bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Keadaan sistem di dalam termodinamika dideskripsikan oleh variabel
makroskopik yang merupakan efek rerata ataupun kesuluruhan (total) partikelpartikel dalam sistem. Di dalam sistem terbuka, partikel dan energi dapat
melewati batas sistem. Jika sistem yang stabil terus menerus mendapat injeksi
energi dari
luar
yang
melebihi
batas ambang tertentu maka
terjadi
ketidaksetimbangan, sebagai contoh adalah konveksi Rayleigh–Benard (KRB).
Pengamatannya dengan cara menempatkan fluida diantara dua lempeng yang
dipasang secara paralel. Ketika lempeng bawah dipanasi akan terjadi konveksi
karena perbedaan suhu T antara keduanya yang melebihi perbedaan suhu kritis
Tc yaitu titik pada saat konveksi mulai terjadi (Cross dan Greenside, 2009).
Selisih temperatur ∆T merupakan parameter penting dalam eksperimen
KRB karena ∆T yang akan menentukan fluida masih berada dalam keadaan
setimbang ( T ≤ Tc ) atau telah berada di luar kesetimbangan ( T > Tc ).
Meskipun demikian terdapat beberapa kesulitan pada saat melakukan eksperimen
ini seperti pengukuran besar energi kalor pada saat mulai terjadinya konveksi atau
jika ingin menentukan besar kalor pada saat T  nTc . Pengaturan alat
eksperimen yang dapat mencegah terjadinya disipasi energi kalor juga tidak
mudah. Besar viskositas fluida bergantung pada suhu. Terlebih lagi pengamatan
pada sistem terbuka, terjadi pertukaran partikel dan energi dengan lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan model sistem yang lebih mudah
dikendalikan untuk mengamati dinamika nonlinear, yaitu konveksi listrik pada
kristal cair nematik yang terjadi akibat adanya medan luar (Cross dan Hohenberg,
1993).
Kristal cair merupakan material yang memiliki keteraturan arah seperti
padatan (kristal) dan memiliki sifat dapat bergerak bebas seperti cairan biasa.
1
2
Kristal cair diklasifikasikan menjadi 3 tipe antara lain nematik, smektik, dan
kolestrik, dan dari ketiga tipe tersebut yang paling sering dijumpai sehingga biasa
digunakan untuk eksperimen adalah nematik. Hal ini dikarenakan fase nematik
pada suhu 20˚C - 47˚C, sehingga mempermudah dalam menyiapkan ruangan
untuk pengamatan. Meski demikian nematik harus dijaga kestabilan suhunya
dikarenakan akan berubah menjadi cair pada suhu lebih dari 47°C (Durickovic
dan Hendrick 2007). Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan bahan ini yaitu
simetri awalnya dapat diatur dengan cara menyejajarkan molekulnya baik paralel
ataupun tegak lurus dengan batas sistem pengamatannya dikarenakan molekul
nematik memiliki keteraturan arah yang ditunjukkan oleh director n. Hal ini
menyebabkan nematik bersifat anisotropi, di dalam arah yang berbeda, respon
molekul terhadap medan luar juga berbeda, salah satunya adalah medan listrik
(Hidaka dkk, 2006). Selain itu, sistem pada kristal cair tertutup sehingga dapat
meminimalisasi
adanya
disipasi
energi.
Pengamatan
dilakukan
dengan
menempatkan kristal cair nematik diantara dua bidang elektroda transparan yang
terpasang paralel dengan jarak keduanya berorde mikron.
Konveksi listrik pada kristal cair nematik memiliki dua sistem untuk
pengamatan yaitu planar dan homeotropik. Molekul di dalam sistem planar adalah
paralel sedangkan homeotropik molekulnya tegak lurus dengan bidang elektroda.
Terkhusus untuk sistem homeotropik, yaitu sistem yang akan digunakan pada
penelitian ini, jika diberikan tegangan V yang melebihi batas ambang pertama
(tegangan Freedericksz VF), maka molekul kristal cair mengalami kemiringan
sebesar 𝜃 pada arah yang sama dan director n dapat diproyeksikan pada bidang xy yang ditunjukkan oleh director C(r). Di sini, director C(r) dapat memiliki arah
kemana saja, dikarenakan memiliki energi yang sama. Director C(r) dapat bebas
dirotasikan. Director C(r) merupakan mode Nambu Goldstone yang merupakan
hasil spontaneous breaking dari simetri yang kontinyu. Selanjutnya, tegangan
dinaikkan hingga melebihi batas tegangan ambang kedua (tegangan kritis VC)
menyebabkan molekul mengalami konveksi yang ditunjukkan dengan vektor q(r).
q(r) mewakili convection roll yang cenderung periodik. Vektor q(r) ini
berinteraksi dengan director C(r). Fenomena yang terjadi akibat interaksi
3
keduanya dikenal sebagai soft mode turbulence (SMT) (Kai dkk, 1996). Untuk
mengetahui jauhnya pergerakan sistem dari tegangan kritisnya, Kai dkk
memperkenalkan parameter kendali   (V 2  Vc2 ) / Vc2 .
SMT merupakan contoh fenomena yang memiliki keacakan baik dari
dimensi waktu ataupun ruang (spatiotemporal chaos). Salah satu metode untuk
mendeteksi chaos dengan menggunakan fungsi autokorelasi. Autokorelasi
digunakan untuk mengetahui hubungan suatu data statistik antara satu titik data
dengan titik data berikutnya. Hasil autokorelasi akan konstan atau periodik jika
sistem bergerak teratur dan akan meluruh dengan cepat (sebagian besar
membentuk fungsi eksponensial) jika tidak saling berhubungan karena
gerakannya acak (Schuster dan Just, 2004).
Penelitian mengenai analisis autokorelasi pada SMT pernah dilakukan
oleh Nugroho, dkk (2012). Nugroho, dkk (2012) melaporkan penelitian mengenai
arti fisis dari data statistik intensitas cahaya pada pola SMT parameter kendali
0 < ε ≤ 0.3. Hasil autokorelasi menunjukkan fungsi eksponensial. Dikarenakan
saat fitting grafik tidak cocok dengan persamaan eksponensial biasa, dicobalah
persamaan lainnya. Kecocokan terjadi pada persamaan eksponensial Kohlrausch
Williams Watts (KWW). Eksponensial KWW biasa digunakan untuk menganalis
dinamika di dalam sistem koloid. Hasil penelitian menunjukkan fungsi yang
terbentuk adalah eksponensial termampat (compressed exponential) seperti di
dalam dinamika glassy pada sistem koloid. Akan tetapi penelitian ini hanya
terbatas hingga ε ≤ 0.3, sehingga masih dibutuhkan kajian selanjutnya ketika
ε>0.3. Diperkirakan akan ditemukan titik terjadinya transisi dari eksponensial
termampat (compressed exponential) ke eksponensial terenggang (stretched
exponential). Hal ini dimungkinkan terjadi,
karena penelitian-penelitian
sebelumnya di dalam dinamika sistem koloid menunjukkan adanya transisi
tersebut (Fluerasu dkk, 2007), sehingga penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dari data statistik intensitas cahaya pola SMT pada parameter kendali
ε>0.3. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukan adanya transisi fungsi
eksponensial seperti di dalam dinamika koloid.
4
1.2
Perumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji pada penelitian ini sesuai dengan uraian latar
belakang adalah: Apakah ada transisi eksponensial termampat (compressed
exponential) ke eksponensial terenggang (stretched exponential) yang terjadi di
dalam dinamika soft-mode turbulence (SMT) pada parameter kendali yang lebih
tinggi ε > 0.3?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, yaitu:
Untuk membuktikan adanya transisi eksponensial termampat (compressed
exponential) ke eksponensial terenggang (stretched exponential) yang
terjadi di dalam dinamika soft-mode turbulence (SMT) pada parameter
kendali yang lebih tinggi ε > 0.3
1.4
Batasan Masalah
Pada penelitian ini, permasalahan dibatasi oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Medan luar yang diberikan merupakan medan listrik.
b. Uji autokorelasi data intensitas cahaya pola soft-mode turbulence (SMT)
di dalam kristal cair nematik N-(4–methoxybenzylidene)–4–butylaniline
(MBBA) yang merupakan hasil rekaman selama 20 menit pada masing –
masing parameter kendali.
c. Parameter kendali ε yang ditentukan antara 0.05 – 1.5 dengan kenaikan
∆𝜀 sebesar 0.05.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. diperoleh pengetahuan tentang fenomena SMT,
2. memberikan informasi pembuatan sampel untuk mengamati konveksi
listrik kristal cair,
5
3. memberikan informasi tentang sifat statistik SMT pada parameter kendali
yang tinggi.
Download