihara muruah.
Menurut Ibnu Qudamah muruah disamakan artinya dengan rasa malu.
19
3. Para periwayatnya bersifat dhobit.
Yang dimaksud dengan dlobit adalah; kesiapan periwayat ketika menerima dan memahami
hadits yang didengarnya, dan mampu menghapalnya dari sejak menerimanya sampai kepada
waktu
meriwayatkannya (waqta al-ada). Atau
keadaan periwayat itu hafizh (kuat
hafalannya) terhadap apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hapalannya itu
kapan saja ia menghendakinya, kuat pemahamannya apabila dia meriwayatkan dengan ma'na,
dan memelihara tulisannya dari tahrif (penambahan huruf) atau tabdil (penggantian huruf)
atau menguranginya ketika dia membacakan tulisannya sesuai dengan apa yang terdapat
dalam tulisannya dengan hapalannya (Ajjaj al-Khotib) 1989:305.
4. Terhindar dari syudzudz (kejanggalan)
Menurut Al-Syafi'iy hadits yang mengandung syudzudz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang tsiqot dan bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang juga bersifat Tsiqot Ibnu Solah (t.t.: 48) dalam Syuhudi Ismail
(1988:123). Dengan demikian dapatlah diriwayatkan, bahwa hadits syadz tidak disebabkan
oleh
kesendirian individu periwayat dalam sanad hadits, yang dalam ilmu hadits dikenal
dengan istilah hadits fard muthlaq (kesendirian absolut) atau periwayat yang tidak tsiqot.
Hadits baru berkemungkinan mengandung syudzudz bila: (a) hadits itu memiliki lebih dari
satu sanad, (b) para periwayat hadits itu seluruhnya tsiqot; dan (c) matan dan atau sanad
hadits itu ada yang mengandung pertentangan. Menurut al-Hakim apabila periwayat yang
sendirian itu bersifat tsiqot, kemudian haditsnya memiliki mutabi atau syahid, maka kesyadzan hadits tidak terjadi (Syuhudi Ismail) 1988:122.
5. Selamat dari kecacatan (illat)
20
Menurut istilah ilmu hadits pengertian illat adalah suatu penyakit yang samar-samar, yang
dapat menodai kesahihan suatu hadits. Contohnya periwayat meriwayatkan hadits secara
muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur salah seorang sahabat yang
meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqothi (yang gugur salah seorang periwayatnya)
dan sebaliknya. Demikian juga dapat dianggap suatu illat hadits, yaitu suatu sisipan yang
terdapat pada. matan hadits (Fatchur Rahman) 1970:122-123.
Illat hadits sebagaimana juga syudzudz hadits, dapat terjadi pada matan, sanad atau pada
keduanya sekaligus. Akan tetapi yang terbanyak, illat hadits terjadi pada sanad.
Pembagian Hadits Shohih
Hadits shohih terbagi kepada dua bagian: (1) shohih lidzatih; dan (2) shohih lighoirih.
Shohih lidzatih yaitu hadits yang lengkap mencakup semua persyaratan hadits shohih,
sedangkan sohih lighoirih yaitu hadits yang tidak sempurna syarat-syarat kesahihannya. Seperti
periwayatnya adil tapi tidak sempurna kedlobitannya, apabila hadits ini memiliki jalan lain, maka
dia disebut shohih lighoirih. Jadi kesahihannya karena ada dukungan hadits (dari jalan) lain
(Ajjaj al-Khatib) 1989:306. Demikian pula hadits hasan bisa naik jadi sohih lighoirih jika
memiliki banyak jalan sebagaimana akan dibahas dalam pembahasan hadits hasan.
b. Hadits Hasan
Henurut Ajjaj Al-Khotib (1989:332) definisi hadits hasan adalah:
.ٍ‫ٌََا ػٍَِح‬ٚ ٍ‫ر‬ْٚ ‫ش ُز‬
ُ ِ‫ْش‬١َ‫اٌَحَغَُٓ َِا ا َذظًََ عَ َٕ ُذُٖ تِ َؼذْيِ خَفَ ضَ ْثغُُٗ ِِْٓ غ‬
Artinya : "Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rowi
yang adil, sedikit kurang kedlobitannya dan terhindar dari kejanggalan dan
kecacatan".
21
Dari ta'rif tersebut dapat dipahani bahwa perbedaan antara hadits shohih dengan hadits
hasan adalah: (a) hadits shohih disyaratkan sempurna kedlobitannya; dan (b) hadits hasan
disyaratkan asal saja periwayatnya dlobit sekalipun tidak sempurna kedlobitannya.
Hadits hasan terbagi dua bagian: (1) hasan lidzatih; dan (2) hasan lighoirih. Hasan
lidzatih yaitu segala sesuatu yang tercakup dalam pembahasan ta'rif hadits hasan di atas. Hasan
lighoirih asalnya hadits dlo'if yang memiliki banyak jalan dan kedloifannya bukan karena sebab
kefasikkan periwayatnya dan bukan pula karena kedustaannya.
c. Hadits Dlo'if
Definisi hadits dloif menurut istilah muhaddits adalah:
ِِٗ‫ع‬ْٚ ‫َعْ َّغْ طِفَحَ اٌْحَغَِٓ تِفَ ْمذِ شَ ْشطٍ ِِٓ شُ ُش‬٠ ٌَُ ‫َِا‬
Artinya : "Setiap hadits yang tidak terkumpul padanya sifat (syarat-syarat) hadits hasan karena
hilang satu diantaranya dari syarat-syarat hadits hasan" (Mahmud Thohan) 1985:63.
Hadits dlo'if bisa naik nilainya menjadi hadits hasan apabila: (a) diriwayatkan oleh lebih
dari satu jalan; dan (b) sebab kedloifannya karena jelek hapalan periwayatnya atau kareaa
terputus sanadnya atau samar dalam rangkaian periwayatnya (Mahmud Thohan) 1985:52.
2.
Jalan yang Ditempuh para Ulama dalam Mencari Kualitas Hadits
Bagi setiap peneliti hadits dalam menentukan kualitas hadits terlebih dahulu harus
menempuh jalan takhrij dan dirosah al-asanid, selanjutnya memberikan penilaian terhadap
kualitas hadits yang ditelitinya.
a. Takhrij
Takhrij menurut istilah para muhaddits adalah:
22
َْ‫َا‬١َ‫ أَخْشَظَرُْٗ تِغَ َٕ ِذِٖ ُشَُ ت‬ِٝ‫َحِ اٌَر‬١ٍِْ‫ألط‬
َ ‫ َِظَادِ ِسِٖ ا‬ِٝ‫ْسِ ف‬٠ِ‫حذ‬
َ ٌ‫ضغِ ا‬
ِ ْٛ َِ ٍََٝ‫َاٌذٌَِاٌَحُ ػ‬
.ِ‫َِشْذَثَرَُٗ ػِ ْٕذَ اٌْحَاظَح‬
Artinya : "Penunjukkan hadits dalam kitab sumber asalnya yang dikeluarkan lengkap dengan
sanadnya. Kemudian dijelaskan martabat (kualitas)nya (Mahmud Thohan) 1978:12.
Dari ta'rif itu dapatlah dikatakan bahwa takhrij adalah penelitian kembali terhadap haditshadits yang terdapat dalam sebuah kitab yang disebutkan oleh penyusunnya mengenai sumber
pengambilan hadits tersebut, atau tidak disebutkan sama sekali sumbernya. Kemudian peneliti
hadits melihat kembali pada sumber asalnya, selanjutnya memeriksa rangkaian sanadnya
sehingga dia (peneliti) dapat menentukan kualitasnya.
Yang disebut kitab sumber asal adalah kitab yang disusun dengan cara menghubungkan
dalam
rangkaian sanad sejak mukhorrij sampai kepada Nabi saw. seperti: kutub al-sittah,
Muatho Malik, Musnad Ahmad, Mustadrok Al-Hakim, Mushonnaf Abdu1-Roziq. Selain kitabkitab tersebut ada juga. kitab-kitab mushonnafat yang di dalamnya. terdapat hadits, dengan
syarat penyusunnya tidak mengambil dari kitab lain, tetapi dia sendiri langsung menerimahaditsnya langsung dari gurunya; yang mungkin sanadnya. sampai kepada Nabi saw. seperti:
kitab tafsir, fiqh dan. sejarah (tarikh).
Jalan yang ditempuh oleh para muhadditsin dalam mentakhrij suatu hadits melalui salah
satu dari lima cara berikut ini:
1. Mentakhrij hadits dengan cara melihat periwayat hadits dari shohabat.
Cara ini bisa dilakukan apabila dalarn hadits yang akan diteliti tersebut nama shohabat. Jika
tidak, maka tidak bisa dilakukan penelitian.
23
Apabila dalam haditsnya tersebut nama shohabat, maka kita harus mencarinya berdasarkan
nama-nama periwayat dari golongan shohabat. Untuk itu kita mencari dalam salah satu yang
tiga: (1) al-masanid (kitab yang tersusun berdasarkan nama seluruh shohabat yang
meriwayatkan hadits) seperti Musnad Ahmad bin Hambal; (2) al-Mu’jam (kitab hadits yang
tersusun berdasarkan nama shohabat, guru-guru atau negara secara berurutan menurut huruf
mu'jam (abjad Arab) seperti Al-Mu'jam Al-Kabir Al-Thobrony; (3) Kutub Al-Athrof (kitab
hadits yang tersusun berdasarkan
matan
hadits yang ditulis ujungnya atau awalnya
kemudian disebutkan sanadnya). Mahmud Thohan (1978:29-47).
2. Mentakhrij hadits dengan cara melihat awal lafazh matan hadits.
Cara ini bisa dilakukan dengan bantuan beberapa kitab di antaranya: (1) kitab-kitab yang
tersusun berdasarkan hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat yang kebanyakan
susunannya berdasarkan huruf mu'jam. Seperti kitab al-tadzkirroh fi al-ahadits; (2) kitabkitab hadis yang disusun berdasarkan tertib huruf mu'zam seperti Al-jami' Al-Shoghir Min
Hadits Al-Basyir Al-Nadzir oleh Al-Suyuthi; (3) kitab 'al-Mafatih fii al-Faharis yang disusun
oleh para ulama untuk kitab yang tertentu. Seperti kitab Miftah Al-Shohihaen dan Fihris Li
Ahadits (shohih Muslim) al Qouliyah (Mahmud Thohan (1978:63-89).
3. Mentakhrij hadits dengan cara melihat kalimat (yang jelas yang mudah diucapkan/dari juz
(bagian) dari matan hadits. Kitab yang dipergunakan untuk membantu cara ketiga ini ialah
kitab Al-Mu'jam Al-Mufahros Li Alfadzh Al-Hadits Al-Nabawy. Seperti kitab yang terkenal
susunan seorang orientalis yang bernama Doktor Arndjan Winsink (-1939). Kitab ini
mencakup sembilan kitab sumber asal yaitu : kutub al-Sittah, Muatho Malik. Musnad Ahmad
bin Hambal dan Musnad Al-Darimy Mahmud Thohan (1978:91-92).
4. Mentakhrij hadits dengan cara melihat judul hadits (pokok bahasan).
24
Cara keempat ini tidak semua orang dapat
melakukannya karena cukup sulit untuk
menentukan isi pokok bahasan dalam suatu hadits kecuali mereka yang memiliki perasaan
dan keilmuannya tinggi. Untuk memudahkannya bisa dilihat dalam kitab yang tersusun
berdasarkan bab-bab dan judul-judul yaitu:
a. Kitab al-Mushonnafat yang mencakup semua bab-bab keagamaan seperti: Al-Jawami',
Al-Mustakhrojat wa Al-Mustadrokat 'Ala Al-Jawami', Al-Zawaid dan kitab Miftah Kunuz
Al-Sunnah;
b. Kitab yang sebagian besar bab-bab keagamaan. Seperti: Al-Sunan Al-Mushonnafat, AlMua-thoat dan Al-Mustakhrojat 'Ala Al-Sunan;
c. Kitab yang khusus berisi sebagian bab-bab keagamaan. Seperti: Al-Ajza, Al-Targhib wa
Al-Tarhib, Al-Ahkam, Maudlu'at, kitab-kitab takhrij (Thohan) 1978:108.
5. Mentakhrij hadits dengan cara melihat keadaan matan dan sanad hadits.
Mentakhrij hadits dengan cara yang kelima ini ialah meneliti keadaan dan sifat-sifatnya yang
terdapat pada sanad dan matan hadits atau secara bersamaan.
a. Matan, yaitu jika terdapat tanda-tanda: hadits tersebut sulit diucapkan (rikakah)
lafazhnya, rusak artinya atau bertentangan dengan al-Qur'an. Hal ini bisa dilihat dalam
Al-Maudlu'at;
b. Sanad, seperti:
1. Terdapat seorang ayah
meriwayatkan hadits dari anaknya. Maka kitab sumber
pentakhrijannya diambil dari kitab-kitab hadits riwayat al-Aba 'an Al-Ab-na susunan
Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khotib Al-Baghdady (463 H);
25
2. Atau keadaan sanadnya, musalsal, maka, bisa dilihat dalam kitab Al-Musalsalat AlKubro susunan Al-Suyuthi dan kitab Al-Manahil Al-Salsalah Fi Al-Ahadits AlMusalsalah susunan Muhammad Abdul-Baqy Al-Ayuby;
3. Atau sanadnya mursal. Maka bisa dilihat dalam kitab Al-Marosil susunan Abu Baud
Al-Sijistany dan kitab Al-Marosil susunan Abu Hatim Abdul-Rahman bin Muhamnad
Al-Hanzholy Al-Rozy (327 H).
c. Melalui matan dan sanad secara bersamaan
Yaitu melihat sifat-sifat dan keadaan hadits yang terkadang terdapat dalam matan dan
terkadang pula terdapat dalam sanad. Seperti illat (kecacatan) dan ibham (kesamaran).
Jika mendapat hadits seperti ini maka harus dilihat dalam:
1. Kitab Ilal Al-Hadits karangan Ibnu Abi Hatim Al-Rozy;
2. Kitab Al-Asma Al-Mubhamah Fi Al-Abna Al-Muhkamah karangan Al-Khotib AlBaghdady;
3. Kitab Al-Mustafadu Min Mubhamat Al-Matan wa Al-Isnad Karangan Abu Zur'ah
Ahmad bin Abdi Al-Rohim Al-Iroqy Mahmud Thohan (1978:148-151).
b. Dirosah Al-Asanid Wa Al-Hukmu 'Ala Al-Hadits
(Penelitian Sanad dan Penentuan Kualitas Hadits)
Yang dimaksud dengan dirosah al-asanid adalah meneliti silsilah (mata rantai) rangkaian
periwayat dalam sanad dengan cara menerjemahkan masing-masing periwayat tersebut, untuk
selanjutnya menentukan kualitas sanad tersebut.
Ilmu bantu yang diperlukan untuk penelitian sanad adalah ilmu Jarh wa ta'dil dan tarikh
al-ruah. Oleh karena itu sebelum menjelaskan tata kerja penelitian sanad (dirosah al-asanid),
26
penulis lebih dahulu akan menjelaskan kedua ilmu itu dalam masalah-masalah yang berkaitan
erat dengan kerja penelitian sanad.
Ilmu jar'h dan ta'dil yaitu suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rowi dari segi
diterima atau ditolaknya periwayatan, sedangkan ilmu tarikh al-ruah adalah ilmu yang
membahas tentang kapan dan dimana seorang periwayat dilahirkan, dari siapa ia menerima
hadits, siapa orang yang pernah mengambil hadits dari padanya dan akhirnya diterangkan pula
dimana dan kapan ia wafat (Fatchur Rahman) 1970:295 dan 307
1. Syarat-syarat periwayat yang diterima
Telah sepakat jumhur Muhadditsin bahwa rowi (periwayat) yang diterima riwayatnya
adalah harus memiliki dua syarat pokok, yaitu: (1) adil; dan (2) dlobith. Tentang arti dan syarat
adil dan dlobith bisa dilihat kembali dalam persyaratan hadits shohih halaman 9-10.
a. Penetapan keadilan periwayat
Sekalipun unsur-unsur syarat keadilan telah ada, tetapi tidak semua orang bisa menentukan
bahwa seseorang periwayat adalah adil. Walau demikian keadilan bisa ditetapkan dengan
dua perkara:
1. Ketentuan dari ulama jarh dan ta'dil dalam kitabnya;
2. Atau dengan
kemasyhurannya mengenai kejujurannya, keteguhan dan ketekunan
dzikirnya. Seperti Malik bin Anas, Sufyan Al-Tsaury dan Sufyan Ibnu Uyainah, AlAuza'iy dan Al-Laets bin Sa'ad.
b. Cara mengetahui kedlobitan periwayat
Cara untuk mengetahui kedlobitan para periwayat yaitu dengan melihat kesesuaian
ketsiqotan dan al-mutqinin fi al-riwayah (keteguhan dan kebagusan dalam periwayatannya).
Jika sesuai dalam periwayatannya maka dia dlobit (Mahmud Thohan) 1978:159-160.
27
2. Apakah diterima Jarh dan Ta'dil dengan tidak Menjelaskan sebab-sebabnya
a. Menurut madzhab yang masyhur penta'dilan diterima sekalipun tidak dijelaskan sebabsebabnya, karena sebab-sebab keadilan banyak, sulit untuk menyebutkannya;
b. Adapun. tentang jarah (kecacatan) tidak diterima kecuali harus diterangkan dan
dijelaskan sebab-sebabnya, karena tidak sulit menyebutkannya.
Jika berkumpul jarh dan ta'dil pada seorang rowi, maka menurut golongan yang
mu'tamad (kuat) harus didahulukan jarh. Itu pun Jika kecacatannya dijelaskan, tetapi apabila
kecacatannya samar, maka didahulukan ta'dil.
Bagaimana Jika penetapan
kecacatan dan keta'dilan tersebut hanya oleh seorang.
Menurut golongan yang shohih ditetapkan jarh dan ta'dil dengan ucapan seorang dari ahli jarh
dan ta'dil sekalipun hanya seorang abid atau seorang wanita.
3. Lafazh-Lafazh Jarh dan Ta'dil dan Tingkatan-tingkatannya
Abu Hatim Al-Rozy dalam muqoddimah kitabnya (Al-Jarhu wa Al-Ta'dil) membagi
setiap lafazh jarh dan ta'dil kepada empat tingkatan dan menjelaskan hukumnya dari setiap
martabatnya. Kemudian Al-Dzahaby dan Al-Iroqy menambah satu martabat kepada martabat
ta'dil yaitu di atas nomor satu dari urutan tingkatan Abu Hatim, yaitu lafazh tautsiq seperti
(‫ق‬
‫زج‬
‫ ) شمح‬atau
( ‫ق حعح‬
‫) زج‬. Kemudian Al-Hafizh Ibnu Ha-jar Al-'Asqolany menambah lagi satu tingkatan
di atas urutan yang telah ditambah oleh Al-Dzahaby dan Al-'Asqolany yaitu lafazh shighot altafdlil seperti
( ‫عق إٌاط‬ٚ‫ ) أ‬atau
28
( ‫) أشثد إٌاط‬,
maka jadilah tingkatan ta'dil menjadi enam tingkatan. Mahmud Thohan
(1978:163).
a. Tingkatan-tingkatan Lafazh Ta'dil
Pertama: lafazh yang menunjukkan kepada sheghat mubalaghah (kata-kata yang
mengandung kelebihan) dalam mentsiqotkan, atau kepada wazan af'ala. Lafazh-lafazh ini
derajatnya lebih tinggi. Seperti:
ٝ‫ ف‬ٝٙ‫ٗ إٌّر‬١ٌ‫فالْ إ‬
sipulan orang yang paling top keteguhan hati dan
:
‫اٌرصثد‬
lidahnya,
ٝ‫شا ف‬١‫ّال أػشف ٌٗ ٔظ‬
di dunia ini tidak ada orang yang setara
:
‫ا‬١ٔ‫اٌذ‬
‫فالْ أشثد إٌاط‬
dengannya
si anu orang yang paling teguh hapalan dan
:
keadilannya
‫أشك اٌخٍك‬
: orang yang paling terpercaya
ِٓ ‫شك ِٓ أدسود‬ٚ‫أ‬
dia orang yang paling kepercayaan diantara orang:
‫اٌثشش‬
orang yang saya temukan.
Kedua: lafazh yang dita'kid (dikukuhkan) dengan satu sifat atau dua sifat dari sifat-sifat tautsiq
seperti:
29
‫شمح شمح‬
‫شمح شثد‬
‫شثد حعح‬
ِْٛ‫شمح ِؤ‬
‫شمح حافظ‬
: kepercayaan, kepercayaan,
: kepercayaan lagi teguh,
: teguh lagi hujjah,
: kepercayaan lagi dapat memegang amanat;
: kepercayaan lagi hafizh.
Ketiga: lafazh yang menunjukkan kepada ketsiqotan periwayat dari segi ta'kid (pengukuhan),
seperti:
‫شمح‬
‫حعح‬
‫شثد‬
‫وؤٔٗ ِظحف‬
‫ػذي ضاتظ‬
: orang yang kepercayaan,
: orang yang petah lidahnya,
: orang yang teguh,
: dia bagaikan mushhaf,
: adil lagi dhobit.
Keempat: Lafazh yang menunjukkan kepada penta'dilan periwayat yang tidak mencerminkan
kedhobitan. seperti:
‫ق‬ٚ‫طذ‬
‫ِحٍٗ اٌظذق‬
: orang yang sangat jujur,
: orang yang berstatus jujur
30
ٗ‫ّال تؤط ت‬
ِْٛ‫ِؤ‬
‫اس‬١‫خ‬
: orang yang tidak cacat,
: dapat memegang amanat,
: orang pilihan.
Kelima: Lafazh yang tidak nenunjukkan kepada pentsiqot-an atau kepada tajrih, seperti:
‫خ‬١‫فالْ ش‬
‫ ػٕٗ إٌاط‬ٜٚ‫س‬
ٛ٘ ‫ اٌظذق ِا‬ٌٝ‫إ‬
‫عظ‬ٚ
‫عظ‬ٚ ‫خ‬١‫ش‬
: Si pulan seorang guru,
: orang-orang meriwayatkan hadits darinya,
: kejujuran ada padanya,
: orang yang pertengahan,
: seorang guru dan seoraag yang pertengahan.
Keenam: Lafazh yang mendekati kepada tajrih. seperti:
‫س‬٠‫طاٌح اٌحذ‬
ٗ‫ص‬٠‫ىرة حذ‬٠
ٗ‫ؼرثش ت‬٠
‫س‬٠‫ِماسب اٌحذ‬
‫طاٌح‬
: seorang yang sholeh haditsnya,
: haditsnya tertulis,
: dia termasuk katagori,
: yang sedang keadaannya dalam hadits,
: yang sholeh
(Mahmud Thohan) 1978:163-l64.
Derajat hukum dari masing-masing tingkatan ta‟dil tersebut adalah:
31
a. Tingkatan ta‟dil dari kesatu sampai dengan ketiga bisa dijadikan hujjah sekalipun
tingkatannya ada yang lebih kuat;
b. Tingkatan keempat dan kelima tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadits mereka ditulis dan
diikhtibar (diperiksa serta diteliti) kedhobitannya dengan cara memadukan hadits mereka
kepada hadits-hadits yang siqot (kepercayaan) Jika sesuai, maka bisa dijadikan hujjah
haditsnya; jika tidak, maka tidak bisa. Seperti derajat shoduq tidak bisa dijadikan hujjah
haditsnya sebelum diikhtibar (diperiksa dan diteliti). Tingkatan keenam tidak bisa dijadikan
hujjah, tetapi hadits mereka ditulis hanya untuk i'tibar saja tidak diikhtibar karena sudah jelas
mereka tidak dhobit (Mahmud Thohan) 1978: 16^-165.
b. Tingkatan-tingkatan Lafazh Jarh
Pertama: lafazh yang menunjukkan kepada talyin (pelunakkan), seperti:
‫س‬٠‫ٓ اٌحذ‬١ٌ ْ‫فال‬
‫ٗ ِماي‬١‫ف‬
‫ف‬١‫صٗ ضؼ‬٠‫ حذ‬ٝ‫ف‬
‫ظ تزان‬١ٌ
ِْٛ‫ظ تّؤ‬١ٌ
: si polan lembut (lemah) haditsnya,
: padanya diperbincangkan,
: dalam haditsnya terdapat kelemahan,
: orang yang tidak ada artinya,
: tidak boleh dipegang perkataannya.
Kedua : Lafazh yang tidak jelas menunjukkan kepada ketidak hujjahannya, seperti:
ٗ‫حرط ت‬٠ ‫فالْ ّال‬
: si pulan tidak dapat dibuat hujjah haditsnya,
32
‫ف‬١‫ضؼ‬
‫ش‬١‫ٌٗ ِٕاو‬
ٖ‫ا‬ٚ
ٖٛ‫ضؼف‬
: orang yang lemah,
: padanya terdapat kemunkaran hadits
: orang yang banyak duga-duga,
: para ulama melemahkannya.
Ketiga: Lafazh yang jelas menunjukkan bahwa haditsnya tidak tertulis, seperti:
ٗ‫ص‬٠‫ىرة حذ‬٠ ‫فالْ ّال‬
: si anu haditsnya tidak ditulis,
ٕٗ‫ح ػ‬٠‫ا‬ٚ‫ّال ذحً اٌش‬
: tidak halal meriwayatkan hadits darinya,
‫ف ظذا‬١‫ضؼ‬
‫اٖ تّشج‬ٚ
ٗ‫ص‬٠‫ا حذ‬ٛ‫عشح‬
: sangat lemah,
: orang yang terus banyak duga
: haditsnya dicampakkan.
Kempat : Lafazh yang menunjukkan kepada ittiham (prasangka) dusta, seperti:
‫ُ تاٌىزب‬ٙ‫فالْ ِر‬
‫ضغ‬ٌٛ‫ُ تا‬ٙ‫ِر‬
‫س‬٠‫غشق اٌحذ‬٠
‫عالظ‬
‫ظ تصمح‬١ٌ
: si pulan tertuduh dusta,
: tertuduh memalsukan hadits,
: pencuri hadits,
: seorang yang gugur,
: bukan orang kepercayaan.
33
Kelima: Lafazh yang menunjukkan kepada sifat dusta:
‫فالْ وزاب‬
‫دظاي‬
‫ضاع‬ٚ
: si pulan sangat pendusta,
: pengrusak,
: seorang yang banyak memalsukan hadits
‫ىزب‬٠
: dia berdusta,
‫ضغ‬٠
: orang yang memalsukan hadits.
Keenam: Lafazh yang menunjukkan kepada mubalaghoh (kedustaan yang sangat). Ini derajat
jarh yang paling jelek:
‫فالْ أوزب إٌاط‬
‫ اٌىزب‬ٝ‫ ف‬ٝٙ‫ٗ إٌّر‬١ٌ‫إ‬
‫ سوٓ اٌىزب‬ٛ٘
‫ ِظذس اٌىز ب‬ٛ٘
‫ضغ‬ٌٛ‫ا‬ٜ‫ ف‬ٝٙ‫ٗ إٌّر‬١ٌ‫إ‬
: si pulan orang yang paling dusta,
: kepadanya puncak kedustaan
: dia tiang tonggak dusta,
: dia sumber kedustaan
: padanya puncak kepalsuan hadits
Derajat hukum dari masing-masing tingkatan jarh tersebut adalah:
a. Tingkatan kesatu dan kedua sama sekali haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi
haditsnya ditulis hanya untuk i’tibar saja;
b. Tingkatan ketiga sampai dengan keenam haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak
ditulis dan tidak dii’tibar (Mahmud Thohan) 1978:165-166.
34
4. Tata Kerja Penelitian (Dirosah) Sanad
Acuan utama dalam melakukan tata kerja penelitian sanad adalah syarat-syarat hadits
shohih. Mengenai syarat-syarat hadits shohih periksa kembali halaman 21-23. Dari syarat-syarat
hadits shohih tersebut diturunkan dalam bentuk tahapan tata kerja penelitian sanad sebagai
berikut:
a. Mengeluarkan terjemah Para Periwayat dalam sanad dari kitab-kitab terjemah.
Di antara kitab-kitab terjemah rowi atau disebut juga kitab rijal adalah:
1. Al-Mushonnafat fi ma'rifat al-shohabat
Seperti; Al-Isti'ab bi ma'rifat al-ashhab oleh Ibnu Abdi'1-bar al-Andalusy
2. Al-Mushonnafat fi al-thobaqot .(kitab-kitab thobaqot) seperti:
a. Al-Thobaqot al-Kubro susunan Abi Abdillah Muhammad bin Sa'ad;
b. Tadzkiroh al-huffazh susunan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin 'Utsman alDzahaby.
3. Kitab-kitab ruat (para periwayat) hadits yang umum, seperti:
a. Al-farikh al-Kubro susunan Imam Bukhori
b. Al-Jarh wa al-Ta'dil oleh Ibnu Abi Hatim
4. Kitab-kitab rijal yang disusun untuk kitab-kitab yang khusus, seperti:
a. Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma'rifati Ahli Al-Tsiqoh wa al-Sadad karangan Abu
Nashr Ahmad bin Muhammad Al-Kilabadzy. Kitab ini khusus untuk terjemah rowi
shohih Bukhcry;
b. Tahdzib Al-Tahdzib susunan Ibnu Hajar Al-'Asqolany khusus untuk kitab-kitab sunan
yang enam.
5. Kitab yang husus membahas periwayat yang tsiqot, seperti:
35
a. Kitab Al-Tsiqot oleh Abu'l-Hasan Ahmad Bin Abdullah bin Sholih Al-Ijly;
b. Kitab Al-Tsiqot oleh Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busty.
6. Kitab yang khusus membahas periwayat yang lemah (dho'if), seperti:
a. Kizan Al-I'tidal bi Naqdi Al-Rijal oleh Al-Dzahaby
b. Lisan Al-Kizan oleh Ibnu Hajar Al-'Asqolany
7. Kitab Rijal yang husus membahas periwayat dalam negara tertentu, seperti:
a. Mukhtashor Thobaqot 'Ulama Ifriqiyah wa Tunis oleh Abdu'l-Arob Muhammad bin
Ahmad Al-Qirwany;
b. Tarikh Baghdad oleh Ahmad bin 'Aly bin Tsabit Al-Khotib Al-Baghdady (Mahmud
Thohan) 1978 : 169-206.
b. Membahas keadilan dan kedhobithan para periwayat, supaya diketahui bersambung atau tidak
sanadnya, yaitu:
1. Tempat
kelahirannya
dan
tempat
meninggalnya,
negaranya
dan
pengembaraannya (rihlah);
2. Menerjemahkan para mudallis terutama apabila haditsnya mu'an'an dan mereka
tidak menjelaskan secara sima' (kata-kata yang menunjukkan bahwa mendengar
langsung dari gurunya)
3. Perkataan-perkataan para ulama yang menjelaskan bahwa sebagian rowi
mendengar langsung dari sebagian yang lain atau tidak mendengarnya, seperti:
ْ‫أْ فالٔا عّغ ِٓ فال‬
bahwa si pulan telah mendengar haditsnya
:
langsung dari si anu,
ِٓ ‫غّغ‬٠ ٌُ ‫أْ فالٔا‬
Bahwa si pulan tidak mendengar langsung
:
haditsnya dari si anu.
36
ْ‫فال‬
c. Menyimpulkan hasil pembahasan keadilan kedhobithan para periwayat, sebagai berikut:
1. Lafazh-lafazh jarh dan ta'dil dalam setiap terjemah kemudian meletakkan lafazhlafazh tersebut sesuai dengan tingkatannya;
2. Pertentangan
jarh
dan
ta'dil
pada
seorang
periwayat
bagaimana
menyelesaikannya;
3. Ada atau tidaknya istilah khusus bagi lafazh jarh dan ta'dil (ulama-ulama yang
mudah menentukan jarh dan ta'dil.
5. kata-kata yang menjelaskan bahwa si rowy meriwayatkan hadits dari kawankawannya sebaya umurnya atau seperguruan (riwayat al-aqron).
d. Melihat kitab-kitab illat sebelum menentukan kualitas hadits; supaya
diketahui ada atau
tidaknya kecacatan dan kejanggalan (syudzudz).
Kitab-kitab yang merabahas illat hadits adalah:
a. Ilal al-Hadits oleh Abu Hatim;
b. Al-'Ilal wa Ma'rifah Al-Rijal oleh Ahmad bin Hanbal;
c. Al-Ilal oleh Ibnu Al-Hadany;
d. Al-'Ilal Al-Kabir Wa Al-'Ilal Al-Shoghir oleh Al-Turmudzy;
e. Al-'Ilal Al-\Yaridah Fi Al-Ahadits Al-Nabawy oleh Al-Daru Quthny.
e.
Memberikan penilaian kepada hadits yang diteliti. Penilaian hadits yang dianggap cukup
baik menggunakaa perkataan: shohihu al-isnad (sanadnya sohih), atau hasanu al-isnad
(sanadnya hasan), atau dho' ifu al-isnad (sanadnya lemah). Mahmud Thohan (1978:217235).
37
3. Kehujahan Hadits dan Mengamalkannya
Hadits-hadits yang bisa digunakan uatuk berhujah disebut hadits maqbul dan hadits yang
tidak diterima sebagai hujjah disebut hadits mardud. Yang disebut hadits maqbul ialah: (1) hadits
shohih, baik shohih lidzatih maupun shohih lighoirih; dan (2) hadis hasan, baik hasan lidzatih
maupun hasan lighoirih. Sedangkan yang termasuk hadits mardud ialah segala macam hadits
dho'if.
Hadits maqbul menurut sifatnya ada yang bisa diamalkan dan ada yang tidak bisa
diamalkan. Hadits maqbul yang bisa diamalkan disebut maqbul ma'mulun bih. Dan yang tidak
bisa diamalkan disebut hadits maqbul ghoyru ma'mulun bih. Hadits-hadits maqbul yang
ma'mulun bih ialah:
a. Hadits Muhkam: yakni hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits lain, yang
dapat mempengaruhi artinya;
b. Hadits Mukhtalif (berlawanan) yang dapat dijamakan (dikompromikan). Kedua hadits yang
berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-duanya;
c. Hadits rajih : yaitu hadits yang terkuat diantara dua hadits yang berlawanan maksudnya;
d. Hadits Nasikh: yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum
yang terkandung dalam hadis yang datang lebih dulu darinya.
Hadits maqbul yang ghoyru ma'mulun bih ialah :
a. Hadits mutasyabih: yaitu hadits yang sukar difahani maksudnya, lantaran tidak cepat
diketahui ta'wilnya;
b. Hadits mutawaqquf fih : yakni dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang
tidak bisa dijamakan (dikompromikan), ditarjihkan dan dinasakhkan;
38
c. Hadits marjuh : yakni hadits maqbul yang ditenggang oleh hadits maqbul lain yang labih
kuat;
d. Hadits mansukh: yakni hadits yang telah dihapuskan oleh hadits maqbul yang datang
kemudian;
e. Hadits maqbul yang ma'nanya berlawanan dengan Al-Qur'an hadits mutawatir, akal yamg
sehat dan ijma‟ ulama.
(Fatchur Rahman) 1970:143-147.
BAB III
ANALISIS TERHADAP HADITS-HADITS MENGENAI
ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR'AN
A. Teks Hadits yang Terdapat dalam Kitab-kitab Hadits dan Kitab Tafsir bi al-Ma'tsur
Hadits mengenai anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur'an berdasarkan kitab al-Mu'jam almufahros li al-Fazh al-Hadits al-Nabawi karya Dr. A. J. Wensinck terdapat dalam sunan
Turmudzi dan sunan Abu Daud (A.J.Vensinck) 1943 :-204. Berdasarkan kitab Tuhfah alAhwadzi sarah Sunan al-Turmudzi, hadits tentang anti ro‟yu tersebut terdapat pula dalam tafsir
al-Thobari.
39
Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hadits yang terdapat dalam kitab sunan Tirmidzi
ٛ٘ٚ ‫ً اتٓ ػثذ اهلل‬١ٙ‫ حثاْ تٓ ٘الي أخثشٔا ع‬ٕٝ‫ذ حذش‬١ّ‫حذشٕا ػثذ تٓ ح‬
ٓ‫ ػٓ ظٕذب ت‬ٝٔٛ‫ ػّشاْ اٌع‬ٛ‫ حذشٕا أت‬ٝ‫ حضَ اٌمغؼ‬ٛ‫ حضَ أخ‬ٝ‫اتٓ أت‬
ْ‫ اٌمشآ‬ٝ‫عٍُ (ِٓ لاي ف‬ٚ ٗ١ٍ‫ اهلل ػ‬ٍٝ‫ي اهلل ط‬ٛ‫ لاي سع‬: ‫ػثذ اهلل لاي‬
.)268 .‫ ص‬4 ‫ ض‬ٜ‫ فؤطاب فمذ أخغؤ) (ذشِز‬ٞ‫تشأ‬
ٖ
Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami Abd bin Hamid dari Habban bin Hilal
dari Suhel ibn Abdillah (dia adalah Ibn Abi Hazm sudara nazm al-Qutho'i) dari
Abu 'Iron al-Juni dari Jundub bin 'Abdillah ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
saw. (Barang siapa yang berkata (menafsirkan) al-Qur'an berdasarkan kepada
ro'yunya semata, kemudian hasil penafsirannya itu benar maka sesungguhnya dia
itu dipandang salah) Sunan Tirmidzi Juz 4 (tt : 268).
40
‫‪SKEMA 1‬‬
‫‪HADITS TENTANG ANTI RO’YU‬‬
‫‪DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN PADA SUNAN TIRMIDZI‬‬
‫لاي سع‪ٛ‬ي اهلل طٍ‪ ٝ‬اهلل ػٍ‪ٚ ٗ١‬عٍُ‬
‫ِٓ لاي ف‪ ٝ‬اٌمشآْ تشأ‪ ٗ٠‬فؤطاب فمذ‬
‫أخغؤ‬
‫لاي‬
‫ظٕذب تٓ ػثذ اهلل‬
‫ػٓ‬
‫أت‪ ٛ‬ػّشاْ اٌع‪ٝٔٛ‬‬
‫حذشٕا‬
‫ع‪ ً١ٙ‬اتٓ ػثذ اهلل‬
‫أخثشٔا‬
‫حثاْ تٓ ٘الي‬
‫‪41‬‬
‫حذشٕ‪ٝ‬‬
2. Hadits yang terdapat dalam kitab sunan Abu Daud
ٜ‫ب تٓ إعحاق اٌّمش‬ٛ‫ؼم‬٠ ‫ أخثشٔا‬ٟ‫ح‬٠ ٓ‫حذشٕا ػثذ اهلل تٓ ِحّذ ت‬
ْ‫ ػّشا‬ٛ‫ أخثشٔا أت‬ٝ‫ حضَ اٌمغؼ‬ٛ‫شاْ أخ‬ِٙ ٓ‫ً ت‬١ٙ‫ أخثشٔا ع‬ِٝ‫اٌحضش‬
‫ وراب‬ٝ‫عٍُ (ِٓ لاي ف‬ٚ ٗ١ٍ‫ اهلل ػ‬ٍٝ‫ي اهلل ط‬ٛ‫ لاي سع‬: ‫ػٓ ظٕذب لاي‬
.)‫ٗ فؤطاب فمذ أخغؤ‬٠‫اهلل تشأ‬
Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami 'Abdu Alloh bin Muhammad bin Yahya
dari Ya'qub bin Ishaq al-Muqri al-Hadhromi dari Suhel bin Mihron saudara Hazm
al-Qutho'i dari Abu 'Imron dari Jundub ia berkata : telah bersabda Rasululloh saw:
(Barang siapa berkata (menafsirkan) Kitab Alloh (al-Qur'an) berdasarkan kepada
ro'yunya, kemudian hasil penafsirannya itu benar, maka sesunggunya dia
dipandang salah) (Abu Daud).
Gambaran skematis dari hadits di atas adalah:
42
‫‪SKEMA II‬‬
‫‪HADITS TENTANG ANTI RO’YU‬‬
‫‪DALAM PENAFSIRAN AL-QUR'AN PADA SUNAN ABU DAUD‬‬
‫لاي سع‪ٛ‬ي اهلل طٍ‪ ٝ‬اهلل ػٍ‪ٚ ٗ١‬عٍُ‬
‫أطاب‬
‫ِٓ لاي ف‪ ٝ‬وراب اهلل تشأ‪ ٗ٠‬ف‬
‫فمذ أخغؤ‬
‫لاي‬
‫ظٕذب‬
‫ػٓ‬
‫أت‪ ٛ‬ػّشاْ‬
‫أخثشٔا‬
‫ع‪ ً١ٙ‬اتٓ ِ‪ٙ‬شاْ‬
‫أخثشٔا‬
‫‪٠‬ؼم‪ٛ‬ب تٓ إعحاق اٌّمش‪ٜ‬‬
‫أخثشٔا‬
‫ػثذ اٌٍح تٓ ِحّذ تٓ ‪٠‬ح‪ٝ١‬‬
‫حذشٕا‬
‫أت‪ ٛ‬دا‪ٚ‬د‬
‫‪43‬‬
3. Hadits yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Thobari sebagai berikut:
‫ حذشٕا حثاْ تٓ ٘الي لاي‬: ‫ لاي‬،ٜ‫ُ اٌؼٕثش‬١‫حذشٕا اٌؼثاط تٓ ػثذ اٌؼظ‬
ْ‫ ػٓ ظٕذب أ‬ٝٔٛ‫ ػّشاْ اٌع‬ٛ‫ حذشٕا أت‬: ‫ حضَ لاي‬ٝ‫ً تٓ أت‬١ٙ‫حذشٕا ع‬
‫ٗ فؤطاب‬٠‫ اٌمشآْ تشأ‬ٝ‫ (ِٓ لاي ف‬: ‫عٍُ لاي‬ٚ ٗ١ٍ‫ اهلل ػ‬ٍٝ‫ي اهلل ط‬ٛ‫سع‬
.35 .‫ ص‬،1 ‫ ض‬ٝ‫فمذ أخغؤ) اٌمشعث‬
Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami al-'Abbas bin Abdi al-'Azhim al-'Anbari dari
Habban bin Hilal dari Suhel bin Abi Hazm dari 'Imron al-Juni dari Jundub
bahwasanya Rasululloh saw telah bersabda: (Barang siapa mengatakan (menaf
sirkan) al-Qur'an berdasarkan kepada ro'yunya semata kemudian hasil penafsirannya
itu benar, maka sesungguhnya dia itu dipandang salah) Tafsir al-Thobari Juz 1
(1968:35).
Gambaran skematis dari hadits di atas adalah
44
‫‪SKEMA III‬‬
‫‪HADITS TENTANG ANTI RO’YU‬‬
‫‪DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN PADA TAFSIR AL-THOBARI‬‬
‫أْ سع‪ٛ‬ي اهلل طٍ‪ ٝ‬اهلل ػٍ‪ٚ ٗ١‬عٍُ‬
‫لاي ‪:‬‬
‫ِٓ لاي ف‪ ٝ‬اٌمشآْ تشأ‪ ٗ٠‬فؤطاب فمذ‬
‫أخغؤ‬
‫لاي‬
‫ظٕذب‬
‫ػٓ‬
‫أت‪ ٛ‬ػّشاْ اٌع‪ٝٔٛ‬‬
‫حذشٕا‬
‫ع‪ ً١ٙ‬تٓ أت‪ ٝ‬حضَ‬
‫حذشٕا‬
‫حثا ْ تٓ ٘الي‬
‫حذشٕا‬
‫اٌؼثاط تٓ ػثذ اٌؼظ‪ ُ١‬اٌؼٕثش‪ٜ‬‬
‫حذشٕا‬
‫اتٓ ظش‪٠‬ش اٌغثش‪ٜ‬‬
‫‪45‬‬
Hadits yang terdapat dalam kitab sunan Tirmidzi
‫أح‬ٛ‫ ػ‬ٛ‫ أخثشٔا أت‬، ٍٝ‫ اٌى‬ٚ ‫ذ تٓ ػّش‬٠ٛ‫ أخثشٔا ع‬، ‫غ‬١‫و‬ٚ ٓ‫ا ْ ت‬١‫حذ شٕا عف‬
ٗ١ٍ‫ اهلل ػ‬ٍٝ‫ ط‬ٝ‫ش ػٓ اتٓ ػثاط ػٓ إٌث‬١‫ذ تٓ ظث‬١‫ ػٓ عؼ‬ٍٝ‫ػ‬٢‫ػٓ ػثذ ا‬
‫أ‬ٛ‫رث‬١ٍ‫ ِرؼّذا ف‬ٍٝ‫ إّالِا ػٍّرُ فّٓ وزب ػ‬ٕٝ‫س ػ‬٠ ‫ا اٌحذ‬ٛ‫ ( اذم‬: ‫عٍُ لا ي‬ٚ
ٜ‫ أ ِمؼذٖ ِٓ إٌاس ) (ذشِذ‬ٛ‫رث‬١ٍ‫ٗ ف‬٠‫ اٌمشآْ تشأ‬ٝ‫ِٓ لاي ف‬ٚ ، ‫ِمؼذٖ ِٓ إٌاس‬
ٓ‫س حغ‬٠ ‫ ٘ز ا حذ‬.) 268 .‫ ص‬4 ‫ض‬
Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami Supyan bin waki dari suwed bin amr Al- kali
dari Abu awanah dari Abd Al- A‟la dari Said bin jubair dari Ibn Abbas dari Nabi SAW
ia bersabda : ( Bertakwalah kamu sekalian terhadap Hadits dariku kecuali kamu sekalian
tidak mengetahuinya, barang siapa yang berbohong kepadaku dengan disengaja maka
bersiap-siaplah kamu sekalian berada di dalam tempat api neraka dan barang siapa yang
berkata menafsirkan Al-Qur‟an dengan akalnya maka bersiap-siaplah kamu sekalian
berada di dalam tempat api neraka) sunan tirmidzi juz 4 (tt : 268)
Gambaran skematis dari hadits di atas adalah :
46
‫‪SKEMA IV‬‬
‫‪HADITS TENTANG ANTI RO’YU‬‬
‫‪DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN PADA SUNAN TIRMIDZI‬‬
‫ػٓ إٌث‪ ٝ‬طٍ‪ ٝ‬اهلل ػٍ‪ٚ ٗ١‬عٍُ لاي‪ :‬اذم‪ٛ‬ا اٌحذ ‪٠‬س ػٕ‪ ٝ‬إّالِا ػٍّرُ‬
‫فّٓ وزب ػٍ‪ِ ٝ‬رؼّذا فٍ‪١‬رث‪ٛ‬أ ِمؼذٖ ِٓ إٌاس ‪،‬‬
‫‪ ِٓٚ‬لاي ف‪ ٝ‬اٌمشآْ تشأ‪ ٗ٠‬فٍ‪١‬رث‪ ٛ‬أ ِمؼذٖ ِٓ إٌاس‬
‫‪47‬‬
ٓ‫ػ‬
‫اتٓ ػثاط‬
ٓ‫ػ‬
‫ش‬١‫ذ تٓ ظث‬١‫عؼ‬
ٓ‫ػ‬
ٍٝ‫ػ‬٢‫ػثذ ا‬
ٓ‫ػ‬
‫أح‬ٛ‫ ػ‬ٛ‫أت‬
‫أخثشٔا‬
ٍٝ‫ اٌى‬ٚ ‫ذ تٓ ػّش‬٠ٛ‫ع‬
‫أخثشٔا‬
‫غ‬١‫و‬ٚ ٓ‫ا ْ ت‬١‫عف‬
‫حذ شٕا‬
ٜ‫اٌرشِز‬
Dari ketiga kitab sumber asal tersebut, dapat dilihat bahwa matan hadits yang terdapat
pada kitab Sunan Abu Daud ada perbedaan dalam lafazhnya dari matan hadits yang terdapat
pada Sunan Tirmidzi dan kitab tafsir al-Thobari. Perbedaan tersebut terletak pada kalimat
sedangkan riwayat Turmudzi dan Ibnu Jarir al-Thobari menggunakan kalimat
‫وراب‬
ْ‫اٌمشآ‬, sekalipun
demikian tidak merubah maknanya. Dengan demikian hadits tersebut adalah riwayat bi almakna.
Hadits ini tidak ada syahidnya, sebab tidak ada lagi rowi lain dari golongan sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut baik lafazhnya maupun maknanya selain Jundub bin 'Abdillah.
Dengan demikian hadits Jundub bin Abdillah tentang anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur'an
hanya ada tabinya.
Untuk lebih memperjelas kemutabi'an hadits tersebut, penulis gambarkan rangkaian
sanad hadits-hadits tersebut dalam sebuah skema sebagai berikut :
48
‫‪SKEMA V‬‬
‫‪KEMUTABI’AN HADITS TENTANG ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN‬‬
‫‪AL-QUR’AN‬‬
‫لاي سع‪ٛ‬ي اهلل طٍ‪ ٝ‬اهلل ػٍ‪ٚ ٗ١‬عٍُ ِٓ لاي ف‪ٝ‬‬
‫اٌمشأْ تشأ‪ ٗ٠‬فؤطاب فمذ أخغؤ‬
‫لاي‬
‫ظٕذب تٓ ػثذ اهلل‬
‫ػٓ‬
‫ات‪ ٛ‬ػّشاْ اٌع‪ٟٔٛ‬‬
‫حذشٕا‬
‫ع‪ ً١ٙ‬اتٓ ػثذ اهلل‬
‫أخثشٔا‬
‫أخثشٔا‬
‫‪٠‬ؼم‪ٛ‬ب تٓ اعحاق اٌّمش‪ٜ‬‬
‫اٌحضشِ‪ٝ‬‬
‫حثاْ تٓ ٘الي‬
‫أخثشٔا‬
‫ػثذ اهلل تٓ ِحّذ تٓ ‪٠‬ح‪ٟ‬‬
‫حذشٕا‬
‫اٌؼثاِ‪ ٝ‬تٓ ػثذ اٌؼغ‪ُ١‬‬
‫حذشٕا‬
‫ا ت‪ٛ‬دا ‪ٚ‬د‬
‫حذشٕ‪ٝ‬‬
‫ػثذ تٓ حّ‪١‬ذ‬
‫حذشٕا‬
‫حذشٕا‬
‫إ تٓ ظش‪٠‬ش اٌغثش‪ٜ‬‬
‫ذشِ‪١‬ز‪ٜ‬‬
‫‪2‬‬
‫‪3‬‬
‫‪49‬‬
‫‪1‬‬
Dalam skema V di atas yang dicari mutabi'nya
adalah hadits turmudzi yang
bersandarkan Abd bin Hamid, Hibban bin Hilal, Suhel Ibn Abdillah, Abu 'Imron al-Juni dan
Jundub bin Abdillah. Maka penulis peroleh bahwa :
a. Hadits Ibn Jari (hadits II) adalah mutabi’ qoshir terhadap hadits Turmudzi. Karena
mengikutinya mulai dari guru-gurunya al-Turmudzi, yaitu Hibban bin Hilal terus gurunya
Turmudzi yang agak jauh yaitu Suhel Ibn Abdillah terus Abu Imron al-Juni dan Jundub bin
Abdillah, Jadi tidak seluruhnya guru Turmudzi diikuti.
b. Demikian pula hadits Abu Daud (hadits III) jadi mutabi' qoshir terhadap hadits Turmudzi.
Apalagi hadits Abu Daud ini mengikutinya sejak guru Turmudzi yang agak jauh yaitu Suhel
Ibn Abdillah terus mengikuti Abu Imron al-Juni sampai pada guru Turmudzi yang terjauh
yaitu sahabat Jundub bin Abdillah. Hadits Abu Daud ini pun sama dengan hadits Ibn jarir
tidak mengikuti seluruhnya guru al-Turmudzi.
Dilihat dari segi sanadnya hadits ini termasuk hadits ghorib. Karena sejak tabi'in sebagai
asal sanad yaitu Abu Imron al-Juni sampai pada tabi'ittabi'in yaitu Suhel Ibnu Abdillah tidak ada
lagi rowi lain yang meriwayatkan. Maka berdasarkan penyendirian dari segi sanadnya, hadits ini
ghoribnya adalah ghorib muthlaq.
50
B. Tinjauan Hadits tentang anti ro’yu dalam Penafsiran al-Qur'an Berdasarkan Kaedah
Kesahihan Hadits
Berdasarkan kaedah kesahihan hadits, penelitian hadits meliputi : (1) peneliti sanad; dan
(2) penelitian matan. Penelitian sanad mencakup: (1) tinjauan para periwayat yang terdiri diatas:
(a) biograpi para periwayat; (b) keadilan dan kedhobitan para periwayat; (c) kecacatan dan
kejanggalan para periwayat, (2) tinjauan kemuttashilan rangkaian sanad. Dan terakhir dari
penelitian sanad adalah penilaian hasil penelitian sanad. Dalam penelitian matan meliputi
kecacatan dan kejanggalan pada matannya.
1. Tinjauan Para Periwayat Hadits
A. Biograpi Para Periwayat Hadits
1. Biograpi para periwayat hadits yang melalui jalur al-Turmudzi, sebagai berikut :
1. Al-Turmudzi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Suroh bin Dhohak Abu Isa al-Turmudzi. Ia lahir
pada tahun 200 H. Diantara gurunya adalah Qutaybah, Ibn Said, Ishak bin Musa, al-Bukhori,
Hannad dan yang lainnya.
Di antara muridnya adalah Abu Hamid, Ahmad bin Abd Alloh, Ibn Daud al-Tajir, al-Hasyim,
Muhammad bin Mahbub dan yang lainnya. Ia wafat tahun 279 H.
2. Abd bin Hamid
Nama lengkapnya adalah Abd bin Hamid bin Nashr al-Kasysyi Abu Muhammad, ada pula
yang menyebutnya Abd al-Majid.
Diantara gurunya adalah : Ja'far bin Awn, Abu Usa-mah, Abdullah Bakar al-Sahmi, Yazid
bin Harun, Ibn Abi Fudek, Ahmad bin Ishak al-Hadhromi, al-Hasan al-Asyib, al-Husen alJu'fi, Ruh bin Ibadah, Sa'id bin 'Amir, Abd al-Rozaq, Abd al-Shomad bin Abd al-Warits,
51
'Umar bin Yunus al-Yamami, 'Ali Ibn 'Ashim, Muhammad bin Basyar al-Abdi, Muhammad
bin Bakar al-Burhani, Mash'ab bin al-Miqdam, Abi al-Walid al-Thoyalisin dan yang lainnya.
Diantara muridnya adalah : Muslim, al-Turmudzi 'Abd bin Hamid meninggal di Damsyiq
tahun 249 H.
3. Habban bin Hilal
Nama lengkapnya adalah Habban bin Hilal al-Bahali Kunyahnya Abu Habib al-Bashori.
Dia Meriwayatkan hadits dari Hammad bin Salamah, Syu'bah, Daud bin Abi al-Farot, Jarir
bin Hazm, Sa'id bin Zaed, Muslim bin Zarir, Abd Ribbah bin Baroq, Abdu al-Warits bin
Sa'id, Hammam, Abi Awanah, Mubarok bin Fadholah, Ma'mar, Mahdi bin Maemun, Abd bin
Hamid dan yang lainnya.
Habban bin Hilal meninggal di Bashroh tahun 216 H (Ibn Hajar) 1984 :149.
4. Suhel Ibn Abdillah.
Nama lengkapnya adalah Suhel bin Abi Hazm, namanya adalah Mahron disebut juga
Abdullah al-Qutho'i. Dia meninggal sebelum sodaranya yaitu Hazm, sedangkan Hazm
meninggal tahun 175 H.
Dia meriwayatkan hadits dari Tsabit al-Banani, Abi Imron al-Juni, Yunus bin 'Ubyd, Malik
bin Dinar dan Iddah.
Murid-muridnya adalah Zaed bin al-Habbab, Abi Qutaybah, al-Maabi bin Imron, Ya'qub bin
Ishak al-Hadhromi, Habban bin Hilal, Ibn 'Uyaynah dan yang lainnya, (Ibn Hajar) 1984:229.
5. Abu Imron al-Juni
Nama lengkapnya Abd al-Muluk bin Habib al-Azdi disebut juga al-Kudi Abu Imron al-Juni
al-Bashofi. Dia meninggal tahun 123 H.
52
Dia meriwyatkan hadits dari Jundub bin Abdillah al-Bajali, Anas. Abi Faros Robi'ah bin
Kaab al-Aslami dan yang lainnya.
Murid-muridnya adalah: Anaknya Awbad, Sulaeman al-Taeni, Ibn 'Awn, Abu "Amir alKhoroz, Syu'bah, Aban, Abu Qudamah al-Harits bin 'Ubed, Hamam bin Yahya, al-Hamadan,
Ziad bin al-Rob'i, Salam Abi Muthi, Abd al-Aziz dan yang lainnya.
6. Jundub bin Abdillah
Nama lengkapnya adalah Jundub bin Abdillah bin Sufyan al-Bajali al-'Alaqi, sebutan
kunyahnya adalah Abu „Abdillah. Menurut Ibn Mu'in selain nama Jundub bin Abdillah nama
lain baginya adalah Jundub bin Kholid bin Sufyan. nama tersebut dinasabkan kepada
kakeknya (Ibn Abi Hatim) 1952:511.
Jundub meriwayatkan hadits dari Rasululloh saw, Hudzayfah dan dari 'Ubay bin Ka'ab.
Murid-muridnya adalah dari ahli Kufah, Abd al-Malik bin 'Umer, al-Aswad bin Qoys dan
Salamah bin Kuhel. Dari Ahli Bashroh, al-Hasan bin Abi al-Hasan, Muhammad bin Sirin,
Anas bin Sirin, Abu al-Sawwar al-'Udwi, Bakar bin 'Abdillah al-Mazini dan Abu 'Imron alJuni, Ibn al-Atsir (1970:360).
Menurut Kholifah, Jundub bin Abdillah meninggal dunia pada masa terjadinya fitnah Ibn
al-Zuber antara tahun 60-an sampai tahun 70 H (Ibn Hajar) Vol. 2, 1984:101.
b. Para Periwayat hadits yang melalui jalur Abu Daud
1. Abu Daud
Nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulayman bin al-Asy'ats bin Ishaq al-bijistani. Ia lahir
pada tahun 202 H
Diantara gurunya adalah Musaddad, Abdullah bin Muhammad bin Yahya dan yang lainnya.
53
Diantara muridnya, adalah Abu Awanah, Abdullah, al-Nasai, al-Tirmidzi, Ali bin Sbd alShomad, Ahmad, Muhammad bin Harun dan yang lainnya. Ia Wafat tahun 275 H (alDzahabi) Juz IV, tt : 170.
2. Abdullah bin Muhammad bin Yahya
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Yahya al-Thursusi Abu Muhammad,
dan dikenal dengan sebutan al-Dho'if.
Pangkat al-Dho'if bagi Abdullah bin Muhammad bin' Yahya menurut Ibn Hibban karena dia
banyak ibadahnya dan sangat teliti dalam kedhobitannya. Menurut Abd al-Ghows bin Said
karena dia badannya lemah bukan haditsnya.
Guru-gurunya adalah Ibn Uyainah, Yazid bin Harun, Abu Mu'awiyah, Yazid bin al-Habbab,
Ya'qub Ibn Ishak al-Hadhromi dan yang lainnya.
Murid-muridnya adalah Abu Daud, Nasai, Musa Ibn Harun dan yang lainnya. Abdullah bin
Muhammad bin Yahya al-Thursusi rneninggal tahun 200 H.
54
3. Ya'qub bin Ishaq bin Zayd
Nama lengkapnya adalah Ya'qub bin Ishaq bin Zayd b bin Abdillah bin Abi Ishaq alKadhromi.
Guru-gurunya adalah Zayd bin Abdillah, Al-Aswad bin Syayban, Suhel bin Mahron alQutho'i, Sawdah Ibn Abi al-Aswad dan yang lainnya.
Murid-muridnya adalah Amr bin 'Ali al-Falas, Abu al-Robi‟ al-Zuhri, Abdullah Ibn
Muhammad bin Sallam al-Thursusi dan yang lainnya.
Menurut Bukhori yang diterima dari Ahmad bin Said al-Ribathi, Ya'qub meninggal tahun
250 H.
4. Suhel bin Mahron saudara Hazm al-Qutho'i
Biograpinya lihat kembali halaman 55
5. Jundub
Biograpinya lihat kembali halaman 56
c. Biograpi para periwayat hadits yang melalui jalur Ibn Jarir al-Thobari
1. Ibn Jarir al-Thobari
Nama lengkapnya adalah Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thobari.
Gurunya adalah al-Abbas bin Abd al-'Azhim zl-Anbari dan yang lainnya. Ia meninggal
tahun 310 H.
2. Al-Abbas bin Abd al-'Azhim al-Anbari
Nama lengkapnya adalah Al-Abbas bin Abd al-Azhin bin Ismail bin Tawbah al-Anbari Abu
al-Fadhol al-Bashori al-Hafizh.
Guru-gurunya adalah Abd al-Rahrnan bin Mahdi, Yahya bin Sa'id al-Qoththon, Said bin
'Amir al-Dho'bi, Abu Daud al-Thoyalisi, Shofwan bin Ida, Abd al-Rozaq al-Asma'i, Abu al-
55
Jawab, Ishaq Ibn Manshur al-Salawi, As-wad bin Amir syadzan, Syababah bin Sawar, Abu
Bakar al Hanafi, Utsman bin 'Umar Ibn Faris, 'Umar bin Yunus al-Yamami, Utsman bin
'Umar, Al-Nadhor bin Muhammad al-Khoribi, Yazid bin Harun, Muhammad bin Jadhom,
Basyar bin Umar al-Zahroni dan yang lainnya.
Murid-muridnya adalah Baqi bin Makhlad, Abu Bakar al-Atsrom, Ibn Khuzaymah dan
jamaah lainnya.
Menurut Bukhori dan Nasai al-Abbas bin Abd al-'Azhim al-Ambari meninggal tahun 246 H.
3. Habban bin Hilal
Biograpinya lihat kembali halaman 55
4. Suhel bin Abi Hazm
5. Abu Imron al-Juni
6. Jundub bin Abdillah
Biograpi ketiga rowi tersebut bisa dilihat pada halaman 55 dan 56.
B. Keadilan dan Kedhobitan Para Periwayat Hadits
Untuk mengetahui keadilan dan kedhobitan para periwayat hadits, harus mengikuti
pendapat para ulama Jarh wa tadil yang telah memberikan penilaian terhadap para periwayat
hadits. Hasil penilaian para ulama jarh dan ta'dil tersebut terdapat dalam kitab-kitab rijal alhadits, seperti kitab Tahdzib al-Tahdzib dan Taqrib al-Tahdzib yang penulis pergunakan untuk
mengetahui nilai para rowi hadits.
a. Para periwayat dalam hadits Turmudzi
1. 'Abd bin Hamid martabatnya tsiqqotun hafizhun (taqrib) halaraan 627.
2. Habban bin Hilal martabatnya tsiqqotun tsabtun (taqrib) halaman 181.
56
3. Suhel Ibn Abdillah martabatnya dho'if (taqrib) halaman 401. Suhel menyendiri
periwayatannya tidak sama dengan hadits riwayat yang tsiqot. Menurut Harb yang
diterima dari Ahmad, Suhel banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar (Ibn Hajar)
1984 : 229, vol IV.
4. Abu Imron al-zuni martabatnya tsiqqoh (taqrib) : 443
5. Jundub bin 'Abdillah martabatnya tidak diragukan lagi karena dia sahabat (Taqrib)
halaman 166.
b. Para Periwayat dalam hadits Abu Daud
1. Abdullah bin Muhammad bin Yahya martabatnya tsiqqoh (taqrib) halaman 531.
2. Ya'qub bin Ishaq al-Koqri al-Hadhromi martabatnya shoduq (Taqrib)-.337
3. Suhel bin Mahron martabatnya dho'if
4. Abu Imron martabatnya tsiqqoh
5. Jundub adalah shohabat
c. Para Periwayat dalam hadits Ibn Jarir al-Thobari
1. Al-Abbas bin Abd al-'Azhim al-Anbari martabatnya tsiqqotun hafizhun (Taqrib) :473
2. Habban bin Hilal martabatnya tsiqqotun tsabtun
3. Suhel bin Abi Hazm martabatnya dho'if
4. Abu Imron al-Juni martabatnya tsiqqoh
5. Jundub adalah shohabat
Hasil penelitian martabat para periwayat hadits Jundub itu adalah sebagai berikut :
a. Para periwayat Turmudzi yaitu Abd bin Hamid, Habban bin Hilal dan Abu Imron ketiganya
adil dan dhobit, sebab para ulama jarh dan ta'dil mentsiqotkannya. Sedangkan Jundub karena
dia sahabat, maka sudah jelas keadilan dan kedhobitannya. Suhel Ibn Abdillah didho'ifkan
57
oleh para ulama karena dia banyak lengah dalam meriwayatkan hadits, disamping ia banyak
meriwayatkan hadits munkar.
b. Pada hadits Abu Daud ada dua periwayat yang berbeda dari hadits Turmudzi dan Ibn Jarir,
yaitu Abdullah bin Muhammad dan Ya'qub bin Ishaq. Abdullah bin Muhammad termasuk
rowi yang adil dan dhobith karena ditsiqotkan oleh para ulama, dan Ya'qub bin Ishaq ulama
menilainya shoduq periwayatannya bisa dijadikan hujjah. Tiga periwayat lainnya pada akhir
sanad, sama dengan para periwayat Turmudzi. Yaitu Suhel bin Mahron, Abu Imron dan
Jundub. Jadi tetap rowi yang lemah terdapat gada Suhel bin Mahron.
c. Pada hadits Ibn Jarir hanya seorang periwayat yang berbeda dari hadits Turmudzi. Periwayat
tersebut adalah al-Abbas bin Abd al-'Azhim. Dia termasuk rowi yang adil dan dhobith sebab
ulama mentsiqotkannya. Dengan demikian dalam hadits Ibn Jarir pun tetap satu rowi yang
lemah yaitu Suhel bin Mahron.
Suhel bin Mahron dalam kitab al-Dhu'afa al-Kabir dijelaskan bahwa berdasarkan riwayat
yang diterima dari Bukhori dari Adam bin Musa, Suhel tidak termasuk rowi yang kuat
menurut pandangan para ulama (Abu Ja'far) t.t:154. Oleh karena itu hadits Suhel sama sekali
tidak bisa dijadikan hujjah karena dia tergolong martabat kedua dalam martabat ke-jarh-an
martabatnya dho'if.
c. Kecacatan dan Kejanggalan Para Periwayat Hadits
Kecacatan dan kejanggalan para periwayat berkaitan erat dengan kemuttashilan
(persambungan sanad) dan ketsiqot-an (periwayat bersifat dhobith). Jika sudah terpenuhi
syarat-syarat tersebut, maka sudah bisa dipastikan sanadnya terhindar dari kecacatan dan
kejanggalan. Sebab pada tahap penelitian pertama sanad hadits tertentu yang dinyatakan
58
mengandung kecacatan dan kejanggalan itu adalah sanad hadits yang dinilai berkualitas
sahih (Syuhudi Ismail) 1988 : 151.
Pada penelitian keadilan dan kedhobithan para periwayat hadits di atas, penulis sudah
mendapatkan
bahwa seorang periwayatnya yaitu Suhel bin Mahron adalah dho'if (lemah
ingatannya). Maka dari itu penulis tidak perlu lagi meneliti lebih lanjut tentang kecacatan dan
kejanggalan para periwayat hadits, sebab satu syarat kesahihan sanad gugur karena ada rowi
yang dho'if.
2.
Tinjauan Kemuttashilan Rangkaian Sanad Hadits
Dalam hadits Turmudzi kata-kata yang digunakan sebagai ciri kemuttashilan rangkaian
sanad adalah :
a. Turmudzi berkata: haddatsana 'Abd bin Hamid;
b. 'Abd bin Hamid berkata: akhbarona Haban bin Hilal;
c. Habban bin Hilal berkata: akhbarona Suhel Ibn Abdillah;
d. Suhel Ibn Abdillah berkata: haddatsana Abu Imron al-Juni;
e. Abu Imron al-Juni berkata: ‘an Jundub;
f. Jundub berkata: qola "Rasululloh saw.
Kata-kata yang digunakan sebagai ciri kemuttashilan rangkaian sanad dalam hadits Abu
Dawud adalah:
a. Abu Dawud berkata : haddatsana Abdullah bin Muhammad bin Yahya;
b. Abdullah bin Muhammad bin Yahya berkata: akhbarona Ya'qub bin Ishaq al-Muqri alNadhromi;
c. Ya'qub bin Ishaq al-Muqri al-Hadhromi berkata: akhbarona Suhel bin Mahron sudara Hazm
al-Qutho'i;
59
d. Suhel bin Mahron berkata: akhbarona Abu Imron;
e. Abu Imron berkata: 'an Jundub;
f. Jundub berkata: Qola Rasululloh saw.
Kata-kata yang digunakan sebagai ciri kemuttashilan sanad hadits Ibn Jarir adalah:
a. Ibn Jarir berkata : haddatsana al-'Abbas bin 'Abd al-'Azhim al-Anbari;
b. Al-'Abbas bin 'Abd al-'Azhira berkata: haddatsana Habban bin Hilal;
c. Habban bin Kilal berkata: Haddatsana Suhel bin Abi Hazm;
d. Suhel bin Abi Hazm berkata: haddatsana Abu Imron al-Juni;
e. Abu Imron al-Juni berkata: 'an Jundub;
f. Jundub berkata: qola Rasululloh saw.
Dalan hadits Turmudzi rowi pertama sampai keempat menggunakan shighot al-ada yang
dipergunakan oleh para muhaddits dalam penerimaan hadits dari gurunya secara qiroah dan
sima'. Maka dari itu rangkaian sanad sampai kepada Abu Imron al-Juni muttashil.
Pada rowi kelima Abu Imron menggunakan 'an, sedangkar hadits 'an'anah ditangguhkan
kemuttashilannya. Akan tetapi kalau kembali melihat pada biograpi Abu Imron (halaman 54),
diantara gurunya adalah Jundub bin Abdillah.
Dalam penelitian sanad ini penulis tidak perlu lagi meneliti sanad hadits riwayat ibn
Abbas, karena telah penulis ketahui bahwa sanad hadits Jundub dho'if. Oleh karena itu jelaslah
bahwa haditsnya tidak bisa dipertentangkan dengan hadits riwayat Ibn Abbas, sebab sanad hadits
riwayat Jundub mardud.
3.
Tinjaun Matan Hadits
60
Penelitian matan ini meliputi : (1) kecacatan; dan (2) kejanggalan dalam matan hadits
tersebut. Tujuan dari penelitian kecacatan dan kejanggalan pada matan hadits, secara terpisah
dari sanad, tiada lain karena matan yang shahih belum tentu sanadnya shahih.
Matan hadits tersebut adalah:
‫ٗ فؤطاب فمذ أخغؤ‬٠‫ اٌمشآْ تشأ‬ٝ‫ِٓ لاي ف‬
Artinya : Barang siapa menafsirkan al-Qur'an berdasarkan ro'yu semata kemudian hasil
penafsirannya itu benar, maka sesungguhnya dia dipandang salah (Sunan Tirmidzi) Juz
4, tt:268.
Maksud kalimat
ٗ٠‫ تشأ‬yaitu menafsirkan al-Qur'an berdasarkan ro'yu (akal) semata tidak
mengikuti perkataan-perkataan para ulama ahli bahasa dan qaedah-qaedah syara‟ tetapi hanya
berdasarkan apa-apa yang terdapat dalam benaknya tidak memperhatikan dalil-dalil naql (Abu
‫فاطاب‬
Thoyib) tt:85. Dan kalimat
maksudnya adalah hasil penafsirannya bertentangan
antara rowi yang satu dengan rowi yang lainnya, antara rowi yang kurang ke tsiqotannya
dengan rowi yang tsiqot dalam meriwayatkan hadits tersebut. Para periwayat dalam hadits Ibn
Jarir sejak sanad pertama yaitu Ibn Jarir sampai pada sanad terakhir yaitu Jundub seluruhnya
mengikuti rowi hadits Turmudzi. Demikian pula para periwayat dalam hadits Abu Daud
mengikuti para periwayat hadits Turmudzi.
Matan hadits tersebut maksud dan isinya bertentangan dengan matan hadits riwayat Ibn
Abbas yang berbunyi sebagai berikut:
ً٠ٚ‫ػٍّٗ اٌرؤ‬ٚ ٓ٠‫ اٌذ‬ٝ‫ٗ ف‬ٙ‫ُ فم‬ٌٍٙ‫ا‬
61
Artinya : Ya Alloh! Berikanlah dia pemahaman tentang agama dan ajarilah dia ta'wil (Ahmad
bin Hanbal), tt :250.
Hadits riwayat Ibnu bbas ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhori dan Muslim
melalui jalur rangkaian sanad yang berbeda. Karena perbedaan jalur rangkaian sanad hadits
tersebut, dari masing-masing mukhorij hadits tersebut penulis melihat terdapat perbedaanperbedaan pada matannya. Dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tidak memakai tambahan
ً٠ٚ‫ػٍّٗ اٌرؤ‬ٚ .Tambahan tersebut hanya terdapat dalam hadits riwayat Ahmad.
Menurut Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, lafazh tambahan
ً٠ٚ‫ػٍّٗ اٌرؤ‬ٚ
hanya
masyhur pada kalangan masyarakat umum, sehingga karena masyhurnya mereka menisbatkan
lafazh tersebut kepada Bukhori dan Muslim, dan penisbatan itu tidak benar. Penambahan lafazh
tersebut hanya dalam hadits riwayat Ahmad yaitu yang melalui jalur Ibn Khoytsim dari Sa'id bin
Jabir dari Ibn Abbas. Sedangkan kalimat sebelumnya adalah shohih, yaitu yang melalui jalur
'Ubaydillah bin Abi Yazid dari Ibnu Abbas 'Ibnu Hajar) vol.7, tt :78.
Berikut ini penulis kemukakan skema matan hadits riwayat Ibn. Abbas yang melalui jalur
Ahmad bin Hanbal dan Bukhori Muslim sebagai berikut:
VI
SKEMA MATAN HADITS RIWAYAT AHMAD
ٍّٗ‫ػ‬ٚ ٓ٠‫ اٌذ‬ٝ‫ٗ ف‬ٙ‫سسسسسسسسسسسسسفم‬
ٌٍُٙ‫عٍُ ا‬ٚ ٗ١ٍ‫ اهلل ػ‬ٍٝ‫ ط‬ٟ‫لاي إٌث‬
ً٠ٚ‫اٌرؤ‬
62
‫لاي‬
‫اتٓ ػثاط‬
VII
SKEMA MATAN HADITS RIWAYAT
BUKHORI DAN MUSLIM
63
‫لاي إٌث‪ ٟ‬طٍ‪ ٝ‬اهلل ػٍ‪ٚ ٗ١‬عٍُ اٌٍ‪ ُٙ‬فم‪ ٗٙ‬ف‪ ٝ‬اٌذ‪ٓ٠‬‬
‫لاي‬
‫اتٓ ػثاط‬
‫ػٓ‬
‫ػٓ‬
‫ػثذ اهلل تٓ ات‪٠ ٝ‬ض‪٠‬ز‬
‫ػىشِح‬
‫ػٓ‬
‫ػٓ‬
‫‪ٚ‬سلاء‬
‫خاٌذ‬
‫حذشٕا‬
‫٘اعُ تٓ اٌماعُ‬
‫شٕا‬
‫ػثذ اٌ‪ٛ‬اسز‬
‫حذشٕا‬
‫شٓ‬
‫شٕا‬
‫ص٘‪١‬ش تٓ حشب أت‪ٛ‬‬
‫تىش تٓ أٍضش‬
‫ػثذ اهلل تٓ ِحّذ‬
‫ات‪ِ ٛ‬ؼّش‬
‫شٕا‬
‫حذشٕا‬
‫ِغٍُ‬
‫تخاس‪ٞ‬‬
‫‪64‬‬
‫حذشٕا‬
‫ِغذد‬
‫حذشٕا‬
Dalan skema V bisa dilihat bahwa Ahmad meriwayatkan hadits Ibnu Abbas dari lima
jurusan yang isi dan maksud matannya sama. Ahmad menerima hadits dari Abdullah, Abdullah
dari Ayahnya. Ayah Abdullah menerima hadits dari lima orang dari Hasan bin Musa, Yahya bin
Adam, Affan, Abdu al-Shomad dan Abu Sa'id. Hasan bin Musa dan Yahya bin Adam menerima
dari Zuher bin Khoytsimah dari Abdullah bin Utsman bin Khotsim dari Sa'id bin Juber dari Ibnu
Abbas. Affan dan Abdu al-Shomad menerima dari Hammad bin Salmah dari Abdullah bin
Utsman bin Khotsim dari Said bin Juber dari Ibnu Abbas. Keempat guru Ayah Abdullah itu
bertemu sumbernya pada Abdullah bin Utsman bin Khotsim. Sedangkan guru Ayah Abdullah
yang satu lagi yaitu Abu Sa'id mempunyai jalur sanad tersendiri yaitu Abu Sa'id menerima dari
Sulaeman bin Bilal dari Husen bin Abdullah dari „Ikrimah dari Ibnu Abbas.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id pada awal matannya berbeda dengan hadits
riwayat Husen bin Musa dan tiga riwayat lainnya yang satu thobaqot dengannya. Lafazh hadits
Abu Sa'id itu adalah sebagai berikut:
‫ ص‬,ً‫ً ( احّذ تٓ حٕث‬٠ٚ ‫ػٍّٗ اٌرا‬ٚ ‫ُ اػغا تٓ ػثا ط اٌحىّح‬ٌٍٙ‫ا‬
) 208
Dalam skema VI matan haditsnya sama dengan matan hadits riwayat Ahmad hanya tidak
ada tambahan lafazh wa' allimhu al-ta'wila pada ujung matan hadits tersebut. Bukhori menerima
hadits tersebut dari tiga orang yaitu dari Abdullah bin Muhammad, Abu Ma'mar dan Musaddad.
Abdullah bin Muhammad menerina dari Hasyim bin al-Kosim dari Warqo dari 'Ubaydillah bin
Abi Yazid dari Ibnu Abbas. Abu Ma'mar dan Musaddad menerima dari Abdul al-Warits dari
Kholid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas.
Lafazh hadits Bukhori yang diterima dari Abu Ma'mar adalah
65
‫ُ ػٍّٗ اٌحىّح‬ٌٍٙ‫ ا‬dan yang diterima dari Abu Ma'mar adalah
‫ُ ػٍّٗ اٌىراب‬ٌٍٙ‫ا‬.
Muslim menerima dari Abu Bakar bin al-Nadhor dan Zuher bin Harb. Keduanya
menerima dari guru-gurunya Bukhori yaitu Hasyim bin al-Qosim dan terus mengikuti sampai
guru Bukhori yang terjauh yaitu Warqo dari 'Ubaydillah bin Abi Yazid dari Ibnu Abbas. Lafazh
hadits Muslim di ujung matannya tidak memakai
ٓ٠‫ اٌذ‬ٝ‫ف‬.
Dari kedua skema hadits di atas pada matan hadits Ahmad terdapat kecacatan dan
kejanggalan. Karena hadits Ahmad bertentangan dengan hadits Bukhori dan Muslim baik lafazh
maupun maknanya. Kecacatannya karena terdapat tambahan lafazh
ً٠ٚ‫ػٍّٗ اٌرؤ‬ٚ
dan
maknanyapun menjadi bertambah. Ahmad tidak menjelaskan bahwa lafazh tersebut sebagai
tambahan dan begitu pula rowi yang lainnya tidak menjelaskan bahwa lafazh tersebut sebagai
tambahan. Oleh karena itu matan hadits riwayat Ahmad tersebut syadz.
Dengan demikian matan hadits Jundub lebih kuat dari matan hadits Ahmad, karena pada
matan hadits Jundub tidak terdapat kecacatan dan kejanggalan.
C. Pendapat Para Ulama Tentang Kualitas Hadits Mengenai anti ro’yu dalam Penafsiran
al-Qur'an
66
1. Pendapat Ulama Pensyarah Sunan al-Turmudzi dan Sunan Abu Daud
a. Pendapat Pensyarah Sunan Turmudzi
Al-Mubarok Furi (pensyarah sunan Turmudzi) tidak memberikan komentar tentang
kualitas sanad hadits tersebut. Ia hanya memberikan penjelasan biograpi beberapa periwayat
yang dianggap penting dalam
penentuan kualitas sanad hadits tersebut. Ia mengutamakan
menjelaskan Suhel bin Abdillah yang ia ambil dari kitab Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab
tersebut dijelaskan bahwa Suhel Ibn Abi Hazm namanya adalah Mahron, dan disebutkan juga
Abdullah Abu Bakar al-Bashori. Gurunya adalah Abu Imron al-Juni dan yang lainnya. Salah
seorang muridnya adalah Habban bin Hilal dan disebutkan dalam kitab Taqrib bahwa Suhel
martabatnya dho'if dari thobaqot ketujuh.
Dari segi matan, al-Mubarok Furi tidak memberikan komentarnya, baik dari segi illat
maupun syudzudznya. Ia hanya menjelaskan isi dan maksud dari materi matan tersebut, yaitu
bahwa barang siapa yang menafsirkan al-Qur'an baik dalam lafazhnya maupun dalan maknanya,
menurut akal semata, sekalipun hasil penafsiran itu menurut kesepakatan dibenarkan tapi
menurut hukum syara' disalahkan. Selanjutnya al-Mubarok Furi mengutip pendapat muhaddits
dan mufasir tentang penafsiran al-Qur'an berdasarkan ro'yu. Diantaranya pendapat Ibnu Hajar
yang mengatakan bahwa menurut jalan yang benar adalah salah menggeluti isi al-Qur'an yang
hanya berdasarkan perkiraan dan dugaan saja serta tidak memenuhi syarat-syarat penafsiran. Jika
hal itu dilakukan, maka adalah dosa yang tidak bisa diganggu gugat lagi, sekalipun hasilnya
sesuai, tentu tidak dibenarkan (al-Mubarok Furi) 1979:279-282.
Al-Mubarok Furi tidak secara rinci menjelaskan kualitas hadits tersebut, menurut penulis,
karena dia sudah memperoleh kejelasan bahwa salah seorang rowinya dho'if, yaitu Suhel bin
67
Mahron. Jadi sudah bisa dipastikan haditsnya dho'if, karena dilihat dari segi kuantitas rowinya
hadits ini ghorib muthlaq.
b. Pendapat Pensyarah Sunan Abu Daud
Abu Thoyib dalam kitabnya 'Awn al-Ma-'bud syarah sunan Abu Daud seperti halnya alMubarok Furi tidak meraberikan komentar tentang kualitas hadits tersebut, ia hanya
mengemukakan pendapat ulama mengenai hadits tersebut yang lebih menekankan pada isi dan
maksudnya.
Diantara para ulama tersebut adalah pendapat al-Baehaqi dalam kitab al-Madkhol yang
menjelaskan bahwa dalam hadits tersebut memerlukan penelitian. Jika hadits itu shohih maka
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh isi hadits tersebut. Dan sungguh telah salah cara orang
yang menafsirkan al-Qur'an dengan ro'yunya, penyelesaiannya ialah harus merujuk dalam
penafsiran lafazh-lafazhnya kepada ahli bahasa, nasikh mansukh, sebab nuzulnya dan apa-apa
yang dibutuhkan dalam menjelaskannya harus merujuk kepada berita-berita sohabat yang
menyaksikan turunnya al-Qur'an.
Dari penjelasan Abu Thoyib itu jelaslah bahwa kualitas hadits ini masih diperbincangkan
tentang shohih atau tidaknya. Terbukti al-Baehaqi sendiri baru mengandai-andai, jika shohih
tentu benar dan jika tidak shohih, hanya Alloh yang tahu (Abu Thoyib) tt:85.
2. Pendapat ulama Tafsir Bi Al-Ro'yi
Di antara ulama tafsir bi al-ro'yi adalah al-Qurtubi. Nama lengkapnya adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi. Kitab tafsirnya bernama al-Jami’ li
Ahkam al-Qur'an atau lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Qurthubi.
Al-Qurthubi memberikan pendapatnya terhadap isi dan maksud hadits diatas, katanya:
68
Inilah pendapat yang benar yaitu yang saya pilih tidak dari satu ulama, rnaka
sesungguhnya barang siapa yang berkata (menafsirkan) al-Qur'an menurut apa yang
timbul dari praduganya dan yang terlintas dalam benak hatinya tanpa mengambil dalil
dari ilmu ushul. maka dia itu disalahkan, tetapi jika mengistinbath maknanya mengambil
dari al-ushul al-hikmah yang sesuai dengan maknanya maka itu adalah terpuji (mamduh)
{Qurthubi) 1954:33.
Pendapat Qurthubi tersebut ia melihat hadits dari segi matannya. Pada bagian lain ia
melihat bahwa hadits yang dalam sanadnya ada rowi yang dipermasalahkan oleh para ulama
yaitu Suhel bin Abi Hazm, sedangkan Suhel bin Mahron telah diketahui di atas nilainya lemah.
69
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut para ahli hadits, hadits yang bisa dijadikan hujah adalah hadits maqbul yang
ma'mulun bih. Hadits yang tergolong kepada hadits maqbul adalah hadits shohih dan hadits
hasan.. Shohih dalam sanadnya dan dalam matannya.
Dalam penelitian skripsi ini masalah pokok yang dibahas adalah hadits-hadits tentang
anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur'an. Hadits tersebut menurut zhohir maknanya bertentangan
dengan hadits yang bersumber dari Ibnu 'Abbas riwayat Ahmad tentang kebolehan menafsirkan
al-Qur'an berdasarkan ro'yu. Pertentangan tersebut tidak akan terjadi, apabila salah satunya telah
diketahui kualitasnya. Dengan demikian masalah pokok dalam penelitian ini adalah meneliti
kualitas hadits, yakni: (1) bagaimana keadaan sanad dan para periwayatnya; dan (2) bagaimana
keadaan matan haditsnya.
Untuk menjawab masalah pokok tersebut, skripsi ini telah membahas kedudukan dan kehujahari
hadits dalam Islam, takhrij hadits mengenai anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur‟an dan analisis
kualitas riwayat hadits serta kandungannya. Inti kesimpulan dari pembahasan tersebut adalah :
1. Hadits yang penulis teliti dalam sunan Turmudzi tentang anti ro‟yu dalam penafsiran alQur‟an hanya ada tabi’nya. Yaitu terdapat dalam sunan Abu Daud dan Tafsir al-Qurthubi;
2. Rangkaian sanad hadits tersebut bersambung (muttashil) hanya diantara para periwayatnya
terdapat seorang periwayat yang lemah, yaitu Suhel bin Mahron. Kedho'ifan Suhel terletak
pada kedhobitannya, dia lengah dalam meriwayatkan hadits, selain itu menurut Harb yang
diterima dari Ahmad dia banyak meriwayatkan hadits munkar. Suhel dalam ketiga jalur rowi
70
pengumpul hadits (Turmudzi, Abu Daud dan Ibn Jarir) menjadi guru gurunya ketiga rowi
pengumpul hadits tersebut. Dia meriwayatkan hadits tersebut hanya dari Abu Imron al-Juni
dari Jundub. Karena penyendirian periwayatannya, maka hadits tersebut. adalah ghorib
muthlaq.
3. Matan hadits tersebut tidak mengandung kecacatan (illat) dan kejanggalan (syudzudz). Sebab
antara hadits riwayat Turmudi dengan mutabi’nya
tidak ada perubahan lafazh dan
maknanya.
Berdasarkan keadaan sanad dan para periwayatnya dari matannya, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa hadits-hadits tentang anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur‟an sanadnya
dhoif dan matannya shohih. Sekalipun matannya shohih, karena hadits ini diriwayatkan oleh
rowi yang dho’if (tidak tsiqoh) yang oleh para pengeritik hadits rowi ini (Suhel bin Mahron)
dicacat sebagai rowi yang tidak dhobith; lengah dalam meriwayatkan hadits. Dengan demikian
hadits ini termasuk hadits dho’if. Oleh karena itu hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena
tidak memenuhi kriteria kehujahan hadits.
B. Saran-Saran
Hadits yang penulis teliti adalah hadits yang. dijadikan pegangan oleh para mufasir
bi al-ma'tsur sebagai sanggahan terhadap para mufasir bi al-ro’yi. Setelahnya penulis teliti
bahwa hadits tersebut dho’if, tetapi mengapa para mufasir bi al-ma’tsur tetap
melarang
manafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yu. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut
tentang argumentasi para mufasir bi al-ma’tsur
terhadap larangan menafsirkan al-Qur‟an
berdasarkan ro’yu. Kemudian bagaimana penyelesaiannya, karena pada saat ini semakin
berkembang tafsir-tafsir bi al-ro’yi.
71
Download