BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian karya sastra dalam lirik lagu, puisi, maupun novel dan cerpen berdasarkan kajian stilistika sudah banyak dilakukan, demikian juga dengan penelitian karya sastra yang berdasarkan kajian kesetaraan gender dan ideologi. Akan tetapi kajian pustaka belum ada menunjukkan kajian lirik lagu, dalam hal ini lagu Batak Toba, berdasarkan kajian stilistika, kesetaraan gender dan ideologi secara bersamaan. Kajian ini penting dilakukan untuk memberi pengetahuan kepada pendengar, pencipta lagu bahwa kajian lirik lagu juga layak untuk diangkat ke permukaan sebagai sumber data. Hal ini juga dapat memotivasi pengarang lagu sehingga ketika sang pengarang menciptakan lagu, tidak asal jadi melainkan mau dan mampu menciptakan karya yang bernilai seni tinggi sekaligus bisa memberi manfaat untuk menghibur. Hal ini sangat dibutuhkan saat ini untuk memberi manfaat utile dan dulce kepada manusia yang sangat dibebani oleh beban kerja dan berbagai aktivitas yang menyita energi dan pikiran, sehingga perlu adanya satu wadah untuk memberi satu hiburan yang bisa mengendurkan semua kepenatan jiwa dan pikiran. Ini dapat dibuktikan melalui tumbuh suburnya karaoke di berbagai tempat, yaitu satu tempat dimana manusia bisa mendapatkan hiburan dengan bernyanyi. Selain daripada hal disebut di atas, kajian pustaka lagu berdasarkan stilistika, kesetaraan gender, dan ideologi penting diperkenalkan agar pendengar, atau pengamat lagu semakin mendapat pencerahan mengenai style: ciri, cara, gaya, mengenal bahwa beberapa kandungan lirik lagu Batak Toba mengandung kesetaraan gender melalui peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan yang dalam hal ini seorang ibu, juga mengandung ideologi masyarakat Batak Toba hamoraon, hasangapon, hagabeon. Berikut ini peneliti mengutip beberapa kajian penelitian seperti: Simangunsong, Fransiska. 2013. Pengaruh Konsep Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon Terhadap Ketidaksertaan Gender Dalam Amang Parsinuan. Mengkaji tentang pengaruh tentang prinsip hidup masyarakat Batak Toba, Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon terhadap ketidaksetaraan gender yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang tergambar dalam amang parsinuan. Melalui kajian ini peneliti dapat melihat kalau sampai saat ini pemarginalan kaum perempuan masih terjadi dalam masyarakat Batak Toba yang tergambar melalui panggilan amang parsinuan kepada seorang laki-laki yang dalam konteks ini seorang bapak, yang masih mengagungkan eksistensi laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba yang disebut anak itu adalah anak laki-laki. Jadi ideologi hagabeon, hasangapon, hamoraon yang ada dalam masyarakat Batak Toba ditujukan untuk anak laki-laki, yang sedaya upaya diperjuangkan keberhasilannya. Kalau seorang anak laki-laki sudah berhasil maka keberhasilan itu akan memberi dampak sangat besar terhadap hagabeon, hasangapon, hamoraon. Susi, Gustina. 2012. Permormativitas Penyanyi Perempuan Dalam Pertunjukan Musik. Masalah yang dibahas tentang gaya bernyanyi penyanyi perempuan secara musikal maupun non-musikal apakah penyanyi dengan gaya berornamen, penyanyi yang dikenal dengan gaya ngagandul, serta cengkok dan dengan gaya seriosa. Kajian ini menunjukkan bagaimana gaya seorang penyanyi perempuan membawakan lagu yaitu dengan ngagandul, cengkok dan gaya seriosa. Sedangkan penyanyi Batak Toba, laki-laki atau perempuan, juga punya gaya dengan ciri tertentu, yaitu dengan gaya ratapan andung-andung. Dari kedua gaya bernyanyi disebut di atas dapat dikatakan bahwa setiap suku mempunyai ciri, cara dan gaya yang dalam hal ini difokuskan pada gaya bernyanyi. Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya bahwa setiap orang mempunyai ciri, cara dan gaya tersendiri dalam penyampaian atau penulisan. Sibarani, Maria Fransiska. 2014. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Syair Lagu Uju Di Ngolukkon Dan Kaitannya Dengan Pandangan Hidup Masyarakat Batak Toba Terhadap Orang Tua. Masalah yang dikaji adalah nilai yang terkandung dalam lirik lagu ujudi ngolukki dan perpaduan antara syair dan melodi. Lagu Uju Di Ngolukkon merupakan satu lagu yang sangat popular di kalangan masyarakat Batak, khususnya Batak Toba, yang berisi tentang permintaan orang tua kepada anak-anaknya, agar sang anak boleh lebih memperhatikan dan merawat orang tua selagi masih hidup. Hal ini disampaikan oleh orang tua karena banyak anak-anak menghargai orangtua hanya setelah orangtua meninggal dunia dengan mengadakan musik, menari dan menyanyi, padahal sang orang tua tidak bisa merasakannya lagi. Jadi sebaiknya kalau mau memperhatikan orang tua seyogianyalah ketika mereka masih hidup. Jadi melalui lagu tersebut di atas pendengarnya banyak mendapat pesanpesan moral berupa nasihat. Ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh pengarang lagu Batak Toba yang juga merupakan bagian dari stilistika. Takari, Muhammad. 2014. Sopo Panisioan Musik Populer Batak Toba Kegiatan Terhadap Aspek Sejarah, Fungsi dan Struktur. Masalah yang dikaji adalah tentang kajian musik popular Batak Toba dikaitkan dengan aspek sejarah yang masuk melalui lembaga gereja yang berfungsi sebagai hiburan, enkulturisasi budaya, ekonomi, estetika dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan pada Bab sebelumnya bahwa lirik lagu mempunyai kesamaan unsur dengan puisi yang fungsinya sebahagian besar adalah memberi utile dan dulce. Melalui kajian Sopo Musik Populer Batak Toba, bagaimana pentingnya mengetahui sejarah, fungsi dan struktur musik popular Batak Toba sehingga generasi penerus boleh memahami dan bahkan diharapkan mau memberi perhatian terhadap musik, lagu daerah, sehingga tidak punah dari benak dan sanubari mereka. Jadi bukan hanya musik Korea, Barat, India saja yang mereka kenal dan mereka gandrungi. Melalui kajian di atas, peneliti semakin terpacu untuk lebih memberi pemahaman kepada pembaca bahwa lirik lagu yang menjadi sumber data peneliti dapat memberi manfaat pemertahanan budaya selain dari manfaat utile dan dulce. Silaban, Febry, dkk. 2015. Harga Diri Dalam Masyarakat Batak Toba Dan Sastra Kebijaksanaan Israel. Masalah yang dikaji adalah mengenai masyarakat Batak Toba yang tergambar melalui syair lagu, umpasa, ungkapan, pepatah, pantun, filosofi dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya agama Kristen pertama sekali adalah di daerah Batak. Ajaran agama Kristen tersebut kebanyakan mengandung ungkapan dan filosofi yang ada di Israel, misalnya pada epistle Mazmur yang sarat dengan syair, ungkapan dan filosofi. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi pola pikir, pola hidup yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Batak Toba, termasuk dalam menciptakan karya sastranya, apakah melalui lagu, umpasa, ungkapan, pepatah, pantun dan filosofi. Kandungan harga diri dan kebijaksanaan dalam karya satra masyarakat Batak pada umumnya dan Batak Toba khususnya merupakan implementasi dari ideologi masyarakat Batak Toba hamoraon, hasangapon, hagabeon. Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya bahwa masyarakat Batak Toba, khususnya kaum ibu melalui peran, tanggung jawab dan perjuangan berusaha meraih cita-cita yang terkandung dalam ideologi masyarakat tersebut, salah satunya melalui pendidikan. Hal ini tergambar melalui beberapa lirik lagu yang menjadi data peneliti. Lumbanraja, Saroha dalam Mempelajari Batak Dari Lima Lagu Terpopuler Seperti: Satu, Poda yang bercerita tentang nasihat orang tua terhadap anak-anaknya agar senantiasa berbuat baik dan menjaga diri dari segala kejahatan, selalu sopan kepada orang tua serta harus pandai menjaga diri. Dua, Boru Panggoaran. Lagu ini bercerita tentang harapan orang tua terhadap putri sulungnya agar berusaha untuk meraih sukses walau banyak tantangan dan juga berisi tentang kepercayaan orang tua kepada putrinya untuk membawa nama baik keluarga layaknya seorang laki-laki. Tiga, Anakku Na Burju. Lagu ini bercerita tentang kisah sukses seorang anak setelah tekun dan ulet dalam menggapai cita-citanya. Selain itu lagu ini juga bercerita tentang doa serta harapan orang tuanya agar anak sukses dan harmonis dengan saudaranya. Empat, Dang Tarpukka Hamoraon. Lagu ini bercerita tentang seorang orang tua tunggal yang tidak mampu lagi bekerja sehingga anaknya harus putus sekolah. Bukan karena sang ibu tidak ingin anaknya sekolah, akan tetapi karena ketiadaan harta yang ditinggalkan oleh sang bapak. Lima, Anakkon Hu Do Hamoraon Di Au. Lagu ini bercerita tentang pesan bahwa pendidikan anak itu yang paling penting di atas semuanya. Tidak perlu beli baju baru, tidak perlu makan enak apalagi beli perhiasan asalkan anak bisa sekolah setinggi mungkin. Kajian beberapa lagu yang disebutkan di atas menunjukkan kepada pembaca bagaimana pengarang lagu-lagu tersebut menggunakan ciri, cara, gaya penyampaian nasihat orang tua kepada anak-anaknya, bagaimana orang tua mendoakan keberhasilan anak-anaknya, bagaimana orang tua memperjuangkan anak-anaknya. Hal ini semua berhubungan dengan stilistika dan ideologi yang ada di komunitas masyarakat Batak Toba. Melalui kajian beberapa lagu Batak Toba di atas, peneliti semakin terbantu untuk memberi pemahaman dan pencerahan kepada pembaca atau pendengar lagu bahwa setiap penulis lagu mempunyai ciri, cara dan gaya tersendiri untuk menyampaikan kandungan pesan dari lirik lagu tersebut, khususnya yang berhubungan dengan ideologi masyarakat Batak Toba, hamoraon, hasangapon, hagabeon. The Role of Woman in Selected Batak Toba Songs Based on Gender Equality. Martina Girsang, Ikhwanuddin Nasution, Asmyta Surbakti., T. Thyrhaya Zein. 2014. Masalah yang dibahas adalah tentang peranan perempuan seorang ibu, di ranah domestik maupun publik menurut pandangan anak dan perempuan berdasarkan perspektif kesetaraan gender. Kajian ini menunjukkan bagaimana peran seorang perempuan, seorang ibu, di ranah domestik maupun publik untuk memberi tingkat kehidupan melalui pendidikan menurut pandangan perempuan dan anak-anak di keluarga komunitas masyarakat Batak Toba. Menurut perempuan Batak Toba dalam konteks ini pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup, harkat hidup walaupun untuk meraihnya sang ibu harus banyak berkorban.Hal ini merupakan implementasi dari kesetaraan gender. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Hubeis. 2010. Masalah yang dibahas tentang pengarusutamaan gender dan dinamika kajian perempuan yang tidak lepas dari pencitraan domestik dan secara tidak langsung membelenggu relasi heteroseksual dalam masyarakat di Indonesia. Melalui buku ini peneliti mendapat pengetahuan tentang pencitraan kaum perempuan yang sudah terhegemoni sejak lama dan aplikasinya dalam masyarakat. Kajian ini menunjukkan kepada pembaca bagaimana citra perempuan yang sudah dihegemoni sejak kecil, baik melalui pola pikir, pola sikap yang dalam bahasa gaulnya bahwa setinggi apapun pendidikan seorang perempuan, kewajiban di kasur, dapur dan sumur tidak dapat dihindari. Hal ini sejalan dengan pendapat para filsuf yang mengatakan kalau perempuan tidak layak berada di ranah publik. Pemahaman seperti ini sudah tidak relevan dengan era globalisasi ini, karena perempuan Batak Toba sudah mengalami kemajuan yang pesat yang tergambar melalui sepuluh (10) lirik lagu Batak Toba melalui peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba. Arivia melalui karyanya A Room of One’s Own. 2006. Melalui tulisan ini peneliti dapat mengetahui bagaimana berkecamuknya perang yang ada dalam perasaan dan bathin perempuan untuk meraih hak dan kebebasan atas dirinya. Kajian ini menunjukkan kepada pembaca bagaimana terbelenggunya hati seorang perempuan yang ingin keluar dari keterkungkungan hati yang terpenjara. Hal ini sudah tidak selaras dengan tuntutan dari kesetaraan gender dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu poin kajian peneliti adalah kesetaraan gender yang digambarkan melalui peran, tanggung-jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba yang digunakan untuk menolak konstruksi pendapat para pakar feminism yang mendiskreditkan, memarginalkan keberadaan perempuan. Melalui kajian kesetaraan gender peneliti ingin menunjukkan kalau perempuan juga punya hak dan kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan dan layak berada di ranah publik. Hubeis dalam karyanya Pengenalan Nilai Diri dan Nilai Masyarakat: Perspektif Gender. 2010. Melalui tulisan ini peneliti dapat mengetahui tentang konsep diri perempuan Indonesia dan pemberdayaan perempuan. Kajian ini menunjukkan kepada pembaca bagaimana perempuan Indonesia yang stereotype pekerja keras memperlihatkan atau memperkenalkan diri melalui keterlibatannya di ranah publik dengan melakukan berbagai kegiatan yang bisa memotivasi perempan lainnya agar mau dan mampu melakukan dan melibatkan diri bukan hanya di ranah domestik, akan tetapi juga di ranah publik. Dengan demikian nyatalah aplikasi kesetaraan gender. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap perempuan Batak Toba melalui beberapa lirik lagu Batak Toba juga menunjukkan adanya kesamaan dengan kajian di atas. Hal ini dapat dilihat melalui peran, tanggung jawab, dan perjuangan perempuan Batak Toba di ranah domestik dan publik. Peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba tersebut memperlihatkan kepada pembaca atau pendengar bahwa perempuan Batak Toba secara tidak langsung telah memperkenalkan diri dan eksistensinya sehingga perempuan juga mempunyai nilai tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Suyono Suratno dalam “Ideologi Gender dan Refleksi Semangat Feminis”. 2000. Sebuah kajian novel Nh. Dini yang berjudul La Barkayang dikaji berdasarkan pendekatan kritik sastra feminis. Melalui kajian disebut di atas dapat dilihat adanya permasalahan wanita yang diakibatkan oleh beberapa sumber, salah satu diantaranya akibat adanya paham patriarki yang dianut oleh kaum pria, yang menekankan adanya pembagian kerja secara seksual dan harus dipatuhi oleh wanita. Bila dihubungkan dengan penelitian ini sebenarnya di komunitas masyarakat Batak Toba juga sudah sejak dulu terpola pembagian kerja secara seksual, yaitu pria bekerja di ranah publik sedangkan wanita di ranah domestik. Akan tetapi di dalam realitas faktual banyak ditemukan kaum wanita bekerja di ranah publik dan domestik sekaligus. Ini dapat dilihat melalui sepuluh lirik Batak Toba yang menjadi sumber data peneliti. Dari sekian banyak penelitian lirik lagu, puisi, prosa dan drama yang menggunakan teori stilistika, kesetaraan gender maupun yang berhubungan dengan ideologi, sepengetahuan peneliti belum ada yang meneliti lirik lagu Batak Toba (yang dalam hal ini sumber data sekunder peneliti) yang berhubungan dengan stilistika; kesetaraan gender dan ideologi sekaligus. 2.2 Konsep 2.2.1 Stilistika Menurut Ratna (2010:3), stilistika (stylistic) adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gaya, sementara stil (style) yaitu tentang cara cara yang khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Stilistika dimaksud dalam hal ini berhubungan dengan majas, yaitu perumpamaan atau kiasan. Ada beberapa jenis majas, seperti: hiperbola, paradox, sarkasme, inversidan sebagainya. Sementara menurut kelompoknya majas dapat dikelompokkan atas empat kelompok, yaitu: Majas penegasan, perbandingan, pertentangan dan majas sindiran. Menurut Fowler (1970), ”Gaya adalah: ciri, standar bahasa, cara ekspresi”. Ini artinya stilistika berkaitan dengan gaya yang berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia; ketika dikaitkan dengan karya sastra maka berhubungan dengan budaya itu sendiri dan karya sastralah yang paling banyak menggunakan stilistika, khususnya puisi. Istilah lain yang berhubungan dengan gaya bahasa adalah: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa dan rasa bahasa. Sementara menurut Aminuddin (1995:68), ”Stilistika adalah wujud dari cara pengarang untuk menggunakan sistem tanda yang sejalan dengan gagasan yang akan disampaikan”. Namun yang menjadi perhatian adalah kompleksitas dari kekayaan unsur pembentuk karya sastra yang dijadikan sasaran kajian yaitu, wujud penggunaan sistem tandanya. Jadi, konkritnya secara definitif stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan style dan gaya bahasa,tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dalam pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia. (Ratna, 2009:167). 2.2.2 Hubungan Bahasa dan Sastra dalam Konteks Stilistika Bahasa mempunyai fungsi yang sangat efektif untuk menjalin komunikasi dan juga dalam menentukan satu kesepakatan dalam masyarakat sepanjang bahasa itu dipelihara dengan baik. Untuk mencapai keberhasilan dalam berkomunikasi adalah penting memperhatikan beberapa aspek variasi bahasa yang dalam hal ini yaitu stilistika bahasa. Hubungan antara bahasa dengan sastra sangatlah erat karena bahasa merupakan medium utama karya sastra, sebaliknya karya sastra tidak mungkin tercipta tanpa bahasa. Hubungan bahasa dan sastra lebih jelas diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1989:221), bahasa dan sastra harus saling memanfaatkan untuk mengembangkan bahasa itu sendiridan dalam karya sastralah bahasa dapat dieksploitasi dengan berbagai kemungkinannya, sehingga dapat dilihat perbedaan bahasa sehari-hari dengan bahasa yang ada dalam karya sastra. Berbagai kemungkinan inilah yang diharapkan menjadi objek kajian ilmu bahasa. Hanya dalam kenyataannya penelitian bahasa belum banyak memanfaatkan genre sastra. Tambahan lagi masih menurut Wellek dan Warren studi bahasa melalui sastra khususnya puisi sangat penting tetapi justru diabaikan oleh para linguis. Pada dasarnya masalah hubungan bahasa dan sastra dapat dicari solusinya, yaitu dengan menjelaskan masing-masing gejala. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa bagi karya sastra bahasa adalah alat, dengan demikian bahasa merupakan medium komunikasi utama yang berarti bahwa penulisan karya sastra adalah melalui mekanisme yang diisaratkan oleh bahasa. Itulah sebabnya dalam praktik analisis yang dilakukan pada umumnya adalah deskripsi jenis-jenis gaya bahasa (majas), seperti: repetisi, inverse, hiperbola dan sebagainya tanpa mempertimbangkan mengapa jenis gaya tersebut digunakan oleh pengarang. Akibatnya tidak ada pemahaman aspek stilistikanya. Pemahaman gaya bahasa dalam ilmu bahasa terbatas sebagai analisis struktur saja, sementara gaya bahasa dalam kaitannya dengan puitika sastra adalah deskripsi kualitas estetis, melampaui struktur. Kembali menurut Warren and wellek (1989:229), bahwa studi stilistika seharusnya: a) Menemukan prinsip yang mendasari totalitas karya, b) Menemukan tujuan estetis yang dapat menopang keseluruhan karya. Perkembangan bahasa dan sastra tidak terisolasidalam strukturnya masing-masing dan sebagai sistem komunikasi bahasa hanya melibatkan dua subjek, yaitu pembicara dan pendengar. Sebaliknya sastra dimediasi oleh narator, jenis pembaca dan pendengar, fokalisasi, dengan sendirinya di dalamnya juga menggunakan gaya bahasa sesuai dengan keinginan dan tujuan pengarangnya. Selanjutnya masih menurut Warren and Wellek (1989:223), stilistika bukan semata-mata permainan kata-kata, persamaan dan perbedaan bunyi, tetapi juga penekanan dan penjelasan yang secara keseluruhanpada umumnya sebagai aspek ekspresif. Untuk memahami kembali hubungan antara bahasa dan sastra berarti mengembalikan tugas utama bahasa dan sastra itu sendiri terhadap kebudayaan dan dengan demikian terhadap umat manusia yang menggunakannya. Selanjutnya dapat dilihat manfaat bahasa dan sastra terkandung dalam antar hubungannya, yaitu stilistika dan wacana. Bila dilihat dari aspek estetika maka sastralah yang paling relevan. Adalah benar bahwa stilistika merupakan gaya yang digunakan dengan menggunakan kata-kata seperti ekuavalensi, permainan bunyi sajak, majas, akan tetapi tujuan akhir adalah pada aspek keindahan dan juga dukungan pesan yang terkandung di dalamnya.Dengan kata lain bahwa keindahanlah yang memberi kualitas terhadap usaha pengarang sehingga hasil karya sastra berfungsi sebagai salah satu sarana dalam memajukan kebudayaan. Selanjutnya aspek keindahan juga, dalam kerangka puitika sastra yang digunakan untuk mengevokasi nilai-nilai kemanusiaan, bukan bahasa. Sementara berbahasa yang lebih banyak ditonjolkan adalah ciri-ciri bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah yang berlaku, sesuai dengan ragam bahasa tertentu, aturan atau tata bahasanya. Sementara dalam karya sastra aturan dalam sastra ditempatkan pada urutan kedua, karena sastra sangat menjunjung tinggi arti sebuah keindahan. Itulah sebabnya penyair dibebaskan menggunakan bahasa tidak sesuai tata bahasa. Perbedaan ini jelas karena bahasa didominasi oleh kualitas intelektual, sementara sastra oleh kualitas emosional. Dengan demikian stilistika ada pada emosi itu sendiri.Tanpa emosi seorang pengarang tidak bisa menciptakan persamaan bunyi seperti ‘binatang jalang’, ‘gadis manis’ dan lain sebagainya. (Ratna, 2009:155). Sejalan dengan penjelasan di atas, peneliti lebih memilih teori stilistika sastra dalam mengkaji sumber data peneliti, karena peneliti mengkaji sepuluh lirik lagu, lagu Batak Toba, yang menganalisis berdasarkan ciri, cara dan gaya, yang dalam konteks gaya bahasa. 2.2.3 Stilistika Sastra Menurut Shipley (dalam Ratna,2009), stilistika adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berakar dar akar kata stilus (Latin), semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Bagi mereka yang bisa menulis secara baik disebut sebagai praktisi gaya yang sukses (stilus exercitotus), sebaliknya bagi mereka yang yang tidak bisa menulis dengan baik maka mereka disebut sebagai praktisi gaya yang kasar atau gagal (stilus rudis). Makna kata stilus berarti gaya yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas. Stilus itu sendiri berasal dari akar kata ‘sti‘ yang berarti mencakar dan menusuk. Dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah stylos berarti pilar atau rukun yang dikaitkan dengan tempat bersemadi atau bersaksi. Selanjutnya dalam bidang bahasa dan sastra style dan stylistic berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu, yaitu keindahan. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Gaya Bahasa menurut Enkvist (dalam Endraswara, 2003:72), mempunyai enam pengertian yaitu: (i). Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah adasebelumnya, (ii). Pilihan diantara beragam pernyataan yang mungkin, (iii). Sekumpulan ciri kolektif, (iv). Penyimpangan norma atau kaidah, (v). Sekumpulan ciri pribadidan, (vi). Hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat. Yang penting harus dipahami, gaya bahasa adalah sebuah style as a choice, style as meaning dan style as tension between meaning and form. Menurut Darbyshire (dalam Ratna, 2009:13), ada dua cara untuk mengidentifikasi gaya bahasa, yaitu: a) Secara teoritis, dilakukan dengan sengaja menemukan ciri-ciri pemakaian bahasa yang khas pada umumnya yang dilakukan pada penelitian ilmiah, misalnya, pada saat menganalisis sebuah karya sastra, b) Secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap pemakaian bahasa seharihari, misalnya melalui pemakaian berbagai perumpamaan. Dikaitkan dengan relevansinya kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan sengaja, bahkan sebagai bahasa yang artificial, maka stilistika pada umumnya dibatasi pada karya sastra, khususnya dalam karya puisi. Jadi dari uraian-uraian di atas objek utama stilistika adalah genre sastra, khususnya puisi (dalam konteks ini lirik lagu) karena puisilah yang paling dominan menggunakan bahasa yang khas, medium bahasa yang terbatas akan tetapi harus mampu menyampaikan pesan. 2.3 Ranah Penelitian Stilistika Menurut Ratna (2009:18), ranah dari penelitian stilistika sangatlah luas, apalagi bila dihubungkan kepada semua pengertian gaya bahasa, seperti: bahasa itu sendiri, karya sastra, karya seni, bahasa sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan. Ranah ini harus dibatasi, misal dengan membagi dalam dua macam, seperti: a) Ranah dengan kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri, b) Ranah dengan kaitannya dengan objek yang mungkin menjadi aktivitas penelitian. Pada umumnya yang paling sering dilakukan berkaitan dengan gaya bahasa karya sastra tertentu dari pengarang tertentu. Hal ini disebabkan oleh keinginan untuk menciptakan bahasa yang khas, baik itu dalam prosa, drama, puisi (dalam konteks ini lirik lagu). Dari ketiga genre tersebut, puisi lah (lirik lagu) yang paling banyak digunakan menjadi objek penelitian stilistika, karena ciri khas puisi adalah kepadatan pemakaian bahasa sehingga paling besar kemungkinanya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika. Jadi dari penjelasan di atas jelaslah bahwa ranah penelitian stilistika lebih dominan berada di ranah sastra. Menurut Purba (2005:65), ada beberapa pembahasan yang terlibat dalam stilistika, salah satu adalah komponen stilistika. Dalam komponen stilistika dapat ditemukan beberapa aspek, yaitu: bunyi, irama, kata, kosa kata, pemilihan kata (diksi), denotasi, konotasi dan bahasa kiasan. 2.3.1 Bunyi Dalam puisi dan lagu bunyi bersifat estetik yang menjadi unsur untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspressif, misalnya melodi, irama dan lainlain. Yang menjadi tugas bunyi dalam puisi dan lagu adalah untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa dan menimbulkan bayangan angan yang jelas dan menimbulkan suasana yang khusus. 2.3.2 Irama Hal yang mempunyai keterkaitan dengan bunyi adalah irama. Misalnya bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, variasi-variasi bunyi yang menimbulkan suatu gerak yang hidup,misalnya suara gemericik air yang mengalir tak putus putusnya mempunyai gerak yang teratur dan itulah yang disebut dengan irama. Singkatnya bahwa irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama itu tidak hanya pada karya sastra puisi saja, tetapi terjadi juga pada seni rupa, lukis, terlebih dalam seni musik atau nyanyian. 2.3.3 Kata Sebagaimana diketahui bahwa satuan arti yang menentukan struktural formal linguistik karya sastra adalah “kata”. Dalil seni sastra J. Elena menyatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, apabila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan kedalam kata. Untuk mencapai ini pengarang mempergunakan berbagai cara untuk memberikan makna kata yang indah dan yang menjadi alat yang terpenting adalah kata. 2.3.4 Kosa Kata Kosa Kata adalah alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan dalam karya sastra. Baik tidaknya tergantung bagaimana seorang sastrawan memilih kata kata. 2.3.5 Pemilihan Kata (Diksi) Dalam mencurahkan perasaan dan pikirannya seorang sastrawan haruslah mampu untuk memilih kata yang tepat. Barfield mengemukakan ”bila kata-kata yang dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan imaginasi estetik dan itu disebut diksi puitis”. Jadi diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan untuk mendapatkan nilai estetik dalam sebuah karya sastra. 2.3.6 Denotasi dan Konotasi Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, yang mengandung makna yang menunjuk; konotasi yaitu arti tambahannya. Jadi bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk. Jadi dalam membaca sajak atau puisi, selain harus dimengerti arti denotatifnya, juga harus diperhatikan arti konotasinya. 2.3.7 Bahasa Kiasan Untuk kepuitisan yang lain,yaitu adanya bahasa kiasan (figurative language) yang memberi makna untuk menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, terutama memberikan kejelasan gambaran angan. Ada beberapa jenis bahasa kiasan yang dapat dilihat, seperti: a. Persamaan (simile); b. Metafora; c. Perumpamaan epos; d. Personifikasi; e. Metonimi; f. Sinekdoki; g. Allegori. Menurut Keraf (2002:138), “Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Dengan kata lain bahwa dengan perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain dengan menyampaikan kata-kata seperti: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana dan sebagainya”. Masih menurut Keraf (2002:139) “Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat, seperti: bunga bangsa,buaya darat, buah hati, cendera mata dan lain sebagainya”. Sementara perumpamaan epos adalah perumpamaan atau gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu sendiri. Misalnya: Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan dan lain sebagainya. Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat- sifat kemanusiaan, seperti: bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Sementara metonimi adalah satu kata yang berasal dari bahasa Yunani, meta yaitu berarti menunjukkan perubahan dan onoma yaitu berarti nama. Dengan demikian metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, misalnya: penemu dengan hasil yang ditemukan, akibat untuk sebab, isi untuk menyatakan kulitnya dan sebagainya. Hampir sama dengan metonimia, sinekdoke adalah satu gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sebagian untuk keseluruhan, atau mempergunakan keseluruhan unuk sebahagian. Misalnya: Setiap kepala dikenakan Rp. 1000. Allegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan dan makna kiasannya harus ditarik daribawah permukaan ceritanya. Sementara nama-nama pelakunya adalah sifat- sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. 2.4 Kesetaraan Gender Menurut Buttler and West and Zimmerman (dalam Eckert 2003), Gender is not something we are born and not something we have, but something we do/ something we perform. Masih menurut Eckert,Gender is a social arrangement and every individuals’s gender is built into the social order. For this reason, we turn to it in preparation for investigating the role of language in maintenance and change of the gender order. Menurut Hillary M. Lips, gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Menurut Hall (dalam Hubeis, 2006:102), The term gender theory is something of a misnomer or, at best, a eupheminism. In reality, gender theory could more accurately be termed sexuality theory, because it explores the variety of ways that gender, our assignment to social roles in ways related to our biological sex, is connected intimately and variously to our experience of exuality, and how that experience bears on our own and other’s identity. While gender theory is deeply indebted to feminist theory. In short, gender theory eamine critically the identity politics of sexuality. 2.5 Definisi Lirik Seperti dinyatakan pada bab sebelumnya bahwa lirik lagu mempunyai unsur yang sama dengan puisi, maka lirik lagu termasuk dalam genre sastra yaitu puisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:678), lirik “Karya sastra (puisi) yang berisi curahan hati; susunan kata sebuah nyanyian atau lagu”. Kutipan diatas dapat dipahami bahwa lirik adalah satu karya sastra yang bisa juga disebut dengan puisi, yang merupakan curahan hati si pengarang yang dibentuk dalam susunan lagu. Menurut Fauzi (2006:3), “Lirik lagu memiliki kekhususan dan ciri tersendiri dibandingkan dengan sajak, karena penuangan ide lewat lirik lagu diperkuat dengan melodi dan jenis irama yang disesuaikan dengan lirik lagu”. Menurut EncyclopediaBritanica Dictionary: Lyric is a short poem in which the subjective element predominates. By lyric is meant both pure poetry and the words of songs, the latter being close to the original meaning of the word, which in ancient Greece designated poetry song to the accompaniment of the lyric.Compared to the greater scope that the epic and dramatic forms afford to the lofty ambitions of the poet, the lyric from the time of aint qualiity was considered a minor verse form(s.v.lyric) 2.6 Landasan Teori Sebagaimana dinyatakan dalam ilmu humaniora bahwa sastra merupakan bagian dari kebudayaan yang penting. Untuk memahami suatu karya sastra seyogianyalah seorang peneliti atau penulis dapat memberikan manfaat sehingga pembaca dapat memahami nilai nilai kemanusiaan, kebudayaan bahkan idiologi yang dianut si pengarang. Disinilah penting adanya sebuah teori sebagai alat untuk menganalisis atau menginterpretasi sebuah karya sastra sehingga isi karya sastra itu dapat dipahami dengan baik. Untuk itu dalam penelitian ini sangatlah dibutuhkan landasan teori yang dapat mengupas tuntas permasalahan yang dikaji. Landasan teori dipakai sebagai kerangka dasar dalam penelitian. Dalampenelitian ini teori yang digunakan untuk membedah beberapa lirik lagu Batak Toba adalah teori stilistika, kesetaraan gender yang berhubungan dengan peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan, yang dalam hal ini perempuan Batak Toba, serta kesetaraan gender yang dikaitkan dengan ideology masyarakat Batak Toba hamoraon, hasangapon, hagabeon. 2.6.1 Stilistika Salah satu teori yang diaplikasikan untuk mengkaji sumber data yang terdapat di dalam data peneliti adalah dengan menggunakan teori stilistika. Secara etimologi stilistika adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil(style) secara umum sebagaimana dibicarakan secara lebih luas adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat disampaikan secara maksimal. Istilah yang disebut diatas mempunyai keterkaitan dengan majas. Majas berasal dari kata trope (Yunani),Figure of speech(Inggris), berarti persamaan atau kiasan.(Ratna, 2010:3). Majas atau figuratif bahasa adalah pilihan kata tertentu yang digunakan oleh penulis atau pembicara untuk memperoleh nilai keindahan. Pada umumnya majas dibedakan menjadi empat bagian, seperti: a) Majas Penegasan, b) Majas Perbandingan, c) Majas Pertentangan, d) Majas Sindiran. Secara tradisional bentuk-bentuk seperti inilah disebut dengan gaya bahasa. Majas dengan demikian merupakan penunjang, unsur-unsur yang berfungsi untuk melengkapi gaya bahasa. Gaya bahasa meliputi cara-cara penyusunan struktur intrinsik secara keseluruhan, seperti plot, tokoh, kejadian, dan sudut pandang. Tambahan lagi melalui gaya bahasa penggunaan majas sering dilakukan, seperti repetisi, hiperbola, personifikasi dan sebagainya. Di dalam karya sastra, dalam konteks ini lirik lagu Batak Toba, gaya bahasa sangat berperan aktif yang diaplikasikan melalui cara-cara penggunaan bahasa secara khas sehingga tujuan dapat dicapai, yaitu aspek etis, estetis dan pragmatis. Secara definitif stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Akan tetapi pada dasarnya sebagai ilmu, stilistika belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti: 1. Belum jelasnya objek yang didefinisikan, gaya disamakan dengan majas sehingga objeknya sangat sempit 2. Gaya bahasa dianggap sebagai semata-mata permainan kata, bukan keindahan secara keseluruhan. 3. Belum begitu jelas dimana tempatnya berpijak, dalam bahasa atau sastra. Namun demikian haruslah ada pemecahannya, seperti: masalah pertama dipecahkan dengan membedakan definisi gaya bahasa dengan majas, dimana majas bersifat membantu gaya bahasa. Selanjutnya masalah kedua, gaya bahasa digunakan untuk menunjukkan penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan karya sastra secara keseluruhan. Yang ketiga, menjelaskan bahwa stilistika berasal dari pemahaman tentang bahasa tetapi menemukan maknanya melalui satra. Jadi stilistika merupakan penghubung antara bahasa dengan sastra, akan tetapi tujuan akhirnya adalah sastra. (Ratna 2009:168). Dari beberapa penjelasan disebut di atas dapat dikatakan bahwa parameter stilistika mempunyai kandungan dominan yaitu style atau gaya, dalam hal ini gaya bahasa. Ketika seorang pengarang menciptakan karya sastra tentunya tidak terlepas dari gaya bahasa yang mempunyai ciri, cara dan majas atau figuratif bahasa. Pengarang lagu Batak Toba juga mempunyai gaya tersendiri dalam sepuluh lirik lagu Batak Toba yang menjadi objek penelitian peneliti, yaitu dengan adanya ciri dan cara penggunaan metafora bahasa, simbol, maupun figuratif bahasa. Tambahan lagi bahwa ada ciri tersendiri yaitu dengan penggunaan pengulangan kata atau repetisi, adanya pilihan kata atau diksi dan kalau lagunya didengarkan ada ciri nada ratapan atau andung-andung, yang menjadikan lagu-lagu Batak Toba berbeda dengan lagu lainnya, bahkan dari lagu Batak Karo, Simalungun dan lain sebagainya. Dengan kata lain bahwa ketika lagu Batak Toba diperdengarkan, pendengarnya langsung mengenal kalau lagu tersebut berasal dari daerah atau komunitas Batak Toba, karena ada ciri, cara dan majas tertentu yang terkandung dalam lagu tersebut. 2.6.2 Teori Kesetaraan Gender Menurut Hall (dalam Hubeis, 2006:102) The term ‘gender theory’ is something of a misnomer or, at best, a euphemism. In reality, gender theory could more accurately be termed’sexuality theory’, because it explores the variety of ways that ‘gender’, our assignment to social roles in ways related to our biological sex, is connected intimately and variously to our experience of sexuality, and how that experience bears on our own and others’identity. While gender theory is deeply indebted to feminist theory. In short, gender theory examines critically the identity politics of sexuality. Pada dasarnya konsep gender adalah satu pemaknaan pembagian jenis kelamin yang sudah ada pada perempuan dan laki-laki yang diakui secara sosial dan kultural.Oleh karena itu kesetaraan gender berarti perempuan dan laki-laki menikmati status dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak dan kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik, ekonomi, social dan budaya. (Hubeis, 2010:489). Selanjutnya menurut West, Zimmerman, Buttler (dalam Eckert 2003), Gender is not something we are born with and not something we have but something we do/ something we perform. Jadi dari beberapa definisi tentang gender maka dapat ditarik benang merah gender yaitu sebagai satu bentuk konstruksi sosial yang mengandung nilai, ideologi, ambisi dan kepentingan dari golongan tertentu. Gender yang dimaksud dalam hal ini bertujuan untuk melihat bahwa perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang sebelumnya dianggap sebagai mahluk yang hanya cocok untuk melahirkan, mengasuh atau merawat anak. Akan tetapi saat ini pandangan yang seperti itu sudah berubah, bahwa yang harus digaris bawahi antara laki-laki dan perempuan seyogianya dilihat berdasarkan peran yang dilakukan oleh setiap orang dalam masyarakat. Polarisasi laki-laki dan perempuan sudah ada sejak zaman dahulu, maupun melalui Sabda Allah melalui Adam dan Hawa di Taman Eden. Akan tetapi proses penciptaan keduanya adalah untuk tujuan saling melengkapi, bukan untuk menindas dan membatasi kaum perempuan. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwasanya perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (menurut Alkitab buku suci ajaran agama Kristen Protestan yang dianut oleh peneliti, Kejadian 2:22). Seperti diketahui sejak berabad abad yang lalu perempuan selalu diperlakukan dibawah dominasi laki-laki, perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai mahluk kelas dua. Dalam masyarakat patriarkal misalnya, dalam hal ini masyarakat Batak Toba, kehadiran seorang anak laki-laki langsung menjadi satu kebanggaan dan harapan di tengah-tengah keluarga; anak laki-laki selalu menjadi satu satunya harapan dalam melanjutkan keturunan; pasangan suami istri yang tidak punya keturunan atau semata mata melahirkan anak perempuan secara apriori dikatakan sebagai akibat kaum perempuan. (Ratna2004:183). Pada aspek lain, banyak istilah- istilah kedudukan ataupun karakter yang juga sudah dipolakan keberpihakan pada laki-laki, misalnya: gentleman, chairman, superman(English); amang raja nami (Batak). Semua ini mau tidak mau sudah mengkondisikan superioritas laki-laki. Sebelum mendiskusikan tentang kesetaraan gender, perlu diketahui bahwa awal lahirnya satu teori kesetaraan gender merupakan bias dari feminisme. Secara etimologi feminis berasal dari kata femme yang artinya memiliki sifat perempuan. Feminisme lahir diakibatkan oleh ketimpangan posisi atau perbedaan perlakuan di tengah-tengah masyarakat yang kemudian menimbulkan usaha mengkaji penyebab ketimpangan tersebut sebagai upaya mengeliminasi dan menemukan formula memersamakan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being). Upaya dan usaha perempuan untuk membebaskan diri dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam berbagai aspek kehidupan disebut sebagai gerakan feminis, yang kemudian melahirkan berbagai istilah di kalangan akademisi seperti: mainstream feminist, soft feminist, socialist feminist, liberal feminist, dan woman’s lib yang akhirnya menimbulkan bias terhadap makna feminism sebagai suatu gerakan. Pada abad 19, gerakan feminis tersebut mulai diwarnai oleh berbagai studi tentang wanita yang sekarang dikenal dengan studi wanita berspektif gender atau studi gender. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penempatan kaum perempuan di bawah dominasi laki-laki, atau pemarginalisasian kaum perempuan, seperti: 1. Adat Istiadat. Menurut Wilken (dalam Sariaty Pardede (2003:37). Bahwa sistem tradisi perkawinan adat Batak pada umumnya, khususnya perkawinan adat Batak Toba, menganut satu sistem pemberian mahar, jujur, yaitu pihak laki-laki memberi sejumlah materi kepada pihak perempuan yang menandakan bahwa anak perempuan pihak perempuan akan beralih dan pindah kedalam lingkungan keluarga pihak laki-laki dan dengan sendirinya marga yang selama ini disandangnya juga lebih menonjolkan marga suaminya. Dalam proses penyerahan mahar atau jujur tersebut peneliti melihat dan mengalami sendiri bagaimana seorang penganten perempuan yang bakal menjadi ibu yang melahirkan keturunan pihak penganten laki-laki seperti diperjual belikan, ditawar, sampai tercapai pada harga yang sudah disepakati. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan berikut ini: “Jujur atau mahar adalah merupakan knoophuwelijk, yang mana si perempuan dibeli sebagai suatu benda. Oleh sebab itu kedudukan perempuan seperti adalah rendah sekali, yang seolah-olah dapat dianggap sebagai budak dari suaminya sehingga dengan demikian apa yang diperoleh si perempuan selama perkawinan bukan menjadi miliknya. Selanjutnya setelah menikah dan mempunyai anak, hak dan kewenangan perempuan juga tetap termarginalkan. Peneliti berpikir ini merupakan satu bentuk pemarginalisasian perempuan dengan kedok adat istiadat. Hal ini dapat dikuatkan melalui kutipan berikut ini: ”Mula-mula saya melihat betapa besarnya beban dan tanggung jawab seorang ibu, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh anaknya hingga besar, ditambah lagi beban yang lain, seperti memasak dan mengurus rumah tangga bahkan hingga membantu suami (bahkan acapkali sebagai pencari nafkah keluarga). Akan tetapi, beban dan tanggung jawab yang merupakan kewajiban tersebut tidak diimbangi dengan hak-hak dan kewenangan yang harus diterima, karena hak-hak dan kewenangan tetap berada pada lakilaki dari mulai hak dan kewenangan rumah tangga (keluarga), lingkungan dan masyarakat”, Sariaty Pardede (2003:1). Peneliti pernah mendengar beberapa kali laki-laki mengatakan kalau perempuan tidak berhak mengemukakan pendapatnya, apalagi sampai memutuskan satu ketentuan karena perempuan adalah mahluk hidup yang sudah dibeli. Ini diucapkan oleh laki-laki yang sudah hidup di era globalisasi yang bahkan telah mengenal agama dengan baik. Peneliti berpikir hal ini bisa terjadi adalah akibat dari hegemoni yang sudah tertanam dalam diri laki-laki tersebut yang diperolehnya dari orang-orang disekelilingnya yang masih berpikiran sempit. 2. Faktor Agama. Pada umumnya dalam keluarga Batak acap kali dididikkan kepada setiap anak, khususnya anak perempuan, untuk selalu hormat kepada bapak, atau kepada saudara laki-laki yang ketika kelak anak perempuan menikah maka bapak dan saudara laki-laki ini yang menjadi orang yang paling dihormati di dunia ini ‘hula-hula‘. Demikian juga terhadap suami, harus selalu patuh dan hormat, karena seorang istri harus selalu menjaga kewibawaan seorang suami, mengurus kebutuhan suami, memenuhi kebutuhan biologis suami kapan saja suami menginginkannya dan lain sebagainya. Peneliti punya pengalaman di masa kecil bahwa makanan bapak harus selalu bagian atas, dan tidak boleh disendok nasi ke piring sendiri sebelum ke piring bapak terlebih dahulu, dalam kondisi darurat ekonomi sang ayah/ bapak harus mendapat lauk pauk yang lengkap pada waktu makan, padahal sebenarnya yang sangat membutuhkan asupan gizi adalah anak-anak. Akan tetapi karena seorang istri (ibu) harus menghormati dan menomorsatukan suaminya maka sang istri lebih mengorbankan anakanaknya. Semua itu adalah akibat dokrin agama yang dianut oleh kebanyakan komunitas masyarakat Batak, yang secara tidak sadar sudah memarginalkan kaum perempuan dengan selalu menomor duakan perempuan. Pada umumnya si bapak atau anak laki-laki sendiri tidak meminta diperlakukan istimewa seperti itu, akan tetapi tidak juga menolak. Hanya bila ibu mertua mengetahui menantunya tidak memberi atau melengkapi kebutuhan anaknya sang ibu mertua akan memarahi sang menantu yang tidak menghormati suami. Jadi apapun alasannya seorang istri harus menomorsatukan suami dan harus patuh dalam segala situasi dan kondisi. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut ini: “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu”, (Efesus 5:22-24). 3. Hegemoni. Menurut Gramsci (1971), hegemony as a cultural and ideological means whereby the dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the rulling class, maintain their dominance by securing the spontaneous consent of subordinate groups, including the working class. This is achieved by the negotiated construction of a political and ideological consensus which incoeporates both dominant and dominated groups. Pada dasarnya Hegemoni berasal dari akar kata hegeisthai, Yunani, yang berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Jadi secara leksikografis hegemoni berarti kepemimpinan, Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari hegemoni sering dikaitkan dengan dominasi. Dalam hegemoni terkandung ideologi, tetapi belum tentu sebaliknya. Sejak seorang anak lahir ke dunia ini, laki-laki dan perempuan, sudah di polakan perbedaannya, misalnya saja dengan, a. Warna pakaian. Kalau anak laki-laki yang lahir maka warna pakaiannya warna biru; bila anak perempuan yang lahir maka warna pakaiannya warna pink. Kemudian, b. Dengan jenis permainannya. Anak laki-laki akan diberikan alat permainan mobil-mobilan, pistol-pistolan, atau yang mengarah pada permainan keras, sementara perempuan akan diarahkan ke permainan masak-masakan, boneka-bonekaan,atau yang mengarah pada sifat sifat kelembutan. Seorang ibu/ ayah akan melarang anaknya laki-laki bila kedapatan main masakan atau boneka; sebaliknya seorang anak perempuan akan dilarang bila main mobilan atau panjat memanjat. Sadar tidak sadar faktor-faktor yang sudah disebut sebelumnya telah mempolakan karakter dan peran seorang anak hingga mereka dewasa, bahkan sampai berkeluarga. Dengan kata lain bahwa gender dalam hal ini tidak didasari oleh perbedaan jenis kelamin, melainkan didasari atas sesuatu yang dilakukan oleh lakilaki dan perempuan atau berdasarkan peran yang dilakukan oleh masing masing. Dari beberapa penjelasan konsep disebut di atas, peneliti memilih salah satu konsep yang sekaligus menjadi parameter dalam kajian ini, yaitu gender role atau peran gender yang diaplikasikan melalui peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan umumnya, perempuan Batak Toba khususnya. Dalam masyarakat Batak secara umum dan masyarakat Batak Toba khususnya yang menganut paham patriarki, keterpolaan yang diakibatkan hegemoni, budaya dan agama sangat kental. Misalnya untuk memanggil seorang laki-laki dengan sebutan amang raja nami,‘Tuan raja kami’. Demikian juga bila dalam satu keluarga yang lahir anak perempuan, maka yang paling disalahkan adalah istri yang katanya tidak bisa melahirkan anak lakilaki dan bila sampai beberapa kali melahirkan tetap yang lahir perempuan, maka besar kemungkinan si suami akan disuruh orang tua atau keluarganya menikah lagi untuk mendapatkan anak laki-laki dengan alasan agar ada yang meneruskan keturunan karena anak laki-laki menjadi penerus marga. Fenomena seperti ini yang terlalu mengagungkan keberadaan anak lakilaki di dalam keluarga menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap laki-laki itu sendiri misal si anak akan manja dan selalu ingin dilayani, malas, kurang kreatif dan sedikit daya juangnya sampai ketika dia sudah berkeluarga selalu harus dilayani. Sebaliknya perempuan dalam hal ini seorang ibu di dalam keluarga akan lebih bergiat dan berjuang walau acap kali tidak mendapat uang belanja dari suaminya. Dia berpikir daripada bercerai, daripada ribut, daripada malu dan banyak lagi daripada yang membuat khawatir dalam dirinya sehingga dia melakukan peran multi dalam lingkup domestik maupun publik. Terlebih lagi sudah ada hegemoni baik melalui agama , adat istiadat maupun keluarga bahwa seorang istri harus patuh pada suami tanpa kecuali. Dalam hubungan inilah teori kesetaraan gender mencoba memberi jalan tengah untuk mencari keseimbangan agar kedua pihak memperoleh makna yang sesuai dengan kondisinya dalam masyarakat. Kaum perempuan tidak menuntut persamaan biologis karena perbedaan itu merupakan perbedaan hakikat. Tetapi yang dituntut oleh kaum perempuan adalah kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan. Seperti halnya latar belakang lahirnya feminisme yaitu sebagai gerakan politik, social dan ekonomi, analisis perspektif gender adalah untuk membedakan segala sesuatu yang normatif dan biologis dan segala sesuatu yang merupakan produk sosio-budaya dalam bentuk proses kesepakatan normatif dan fleksibilitas sosial yang dapat ditransformasikan. Dengan demikian analisis gender adalah satu kajian sistematik tentang peranan, hubungan dan proses yang difokuskan pada ketidaksetaraan dalam kekuasaan, kekayaan dan beban kerja antara perempuan dan laki-laki dalam tatanan masyarakat. Jadi gender yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu konsep yang menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungannya antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis akan tetapi oleh lingkungan sosial, politik dan ekonomi. (Hubeis, 2010:202). Salah satu konsep gender yang digunakan peneliti dalam kajian ini adalah Gender Role. Gender role, yaitu peran perempuan atau peran laki-laki yang diaplikasikan dalam bentuk yang nyata menurut kultur setempat yang dianut dan diterima. Dengan demikian, peran gender yang cocok untuk tiap gender akan berbeda dari masyarakat ke masyarakat lain. Hubeis (2010:203). Secara etimologis kesetaraan gender ini bertujuan untuk memperjuangkan persamaan hak antara kaum laki-laki dengan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya persamaan hak dalam hal ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan sebagainya. Pengalaman dari beberapa individu seperti Teew, Julia Kristeva, Terry Eagleton, Lacan, Shelden dan sebagainya mencetuskan tentang kesetaraan gender melalui gerakan feminism. Dari beberapa penjelasan konsep yang berhubungan dengan kesetaraan gender disebut di atas peneliti memilih salah satu konsep yang sekaligus menjadi parameter dalam kajian ini, yaitu gender role yang diaplikasikan melalui peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba yang tergambar melalui sepuluh lirik lagu Batak Toba. 2.6.3 Ideologi Sebelum mengkaji lebih jauh tentang ideologi, penting ada satu pemahaman dasar tentang sumber dari perkataan ideologi. Secara etimologi kata ideologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu idea yang berarti cita-cita atau gagasan, dan logos yang artinya ilmu. Ini berarti bahwa ideologi berhubungan dengan sudut pandang, wawasan atau cara berpikir seseorang atau golongan tertentu. Ada beberapa pendapat atau pemahaman mengenai ideologi, beberapa diantaranya adalah: Ratna(2009:370), bahwa ideologi dapat dipahami sebagai satu ilmu yang berhubungan dengan gagasan, cita-cita yang merupakan satu sistem kepercayaan yang telah ditentukan secara sosial. Berbicara tentang ideologi seyogianyalah akan berhubungan dengan cara pandang atau wawasan dari seseorang atau kalangan tertentu di tengah-tengah komunitas masyarakat tertentu. Pendapat lain mengatakan bahwa ideologi adalah sebagai sistem nilai atau sistem kepercayaan yang diterima secara nyata atau kebenarannya oleh suatu kelompok. Sargen (dalam Suryadi, 2007:370). Begitu juga dengan Santoso (2003:39,40), bahwa ideologi dianggap sebagai satu nilai-nilai ataupun norma-norma kultural yang berhubungan dengan pengalaman serta kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang dalam melihat fenomena sosial di dalam masyarakat. Untuk melihat berbagai fenomena sosial tersebut ideologi dapat menumbuhkan bermacam pikiran mengenai kekuasaan dan dominasi. Ketika suatu kekuasaan ditentang maka akan menimbulkan satu fenomena yang dapat berkembang dalam satu masyarakat. Menurut Simanjuntak(2009:274), ideologi ialah pola pikir dalam memandang dan menginterpretasikan kenyataan yang dihadapi. Ideologi berbentuk pemikiran berupa paham, pandangan hidup, cita cita dan nilai nilai serta kepercayaan yang dipergunakan untuk membenarkan aktifitas dalam rangka mencapai tujuan. Pola pikir untuk menerjemahkan kenyataan dalam masyarakat berbeda beda diantara suku bangsa maupun bangsa. Kebudayaan sebagai salah satu wadah lahir dan berkembangnya ideologi berupa kebiasaan maupun adat yang menjadi tolok ukur keserasian sikap dan tingkah laku setiap warga dalam masyarakat sesuai dengan norma-norma yang disetujui bersama. Menurut Ratna (2009:448), secara garis besar ideologi merupakan seperangkat alat kepercayaan, prinsip tertentu yang mengatur suatu masyarakat didalamnya, dan juga mengaitkan ideologi dengan bahasa yaitu sebagai representasi atau gambaran masyarakat tertentu. Ideologi bukan hanya sekedar konsep tetapi sering sekali sudah menjadi simbol, seperti mitos, gaya hidup, selera, mode, media massa serta keseluruhan cara cara hidup dalam masyarakat. Menurut Tyson (1999:52), “An ideology is a belief system,that is, a product of cultural conditioning. For example, capitalism, communism, marxism, patriotism, religion, ethical systems, humanism, environmentalism, astrology and karate”. Dari berbagai macam pendapat mengenai ideologi tersebut peneliti memandang ada satu kesinambungan atau keterkaitan antara ideologi dengan karya sastra, yang dalam hal ini karya sastra berbentuk lirik. Lirik lagu di dalam hal ini adalah barisan kalimat yang mempunyai kesamaaan unsur dengan puisi. Acap kali orang berpikir kalau karya sastra adalah hasil dari khayalan belaka. Menurut peneliti karya sastra, yang dalam hal ini adalah lagu, merupakan penggambaran nyata dari kehidupan manusia yang dituangkan ke dalam kata-kata yang kata-kata tersebut mengandung makna. Melalui lirik lagu tersebut tergambar satu keinginan atau kerinduan bahkan tujuan hidup di dalam diri seseorang atau kalangan tertentu. Ada satu ideologi yang marak dibicarakan dan di perjuangkan saat ini, yaitu ideologi yang berhubungan dengan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, dengan kata lain kesetaraan gender yang dimaksud adalah satu tuntutan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan, ekonomi, pendidikan, sosial. Kesetaraan gender ini merupakan bias dari feminisme yaitu satu gerakan yang memperjuangkan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain feminisme adalah satu gerakan kaum perempuan yang menolak segala sesuatu yang dimarginalkan, disubordinasikandan dikendalikan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. (Ratna, 2004:184). Dalam masyarakat Batak, khususnya Batak Toba ada budaya ataupun kebiasaan maupun cita-cita yang ingin dicapai atau diraih dalam kehidupan, yaitu satu ideologi. Ideologi yang ingin diraih tersebut yaitu, kekayaan Hamoraon, kewibawaan, karisma, kemuliaan Hasangapon, keturunan Hagabeon. Kekayaan Hamoraon, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya Batak Toba, untuk mencari harta benda yang banyak. Kemuliaan,kewibawaan, kharisma Hasangapon, suatu nilai utama yang memberi dorongan yang kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih bagi komunitas Batak Toba untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan Keturunan Hagabeon dan panjang umur adalah satu ungkapan tradisi Batak Toba yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan yaitu satu ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra dan putri yang banyak, misalnya dengan mengucapkan pantun umpasa, seperti: ”Tubuhan anak tubuhan boru, maranak sapuluh onom marboru sapuluh pitu” yang berarti bahwa sang pengantin diharapkan mempunyai keturunan yang banyak yaitu anak laki-laki enam belas dan putri tujuh belas. Sumber daya manusia bagi orang Batak Toba sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar dan budaya bersaing pada zaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan terwujud dalam perang kampung huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan bertumpu pada jumlah personil yang besar. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut seperti daun gugur setelah tua Saur Matua Bulung. Dari sini dapat dilihat betapa besar pertambahan jumlah putra putri yang kalau dijumlahkan sebanyak tiga puluh tiga orang, yang semua diharapkan berusia panjang. (willmen46 blogs). 2.6.4 Framing Analisis Semiotika Sosial Menurut Eriyanto (2005:3), Analisis framing adalah satu analisis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media. Dengan kata lain bahwa analisis framing merupakan satu cara lain untuk membuka satu tabir dibalik sebuah hal yang masih belum jelas. Ini berarti bahwa satu realitas dimaknai, diartikan dan dibangun dengan bentuk dan arti tertentu. Dengan analisis framing akan dimungkinkan untuk mengetahui satu kebenaran sebuah realitas dengan menggunakan seni kreativitas kebebasan untuk menginterpretasi dengan menggunakan sebuah teori atau metode. Masih menurut Eriyanto bahwa Analisis framing adalah satu versi pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media (dalam penelitian ini teks lagu). Gagasan tentang frame pertama sekali disampaikan oleh Beterson 1995, bakwa frame dimaknai sebagai satu bentuk konseptual atau satu perangkat kepercayaan yang mengorganisir sebuah pandangan politik, kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep Analisis framing Konsep tentang frame atau frame itu sendiri bukan murni konsep komunikasi semata, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam kenyataannya analisis framing juga membuka peluang juga untuk mengimplementasikan konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural sehingga suatu fenomena dapat terungkap dan diapresiasi dengan jalan menganalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, maupun kultural. Semiotika Sosial Menurut Ramlan (dalam M. A. Halliday-Ruqaiya Hasan), semiotik mulanya berasal dari konsep tanda, yang mempunyai hubungan dengan istilah semainon (penanda) dan semainomenon (petanda), berasal dari bahasa Yunani kuno, oleh para pakar filsafat Soik. Orang orang stoik adalah orang pertama yang menggunakan dan mengembangkan teori tentang tanda. Oleh karena itu semiotik dapat diberi batasan sebagai satu kajian umum tentang tanda, yang selanjutnya diubah menjasi sistem tanda atau bisa juga dikatakan sebagai satu kajian tentang makna dalam arti yang luas. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam budaya manapun, masih banyak kajian tentang makna termasuk cara-cara bentuk seni lainnya seperti ukiran, lukisan bunyi-bunyian, maupun bentuk tingkah laku budaya lainnya yang semuanya saling berhubungan. Jadi semiotik adalah satu sudut pandang yang digunakan untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Ini berarti bahwa kajian semiotik tidak hanya terbatas pada kajian bahasa, akan tetapi bisa berdasarkan kajian ektrinsik bahasa, misalnya sastra atau budaya. Walaupun sudah barang tentu kajian sastra dan budaya pada umumnya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bila dikaitkan dengan penelitian ini dapat dilihat bagaimana sistem tanda yang berhubungan dengan budaya Batak Toba tergambar melalui sepuluh lirik lagu Batak Toba. Sebagai metode mikroskopis, strukturalisme dianggap mengingkari peranan subjek individual maupun masyarakat sebagai subjek transindividual. Oleh karena itulah metode dan teori strukturalisme dianggap antihumanis. Semiotika memberikan jalan keluar dengan cara mengembalikan objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya sastra merupakan proses komunikasi, karya sastra dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana ia diciptakan, dimana ia tertanam. Jadi semua tanda bisa memiliki arti sangat banyak, atau sama sekali tidak berarti. Ratna (2004:117). Sementara istilah sosial yang digunakan dalam hal ini bisa bermakna ganda, yaitu sosial dalam artian sistem sosial yang berhubungan dengan budaya, dan sosial dalam artian hubungan antara bahasa dengan struktur sosial. Artinya bahwa makna sosial dalam hal ini boleh ditafsirkan dari berbagai dimensi. Menurut Halliday (1992:3-8), semiotika sosial adalah semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Semiotika Sosial di satu pihak mencoba memberikan penilaian pada gejala di balik objek, di lain pihak memberikan kemungkinan untuk menjelaskan hakikat masyarakat dalam rangka multidisiplin, sebagai multi kultural. Halliday dalam hal ini menganggap bahwa istilah sosial sejajar dengan kebudayaan. Selanjutnya lagi masih menurut Halliday, semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana tanda-tanda tersebut difungsikan. Sebagai gejala kesusastraan, teks juga berfungsi hanya dalam pemakaian dalam interaksi antara pengirim dan penerima. Implikasi lebih jauh terhadap semiotika sosial sebagai ilmu, teks dan konteks sebagai objek adalah metode yang harus dilakukan dalam proses pemahaman. Dalam kaitannya dengan semiotika sosial, Halliday (1992:16-18) mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu:1) Medan, sebagai ciri-ciri semantik teks, 2) Pelaku atau orang-orang yang terlibat, 3) Sarana, yaitu ciri-ciri yang yang diperankan oleh bahasa. Sejalan dengan penjelasan di atas bila dikaitkan dengan penelitian ini maka dapat dilihat beberapa aplikasi kontekstual ketiga unsur yang dimaksud oleh Halliday, seperti: unsur pertama, Medan Wacana (field of discourse), yaitu yang memfokuskan pada pembahasan yang berhubungan dengan hal-hal yang terjadi misal apa yang menjadi wacana oleh pelaku, yang dalam penelitian ini difokuskan pada pengarang lagu. Selanjutnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang terjadi di lapangan kejadian, dalam hal ini difokuskan pada masyarakat Batak Toba (BT). Kedua, Pelibat Wacana (Tenor of Discourse), yaitu difokuskan pada siapa yang terlibat dalam teks, (sepuluh lirik lagu BT) yang dalam hal ini difokuskan pada perempuan BT, kaum bapak dan anak-anak di lingkungan komunitas masyarakat BT; selanjutnya yang berhubungan dengan sifat orang yang terlibat dalam teks, dalam hal ini difokuskan pada perempuan BT yang sangat berperan, bertanggung jawab, berjuang di ranah domestik maupun publik, seorang bapak yang mau menasihati anaknya untuk menghormati dan memperhatikan nasihat sang ibu, anak-anak yang tahu menghargai peran, tanggung jawab dan perjuangan sang ibu terhadapnya; kemudian yang berhubungan dengan kedudukan dan peranan, dalam hal ini difokuskan pada kedudukan dan peranan perempuan BT sangatlah penting. Walaupun sebagai masyarakat yang mengikuti paham patrialkal yang pada umumnya memposisikan perempuan pada posisi kedua, akan tetapi dalam peran perempuan sangatlah penting dan dominan dalam menumbuhkan, mengembangkan dan memajukan keluarga masyarakat BT (dapat dilihat melalui lirik lagu yang digambarkan oleh masing-masing pengarang lagu). Ketiga, Sarana Wacana (Mode of Discource), dalam hal ini difokuskan pada peran bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang lagu dalam menciptakan karyanya, gaya bahasa apa yang digunakannya agar karyanya lebih indah dan enak didengar oleh pendengarnya ketika sang pengarang menggambarkan medan atau situasinya (masyarakat BT) dan bagaimana sang pengarang menggambarkan pelibat atau pelaku. 2.7 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual berikut ini digunakan oleh peneliti untuk menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya; konsep atau teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan penelitian ini, permasalahan apa yang lebih dahulu dikaji atau dianalisis, sehingga lebih memudahkan peneliti melakukan langkah demi langkah dalam penulisan. Kerangka konseptual ini adalah hasil dari pemikiran secara induktif, yaitu kajian berdasarkan fakta dan empiris yang kemudian melahirkan satu pemikiran berupa kerangka konseptual berikut ini: Observasi Peneliti Observasi Ciri, Cara, Gaya Observasi Kesetaraan Gender, Peran, Tanggungjawab dan Perjuangan Perempuan Stilistika 10 Lirik Lagu Batak Toba Ideologi Penolakan Terhadap Konstruksi Pendapat Para Filsuf Bagan 2.1. Stilistika dan Kesetaraan Gender Dalam Lirik Lagu Batak Toba Keterangan Gambar: Pada bagan gambar di atas pertama sekali peneliti mengadakan langkah observasi dalam masyarakat, khususnya dalam komunitas Batak Toba dan menemukan sebahagian fakta atau realita kehidupan melalui sepuluh lagu yang diperoleh melalui beberapa cassette disk dan juga melalui beberapa hasil wawancara kepada beberapa kalangan yang ada di kalangan komunitas masyarakat Batak Toba, khususnya kaum ibu. Kesepuluh lagu tersebut merupakan objek penelitian yang diteliti untuk menemukan stilistika berdasarkan style yang berhubungan dengan ciri, cara dan gaya , dan untuk menemukan kesetaraan gender yang berhubungan dengan peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan, dalam studi ini seorang ibu; menemukan kesetaraan gender melalui ideologi komunitas masyarakat Batak Toba, hasangapon, hamoraon, hagabeon, yang ada dalam sepuluk lagu Batak Toba kemudian mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasikan.