BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak masa nabi SAW., penafsiran Al-Qur‟an berdasarkan ro’yu1 telah ada. Para sahabat berijtihad untuk memahami sebagian ayat al-Qur‟an apabila mereka tidak mendapatkan penjelasan dari ayat lain atau dari Nabi saw.. Kemungkinan untuk berijtihad bagi para sahabat sangatlah mudah, karena al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab dan mereka paham benar tentang uslub, (tata bahasa). bahasa Arab. Selain itu para sahabat mendapat bimbingan langsung dari Nabi saw.. Pada periode berikutnya, produk tafsir pada masa sahabat tersebut dijadikan sumber rujukan oleh para tabi‟in untuk berijtihad memahami ayat-ayat yang ghumud, (samar) sebagai penyempurnaan terhadap hasil penafsiran para sahabat (Mana‟ al-Qoththon, 1973: 338). Kemudian penyempurnaan penafsiran tersebut terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman para mufasirnya. Kondisi lingkungan mufasir mempengaruhi terhadap gaya tafsir yang ditampilkannya. Terbukti adanya perbedaan aliran tafsir antara tafsir yang dihasilkan oleh seorang mufasir satu madzhab dengan mufasir madzhab lainnya. Oleh karena itu menurut penulis, tafsir merupakan salah satu media yang tepat untuk menyampaikan pesan al-Qur‟an melalui ide dan gagasan para mufasir, dalam upaya membimbing umat islam menuju mardhoti Alloh. Upaya tersebut harus senantiasa 1 Kata al-Ro‟yu adalah masdar (kata benda jadian) dari kata kerja roa. Menurut bahasa, ro’y u bisa berarti dugaan, fikiran, pendapat. Lihat: Al-Munawir, Pustaka Progressif, hal. 496. menurut istilah tafsir, ro’yu berarti penjelasan mengenai al-Qur‟an dengan jalan ijtihad apabila kriteria-kriteria mufasir telah terpenuhi. Lihat: Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur‟an Perkenalandengan metodologi Tafsir, Terjemah, Pustaka, Bandung, 1987, hal. 62. 1 diperjuangkan oleh kaum muslimin melalui penafsiran al-Qur‟an,karena al-Qur‟an mengisyaratkan agar kaum muslimin memikirkan ayat-ayat al-Qur‟an, sehingga karenanya bagi setiap orang yang mempunyai akal yang kuat mereka mendapat pelajaran (Q.S. 38: 29). Dengan demikian al-Qur‟an benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum muslimin (Q.S. 16: 89). Jadi dalam al-Qur‟an ada ayat-ayat yang bisa ditafsirkan oleh ro’yu bagi orang-orang yang memiliki pemikiran yang tajam dan kuat. Para mufasir yang membolehkan menafsikan al-Qur‟an dengan ro’yu berhujjah dengan hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas: “Bahwa Rasul saw. Berada dirumah Maemunah lalu aku menyediakan air baginya untuk wudhu malam. Kata Ibnu Abbas kemudian Maemunah berkata: Wahai Rasulullah yang menyediakan air untuk-Mu ini adalah Abdulloh bin Abbas. Maka Rasul saw. Berdo’a: Wahai Tuhanku, berikanlah kepadanya keluasan paham dalam ilmu agama dan ajarkanlah ta’wil2 kepadanya” (Musnad Ahmad, hal. 250) 33. 2 Ta’wil adalah kata benda jadian dari kata kerja „ala artinya kembali dan menjadi.adapun yang dimaksud dengan ta’wil adalah memindahkan zhohir lafazh dari tempat asalnya kepada arti yang dibutuhkan karena ada dalil (yang lain) tidaklah meninggalkan arti yang zhahir tersebut (Al-Nihayah fi Ghorib al-Hadits wa al-Atsar,Juz I, hal. 80). Menurut Mana‟Qoththon: Ta’wil adalah tafsir al-kalam dua arti yang berdekatan atau dua persamaan arti (Mana‟Qoththon,hal. 327). 3 Lihat juga: Musnad Ahmad, Juz I, hal. 266, 314, 335, Bukhori, Juz I,hal. 40, muslim, Juz 4, hal. 44. 2 Pada zaman sekarang, jika kita memperhatikan dan membaca karya-karya para mufasir, maka kita akan melihat kenyataan bahwa tafsir al-Qur‟an selalu dipengaruhi perkembangan pikiran dan ilmu pengetahuan yang sedang menguasai suatu zaman, dan mencerminkan pendapat, pemikiran, teori serta madzhab yang sedang berlaku pada zaman itu, jarang sekali ada kitab tafsir yang kosong sama sekali dari pengaruh pikiran, pandangan dan hukum yang sedang berlaku (Al-Baghdadi, 1988: 42). Dari pernyataan tersebut diatas berarti terdapat kebolehan bagi kaum muslimin untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yunya, namun di pihak lain ada hadits yang diterma dari sahabat bahwasanya Nabi saw., menyatakan melarang dengan sabdanya: “Barang siapa mengatakan (menafsirkan ) al-Qur’an berdasarkan ro’yunya,biarpun ro’yunya (ijtihadnya) itu benar, namun sesungguhnya dia dipandang salah” (Sunan Tirmidzi, Juz 4, hal. 269 ) 4. Melihat kedua bentuk pernyataan hadits tersebut di atas dari segi Zhahir lafazh haditsnya sekilas nampak adanya kontradiktif antara hadits yang menyatakan kewenangan mufasir menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yu dan yang menyatakan tidak ada kewenangan mufasir menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yunya. 4 Lihat dalam Sunan Abu Daud, bab Ilmu ban nomor 5 hal 84. Dan Tafsir Thobari, Juz I,hal. 35 3 B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas menunjukkan bahwa: Pertama, Al-Qur‟an mengisyaratkan adanya kewenangan bagi seorang yang mamiliki kemampuan daya pikir serta pengetahuan yang dalam untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yu. Kedua, Adanya bukti bahwa para mufasir itu menafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yu. Akan tetapi, ada hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang menolak menafsirkan alQur‟an dengan ro’yu, bahkan dipandang salah sekalipun hasilnya itu benar. Bertolak dari masalah tersebut, maka yang merjadi pokok permaslahan dalam penelitian ini adalah meneliti kualitas hadits tentang anti ro‟yu dalam menafsirkan alQur‟an. Agar pembahasan ini sistimatis, maka masalah ini akan penulis bagi kepada dua masalah pokok, yaitu: Pertama, Penelitian terhadap kualitas hadits-hadits tentang anti ro‟yu yang meliputi: a. Bagaimana keadaan sanad dan para periwayatnya; b. Bagaimana keadaan matan haditsnya. Kedua, Penelitian terhadap kedudukan hadits-hadits tentang anti ro‟yu menurut pendapat ulama yang meliputi: a. Bagaimana pendapat ulama hadits tentang kualitas hadits tersebut; b. Bagaimana pendapat ulama tafsir tentang kualitas hadits tersebut. Dengan demikian, maka judul penelitian ini adalah hadits-hadits tentang anti ro‟yu dalam penapsiran al-Qur‟an 4 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui kualitas hadits-hadits tentang anti ro‟yu baik kualitas sanadnya maupun kualitas matannya 2. Untuk mengetahui nilai kehujahan hadits-hadits tentang anti ro‟yu menurut ahli hadits dan para mupasir bi al-ro‟yi. D. Kerangka Pemikiran Hadits yang bisa dijadikan hujjah adalah hadits maqbul yaitu hadits shohih atau hadits hasan dan hadits tersebut muhkam tidak marjuh dan tidak mansukh (Hasbi) 1980:219. Untuk mengetahui kehujahan hadits tersebut dengan jalan memeriksanya. Ada dua cara yang harus dilakukan dalam memeriksa hadits tersebut, yaitu (1) memeriksa sanadnya; dan (2) memeriksa matannya. Dalam memeriksa sanad yang harus dilakukan adalah (1) mencari mutabi‟ dan syahid; dan (2)meneliti kuantitasnya (masyhur.‟aziz dan gorib); (3) meneliti kualitasnya (shahih, hasan dan dho‟if); dan (4) menentukan maqbul dan mardudnya. Dalam memeriksa matan yang harus dilakukan adalah meneliti otentisitas matan, yaitu meneliti ada atau tidak adanya kecacatan (illat) dan kejanggalan (syudzudz) dalam maknanya dan lafazhnya. Untuk meneliti kualitas hadits, penulis menggunakan teori ilmu ushul al-takhrij dan dirosah al-asanid. Kedua teori tersebut oleh A.Zarkasyi Chumaedy disebut dengan tipe penelitian hadits. Dengan demikian ada dua tipe penelitian hadits: (1) tipe penelitian segi 5 takhrij; dan (2) tipe penelitian segi asanid (A. Zarkasyi Chumaedy dalam mimbar studi) 1991:95. Kedua tipe penelitian hadits tersebut saling menunjang. Metode takhrij, memberikan gambaran bagaimana cara untuk mengeluarkan hadits dari kitab sumber asalnya lengkap dengan sanadnya, sedangkan metode penelitian asanid, membahas tentang silsilah rijal isnad (mata rantai rangkaian penyandaran para periwayat) dengan cara memeriksa biografi setiap periwayatnya. Menurut Mahmud Thohan, dalam metoda takhrij ada lima pendekatan untuk mentakhrij hadits dari kitab sumber asalnya yaitu: 1. Pendekatan perowi hadits dari sahabat; 2. Pendekatan kalimat pertama dalam matan hadits; 3. Pendekatan kalimat yang jarang ditemui dalam matan hadits; 4. Pendekatan topik (judul masalah); 5. Pendekatan sifat-sifat pada sanad atau matan. Pada akhir penelitian takhrij, pentakhrij harus menunjukkan sumber asalnya dengan menggunakan kalimat seperti: atau ( Mahmud Thohan, 1978: 12) Cara kerja metoda penelitian asanid mengacu kepada kriteria kesahihan hadits. Kriteria kesahihan hadits ada lima, tiga, berkaitan dengan kriteria kesahihan sanad,dan dua berkaitan dengan criteria kesahihan sanad dan matan hadits. Ketiga kriteria yang khusus kesahihan sanad adalah: 6 1. Sanad bersambung; 2. Seluruh periwayat dalam sanad harus adil; dan 3. Seluruh periwayat dalam sanad harus dhobit, sedangkan dua lagi yaitu keterhindaran dari syudzudz dan illat selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad,juga kriteria untuk kesahihan matan hadits (Syuhudi Ismail, 1988: 111) Apabila satu syarat dari kelima syarat kesahihan hadits tersebut tidak terpenuhi yaitu berkurang dalam kedhobitannya hadits tersebut sisebut hadits hasan. Dan jika tidak terkumpul syarat hadits shahih dan hasan, maka hadits tersebut disebut hadits dho’if (Ajaj al-Khotib, 1989: 305). Dari kelima kriteria kesahihan hadits di atas,kemudian diturunkan dalam bentuk tahapan cara kerja metode penelitian asanid, yaitu: 1. Memeriksa biograpi para periwayat dalam sanad dari kitab terjemah (kitab yang menghimpun biografi para periwayat); 2. Menggaris bawahi bagian-bagian terpenting dari biograpi para periwayat. Seperti waktu dilahirkan dan waktu meninggal, guru-guru dan muridnya, agar diketahui bersambung atau tidaknya sanad; 3. Membahas keadilan dan kedhabitan periwayat kemudian menyimpulkannya dengan menggunakan kalimat ِْشمَح atau ْشَثَد dan sebagainya; 4. Memeriksa pada kitab-kitab illat hadits sebelum menentukan kualitasnya; 5. Menentukan kualitas hadits baik sanadnya maupun matannya. Penilaian sanad hadits menggunakan kata-kata: atau atau 7 Adapun untuk menentukan matan hadits yaitu dengan cara melihat apakah terdapat kejanggalan (syudzudz) atau kecacatan (illat), atau adakah diriwayatkan matan hadits tersebut dengan sanad yang lain yang karena sanad tersebut bisa berubah ketentuan (kualitas) hadits.cara menentukan nilai hadits tersebut misalnya dengan perkataan: , atau (Mahmud Thohah) 1978: 156-157. E. Langkah-langkah Penelitian Supaya pembahasan ini tersusun secara sistematis, maka pembahasan ini penulis menyusunnya dalam langkah-langkah penelitian sebagai berikut: Langkah pertama membahas tentang kedudukan dan kehujahan hadits dalam Islam. Pembahasan pertama bertujuan untuk mengetahui peringkat hadits dalam kedudukannya sebagai sumber hukum dalam Islam. Dalam kaitan ini hadits punya peran dan fungsi apa terhadap al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam pertama. Dalam pembahasan kedua bertujuan untuk mengetahui tingkat kualitas hadits beserta persyaratannya dan menyetujui kriteria kahujahan hadits beserta cara-cara yang dipakai oleh para ulama dalam menentukan kahujahan suatu hadits. Disamping itu, pembahasan dimaksudkan juga sebagai dasar pembahasan selanjutnya dalam usaha mengetahui dan menjelaskan hadits-hadits tentang anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur‟an. Materi bahasan ini disajikan dalam bab II. Uraian materi tersebut berdasarkan al-hadits,al-Qur‟an dan kaedah-kaedah ulum al-hadits yang bersumber dari al-Qur‟an,al-hadits dan karya-karya ulama ahli ilmu hadits. Langkah kedua mengkaji biograpi para perowi hadits tentang otoritas akal dan membahas proses penelitian takhrij haditsnya.bahasan ini terdiri atas dua bagian: bagian 8 pertama membahas tentang sejarah singkat sahabat yang meriwayatkan hadits diatas, dan bagian kedua membahas tentang kemutabi‟an dan proses penelitian takhrijnya. Dalam proses penelitian ini, yaitu mentahrij hadits yang berhubungan dengan hadits tentang otoritas akal dalam penafsiran Al-Qur‟an dari kitab asalnya. Tujuan penelitian takhrij ini untuk mengetahui tekh aslinya dari mukhorrij (periwayat terakhir) dalam kitabnya. Materi pembahasan ini disajikan dalam bab III. Sumber kajian dari kitab-kitab biograpi sahabat dan dari kitab sumber asal baik kitab hadits maupun kitab tafsir. Langkah ketiga membahas preoses penelitian sanad hadits-hadits tentang anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur‟an dan menganalisisnya. Dalam bahasan penelitian ini merupakan kelanjutan dari tahapan penelitian di bab III, yaitu menilai kualitas hadits tentang anti ro‟yu dalam penafsiran Al-Qur‟an tersebut dengan cara meneliti sanadnya dan matannya serta kandungannya. Penilaian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kualitas hadits tersebut. Pada tahap akhir membandingkannya dengan pendapat ulama hadits dan ulama tafsir bi al-ro‟yi. Tujuannya untuk menentukan kehujahan hadits tersebut. Materimateri tersebut disajikan dalam bab IV. Sumber kajian dari kitab-kitab karya ulama ahli hadits dan karya mufasir bi al-ro’yi beserta kitab lain yang berkaitan dengan pokok bahasan. Berdasrkan jenisnya sumber kajian tersebut ada dua sumber yaitu: 1) Sumber primer; dan 2) Sumber sekunder. Sumber primer untuk takhrij al-hadits adalah karya mukorrij al-hadits yang disebut kitab sumber asal (mashodir al-ashliyah) dan sumber sekundernya adalah kitab-kitab takhrij. Sumber primer untuk biografi para periwayat adalah kitab biografi para periwayat kutub al-sittah, sedangkan sumber sekundernya adalah kitab-kitab syarah kutub al- 9 sittah,kitab rijal al-hadits dan kitab jaroh wa ta’dil.untuk mengetahui pendapat ulama tafsir bi al-ro’yi sumber primernya adalah kitab tafsir karya mufasir bi al-ro’yi, dan sumber sekundernya adalah kitab tafsir lainnya. Kitab penunjangnya adalah kitab-kitab ‘ulum alhadits, „ulum al-Qur’an, tarikh dan kamus. Dengan demikian, pembahasan penelitian ini semuanya dilakukan dengan pengkajian buku-buku perpustakaan. Pengkajian tersebut penulis lakukan dengan cara membandingkan data dari satu sumber dengan sumber yang lainnya. Langkah keempat menyusun kesimpulan penelitian. Hasil pembahasan di bab-bab sebelumnya dirumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan sebagai jawaban atas masalah-masalah yang diajukan pada penelitian ini. Penyajian kesimpulan ini penulis sajikan pada bab IV. BAB II KEDUDUKAN DAN KEHUJAHAN HADITS DALAM ISLAM 10 A. Pengertian Hadits Menurut bahasa, kata hadits berasal dari bahasa Arab; al-hadits; jamaknya: al-ahadits, al-hidtsan dan al-hudtsan. Artinya: (1) al-Jadid (yang baru), lawan dari al-qodim (yang lama); dan (2) al-khobar (kabar atau berita) Ibnu Manzhur (t.t:436-439) dalam Syuhudi Isma'il (1983:24). Pengertian hadits menurut istilah, sebagian besar ulama ahli hadits berpendapat bahwa alhadits searti dengan. Istilah al-khobar, al-atsar dan al-sunnah. Artinya yaitu: ْْٚشٍ َأ٠ِْ َذمْشْٚ فِؼًٍْ َأْٚيٍ َأَٛعٍََُْ ِِْٓ َلٚ ِْٗ١ٍََ اهللُ ػٍََٝيِ اهللِ طُٛوًُُ َِا أُشِشَ ػَٓ سَع ِ غَاسِٝخحَُٕصِِٗ ف ََاءٌ أَوَاَْ رٌَِهَ لَثًَْ اٌثِؼْصَ ِح نٛع َ ٍْ َشج١ِْ عَٚحٍ َأ١ِْ خٍُُمٍَٚج َأٟطِفَحٍ خٍَْ ِم .حِشَاءٍ َأَْ تَ ْؼ َذَ٘ا Artinya : "Setiap sesuatu yang diperoleh yang datangnya dari Rasul saw. berupa perkataan, perbuatan, budi pekerti atau biografi hidupnya baik sebelum diutus (jadi Rasul) seperti bertahannuts (menyepi) di goa Hiro; atau sesudah diutusnya jadi Rasul (Ajjaj Al-Khothib) 1989:19,27. Dalam definisi yang lebih ringkas lagi dikatakan: َ٘اَٛ ح ْ َٔ ْْٚشًا َأ٠ِْ ذَمْشْٚ فِؼًٍْا َأًٌْٚا َأَٛعٍََُْ َلٚ ِْٗ١ٍََ اهللُ ػٍََِٝ طْٟفَ ٌٍَِٕ ِث١َِِا ُأض Artinya : "Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan atau yang sebangsanya" (Al-Tarmisy) 1955:7. Menurut sebagian ahli hadits lain dalam istilah-istilah di atas terdapat perbedaan yang masing-masing mempunyai maksud tersendiri. Dalam kitab Tafsir Mushtholahu'l-Hadits karya 11 Mahmud Thohan (1985:15-16) dijelaskan bahwa istilah al-khobar lebih umum dari al-hadits. AlHadits hanya mencakup sesuatu yang datang dari Nabi saw., sedangkan al-khobar selain datang dari Nabi saw. juga dari yang lainnya; al-atsar sesuatu yang disandarkan kepada shohabat dan tabi'in baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu setiap hadits pasti khobar dan tidak setiap khobar itu hadits. Orang yang menyibukkan diri kepada sunnah disebut muhaddits dan yang menyibukkan diri pada sejarah dan yang lainnya disebut akhbari (Umar Hasyim) 1984:23-24. Terjadinya perbedaan pendapat dalam mendefinisikan hadits tersebut, disebabkan terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu dapat disimpulkan bahwa pengertian hadits ada dua macam: (1) pengertian hadits secara terbatas; dan (2) pengertian hadits secara luas. Pengertian hadits secara terbatas yaitu pengertian hadits yang telah dikemukakan oleh jumhur muhadditsin di atas. Pengertian hadits secara luas yaitu yang dikemukakan oleh sebagian muhadditsin. Di antaranya Muhammad Mahfuzh dalam kitabnya Manhaj Dzawi al-Nazhor (l955 : 7) mengatakan bahwa hadits tidak hanya mencakup sesuatu yang disandarkan (dimarfu'kan) kepada Nabi saw. saja, tetapi juga perkataan dan perbuatan serta taqrir yang disandarkan kepada sohabat dan tabi'in pun disebut. al-hadits. Dengan demikian hadits menurut ta'rif ini, meliputi segala berita yang marf u', mauquf (disandarkan kepada shohabat) dan maqthu' (disandarkan kepada tabi'iy), sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Mahfudh: ِِٗ تًَْ ظَاءَتِا ِءعٍَْال.ٍََََُعٚ ِْٗ١ٍََ اهللُ ػٍََِْٝٗ ط١ٌَِْعِ إَٛخْ َرضُ تِاٌَّْشْ ُف٠ْسَ ٌَا٠ِحذ َ ٌْ إَِْ ا ِْعٛغ ُ َاٌَّْ ْمٚ )ِِٖٛ ح ْ ََٔٚ ٍْيِٛ ِِْٓ َلٝ اٌظَحَا ِتٌََِْٝفَ إ١ََِِاُاضُٛ٘ َٚ ( ِْفْٛ ُلَّٛ ٌٍِْ ضًا٠ْ َأ .)َِ َوزٌَِهِْٝفَ ٌٍِرَاتِؼ١ََِِاأُضُٛ٘ َٚ ( 12 Artinya : “Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya yang dimarfu‟kan kepada Nabi saw. Saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang „mauquf‟ (dihubungkan dengan perkataan, dan sebagainya dari sahabat), dan apa yang „maqthu‟ (dihubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari tabi‟iy). (Fatchur-Rahman) 1970:27. B. Kedudukan Hadits Dalam Syari'at Islam Mayoritas umat Islam sepakat bahwa Al-Hadits adalah salah satu sumber perundangundangan hukum Islam, tetapi ada pula sebagian kecil umat Islam yang menolak kehujahan hadits sebagai sumber hukum Islam. Golongan yang menetapkan hadits sebagai salah satu dasar perundang-undangan hukum Islam menetapkan wajib menta'atinya. Golongan yang tidak menetapkan hadits sebagai salah satu dasar perundang-undangan hukum Islam hanya mencukupkan dengan al-Qur'an saja. Golongan mayoritas umat Islam pun yang menetapkan hadits sebagai salah satu dasar sumber perundang-undangan hukum Islam, berbeda pendapatnya dalam meletakkan posisi kedudukan antara Al-Qur'an dengan Al-Hadits. Dari perbedaan pendapat di atas, penulis hanya akan membahas dua masalah saja: (1) dalil-dalil yang menetapkan hadits sebagai salah satu sumber dasar perundang-undangan hukum Islam; dan (2) kedudukan hadits sebagai sumber dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an beserta pendapat ulama madzhab yang empat tentang posisi kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an. 1. Dalil-dalil yang menetapkan Hadits Sebagai Salah Satu Sumber Dasar Hukum Islam. Menurut Fatchur Rahman (1970: 61-62) dalil-dalil yang menetapkan hadits sebagai salah satu sumber dasar perundang-undangan hukum Islam ada tiga: (1) berdasarkan petunjuk akal; (2) berdasarkan petunjuk nash-nash al-Qur'an; dan (3) berdasarkan ijma‟ para shohabat. 13 Berdasarkan petunjuk akal bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Rasul Tuhan yang telah diakui dan dibenarkan umat Islam untuk melaksanakan tugas Agama, Yaitu menyampaikan hukum-hukum Syari'at kepada umat. Di dalam menyampaikan hukum-hukum Syari'at tersebut Rasul saw. kadang-kadang membawakan peraturan-peraturan yang isi dan redaksinya telah diterima dari Allah SWT. Dan kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah SWT. Terkadang pula beliau membawakan hasil ijtihad sendiri mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhnya. Sudah layak sekali kalau peraturan-peraturan dan inisiatif beliau, kita tempatkan sebagai sumber hukum positip. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Tuhan mengharuskan kepada kita untuk mentaati segala peraturan yang dibawanya. Berdasarkan petunjuk nash Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa kita wajib ittiba' dan mentaati hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, saw. Diantara ayat-ayat tersebut adalah: a. Surat Al-Hasyr ayat 7 : .)7 : ا (اٌحششََُٛٙا ُوُْ ػَُْٕٗ فَأْرَٙٔ ََِاٚ ُْٖٚ خ ُز ُ َْيُ فٛع ُ َََِا أَذَا ُوُُ اٌشٚ Artinya : "Apa-apa yang disampaikan Rasululloh kepadamu, terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah" Depag (1971:9l6). b. Surat Al-Nisa' (4) ayat 64; ِغَاعَ ِتِئرِْْ اهلل١ُ ٌِ َيٍ إِّالََُِٛآأَسْعٍََْٕا ِِٓ سَعٚ 14 Artinya: "Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk dita'ati dengan idzin Alloh" Depag (1971:129) c. Surat Al-Ahzab (33) ayat 36 ِِْٓ َُ َشج١ُُِ اٌْخُٙ ٌَ ََُْٛى٠ ٌََُْٗ أَِْشًا أَُٛسَعٚ ُ اهللََّٝالَ ُِؤَِِْٕحٍ ِإرَا َلضٚ ٍََِِِْٓاوَاَْ ٌِ ُّؤٚ }36 { ُِْ٘ أَِْ ِش Artinya : "Tidak layak bagi seorang Islam laki-laki dan perempuan apabila Alloh dan Rasulnya telah menetapkan suatu -peraturan- menggunakan hak pilihannya" Depag (1971:673). Berdasarkan ijma‟ shohabat menetapkan bahwa wajibul ittiba' terhadap hadits, baik pada masa Rasululloh saw. masih hidup maupun setelah wafat. Semasa Rasul hidup, para sahabat taat patuh terhadap peraturan-peraturan dan meninggalkan terhadap larangan-larangan Rasululloh. Setelah Rasul wafat tetap mereka menanyakan ketentuan dalam hadits, jika mereka tidak mendapatkan sesuatu hukum dalam nash al-Qur-an (Fatchur Rahman) 1970 : 61-62. 2. Kedudukan Hadits sebagai sumber Dasar Hukum Islam setelah Al-Qur'an dan Pendapat ulama Madzhab yang empat Tentang Posisi Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam Setelah Al-Qur'an Membahas kedudukan hadits sebagai sumber dasar hukum Islam tidak lepas dari fungsi hadits terhadap al-Qur'an. Oleh karena itu untuk mengetahui kedudukan hadits tersebut terlebih dahulu akan dijelaskan tentang fungsi hadits terhadap Al-Qur'an. Fungsi hadits terhadap al-Qur'an ada tiga macam : Pertama; berfungsi menetapkan (tatsbit) dan memperkukuh (taukid) apa-apa yang terdapat dalam al-Qur'an. Dalam hal ini 15 kedua-duanya satu martabat sebagai sumber hukum Islam; baik al-Qur'an maupun al-Hadits sebagai wahyu Allah SWT. sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat An-Najm ayat 3 }4-3 : ُ {إٌعَٝحُٛ٠ ٌٟح ْ َّٚال َ َِ إُٛ٘ ِْْ إ.ََٜٛٙ ٌْغكُ ػَِٓ ا ِ ْٕ َ٠ََِاٚ Artinya : "dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) Depag (1971: 871) Contohnya hadits-hadits yang menguatkan perintah kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, shodaqoh dan keharaman riba. Kedua; hadits berfungsi menjelaskan al-Qur‟an menafsirkan yang masih samar (mubham), memerinci (tafshil) yang masih mujlmal (global), memeberikan taqyid (persaratan) yang masih muthlaq, mentakhsish ayat-ayat yang masih umum. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 44: }44{ ََُْٚرَفَىَش٠ ُُْٙ ٌٍََََؼٚ ُِْٙ ْ١ٌََِِٓ ٌٍَِٕاطِ َِأُضِيَ إ١َهَ اٌزِوْشٌَِرُث١ْ ٌََِأَٔضٌََْٕآإٚ Artinya : "Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (perintah-perintah, laranganlarangan, aturan-aturan dan lain-lain yang terdapat dalam al-Qur'an) dan supaya mereka memikirkan. Depag (l971:408) (Al-A'zhomy) 1980:12. Contohnya seperti menjelaskan cara-cara shalat, jumlah rakaat shalat dan waktu-waktu shalat. Ketiga : hadits berfungsi menetapkan hukum-hukum yang tidak terdapat nashnya dalam al-Qur'an. Mengenai fungsi hadits ketiga ini Ajjaj al-Khotib (1989 : 49-50) mengutip pendapat Imam Syafi'iy dalam kitab Risalahnya (1940: 88-89) yang mengatakan bahwa sesuatu hukum 16 yang dibuat (diadakan) oleh Rasul saw., yang bukan dari al-Qur'an, maka hal tersebut dihukumi sunnahnya dengan hukum Allah, sebagaimana berita yang telah disampaikan Allah dalam firman-Nya: )٥٢:ٜسٛ طِشَاطُ اهلل)(اٌش.ُْ١ِ طِشَاطٍ ُِغْرَمٌَِٝ إِٜذْٙ ََإِ َٔهَ ٌَرٚ( Artinya : "Dan sesuagguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan Alloh. Depag (1971:791). Rasul saw, telah membuat hukum bersumber dari kitab Allah, dan membuat aturan yang tidak termuat dalam al-Qur‟an melalui petunjuk al-Kitab. Dan setiap sesuatu yang disunnahkan oleh Rasul, maka Allah mewajibkan kepada kita untuk menurutinya, menurutinya berarti mentaatinya. Dan perbuatan yang cenderung untuk tidak ittiba’ kepada sunnah adalah termasuk inkar kepadanya. Contohnya seperti pangharaman meminum arak dan haram memakan binatang buas yang bertaring, larangan seseorang berpoligami terhadap seorang wanita dengan bibinya. Ajjaj Al-Khotib (1989:46-30). Dengan memperhatikan fungsi hadits terhadap al-Qur'an tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa kedudukan hadits dalam perundang-undangan hukum Islam adalah sebagai sumber dasar perundang-undangan hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an. Para ulama berbeda pendapatnya dalam meletakkan posisi kedudukan hadits sebagai dasar syari'at Islam. Diantaranya tokoh ulama madznab yang empat. Imam Syafi'iy dan imam Ahmad Ibnu Hanbal keduanya meletakkan hadits sejajar dengan al-Qur'an, hanya saja diantara keduanya ada perbedaan dalam mengambil hadits. Imam Syafi'iy mengambil hadis yang sohih saja, sedangkan Ahmad mengambil hadits yang marfu‟. Dua imam madzhab lain yaitu Imam 17 Abu Hanifah dan Imam Malik ibnu Anas meletakkan hadits derajatnya menduduki kedua setelah al-Qur'an. Hasbi Ash-Shiddieqy (1980:99-107). C. Kualitas dan Kehujahan Hadits 1. Pembagian Hadits berdasarkan Kualitasnya Para ulama berbeda pendapatnya dalam membagi hadits berdasarkan kualitas. Masalah yang diperselisihkan adalah tentang memasukkan hadits hasan kepada pembagian tersebut. Sebagian muhaddits memasukkan hadits hasan kepada hadits shohih, karena mereka melihat dari segi hukum bahwa hadits shohih dengan hadits hasan sama-sama bisa dijadikan hujjah. Sebagian lagi memandang berdasarkan diterima atau tidaknya periwayatan, rowi yang diterima riwayatnya, haditsnya disebut hadits shohih, sedangkan yang tidak diterima haditsnya disebut hadits dloif. Oleh karenanya mereka membagi hadits menjadi dua bagian: (1) hadits shohih; dan (2) dlo'if. Akan tetapi, dalam sebagian hadits lain persyaratan rowi yang diterima riwayatnya tidak mencapai derajat yang tinggi (shohih). Disebabkan karena tidak sempurna keteguhan hafalannya dan kedlobitannya. Sedikit di bawah kedlobitan para periwayat hadits shohih. Mereka tergolong derajat periwayat pertengahan antara shohih dengan dlo'if, tetapi haditsnya diterima dan diamalkan. Dan terhadap yang demikian itu muhaddits menyebutnya hadits Hasan. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh Al-Turmudzi (Al-Sakhowy) 1968:16-17). Dengan demikian. pembagian hadits berdasarkan kualitasnya menjadi tiga bagian, yaitu: (1) shohih; (2) hasan; dan (3) dlo'if. a. Hadits Shohih Definisi hadits shohih adalah: 18 َُٖاَٙ ُِْٕرٌََِٝ َرظًُِ إِعَْٕا ُدُٖ تَِٕمًِْ اٌْ َؼذْيِ اٌضَا ِتظِ ػَِٓ اٌْ َؼذْيِ اٌضَا ِتظِ إ٠ ِٞاٌَُّْغْ َٕذُ اٌَز .ٌََا ُِؼًٍٍََاٚ ُْ شَارًاَُٛى٠ ٌََاٚ Artinya : "Hadits yang bersanbung sanadnya diriwayatkan (dinukil) oleh periwayat yang adil lagi dlobith dari periwayat yang adil dan dlobith sampai akhir sanad dan tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (illat). (Ibnu Al-Sholah) t.t.:6 dalam Ajjaj al-Khotib (1989:304). Dalam definisi yang lebih ringkas lagi adalah: ٌٍََا شَارٚ ًٍٍََْشُ ُِؼ١َػذْيٌ ذَاَُ اٌضَ ْثظِ ُِ َرظًُِ اٌغَ َٕذِ غ َ ٍَََُِٗا َٔم Artinya : "Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung tidak ber'illat dan tidak janggal" (Fatchur Rahman) 1970: 117. Dari dua definisi hadits shohih di atas, maka dapat ditentukan bahwa syarat-syarat hadits shohih ada lima, yaitu: 1. Sanadnya bersambung; dengan demikian tidak termasuk di dalamnya hadits yang tidak sempurna persambungan sanadnya Ajjaj al-Khotib (1989:305). Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu (Syuhudi Ismail) 1988:111. 2. Para periwayatnya bersifat adil, yaitu orang yang beragama Islam dan teguh dalam beragamanya, bagus akhlaknya, selamat dari perbuatan fasik dan memelihara muruah. Menurut Ibnu Qudamah muruah disamakan artinya dengan rasa malu. 19 3. Para periwayatnya bersifat dhobit. Yang dimaksud dengan dlobit adalah; kesiapan periwayat ketika menerima dan memahami hadits yang didengarnya, dan mampu menghapalnya dari sejak menerimanya sampai kepada waktu meriwayatkannya (waqta al-ada). Atau keadaan periwayat itu hafizh (kuat hafalannya) terhadap apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hapalannya itu kapan saja ia menghendakinya, kuat pemahamannya apabila dia meriwayatkan dengan ma'na, dan memelihara tulisannya dari tahrif (penambahan huruf) atau tabdil (penggantian huruf) atau menguranginya ketika dia membacakan tulisannya sesuai dengan apa yang terdapat dalam tulisannya dengan hapalannya (Ajjaj al-Khotib) 1989:305. 4. Terhindar dari syudzudz (kejanggalan) Menurut Al-Syafi'iy hadits yang mengandung syudzudz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqot dan bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat Tsiqot Ibnu Solah (t.t.: 48) dalam Syuhudi Ismail (1988:123). Dengan demikian dapatlah diriwayatkan, bahwa hadits syadz tidak disebabkan oleh kesendirian individu periwayat dalam sanad hadits, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah hadits fard muthlaq (kesendirian absolut) atau periwayat yang tidak tsiqot. Hadits baru berkemungkinan mengandung syudzudz bila: (a) hadits itu memiliki lebih dari satu sanad, (b) para periwayat hadits itu seluruhnya tsiqot; dan (c) matan dan atau sanad hadits itu ada yang mengandung pertentangan. Menurut al-Hakim apabila periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqot, kemudian haditsnya memiliki mutabi atau syahid, maka kesyadzan hadits tidak terjadi (Syuhudi Ismail) 1988:122. 5. Selamat dari kecacatan (illat) 20 Menurut istilah ilmu hadits pengertian illat adalah suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai kesahihan suatu hadits. Contohnya periwayat meriwayatkan hadits secara muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur salah seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqothi (yang gugur salah seorang periwayatnya) dan sebaliknya. Demikian juga dapat dianggap suatu illat hadits, yaitu suatu sisipan yang terdapat pada. matan hadits (Fatchur Rahman) 1970:122-123. Illat hadits sebagaimana juga syudzudz hadits, dapat terjadi pada matan, sanad atau pada keduanya sekaligus. Akan tetapi yang terbanyak, illat hadits terjadi pada sanad. Pembagian Hadits Shohih Hadits shohih terbagi kepada dua bagian: (1) shohih lidzatih; dan (2) shohih lighoirih. Shohih lidzatih yaitu hadits yang lengkap mencakup semua persyaratan hadits shohih, sedangkan sohih lighoirih yaitu hadits yang tidak sempurna syarat-syarat kesahihannya. Seperti periwayatnya adil tapi tidak sempurna kedlobitannya, apabila hadits ini memiliki jalan lain, maka dia disebut shohih lighoirih. Jadi kesahihannya karena ada dukungan hadits (dari jalan) lain (Ajjaj al-Khatib) 1989:306. Demikian pula hadits hasan bisa naik jadi sohih lighoirih jika memiliki banyak jalan sebagaimana akan dibahas dalam pembahasan hadits hasan. b. Hadits Hasan Henurut Ajjaj Al-Khotib (1989:332) definisi hadits hasan adalah: .ٌٍََا ػٍَِحٚ ٍرْٚ ش ُز ُ ِْش١َاٌَحَغَُٓ َِا ا َذظًََ عَ َٕ ُذُٖ تِ َؼذْيِ خَفَ ضَ ْثغُُٗ ِِْٓ غ Artinya : "Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rowi yang adil, sedikit kurang kedlobitannya dan terhindar dari kejanggalan dan kecacatan". 21 Dari ta'rif tersebut dapat dipahani bahwa perbedaan antara hadits shohih dengan hadits hasan adalah: (a) hadits shohih disyaratkan sempurna kedlobitannya; dan (b) hadits hasan disyaratkan asal saja periwayatnya dlobit sekalipun tidak sempurna kedlobitannya. Hadits hasan terbagi dua bagian: (1) hasan lidzatih; dan (2) hasan lighoirih. Hasan lidzatih yaitu segala sesuatu yang tercakup dalam pembahasan ta'rif hadits hasan di atas. Hasan lighoirih asalnya hadits dlo'if yang memiliki banyak jalan dan kedloifannya bukan karena sebab kefasikkan periwayatnya dan bukan pula karena kedustaannya. c. Hadits Dlo'if Definisi hadits dloif menurut istilah muhaddits adalah: ِِٗعْٚ َعْ َّغْ طِفَحَ اٌْحَغَِٓ تِفَ ْمذِ شَ ْشطٍ ِِٓ شُ ُش٠ ٌَُ َِا Artinya : "Setiap hadits yang tidak terkumpul padanya sifat (syarat-syarat) hadits hasan karena hilang satu diantaranya dari syarat-syarat hadits hasan" (Mahmud Thohan) 1985:63. Hadits dlo'if bisa naik nilainya menjadi hadits hasan apabila: (a) diriwayatkan oleh lebih dari satu jalan; dan (b) sebab kedloifannya karena jelek hapalan periwayatnya atau kareaa terputus sanadnya atau samar dalam rangkaian periwayatnya (Mahmud Thohan) 1985:52. 2. Jalan yang Ditempuh para Ulama dalam Mencari Kualitas Hadits Bagi setiap peneliti hadits dalam menentukan kualitas hadits terlebih dahulu harus menempuh jalan takhrij dan dirosah al-asanid, selanjutnya memberikan penilaian terhadap kualitas hadits yang ditelitinya. a. Takhrij Takhrij menurut istilah para muhaddits adalah: 22 ََْا١َ أَخْشَظَرُْٗ تِغَ َٕ ِذِٖ ُشَُ تَِٝحِ اٌَر١ٍِْألط َ َِظَادِ ِسِٖ اِْٝسِ ف٠ِحذ َ ٌضغِ ا ِ ْٛ َِ ٍَََٝاٌذٌَِاٌَحُ ػ .َِِشْذَثَرَُٗ ػِ ْٕذَ اٌْحَاظَح Artinya : "Penunjukkan hadits dalam kitab sumber asalnya yang dikeluarkan lengkap dengan sanadnya. Kemudian dijelaskan martabat (kualitas)nya (Mahmud Thohan) 1978:12. Dari ta'rif itu dapatlah dikatakan bahwa takhrij adalah penelitian kembali terhadap haditshadits yang terdapat dalam sebuah kitab yang disebutkan oleh penyusunnya mengenai sumber pengambilan hadits tersebut, atau tidak disebutkan sama sekali sumbernya. Kemudian peneliti hadits melihat kembali pada sumber asalnya, selanjutnya memeriksa rangkaian sanadnya sehingga dia (peneliti) dapat menentukan kualitasnya. Yang disebut kitab sumber asal adalah kitab yang disusun dengan cara menghubungkan dalam rangkaian sanad sejak mukhorrij sampai kepada Nabi saw. seperti: kutub al-sittah, Muatho Malik, Musnad Ahmad, Mustadrok Al-Hakim, Mushonnaf Abdu1-Roziq. Selain kitabkitab tersebut ada juga. kitab-kitab mushonnafat yang di dalamnya. terdapat hadits, dengan syarat penyusunnya tidak mengambil dari kitab lain, tetapi dia sendiri langsung menerimahaditsnya langsung dari gurunya; yang mungkin sanadnya. sampai kepada Nabi saw. seperti: kitab tafsir, fiqh dan. sejarah (tarikh). Jalan yang ditempuh oleh para muhadditsin dalam mentakhrij suatu hadits melalui salah satu dari lima cara berikut ini: 1. Mentakhrij hadits dengan cara melihat periwayat hadits dari shohabat. Cara ini bisa dilakukan apabila dalarn hadits yang akan diteliti tersebut nama shohabat. Jika tidak, maka tidak bisa dilakukan penelitian. 23 Apabila dalam haditsnya tersebut nama shohabat, maka kita harus mencarinya berdasarkan nama-nama periwayat dari golongan shohabat. Untuk itu kita mencari dalam salah satu yang tiga: (1) al-masanid (kitab yang tersusun berdasarkan nama seluruh shohabat yang meriwayatkan hadits) seperti Musnad Ahmad bin Hambal; (2) al-Mu’jam (kitab hadits yang tersusun berdasarkan nama shohabat, guru-guru atau negara secara berurutan menurut huruf mu'jam (abjad Arab) seperti Al-Mu'jam Al-Kabir Al-Thobrony; (3) Kutub Al-Athrof (kitab hadits yang tersusun berdasarkan matan hadits yang ditulis ujungnya atau awalnya kemudian disebutkan sanadnya). Mahmud Thohan (1978:29-47). 2. Mentakhrij hadits dengan cara melihat awal lafazh matan hadits. Cara ini bisa dilakukan dengan bantuan beberapa kitab di antaranya: (1) kitab-kitab yang tersusun berdasarkan hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat yang kebanyakan susunannya berdasarkan huruf mu'jam. Seperti kitab al-tadzkirroh fi al-ahadits; (2) kitabkitab hadis yang disusun berdasarkan tertib huruf mu'zam seperti Al-jami' Al-Shoghir Min Hadits Al-Basyir Al-Nadzir oleh Al-Suyuthi; (3) kitab 'al-Mafatih fii al-Faharis yang disusun oleh para ulama untuk kitab yang tertentu. Seperti kitab Miftah Al-Shohihaen dan Fihris Li Ahadits (shohih Muslim) al Qouliyah (Mahmud Thohan (1978:63-89). 3. Mentakhrij hadits dengan cara melihat kalimat (yang jelas yang mudah diucapkan/dari juz (bagian) dari matan hadits. Kitab yang dipergunakan untuk membantu cara ketiga ini ialah kitab Al-Mu'jam Al-Mufahros Li Alfadzh Al-Hadits Al-Nabawy. Seperti kitab yang terkenal susunan seorang orientalis yang bernama Doktor Arndjan Winsink (-1939). Kitab ini mencakup sembilan kitab sumber asal yaitu : kutub al-Sittah, Muatho Malik. Musnad Ahmad bin Hambal dan Musnad Al-Darimy Mahmud Thohan (1978:91-92). 4. Mentakhrij hadits dengan cara melihat judul hadits (pokok bahasan). 24 Cara keempat ini tidak semua orang dapat melakukannya karena cukup sulit untuk menentukan isi pokok bahasan dalam suatu hadits kecuali mereka yang memiliki perasaan dan keilmuannya tinggi. Untuk memudahkannya bisa dilihat dalam kitab yang tersusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul yaitu: a. Kitab al-Mushonnafat yang mencakup semua bab-bab keagamaan seperti: Al-Jawami', Al-Mustakhrojat wa Al-Mustadrokat 'Ala Al-Jawami', Al-Zawaid dan kitab Miftah Kunuz Al-Sunnah; b. Kitab yang sebagian besar bab-bab keagamaan. Seperti: Al-Sunan Al-Mushonnafat, AlMua-thoat dan Al-Mustakhrojat 'Ala Al-Sunan; c. Kitab yang khusus berisi sebagian bab-bab keagamaan. Seperti: Al-Ajza, Al-Targhib wa Al-Tarhib, Al-Ahkam, Maudlu'at, kitab-kitab takhrij (Thohan) 1978:108. 5. Mentakhrij hadits dengan cara melihat keadaan matan dan sanad hadits. Mentakhrij hadits dengan cara yang kelima ini ialah meneliti keadaan dan sifat-sifatnya yang terdapat pada sanad dan matan hadits atau secara bersamaan. a. Matan, yaitu jika terdapat tanda-tanda: hadits tersebut sulit diucapkan (rikakah) lafazhnya, rusak artinya atau bertentangan dengan al-Qur'an. Hal ini bisa dilihat dalam Al-Maudlu'at; b. Sanad, seperti: 1. Terdapat seorang ayah meriwayatkan hadits dari anaknya. Maka kitab sumber pentakhrijannya diambil dari kitab-kitab hadits riwayat al-Aba 'an Al-Ab-na susunan Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khotib Al-Baghdady (463 H); 25 2. Atau keadaan sanadnya, musalsal, maka, bisa dilihat dalam kitab Al-Musalsalat AlKubro susunan Al-Suyuthi dan kitab Al-Manahil Al-Salsalah Fi Al-Ahadits AlMusalsalah susunan Muhammad Abdul-Baqy Al-Ayuby; 3. Atau sanadnya mursal. Maka bisa dilihat dalam kitab Al-Marosil susunan Abu Baud Al-Sijistany dan kitab Al-Marosil susunan Abu Hatim Abdul-Rahman bin Muhamnad Al-Hanzholy Al-Rozy (327 H). c. Melalui matan dan sanad secara bersamaan Yaitu melihat sifat-sifat dan keadaan hadits yang terkadang terdapat dalam matan dan terkadang pula terdapat dalam sanad. Seperti illat (kecacatan) dan ibham (kesamaran). Jika mendapat hadits seperti ini maka harus dilihat dalam: 1. Kitab Ilal Al-Hadits karangan Ibnu Abi Hatim Al-Rozy; 2. Kitab Al-Asma Al-Mubhamah Fi Al-Abna Al-Muhkamah karangan Al-Khotib AlBaghdady; 3. Kitab Al-Mustafadu Min Mubhamat Al-Matan wa Al-Isnad Karangan Abu Zur'ah Ahmad bin Abdi Al-Rohim Al-Iroqy Mahmud Thohan (1978:148-151). b. Dirosah Al-Asanid Wa Al-Hukmu 'Ala Al-Hadits (Penelitian Sanad dan Penentuan Kualitas Hadits) Yang dimaksud dengan dirosah al-asanid adalah meneliti silsilah (mata rantai) rangkaian periwayat dalam sanad dengan cara menerjemahkan masing-masing periwayat tersebut, untuk selanjutnya menentukan kualitas sanad tersebut. Ilmu bantu yang diperlukan untuk penelitian sanad adalah ilmu Jarh wa ta'dil dan tarikh al-ruah. Oleh karena itu sebelum menjelaskan tata kerja penelitian sanad (dirosah al-asanid), 26 penulis lebih dahulu akan menjelaskan kedua ilmu itu dalam masalah-masalah yang berkaitan erat dengan kerja penelitian sanad. Ilmu jar'h dan ta'dil yaitu suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rowi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan, sedangkan ilmu tarikh al-ruah adalah ilmu yang membahas tentang kapan dan dimana seorang periwayat dilahirkan, dari siapa ia menerima hadits, siapa orang yang pernah mengambil hadits dari padanya dan akhirnya diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat (Fatchur Rahman) 1970:295 dan 307 1. Syarat-syarat periwayat yang diterima Telah sepakat jumhur Muhadditsin bahwa rowi (periwayat) yang diterima riwayatnya adalah harus memiliki dua syarat pokok, yaitu: (1) adil; dan (2) dlobith. Tentang arti dan syarat adil dan dlobith bisa dilihat kembali dalam persyaratan hadits shohih halaman 9-10. a. Penetapan keadilan periwayat Sekalipun unsur-unsur syarat keadilan telah ada, tetapi tidak semua orang bisa menentukan bahwa seseorang periwayat adalah adil. Walau demikian keadilan bisa ditetapkan dengan dua perkara: 1. Ketentuan dari ulama jarh dan ta'dil dalam kitabnya; 2. Atau dengan kemasyhurannya mengenai kejujurannya, keteguhan dan ketekunan dzikirnya. Seperti Malik bin Anas, Sufyan Al-Tsaury dan Sufyan Ibnu Uyainah, AlAuza'iy dan Al-Laets bin Sa'ad. b. Cara mengetahui kedlobitan periwayat Cara untuk mengetahui kedlobitan para periwayat yaitu dengan melihat kesesuaian ketsiqotan dan al-mutqinin fi al-riwayah (keteguhan dan kebagusan dalam periwayatannya). Jika sesuai dalam periwayatannya maka dia dlobit (Mahmud Thohan) 1978:159-160. 27 2. Apakah diterima Jarh dan Ta'dil dengan tidak Menjelaskan sebab-sebabnya a. Menurut madzhab yang masyhur penta'dilan diterima sekalipun tidak dijelaskan sebabsebabnya, karena sebab-sebab keadilan banyak, sulit untuk menyebutkannya; b. Adapun. tentang jarah (kecacatan) tidak diterima kecuali harus diterangkan dan dijelaskan sebab-sebabnya, karena tidak sulit menyebutkannya. Jika berkumpul jarh dan ta'dil pada seorang rowi, maka menurut golongan yang mu'tamad (kuat) harus didahulukan jarh. Itu pun Jika kecacatannya dijelaskan, tetapi apabila kecacatannya samar, maka didahulukan ta'dil. Bagaimana Jika penetapan kecacatan dan keta'dilan tersebut hanya oleh seorang. Menurut golongan yang shohih ditetapkan jarh dan ta'dil dengan ucapan seorang dari ahli jarh dan ta'dil sekalipun hanya seorang abid atau seorang wanita. 3. Lafazh-Lafazh Jarh dan Ta'dil dan Tingkatan-tingkatannya Abu Hatim Al-Rozy dalam muqoddimah kitabnya (Al-Jarhu wa Al-Ta'dil) membagi setiap lafazh jarh dan ta'dil kepada empat tingkatan dan menjelaskan hukumnya dari setiap martabatnya. Kemudian Al-Dzahaby dan Al-Iroqy menambah satu martabat kepada martabat ta'dil yaitu di atas nomor satu dari urutan tingkatan Abu Hatim, yaitu lafazh tautsiq seperti (ق زج ) شمحatau ( ق حعح ) زج. Kemudian Al-Hafizh Ibnu Ha-jar Al-'Asqolany menambah lagi satu tingkatan di atas urutan yang telah ditambah oleh Al-Dzahaby dan Al-'Asqolany yaitu lafazh shighot altafdlil seperti ( عق إٌاطٚ ) أatau 28 ( ) أشثد إٌاط, maka jadilah tingkatan ta'dil menjadi enam tingkatan. Mahmud Thohan (1978:163). a. Tingkatan-tingkatan Lafazh Ta'dil Pertama: lafazh yang menunjukkan kepada sheghat mubalaghah (kata-kata yang mengandung kelebihan) dalam mentsiqotkan, atau kepada wazan af'ala. Lafazh-lafazh ini derajatnya lebih tinggi. Seperti: ٝ فٝٙٗ إٌّر١ٌفالْ إ sipulan orang yang paling top keteguhan hati dan : اٌرصثد lidahnya, ٝشا ف١ّال أػشف ٌٗ ٔظ di dunia ini tidak ada orang yang setara : ا١ٔاٌذ فالْ أشثد إٌاط dengannya si anu orang yang paling teguh hapalan dan : keadilannya أشك اٌخٍك : orang yang paling terpercaya ِٓ شك ِٓ أدسودٚأ dia orang yang paling kepercayaan diantara orang: اٌثشش orang yang saya temukan. Kedua: lafazh yang dita'kid (dikukuhkan) dengan satu sifat atau dua sifat dari sifat-sifat tautsiq seperti: 29 شمح شمح شمح شثد شثد حعح ِْٛشمح ِؤ شمح حافظ : kepercayaan, kepercayaan, : kepercayaan lagi teguh, : teguh lagi hujjah, : kepercayaan lagi dapat memegang amanat; : kepercayaan lagi hafizh. Ketiga: lafazh yang menunjukkan kepada ketsiqotan periwayat dari segi ta'kid (pengukuhan), seperti: شمح حعح شثد وؤٔٗ ِظحف ػذي ضاتظ : orang yang kepercayaan, : orang yang petah lidahnya, : orang yang teguh, : dia bagaikan mushhaf, : adil lagi dhobit. Keempat: Lafazh yang menunjukkan kepada penta'dilan periwayat yang tidak mencerminkan kedhobitan. seperti: قٚطذ ِحٍٗ اٌظذق : orang yang sangat jujur, : orang yang berstatus jujur 30 ّٗال تؤط ت ِِْٛؤ اس١خ : orang yang tidak cacat, : dapat memegang amanat, : orang pilihan. Kelima: Lafazh yang tidak nenunjukkan kepada pentsiqot-an atau kepada tajrih, seperti: خ١فالْ ش ػٕٗ إٌاطٜٚس ٛ٘ اٌظذق ِاٌٝإ عظٚ عظٚ خ١ش : Si pulan seorang guru, : orang-orang meriwayatkan hadits darinya, : kejujuran ada padanya, : orang yang pertengahan, : seorang guru dan seoraag yang pertengahan. Keenam: Lafazh yang mendekati kepada tajrih. seperti: س٠طاٌح اٌحذ ٗص٠ىرة حذ٠ ٗؼرثش ت٠ س٠ِماسب اٌحذ طاٌح : seorang yang sholeh haditsnya, : haditsnya tertulis, : dia termasuk katagori, : yang sedang keadaannya dalam hadits, : yang sholeh (Mahmud Thohan) 1978:163-l64. Derajat hukum dari masing-masing tingkatan ta‟dil tersebut adalah: 31 a. Tingkatan ta‟dil dari kesatu sampai dengan ketiga bisa dijadikan hujjah sekalipun tingkatannya ada yang lebih kuat; b. Tingkatan keempat dan kelima tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadits mereka ditulis dan diikhtibar (diperiksa serta diteliti) kedhobitannya dengan cara memadukan hadits mereka kepada hadits-hadits yang siqot (kepercayaan) Jika sesuai, maka bisa dijadikan hujjah haditsnya; jika tidak, maka tidak bisa. Seperti derajat shoduq tidak bisa dijadikan hujjah haditsnya sebelum diikhtibar (diperiksa dan diteliti). Tingkatan keenam tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadits mereka ditulis hanya untuk i'tibar saja tidak diikhtibar karena sudah jelas mereka tidak dhobit (Mahmud Thohan) 1978: 16^-165. b. Tingkatan-tingkatan Lafazh Jarh Pertama: lafazh yang menunjukkan kepada talyin (pelunakkan), seperti: س٠ٓ اٌحذ١ٌ ْفال ٗ ِماي١ف ف١صٗ ضؼ٠ حذٝف ظ تزان١ٌ ِْٛظ تّؤ١ٌ : si polan lembut (lemah) haditsnya, : padanya diperbincangkan, : dalam haditsnya terdapat kelemahan, : orang yang tidak ada artinya, : tidak boleh dipegang perkataannya. Kedua : Lafazh yang tidak jelas menunjukkan kepada ketidak hujjahannya, seperti: ٗحرط ت٠ فالْ ّال : si pulan tidak dapat dibuat hujjah haditsnya, 32 ف١ضؼ ش١ٌٗ ِٕاو ٖاٚ ٖٛضؼف : orang yang lemah, : padanya terdapat kemunkaran hadits : orang yang banyak duga-duga, : para ulama melemahkannya. Ketiga: Lafazh yang jelas menunjukkan bahwa haditsnya tidak tertulis, seperti: ٗص٠ىرة حذ٠ فالْ ّال : si anu haditsnya tidak ditulis, ٕٗح ػ٠اّٚال ذحً اٌش : tidak halal meriwayatkan hadits darinya, ف ظذا١ضؼ اٖ تّشجٚ ٗص٠ا حذٛعشح : sangat lemah, : orang yang terus banyak duga : haditsnya dicampakkan. Kempat : Lafazh yang menunjukkan kepada ittiham (prasangka) dusta, seperti: ُ تاٌىزبٙفالْ ِر ضغٌُٛ تاِٙر س٠غشق اٌحذ٠ عالظ ظ تصمح١ٌ : si pulan tertuduh dusta, : tertuduh memalsukan hadits, : pencuri hadits, : seorang yang gugur, : bukan orang kepercayaan. 33 Kelima: Lafazh yang menunjukkan kepada sifat dusta: فالْ وزاب دظاي ضاعٚ : si pulan sangat pendusta, : pengrusak, : seorang yang banyak memalsukan hadits ىزب٠ : dia berdusta, ضغ٠ : orang yang memalsukan hadits. Keenam: Lafazh yang menunjukkan kepada mubalaghoh (kedustaan yang sangat). Ini derajat jarh yang paling jelek: فالْ أوزب إٌاط اٌىزبٝ فٝٙٗ إٌّر١ٌإ سوٓ اٌىزبٛ٘ ِظذس اٌىز بٛ٘ ضغٌٛاٜ فٝٙٗ إٌّر١ٌإ : si pulan orang yang paling dusta, : kepadanya puncak kedustaan : dia tiang tonggak dusta, : dia sumber kedustaan : padanya puncak kepalsuan hadits Derajat hukum dari masing-masing tingkatan jarh tersebut adalah: a. Tingkatan kesatu dan kedua sama sekali haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi haditsnya ditulis hanya untuk i’tibar saja; b. Tingkatan ketiga sampai dengan keenam haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak ditulis dan tidak dii’tibar (Mahmud Thohan) 1978:165-166. 34 4. Tata Kerja Penelitian (Dirosah) Sanad Acuan utama dalam melakukan tata kerja penelitian sanad adalah syarat-syarat hadits shohih. Mengenai syarat-syarat hadits shohih periksa kembali halaman 21-23. Dari syarat-syarat hadits shohih tersebut diturunkan dalam bentuk tahapan tata kerja penelitian sanad sebagai berikut: a. Mengeluarkan terjemah Para Periwayat dalam sanad dari kitab-kitab terjemah. Di antara kitab-kitab terjemah rowi atau disebut juga kitab rijal adalah: 1. Al-Mushonnafat fi ma'rifat al-shohabat Seperti; Al-Isti'ab bi ma'rifat al-ashhab oleh Ibnu Abdi'1-bar al-Andalusy 2. Al-Mushonnafat fi al-thobaqot .(kitab-kitab thobaqot) seperti: a. Al-Thobaqot al-Kubro susunan Abi Abdillah Muhammad bin Sa'ad; b. Tadzkiroh al-huffazh susunan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin 'Utsman alDzahaby. 3. Kitab-kitab ruat (para periwayat) hadits yang umum, seperti: a. Al-farikh al-Kubro susunan Imam Bukhori b. Al-Jarh wa al-Ta'dil oleh Ibnu Abi Hatim 4. Kitab-kitab rijal yang disusun untuk kitab-kitab yang khusus, seperti: a. Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma'rifati Ahli Al-Tsiqoh wa al-Sadad karangan Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-Kilabadzy. Kitab ini khusus untuk terjemah rowi shohih Bukhcry; b. Tahdzib Al-Tahdzib susunan Ibnu Hajar Al-'Asqolany khusus untuk kitab-kitab sunan yang enam. 5. Kitab yang husus membahas periwayat yang tsiqot, seperti: 35 a. Kitab Al-Tsiqot oleh Abu'l-Hasan Ahmad Bin Abdullah bin Sholih Al-Ijly; b. Kitab Al-Tsiqot oleh Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busty. 6. Kitab yang khusus membahas periwayat yang lemah (dho'if), seperti: a. Kizan Al-I'tidal bi Naqdi Al-Rijal oleh Al-Dzahaby b. Lisan Al-Kizan oleh Ibnu Hajar Al-'Asqolany 7. Kitab Rijal yang husus membahas periwayat dalam negara tertentu, seperti: a. Mukhtashor Thobaqot 'Ulama Ifriqiyah wa Tunis oleh Abdu'l-Arob Muhammad bin Ahmad Al-Qirwany; b. Tarikh Baghdad oleh Ahmad bin 'Aly bin Tsabit Al-Khotib Al-Baghdady (Mahmud Thohan) 1978 : 169-206. b. Membahas keadilan dan kedhobithan para periwayat, supaya diketahui bersambung atau tidak sanadnya, yaitu: 1. Tempat kelahirannya dan tempat meninggalnya, negaranya dan pengembaraannya (rihlah); 2. Menerjemahkan para mudallis terutama apabila haditsnya mu'an'an dan mereka tidak menjelaskan secara sima' (kata-kata yang menunjukkan bahwa mendengar langsung dari gurunya) 3. Perkataan-perkataan para ulama yang menjelaskan bahwa sebagian rowi mendengar langsung dari sebagian yang lain atau tidak mendengarnya, seperti: ْأْ فالٔا عّغ ِٓ فال bahwa si pulan telah mendengar haditsnya : langsung dari si anu, ِٓ غّغ٠ ٌُ أْ فالٔا Bahwa si pulan tidak mendengar langsung : haditsnya dari si anu. 36 ْفال c. Menyimpulkan hasil pembahasan keadilan kedhobithan para periwayat, sebagai berikut: 1. Lafazh-lafazh jarh dan ta'dil dalam setiap terjemah kemudian meletakkan lafazhlafazh tersebut sesuai dengan tingkatannya; 2. Pertentangan jarh dan ta'dil pada seorang periwayat bagaimana menyelesaikannya; 3. Ada atau tidaknya istilah khusus bagi lafazh jarh dan ta'dil (ulama-ulama yang mudah menentukan jarh dan ta'dil. 5. kata-kata yang menjelaskan bahwa si rowy meriwayatkan hadits dari kawankawannya sebaya umurnya atau seperguruan (riwayat al-aqron). d. Melihat kitab-kitab illat sebelum menentukan kualitas hadits; supaya diketahui ada atau tidaknya kecacatan dan kejanggalan (syudzudz). Kitab-kitab yang merabahas illat hadits adalah: a. Ilal al-Hadits oleh Abu Hatim; b. Al-'Ilal wa Ma'rifah Al-Rijal oleh Ahmad bin Hanbal; c. Al-Ilal oleh Ibnu Al-Hadany; d. Al-'Ilal Al-Kabir Wa Al-'Ilal Al-Shoghir oleh Al-Turmudzy; e. Al-'Ilal Al-\Yaridah Fi Al-Ahadits Al-Nabawy oleh Al-Daru Quthny. e. Memberikan penilaian kepada hadits yang diteliti. Penilaian hadits yang dianggap cukup baik menggunakaa perkataan: shohihu al-isnad (sanadnya sohih), atau hasanu al-isnad (sanadnya hasan), atau dho' ifu al-isnad (sanadnya lemah). Mahmud Thohan (1978:217235). 37 3. Kehujahan Hadits dan Mengamalkannya Hadits-hadits yang bisa digunakan uatuk berhujah disebut hadits maqbul dan hadits yang tidak diterima sebagai hujjah disebut hadits mardud. Yang disebut hadits maqbul ialah: (1) hadits shohih, baik shohih lidzatih maupun shohih lighoirih; dan (2) hadis hasan, baik hasan lidzatih maupun hasan lighoirih. Sedangkan yang termasuk hadits mardud ialah segala macam hadits dho'if. Hadits maqbul menurut sifatnya ada yang bisa diamalkan dan ada yang tidak bisa diamalkan. Hadits maqbul yang bisa diamalkan disebut maqbul ma'mulun bih. Dan yang tidak bisa diamalkan disebut hadits maqbul ghoyru ma'mulun bih. Hadits-hadits maqbul yang ma'mulun bih ialah: a. Hadits Muhkam: yakni hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits lain, yang dapat mempengaruhi artinya; b. Hadits Mukhtalif (berlawanan) yang dapat dijamakan (dikompromikan). Kedua hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-duanya; c. Hadits rajih : yaitu hadits yang terkuat diantara dua hadits yang berlawanan maksudnya; d. Hadits Nasikh: yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadis yang datang lebih dulu darinya. Hadits maqbul yang ghoyru ma'mulun bih ialah : a. Hadits mutasyabih: yaitu hadits yang sukar difahani maksudnya, lantaran tidak cepat diketahui ta'wilnya; b. Hadits mutawaqquf fih : yakni dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak bisa dijamakan (dikompromikan), ditarjihkan dan dinasakhkan; 38 c. Hadits marjuh : yakni hadits maqbul yang ditenggang oleh hadits maqbul lain yang labih kuat; d. Hadits mansukh: yakni hadits yang telah dihapuskan oleh hadits maqbul yang datang kemudian; e. Hadits maqbul yang ma'nanya berlawanan dengan Al-Qur'an hadits mutawatir, akal yamg sehat dan ijma‟ ulama. (Fatchur Rahman) 1970:143-147. BAB III ANALISIS TERHADAP HADITS-HADITS MENGENAI ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR'AN A. Teks Hadits yang Terdapat dalam Kitab-kitab Hadits dan Kitab Tafsir bi al-Ma'tsur Hadits mengenai anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur'an berdasarkan kitab al-Mu'jam almufahros li al-Fazh al-Hadits al-Nabawi karya Dr. A. J. Wensinck terdapat dalam sunan Turmudzi dan sunan Abu Daud (A.J.Vensinck) 1943 :-204. Berdasarkan kitab Tuhfah alAhwadzi sarah Sunan al-Turmudzi, hadits tentang anti ro‟yu tersebut terdapat pula dalam tafsir al-Thobari. 39 Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut : 1. Hadits yang terdapat dalam kitab sunan Tirmidzi ٛ٘ٚ ً اتٓ ػثذ اهلل١ٙ حثاْ تٓ ٘الي أخثشٔا عٕٝذ حذش١ّحذشٕا ػثذ تٓ ح ٓ ػٓ ظٕذب تٝٔٛ ػّشاْ اٌعٛ حذشٕا أتٝ حضَ اٌمغؼٛ حضَ أخٝاتٓ أت ْ اٌمشآٝعٍُ (ِٓ لاي فٚ ٗ١ٍ اهلل ػٍٝي اهلل طٛ لاي سع: ػثذ اهلل لاي .)268 . ص4 ضٜ فؤطاب فمذ أخغؤ) (ذشِزٞتشأ ٖ Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami Abd bin Hamid dari Habban bin Hilal dari Suhel ibn Abdillah (dia adalah Ibn Abi Hazm sudara nazm al-Qutho'i) dari Abu 'Iron al-Juni dari Jundub bin 'Abdillah ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw. (Barang siapa yang berkata (menafsirkan) al-Qur'an berdasarkan kepada ro'yunya semata, kemudian hasil penafsirannya itu benar maka sesungguhnya dia itu dipandang salah) Sunan Tirmidzi Juz 4 (tt : 268). 40 SKEMA 1 HADITS TENTANG ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN PADA SUNAN TIRMIDZI لاي سعٛي اهلل طٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١عٍُ ِٓ لاي ف ٝاٌمشآْ تشأ ٗ٠فؤطاب فمذ أخغؤ لاي ظٕذب تٓ ػثذ اهلل ػٓ أت ٛػّشاْ اٌعٝٔٛ حذشٕا ع ً١ٙاتٓ ػثذ اهلل أخثشٔا حثاْ تٓ ٘الي 41 حذشٕٝ 2. Hadits yang terdapat dalam kitab sunan Abu Daud ٜب تٓ إعحاق اٌّمشٛؼم٠ أخثشٔاٟح٠ ٓحذشٕا ػثذ اهلل تٓ ِحّذ ت ْ ػّشاٛ أخثشٔا أتٝ حضَ اٌمغؼٛشاْ أخِٙ ًٓ ت١ٙ أخثشٔا عِٝاٌحضش ورابٝعٍُ (ِٓ لاي فٚ ٗ١ٍ اهلل ػٍٝي اهلل طٛ لاي سع: ػٓ ظٕذب لاي .)ٗ فؤطاب فمذ أخغؤ٠اهلل تشأ Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami 'Abdu Alloh bin Muhammad bin Yahya dari Ya'qub bin Ishaq al-Muqri al-Hadhromi dari Suhel bin Mihron saudara Hazm al-Qutho'i dari Abu 'Imron dari Jundub ia berkata : telah bersabda Rasululloh saw: (Barang siapa berkata (menafsirkan) Kitab Alloh (al-Qur'an) berdasarkan kepada ro'yunya, kemudian hasil penafsirannya itu benar, maka sesunggunya dia dipandang salah) (Abu Daud). Gambaran skematis dari hadits di atas adalah: 42 SKEMA II HADITS TENTANG ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR'AN PADA SUNAN ABU DAUD لاي سعٛي اهلل طٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١عٍُ أطاب ِٓ لاي ف ٝوراب اهلل تشأ ٗ٠ف فمذ أخغؤ لاي ظٕذب ػٓ أت ٛػّشاْ أخثشٔا ع ً١ٙاتٓ ِٙشاْ أخثشٔا ٠ؼمٛب تٓ إعحاق اٌّمشٜ أخثشٔا ػثذ اٌٍح تٓ ِحّذ تٓ ٠حٝ١ حذشٕا أت ٛداٚد 43 3. Hadits yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Thobari sebagai berikut: حذشٕا حثاْ تٓ ٘الي لاي: لاي،ُٜ اٌؼٕثش١حذشٕا اٌؼثاط تٓ ػثذ اٌؼظ ْ ػٓ ظٕذب أٝٔٛ ػّشاْ اٌعٛ حذشٕا أت: حضَ لايًٝ تٓ أت١ٙحذشٕا ع ٗ فؤطاب٠ اٌمشآْ تشأٝ (ِٓ لاي ف: عٍُ لايٚ ٗ١ٍ اهلل ػٍٝي اهلل طٛسع .35 . ص،1 ضٝفمذ أخغؤ) اٌمشعث Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami al-'Abbas bin Abdi al-'Azhim al-'Anbari dari Habban bin Hilal dari Suhel bin Abi Hazm dari 'Imron al-Juni dari Jundub bahwasanya Rasululloh saw telah bersabda: (Barang siapa mengatakan (menaf sirkan) al-Qur'an berdasarkan kepada ro'yunya semata kemudian hasil penafsirannya itu benar, maka sesungguhnya dia itu dipandang salah) Tafsir al-Thobari Juz 1 (1968:35). Gambaran skematis dari hadits di atas adalah 44 SKEMA III HADITS TENTANG ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN PADA TAFSIR AL-THOBARI أْ سعٛي اهلل طٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١عٍُ لاي : ِٓ لاي ف ٝاٌمشآْ تشأ ٗ٠فؤطاب فمذ أخغؤ لاي ظٕذب ػٓ أت ٛػّشاْ اٌعٝٔٛ حذشٕا ع ً١ٙتٓ أت ٝحضَ حذشٕا حثا ْ تٓ ٘الي حذشٕا اٌؼثاط تٓ ػثذ اٌؼظ ُ١اٌؼٕثشٜ حذشٕا اتٓ ظش٠ش اٌغثشٜ 45 Hadits yang terdapat dalam kitab sunan Tirmidzi أحٛ ػٛ أخثشٔا أت، ٍٝ اٌىٚ ذ تٓ ػّش٠ٛ أخثشٔا ع، غ١وٚ ٓا ْ ت١حذ شٕا عف ٗ١ٍ اهلل ػٍٝ طٝش ػٓ اتٓ ػثاط ػٓ إٌث١ذ تٓ ظث١ ػٓ عؼٍٝػ٢ػٓ ػثذ ا أٛرث١ٍ ِرؼّذا فٍٝ إّالِا ػٍّرُ فّٓ وزب ػٕٝس ػ٠ ا اٌحذٛ ( اذم: عٍُ لا يٚ ٜ أ ِمؼذٖ ِٓ إٌاس ) (ذشِذٛرث١ٍٗ ف٠ اٌمشآْ تشأِٝٓ لاي فٚ ، ِمؼذٖ ِٓ إٌاس ٓس حغ٠ ٘ز ا حذ.) 268 . ص4 ض Artinya : Telah menceritakan hadits kepada kami Supyan bin waki dari suwed bin amr Al- kali dari Abu awanah dari Abd Al- A‟la dari Said bin jubair dari Ibn Abbas dari Nabi SAW ia bersabda : ( Bertakwalah kamu sekalian terhadap Hadits dariku kecuali kamu sekalian tidak mengetahuinya, barang siapa yang berbohong kepadaku dengan disengaja maka bersiap-siaplah kamu sekalian berada di dalam tempat api neraka dan barang siapa yang berkata menafsirkan Al-Qur‟an dengan akalnya maka bersiap-siaplah kamu sekalian berada di dalam tempat api neraka) sunan tirmidzi juz 4 (tt : 268) Gambaran skematis dari hadits di atas adalah : 46 SKEMA IV HADITS TENTANG ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN PADA SUNAN TIRMIDZI ػٓ إٌث ٝطٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١عٍُ لاي :اذمٛا اٌحذ ٠س ػٕ ٝإّالِا ػٍّرُ فّٓ وزب ػٍِ ٝرؼّذا فٍ١رثٛأ ِمؼذٖ ِٓ إٌاس ، ِٓٚلاي ف ٝاٌمشآْ تشأ ٗ٠فٍ١رث ٛأ ِمؼذٖ ِٓ إٌاس 47 ٓػ اتٓ ػثاط ٓػ ش١ذ تٓ ظث١عؼ ٓػ ٍٝػ٢ػثذ ا ٓػ أحٛ ػٛأت أخثشٔا ٍٝ اٌىٚ ذ تٓ ػّش٠ٛع أخثشٔا غ١وٚ ٓا ْ ت١عف حذ شٕا ٜاٌرشِز Dari ketiga kitab sumber asal tersebut, dapat dilihat bahwa matan hadits yang terdapat pada kitab Sunan Abu Daud ada perbedaan dalam lafazhnya dari matan hadits yang terdapat pada Sunan Tirmidzi dan kitab tafsir al-Thobari. Perbedaan tersebut terletak pada kalimat sedangkan riwayat Turmudzi dan Ibnu Jarir al-Thobari menggunakan kalimat وراب ْاٌمشآ, sekalipun demikian tidak merubah maknanya. Dengan demikian hadits tersebut adalah riwayat bi almakna. Hadits ini tidak ada syahidnya, sebab tidak ada lagi rowi lain dari golongan sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut baik lafazhnya maupun maknanya selain Jundub bin 'Abdillah. Dengan demikian hadits Jundub bin Abdillah tentang anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur'an hanya ada tabinya. Untuk lebih memperjelas kemutabi'an hadits tersebut, penulis gambarkan rangkaian sanad hadits-hadits tersebut dalam sebuah skema sebagai berikut : 48 SKEMA V KEMUTABI’AN HADITS TENTANG ANTI RO’YU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN لاي سعٛي اهلل طٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١عٍُ ِٓ لاي فٝ اٌمشأْ تشأ ٗ٠فؤطاب فمذ أخغؤ لاي ظٕذب تٓ ػثذ اهلل ػٓ ات ٛػّشاْ اٌعٟٔٛ حذشٕا ع ً١ٙاتٓ ػثذ اهلل أخثشٔا أخثشٔا ٠ؼمٛب تٓ اعحاق اٌّمشٜ اٌحضشِٝ حثاْ تٓ ٘الي أخثشٔا ػثذ اهلل تٓ ِحّذ تٓ ٠حٟ حذشٕا اٌؼثاِ ٝتٓ ػثذ اٌؼغُ١ حذشٕا ا تٛدا ٚد حذشٕٝ ػثذ تٓ حّ١ذ حذشٕا حذشٕا إ تٓ ظش٠ش اٌغثشٜ ذشِ١زٜ 2 3 49 1 Dalam skema V di atas yang dicari mutabi'nya adalah hadits turmudzi yang bersandarkan Abd bin Hamid, Hibban bin Hilal, Suhel Ibn Abdillah, Abu 'Imron al-Juni dan Jundub bin Abdillah. Maka penulis peroleh bahwa : a. Hadits Ibn Jari (hadits II) adalah mutabi’ qoshir terhadap hadits Turmudzi. Karena mengikutinya mulai dari guru-gurunya al-Turmudzi, yaitu Hibban bin Hilal terus gurunya Turmudzi yang agak jauh yaitu Suhel Ibn Abdillah terus Abu Imron al-Juni dan Jundub bin Abdillah, Jadi tidak seluruhnya guru Turmudzi diikuti. b. Demikian pula hadits Abu Daud (hadits III) jadi mutabi' qoshir terhadap hadits Turmudzi. Apalagi hadits Abu Daud ini mengikutinya sejak guru Turmudzi yang agak jauh yaitu Suhel Ibn Abdillah terus mengikuti Abu Imron al-Juni sampai pada guru Turmudzi yang terjauh yaitu sahabat Jundub bin Abdillah. Hadits Abu Daud ini pun sama dengan hadits Ibn jarir tidak mengikuti seluruhnya guru al-Turmudzi. Dilihat dari segi sanadnya hadits ini termasuk hadits ghorib. Karena sejak tabi'in sebagai asal sanad yaitu Abu Imron al-Juni sampai pada tabi'ittabi'in yaitu Suhel Ibnu Abdillah tidak ada lagi rowi lain yang meriwayatkan. Maka berdasarkan penyendirian dari segi sanadnya, hadits ini ghoribnya adalah ghorib muthlaq. 50 B. Tinjauan Hadits tentang anti ro’yu dalam Penafsiran al-Qur'an Berdasarkan Kaedah Kesahihan Hadits Berdasarkan kaedah kesahihan hadits, penelitian hadits meliputi : (1) peneliti sanad; dan (2) penelitian matan. Penelitian sanad mencakup: (1) tinjauan para periwayat yang terdiri diatas: (a) biograpi para periwayat; (b) keadilan dan kedhobitan para periwayat; (c) kecacatan dan kejanggalan para periwayat, (2) tinjauan kemuttashilan rangkaian sanad. Dan terakhir dari penelitian sanad adalah penilaian hasil penelitian sanad. Dalam penelitian matan meliputi kecacatan dan kejanggalan pada matannya. 1. Tinjauan Para Periwayat Hadits A. Biograpi Para Periwayat Hadits 1. Biograpi para periwayat hadits yang melalui jalur al-Turmudzi, sebagai berikut : 1. Al-Turmudzi Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Suroh bin Dhohak Abu Isa al-Turmudzi. Ia lahir pada tahun 200 H. Diantara gurunya adalah Qutaybah, Ibn Said, Ishak bin Musa, al-Bukhori, Hannad dan yang lainnya. Di antara muridnya adalah Abu Hamid, Ahmad bin Abd Alloh, Ibn Daud al-Tajir, al-Hasyim, Muhammad bin Mahbub dan yang lainnya. Ia wafat tahun 279 H. 2. Abd bin Hamid Nama lengkapnya adalah Abd bin Hamid bin Nashr al-Kasysyi Abu Muhammad, ada pula yang menyebutnya Abd al-Majid. Diantara gurunya adalah : Ja'far bin Awn, Abu Usa-mah, Abdullah Bakar al-Sahmi, Yazid bin Harun, Ibn Abi Fudek, Ahmad bin Ishak al-Hadhromi, al-Hasan al-Asyib, al-Husen alJu'fi, Ruh bin Ibadah, Sa'id bin 'Amir, Abd al-Rozaq, Abd al-Shomad bin Abd al-Warits, 51 'Umar bin Yunus al-Yamami, 'Ali Ibn 'Ashim, Muhammad bin Basyar al-Abdi, Muhammad bin Bakar al-Burhani, Mash'ab bin al-Miqdam, Abi al-Walid al-Thoyalisin dan yang lainnya. Diantara muridnya adalah : Muslim, al-Turmudzi 'Abd bin Hamid meninggal di Damsyiq tahun 249 H. 3. Habban bin Hilal Nama lengkapnya adalah Habban bin Hilal al-Bahali Kunyahnya Abu Habib al-Bashori. Dia Meriwayatkan hadits dari Hammad bin Salamah, Syu'bah, Daud bin Abi al-Farot, Jarir bin Hazm, Sa'id bin Zaed, Muslim bin Zarir, Abd Ribbah bin Baroq, Abdu al-Warits bin Sa'id, Hammam, Abi Awanah, Mubarok bin Fadholah, Ma'mar, Mahdi bin Maemun, Abd bin Hamid dan yang lainnya. Habban bin Hilal meninggal di Bashroh tahun 216 H (Ibn Hajar) 1984 :149. 4. Suhel Ibn Abdillah. Nama lengkapnya adalah Suhel bin Abi Hazm, namanya adalah Mahron disebut juga Abdullah al-Qutho'i. Dia meninggal sebelum sodaranya yaitu Hazm, sedangkan Hazm meninggal tahun 175 H. Dia meriwayatkan hadits dari Tsabit al-Banani, Abi Imron al-Juni, Yunus bin 'Ubyd, Malik bin Dinar dan Iddah. Murid-muridnya adalah Zaed bin al-Habbab, Abi Qutaybah, al-Maabi bin Imron, Ya'qub bin Ishak al-Hadhromi, Habban bin Hilal, Ibn 'Uyaynah dan yang lainnya, (Ibn Hajar) 1984:229. 5. Abu Imron al-Juni Nama lengkapnya Abd al-Muluk bin Habib al-Azdi disebut juga al-Kudi Abu Imron al-Juni al-Bashofi. Dia meninggal tahun 123 H. 52 Dia meriwyatkan hadits dari Jundub bin Abdillah al-Bajali, Anas. Abi Faros Robi'ah bin Kaab al-Aslami dan yang lainnya. Murid-muridnya adalah: Anaknya Awbad, Sulaeman al-Taeni, Ibn 'Awn, Abu "Amir alKhoroz, Syu'bah, Aban, Abu Qudamah al-Harits bin 'Ubed, Hamam bin Yahya, al-Hamadan, Ziad bin al-Rob'i, Salam Abi Muthi, Abd al-Aziz dan yang lainnya. 6. Jundub bin Abdillah Nama lengkapnya adalah Jundub bin Abdillah bin Sufyan al-Bajali al-'Alaqi, sebutan kunyahnya adalah Abu „Abdillah. Menurut Ibn Mu'in selain nama Jundub bin Abdillah nama lain baginya adalah Jundub bin Kholid bin Sufyan. nama tersebut dinasabkan kepada kakeknya (Ibn Abi Hatim) 1952:511. Jundub meriwayatkan hadits dari Rasululloh saw, Hudzayfah dan dari 'Ubay bin Ka'ab. Murid-muridnya adalah dari ahli Kufah, Abd al-Malik bin 'Umer, al-Aswad bin Qoys dan Salamah bin Kuhel. Dari Ahli Bashroh, al-Hasan bin Abi al-Hasan, Muhammad bin Sirin, Anas bin Sirin, Abu al-Sawwar al-'Udwi, Bakar bin 'Abdillah al-Mazini dan Abu 'Imron alJuni, Ibn al-Atsir (1970:360). Menurut Kholifah, Jundub bin Abdillah meninggal dunia pada masa terjadinya fitnah Ibn al-Zuber antara tahun 60-an sampai tahun 70 H (Ibn Hajar) Vol. 2, 1984:101. b. Para Periwayat hadits yang melalui jalur Abu Daud 1. Abu Daud Nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulayman bin al-Asy'ats bin Ishaq al-bijistani. Ia lahir pada tahun 202 H Diantara gurunya adalah Musaddad, Abdullah bin Muhammad bin Yahya dan yang lainnya. 53 Diantara muridnya, adalah Abu Awanah, Abdullah, al-Nasai, al-Tirmidzi, Ali bin Sbd alShomad, Ahmad, Muhammad bin Harun dan yang lainnya. Ia Wafat tahun 275 H (alDzahabi) Juz IV, tt : 170. 2. Abdullah bin Muhammad bin Yahya Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Yahya al-Thursusi Abu Muhammad, dan dikenal dengan sebutan al-Dho'if. Pangkat al-Dho'if bagi Abdullah bin Muhammad bin' Yahya menurut Ibn Hibban karena dia banyak ibadahnya dan sangat teliti dalam kedhobitannya. Menurut Abd al-Ghows bin Said karena dia badannya lemah bukan haditsnya. Guru-gurunya adalah Ibn Uyainah, Yazid bin Harun, Abu Mu'awiyah, Yazid bin al-Habbab, Ya'qub Ibn Ishak al-Hadhromi dan yang lainnya. Murid-muridnya adalah Abu Daud, Nasai, Musa Ibn Harun dan yang lainnya. Abdullah bin Muhammad bin Yahya al-Thursusi rneninggal tahun 200 H. 54 3. Ya'qub bin Ishaq bin Zayd Nama lengkapnya adalah Ya'qub bin Ishaq bin Zayd b bin Abdillah bin Abi Ishaq alKadhromi. Guru-gurunya adalah Zayd bin Abdillah, Al-Aswad bin Syayban, Suhel bin Mahron alQutho'i, Sawdah Ibn Abi al-Aswad dan yang lainnya. Murid-muridnya adalah Amr bin 'Ali al-Falas, Abu al-Robi‟ al-Zuhri, Abdullah Ibn Muhammad bin Sallam al-Thursusi dan yang lainnya. Menurut Bukhori yang diterima dari Ahmad bin Said al-Ribathi, Ya'qub meninggal tahun 250 H. 4. Suhel bin Mahron saudara Hazm al-Qutho'i Biograpinya lihat kembali halaman 55 5. Jundub Biograpinya lihat kembali halaman 56 c. Biograpi para periwayat hadits yang melalui jalur Ibn Jarir al-Thobari 1. Ibn Jarir al-Thobari Nama lengkapnya adalah Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thobari. Gurunya adalah al-Abbas bin Abd al-'Azhim zl-Anbari dan yang lainnya. Ia meninggal tahun 310 H. 2. Al-Abbas bin Abd al-'Azhim al-Anbari Nama lengkapnya adalah Al-Abbas bin Abd al-Azhin bin Ismail bin Tawbah al-Anbari Abu al-Fadhol al-Bashori al-Hafizh. Guru-gurunya adalah Abd al-Rahrnan bin Mahdi, Yahya bin Sa'id al-Qoththon, Said bin 'Amir al-Dho'bi, Abu Daud al-Thoyalisi, Shofwan bin Ida, Abd al-Rozaq al-Asma'i, Abu al- 55 Jawab, Ishaq Ibn Manshur al-Salawi, As-wad bin Amir syadzan, Syababah bin Sawar, Abu Bakar al Hanafi, Utsman bin 'Umar Ibn Faris, 'Umar bin Yunus al-Yamami, Utsman bin 'Umar, Al-Nadhor bin Muhammad al-Khoribi, Yazid bin Harun, Muhammad bin Jadhom, Basyar bin Umar al-Zahroni dan yang lainnya. Murid-muridnya adalah Baqi bin Makhlad, Abu Bakar al-Atsrom, Ibn Khuzaymah dan jamaah lainnya. Menurut Bukhori dan Nasai al-Abbas bin Abd al-'Azhim al-Ambari meninggal tahun 246 H. 3. Habban bin Hilal Biograpinya lihat kembali halaman 55 4. Suhel bin Abi Hazm 5. Abu Imron al-Juni 6. Jundub bin Abdillah Biograpi ketiga rowi tersebut bisa dilihat pada halaman 55 dan 56. B. Keadilan dan Kedhobitan Para Periwayat Hadits Untuk mengetahui keadilan dan kedhobitan para periwayat hadits, harus mengikuti pendapat para ulama Jarh wa tadil yang telah memberikan penilaian terhadap para periwayat hadits. Hasil penilaian para ulama jarh dan ta'dil tersebut terdapat dalam kitab-kitab rijal alhadits, seperti kitab Tahdzib al-Tahdzib dan Taqrib al-Tahdzib yang penulis pergunakan untuk mengetahui nilai para rowi hadits. a. Para periwayat dalam hadits Turmudzi 1. 'Abd bin Hamid martabatnya tsiqqotun hafizhun (taqrib) halaraan 627. 2. Habban bin Hilal martabatnya tsiqqotun tsabtun (taqrib) halaman 181. 56 3. Suhel Ibn Abdillah martabatnya dho'if (taqrib) halaman 401. Suhel menyendiri periwayatannya tidak sama dengan hadits riwayat yang tsiqot. Menurut Harb yang diterima dari Ahmad, Suhel banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar (Ibn Hajar) 1984 : 229, vol IV. 4. Abu Imron al-zuni martabatnya tsiqqoh (taqrib) : 443 5. Jundub bin 'Abdillah martabatnya tidak diragukan lagi karena dia sahabat (Taqrib) halaman 166. b. Para Periwayat dalam hadits Abu Daud 1. Abdullah bin Muhammad bin Yahya martabatnya tsiqqoh (taqrib) halaman 531. 2. Ya'qub bin Ishaq al-Koqri al-Hadhromi martabatnya shoduq (Taqrib)-.337 3. Suhel bin Mahron martabatnya dho'if 4. Abu Imron martabatnya tsiqqoh 5. Jundub adalah shohabat c. Para Periwayat dalam hadits Ibn Jarir al-Thobari 1. Al-Abbas bin Abd al-'Azhim al-Anbari martabatnya tsiqqotun hafizhun (Taqrib) :473 2. Habban bin Hilal martabatnya tsiqqotun tsabtun 3. Suhel bin Abi Hazm martabatnya dho'if 4. Abu Imron al-Juni martabatnya tsiqqoh 5. Jundub adalah shohabat Hasil penelitian martabat para periwayat hadits Jundub itu adalah sebagai berikut : a. Para periwayat Turmudzi yaitu Abd bin Hamid, Habban bin Hilal dan Abu Imron ketiganya adil dan dhobit, sebab para ulama jarh dan ta'dil mentsiqotkannya. Sedangkan Jundub karena dia sahabat, maka sudah jelas keadilan dan kedhobitannya. Suhel Ibn Abdillah didho'ifkan 57 oleh para ulama karena dia banyak lengah dalam meriwayatkan hadits, disamping ia banyak meriwayatkan hadits munkar. b. Pada hadits Abu Daud ada dua periwayat yang berbeda dari hadits Turmudzi dan Ibn Jarir, yaitu Abdullah bin Muhammad dan Ya'qub bin Ishaq. Abdullah bin Muhammad termasuk rowi yang adil dan dhobith karena ditsiqotkan oleh para ulama, dan Ya'qub bin Ishaq ulama menilainya shoduq periwayatannya bisa dijadikan hujjah. Tiga periwayat lainnya pada akhir sanad, sama dengan para periwayat Turmudzi. Yaitu Suhel bin Mahron, Abu Imron dan Jundub. Jadi tetap rowi yang lemah terdapat gada Suhel bin Mahron. c. Pada hadits Ibn Jarir hanya seorang periwayat yang berbeda dari hadits Turmudzi. Periwayat tersebut adalah al-Abbas bin Abd al-'Azhim. Dia termasuk rowi yang adil dan dhobith sebab ulama mentsiqotkannya. Dengan demikian dalam hadits Ibn Jarir pun tetap satu rowi yang lemah yaitu Suhel bin Mahron. Suhel bin Mahron dalam kitab al-Dhu'afa al-Kabir dijelaskan bahwa berdasarkan riwayat yang diterima dari Bukhori dari Adam bin Musa, Suhel tidak termasuk rowi yang kuat menurut pandangan para ulama (Abu Ja'far) t.t:154. Oleh karena itu hadits Suhel sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah karena dia tergolong martabat kedua dalam martabat ke-jarh-an martabatnya dho'if. c. Kecacatan dan Kejanggalan Para Periwayat Hadits Kecacatan dan kejanggalan para periwayat berkaitan erat dengan kemuttashilan (persambungan sanad) dan ketsiqot-an (periwayat bersifat dhobith). Jika sudah terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka sudah bisa dipastikan sanadnya terhindar dari kecacatan dan kejanggalan. Sebab pada tahap penelitian pertama sanad hadits tertentu yang dinyatakan 58 mengandung kecacatan dan kejanggalan itu adalah sanad hadits yang dinilai berkualitas sahih (Syuhudi Ismail) 1988 : 151. Pada penelitian keadilan dan kedhobithan para periwayat hadits di atas, penulis sudah mendapatkan bahwa seorang periwayatnya yaitu Suhel bin Mahron adalah dho'if (lemah ingatannya). Maka dari itu penulis tidak perlu lagi meneliti lebih lanjut tentang kecacatan dan kejanggalan para periwayat hadits, sebab satu syarat kesahihan sanad gugur karena ada rowi yang dho'if. 2. Tinjauan Kemuttashilan Rangkaian Sanad Hadits Dalam hadits Turmudzi kata-kata yang digunakan sebagai ciri kemuttashilan rangkaian sanad adalah : a. Turmudzi berkata: haddatsana 'Abd bin Hamid; b. 'Abd bin Hamid berkata: akhbarona Haban bin Hilal; c. Habban bin Hilal berkata: akhbarona Suhel Ibn Abdillah; d. Suhel Ibn Abdillah berkata: haddatsana Abu Imron al-Juni; e. Abu Imron al-Juni berkata: ‘an Jundub; f. Jundub berkata: qola "Rasululloh saw. Kata-kata yang digunakan sebagai ciri kemuttashilan rangkaian sanad dalam hadits Abu Dawud adalah: a. Abu Dawud berkata : haddatsana Abdullah bin Muhammad bin Yahya; b. Abdullah bin Muhammad bin Yahya berkata: akhbarona Ya'qub bin Ishaq al-Muqri alNadhromi; c. Ya'qub bin Ishaq al-Muqri al-Hadhromi berkata: akhbarona Suhel bin Mahron sudara Hazm al-Qutho'i; 59 d. Suhel bin Mahron berkata: akhbarona Abu Imron; e. Abu Imron berkata: 'an Jundub; f. Jundub berkata: Qola Rasululloh saw. Kata-kata yang digunakan sebagai ciri kemuttashilan sanad hadits Ibn Jarir adalah: a. Ibn Jarir berkata : haddatsana al-'Abbas bin 'Abd al-'Azhim al-Anbari; b. Al-'Abbas bin 'Abd al-'Azhira berkata: haddatsana Habban bin Hilal; c. Habban bin Kilal berkata: Haddatsana Suhel bin Abi Hazm; d. Suhel bin Abi Hazm berkata: haddatsana Abu Imron al-Juni; e. Abu Imron al-Juni berkata: 'an Jundub; f. Jundub berkata: qola Rasululloh saw. Dalan hadits Turmudzi rowi pertama sampai keempat menggunakan shighot al-ada yang dipergunakan oleh para muhaddits dalam penerimaan hadits dari gurunya secara qiroah dan sima'. Maka dari itu rangkaian sanad sampai kepada Abu Imron al-Juni muttashil. Pada rowi kelima Abu Imron menggunakan 'an, sedangkar hadits 'an'anah ditangguhkan kemuttashilannya. Akan tetapi kalau kembali melihat pada biograpi Abu Imron (halaman 54), diantara gurunya adalah Jundub bin Abdillah. Dalam penelitian sanad ini penulis tidak perlu lagi meneliti sanad hadits riwayat ibn Abbas, karena telah penulis ketahui bahwa sanad hadits Jundub dho'if. Oleh karena itu jelaslah bahwa haditsnya tidak bisa dipertentangkan dengan hadits riwayat Ibn Abbas, sebab sanad hadits riwayat Jundub mardud. 3. Tinjaun Matan Hadits 60 Penelitian matan ini meliputi : (1) kecacatan; dan (2) kejanggalan dalam matan hadits tersebut. Tujuan dari penelitian kecacatan dan kejanggalan pada matan hadits, secara terpisah dari sanad, tiada lain karena matan yang shahih belum tentu sanadnya shahih. Matan hadits tersebut adalah: ٗ فؤطاب فمذ أخغؤ٠ اٌمشآْ تشأِٝٓ لاي ف Artinya : Barang siapa menafsirkan al-Qur'an berdasarkan ro'yu semata kemudian hasil penafsirannya itu benar, maka sesungguhnya dia dipandang salah (Sunan Tirmidzi) Juz 4, tt:268. Maksud kalimat ٗ٠ تشأyaitu menafsirkan al-Qur'an berdasarkan ro'yu (akal) semata tidak mengikuti perkataan-perkataan para ulama ahli bahasa dan qaedah-qaedah syara‟ tetapi hanya berdasarkan apa-apa yang terdapat dalam benaknya tidak memperhatikan dalil-dalil naql (Abu فاطاب Thoyib) tt:85. Dan kalimat maksudnya adalah hasil penafsirannya bertentangan antara rowi yang satu dengan rowi yang lainnya, antara rowi yang kurang ke tsiqotannya dengan rowi yang tsiqot dalam meriwayatkan hadits tersebut. Para periwayat dalam hadits Ibn Jarir sejak sanad pertama yaitu Ibn Jarir sampai pada sanad terakhir yaitu Jundub seluruhnya mengikuti rowi hadits Turmudzi. Demikian pula para periwayat dalam hadits Abu Daud mengikuti para periwayat hadits Turmudzi. Matan hadits tersebut maksud dan isinya bertentangan dengan matan hadits riwayat Ibn Abbas yang berbunyi sebagai berikut: ً٠ٚػٍّٗ اٌرؤٚ ٓ٠ اٌذٝٗ فُٙ فمٌٍٙا 61 Artinya : Ya Alloh! Berikanlah dia pemahaman tentang agama dan ajarilah dia ta'wil (Ahmad bin Hanbal), tt :250. Hadits riwayat Ibnu bbas ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhori dan Muslim melalui jalur rangkaian sanad yang berbeda. Karena perbedaan jalur rangkaian sanad hadits tersebut, dari masing-masing mukhorij hadits tersebut penulis melihat terdapat perbedaanperbedaan pada matannya. Dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tidak memakai tambahan ً٠ٚػٍّٗ اٌرؤٚ .Tambahan tersebut hanya terdapat dalam hadits riwayat Ahmad. Menurut Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, lafazh tambahan ً٠ٚػٍّٗ اٌرؤٚ hanya masyhur pada kalangan masyarakat umum, sehingga karena masyhurnya mereka menisbatkan lafazh tersebut kepada Bukhori dan Muslim, dan penisbatan itu tidak benar. Penambahan lafazh tersebut hanya dalam hadits riwayat Ahmad yaitu yang melalui jalur Ibn Khoytsim dari Sa'id bin Jabir dari Ibn Abbas. Sedangkan kalimat sebelumnya adalah shohih, yaitu yang melalui jalur 'Ubaydillah bin Abi Yazid dari Ibnu Abbas 'Ibnu Hajar) vol.7, tt :78. Berikut ini penulis kemukakan skema matan hadits riwayat Ibn. Abbas yang melalui jalur Ahmad bin Hanbal dan Bukhori Muslim sebagai berikut: VI SKEMA MATAN HADITS RIWAYAT AHMAD ٍّٗػٚ ٓ٠ اٌذٝٗ فٙسسسسسسسسسسسسسفم ٌٍُٙعٍُ اٚ ٗ١ٍ اهلل ػٍٝ طٟلاي إٌث ً٠ٚاٌرؤ 62 لاي اتٓ ػثاط VII SKEMA MATAN HADITS RIWAYAT BUKHORI DAN MUSLIM 63 لاي إٌث ٟطٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١عٍُ اٌٍ ُٙفم ٗٙف ٝاٌذٓ٠ لاي اتٓ ػثاط ػٓ ػٓ ػثذ اهلل تٓ ات٠ ٝض٠ز ػىشِح ػٓ ػٓ ٚسلاء خاٌذ حذشٕا ٘اعُ تٓ اٌماعُ شٕا ػثذ اٌٛاسز حذشٕا شٓ شٕا ص٘١ش تٓ حشب أتٛ تىش تٓ أٍضش ػثذ اهلل تٓ ِحّذ اتِ ٛؼّش شٕا حذشٕا ِغٍُ تخاسٞ 64 حذشٕا ِغذد حذشٕا Dalan skema V bisa dilihat bahwa Ahmad meriwayatkan hadits Ibnu Abbas dari lima jurusan yang isi dan maksud matannya sama. Ahmad menerima hadits dari Abdullah, Abdullah dari Ayahnya. Ayah Abdullah menerima hadits dari lima orang dari Hasan bin Musa, Yahya bin Adam, Affan, Abdu al-Shomad dan Abu Sa'id. Hasan bin Musa dan Yahya bin Adam menerima dari Zuher bin Khoytsimah dari Abdullah bin Utsman bin Khotsim dari Sa'id bin Juber dari Ibnu Abbas. Affan dan Abdu al-Shomad menerima dari Hammad bin Salmah dari Abdullah bin Utsman bin Khotsim dari Said bin Juber dari Ibnu Abbas. Keempat guru Ayah Abdullah itu bertemu sumbernya pada Abdullah bin Utsman bin Khotsim. Sedangkan guru Ayah Abdullah yang satu lagi yaitu Abu Sa'id mempunyai jalur sanad tersendiri yaitu Abu Sa'id menerima dari Sulaeman bin Bilal dari Husen bin Abdullah dari „Ikrimah dari Ibnu Abbas. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id pada awal matannya berbeda dengan hadits riwayat Husen bin Musa dan tiga riwayat lainnya yang satu thobaqot dengannya. Lafazh hadits Abu Sa'id itu adalah sebagai berikut: ص,ًً ( احّذ تٓ حٕث٠ٚ ػٍّٗ اٌراٚ ُ اػغا تٓ ػثا ط اٌحىّحٌٍٙا ) 208 Dalam skema VI matan haditsnya sama dengan matan hadits riwayat Ahmad hanya tidak ada tambahan lafazh wa' allimhu al-ta'wila pada ujung matan hadits tersebut. Bukhori menerima hadits tersebut dari tiga orang yaitu dari Abdullah bin Muhammad, Abu Ma'mar dan Musaddad. Abdullah bin Muhammad menerina dari Hasyim bin al-Kosim dari Warqo dari 'Ubaydillah bin Abi Yazid dari Ibnu Abbas. Abu Ma'mar dan Musaddad menerima dari Abdul al-Warits dari Kholid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Lafazh hadits Bukhori yang diterima dari Abu Ma'mar adalah 65 ُ ػٍّٗ اٌحىّحٌٍٙ اdan yang diterima dari Abu Ma'mar adalah ُ ػٍّٗ اٌىرابٌٍٙا. Muslim menerima dari Abu Bakar bin al-Nadhor dan Zuher bin Harb. Keduanya menerima dari guru-gurunya Bukhori yaitu Hasyim bin al-Qosim dan terus mengikuti sampai guru Bukhori yang terjauh yaitu Warqo dari 'Ubaydillah bin Abi Yazid dari Ibnu Abbas. Lafazh hadits Muslim di ujung matannya tidak memakai ٓ٠ اٌذٝف. Dari kedua skema hadits di atas pada matan hadits Ahmad terdapat kecacatan dan kejanggalan. Karena hadits Ahmad bertentangan dengan hadits Bukhori dan Muslim baik lafazh maupun maknanya. Kecacatannya karena terdapat tambahan lafazh ً٠ٚػٍّٗ اٌرؤٚ dan maknanyapun menjadi bertambah. Ahmad tidak menjelaskan bahwa lafazh tersebut sebagai tambahan dan begitu pula rowi yang lainnya tidak menjelaskan bahwa lafazh tersebut sebagai tambahan. Oleh karena itu matan hadits riwayat Ahmad tersebut syadz. Dengan demikian matan hadits Jundub lebih kuat dari matan hadits Ahmad, karena pada matan hadits Jundub tidak terdapat kecacatan dan kejanggalan. C. Pendapat Para Ulama Tentang Kualitas Hadits Mengenai anti ro’yu dalam Penafsiran al-Qur'an 66 1. Pendapat Ulama Pensyarah Sunan al-Turmudzi dan Sunan Abu Daud a. Pendapat Pensyarah Sunan Turmudzi Al-Mubarok Furi (pensyarah sunan Turmudzi) tidak memberikan komentar tentang kualitas sanad hadits tersebut. Ia hanya memberikan penjelasan biograpi beberapa periwayat yang dianggap penting dalam penentuan kualitas sanad hadits tersebut. Ia mengutamakan menjelaskan Suhel bin Abdillah yang ia ambil dari kitab Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Suhel Ibn Abi Hazm namanya adalah Mahron, dan disebutkan juga Abdullah Abu Bakar al-Bashori. Gurunya adalah Abu Imron al-Juni dan yang lainnya. Salah seorang muridnya adalah Habban bin Hilal dan disebutkan dalam kitab Taqrib bahwa Suhel martabatnya dho'if dari thobaqot ketujuh. Dari segi matan, al-Mubarok Furi tidak memberikan komentarnya, baik dari segi illat maupun syudzudznya. Ia hanya menjelaskan isi dan maksud dari materi matan tersebut, yaitu bahwa barang siapa yang menafsirkan al-Qur'an baik dalam lafazhnya maupun dalan maknanya, menurut akal semata, sekalipun hasil penafsiran itu menurut kesepakatan dibenarkan tapi menurut hukum syara' disalahkan. Selanjutnya al-Mubarok Furi mengutip pendapat muhaddits dan mufasir tentang penafsiran al-Qur'an berdasarkan ro'yu. Diantaranya pendapat Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa menurut jalan yang benar adalah salah menggeluti isi al-Qur'an yang hanya berdasarkan perkiraan dan dugaan saja serta tidak memenuhi syarat-syarat penafsiran. Jika hal itu dilakukan, maka adalah dosa yang tidak bisa diganggu gugat lagi, sekalipun hasilnya sesuai, tentu tidak dibenarkan (al-Mubarok Furi) 1979:279-282. Al-Mubarok Furi tidak secara rinci menjelaskan kualitas hadits tersebut, menurut penulis, karena dia sudah memperoleh kejelasan bahwa salah seorang rowinya dho'if, yaitu Suhel bin 67 Mahron. Jadi sudah bisa dipastikan haditsnya dho'if, karena dilihat dari segi kuantitas rowinya hadits ini ghorib muthlaq. b. Pendapat Pensyarah Sunan Abu Daud Abu Thoyib dalam kitabnya 'Awn al-Ma-'bud syarah sunan Abu Daud seperti halnya alMubarok Furi tidak meraberikan komentar tentang kualitas hadits tersebut, ia hanya mengemukakan pendapat ulama mengenai hadits tersebut yang lebih menekankan pada isi dan maksudnya. Diantara para ulama tersebut adalah pendapat al-Baehaqi dalam kitab al-Madkhol yang menjelaskan bahwa dalam hadits tersebut memerlukan penelitian. Jika hadits itu shohih maka sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh isi hadits tersebut. Dan sungguh telah salah cara orang yang menafsirkan al-Qur'an dengan ro'yunya, penyelesaiannya ialah harus merujuk dalam penafsiran lafazh-lafazhnya kepada ahli bahasa, nasikh mansukh, sebab nuzulnya dan apa-apa yang dibutuhkan dalam menjelaskannya harus merujuk kepada berita-berita sohabat yang menyaksikan turunnya al-Qur'an. Dari penjelasan Abu Thoyib itu jelaslah bahwa kualitas hadits ini masih diperbincangkan tentang shohih atau tidaknya. Terbukti al-Baehaqi sendiri baru mengandai-andai, jika shohih tentu benar dan jika tidak shohih, hanya Alloh yang tahu (Abu Thoyib) tt:85. 2. Pendapat ulama Tafsir Bi Al-Ro'yi Di antara ulama tafsir bi al-ro'yi adalah al-Qurtubi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi. Kitab tafsirnya bernama al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an atau lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Qurthubi. Al-Qurthubi memberikan pendapatnya terhadap isi dan maksud hadits diatas, katanya: 68 Inilah pendapat yang benar yaitu yang saya pilih tidak dari satu ulama, rnaka sesungguhnya barang siapa yang berkata (menafsirkan) al-Qur'an menurut apa yang timbul dari praduganya dan yang terlintas dalam benak hatinya tanpa mengambil dalil dari ilmu ushul. maka dia itu disalahkan, tetapi jika mengistinbath maknanya mengambil dari al-ushul al-hikmah yang sesuai dengan maknanya maka itu adalah terpuji (mamduh) {Qurthubi) 1954:33. Pendapat Qurthubi tersebut ia melihat hadits dari segi matannya. Pada bagian lain ia melihat bahwa hadits yang dalam sanadnya ada rowi yang dipermasalahkan oleh para ulama yaitu Suhel bin Abi Hazm, sedangkan Suhel bin Mahron telah diketahui di atas nilainya lemah. 69 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Menurut para ahli hadits, hadits yang bisa dijadikan hujah adalah hadits maqbul yang ma'mulun bih. Hadits yang tergolong kepada hadits maqbul adalah hadits shohih dan hadits hasan.. Shohih dalam sanadnya dan dalam matannya. Dalam penelitian skripsi ini masalah pokok yang dibahas adalah hadits-hadits tentang anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur'an. Hadits tersebut menurut zhohir maknanya bertentangan dengan hadits yang bersumber dari Ibnu 'Abbas riwayat Ahmad tentang kebolehan menafsirkan al-Qur'an berdasarkan ro'yu. Pertentangan tersebut tidak akan terjadi, apabila salah satunya telah diketahui kualitasnya. Dengan demikian masalah pokok dalam penelitian ini adalah meneliti kualitas hadits, yakni: (1) bagaimana keadaan sanad dan para periwayatnya; dan (2) bagaimana keadaan matan haditsnya. Untuk menjawab masalah pokok tersebut, skripsi ini telah membahas kedudukan dan kehujahari hadits dalam Islam, takhrij hadits mengenai anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur‟an dan analisis kualitas riwayat hadits serta kandungannya. Inti kesimpulan dari pembahasan tersebut adalah : 1. Hadits yang penulis teliti dalam sunan Turmudzi tentang anti ro‟yu dalam penafsiran alQur‟an hanya ada tabi’nya. Yaitu terdapat dalam sunan Abu Daud dan Tafsir al-Qurthubi; 2. Rangkaian sanad hadits tersebut bersambung (muttashil) hanya diantara para periwayatnya terdapat seorang periwayat yang lemah, yaitu Suhel bin Mahron. Kedho'ifan Suhel terletak pada kedhobitannya, dia lengah dalam meriwayatkan hadits, selain itu menurut Harb yang diterima dari Ahmad dia banyak meriwayatkan hadits munkar. Suhel dalam ketiga jalur rowi 70 pengumpul hadits (Turmudzi, Abu Daud dan Ibn Jarir) menjadi guru gurunya ketiga rowi pengumpul hadits tersebut. Dia meriwayatkan hadits tersebut hanya dari Abu Imron al-Juni dari Jundub. Karena penyendirian periwayatannya, maka hadits tersebut. adalah ghorib muthlaq. 3. Matan hadits tersebut tidak mengandung kecacatan (illat) dan kejanggalan (syudzudz). Sebab antara hadits riwayat Turmudi dengan mutabi’nya tidak ada perubahan lafazh dan maknanya. Berdasarkan keadaan sanad dan para periwayatnya dari matannya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hadits-hadits tentang anti ro‟yu dalam penafsiran al-Qur‟an sanadnya dhoif dan matannya shohih. Sekalipun matannya shohih, karena hadits ini diriwayatkan oleh rowi yang dho’if (tidak tsiqoh) yang oleh para pengeritik hadits rowi ini (Suhel bin Mahron) dicacat sebagai rowi yang tidak dhobith; lengah dalam meriwayatkan hadits. Dengan demikian hadits ini termasuk hadits dho’if. Oleh karena itu hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak memenuhi kriteria kehujahan hadits. B. Saran-Saran Hadits yang penulis teliti adalah hadits yang. dijadikan pegangan oleh para mufasir bi al-ma'tsur sebagai sanggahan terhadap para mufasir bi al-ro’yi. Setelahnya penulis teliti bahwa hadits tersebut dho’if, tetapi mengapa para mufasir bi al-ma’tsur tetap melarang manafsirkan al-Qur‟an dengan ro’yu. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang argumentasi para mufasir bi al-ma’tsur terhadap larangan menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan ro’yu. Kemudian bagaimana penyelesaiannya, karena pada saat ini semakin berkembang tafsir-tafsir bi al-ro’yi. 71