8 Edisi Minggu Bisnis Indonesia 27 Februari 2011 INVESTASI Pemodal mulai bergeser ke Klub 7% RAHAYUNINGSIH Bisnis Indonesia di Standard Chartered, Ali John Calverley telah menetapkan kriteria agar sebuah negara dapat masuk dalam klub tersebut. Sebuah negara anggota dapat masuk bergantung pada kinerja makro ekonomi sebuah negara. dan akan naik lebih dari empat kali lipat sampai sebuah generasi selanjutnya lahir. Setelah tumbuh pada tingkat tersebut dalam tiga dekade, maka ekonomi negara tersebut akan berjumlah dua kali lebih besar dibandingkan dengan negara yang hanya mencatatkan pertumbuhan 5%. Calverley menekankan pengalaman China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Thailand dalam setengah abad terakhir. Para investor belajar untuk membedakan negara-negara di Asia yang melakukan hal yang tepat untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan negara-negara di Asia yang hanya berjalan di tempat. Indonesia dan Filipina merupakan contoh yang dapat dijadikan teladan. Investasi jangka panjang membanjiri Indonesia disaat pemerintah berusaha untuk memperbaiki infrastruktur, mengurangi korupsi dan memperkecil perbedaan masyarakat miskin dan kaya. Catatan PDB Permasalahan persepsi Tentu saja terdapat beberapa faktor. Salah satunya adalah PDB. Di Asia, PDB lebih menggambarkan masalah domestik daripada produk domestik bruto. Para pemimpin Asia harus mengatasi berbagai tantangan yang muncul dengan mencatatkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Para pemimpin ini seakan lebih sibuk membuat iklan daripada berbuat sesuatu. Data ekonomi yang positif cukup mengganggu penilaian investor dan memberikan kesempatan bagi politisi untuk membuat langkah tertentu sebelum menyatakan pada publik bahwa ekonomi siap maju. Yang paling penting adalah negara-negara yang membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata berhasil merealisasikan keinginan mereka tersebut. Kesimpulanya, pertumbuhan ekonomi tidak hanya masalah akselerasi tetapi juga kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut. Hanya berfokus pada ekonomi tanpa mendemokratisasi manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut hanya akan mendatangkan kerugian, seperti yang terjadi di Mesir. Faktor lain yang juga harus diperhitungkan adalah lingkungan hidup. Sementara itu, negara tetangga Indonesia, Filipina tampaknya belum meneguk keuntungan dari larinya investor asing. Hal ini terjadi karena adanya persepsi mengenai keraguraguan para pelaku pasar di Manila ketika para pembuat kebijakan harus mereformasi sistem ekonomi yang telah diacuhkan selama beberapa dekade. Ekspor negara tersebut adalah warga Filipina sendiri. Jumlah pengiriman uang berkontribusi 10% pada ekonomi Filipina dan hal ini bukan sesuatu yang baik. Namun sebenarnya, ekonomi Filipina tumbuh lebih cepat dari Indonesia, yaitu 7,1% sementara Indonesia hanya 6,9%. Namun, Indonesia lah yang menjadi perhatian dunia. Alasanya adalah karena Indonesia dianggap memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan Filipina. Hal ini membawa kita kembali pada definisi BRIC milik Goldman. PDB Rusia dua kali lebih besar dari Indonesia, tetapi tetap saja Rusia dianggap kurang menjanjikan dari segi bisnis. Rusia bangga karena menjadi anggota BRIC dan Indonesia masih berharap-harap cemas untuk bisa masuk dalam BRIC. Kasus Brasil juga serupa. Di saat Brasil mencatatkan kinerja yang luar biasa dalam satu dekade terakhir, masih timbul pertanyaan apakah dibutuhkan sebuah perubahan structural untuk membawa Brasil pada level selanjutnya? Hanya waktu yang bisa menjawab. Munculnya ide untuk menambahkan I untuk Indonesia (BRIICs) atau K untuk Korea (BRICKs) atau T untuk Turki cukup menarik perhatian. Hanya saja hal ini tidak membantu kita untuk mengetahui dimana harus berinvestasi dan pada sektor apa. Sekarang saatnya untuk berpikir lebih luas. Mari kita singkirkan kategorisasi yang muncul dan melihat lebih dalam esensi emerging markets sebenarnya. Klub 7% mungkin dapat menjadi awal yang baik. (T02) BISNIS/ANDRY T. KURNIADY P enyebutan Brasil, Rusia, India, dan China sebagai kekuatan ekonomi yang sedang berkembang cukup masuk akal. Negara-negara ini juga memiliki ‘mesin’ pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dan mungkin pantas disebut sebagai teladan bagi negara-negara lain. Namun, sejak Goldman Sachs group Inc membuat kategorisasi khusus pada keempat negara tersebut, kita seakan melupakan negaranegara lain yang juga cukup menjanjikan secara ekonomi. Jim O’Neill pejabat Goldman, menuturkan bahwa para investor harusnya memperluas fokus mereka ke negara-negara lain, tidak hanya berpaku pada Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) karena pasar saham di negara-negara tersebut mulai berfluktuatif. Sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk mengPertumbuhan ekonomi tidak ikuti saran tersebut, mana kita sehanya masalah akselerasi, tetapi di mestinya mengubah juga kualitas pertumbuhan haluan kita pada netersebut. gara-negara yang dikenal dengan sebutan, Klub 7%. William Pesek, kolumnis Bloomberg, dalam tulisannya pada 17 Februari menjelaskan konsep Klub 7% awalnya datang dari Standard Chartered Plc. Klub ini terdiri dari negara-negara yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi secara konsisten dalam periode waktu tertentu. China dan India tentu saja masuk dalam kategorisasi ini. Namun yang lebih penting, kelompok negara-negara ini memiliki kemampuan untuk menelurkan dinamika ekonomi di Asia, kawasan dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia. Hal ini dapat mendorong negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, Indonesia, Mongolia dan Vietnam untuk ikut masuk dalam Klub 7%. Para investor juga seakan diingatkan bahwa fokus pada kekuatan ekonomi terbesar tidak selalu menguntungkan. Untuk sementara, bayangkan saja apakah mungkin sebuah kekuatan ekonomi, terlepas dari jumlah populasi dan komposisi sumber daya alam, dapat bergabung dengan Klub 7%. Pimpinan penelitian makroekonomi global Pertumbuhan pesat Negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan negaranegara miskin. Negara-negara sedang berkembang juga sepertinya akan jauh lebih antusias untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mereka daripada menurunkan kadar emisi karbon. Jadi, apa pun kondisinya, isu mengenai pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak akan pernah berubah. Argumentasinya cukup sederhana. Negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi 7% per tahun pasti mencatatkan kenaikan dua kali lipat tiap dekade ([email protected])