pariwisata

advertisement
PARIWISATA SEBAGAI ALTERNATIF
PENINGKATAN PERTUMBUHAN EKONOMI
I. PENDAHULUAN
Adanya pandangan yang sering dikemukakan oleh para pakar ekonomi bahwa
pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan suatu
negara, maka berbagai upaya telah dan akan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan
tersebut. Menurut Boediono (1981:9) yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang.
Bangsa Indonesia dalam proses pembangunannya, terutama selama masa
Pemerintahan Orde Baru telah memprioritas pertumbuhan ekonomi, dengan harapan akan
terciptanya trickle down effect. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak terbukti.
Pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat selama masa Orde Baru hanya dinikmati
oleh segelintir orang. Pertumbuhan dipacu dengan kegiatan-kegiatan manufaktur yang
tidak menyertakan seluruh komponen bangsa dan menyebabkan terjadinya eksploitasi
sumberdaya alam. Selain itu kegiatan manufaktur yang dilakukan tidak didasarkan pada
potensi sumberdaya alam (SDA) maupun sumberdaya manusia (SDM) yang ada, tetapi
lebih banyak mendatangkan bahan baku dan tenaga ahli dari luar negeri yang secara tidak
langsung telah turut membantu proses kemajuan ekonomi negara lain, sedangkan
Indonesia sendiri justru tidak mendapat manfaat yang optimal.
Fakta menunjukan bahwa selama masa Orde Baru pertumbuhan ekonomi terus
meninggkat dengan rata-rata 7,2 persen per tahun (Saragih, 1998). Ironisnya pertumbuahan yang cukup tinggi ini tidak bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan dikesampingkan bahkan
ditinggalkan. Kondisi ini semakin diperparah oleh datangnya badai krisis ekonomi pada
akhir tahun 1997, banyak perusahaan yang secara de facto yang telah jatuh bangkrut
tanpa ada prospek bisa mengakumulasikan modal yang cukup untuk membayar pinjaman
dalam dollar dan Yen (Myers, 2000:101). Pada masa krisis ekonomi banyak pula pekerja
yang kehilangan lapangan kerja, angka pengangguran semakin meningkat, sementara itu
harga barang terus menjulang melampaui daya beli sebagian besar masyarakat. Kurang
lebih tiga tahun sudah waktu berlalu, krisis ekonomi masih tetap setia mendiami
Indonesia. Menurut para pakar, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sebagai akibat
dari fondasi ekonomi yang kurang mantap, pertumbuhan didasarkan atas modal
pinjaman.
Berangkat dari pengalaman ini, maka perlu dipikirkan kembali alternatif
pembangunan yang berdasarkan pada potensi daerah dan dapat memberikan
kemungkinan bagi pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat tidak hanya bagi segelintir
orang, melainkan untuk semua masyarakat.
Seaspirasi dengan hal itu, maka salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah
pengembangan pariwisata, yang dari padanya diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi tanpa harus membutuhkan pinjaman modal yang besar.
Masyarakat dapat diikutsertakan dan keuntungan yang diperolehpun dapat dirasakan oleh
masyarakat sekitar. Sebagai contoh di Kabupaten Pemalang, atas kerjasama pemerintah
daerah (Dinas Pariwisata) setempat dengan 60 orang warga telah berhasil membangun
obyek wisata Pantai Widuri yang saat ini telah meraih keuntungan yang cukup besar,
1
yaitu lebih dari Rp 54.350.000.000,- untuk tahun anggaran 1998/1999 (Suara Merdeka,
10 Pebruari 1999:9).
Berkaitan dengan uraian di atas maka tulisan ini akan mencoba untuk mengkaji
beberapa persoalan pokok, sebagai berikut :
1. Konsepsi pariwisata dan pertumbuhan ekonomi.
2. Faktor-faktor pendorong pengembangan pariwisata dan peranannya dalam
pertumbuhan ekonomi.
3. Potensi dan kendala pengembangan pariwisata.
4. Peluang dan tantangan pengembangan pariwisata.
5. Strategi pengembangan pariwisata guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
II. KONSEPSI PARIWISATA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Menurut Spilane (1987:21), dalam arti luas pariwisata adalah perjalanan dari
suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok,
sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan
lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Ditambahkan pula bahwa
pariwisata terbagi atas beberapa jenis, yaitu: a) pariwisata untuk menikmati perjalanan
(pleasure tourism), b) pariwisata untuk berekreasi (recreation tourism) , c) pariwisata
untuk kebudayaan (culture tourism), d) pariwisata untuk olahraga (sports tourism), e)
pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism), f) pariwisata untuk
berkonvensi (convention tourism).
Fandeli (1995:37) mengemukakan bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek daya tarik wisata serta usahausaha yang terkait di bidang tersebut. Dijelaskan pula bahwa wisata merupakan suatu
kegiatan bepergian dari suatu tempat ke tempat tujuan lain di luar tempat tinggalnya,
dengan maksud bukan untuk mencari nafkah, melainkan untuk menciptakan kembali
kesegaran baik fisik maupun psikis agar dapat berprestasi lagi. Sementara itu menurut
Pendit (1990:29) bahwa pariwisata merupakan suatu sektor yang kompleks, yang juga
melibatkan industri-industri klasik, seperti kerajinan tangan dan cinderamata, serta usahausaha penginapan dan transportasi. Ditambahkan pula bahwa pariwisata terdiri 10 unsur
pokok, yaitu : 1) politik pemerintah, 2) perasaan ingin tahun, 3) sifat ramaha tamah, 4)
jarak dan waktu, 5) atraksi, 6) akomodasi, 7) pengangkutan, 8) harga-harga, 9) publisitas
dan 10) kesempatan berbelanja.
Menurut Joyosuharto (1995:46) bahwa pengembangan pariwisata memiliki tiga
fungsi, yaitu: 1) menggalakkan ekonomi, 2) memelihara kepribadian bangsa dan
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup, 3) memupuk rasa cinta tanah air dan
bangsa. Untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut maka diperlukan pengembangan obyek
wisata dan daya tarik wisata, meningkatkan dan mengembangan promosi dan pemasaran,
serta meningkatkan pendidikan dan pelatihan kepariwisataan.
Dikemukakan pula oleh Pendit (1990) bahwa pariwisata mampu menghasilkan
pertumbuhan ekonomi, karena dapat menyediakan lapangan kerja, menstimulasi berbagai
sektor produksi, serta memberikan kontribusi secara langsung bagi kemajuan-kemajuan
dalam usaha-usaha pembuatan dan perbaikan pelabuhan, jalan raya, pengangkutan, serta
mendorong pelaksanaan program kebersihan dan kesehatan, proyek sasana budaya,
pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya yang dapat memberikan keuntungan dan
kesenangan baik kepada masyarakat setempat maupun wisatawan dari luar.
2
Menurut Boediono (1981:9) bahwa pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai
proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, yang menekankan pada tiga
aspek, yaitu: proses, output per kapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi
sebagai suatu ‘proses’ mengandung makna bahwa pertumbuhan ekonomi bukan
merupakan suatu gambaran ekonomi pada saat tertentu, melainkan dilihat dari aspek
dinamis dari suatu perekonomian, yaitu bagaimana suatu perekonomian berkembang dan
berubah dari waktu ke waktu. Dalam kaitannya dengan ‘output per kapita’, pertumbuhan
ekonomi dilihat dari sisi output totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya. Dengan
demikian untuk menganalisis suatu pertumbuhan ekonomi, teori yang digunakan harus
mampu menjelaskan GDP total dan jumlah penduduk. Aspek ‘jangka panjang’ dalam
suatu pertumbuhan ekonomi, juga perlu dilihat untuk memperhitungkan apakah ada
kenaikan output per kapita dalam jangka waktu atau tidak. Jika terjadi kenaikan, maka
terjadi pertumbuhan ekonomi, demikian pula sebaliknya.
Lebih lanjut disebutkan oleh Boediono bahwa yang dimaksud dengan teori
pertumbuhan ekonomi adalah suatu penjelasan yang logis mengenai proses pertumbuhan
ekonomi, yang didalamnya menjelaskan mengenai faktor-faktor penyebab kenaikan
output per kapita dalam jangka waktu serta menjelaskan pula tentang bagaimana faktorfaktor tersebut berinteraksi satu sama lain. Karena itu menurut Boediono teori
pertumbuhan bisa bermacam-macam, sebab tidak ada suatu teori pertumbuhan baku yang
dapat menjelas secara lengkap dan menyeluruh tentang berbagai proses pertumbuhan
ekonomi yang terjadi.
Agar lebih memudahkan dalam mempelajari dan menggunakan berbagai teori
pertmbuhan ekonomi yang ada, maka Boediono mengklasifikasikan teori-teori
pertumbuhan tersebut atas dua kelompok, yaitu : 1) teori-teori klasik, seperti: teori-teori
pertumbuhan dari Adam Smith, David Ricardo dan Arthur Lewis; 2) teori-teori modern,
yang mencakup empat sub, yaitu: a) teori pertumbuhan makro (Keynesian), seperti teori
pertumbuhan Harrod-Domar dan teori pertumbuhan Kaldor, b) teori pertumbuhan Neoklasik, antara lain teori pertumbuhan dari Rostow dan Trevor Swan, c) teori pertumbuhan
optimum, yaitu teori yang bertujuan mencari jalur pertumbuhan yang paling baik
(optimum) bagi suatu perekonomian, misalnya teori ‘jalan raya’ (turnpike) dan teori
‘dalil emas’ (golden rule), d) teori pertumbuhan dengan ‘uang’, yang merupakan
pengembangan dari teori Neo-klasik dengan penambahan bahwa ‘uang’ sebagai alat
tukar dan sebagai alat penyimpan kekayaan, misalnya: teori James Tobin.
III. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENGEMBANGAN PARIWISATA
DAN PERANANNYA DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI
Dewasa ini maupun pada masa yang akan datang, kebutuhan untuk berwisata
akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia, serta
perkembangan penduduk dunia yang semakin membutuhkan refressing akibat dari
semakin tingginya kesibukan kerja. Menurut Fandeli (1995:50-51) faktor yang
mendorong manusia berwisata adalah: 1) keinginan untuk melepaskan diri tekanan hidup
sehari-hari di kota, keinginan untuk mengubah suasana dan memanfaatkan waktu
senggang; 2) kemajuan pembangunan dalam bidang komunikasi dan transportasi; 3)
keinginan untuk melihat dan memperoleh pengalaman-pengalaman baru mengenai
masyarakat dan tempat lain; 4) meningkatnya pendapatan yang dapat memungkinan
seseorang dapat dengan bebas melakukan perjalanan yang jauh dari tempat tinggalnya.
3
Faktor-faktor pendorong pengembangan pariwisata di Indonesia menurut Spilane
(1987:57), adalah : 1) berkurangnya peranan minyak bumi sebagai sumber devisa negara
jika dibanding dengan waktu lalu; 2) merosotnya nilai eksport pada sektro nonmigas; 3)
adanya kecenderungan peningkatan pariwisata secara konsisten; 4) besarnya potensi yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia bagi pengembangan pariwisata.
Situasi dan kondisi sosioekonomi Indonesia saat ini, yang memperlihatkan bahwa
semakin berkurangnya lahan pertanian dan lapangan pekerjaan lainnya serta semakin
rusaknya lingkungan akibat kegiatan manufaktur dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya
yang mengeksploitasi sumberdaya alam, maka pariwisata perlu dikembangkan sebagai
salah satu sumber produksi andalan. Sektor pariwisata selain dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, juga tidak merusak lingkungan bahkan sebaliknya merangsang
pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat dimengerti karena pengembangan pariwisata
tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup sebagai salah satu sasaran atau obyek
wisata.
Dari laporan dan analisis World Tourism Organization (WTO) diperoleh bahwa
sumbangan pariwisata amat berarti bagi penciptaan lapangan kerja. Disebutkan bahwa
dari setiap sembilan kesempatan kerja yang tersedia secara global saat ini, satu
diantaranya berasal dari sektor pariwisata. Diduga pula bahwa daya serap tenaga kerja
pada sektor pariwisata lebih besar di negara-negara berkembang (Suara Pembaruan, 28
Pebruari 1998). Selain itu, pariwisata dapat membuka pasar baru bagi produksi pertanian
dan hasil kerajinan rumah tangga yang masih tradisonal maupun usaha-usaha jasa seperti
tukang pijit, penginapan, transportasi dan guide yang dengan sendirinya membuka
peluang kerja baru bagi para pencari kerja yang terus meningkat setiap tahun, serta
meningkatkan output negara.
Sehubungan perekonomian negara, sektor pariwisata terbukti telah memberikan
kontribusi yang cukup pada perolehan devisa. Hal ini dapat dilihat dari perolehan devisa
negara pada tahun 1995, pariwisata menempati urutan ketiga setelah migas dan tekstil,
dengan devisa sebesar 5.228,4 juta dollar AS. Sebelumnya tahun 1994 berada pada posisi
keempat setelah migas, tekstil dan kayu olahan, dengan devisa sebesar 4.785,1 juta dollar
AS (Kedaulatan Rakyat, 21 Agustus 1998). Ditambahkan pula bahwa terhadap GDP
Indonesia, sektor pariwisata juga memainkan peranan yang penting. Hasil studi World
Travel and Tourism Council (WTTC) menyimpulkan bahwa pertumbuhan kontribusi
pariwisata terhadap GDP rata-rata sebesar 8% dan merupakan yang tercepat di dunia.
IV. POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN PARIWISATA
Potensi pengembangan pariwisata sangat terkait dengan lingkungan hidup dan
sumberdaya. Menurut Fandeli (1995:48-49), sumberdaya pariwisata adalah unsur fisik
lingkungan yang statik seperti: hutan, air, lahan, margasatwa, tempat-tempat untuk
bermain, berenang dan lain-lain. Karena itu pariwisata sangat terkait dengan keadaan
lingkungan dan sumberdaya. Ditambahkan pula bahwa Indonesia yang memiliki
keragaman sumberdaya yang tersebar pada ribuan pulau, dengan lautannya yang luas
memiliki potensi yang baik untuk kegiatan pariwisata.
Data dari BPS (1999) menunjukan bahwa luas lautan Indonesia 7,9 juta km² atau
81% dari luas keseluruhan, dan luas daratannya 1,9 juta km². Daratan memiliki ratusan
gunung dan sungai, hutannya seluas 99,5 juta ha yang terdiri dari 29,7 juta ha
hutan lindung dan 29,6 juta ha hutan produksi, serta ratusan bahkan ribuan jenis flora dan
4
faunanya. Unsur-unsur ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan bagi kegiatan
pariwisata.
Dari berbagai sumber informasi dan surat kabar, diberitakan bahwa Indonesia
memiliki banyak potensi di daerah-daerah yang belum dikembangkan atau dijadikan
daerah tujuan wisata (DTW). Sekitar 212 obyek wisata, berupa peninggalan bersejarah,
gunung, air tejun, danau, hutan, dan lain-lain yang ada di Sumatera Selatan yang belum
dikelola (Suara Pembaruan, 11-12-1999:12). Daerah Lampung yang kaya dengan
peninggalan-peninggalan bersejarah, gunung-gunung, pantai-pantai dan berbagai
keindahan alam yang terukir pada beberapa lokasi, belum dijadikan obyek wisata secara
optimal (Suara Pembaruan, 22-12-1999:10). NTT yang kaya akan obyek wisata laut juga
belum dikembangkan (Suara Pembaruan, 27 Juli 1999:10), dan masih banyak obyek
wisata lainnya yang belum dimanfaatkan sebagai DTW guna mendatangkan keuntungan
secara sosial ekonomi.
Sumberdaya alam hayati, seperti Taman Nasional Tanjung Puting (Kaltim),
Taman Nasional Ujung Kulon (Jabar), Taman Nasional Komodo (NTT) dan berbagai
sumberdaya alam hayati lainnya, merupakan potensi bagi sasaran kunjungan pariwisata
(Suara Pembaharuan, 17 Sept. 1999:8).
Selain itu, Indonesia dengan keragaman suku, agama dan ras (SARA) yang
memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, berupa tari-tarian dan upacara-upacara adat
juga merupakan hal yang sangat potensial bagi pengembangan pariwisata. Memang
diakui bahwa dengan keragaman SARA tersebut juga mengandung potensi konflik yang
seringkali dapat menimbulkan kerusuhan sosial. Karena itu dalam rangka pengembangan
pariwisata, selain terdapat sejumlah potensi yang dapat diandalkan, juga terdapat
sejumlah hal yang dapat menjadi kendala.
Adapun kendala-kendala yang akan dihadapi dalam pengembangan pariwisata,
antara lain adalah: pertama, sering timbulnya konflik dan kerusuhan sosial serta situasi
dan konsisi politik yang masih memanas, berakibat pada kurang terjaminnya keamanan
bagi para wisatawan. Menurut Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, Marzuki Usman
bahwa akibat berbagai kerusuhan yang sering terjadi selama tahun 1998, terjadi
penurunan jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia sekitar 16,35% dibanding
tahun 1997, yaitu pada tahun 1997 wisatawan asing yang datang sejumlah 5,1 juta orang,
pada tahun 1998 hanya 4,3 juta orang (Kompas, 28 April 1999:3). Disebutkan pula
bahwa banyak biro perjalanan yang membatalkan perjalanan wisatanya ke Indoesia
karena alasan keamanan. Melihat akan adanya penurunan tersebut, dapat dibayangkan
berapa besar kerugian yang dialami, apalagi bila dikaitkan dengan biaya-biaya promosi
yang telah dikeluarkan.
Kedua, rendahnya mutu pelayanan dari para penyelenggara pariwisata, persaingan
yang tidak sehat di antara para penyelenggara pariwisata serta kurangnya pemahaman
terhadap pentingnya pelindungan konsumen yang sangat ditekankan di Eropa, Amerika
dan Australia, merupakan kendala yang sangat menghambat pariwisata di Indonesia
(Suara Pembaruan, 17 Sept. 1999:8)
Ketiga, rendanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengembangan
pariwisata merupakan kendala. Sebab banyak rencana pengembangan yang gagal karena
kurang mendapat dukungan dari masyarakat akibat rendahnya kesadaran tersebut. Hal ini
dapat dilihat pada contoh kasus pengembangan pariwisata di Sungai Barito, Banjarmasin
dengan Program Pasar Apung (PPA). Dalam pelaksanaan PPA masyarakat diberi dana
5
untuk pengecetan sampan-sampan miliknya, tetapi dana tersebut tidak digunakan untuk
mengecet sampannya tetapi untuk hal yang lain (Kompas, 23 Januari 1999).
Keempat, kurangnya modal dan rendahya sumberdaya manusia, terutama tenaga
yang terampil dan profesional dalam hal manajerial di bidang pariwisata merupakan
kendala yang seringkali muncul terutama pada negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia (Suara Pembaruan, 5 Peb. 1999:10). Sumberdaya manusia merupakan
komponen utama dan penentu, terutama dalam menjalan pekerjaan pada jajaran
frontlinters, yakni mereka yang bertugas memberikan pelayanan langsung kapada para
wisatwan (Suara Karya, 25 Pebruari 1998:8).
Kelima, sistem transportasi yang belum memadai seringkali menjadi kendala
dalam pariwisata yang perlu ditinjau kembali, untuk meningkatkan pelayannya dari segi
kualitas maupun kuantitasnya (Suara Pembaruan, 17 Sept. 1999:8).
Keenam, pengelolaan pariwisata yang bersifat top-down merupakan salah satu
kendala yang banyak menghambat pariwisata, terutama pada masa Orde Baru yang
terlalu otoriter dan sentralistis (Kompas, 23 Januari 1999:2). Selama ini, banyak DTW
yang tidak dikembangkan karena berbagai keterbatasan dari pemerintah pusat, sementara
itu pihak swasta dan pemerintah daerah harus menunggu petunjuk dari pemerintah pusat.
V. PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN PARIWISATA
Adapun beberapa hal yang dapat menjadi peluang bagi pengembangan pariwisata
saat ini, antara lain adalah: pertama, turunnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar,
dapat memicu meningkatnya jumlah wisatawan (Kedaulatan Rakyat, 6 Agustus 1998:5).
Pernyataan ini dapat dibenarkan karena dengan turunnya nilai mata uang rupiah
memungkinkan biaya-biaya yang dikeluarkan wisman jauh lebih rendah dibanding
sebelumnya. Dengan demikian hal ini merupakan peluang yang akan dimanfaatkan oleh
wisman maupun penyelenggara pariwisata untuk mengembangkan pariwisata dengan
lebih mudah.
Kedua, adanya kecenderungan pihak wisawan asing dewasa ini untuk berwisata
dalam dimensi tradisonal, seperti mengunjungi desa-desa yang memiliki keunikan baik
untuk sekedar mengunjungi maupun untuk wisata ilmiah (Suara Pembaruan, 30 Januari
1999). Kecenderungan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Indonesia yang masih
memiliki banyak desa tradisonal serta berbagai obyek penelitian. Peluang ini selain
kurang membutuhkan modal yang besar, wisata ilmiah juga dapat memberikan kontribusi
ilmiah bagi Indonesia.
Ketiga, jumlah penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta, juga
merupakan peluang pasar yang baik selain para wisatawan asing. Hal ini didukung oleh
data dari hasil Sensus Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS menunjukkan adanya
peningkatan wisatawan dalam negeri dari 1991 hingga 1994 sebesar 22,8%, pada tahun
1991 sebanyak 64,5 juta orang pada tahun 1994 menjadi 83,9 juta orang (Kedaulatan
Rakyat, 21 Agust. 1998:5)
Keempat, data yang diperoleh dari BPS (1999) menunjukan bahwa jumlah
angkatan kerja di Indonesia pada tahun 1999 adalah 94.847.178 orang, jumlah yang
bekerja: 88.816.859 orang dan yang tidak bekerja: 6.030.319 orang. Angkatan kerja yang
belum bekerja ini diharapkan dapat terserap dalam sektor pariwisata.
Kelima, adanya kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), transportasi, komunikasi dan informasi yang terus meningkat dapat membuka
6
peluang bagi pengembangan pariwisata. Walaupun mungkin kondisi Iptek, transportasi,
dan lain-lain tersebut, saat ini belum memadai tetapi kecenderungan kemajuan telah
memberikan kemungkinan bahwa di waktu yang akan datang, akan lebih baik. Dengan
kemajuan komunikasi, transportasi dan informasi serta semakin maraknya pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan pariwisata di seluruh Inodensia, diharapkan dapat
mempersiapkan SDM yang lebih baik serta membuka peluang yang luas untuk
bekerjasama dengan berbagai pihak di dalam dan di luar negeri, terutama antara antara
DTW dengan negara-negara yang potensial.
Walaupun telah terbuka peluang-peluang sebagaimana dikemukakan di atas,
pengembangan pariwisata pada saat ini maupun yang akan datang akan diperhadapkan
pada tantangan-tantangan, sebagai berikut :
Pertama, adanya berita-berita tantang kerusuhan, kebakaran hutan, dan kondisi
lain yang kurang baik di Indonesia cukup menjadi komoditas yang laku dijual oleh
negara-negara yang kurang senang dengan Indonesia. Contoh kasus berita tentang
kebakaran hutan di Kalimantan dan kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998, diberitakan
setiap saat oleh siaran Amerika dan Eropa sehingga cukup pengaruh bagi pasar wisata,
bahkan pada waktu itu, beberapa negara potensial melarang warganya berkunjung ke
Indonesia (Kedaulatan Rakyat, 6 Agustus 1998:5). Hal ini merupakan tantangan bagi
Indonesia untuk segera menciptakan keamanan. Keamanan merupakan hal yang mutlak
dibutuhkan oleh wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Karena itu diharapkan
adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dengan seluruh komponen bangsa dalam
menciptakan keamanan.
Kedua, sistem informasi yang kurang memadahi juga tantangan yang perlu
mendapat perhatian serius dalam pengelolaan pariwisata. Hal ini menjadi penting agar
pengalaman masa lalu tidak terulang. Akibat sistem informasi yang kurang memadahi
pandangan dunia terhadap Indonesia menjadi miring, celakanya lagi ketika Jakarta atau
daerah-daerah tertentu rusuh, dunia menganggap bahwa seluruh Indonesia rusuh
sehingga mengeluarkan larangan berkunjung ke Indonesia. Padahal DTW bukan hanya
ada satu di Indonesia, dan belum tentu semua DTW mengalami kerusuhan secara
serentak. Untuk itu maka diperlukan suatu sistem informasi yang profesional, mantap
visinya serta terampil dan cekatan dalam gerak langkahnya. Sistem informasi ini antara
lain bertugas untuk memberikan klarifikasi, sekaligus secara proaktif menyiapkan dan
memberikan informasi tentang obyek wisata, kesiapan sarana, prasarana dan lain-lain.
Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan pariwisata di Indonesia ke
negara-negara lain.
Ketiga, masalah SDM merupakan tantangan yang cukup berat bagi
pengembangan pariwisata, karena SDM sangat menentukan segala sesuatu yang
perhubungan dengan pariwisata. Pariwisata sangat mementingkan profesionalisme baik
dalam pengelolaan investasi maupun dalam bidang perhotelan, transportasi, komunikasi
dan informasi. Selain itu, walaupun pariwisata telah membuka peluang pasar bagi sektorsektor lain, akibat dari rendahnya SDM peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara
optimal. SDM yang rendah dapat menyebabkan mutu barang-barang kerajinan menurun,
7
teknik pemasaran kurang tepat, kurang tepat membaca trend pasar, dan lain-lain.
Sehubungan masalah SDM, lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Angkatan Kerja Usia 15 Tahun Keatas
Berdasarkan Tingkat Pendidikan*
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
7.602.379
Tidak/belum pernah sekolah
16.106.956
Tidak/belum tamat SD
34.101.066
Tamat SD
Tamat SMTP Umum
12.368.878
Tamat SMTP Kejuruan
1.665.608
Tamat SMTA Umum
11.570.069
6.558.885
Tamat SMTA Kejuruan
836.377
Diploma I dan II
1.171.753
Akademi atau Diploma III
Universitas
2.365.207
Total
94.847.178
Sumber: BPS, 1999 (keterangan: * diolah oleh penulis).
Persentasi
8,02 %
16,98 %
35, 95 %
13,04 %
1,77 %
12,20 %
6,92 %
0,88 %
1,24 %
2,49 %
100,00 %
Data pada Tabel 1 menampilkan bahwa jumlah angkatan kerja terbanyak adalah mereka
yang tamat SD (35,95%) diikuti oleh yang tidak/belum tamat SD (16,98%); tamat SMTP
Umum (13,04%); tamat SMTA Umum (12,20%); tidak pernah sekolah (8,02%); tamat
SMTA Kejuruan (6,92%); tamat Universitas (2,49%); tamat SMTP Kejuruan (1,76%):
tamat Akademi/Diploma III (1,24%), dan tamat Diploma I dan II (0,88%). Dari paparan
data di atas terlihat bahwa sekitar 52,93% berpendidikan SD (tamat atau tidak tamat SD)
dan hanya sekitar 4,61% yang belajar di Perguruan Tinggi (Diploma, Akademi dan
Universitas). Fenomena ini memberikan gambaran bahwa betapa rendahnya tingkat SDM
angkatan kerja di Indonesia. Kejadian
ini
merupakan
tantangan
yang
membutuhkan penanganan dengan jalan meningkat pendidikan dan latihan baik baik
formal maupun informal dalam rangka pengingkatan mutu pelayanan dalam pariwisata.
Keempat, akibat rendahnya SDM dan kurangnya modal dalam negeri akan
membuka kemungkinan bahwa pariwisata akan dikuasai oleh pihak asing yang memiliki
SDM yang lebih baik dan lebih siap dari segi modal. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya
khusus untuk menghindari hal tersebut.
Kelima, belum meratanya arus penerimaan wisatawan, di mana ada DTW tertentu
sangat ramai dikunjungi wisatawan sementara itu DTW yang lain sangat sepi. Peristiwa
ini mengindikasikan bahwa selain kurang menarik, dapat terjadi karena belum diketahui
oleh wisatawan. Tantangan ini perlu dihadapi antara lain dengan meningkatkan promosi
dan melakukan upaya-upaya tertentu agar DTW yang kurang menarik menjadi DTW
yang senangi oleh para wisatawan.
Keenam, adanya kemungkinan pariwisata dapat merusak budaya, seperti
pergeseran nilai upacara adat yang dapat mengarah kepada komersialisasi, timbulnya
industri seks, dan sebagainya. Hal ini harus diwaspadai dengan agar keutuhan dan nilainilai budaya tetap diperhatikan.
8
V. STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG
MENUNJANG PERTUMBUHAN EKNOMI
Berdasarkan potensi dan peluang yang ada, maka pengembangan pariwisata perlu
dilakukan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan pemberdayaan
ekonomi rakyat. Dalam kerangka itu pariwisata perlu mengembangkan paket-paket
wisata baru seperti agrowisata atau ekowisata. Jenis wisata semacam ini selain tidak
membutuhkan modal yang besar juga dapat berpengaruh langsung bagi masyarakat
sekitar. Masyarakat dapat diikutsertakan dan keuntungan yang diperolehpun dapat
dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Pengembangan pariwisata yang menunjang pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan
dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, perlu ditetapkan berbagai paraturan yang berpihak pada peningkatan
mutu pelayanan pariwisata dan kelestarian lingkungan wisata, bukan berpihak pada
kepentingan pihak-pihak tertentu. Selain itu perlu diambil tindakan yang tegas bagi siapa
saja yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan.edua,
pengelolaan pawisata harus melibat masyarakat setempat. Hal ini penting karena
penglaman pada beberapa DTW, samasekali tidak melibatkan masyarakat setempat,
akibatnya tidak ada sumbangsih ekonomi yang diperoleh masyarakat sekitar. Contoh
kasus: pengelolaan DTW di Pantai Wanukaka, Kabupaten Sumba Barat, NTT. Pada
DTW tersebut masyarakat tidak berkesempatan untuk terlibat, baik untuk menjual hasilhasil pertanian, kerajinan maupun menjadi karyawan di tempat itu.
Ketiga, kegiatan promosi yang dilakukan harus beragam, selain dengan
mencanangkan cara kampanye dan program Visit Indonesian Year seperti yang sudah
dilakukan sebelumnya, kegiatan promosi juga perlu dilakukan dengan pembentuk sistem
informasi yang handal dan membangun kerjasama yang baik dengan pusat-pusat
informasi pariwisata pada negara-negara lain, terutama negara-nagara yang potensial.
Keempat, perlu menentukan DTW-DTW utama yang memiliki keunikan
dibanding dengan DTW lain, terutama yang bersifat tradisional dan alami. Kebetulan saat
ini obyek wisata yang alami dan tradisional menjadi sasaran utama para wisatawan asing.
Obyek ini masih banyak ditemukan di luar Jawa, misalnya di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan, Papua dan lain-lain.
Kelima, pemerintah pusat membangun kerjasama dengan kalangan swasta dan
pemerintah daerah setempat, dengan sistem yang jujur, terbuka dan adil. Kerjasama ini
penting untuk lancarnya pengelolaan secara profesional dengan mutu pelayanan yang
memadahi. Selain itu kerjasama di antara penyelenggara juga perlu dibangun. Kerjasama
di antara agen biro perjalanan, penyelenggara tempat wisata, pengusaha jasa akomodasi
dan komponen-komponen terkait lainnya merupakan hal sangat penting bagi keamanan
kelancaran dan kesuksusan pariwisata.
Keenam, perlu dilakukan pemerataan arus wisatawan bagi semua DTW yang ada
di seluruh Indonesia. Dalam hal ini pemerintah juga harus memberikan perhatian yang
sama kepada semua DTW. Perhatian terhadap DTW yang sudah mandiri hendaknya
dikurangi dan memberikan perhatian yang lebih terhadap DTW yang memerlukan
perhatian lebih.
Ketujuh, menggugah masyarakat sekitar DTW agar menyadari peran, fungsi dan
manfaat pariwisata serta merangsang mereka untuk memanfaatkan peluang-peluang yang
tercipta bagi berbagai kegiatan yang dapat menguntungkan secara ekonomi. Masyarakat
9
diberikan kesempatan untuk memasarkan produk-produk lokal serta membantu mereka
untuk meningkatkan keterampilan dan pengadaan modal bagi usaha-usaha yang
mendatangkan keuntungan.
Kedelapan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan perlu dipersiapkan secara baik
untuk menunjang kelancaran pariwisata. Pengadaan dan perbaikan jalan, telephone,
angkutan, pusat perbelanjaan wisata dan fasilitas lain disekitar lokasi DTW sangat
diperlukan.
Dengan memperhatikan beberapa saran ini kiranya dapat membantu bagi
penyelengaraan pariwisata yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Tentunya
saran-saran tersebut tidak berlaku untuk semua DTW, hal itu sangat tergantung pada
kebutuhan DTW masing-masing yang memiliki permasalahannya sendiri dari waktu ke
waktu dan lingkungan yang berbeda-beda.
VI. P E N U T U P
Berdasarkan uraian tentang potensi, kelemahan, peluang, tantangan dan strategi
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pariwisata, maka dapat dikatakan bahwa
pariwisata merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dapat menunjang pertumbuhan
ekonomi. Wilayah daratan dan lautan yang luas dengan berbagai keragaman dan
keunikannya merupakan potensi yang dapat diandalkan bagi kemajuan pariwisata.
Berbagai peluang tercipta terutama turunnya nilai mata uang rupiah dan
kecenderungan para wisatawan asing untuk mencari DTW yang masih tradisional dan
alami, perlu dimanfaat sebaik-sebaiknya bagi pengembangan pariwisata. Sementara itu
berbagai kendala dan tantangan yang ada, terutama masalah rendahnya SDM dan
gangguan keamanan yang sering timbul, perlu disiasati dengan berbagai strategi agar
kendala dan tantangan tersebut tidak menghambat pengembangan pariwisata.
Pengembangan pariwisata selain mendatangkan keuntungan secara langsung bagi
negara, juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi sejumlah pencari
kerja yang belum memiliki kerja, juga diharapkan dapat membuka pasar baru bagi
berbagai produk lokal yang dimiliki masyarakat.
10
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik, 1999. Statistik Indonesia, Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Boediono, 1981. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta : Fakultas Ekonomi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: FE UGM.
Fandeli, Ch., 1995. Pengertian dan Kerangka Dasar Kepariwisataan Pengertian dan
Kerangka Dasar Kepariwisataan, dalam Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam, (Editor: Ch. Fandeli), Yogyakarta: Liberty.
Joyosuharto, S., 2000. Aspek Ketersediaan dan Tuntutan Kebutuhan Dalam
Pariwisata, dalam Dasar-dasar Manajemen Kepari-wisataan Alam, (Editor:
Ch. Fandeli), Yogyakarta: Liberty.
Myers, A., 2000, Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional, Jurnal: Kiri, Sosialisme
Ilmiah, Demokrat, Jakarta: Neuron.
Pendit, Ny.S, 1990. Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar Perdana, Jakarta: PT Pradnya
Paramita.
Saragih, B., 1998. Paradigma Baru dalam Pembangunan Berbasis Pertanian, Jakarta:
CV Nasional.
Spilane, J.J., 1987. Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta:
Kanisius.
SURAT KABAR
Kedaulatan Rakyat, 6 Agustus, 1998.
Kedaulatan Rakyat, 21 Agustus, 1998.
Kompas, 23 Januari 1999.
Kompas, 18 April 1999.
Suara Karya, 25 Pebruari 1998.
Suara Merdeka, 10 Pebruari 1999.
Suara Pembaruan, 28 Pebruari 1998.
Suara Pembaruan, 30 Januari 1999.
Suara Pembaruan, 5 Pebruari 1999
Suara Pembaruan, 7 Juli 1999.
Suara Pembaruan, 17 September 1999.
Suara Pembaruan, 11 Desember 1999
Suara Pembaruan, 22 Desember 1999.
11
12
Download