Rekonstruksi Studi Islam Ngainun Naim * Abstrak Studi Islam yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama Islam dengan pola particular pattern sudah kurang signifikan lagi untuk dipertahankan, maka diperlukan rekonstruksi dan pengembangan pola baru yang lebih sesuai dengan dinamika sosial yang terus berlangsung. Ada beberapa pendekatan yang sekarang ini berkembang, yaitu Pertama, pendekatan non-madzhabi, yaitu pendekatan kajian Islam dalam berbagai bidang, seperti syariah dan hukum, teologi, filsafat, dan sufisme, yang tidak memihak terhadap satu madzhab tertentu, sehingga cara pandangnya lebih objektif. Kedua, pergeseran kajian-kajian studi Islam yang bersifat normatif menuju kepada kajian yang lebih bersifat historis, sosiologis, dan empiris. Ketiga, pendekatan yang diadaptasi dari pendekatan kajian yang dilakukan oleh ilmuwan Barat. Hal ini disebabkan karena perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk Muslim dunia. Namun demikian, studi Islam masih membutuhkan perbaikan dalam berbagai aspek. Beberapa langkah strategis yang diperlukan yaitu pengembangan dan reorientasi, kontekstualisasi dan penguatan basis filsafat. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan studi Islam dapat lebih jelas arahnya, dan menghasilkan kerangka yang lebih mapan. Kata kunci: studi Islam, pendekatan, rekonstruksi. A. Pendahuluan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sekarang ini sedang menghadapi tantangan yang cukup berat. Tantangan tersebut secara sederhana dapat dibagi menjadi dua, yaitu tantangan eksternal dan internal. Tantangan eksternal berkaitan dengan dinamika kehidupan dalam beragam dimensi yang sangat kompleks. Munculnya wacana baru yang terus berkembang seolah tidak pernah berhenti menjadi salah satu tantangan yang harus direspon secara aktif, kreatif, dan konstruktif. Selain itu, PTAI juga harus berkompetisi dengan perguruan tinggi umum yang rata-rata lebih maju. Arus perkembangan sosial, politik, ekonomi, teknologi, budaya dan globalisasi, juga menjadi tantangan eksternal yang tidak bisa untuk dihindari. Semua bentuk tantangan tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam kondisi semacam ini, PTAI harus mampu * Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung Jawa Timur. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 932 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam menunjukkan kemampuannya untuk menjawab berbagai tantangan yang ada tersebut. Sementara dari aspek internal, tantangannya juga tidak kalah banyak, seperti bagaimana membangun struktur keilmuan yang kokoh yang selaras dengan perkembangan eksternal, mendobrak kemapanan tradisi yang membelenggu, meningkatkan kualitas dan kapasitas keilmuan mahasiswa dan—tentu saja—dosennya, melengkapi infrastruktur yang umumnya jauh tertinggal dari perguruan tinggi umum, dan seterusnya. Jika tantangan internal dan eksternal dieksplorasi dan dikupas secara mendetail, maka akan terhampar begitu banyak persoalan yang harus dihadapi. Untuk memecahkan berbagai persoalan tersebut, dibutuhkan pemikiran secara serius, sistematis, dan dilakukan secara terus menerus. Misi ganda PTAI sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan basis pemikiran dan penelitian ilmiah sekaligus sebagai lembaga keagamaan yang cara kerjanya cenderung ideologis-dogmatis menjadi sebuah dilema tersendiri. Mendamaikan dua peran ini tidaklah mudah, padahal PTAI menghadapai beragam tantangan berat yang membutuhkan langkah dan sikap yang tepat dalam meresponnya. Salah satu tantangan besar yang harus dihadapi adalah derasnya isuisu global. Hal ini terjadi karena semakin kuatnya arus globalisasi. Isu-isu global terus saja masuk dan menjadi tantangan besar bagi kajian keislaman yang harus direspon secara kreatif dan konstruktif. Dengan demikian, maka PTAI akan memiliki kiprah dan kontribusi konkret dalam masyarakat. Sayangnya, idealitas semacam ini masih jauh dari harapan. Jika dilihat proses pembelajaran yang ada di PTAI, maka akan terlihat ada kekurangsingkronan antara materi yang diajarkan dengan tantangan riil yang sedang berlangsung. Tidak sedikit materi yang diajarkan ternyata kurang sesuai dengan realitas yang terus berkembang dalam masyarakat. Pada kondisi semacam ini, studi Islam membutuhkan perhatian secara serius. Sebab, jika studi Islam tidak tanggap terhadap tuntutan dinamika sosial kemasyarakatan, maka studi Islam akan menjadi kehilangan relevansinya. B. Pergeseran Pendekatan Studi Islam yang bersifat particular pattern, sebagaimana studi Islam pada abad pertengahan, tampaknya masih menjadi bagian dari proses pembelajaran di PTAI. Padahal, sebagaimana dikatakan Harun Nasution, pola semacam ini tidak lagi memiliki makna yang signifikan. Hal ini disebabkan karena studi Islam particular pattern tidak mampu memberikan deskripsi secara memadai terhadap fenomena keagamaan secara lebih SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 933 utuh.1 Apa yang disampaikan dalam pola ini lebih didominasi oleh corak dogmatis, partikular, dan tidak selaras dengan dinamika dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, selalu saja terbuka ruang yang tidak mampu dijelajahi oleh studi Islam dengan pola particular pattern. Implikasinya, studi Islam belum diakui oleh para ahli sejarah agama-agama dalam studi agama. Lebih jauh, Islam kemudian dipandang tidak secara objektif. Bahkan Islam kemudian diidentikkan dan dipahami hanya dari segi sakralitas semata-mata.2 Padahal, ajaran Islam tidak hanya terdiri dari aspek sakralitas saja, tetapi juga terdapat dimensi profanitas. Dalam studi Islam dengan pola particular pattern, dimensi ini kurang memperoleh perhatian secara memadai, atau bahkan ditinggalkan.3 Studi Islam sekarang ini memang telah berkembang lebih baik bila dibandingkan dengan awal tahun 1970-an saat digagas oleh Harun Nasution. Perkembangan ini merupakan respon konstruktif seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian maju. Semula kajian Islam memang lebih menitikberatkan pada kajian Tradisi Tinggi, yaitu kajian yang menitikberatkan pada landasan normativitas, wahyu, konsepsi pemikiran, dan ortodoksi keagamaan yang bersifat eksklusif. Dalam perkembangannya, kajian studi Islam berkembang dengan menitikberatkan pada kajian dalam bentuk historisitas, pluralisme, nilai-nilai, dan pandangan hidup. Tradisi Rendah memperluas wilayah studi Islam, sehingga mencakup kawasan Islam di Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, Islam di Bekas Uni Sovyet, Islam di Barat, dan Islam di Asia Tenggara.4 Sejalan dengan formulasi ini, maka dibutuhkan sebuah kerangka metodologi yang tepat dan aplikatif. Dalam kerangka untuk memahami wilayah kajian ini, sebagaimana ditegaskan oleh M. Amin Abdullah, bahwa studi Islam bekerja dengan data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau komunitas, kelompok, atau individu Muslim. Karena itu, masyarakat Muslim dan oleh para sarjana Muslim sangat membutuhkan bantuan metodologis dari sudut pandang Religionswissenschaft yang mengharuskan para pengkaji untuk memperhatikan secara penuh apa yang dimaksud dengan “beragama” dan “agama”. Bantuan metodologis dari sudut pandang studi agama juga 1 Harun Nasution, Islam Rasional, Gerakan dan Pemikiran, (Jakarta: LSAF, 1985), p. 58. 2 M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam, Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), p. 6. 3 Ibid., p. 12. 4 M. Amin Abdullah, Study Agama, Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), p. 106. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 934 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam diperlukan untuk melihat makna keagamaan tertentu dari data yang menjadi concern Muslim dan kemudian menentukan bagaimana data tersebut diorganisir ke dalam suatu perangkat struktur dan sistem yang koheren. Tidak cukup berhenti sampai di situ, usaha itu perlu dilanjutkan dengan menyusunnya kembali menjadi pola keagamaan yang bersifat umum, yang berlaku bagi setiap pemeluk agama-agama yang hidup sekarang ini. Ia juga membutuhkan bantuan metodologis dalam berbagai studi tentang data keagamaan untuk dapat memahami bahwa semua agama yang memiliki kendaraan historis-empiris yang khusus (particular) dapat memiliki elemen makna keagamaan yang sama, yang dipahami secara transendental-universal. Data-data keagamaan yang bersifat normatif-teologis ini pada saat yang sama mempunyai muatan historis, sosial, budaya, dan politik. Jadi, dalam bentuknya yang historis-empiris, agama selalu menjadi bagian dari setting historis dan sosial dari komunitasnya, namun pada saat yang sama secara fenomenologis ia mempunyai pola umum (general pattern) yang dapat dipahami secara intuitif dan intelektual sekaligus oleh umat manusia di manapun mereka berada. “Pergumulan antara keduanya yang tak kunjung selesai kapan pun, yakni antara aspek historis-empiris-partikular dari agama-agama dan aspek meaning (makna) keberagamaan umat manusia yang mendasar dan universal-transendental, pada gilirannya ingin dijembatani dan dikawinkan oleh pendekatan fenomenologi agama (phenomenology of religion)”.5 Dari kutipan di atas terlihat adanya sebuah kemungkinan dan peluang untuk melakukan perluasan dan pemekaran wilayah research program dalam rangka untuk mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmuilmu keislaman, paling tidak pada kawasan “Islam historis”. “Islam historis” yang berada dalam domain “protective belt”—meminjam istilah Imre Lakatos dalam M. Amin Abdullah yang menyatakan bahwa ”Islam historis” merupakan fokus yang nyata dan wilayah konkret untuk program rekonstruksi dan reformulasi ilmu-ilmu keislaman pada era modern ini. Hal itu akan berhasil bila dilakukan transplantansi metodologi, teori, dan tradisi riset yang telah dengan sangat teliti dibangun oleh para ilmuwan yang bergerak di bidang humaniora, sosial, dan studi agama.6 Dinamika perkembangan yang terjadi dalam kehidupan berlangsung sedemikian pesat. Namun demikian, materi dan metodologi yang 5 M. Amin Abdullah, “Pengantar”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), pp. iii-iv. 6 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan IntegratifInterkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), pp. 55-56. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 935 berlangsung dalam dunia pendidikan sendiri, khususnya di PTAI, ternyata masih sangat jauh tertinggal dengan perkembangan yang ada. Bahkan aspek materi dan metodologi justru cenderung stagnan. Apa yang disebut dengan “current issues” dan “living issues” biasanya sebatas isu dalam pengetahuan mahasiswa atau dosen, atau kalaupun dipahami secara mendalam, hal itu masih menjadi aktivitas individual, dan belum bisa masuk ke dalam materi pembelajaran. Hal ini disebabkan karena beragam faktor; sentralisasi birokrasi, mentalitas yang kurang responsif, serta mempertahankan kemapanan yang ada pada para pemegang kebijakan, sehingga menjadikan reformasi kurikulum, silabus, dan bahan ajar pendidikan berjalan dengan lambat. Fenomena “current issues” dan “living issues” lebih menjadi bahan kajian serius di kalangan peneliti dan peminat terhadap hal tersebut. Hal ini misalnya dilakukan oleh kelompok-kelompok studi yang memiliki perhatian serius, namun mereka bukan dari dalam institusi PTAI sendiri. Kondisi ini merupakan sebuah ironi karena seharusnya kalangan PTAI yang memberikan apresiasi secara konstruktif-produktif, sebab mereka berada dalam institusi yang bertugas mengembangkan ilmu. Namun, kenyataannya memang tidak demikian. Para peminat dan peneliti fenomena “current issues” dan “living issues” lebih memiliki peluang bebas untuk mengeksplorasi dan mengembankannya, sementara para praktisi pendidikan sulit untuk melakukannya karena mereka terjebak pada silabus dan kurikulum dalam dunia rutinitas kegiatan pembelajaran sehari-hari. Mereka lebih suka menekankan aspek pembelajaran “konservasi” dan pemeliharaan materi dan silabus pendidikan yang sudah tersedia dan bukan pada reformasi dalam bidang pendidikan. Ikhtiar untuk mempertahankan yang lama ini tampaknya diyakini lebih memiliki peranan yang signifikan dalam menjaga kemapanan tradisi keilmuan, sementara mengambil hal yang baru dianggap menggerogoti dan meruntuhkan otoritas tradisi. Oleh karena itu, banyak yang “kebakaran jenggot” begitu materi, metode, atau silabus pembelajaran yang selama ini begitu dipegang kukuh harus digugat, dikritik, apalagi didekonstruksi. Dalam kaitannya dengan pendekatan studi Islam, jika dicermati, ada tiga kecenderungan pendekatan studi Islam dewasa ini. Ketiga pendekatan tersebut adalah; Pertama, pendekatan non-madzhabi, yaitu pendekatan dalam kajian Islam dalam berbagai bidang, seperti syari'ah dan hukum, teologi, filsafat, dan sufisme, yang tidak memihak terhadap satu madzhab tertentu, sehingga cara pandangnya lebih objektif. Dengan pendekatan ini, mahasiswa tidak diharuskan mengikuti salah satu dari madzhab yang ada. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 936 Apa yang diharapkan dari pendekatan ini adalah memudarnya sektarianisme dalam kalangan mahasiswa, dan masyarakat secara luas.7 Kedua, ada kecenderungan pergeseran kajian-kajian dalam studi Islam, yaitu dari yang bersifat normatif menuju kepada kajian yang lebih bersifat historis, sosiologis, dan empiris. Pendekatan sejarah berarti memahami Islam dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.8 Melalui pendekatan sejarah, misalnya, mahasiswa diarahkan untuk melihat dari alam idealis ke alam yang lebih empiris dan mendunia. Dengan pendekatan semacam ini, mahasiswa akan mampu melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan apa yang ada dalam alam empiris dalam masyarakat mengenai perubahan dan perkembangan sebuah fenomena sosial-religius. Ketiga, pendekatan yang diadaptasi dari pendekatan kajian yang dilakukan oleh ilmuwan Barat. Hal ini, sebagaimana dikatakan Martin, disebabkan karena perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk Muslim dunia.9 Menurut Noeng Muhadjir, wilayah kajian studi Islam yang sedemikian luas membentuk beragam model studi Islam dengan pendekatan yang juga berbeda. Menurutnya, ada lima model studi Islam yang dapat dijadikan model dan dikembangkan. Pertama, model studi Islam klasik, yaitu studi Islam yang mengembangkan ilmu-ilmu keislaman murni, seperti ulumul qur’an, ulumul hadits, ilmu kalam, fikih, tasawuf, dan studi filsafat. Kedua, model studi Islam orientalis, yaitu studi Islam yang berangkat dari studi antropologi. Ketiga, model studi Islam historisisme kritis, yaitu studi Islam yang memfokuskan untuk menganalisis al-Qur’an dan Hadits. Studi ini didasarkan pada paradigma bahwa keduanya bukan merupakan ketetapan Allah s.w.t. Keempat, model studi Islam fenomenologik. Kelima, model studi Islam kontekstual, yaitu upaya pemaknaan menanggapi masalah-masalah kekinian yang umumnya mendesak, melalui pemahaman makna historis dulu, makna fungsional sekarang, dan memprediksikan makna masa yang akan datang.10 7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos, 2000), p. 171. 8 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), p. 105. Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), p. 1. 10 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), pp. 256-293. 9 SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 937 C. Pengembangan dan Reorientasi Berbagai pendekatan tersebut merupakan hasil dari perkembangan studi Islam dalam beberapa dasawarsa terakhir. Namun demikian, masih dibutuhkan berbagai usaha perbaikan agar studi Islam semakin menemukan relevansinya dalam menjawab tantangan zaman. Hal esensial yang mendesak untuk dilakukan adalah melakukan pengembangan dan reorientasi. Pengembangan dan reorientasi Islamic Studies, khususnya pada level filsafat keilmuan, penting dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin ilmu yang tertutup karena merupakan disiplin ilmu yang terbuka. Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah adalah bangunan keilmuan biasa yang tidak harus disakralkan, tetapi harus diuji ulang validitasnya lewat perangkat konsistensi, koherensi, dan korespondensi oleh kelompok ilmuwan sejenis. Kedua, agama Islam bukan satu-satunya agama yang hidup (living religion) pada saat sekarang ini. Terdapat banyak living religion yang mempunyai sistem tata pikir, seperangkat nilai dan keyakinan yang sama persis seperti yang dipraktekkan oleh umat Islam, hanya saja kitab suci, bahasa yang digunakan, nabi atau rasul yang dijadikan tokoh kharismatik dan panutannya, tata cara ritual peribadatannya serta letak geografis para pemeluknya berbeda. Ketiga, semakin dekatnya hubungan dan kontak individu maupun sosial antara berbagai etnik, ras, suku, dan agama sebagai akibat dari teknologi, transportasi, komunikasi dan informasi yang canggih sehingga memperpendek jarak dan tapal batas ruang dan waktu yang biasa dipikirkan dan diimaginasikan oleh umat beragama pada abad-abad sebelumnya. Setiap saat, lewat media elektronik dan media cetak, apa yang terjadi pada belahan dunia lain menembus, menerobos, dan mempengaruhi tata cara berpikir umat beragama dan membangkitkan emosi mereka di mana pun mereka berada.11 Pendekatan studi Islam mencakup wilayah yang sangat luas, baik dilihat dari segi sumber, fungsi, relasi dengan agama lain, maupun ilmu pengetahuan. Agama Islam dalam konteks sekarang ini tidak lagi bisa dipahami hanya seperti pemahaman orang terdahulu yang hanya menitikberatkan pada kajian persoalan fikih klasik, kalam, keimanan, kredo, pedoman hidup, dan peribadatan saja. Pemahaman terhadap Islam yang dibutuhkan sekarang ini berkaitan dengan persoalan historis empiris.12 11 Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz asTsaqafi al-‘Arabi, 1991), pp. 74-75. 12 M. Amin Abdullah, Antologi, p. 4. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 938 Namun demikian, membangun pemahaman semacam ini bukan pekerjaan yang mudah. Salah satu sebabnya karena belum munculnya kesadaran akan makna penting dimensi historis. Berkaitan dengan persoalan ini, menarik menyimak kritik Amin Abdullah bahwasanya: …. Para ahli fikih yang sekaligus teolog (mutakalllimun) tidak mengetahui hal itu. Mereka mempraktikkan jenis interpretasi yang terbatas dan membuat metodologi tertentu, yakni fikih dan perundang-undangan. Dua hal ini mengubah diskursus al-Qur’an yang mempunyai makna mistis-majazi, yang terbuka bagi berbagai makna dan pengertian, menjadi diskursus kaku dan telah menyebabkan diabaikannya historisitas norma-norma etikakeagamaan dan hukum-hukum fikih. Jadilah norma-norma dan hukum fikih itu seakan-akan berada di luar sejarah dan di luar kemestian sosial; menjadi suci: tidak boleh disentuh dan didiskusikan. Para ahli fikih telah mengubah fenomena-fenomena sosio-historis yang temporal dan bersifat kekinian menjadi semacam ukuran-ukuran ideal dan hukum transenden yang kudus/suci, yang tidak dapat diubah dan tidak dapat diganti. Semua bentuk kemapanan dan praktik yang lahir dari hukum-hukum dan ukuranukuran ini kemudian mendapatkan ardiyyah pengkudusan /pensakralan dan transendensi ketuhanan yang mencabutnya dari fondasi atau dari persyaratan-persyaratan biologis, sosial, ekonomi, dan ideologis. Demikianlah, historisitas diabaikan dan dibuang oleh ortodoks yang mapan. Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai hari ini bahkan pembuangan historisitas itu menjadi bertambahtambah dengan perjalanan waktu.13 Kesadaran terhadap dimensi historis tidak muncul begitu saja. Ia membutuhkan proses yang panjang dan berkelanjutan lewat media sosialisasi, pendidikan, dan dialektika secara berkelanjutan. Ketika kesadaran terhadap dimensi ini telah muncul, agenda penting yang harus dilakukan adalah bagaimana kesadaran tersebut menjadi alat untuk membangun model studi Islam. D. Kurikulum Kurikulum sendiri sebenarnya berposisi sebagai acuan dalam pembelajaran, bukan barang mati yang tidak bisa berubah. Justru kurikulum harus terus menerus diperbaharui agar senantiasa aktual, kontekstual, dan memiliki relevansi dengan dinamika dan perkembangan 13 M. Amin Abdullah, Islamic Studies, p. 189. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 939 yang ada. Pada titik inilah, dibutuhkan perspektif yang kritis serta kesungguhan untuk menyusun kurikulum baru yang lebih mencerahkan. Persoalannya, kontekstualisasi kurikulum itu bukan sesuatu yang mudah. Ada beragam tantangan yang harus ditundukkan. Namun demikian, usaha pembaruan dan kontekstualisasi harus terus menerus dilakukan demi perbaikan PTAI ke depan. Sebab jika kurikulum diposisikan sebagai sesuatu yang telah mapan, stagnan dan tidak boleh dikritik atau diubah, implikasinya akan menjadikan model pembelajaran studi Islam sebagai sebuah model “pemapanan tradisi”. Dalam model semacam ini, perubahan merupakan suatu hal yang dihindari. Walaupun pembaruan dan kontekstualisasi kurikulum merupakan hal yang signifikan, namun untuk realisasinya masih harus berhadapan dengan beberapa tantangan. Ada beberapa aspek yang menghambat dalam melakukan usaha semacam ini. Pertama, pandangan sebagian dosen yang melihat kurikulum sebagai barang mati yang tinggal dijalankan. Bagi kalangan yang berpandangan seperti ini, kurikulum adalah sesuatu yang harus dipegang dan dipertahankan. Bukan hal yang aneh jika ada dosen yang mengampu satu mata kuliah tertentu selama puluhan tahun, tetapi yang disampaikan nyaris sama persis dari tahun ke tahun. Tidak ada sesuatu yang baru dalam proses perkuliahannya. Dosen semacam ini ibarat kaset yang tinggal memutar ulang dalam setiap pertemuan kuliahnya. Mereka ini tidak pernah meng-up date wawasan dan pengetahuannya agar terus maju dan berkembang. Kedua, kualitas Sumber Daya Manusia. Menyusun kurikulum baru yang terus dinamis dan kontekstual, walaupun kelihatannya sederhana, ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Sebab, penyusunannya berkaitan dengan wawasan, cara pandang, dan pemahaman secara utuh terhadap materi yang akan disusun. Oleh karena itu, dibutuhkan dosen yang memiliki khazanah pengetahuan yang luas. Sudah bukan rahasia lagi jika sebagian dosen di PTAI kurang memiliki tradisi belajar dan membaca yang baik. Membaca, apalagi menulis, dianggap sebagai sesuatu yang elit dan mewah. Dengan kondisi sumber daya manusia yang semacam ini, maka menyusun kurikulum yang baik sebagaimana diharapkan menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Ketiga, mentalitas. Arus globalisasi dan modernitas menghadirkan sebuah fenomena baru yang mengglobal, yaitu instant. Segala sesuatu inginnya dilakukan secara cepat dan mudah. Munculnya beragam cara untuk mencapai sebuah tujuan dengan jalan pintas ini nampaknya berimbas juga di kalangan PTAI. Wujudnya adalah mentalitas praktispragmatis. Menyusun kurikulum bukanlah pekerjaan mudah dan ringan. Dibutuhkan pencurahan energi secara maksimal, waktu yang lama, dan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 940 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam keseriusan, sementara dari sisi materi, imbalannya kurang sesuai dengan harapan. Dalam struktur mentalitas praktis-pragmatis, kerja mendesain kurikulum merupakan kerja idealis. Maka wajar jika jarang ada dosen yang memilihnya. Keempat, kesulitan implementasi. Kurikulum yang baik tidak menjamin akan memberikan hasil yang baik. Kurikulum haruslah dipahami sebagai alat. Keberhasilannya sangat tergantung kepada beragam faktor yang antara satu faktor dengan yang lainnya saling berkaitan. Salah satu hambatan implementasi kurikulum yang baik ada di tataran mahasiswa. Pada level magister dan doktor mungkin tidak menjadi persoalan yang berarti karena rata-rata mahasiswanya memang sudah memiliki modal untuk mengimplementasikan kurikulum. Tetapi pada level Strata 1, hambatannya cukup banyak. Tradisi belajar dan semangat mahasiswa menuntut ilmu belumlah merata. Bahkan ada kecenderungan penurunan semangat belajar di kalangan mahasiswa dari waktu ke waktu. Mereka lebih suka hal-hal yang mudah, tetapi menginginkan nilai yang bagus, cepat lulus, dan nantinya cepat bekerja. Selain keempat tantangan tersebut, tentu masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi saat menawarkan kurikulum baru. Namun demikian, usaha yang bersifat konstruktif dan kreatif harus terus menerus dilakukan agar pendidikan tinggi Islam semakin hari semakin cerah. Oleh karena itu, seluruh komponen harus melihat bahwasanya persoalan tersebut seharusnya tidak diposisikan sebagai beban, tetapi sebagai tantangan yang harus ditundukkan. Kalah dan menyerah terhadap tantangan tersebut berarti akan menutup pintu bagi masa depan PTAI yang lebih cerah di masa depan. E. Penguatan Basis Filsafat Aspek penting lain yang akan memperkokoh usaha-usaha sebagaimana diuraikan di atas adalah memperkokoh basis filsafat. Filsafat memiliki makna yang sangat penting sebagai landasan untuk melakukan kajian secara serius dan mendalam atas ilmu-ilmu keislaman. Di lingkungan perguruan tinggi Islam, pengajaran filsafat secara memadai hanya ada di Fakultas Ushuluddin, sementara di fakultas yang lainnya, filsafat diberikan secara singkat. Tentu ini kurang memadai bagi peletakan landasan yang kokoh terhadap konstruksi keilmuan mahasiswa. Bahkan di sinilah letak sumber kelemahan pengembangan Islamic Studies. Selama ini, praktik pendidikan dan pengajaran Islam terlalu menekankan pada sumber dan kebenaran tekstual. Para pendukung ilmu ini melupakan kenyataan bahwa ketika gagasan, pemikiran, dan ide yang menjelma menjadi “keyakinan” dan “keimanan” yang berlandaskan teks itu dipraktekkan dan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 941 dioperasionalisasikan di lapangan, maka secara otomatis muncul berbagai pemahaman dan interpretasi. Ketika pemahaman keagamaan yang semula bersifat individual itu mengelompok, terorganisir dalam sebuah perkumpulan, maka secara sosiologis terjadilah proses sosialisasi, saling pengaruh mempengaruhi, upaya memperbanyak respon, penilaian dari kelompok lain, dan seterusnya. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya konfik. Pada gilirannya kemudian memunculkan kelompok mainstream yang dominan dan kelompok marginal yang pinggiran. Pertemuan, pertentangan, kritik, perpaduan, penyempurnaan konsep, kompromi dan dialog antar berbagai kelompok pemahaman dan interpretasi keagamaan Islam itulah yang sebenarnya merupakan lahan subur bagi penyusunan sistematika keilmuan yang dimiliki oleh berbagai kelompok penafsiran dan pemahaman tersebut.14 Salah satu bidang filsafat yang jarang diajarkan adalah filsafat ilmu. Jika ditinjau dari sisi signifikansinya, penerapan filsafat ilmu pada diskusi akademik ilmu-ilmu keislaman sangat penting untuk dilakukan, khususnya karena pertimbangan bahwa filsafat ilmu saling berkaitan dengan sosiologi pengetahuan. Dua cabang pengetahuan ini jarang didiskusikan dan tidak pernah dimasukkan dalam tradisi keilmuan Islam yang telah ada. Ini merupakan sebuah ironi karena sesungguhnya keduanya merupakan prasyarat dan wacana awal yang harus dimengerti bagi para ilmuwan Muslim yang ingin menghindarkan diri dari tuduhan pembela tipe studi Islam yang hanya bersifat pengulang-ulangan, statis, disakralkan, dan dogmatik.15 Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa ternyata banyak dosen Islamic Studies tidak memiliki ketertarikan terhadap filsafat ilmu, terutama berkaitan dengan pemahaman tentang asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, epistemologi, cara kerja, dan struktur fundanmental keilmuan yang melatarbelakangi dibangunnya ilmu-ilmu tersebut oleh generasi pencetusnya. Salah satu faktornya ternyata memang ada kesengajaan untuk menghindari pembahasannya. Mereka lebih memilih untuk membahas dan mengajarkan ilmu-ilmu praktis yang telah “jadi”, “mapan”, tinggal menghapal dan melaksanakan atau mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.16 Penguatan basis filosofis dalam studi Islam merupakan sebuah usaha yang akan memberikan kontribusi bagi pengembangan watak kritis 14 Ibid., pp. 70-71. Ibid., pp. 60, 200. 16 M. Amin Abdullah, “Pengembangan Kajian Keislaman: Metode dan Pendekatannya”, dalam Amir Mahmud (ed), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005), p. 11. 15 SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 942 di kalangan mahasiswa. Filsafat merupakan sesuatu yang dilakukan oleh individu, suatu proses kerja gradual, abadi melalui ide, argumen, pemikiran, dan pengalaman. Proses filsafat bersifat personal dalam pengertian bahwa filsafat adalah masalah concern dan minat yang dinilai penting oleh seseorang. Maka, dalam filsafat tidak ada ruang untuk mengkopi, mengimitasi, atau membebek pada ide orang lain. Filsafat kurang popular dalam studi agama, termasuk studi Islam, karena filsafat menentang terhadap pemikiran tentang otoritas.17 F. Penutup Studi Islam yang diajarkan di PTAI diharapkan mampu menghadirkan perspektif kritis, responsif terhadap wacana yang terus bergulir, dan menghadirkan perspektif baru yang mencerahkan. Untuk mewujudkan hal ini, model studi Islam yang sekarang ada perlu untuk direkonstruksi. Rekonstruksi mencakup berbagai aspek, di antaranya pendekatan, kurikulum, dan basis filsafat. Keseluruhan aspek ini harus ditelaah ulang, dicari kontekstualisasinya, dan disusun secara lebih baik. Dengan melakukan rekonstruksi, studi Islam di PTAI diharapkan akan semakin kuat peran dan posisinya. Sebagai basis bagi pengembangan keilmuan Islam, studi Islam memang lahir dari keinginan untuk membangun pemahaman dan wawasan yang lebih komprehensif terkait dengan ajaran Islam. Tujuan ini memang hingga sekarang belum mampu tercapai secara optimal. Ada saja hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. Pada kondisi yang semacam ini, rekonstruksi studi Islam merupakan sebuah kewajaran, atau bahkan keharusan. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, “Pengantar”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. _______, “Pengembangan Kajian Keislaman: Metode dan Pendekatannya”, dalam Amir Mahmud (ed), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005. 17 Robert Fisher, “Pendekatan Filosofis”, dalam Peter Connoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Islam, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 1999), p. 151. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Ngainun Naim: Rekonstruksi Studi Islam 943 _______, Antologi Studi Islam, Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Aditya Media, 2000. _______, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. _______, Stduy Agama, Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Abdullah, Taufik, Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. al-Jabiri, Muhammad Abed, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz asTsaqafi al-‘Arabi, 1991. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos, 2000. Fisher, Rob, “Pendekatan Filosofis”, dalam Peter Connoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Islam, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS, 1999. Martin, Richart C., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000. Nasution, Harun, Islam Rasional, Gerakan dan Pemikiran, Jakarta: LSAF, 1985. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010