PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN
BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) pada
NEOVASKULARISASI LUKA BAKAR DERAJAT II
TIKUS Sprague dawley
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
ALFI ALFINA
NIM: 1113103000008
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H / 2016 M
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan
rahmat-Nya yang telah diberikan kepada saya sehingga saya bisa menyelesaikan
penelitian ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa pula saya ucapkan
kepada bimbingan kita Nabiyuallah Muhammad SAW beserta keluarga dan
shohabat.
Penelitian ini bisa terlaksana dengan bimbigan dan bantuan berbagai
pihak, karenanya saya ingin mengucapkan terimasih yang sebanyak-banyaknya
kepada:
1. Prof. Dr, H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. dr. Achmad Zaki, M. Epid, Sp.OT selaku Kepala Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter
3. Ibu Rr. Ayu fitri hapsari M. Biomed dan dr. Dyah Ayu Woro M. Biomed
selaku dosen pembimbing yang telah membantu dan membimbing saya
selama penelitian ini.
4. Kedua orang tua saya tercinta H. M Arifin, MM dan Hj. Suaibatul Islamia
yang telah memberikan saya segala yang saya butuhkan. Juga kedua adik
saya Alfi Afrida dan Achmad Alfarisi serta keluarga besar Bani Sulaiman
dan H. Samin yang selalu memberikan dukungan dalam menjalani kuliah
di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Silvia Nasution, M. Biomed selaku penanggung jawab Laboratorium
Parasitologi, Ibu Nurlaeley Mida Rachmawati, S. Si, M. Biomed, Ph. D
selaku penanggung jawab Animal House, Ibu DR, Endah Wulandari, M.
Biomed selaku penanggung jawab Laboratorium Biokimia dan Ibu Rr.
v
Ayu Fitri Hapsari M. Biomed selaku penanggung jawab Laboratorium
Histologi yang telah memberikan izin untuk menggunakan laboratorium.
6. Mba Novi, Mas Panji, Mba Ai, Mba Din, selaku laboran yang telah
membantu selama penelitian
7. Teman- teman seperjuangan saya Kelompok Riset Binahong Jaya
8. Pihak LIPI, BALITRO, BATAN, Pak Heri dan iRATco yang telah
membatu dalam pembuatan ektrak, preparat, dan menyediakan tikus
9. Teman- teman saya Annisa M, Kirana W PSKPD 2013, kak Nita Program
Studi Farmasi 2012, Pidia Awalia M Program Studi Farmasi 2013,
Arzaqillah Mubarokah Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris UIN
Sunan Ampel Surabaya 2013 yang telah membantu saya dalam mengolah
data, pembahasan, dan menterjemahkan abstrak pada penelitian ini.
10. Kak Syifa, Kak Audi, Kak Farah, kak Seflan, kak Asmie yang melakukan
penelitian ini sebelum saya
11. Bapak Satpam dan OB FKIK UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta yang
bersedia menunggu sampai malam hari
Saya menyadari penelitian ini jauh dari kata sempurna karenanya saya
mengharapkan saran dan kritik. Sekian laporan penelitian yang saya susun
semoga dapat memberikan manfaat.
Wassalamualaikum wr.wb
Ciputat, 12 Oktober 2016
Penulis
vi
ABSTRAK
Alfi Alfina. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter.
PENGARUH
PEMBERIAN
EKSTRAK
DAUN
BINAHONG
(Anrederacordifolia (Tenore) Steenis) pada NEOVASKULARISASI
LUKA BAKAR DERAJAT II TIKUS Sprague dawley.
Pendahuluan: Asia Tenggara menjadi urutan pertama dengan kasus kejadian
luka bakar. Daun binahong sering digunakan sebagai pengobatan untuk
penyembuhan luka. Penelitin ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
ekstrak
daun
binahong
(Anrederacordifolia
(Tenore)
Steenis)
pada
neovaskularisasi luka bakar tikus derajat II dan mengetahui efektivitas
pemberian secara topikal dan oral. Metode: Penelitian ini menggunakan
desain eksperimental analitik. Subjek penelitian adalah tikus strain Sprague
dawley dengan jumlah 25 ekor. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan
masing-masing perlakuan terdiri atas 5 tikus.kelompok salep estrak daun
binahong 40%, ekstrak daun binahong oral, kombinasi salep dan oral, kontrol
positif, dan
kontrol negatif. Luka dibuat sediaan histopatologi dengan
pewarnaan H&E. Hasil: Kelompok perlakuan salep memiliki jumlah rerata
neovaskularisasi sebesar 5.32, kelompok oral 6.64, kelompok kombinasi
salep
dan
oral
7.36,
kelompok
kontrol
positif
6.68
positif dan
kelompokkontrol 8.80. Kesimpulan: Ekstrak daun binahong tidak pengaruh
secara bermakna terhadap peningkatan jumlah neovaskularisasi pada luka
bakar tikus derajat II.
Kata Kunci: Anrederacordifolia (Tenore) Steenis, pembuluh darah baru,
Sprague dawley, penyembuhan luka.
vii
ABSTRACT
Alfi Alfina. Medical Study Program and Doctor Profession. The Effects
of Binahong Leafes Extracts (Anrederacordifolia (Tenore) Steenis) on the
Formation of Neovascularization in Rats Sprague dawley Second degree
Burns.
Introduction: Southeast Asia become the first in the case of occurrence of
burns. Binahong leafes are often used as a treatment for wound healing. This
experiment aims to know the effects of binahong leafes extracts
(Anrederacordifolia (Tenore) Steenis) on the formation neovascularization in
rats second degree burns and examine the effectiveness of topical and oral
administration. Methods: This study used an experimental design analytics.
The subject of research is the Sprague dawley rat strain with the number of 25
head. Rats were divided into five treatment groups of each treatment
consisted of 5 rats. Group ointment binahong leaf extract with a concentration
of 40%, binahong leaf extract oral, combination both ointment and oral,
positive control, and negative control. The wound were stain by H&E.
Results: The mean of vascularization in ointment group is 5.32, oral group
6.64, combintaion both oinment and oral 7.36, positive control group 6.68,
and negative control group 8.80. Conclusion: Binahong leafes extract have
influence on the formation of increasing neovascularization in rats second
degree burns but not statistically significant.
Key word: Anrederacordifolia (Tenore) Steenis, neovascularization, Sprague
dawley, wound healing, burn injury.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………...... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………….. iii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… v
ABSTRAK ………………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiv
BAB 1. PENDAHULUAN..........................................................................
1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 3
1.3 Hipotesis........................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian.............................................................................. 3
1.4.1 Tujuan Umum.......................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus......................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................ 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 5
2.1 Landasan Teori.................................................................................. 5
2.1.1 Anatomi dan Faal Kulit............................................................ 5
2.1.2 Histologi Kulit.......................................................................... 6
2.1.3 Luka Bakar............................................................................... 10
2.1.3.1 Epidemiologi Luka Bakar........................................... 10
2.1.3.2 Penyebab Luka Bakar................................................. 12
2.1.3.3 Klasifikasi Luka Bakar................................................ 13
2.1.3.4 Patofisiologi Luka Bakar............................................. 16
2.1.3.5 Penyembuhan Luka Bakar ..........................................18
2.1.3.6 Penanganan Luka Bakar.............................................. 27
2.1.4 Tanaman Binahong ...................................................................29
ix
2.1.5 Silver Sulfadiazin...................................................................... 32
2.1.6 Bentuk Sediaan Obat................................................................ 33
2.2 Kerangka Teori................................................................................ 36
2.3 Kerangka Konsep ............................................................................... 37
2.4 Definisi Operasional......................................................................... 38
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN...................................................... 40
3.1 Desain Penelitian ...............................................................................40
3.2 Lokasi dan Waktu Peneltian............................................................. 40
3.3 Bahan Uji.......................................................................................... 40
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian........................................................ 41
3.4.1 Besar Sampel ........................................................................... 41
3.4.2 Kriteria Inklusi........................................................................ 41
3.4.3 Kriteria Eksklusi...................................................................... 41
3.4.4 Pembagian Kelompok Sampel................................................. 42
3.5 Alat dan Bahan Penelitian................................................................. 42
3.5.1 Alat Penelitian.......................................................................... 42
3.5.2 Bahan penelitian....................................................................... 43
3.6 Adaptasi dan Pemelihaaan Hewan Sampel........................................ 43
3.7 Pembuatan Sediaan Salep.................................................................. 43
3.8 Pembuatan Sediaan Oral.................................................................. 44
3.9 Identifikasi Variabel......................................................................... 45
3.9.1 Variabel Bebas........................................................................ 45
3.9.2 Variabel Terikat....................................................................... 45
3.10 Perlakuan Luka Bakar Tikus........................................................... 45
3.11 Cara Pemberian Salep Ekstrak Daun Binahong...............................46
3.12 Cara Pemberian Sediaan Oral......................................................... 46
3.13 Pengambilan Jaringan..................................................................... 46
3.14 Pengamatan Histologi.................................................................... 46
3.14.1 Cara Pengukuran................................................................. 47
3.14.2 Cara Penggunaan Adobe Photoshop................................... 47
3.15 Manajemen Analisi Data Pembentukan Neovaskularisasi.............. 49
3.16 Etika penelitian.............................................................................. 49
x
3.17 Alur Kerja Penelitian...................................................................... 50
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 51
4.1 Hasil.................................................................................................. 51
4.2 Pembahasan....................................................................................... 54
4.3 Keterbatasan Penelitian ......................................................................58
BAB 5. PENUTUP....................................................................................... 59
5.1 Kesimpulan...................................................................................... 59
5.2 Saran................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
60
LAMPIRAN.................................................................................................
65
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Luka Bakar Bedasarkan Kedalaman……………………...14
Tabel 2.2 Sistim Penilaian Keparahan Luka Bakar……………………………...16
Tabel 2.3 Penyembuhan Luka...............................................................................26
Tabel 2.4 Definisi Operasional..............................................................................38
Tabel 4.1 Jumlah Neovaskularisasi.......................................................................53
Tabel 4.2 Hasil Statistik Menggunakan one way ANOVA..................................54
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1
Lapisan Kulit...................................................................................... 10
Gambar 2.2
Lapisan Epidermis..............................................................................10
Gamar 2.3
Frekuensi Mortalitas Luka Bakar per 100.000 Anak-anak................ 11
Gambar 2.4
Distribusi Penyebab Kematian Anak di Asia Tenggara dan Timur.. 12
Gambar 2.5
Penyebab Luka Bakar.........................................................................12
Gambar 2.6
Rule of Nine untuk Dewasa................................................................15
Gambar 2.7
Rule of Nine untuk Anak....................................................................15
Gambar 2.8
Zona pada Luka Bakar........................................................................17
Gambar 2.9
Faktor Pertumbuhan pada Luka Bakar...............................................20
Gambar 2.10 Sel yang Berperan dalam Penyembuhan Luka...................................21
Gambar 2.11 Hasil Inflamasi Akut………………………………………………. 22
Gambar 2.12 Langkah-langkah Proses Angiogenesis..............................................23
Gambar 2.13 Fase Penyembuhan Luka Menyeluruh…………………………….. 25
Gambar 2.14 Penyembuhan Luka Primer dan Sekunder......................................... 27
Gambar 2.15 Daun Binahong.................................................................................. 30
Gambar 2.16 Absorpsi Obat di Epitel Saluran Cerna.............................................. 35
Gambar 3.1
Pengaturan Gird Line pada Adobe Photoshop CS3........................... 48
Gambar 3.2
Pengaturan Guide, Grid & Slices pada Adobe Photoshop CS3........ 48
Gambar 3.3
Gird Line pada Adobe Photoshop CS3.............................................. 49
Gambar 4.1
Gambaran Makroskopik Luka Bakar Tikus Sprague dawley ............51
Gambar 4.2
Gambaran Mikroskopik Luka Bakar Tikus Sprague dawley ............51
Gambar 4.3
Gambaran Neovaskularisasi...............................................................52
Gambar 4.4
Grafik Rerata Jumlah Pembuluh Darah Baru.................................... 54
Gambar 4.5
Sirkulasi Kulit.................................................................................... 56
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Hasil Determinasi Tanaman Binahong................ ......................... 65
Lampiran 2 Surat Ekstrasi....................................................... ......................... 66
Lampiran 3 Surat Keterangan Sehat Tikus Sprague dawley ........................... 67
Lampiran 4 Foto Riset .......................................................... ........................... 68
Lampiran 5 Uji Statistik ....................................................... ........................... 73
Lampiran 6 Riwayat Hidup.................................................... .......................... 74
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian luka bakar menjadi penyebab yang signifikan untuk morbiditas
dan mortalitas di seluruh dunia.1 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Centers
for Disease Control and Prevention, seseorang di United States meninggal
175 menit karena luka bakar dan mengalami cedera setiap 31 menit.
American Burn Association memperkirakan lebih dari 450.000 orang cederaluka bakar mengunjungi rumah sakit di United States pertahunnya, hasilnya
45.000 orang harus rawat inap dan 4.000 orang meninggal. Seseorang
berisiko untuk meninggal akibat cedera luka bakar akan meningkat dengan
usia yang semakin menua, luas luka bakar dan adanya cedera inhalasi.2
Safe kids and worldwide burn and fire menunjukkan sebanyak 126.035
anak usia dibawah 19 tahun berada di ruangan emergensi karena luka bakar
pada tahun 2013, dan meninggal sebanyak 334, yang mana angka tersebut
meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya berjumlah 257
anak-anak.3 WHO melaporkan distribusi regional terkait luka bakar. Asia
Tenggara dan Timur menempati urutan pertama sebesar 58%, kemudian
diikuti Afrika 16% dan 10% utuk Mediterania Timur, selanjutnya dengan
angka yang sama 9% untuk Pasifik Barat dan Eropa, terakhir USA 4%.4
Luka bakar merupakan luka yang ditimbulkan akibat trauma termal.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, prevalensi luka
bakar di Indonesia sebesar 0,7%. Prevalensi tertinggi pada usia 1-4 tahun
sebesar 1,5%.5 Melalui studi analisis deskriptif yang dilakukan di Unit Luka
Bakar RSCM untuk menganalisa rekam medik pasien dari Januari 2011 –
Desember 2012 didapatkan hasil 275 pasien, 203 diantaranya dewasa. Jumlah
pasien dewasa yang meninggal adalah 76 pasien dengan penyebab kematian
yang berbagai macam.6
Pembentukan jaringan granulasi merupakan proses penting dari fase
penyembuhan luka, yang akan berubah secara terus-menerus. Jaringan
1
2
granulasi akan mengisi celah luka, dimana berfungsi sebagai barier untuk
melawan zat kontaminan yang berasal dari luar. Jaringan granulasi juga
menyediakan miofibroblas untuk kontraksi luka, dan jaringan granulasi
membentuk dasar untuk pertumbuhan epitelium. Komponen jaringan
granulasi terderi atas sel leukosit, fibroblas, dan angiogenesis.7
Masyarakat di Indonesia khusunya Jawa menggunakan obat herbal sebagai
penyembuhan luka, salah satunya adalah daun binahong. Daun binahong
berasal dari negara Brazil, dan dibudidayakan di daerah beriklim tropis.
Tanaman ini dipercayai bisa menyembuhkan berbagai penyakit seperti
diabetes melitus, tipes, hipertensi, hemoroid, tuberkulosis, rematik, asam urat,
asma, meningkatkan volume urin untuk diuretik, penyembuhan setelah
melahirkan, penyembuhan luka, setelah sirkumsisi, kolitis, diare, gastritis dan
kanker.8
Hampir seluruh bagian binahong dapat dimanfaatkan untuk terapi herbal.
Binahong mempunyai zat aktif diantaranya flavonoid sebagai anti-bakteri,
asam oleanolic sebagai anti-inflamasi yang bisa mengurangi rasa nyeri pada
luka bakar, ancordin (protein pada akar binahong) yang bisa menstimulasi
sistim imun untuk menstimulasi antibodi. Protein tersebut bisa menstimulasi
nitrit oksida, dimana bisa memperbaiki aliran darah yang membawa nutrien
yang dibutuhkan untuk setiap sel dalam jaringan dan menstimulasi tubuh
untuk memproduksi hormon pertumbuhan dan menggantikan sel yang rusak
dengan sel yang baru.8
Penelitian yang dilakukan Miladiyah (2012) menunjukkan salep ekstrak
binahong diberikan selama 15 hari dengan konsentrasi 20% mampu
menyembuhkan luka, semakin tinggi konsentrasi yakni 40%, semakin besar
penyembuhan luka dan bermakna.9 Penelitian lain yang dilakukan oleh
Zulfitri (2012) menunjukkan hasil yang bermakna juga bahwa gel ekstrak
binahong yang diberikan selama 4 hari makin tinggi konsentrasinya 80%
jumlah sel fibroblas dan vaskular makin banyak pasca pencabutan gigi pada
marmut,10 dan penelitian yang dilakukan Rohma (2015) juga menunjukan gel
ektrak binahong yang diberikan selama 20 hari dapat mempengaruhi proses
3
penyembuhan luka dan semakin tinggi dosis 200 mg yang diberikan semakin
cepat pula proses penyembuhan luka.11
Penelitian ini melanjutkan dari penelitian yang sebelumnya sudah
dilakukan oleh Aini (2014) yakni mengetahui pengaruh pemberian salep
ekstrak daun binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi. Hasil
penelitian didapatkan bahwa konsentrasi terbesar 40% dari salep ekstrak daun
binahong menunjukkan jumlah neovaskularisasi yang terbentuk tinggi
dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain.12 Berdasarkan hal diatas,
penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberiaan ekstak daun
binahong secara salep dan oral terhadap pembentukan neovaskularisasiluka
bakar derajat II tikus Sprague dawley.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifollia
(Tenore) Steenis) dan ekstrak daun binahong sediaan oral berpengaruh pada
neovaskularisasi luka bakar derajat II tikus Sprague dawley?
1.3 Hipotesis
Salep ekstrak daun binahong dan ekstrak daun binahong sediaan oral
berpengaruh terhadap peningkatan jumlah neovaskularisasi pada luka bakar
derajat II tikus Sprague dawley.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan umum
Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun binahong (Anredera
cordifollia Tenore) Steenis) terhadap peningkatan jumlah neovaskularisasi
pada luka bakar derajat II tikus Sprague dawley.
1.4.2
Tujuan Khusus
Mengetahui kelompok tikus Sprague dawley yang memperlihatkan jumlah
neovaskularisasi yang paling banyak setelah diberikan ekstrak daun
binahong secara salep dan oral.
4
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1
Bagi peneliti
-
Penelitian ini dapat menjadi salah satu persyaratan kelulusan dalam
menyelesaikan program sarjana kedokteran
-
Penelitian ini dapat menjadi salah satu cara menambah
pengetahuan dan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya
-
Menambah pengalaman untuk melakukan pembelajaran di bidang
histopatologi
1.5.2
Bagi institusi
-
Penelitian ini dapat menjadi referensi penelitian di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
-
Penelitian ini dapat dikembangkan lagi untuk melihat pengaruhnya
ditingkat manusia
1.5.3
Bagi masyarakat
-
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat terkait
manfaat daun binahong sebagai obat herbal untuk kesehatan
-
Penelitian ini dapat dikembangkan menjadi obat herbal dalam
bentuk salep untuk penyembuhan luka bakar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anatomi dan Faal kulit
Kulit adalah organ tunggal yang terberat di tubuh dengan berat sekitar 5
kg, membentuk 15-20% berat badan total orang dewasa, yang memiliki luas
permukaan 1,5-2 m2.13&14 Kulit merupakan organ yang sangat istimewa karena
berada disisi terluar tubuh manusia sehingga mudah dilakukan pengamatan.
Kulit memiliki pelengkap diantaranya rambut, kuku, dan kelenjar. Bila
diamati lebih teliti terdapat variasi kulit sesuai daerah tubuh. Kulit yang tidak
berambut disebut kulit glabrosa, contohnya bisa ditemukan pada telapak
tangan dan kaki. Pada telapak tangan dan kaki, kulit memiliki gambar yang
jelas di permukannya yang disebut dermatoglyphics. Secara histologi kulit
yang tidak berambut kaya akan kelenjar keringat tetapi sedikit kelenjar
sebasea. Sedangkan untuk kulit yang berambut memiliki folikel dan juga
kelenjar sebasea.14
Secara fisiologis kulit memiliki berbagai fungsi.14

perlindungan fisik (terhadap gaya mekanik, sinar ultraviolet, dan bahan
kimia)

perlindungan imunologik

ekskresi

pengindera

pengaturan suhu tubuh

pembentukan vitamin D
Fungsi–fungsi tersebut lebih mudah dipahami dengan meninjau secara
mikroskopik kulit yang terbagi menjadi 3 lapisan: epidermis, dermis dan
subkutis.14
5
6
2.1.2 Histologi Kulit
1. Epidermis
Lapisan epidermis adalah lapisan kulit dinamis, selalu beregenerasi,
berespon terhadap rangsangan diluar maupun di dalam tubuh manusia.
Epidermis berasal dari ektoderm dan terutama tersusun atas epitel berlapis
gepeng yang disebut keratinosit. Sel langerhans dan melanosit terselip
diantara keratinosit, dan terkadang ditemukan juga sel merkel dan limfosit
yang jumlahnya lebih sedikit.14 Epidermis antara kulit tebal dan tipis berbeda,
yang menjadi perbedaan adalah ketebalan lapisan itu sendiri. Kulit tebal
berkisar 400-1.400 µm dan kulit tipis 75-150 µm. Epidermis terdiri atas lima
lapisan keratinosit dengan urutan terbawah terdapat:13
a. Stratum basal
Tersusun atas selapis sel kuboid yang terletak diatas membran basal pada
perbatasan epidermis-dermis. Keratinosit basal berdiri kokoh diatas membran
basal karena protein struktural yang mempertahankan membran sitoplasma
keratinosit pada membran basal yang disebut hemidesmosom. Stratum basal
ditandai dengan tingginya aktivitas mitosis dan bertanggung jawab bersama
lapisan
berikutnya
untuk
produksi
sel-sel
epidermis
secara
berkesinambungan.9 Terdapat tiga subpopulasi keratinosit pada stratum basal
yaitu:14
1. Sel punca, yang biasanya aktif saat terjadi kerusakan luas epidermis
yang membutuhkan regenerasi cepat.14 Sel punca biasanya diam.
Sel punca mempunyai sifat khusus yakni kemampuan memperbaiki
diri yang bersifat jangka panjang, prulipotensial, dan yang paling
penting adalah kemampuannya untuk mengalami pembelahan tidak
simetris.15
2. Sel transit-amplifying, aktif bermitosis dan merupakan subpopulasi
terbesar. Sel transit-amplifying adalah hasil proliferasi terakhir dari
sel punca. Sel transit-amplifying berkomitmen dengan garis
keturunan yang spesifik dan ditandai dengan kemampuannya untuk
7
mengalami beberapa pembelahan simetris.11 Sel ini tidak selamanya
menetap di stratum basalis.14
3. Sel pascamitosis
Sel transit-amplifying setelah beberapa kali membelah diri
(pascamitosis) dan berkomitmen untuk berdiferensiasi, akan
berpindah ke lapisan di atas stratum basalis (suprabasal).14
Epidermis manusia diperbarui setiap 15-30 hari, bergantung pada usia,
bagian tubuh, dan fakor lain.13 Sitoplasma keratinosit banyak mengandung
melanin, pigmen warna yang tersimpan dalam melanosom. Melanosit
mensintesis melanin dan mendistribusikannya sekitar keratinosit di stratum
basal. Melanin yang tersebar inilah yang akan memberikan warna pada kulit
manusia.14
b. Stratum spinosum
Secara normal lapisannya paling tebal, terdiri atas sel-sel kuboid atau
agak gepeng dengan inti di tengah dengan nukleus dan sitoplasma yang aktif
mensintesis filamen keratin. Filamen keratin membentuk berkas yang tampak
pada mikroskopik yang disebut tonofibril yang berkonvergensi dan berakhir
pada sejumlah desmosom yang menghubungkan sel bersama-sama secara
kuat untuk menghindari gesekan.13
Keratinosit stratum spinosum membentuk stuktur khusus yang disebut
granul lamelar yang merupakan bakal seramid yang berperan untuk
pembentukan sawar lipid. Sawar lipid akan bersinergi dengan sawar sruktural
yang dibentuk oleh filamen keratin intermediate pada startum korneum.14
Pada stratum spinosum dan granulosum terdapat sel Langerhans, sel
dendritik yang merupakan sel penyaji antigen. Antigen yang masuk ke sawar
kulit akan difagosit dan diproses oleh sel Langerhans, kemudian dibawa dan
disajikan kepada limfosit utuk dikenali. Jadi sel Langerhans berperan penting
dalam pertahanan imunologik dengan cara melepaskan sitokin proinflamasi
saat terjadi jejas yang mengancam.14
c. Stratum granulosum
8
Sekitar
3-5 lapis sel poligonal gepeng yang mengalami diferensiasi
terminal menyusun stratum granulosum. Sitoplasmanya berisikan massa
basofilik intens yang disebut granul keratohialin.13 Granul keratohialin
mengandung
protein
profilagrin
dan
loricrin
yang
penting
dalam
pembentukan cornified cell envelope (CCE). Keratinosit mengalami
diferensiasi dari basal dan puncakya menuju epidermis yaitu korneosit.
Korneosit merupakan sel tanpa nukleus, yang membentuk struktur tidak larut
dan kaku yang disebut dengan amplop cornified. Formasi dari amplop
cornified ini sangat penting untuk fungsi barier pada kulit.16
Keratinosit di stratum granulosum memulai program kematiannya sendiri
(apoptosis). Profilagrin akan dipecah menjadi filagrin yang akan bergabung
dengan filamen keratin intermediet menjadi makro filamen. Beberapa
molekul filagrin nantinya akan dipecah menjadi molekul asam urokanat yang
memberikan kelembaban stratum korneum dan menyaring sinar ultraviolet.
Loricrin akan bergabung dengan protein-protein struktural desmosom, dan
berikatan dengan membran plasma keratinosit. Proses-proses diatas
menghasilkan CCE yang akan menjadi sawar kulit di stratum korneum.14
Waktu yang diperlukan untuk keratinosit basal untuk mencapai stratum
korneum kira-kira 14 hari bahkan bisa lebih.14
d. Stratum lusidum
Stratum lusidum hanya ditemukan pada kulit tebal dan terdiri atas
lapisan tipis transluen sel eosinofilik yang sangat pipih. Organel dan inti telah
menghilang dan sitoplasma hampir sepenuhnya terdiri atas filamen keratin
padat yang berhimpitan dalam matriks padat-elektron.13
e. Stratum korneum
Stratum korneum terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng berkeratin tanpa inti
dan sitoplasma yang dipenuhi keratin filamentosa birefringen.13 Cornified cell
envelope
(CCE) yang mulai terbentuk pada stratum korneum akan
mengalami penataan bersama dengan lipid yang dihasilkan oleh granul
lamelar. Susunan tersebut sering diibaratkan dengan dinding yang tersusun
9
atas batu bata dan semen disekitarnya. Cornified cell envelope (CCE) sebagai
batu bata dan lipid sebagai semen. Matrik ekstrasuler mampu menahan
kehilangan air dan mengatur permeabilitas, deskuamasi, aktivitas peptida
antimikroba, penyerapan kimia secara selektif. Waktu yang dibutuhkan
korneosit (sel pada stratum korneum yang mengalami keratinisasi dan tak
berinti) untuk melepaskan diri dari epidermis kira-kira 14 hari.14
2. Dermis
Berasal dari mesoderm dan merupakan jaringan ikat yang menunjang
epidermis dan mengikatnya pada jaringan subkutan (hipodermis). Dermis
juga memberikan ketahanan bagi kulit, termoregulasi, imunologik dan
ekskresi. Hal tersebut bisa dilakukan karena berbagai elemen yang berada di
dermis yakni struktur fibrosa dan filamentosa, zat sekitar sel, dan seluler yang
terdiri atas endotel, fibroblas, sel radang, kelenjar, folikel rambut, dan saraf.14
Dermis terdiri dari 2 lapisan:13
1. Lapisan papilar
Terdiri atas jaringan ikat longgar, dengan fibroblas dan sel jaringan ikat
lainnya seperti sel mast dan makrofag.
2. Lapisan retikuler
Lebih tebal, yang terdiri atas jaringan ikat padat ireguler (kolagen tipe
I) dan memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada lapisan
papilar.13
3.
Jaringan subkutan
Terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada
organ-organ dibawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser diatasnya.
Lapisan ini juga disebut hipodermis sering mengandung sel lemak yang
jumlahnya bervariasi sesuai daerah tubuh.13
10
Gambar 2.1 Lapisan kulit13
Sumber: Mescher, Anthony L. Hitologi dasar Junqueira. 2011
Gambar 2.2 Lapisan epidermis17
Sumber: The East-West School for Herbal and Aromatic and Jade Shutes, Anatomy and
Physiology of the Skin, 2012.
2.1.3
Luka Bakar
2.1.3.1 Epidemiologi Luka Bakar
11
WHO Global Burden Disease mengestimasikan tahun 2004, lebih dari
310.000 orang meninggal karena luka bakar, dari 30% jumlah total masih
dibawah usia 20 tahun. Luka bakar menjadi urutan ke-11 yang menyebabkan
kematian pada anak-anak usia antara 1-9 tahun. Frekuensi kematian di negara
berpendapatan redah-sedang sebelas kali lebih tinggi dibandingkan dengan
negara berpendapatan tinggi sebesar 4,3 per 100.000 orang terhadap 0,4 per
100.000.18
LIMIC=Negara berpendapatan
rendah dan sedang
HIC= Negara berpendapatan
tinggi
Gambar 2.3 Frekuensi mortalitas luka bakar per 100.000 anak-anak18
Sumber: WHO (2008), Global Burden Disease: 2004 Update
Wilayah Asia Tenggara dan Timur, kecelakaan lalu lintas, banjir, luka
bakar, dan cedera karena tindakan sendiri menjadi penyebab utama kematian
pada anak-anak.19
12
Gambar 2.4 Distribusi penyebab kematian anak-anak usia (1-14 tahun) di
wilayah Asia Tenggara dan Timur19
Sumber: Child Injury Prevention In South-East Asia Regio WHO, 2008
2.1.3.2
Penyebab Luka Bakar
Studi yang dilakukan secara deskriptif analitik dengan mengumpulkan
rekam medis pasien di pusat pelayanan luka bakar di RS. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta mendapatkan hasil penyebab kematian dengan
etiologi luka bakar yang berbeda.6
Keterangan:
78%=Api
14%=Listrik
4%=Air panas
3%=Bahan
kimia
1%=Metal
Gambar 2.5 Penyebab luka bakar6
Sumber: Nungki dan Aditya, Mortality Analysis of Adult Burn Patient.
2013
Di negera berkembang luka bakar yang disebabkan oleh api lebih banyak
terjadi pada wanita, hal ini berhubungan saat seorang wanita sedang
memasak. Luka bakar akibat listrik terjadi saat listrik mengalir ke tubuh
seseorang. Energi panas dari listrik akan menyebabkan kerusakan jaringan.
13
Berdasarkan dari tegangannya, luka bakar listrik dibedakan menjadi 2
kelompok:4
1.Voltase rendah
Luka bakarnya kecil dan hanya mengenai superfisial kulit
2. Voltase tinggi
Lebih dari 1000 volts, yang akan menyebabkan kerusakan jaringan
yang dalam.
Luka bakar akibat listrik akan mengganggu siklus jantung dan
menyebabkan aritmia. Monitoring jantung harus dipertimbangkan saat
seseorang terkena luka bakar listrik.4
Bahan kimia yang bisa menimbulkan luka bakar antara lain bahan yang
bersifat asam seperti contoh sulful, bahan bersifat basa, contoh sodium atau
potasium, dan bahan organik seperti bitumen.4
2.1.3.3
Klasifikasi Luka Bakar
Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan luka bakar. WHO membagi 3
klasifikasi:14
1. Mekanisme cedera

Luka bakar api

Luka bakar inhalasi
Terjadi akibat menghirup udara yang sangat panas, yang pada
akhirnya akan menyebabkan luka pada jalan napas dan paru.14
2. Kedalaman luka bakar
Melihat kedalaman dan ketebalan luka bakar.2
14
Tabel 2.1 Klasifikasi luka bakar bedasarkan kedalaman
Klasifikasi
Kedalaman
Tampilan
Rasa nyeri
Hasil
Luka
Bakar
Superfisial
Derajat 1
Epidermis
Kering
dan Nyeri
merah pucat
Penyembuhan
spontan
Kedalaman parsial
Derajat 2
Dermal
Epidermis
Melepuh,
Nyeri akibat Penyembuhan
superfisial
dan atas
lembab, merah
udara dan
dermis
dan pucat
temperatur
Dermal
Epidermis
Melepuh,
Hanya
Memerlukan eksisi
lebih dalam
dan dermis
basah atau
tekanan
dan cangkok kulit
lebih dalam
setengah
untuk
kering, bula,
mengembalikan
putih atau
fungsi
spontan
merah, tidak
pucat
Seluruh lapisan kulit
Derajat 3
Kerusakan
Putih seperti
Tekanan
Memerlukan eksisi
epidermis
lilin, abu kasar
yang besar
keseluruhan dan
dan dermis
atau bahkan
fungsi terbatas
hitam, kering
dan tidak pucat
Derajat 4
Otot, fasia,
dan tulang
-
Tekanan
cangkok kulit
yang besar
keseluruhan
15
3.
Berdasarkan luas luka bakar
Dihitung berdasarkan luas permukaan tubuh yang terkena. Untuk
pengukurannya bisa menggunakan “rule of nine”.2
Dewasa
Gambar 2.6 Rule of nine untuk mengevaluasi keparahan luka bakar dan
kaitannya dengan penanganan cairan20
Sumber: Advance Traumat Life Suport. American College of Surgeon 9th.2012
Anak
Gambar 2.7 Rule of nine untuk mengevaluasi keparahan luka bakar dan
kaitannya dengan penanganan cairan20
Sumber: Advance Traumat Life Suport. American College of Surgeon 9th 2012
16
Setelah diestimasi seberapa luas luka bakar yang mengenai tubuh, hitung
dan sesuaikan dengan kriteria berikut:
Tabel 2.2 Sistim penilaian keparahan luka bakar2
Luka Bakar Ringan
Luka Bakar Sedang
Luka Bakar Berat
Kriteria
<10% LPB dewasa
10-20% LPB dewasa
<5% LPB orang muda 5-10%
dan tua
<2%
LPB
orang >10%
muda dan tua
ketebalan
seluruh lapisan kulit
>20% LPB dewasa
LPB
muda dan tua
LB 2-5% ketebalan LB >5%
seluruh lapisan kulit
orang
ketebalan
LB
seluruh lapisan kulit
dengan luka voltase
tinggi,
trauma
inhalasi,
mengenai
wajah, disertai fraktur
atau
trauma
mayor
lainnya
Disposisi
Rawat jalan
Rawat inap
Rujuk ke pusat luka
bakar
2.1.3.4
Patofisiologi
Luka bakar yang berat menyebabkan destruksi masif jaringan dan
mengaktifkan respon inflamasi yang pada akhirnya akan terjadi gangguan
fisiologi yang parah.Patofisiologi luka bakar mempunyai 2 fase yang berbeda.
Dimana keduanya akan berdampak pada managemen anastesi dengan adanya
perubahan hemodinamik. Pertama fase shock burn kemudiaan diikuti fase
hipermetabolik. Fase shock burnefek lokal luka bakarberat menyebakan
sekresi mediator pada sirkulasi seperti faktor nekrosis tumor (TNF) dan
interleukin yang efeknya timbul pada respon inflamasi. Dalam 6-8 jam sejak
terjadi luka terjadi peningkatan permeabilitas mikrovaskular, vasodilatasi,
vaskular statis, penurunan kotraktilitas jantung, dan penurunan curah jantung
17
yang hasilnya akan menjadi edema baik pada jaringan yang luka maupun
tidak.2
Fase hipermetabolik terjadi lebih parah. Lonjakan masif katekolamin dan
kortikosteroid pada plasma 10-15 kali lebih besar dibanding tempat yang
tidak terjadi cedera, dengan adanya fase hipermetabolik akan menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen jantung dan kerja jantung. Persisten takikardi,
hipertensi sistemik, peningkatan degradasi protein otot, resisten insulin,
peningkatan suhu tubuh dan adanya disfungsi hati merupakan karakteristik
fase ini, yang dikhawatirkan dari respon hipermetabolik berhubungan dengan
luas permukaan tubuh dan durasi waktu terpajan dimana terjadi peningkatan
hormon stres dan katekolamin, dan jika tidak ditangani akan menyebabkan
kelelahan fisiologi dan kematian.2
Luka bakar dengan etiologi apapun memberikan respon lokal dan pada
luka bakar yang serius akan menimbulkan respon sistemik. Respon lokal
berupa inflamasi, regenerasi dan proses perbaikan. Luka bakar dibagi menjadi
3 zona:4

Zona koagulasi atau nekrosis

Zona stasis

Zona hiperemis
Zona hiperemis:
perfusi bagus, ada di
bagian tepi luka
Zona stasis: mengelilingi
zona koagulasi,  perfusi
jaringan
Zona koagulasi: tidak ada
perfusi jaringan dan ireversibel
Gambar 2.8 Zona pada luka bakar4
Sumber: International Best Practice Guidelines: Effective skin andwound management of
noncomplexburns. Wounds International, 2014
18
Luka bakar kompleks mengenai 10-20% dari luas total permukaan tubuh,
dan juga terjadi respon sistemik untuk memperpanjang proses sekresi
mediator inflamasi di tempat cedera. Efeknya berupa hipotensi sistemik,
bronkokonstriksi, peningkatan laju basal metabolik, dan penurunan sistim
imun.4
2.1.3.5
Penyembuhan Luka
Luka didefinisikan sebagai adanya gangguan atau kerusakan dari struktur
normal anatomi dan fungsi. Luka bisa terbatas hanya pada lapisan epidermis
dan lebih parah bisa mencapai jaringan subkutan.21 Tanpa melihat penyebab
dari suatu luka, proses penyembuhannya sama. Luka akan menyebabkan
kerusakan jaringan, dimana akan menstimulasi proses fisiologis untuk
memicu hemostasis dan menginisiasi proses inflamasi, proliferasi, dan
remodeling. Luka akut, contohnya adalah luka akibat insisi bedah, biasanya
waktu yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan relatif cepat. Luka yang
memperlihatkan penyembuhannya terhambat 12 minggu dari awal luka
menyebabkan luka menjadi kronik, seringkali terjadi inflamasi patologi.
Tahapan penyembuhan luka ada 4:22
1. Fase hemostasis
Kerusakan pada arteri akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah
melalui kontraksi otot polos yang melapisi dinding pembuluh darah,
dimediasi dengan peningkatan kadar kalsium sitoplasma. Penurunan aliran
darah terjadi dalam beberapa menit akibat konstriksi arteri yang akan
menyebabkan hipoksia jaringan dan asidosis. Penurunan aliran darah akan
menyebabkan peningkatan produksi nitrit oksida, adenosin dan vasoaktif
metabolisme lain yang akan menimbulkan dilatasi dan relaksasi pembuluh
arteri. Secara berasamaan, histamin juga disekresi dari sel mast untuk
bertindak sebagai vasodilator, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,
memfasilitasi masuknya sel-sel inflamasi ke dalam ruang eksta-seluler
disekitar luka. Penjelasan di atas akan tampak sebagai rubor, kalor, dolor, dan
tumor di tempat terjadinya luka.22
19
Kehilangan darah lebih lanjut juga dicegah melalu pembentukan bekuan
yang dicapai melalui 3 mekanisme kunci:22

Jalur intrinsik dari kaskade pembekuan (jalur aktivasi kontak) –
kerusakan endotel sebagai akibat dari cedera jaringan akan
mengekspose jaringan sub-endotel sampai ke darah yang
menyebabkan aktivasi faktor XII, hal ini memulai kaskade
pemecahan proteolitik, di mana akan mengaktivasi faktor X yang
mengubah protombin menjadi trombin yang menyebabkan
perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin nanti yang akan
membentukk jala fibrin.

Jalur ekstrinsik dari kaskade pembekuan (jalur faktor jaringan) –
kerusakan endotel menyebabkan tereksposnya faktor jaringan
(ditemukan di banyak sel) ke sirkulasi darah. Hasilnya,
teraktivasinya faktor VII dan sisanya dari jalur ekstrinsik akhirnya
menyebabkan aktivasi trombin.18

Aktivasi platelet – setelah aktivasi trombin, tromboksan atau
adenosin difosfat (ADP), trombosit mengalami perubahan
morfologi. Platelet yang aktif melekat dan menggumpal di tempat
tereksposnya kolagen untuk membentuk sumbat trombosit dan
menghentikan perdarahan sementara. Sumbat diperkuat oleh fibrin
dan faktor von Willeband serta filmen aktin dan miosin di dalam
trombosit.22
Platelet berperan penting selama proses penyembuhan luka, bukan hanya
untuk membentuk bekuan, tetapi juga untuk produksi berbagai faktor
pertumbuhan dan sitokin yang akan melanjutkan regulasi dari kaskade
penyembuhan. Sinyal trombosit sejumlah 300 lebih telah diisolasi dari
platelet yang akitf, dimana akan mempengaruhi dan memodulasi fungsi
platelet lain, leukosit, dan sel endotel. Contoh faktor pertumbuhan yang
terlibat pada proses penyembuhan luka antara lain seperti gambar di bawah,
faktor yang diberikan tanda melingkar terlibat dalam pembentukan
neovaskularisasi saat fase proliferasi.22
20
Gambar 2.9 Faktor pertumbuhan yang terlibat pada proses penyembuhan luka22
Sumber: Alistair and Clare-Ellen, The Physiology of Woud Healing. 2011
2. Fase inflamasi
Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mencegah infeksi. Terlepas dari
etiologi luka, pertahanan mekanik digaris terdepan yang melawan masuknya
mikoorganisme tidak lagi utuh. Neutrofil, sebagai “responder pertama”
adalah sel yang sangat motil yang menginfiltrasi luka dalam waktu satu jam
dari kerusakan dimulai, dan bermigrasi berkelanjutan dalam 48 jam
pertama.22
Neutrofil
mempunyai
3
mekanisme
dalam
menghancurkan
mikroorganisme dan debris. Pertama, neutrofil bisa langsung memakan dan
menghancurkan partikel asing, proses yang disebut fagositosis. Kedua,
neutrofil dan mendegranulasi dan mensekresi berbagai macam zat toksik
(lactoferin, katapsin, dan neutrofil elastase) yang akan meghancurkan bakteri
dan host jaringan mati. Oksigen radikal bebas diproduksi sebagai produk
sampingan dari aktivitas neutrofil yang dikenal bersifat antibakteri tetapi juga
dapat membersihkan luka jika bergabung dengan klorin. Neutrofil nantinya
setelah selesai menjalankan tugas akan mengalami apoptosis, kulit yang
kering di atas luka akan difagosit oleh makrofag.22
21
Makrofag adalah sel fagosit yang sangat besar, dan kadanya akan
memuncak dalam 48-72 setelah infeksi. Sel yang terlibat dalam penyembuhan
luka dirangkum dalam tabel dibawah ini:22
Gambar 2.10 Sel yang berperan dalam penyembuhan luka22
Sumber: Alistair and Clare-Ellen, The Physiology of Woud Healing. 2011
Fase inflamasi akan terus berlangsung selama proses tersebut diperlukan,
memastikan bahwa semua bakteri dan debris dari luka semua sudah bersih.
Inflamasi berkepanjangan bisa terjadi untuk kerusakan jaringan yang luas,
proses proliferasi yang tertunda mengakibatkan pembentukan luka kronis.22
Akhir inflamasi kronik adalah bisa terjadi proses penyembuhan yang
berujung pada terbentuknya jaringan parut atau terjadi regenerasi yang bisa
kembali normal.23
22
Inflamasi akut
Pembersihan
mediator dan sel
inflamasi akut
fungsi normal
-Perubahan vaskular
-Rekrutmen neutrofil
-Mediator
Perbaikan
Cedera
-TraumaInfeksi
bakteri
-Toksik
Abses
Progresif
Penyembuhan
Penyembuhan
Cedera
-Infeksi virusinfeks kronik
-penyakit
autoimun
Penyembuhan
Fibrosiskehilangan
fungsi
Inflamasi kronik
angiogenesis infiltrasi
sel mononuklear dan
skar
Gambar 2.11 Hasil inflamasi akut23
Sumber: Kumar, Pathology Robbins 2007
3. Fase proliferasi
Setelah stimulus cedera berhenti, hemostasis telah dicapai, dan respon
inflamasi seimbang, luka bersih dari debris, fase proliferasi dimulai untuk
memperbaiki defek. Proses yang kompleks ini menggabungkan pembentukan
neovaskularisasi,
pembentukan
jaringan
granulasi,
deposisi
kolagen,
epitelisasi, dan retraksi luka yang terjadi secara bersamaan.22

Angiogenesis
Angiogenesis dipicu saat terbentuk sumbat platelet yang
mensekresi TGF-ß, platelet-derived growth factor (PDGF), dan
fibroblast growth factor (FGF). Respon untuk hipoksia adalah
sekresi vascular endothelial growth factor (VEGF), dimana
penggabungannya dengan sitokin lain akan meginduksi sel endotel
untuk memicu pembentukan neovaskulaisasi dan perbaikan
23
pembuluh darah yang rusak. Awalnya pusat luka relatif avaskular
karena hanya bergantung semata-mata dari difusi kapiler yang
tidak
rusak
di
tepi
luka.
Sebagai
hasil
pembentukan
neovaskularisasi, jaringan pembuluh darah yang kaya akan kapiler
terbentuk di seluruh luka dari cabang pembuluh sehat.22
Pembentukan
pembuluh
darah
melalui
dua
proses:
vaskulogenesis prekursornya oleh sel endotel (angioblas) dan
angiogenesis, pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya akan
mengeluarkan tunas kapiler untuk membentuk pembuluh darah
baru.24 Tahap (1) Degradasi membran basalis dan matriks
ekstraseluler (ECM) (2) Migrasi endotel menuju suatu rangsang
angiogenik (3) Proliferasi endotel dibelakang ujung terdepan sel
yang migrasi (mitosis); (4) Pengaturan dan maturasi, rekrutmen
perisit pembuluh darah atau sel otot polos (5) Peningkatan
permeabilitas
karena
celah
interseluler
dan
meningkatnya
transitosis. Adanya peningkatan permeabilitas memungkinkan
terjadinya deposisi protein plasma di dalam matriks ekstraseluler
dan menyediakan stroma cadangan untuk pertumbuhan fibroblas
dan sel endotel kearah dalam; peningkatan ini juga menimbulkan
edema yang terjadi pada jaringan granulasi.23
Gambar 2.12 Langkah-langkah proses angiogenesis23
Sumber: Kumar, Pathology Robbins 2007

Migrasi fibroblas
24
Setelah terjadinya luka, fibroblas yang distimulasi untuk
tumbuh oleh faktor pertumbuhan yang disekresi oleh bekuan
platelet akan bermigrasi ke tempat luka (terutama oleh TGF-ß daan
PDGF). Hari ke-3, luka kaya fibroblas yang berada di atas protein
matriks ekstra-seluler (hialuronat, fibronektin, dan proteoglikan)
dan berikutnya produksi kolagen dan fibronektin. Jaringan fibrosa
dan pembuluh darah yang menggantikan gumpalan di tempat luka
disebut jaringan granulasi.22
Jaringan granulasi mengandung kolagen dengan proporsi yang
paling dominan kolagen tipe 3 yang terlihat pada jaringan tidak
luka. Setelah matriks yang mengisi luka cukup, fibroblas berubah
menjadi
fenotip
miofibroblas
dan
berkembang
menjadi
pseudopodia. Hal itu memungkinkan miofibroblas berhubungan
dengan protein fibronektin dan kolagen sekitar dan membantu
dalam kontraksi luka.22
Kolagen disintesis oleh fibroblas, yang merupakan komponen
kunci dalam memberikan kekuatan terhadap jaringan. Pada luka
tertutup deposisi kolagen maksimal 5 hari dan sering dapat teraba
di bawah kulit sebagai “bubungan luka”. Ketika bubungan ini tidak
teraba, hal ini mengindikasikan bahwa luka berisiko untuk pecah.
Produksi berlebih dari kolagen akan menjadi jaringan parut
hipertrofik.22

Epitelisasi
Sel epitel bermigrasi dari tepi luka secepat mungkin setelah
terjadinya luka sampai sel lengkap menutup luka dan menempel
pada matriks di bawah. Proses embriologi, disebut ephitelialmesechymal transtition (EMT), memungkinkan sel epitel mennjadi
motil dan migrasi di seluruh permukaan luka. Luka yang
penutupannya primer, fase ini hanya berlangsung sempurna dalam
24 jam. Luka yang sembuh secara sekunder, area yang epitelnya
sedikit bisa menjadi luas dan luka harus berkontraksi secara
signifikan
sebelum
proses
epitelisasi
dapat
diselesaikan.
25
Pencangkokan kulit bisa menutupi cacat ini dan kasus ini juga
jarang terjadi.22

Kontraksi luka
Dimulai 7 hari setelah terjadi cedera, dimediasi terutama oleh
miofibroblas. Interaksi antara aktin dan miosin menarik sel tubuh
menutup
bersama
penurunan
luas
jaringan
yang
butuh
penyembuhan. Kontraksi dipengaruhi faktor termasuk betuk luka,
dengan luka linear kontraksinya cepat dan kontraksi lambat pada
luka sirkular.22
4. Fase remodeling
Tahap akhir dari penyembuhan luka memakan waktu hampir 2 tahun dan
hasil hasilnya adalah pembentukan epitel normal dan maturasi jaringan
parut.22 Tujuan fase remodeling adalah keseimbangan antara sintesis dan
degradasi yang akan menjadikannya bentuk normal.23 Kolagen dan protein
lainnya yang mendeposit luka menjadi bentuk yang sempurna, akhirnya
keseluruhan akan terlihat seperti jaringan yang tidak cedera (penggantian
kolagen tipe 1 menjadi tipe 3). Jaringan parut, tingkat vaskularisasinya
menurun, dan perubahan bekas luka merah muda menjadi abu-abu seiring
waktu.22
Gambar 2.13 Fase penyembuhan luka menyeluruh25
Sumber: Stuart and David, Basic Wound Healin
26
Tabel 2.3 Penyembuhan Luka23
Waktu
Proses
24 jam
Neutrofil muncul
24 – 48 jam
-Epitel kedua sisi migrasi dan proliferasi di
sepanjang dermis dan mendepositkan komponen
membran basalis selama migrasi
-Terbentuk satu lapisan epitel tipis
Hari ke-3
-Neutrofil sebagian besar tergantikan makrofag,
dan jaringan granulasi yang menginvasi ruang
insisi
-Serat kolagen muncul
-Proliferasi epitel berlanjut dan menjadi suatu
lapisan epidermis penutup yang tebal
Hari ke-5
-Puncak neovaskularisasi
-Kolagen
sangat
banyak
dan
mulai
menghubungkan insisi
-Ketebalan epidermis kembali normal
Minggu ke-2
-Kelanjutan penumpukan kolagen dan proliferasi
fibroblas
-Leukosit, edema, dan peningkatan vaskularisasi
berkurang
-Peningkatan deposisi kolagen dalam jaringan
parut bekas insisi
-Regenerasi pembuluh darah
Akhir bulan pertama
-Jaringan parut sebagian besar tanpa disertai sel
radang dan ditutupi oleh epidermis yang normal
-Kekuatan regang pada luka meningkat dengan
seiring waktu
Penyembuhan sekunder terjadi jika luka yang terjadi luas dan lebih
kompleks. Proses regenerasi sel parenkim saja tidak dapat mengembalikan
27
bentuk asli akibatnya terjadi pembentukan jaringan granulasi ke arah dalam
tepi luka, penumpukan ECM, dan pembentukan jaringan parut. Penyembuhan
ini disebut penyembuhan sekunder. Perbedaan penyembuhan primer dan
sekunder:23

Secara intrinsik, ketika jaringan yang rusak luasakanmempunyai debris
nekrotik, eksudat, dan fibrin yang lebih besar yang harus dihilangkan.

Jaringan granulasi yang terbentuk akan semakin besar untuk mengisi
kekosongan yang lebih besar. Secara umum jaringan granulasi yang besar
akan menimbulkan jaringan parut yang lebih besar.

Penyembuhan sekunder menunjukkan fenomena kontraksi luka. Sehingga
ukuran luka bisa berkurang luasnya.
Neutrofil
24 jam
Bekuan
Fibroblas
3-7 hari
Kapiler
baru
Berminggu
-minggu
Penyatuan
fibrosa
Kontraksi
luka
Gambar 2.14 Penyembuhan luka primer (kiri) dan luka sekunder (kanan)23
Sumber: Kumar, Pathology Robbins 2007
2.1.3.6 Penanganan luka bakar
 Pertolongan pertama26
Tujuan: 1. Stop proses kebakaran
28
2. Luka bakar didinginkan
1. Hentikan proses kebakaran
- Pasien dijauhkan dari sumer cedera
- Jika berada di api STOP, JATUHKAN, TUTUP wajah, BERGULING
- Cegah melukai diri sendiri selama menolong tindakan di atas
2. Luka bakar didinginkan
- Luka bakar dialirkan air dingin minimal 20 menit dengan suhu air antara
8-250C
- Luka bakar efektif dialirkan air dingin hanya 3 jam dari awal terjadinya
luka
Pasien saat akan dipindahkan ke rumah sakit, cegah kehilangan panas dan
cairan, juga infeksi dengan menggunakan bahan dari plastik.26
3. Tiba di Rumah Sakit
- Tempat pasien kering, steril, dan hangat
- Tetap lapisi bagian yang luka dengan plastik
- Elevasikan anggota tubuh yang terkena luka
Harapan: proses kebakaran akan berhenti dan luka bakar menjadi dingin.26
 Tatalaksana nyeri
Tujuan: 1. Mengurangi rasa nyeri yang membuat pasien tidak nyaman
2.Meminimalisasi risiko berlebih atau tidak adekuat obat anti-nyeri26
1. Penilaian
- Seberapa nyeri yang pasien rasakan? Nilai dengan menggunakan Visual
Analoge Scale (VAS) yaitu melihat ekspresi pasien interval 3-5 menit,
kemudian catat hasil
- Berapa banyak anti-nyeri yang sudah pasien dapat sebelum tiba di rumah
sakit?
- Apakan pasien menggunakan obat ilegal dan alkohol?
- Ukur berat badan pasien sehingga bisa menentukan obat anti-nyeri yang
tepat
29
2. Penanganan akut
-
Dosis awal diberikan morfin 2.5-10 mg untuk dewasa dan 0.1-0.2
mg/kgBB untuk anak-anak
- Dosis harus dititrasi dan lihat respon terapi pasien, termasuk frekuensi
napas
-
Pada anak- anak rasa nyeri bisa dialihkan dengan menonton televisi,
mendengarkan radio atau teknik yang lain yang bisa dilakukan
-
Ikuti ptotokol yang sesuai dengan rumah sakit setempat26
Harapan: nyeri yang dirasakan sesuai level yang bisa pasien terima26
2.1.4
Tanaman Binahong
Tanaman binahong atau dalam bahasa latin (Anredera cordifollia Tenore)
Steenis). Merupakan tanaman medis yang ditemukan sudah sejak lama.
Tanaman ini dibudidayakan secara luas ditemukan di daerah beriklim tropis.
Asal daun ini dari Brazil yang dikenal dengan sebutan Madeira vine atau
Mignonette vine.8
Klasifikasi taksonomi:27
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Caryophyllales
Suku
: Basellaceae
Marga
: Anredera
Jenis
: Anredera cordifollia (Tenore) Steenis
Di Indonesia lebih dikenal dengan binahong. Daun ini tumbuh secara
menjalar, berumur panjang, dan tingginya bisa mencapai 6 m. Memiliki
batang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah, bagiandalam solid,
permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak
daun dengan bentuk tak baraturan dan teksturnya kasar. Mempunyai daun
30
tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun berseling, berwarna hijau,
berbentuk seperti jantung, panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian daun tipis
lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan licin, dan bisa
dimakan. Bunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di
ketiak daun, mahkota bewarna krem ke putih-putihan berjumlah lima helai
tidak berlekatan, panjang helai mahkota 0,5-1 cm, berbau harum. Akar
berbentuk rimpang dan berdaging lunak.27
Gambar 2.15 Daun binahong27
Sumber: Badan POM RI-Direktorat Obat Asli Indonesia 2008
Masyarakat Jawa sudah menggunakan binahong ini untuk menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Tetapi sayangnya masih sedikit penelitian yang
dilakukan tentang obat herbal ini. Biasanya mereka menggunakan binahong
ini untuk menyembuhkan diabetes melitus, tipes, hipertensi, hemoroid,
tuberculosis, reumatik, asam urat, asma, meningkatkan volume urin untuk
diuretik, penyembuhan setelah melahirkan, penyembuhan luka dan setelah
sirkumsisi, kolitis, diare, gastritis dan kanker.8
Binahong diketahui mempunyai efek terhadap antibakterial, antiobesitas,
antihipoglikemik, antimutagenik, antiviral, antidiabetik, antiinflamasi,dan
sebagainya. Pada saat itu dilakukan penelitian untuk melihat kandungan
dalam binahong yang bisa digunakan sebagai antibakterial, antiobesitas, dan
sebagainya, sampai akhirnya ditemukan bahwa binahong mengandung
saponin, alkaloids, polyphenols, flavonoid and mono polysaccharide
31
termasuk juga L-arabinose, D-galaktose, L-rhamnose, D-glucose, dimana
semuanya merupakan komponen perlekatan rantai dengan jumlah terbanyak.
Dari daun, tangkai, akar, dan bunganya sendiri mengandung banyak
flavonoid yang berperan sebagai efek antimikroba. Flavonid juga berfungsi
sebagai antibiotik sprektrum luas. Daun binahong mempunyai aktivitas
antioksidan, menyerap asam, tinggi campuran fenol, dan campuran ini
mempunyai kemampuan untuk melawan bakteri gram positif dan gram
negatif dan digunakan untuk pengobatan penyakit menular seksual.8
Saponin ditemukan pada bagian akar dan daun. Saponin bisa menimbulkan
efek antiimikroba. Adanya saponin ini sebagai penstabil larutan koloid.
Fungsinya sebagai pembersih, yang bisa menstimulasi formasi kolagen.
Protein berperan dalam proses penyembuhan luka.8 Flavonoid yang jenis
quercetin ditemukandalam tanaman binahong. Quercetinadalahflavonoid
yang mempunyai beberapa aktivitas farmakologi, di antaranya efek antiinflamasi dan anti-oksidan. Aktifitas anti-inflamasi terjadi melalui berbagai
mekanisme antara lain melalui penghambatan produksi nitrat oksida (NO)
dan prostaglandin E2 (PGE2) yang diinduksi oleh lipopolisakarida (LPS)
pada sel makrofag, serta penghambatan enzim inducible nitric oxide synthase
(iNOS) dan siklooksigenase – 2 (COX-2).28
Didugaquercetinjuga mampu mencegah kerusakan oksidatif dan kematian
sel dengan mekanisme menangkap radikal bebas, mencegah terjadinya proses
peroksidasi lemak, menghelat ion logam dan menghancurkan rantai reaksi
radikal. Studi tentang aplikasi topikal senyawa seperti quercetin yang
memiliki kemampuan membersihkan radikal telah terbukti bermakna
meningkatkan penyembuhan luka dan melindungi jaringan dari kerusakan
oksidatif. Quercetinjuga memiliki fungsi meningkatkan angiogenesis dengan
cara menghambat HIF-prolyl hydrocylase yang mengakibatkan aktivasi HIF1dan induksi VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang merupakan
salah satu faktor terpenting dalam proses angiogenesis.28
Flavonoid diketahui memiliki fungsi untuk mengurangi peroksidasi pada
lipid dengan cara mencegah atau memperlambat timbulnya nekrosis sel, dan
32
juga meningkatkan vaskularisasi yang dapat menghambat perokdiasi lipid
yang juga dipercaya dapat meningkatkan viabilitas serat kolagen serta
meningkatkan kekuatannya, sirkulasi darah, mencegah kerusakan sel dan
meningkatkan sintesis DNA. Kandungan zat astringen dan antimikroba dalam
flavonoid berkontribusi terhadap kontraksi luka dan meningkatkan tingkat
epitelialisasi. Antioksidan yang dimiliki flavonoid juga dapat berkontribusi
untuk penyembuhan luka.8
1.1.5
Silver sulfadiazin
Silver sudah digunakan sebagai obat sejak zaman Hipocrates, yang dalam
tulisannya membahas tentang “Silver sebagai komponen perwatan luka”.
Abad ke-19 sampai ke-20, ahli bedah rutin menggunakan silver untuk
mengurangi risiko peradangan setelah operasi dan infeksi. Pada perang dunia
I, tentara menggunakan daun silver untuk menutup luka, dan pada perang
dunia II penggunaan silver sebagai antimikroba menurun karena munculnya
antibiotik. Hari ini silver telah digunakan kembali untuk pencegahan dan
pengobatan luka, bisul, dan luka bakar.29
Silver mengandung berbagai agen antibakteri yang berbeda, termasuk
topikal krim, salep dan solusio: silver nitart, silver sulfadiazine, dan silver
sulfadiazin dengan nitrat serium. Silver membutuhkan ionisasi untuk
sepenuhnya menunjukkan efek antimikroba. Ion silver bermuatan positif
mudah mengikat ion protein bermuatan negatif cairan luka, sehingga
menghambat pengiriman ion silver pada dasar luka.29 Ketika terkena cairan
luar
beberapa ion terlepas dari senyawa.
Ion silver sangat reaktif dan
mempengaruhi beberapa tempat, akhirnya menyebabkan kematian sel bakteri.
Ion silver akan mengikat membran sel bakteri, menghancurkan dinding sel
dan menyebabkan kebocoran sel. Ion silver berpindah ke sel dan mengganggu
fungsi sel dengan mengikat protein dan mengganggu produksi energi, fungsi
enzim, dan replikasi sel.30
Penggunaan silver jauh menurun dengan munculnya antibiotik. Pada 1970an, Fox mengkombinasikan nitrat silver dengan antibiotik natrium
33
sulfadiazin. Formulasi ini dikenal dengan silver sulfadiazin, keuntungannya
dari efek penghambat dari silver dan antibakteri dari sulfadiazin. Awalnya
silver sulfadiazin berberntuk salep, namun kemudian masuk kategori krim
hidrofilik. Meskipun silver sulfadiazin strandar emas pengobatan luka bakar,
studi terbaru menunjukkan bahwa silver sulfadiazin dapat menghambat
penyembuhan luka.29
Bukti yang menunjukkan penggunaansilver sulfadiazin dalam luka bakar
masih
sedikit.
Bukti
sementara
ditemukan
bahwa
Silver
sulfadiazinmeningkatkan waktu penyembuhan – luka akan sembuh lama jika
diberikan obat ini, jadi obat ini tidak direkomendasikan oleh penulis dari
tinjauan cochrane.31
2.1.6
Bentuk Sediaan Obat
Bentuk sediaan obat disiapkan untuk kemungkinan setiap penggunannya
dan dibuat formulasi sediaan yang cocok sehingga reaksi terapi yang didapat
dapat maksimal.32 Bentuk sediaan obat berbagai macam bergantung pada
bahan obat (stabilitas, bioavailabilitas, sifat toksik, kemudahan serta lama
pemakaiannya), penerima obat (usia, target obat sistemik atau lokal saja).
Bioavailabilitas adalah gambaran besar dan laju absorbsi obat dari suatu
bentuk sediaan. Bioavailabilitas dapat menentukan jumlah obat yang
diabsorbsi, kecepatan obat tersebut untuk diabsorbsi, lamanya obat tersebut
berada di cairan tubuh, dan hubungan anatara kadar obat dalam darah dengan
keefektifan dan efek toksik suatu obat.32
Salep adalah sediaan setengah padat yang aplikasinya pada daerah luar
atau membran mukosa. Salep mengandung kurang dari 20% air dengan basis
hidrokarbon (vaselin album dan vaselin flavum) dan basis absorbsi (adeps
lanae dan lanolin). Basis hidrokarbon membantu obat bisa berkontak lama
dengan kulit dan juga sebagai penutup luka.33
Suspensi adalah sediaan obat yang terbagi dengan halus yang ditahan
dalam suspensi dengan menggunakan pembawa yang sesuai. Suspensi oral
biasanya menggunakan pembawa yang mengandung air. Bentuk sediaan
34
suspensi memiliki keuntungan dibanding dengan tablet atau kapsul karena
obat masuk ke dalam tubuh sebagai butir-butir halus dan siap untuk
memasuki proses melarut setelah pemberian.32 Penggunaan secara oral
memiliki kekurangan yakni bioavailabilitasnya yang rendah. Bioavailabilitas
sendiri bergantung pada beberapa faktor yakni kelarutan air, permeabilitas
obat, metabolisme lintas, dan lain sebagainya. Kelarutan air adalah faktor
yang paling berperan.34 Ekstrak daun binahong disuspensikan menggunakan
pelarut NaCMC 1%.35 NaCMC berfungsi sebagai penstabil suspensi,
pengental, dan bahan pengikat.36
Farmakokinetik adalah nasib obat dalam tubuh.37 Prosesnya terbagi
menjadi 4 yakni absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Absorbsi
melibatkan 3 langkah. Petama disintergrasi, bentuk obat harus diintegrasikan
terlebih dahulu sebelum obat bisa diabsorbsi. Disintergrasi tidak dilakukan
untuk obat sedian cair atau obat yang didisintergrasikan di luar tubuh misal
didisintegrasikan di dalam gelas air sebelum ditelan. Disintegrasi dilakukan
pada obat bentuk sediaan tablet, kapsul dan supositoria.38 Kedua disolusio,
adalah proses melarutnya obat dalam cairan tubuh.32 Suspensi, tablet dan
kapsul harus melalui tahap disolusio terlebih dahulu, ketika proses disolusio
terjadi molekul obat harus melewati membran permeabel yang selektif di
lapisan saluran cerna untuk bisa sampai ke pembuluh darah, hal ini
bergantung dari bahan fisik dan kimia obat.39 Ketiga absorpsi, dari cairan
tubuh obat melewati dinding kapiler dan akan diabsorbsi ke sistemik.38
35
Gambar 2.16 Absorpsi obat di epitel saluran cerna39
Sumber: Pharmokinetics: The Absorption, Distribution, and Excretion of Drugs. Chapter 3
Secara skematik proses absorpsi obat secara oral tergambar dibawah:32&37
Oral
Absorpsi di saluran
pencernaan
Jaringan
Pembuluh darah
kapiler
Darah sistemik
Pembuluh darah
mesenterik
Hati
Vena porta
Obat sediaan topikal tidak memerlukan proses disintegrasi, akan secara
cepat terdisolusio dalam cairan jaringan di kulit, bagaimanapun obat topikal
tidak menyempurnakan proses absorbsi sampai akhiri dan tidak memerlukan
distribusi ke aliran sistemik. Efek terapetiknya hanya lokal di tempat
pemberian obat.38
36
2.2
Kerangka Teori
Ekstrak daun binahong
Mengandung
flavonoid (Quercetin)
Vitamin C
Menghambat HIFprolylhydrocylase
Aktifasi HIF-1
(Hypoxia-Inducible
Factor-1)
Aktivasi transkripsi
beberapa gen angiogenik
dan reseptornya. contoh:
VEGF
Terfasilitasinya
rekrutmen sel endotel
di tempat yang
hipoksia
 proliferasi sel
endotel dengan
meregulasi gen yang
terlibat dalam siklus sel
dan replikasi DNA
Stimulasi
pembentukan
neovaskularisasi
Salah satu faktor
penyembuhan
luka lebih cepat
37
2.3
Kerangka Konsep
Ekstrakdaun binahong
konsentrasi 40% sediaan
salep dan ekstrak daun
binahong sediaan oral
Paparan luka bakar 30 detik
menggunakan plat besi
Proses peyembuhan luka
Pembentukan
neovaskularisasi
38
2.4 Definisi Operasional
Tabel 2.4Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Alat ukur
Hasil ukur
operasional
1.
Neovaskularisasi
Pembuluh
darah
ukur
-Mikroskop
yang Olympus
terdapat
Skala
di BX41
jaringan
-Pogram
granulasi
Adobe
Jumlah
Numerik
neovaskularisasi
Photoshop
CS3
2.
Salep ekstrak
Salep ekstrak
daun binahong
daun
-
-
Kategorik
-
-
Kategorik
-
-
Kategorik
binahong
dengan
konsentrasi
ekstrak daun
binahong
40%
3.
Ekstrak
daun Ekstrak daun
binahong sediaan binahong
oral
dengan etanol
96% dosis
100
mg/kgBB
4.
Basis salep
Salep
yang
berisi vaselin
album
dan
adeps
lanae
tanpa ekstrak
daun
39
binahong
4.
Kontrol positif
Krim
silver
sulfadiazin
-
-
Kategorik
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1.1
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian desain eksperimental bersifat analitik
dengan menggunakan evaluasi histopatologi untuk melihat pengaruh ekstrak
daun binahong terhadap pembentukan neovaskularisasi pada luka bakar tikus
Sprague dawley.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Diawali determinasi
tanaman binahong di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor,
Jawa Barat. Kemudian pembuatan ekstraks daun binahong yang dilakukan di
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) Bogor, Jawa Barat.
Pembuatan salep dan oral ekstrak daun binahong di laboratorium Biokimia
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Perlakuan terhadap hewan percobaan
dilakukan di Animal House FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pembuatan sediaan preparat dilakukan di laboratorium Patologi Cito Depok.
Hasil sediaan dilakukan pengamatan di laboratorium Patologi dan
Parasitologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian
dilakukan pada bulan Juni- Juli 2016.
3.3.
Bahan Uji
Sebanyak 600 gram daun binahong yang didapatkan dari penjual tanaman
obat di daerah Bogor, Jawa Barat. Kemudian daun dideterminasi. Determinasi
dilakukan untuk mengurangi kesalahan identitas sampel. Hasil determinasi
menunjukan bahwa sampel yangdiuji benar adalah spesies Anredera
cordifolia(Tenore) Steenis. Kemudian dilakukan proses ekstraksi di
BALITRO, Bogor didapatkan ekstrak kental, kemudian di keringkan di
BATAN Jakarta Selatan dengan hasil berupa ekstrak kering.
40
41
3.4
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasipenelitianini adalah tikus strain Sprague dawley yang didapatkan
dari penyedia hewan coba (iRATCo) yang sudah disertakan dengan surat
keterangan sehat dari iRATCo.
1.4.1
Besar Sampel
Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah 5 kelompok dan
masing-masing jumlah kelompok ditentukan berdasarkan rumus Federer:40
(N-1) (T-1) ≥ 15 , dengan N= Jumlah sampel dan T= jumlah kelompok.
 (N-1) (5-1)
≥ 15
 (N-1) (4)
≥ 15
 (N-1)
≥ 15/4
 N -1
≥ 3,75
 N
≥ 4,75 (bulatkan 5)
Dari rumus tersebut didapatkan bahwa sampel minimal masing-masing
kelompok adalah 5 hewan coba.
1.4.2
Kriteria Inklusi
Tikus Sprague dawley jenis kelamin jantan, tidak cacat dengan berat tikus
150-250 gram.
1.4.3
Kriteria Eksklusi
Tikus Sprague dawley yang mengalami bekas luka di daerah dorsal atau
memiliki kelainan kulit maupun organ lainnya.
42
3.4.4
Pembagian Kelompok Sampel
Terdapat 5 kelompok pada penelitian ini. Kelompok 1 adalah tikus yang
diberikan salep ekstrak daun binahong dengan konsentrasi 40%. Kelompok 2
adalah tikus yang diberikan ekstrak daun binahong sediaan oral dengan dosis
pemberian 100 mg/kgBB/hari. Kelompok 3 adalah tikus yang diberikan salep
ekstrak daun konsentrasi 40% dan ekstrak daun binahong sediaan oral dengan
dosis pemberian 100 mg/kgBB/hari. Kelompok 4 adalah tikus yang diberikan
kontrol positif berupa krim silversulfadiazine. Kelompok 5 adalah tikus yang
diberikan kontrol negatif berupa adeps lanae dan vaseline album tanpa
campuran ekstrak daun binahong.
1.5
Alat dan Bahan Penelitian
1.5.1 Alat penelitian
1. Kandang tikus
2. Tempat minum dan makanan tikus
3. Serbuk kayu untuk tikus
4. Sabun dan alat pembersih kandang tikus
5. Penutup leher yang terbuat dari kertas rontgen
6. Plat besi berukuran 4x2 cm
7. Tabung untuk anastesi
8. Alat bedah minor dan pisau cukur
9. Gelas dan alat pemanas air
10. Lumpang dan alu
11. Timbangan elektronik
12. Sarung tangan dan masker
13.Termometer
14. Mikroskop, komputer dan DVD RW
15. Sonde dan spuit
16. Kuas
17. Kertas karton
18. Magnetic stirrer
43
3.5.2 Bahan penelitian
1. Ekstrak daun binahong
2. Adeps lanae
3. Vaseline album
4. Eter
5. Formalin
6. NaCl
7. Na CMC
8. Akuades
3.6
Adaptasi dan Pemeliharaan Hewan Sampel
Pada saat tikus pertama kali datang di FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dari penyedia hewan coba (iRATCo) dilakukan adaptasi selama satu
minggu di Animal House FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilakukan
pemantauan berat badannya, kebersihan kandang, dan pemberian makanan
dan minuman secara ad libitum.
1.7
Pembuatan Sediaan Salep
Setelah mendapatkan ekstrak daun binahong dari BALITRO, Bogor dan
hasil ekstrak kering dari BATAN, Jakarta Selatan dilakukan pembuatan salep
di laboratorium Biokimia di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ekstrak
daun binahong ditambahkan basis berupa adeps lanae dan vaselin album.
Pertama- tama panaskan terlebih dahulu lumpang ada alu untuk proses
sterilisasi kedalam oven dengan suhu 500C, setelah itu keluarkan dan mulai
masukkan adeps lanae dan aduk secara perlahan sampai merata. Tambahkan
vaselin album dan aduk kembali sampai semua tercampur secara homogen.
Selanjutnya tambahkan ekstrak daun binahong dan aduk kembali.
44
Formula standar dasar salep menurut Agoes Goeswin (2006) ialah:41
R/ Adeps Lanae
15 g
Vaselin Album
85 g
m.f salep
100 g
Formula salep diperkecil menjadi:
R/ Adeps Lanae
7.5 g
Vaselin Album
42.5 g
m.f salep
50
g
Hasil yang didapat untuk salep ekstrak daun binahong 40% adalah:
R/ Ekstrak daun binahong
15
g
Dasar salep
22.5 g
m.f salep
37.5 g
Jadi dibutuhkan sebanyak 37.5 gram.
1.8
Pembuatan Sediaan Oral
Sebanyak 1 gram bubuk NaCMC dilarutkan dalam 100 ml akuades
menggunakan magnetic stirrer. Dosis pemberian ekstrak adalah 100
mg/kgBB.42 Pertama hitung terlebih dahulu berat badan masing-masing tikus,
kemudian hasilnya dirata-ratakan. Hasil rata-rata berat badan kemudian
dikalikan dengan rumus pemberian dosis oral, dan didapatkan dosis oral satu
kali/hari. Sebanyak 10 mg ekstrak akan ditambahkan 0.1 ml NaCMC,
kemudian hitung jumlah ml NaCMC yang ditambahkan dalam ekstrak daun
binahong dengan membuat perbandingan hasil dosis oral satu kali/hari.
a). Kelompok oral:
BB rata-rata tikus= 160.18 gram
Dosis oral= 100 mg/kgBB 100 mg/1000 gramBB
= 1 mg/10 gramBB
Jumlah = dosis x BB rata-rata
45
=1 mg/10 gramBB x 160.18 gram
=16.018 mg
Jadi setiap tikus 1 hari mendapatkan 16.018 mg ekstrak
NaCMC 1% 1 gram NaCMC dilarutkan dalam 100 ml akuades
10 mg ekstrak= 0.1 ml NaCMC
16.018 mg
= 0.16 ml NaCMC
Jadi 16.018 mg ekstrak daun binahong dilarutkan dalam 0.16 ml NaCMC
b). Kelompok salep + oral
BB rata-rata tikus= 172,59 gram
Dosis oral= 100 mg/kgBB 100 mg/1000 gramBB
= 1 mg/10 gramBB
Jumlah = dosis x BB rata-rata
=1 mg/10 gramBB x 172,59 gram
=17.259 mg
Jadi setiap tikus 1 hari mendapatkan17.259 mg ekstrak
NaCMC 1% 1 gram NaCMC dilarutkan dalam 100 ml akuades
10 mg ekstrak= 0.1 ml NaCMC
17.259 mg
= 0.17 ml NaCMC
Jadi 17.259 mg ekstrak daun binahong dilarutkan dalam 0.17 ml NaCMC
1.9
Identifikasi Variabel
1.9.1
Varibel Bebas
Ekstrak daun binahong Anredera cordifolia (Tenore) Steenis
dengan konsentrasi 40%
1.9.2
Variabel Terikat
Jumlah neovaskularisasi
3.10
Perlakuan Luka Bakar Pada Tikus
Pertama sebelum dilakukan perlakuan, tikus dimasukkan dalam tabung
yang berisikan eter untuk proses anastesi. Hal tersebut dilakukan sesaat saja
agar memudahkan proses pencukuran rambut. Rambut pada bagian punggung
46
dicukur dengan menggunakan mesin cukur dan diberikan pula foam. Saat
sudah mulai bersih diberikan veet (R) dan ditunggu selama 2-3 menit. Setelah
itu diusapkan alkohol swab utuk membersihkan sisa veet (R). Kemudian tikus
dimasukkan kembali dalam toples. Saat sudah mulai lemas tikus dikeluarkan
dan dilakukan pembuatan luka bakar. Luka bakar dibuat dengan
menggunakan plat besi berukuran 4x2 cm yang dicelupkan kedalam air
dengan suhu mencapai 1000 C. Luka bakar dibuat dengan cara menempelkan
plat besi pada bagian punggung tikus selama 30 detik untuk meminimalisasi
kesalahan perlakuan dilakukan oleh orang yang sama.
3.11
Cara Pemberian Salep Ekstrak Daun Binahong
Setelah dilakukan pembuatan luka bakar pada bagian punggung proses
selanjutnya adalah pemberian terapi salep ekstrak daun binahong dengan
menggunakan cat kuas untuk aplikasinya. Pemberian salep dilakukan dua kali
sehari yakni pagi dan sore selama 5 hari.
3.12
Cara Pemberian Sediaan Oral
Setelah dilakukan pembuatan luka bakar pada bagian pungung proses
selanjutya adalah pemberian ekstrak sediaan oral dengan sonde. Yang
dilakukan sehari sekali pada sore hari selama 5 hari.
3.13
Pengambilan Jaringan
Setelah 5 hari diberikan terapi. Tikus dianastesi total untuk memulai
proses pengambilan jaringan kulit, setelah teranastesi total, bagian kulit yang
terdapat luka dipisahkan dengan bagian kulit yang sehat dengan
menggunakan alat bedah minor. Kemudian kulit direndam sesaat dalam air
NaCl dan setelah itu dibentangkan diatas keras karton kemudian di rendam
dalam formalin 10%, selanjutnya dilakukan pembuatan sediaan preparat di
laboratorium Patologi Cito, Depok.
3.14
Pengamatan Histopatologi
Saat proses pembuatan sediaan preparat selesai dilakukan pengamatan
preparat terhadap jumlah pembentukan neovaskularisasi. Preparat diamati
47
dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40 kali lensa okuler dan
dilakukan pemotretan 10 lapang pandang pada setiap preparat.43 Setelah
semua foto sudah dilakukan pemotretan, selanjutnya dilakukan penghitungan
jumlah pembentukanneovaskularisasi.
3.14.1
Jumlah
Cara Pengukuran
neovaskularisasi
dihitung
seluruhnya
dari
foto
preparat
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Hasil foto disimpan
dan dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung jumlah neovaskularisasi
yang
terbentuk
dari
10
lapang
pandang
yang
berbeda.
Jumlah
neovaskularisasi dari sepuluh lapang pandang kemudian dirata-rata.
3.14.2
Cara Penggunaan Adobe Photoshop
Berikut adalah lankah-langkah yang dilakukan untuk menghitung jumlah
neovaskularisasipada foto preparat:
1. Buka aplikasi Adobe Photoshop CS3
2. Buka foto yang akan dihitung jumlah pembuluh darahnya dengan cara,
klik file, lalu pilih open, pilih foto yang akan dihitung jumlah pembuluh
darahnya
3. Buat garis bantuan (grid line) untuk mempermudah dan meminimalisasi
kesalahan. Tekan Ctrl+K secara bersamaan sehingga muncul tampilan
seperti berikut:
48
Gambar 3.1 Pengaturan gird line pada Adobe Photoshop CS3
Sumber: Print screen dari program Adobe Photoshop CS3
4. Pilih Guide, Grid & slices, sehingga akan muncul tampilan sebagai
berikut:
Gambar 3.2 Pengaturan Guide, Grid & slicespada Adobe Photoshop CS3
Sumber: Print screen dari program Adobe Photoshop CS3
Atur warna garis yang diinginkan dan jarak dari setiap garis, setelah itu
klik OK
5. Tekan Ctrl+K untuk memunculkan gird line
49
Gambar 3.3 Gird line pada Adobe Photoshop CS3
Sumber: Print screen dari program Adobe Photoshop CS3
6. Hitung neovaskularisasi yang terlihat pada foto. Pembuluh darah
ditandai dengan adanya lumen yang dikelilingi oleh sel endotel atau
lumen yang berisi sel darah baik yang terpotong secara melintang atau
memanjang. Perhitungan dimulai dari kotak paling atas kiri ke kotak
bawah kanan. Selanjutnya pembuluh darah dijumlahkan.
3.15
Manajemen Analisis Data Pembentukan Neovaskularisasi
Setelah semua dilakukan perhitungan dilakukan pengolahan data dengan
menggunakan program SPSS versi 16.0. data pada penelitian ini berupa
variabel numerik lebih dari 2 kelompok tidak berpasangan sehingga
menggunakan uji one way ANOVA jika distribusi normal, jika distribusi data
tidak normal maka menggunakan uji nonparametrik yakni uji Kruskall-Walls.
3.16
Etika Penelitian
Penelitian ini sudah mengajukan permohonan etik sampai pada tingkat
kampus dengan menyerahkan proposal penelitian.
50
3.17
Alur kerja penelitian
Persiapan penelitian
Pembelian tikus dari iRATCo
sebanyak 30
Pembelian daun binahong di
toko tanaman obat di Bogor,
Jawa Barat
Mendapatkann surat
keterangan kesehatan tikus
di iRATCo
Determinasi daun di LIPI,
Bogor
Aklimatisasi tikus selama 7
hari di animal house
Ekstraksi daun di BALITRO,
Bogor
Tikus di anastesi
menggunakan eter
Perlakuan luka bakar 30 detik
dengan plat besi berukuran
4x2 cm yang sudah
dipanaskan dalam air
mendidih 1000C
Pembuatan ekstrak kering di
BATAN Jakarta Selatan
Pembuatan ekstrak daun
binahong sediaan salep
konserasi 40% dan oral
Pemberian terapi sesuai
kelompok perlakuan
Pemberian terapi salep
binahong 2 kali sehari dan
sediaan oral satu hari sekali
selama 5 hari
Tikus di anastesi
menggunakan eter
Eksisi kulit dan nekropsi
pada hari ke-6
Pengiriman organ ke
laboratorium Patalogi CITO
Jakarta
Pengamatan sediaan preparat
di laboratorium Parasitologi
FKIK UIN Jakarta
Pengolahan dan analisa data
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Hasil makroskopik yang terlihat pada pelakuan luka bakar tikus Sprague
dawleydengan paparan plat besi selama 30 detik terlihat gambaran kulit yang
berwarna merah.
Gambar 4.1 Gambaran Makroskopik Luka Bakar tikus Sprague dawley
Sumber: Dokumentasi selama proses penelitian
Gambar 4.2 Mikroskopik luka bakar tikus Sprague dawley
Sumber: Foto preparat tikus luka bakar derajat II yang dilihat di bawah
mikroskop
51
52
Pada gambar 4.2 terlihat epidermisnya sudah hilang dan mengenai bagian
dermis tetapi tidak sampai mengenai otot.
Luka bakar kemudian diberikan pengobatan berupa salep ekstrak daun
binahong 40%, ekstrak daun binahong sediaan oral dengan dosis 100
mg/kgBB/hari, kombinasi salep ekstrak daun binahong 40% dan ekstrak daun
binahong sediaan oral dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, krim silver
sulfadiazin (K+) dan basis salep (K-). Semua diberikan selama 5 hari. Untuk
salep dioleskan 2 hari sekali dan oral dilakukan sehari sekali.
Berikut adalah gambaran mikroskopik pembentukan neovaskularisasi pada
luka bakar tikus Sprague dawley dengan paparan 30 detik plat besi terlihat
lumen yang dikelilingi sel endotel dan lumen yang dikelilingi sel darah
merah.
A
B
C
D
53
E
Gambar 4.3 Neovaskularisasi (A) kelompok P1, (B) kelompok P2, (C)
kelompok P3, (D) kelompok P4, dan (E) kelompok P5. Dilihat dengan
perbesaran 400 kali.
Jumlah neovaskularisasi yang terbentuk dari semua kelompok penelitian
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Jumlah neovaskularisasi
Kelompok
N
Perlakuan
Rerata Jumlah
Neovaskularisasi
P1
5
5.32
P2
5
6.64
P3
5
7,36
P4
5
6,68
P5
5
8,8
54
Grafik Rerata Jumlah Neovaskularisasi
Rerata Jumlah Neovaskularisasi
(Jumlah)
12
10
8
6
4
2
5.32
6.64
7.36
6.68
8.8
P1
P2
P3
P4
P5
0
Kelompok Penelitian
Gambar 4.4 Grafik rerata Jumlah Neovaskularisasi
Data yang sudah didapat dilakukan perhitungan statistik menggunakan one
way ANOVA. Hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2 Hasil statistik menggunakan one way ANOVA
Kelompok
N
Mean
P value
P1
5
5.320
0.478
P2
5
6.640
P3
5
7.360
P4
5
6.680
P5
5
8.800
penelitian
Neovaskularisasi
4.2
Pembahasan
Luka baka derajat II mengenai lapisan kulit epidermis dan dermis
superfisial.2 Pembuluh darah kapiler bisa ditemukan pada lapisan dermis
superfisial berbentuk pleksus subpapilar.44
55
Gambar 4.5 Sirkulasi kulit44
Sumber: Faculty of Biological Sciences at Leeds. Webside The Histology Guide.
Pembuluh darah baru berupa kapiler. Saat dilakukan pengamatan secara
histologi kapiler hanya dilapisi oleh selapis sel endotel saja yang terlihat
gepeng, sedangkan pembuluh darah artei dan vena dilapisi oleh tunika.13
Hasil yang terlihat pada gambar 4.4 rerata jumlah neovaskularisasi dapat
disimpulkan bahwa neovaskularisasi yang terbentuk pada kelompok
perlakuan
P5
(kontrol
negatif,
adeps
lanae
dan
vaseline
album
tanpacampuran ekstrak daun binahong) lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok perlakuan yang lain. Basis salep tidak mempunyai bahan aktif
sehingga tidak memiliki
efek antiinflamasi, sehingga pembentukan
neovaskularisasi pada P5 meningkat.
Basis salep yang berbahan dasar lemak dapat membantu obat bisa
berkontak lama dengan kulit dan juga sebagai penutup luka.33 Penutupan luka
akan menyebabkan luka berkontak secara terus menerus dengan proteinase,
kemotaksik, komplemen dan faktor pertumbuhan, dimana hal ini akan hilang
ketika luka itu terbuka, sehingga penutupan luka ini akan mempercepat reepitelisasi, sintesis kolagen, dan peningkatan angiogenesis dengan membuat
kondisi hipoksia pada dasar luka dan menurunkan pH dasar luka sehingga
akan menurunkan kejadian infeksi.45 Basis salep dalam fase penyembuhan
luka berperan dalam fase hemostasis, yaitu aktivasi platelet.
Proses absorpsi obat secara oral dimulai dari saluran lambung dan usus
kemudian ke sistim sirkulasi ke jaringan, dan menuju kapiler.32 Absorpsi obat
56
topikal tidak melewati fase absorbsi sampai tuntas dan tidak mencapai
sistemik. Efek terapetik obat topikal hanya lokal ditempat awal masuknya
obat.41
Daun
binahong
mempunyai
kandungan
Quercetin
yang
dapat
meningkatkan pembentukan neovaskularisasi dengan cara menghambat HIFprolylhydrocylaseyang mengakibatkan aktivasi HIF-1.HIF-1 (HypoxiaInducible Factor-1) yang teraktivasi mentranskripsi beberapa gen angiogenik
dan reseptornya seperti contoh: VEGF. Aktivasi VEGF akan memfasilitasi
rekrutmen sel endotel di tempat yang hipoksia sehingga terjadi peningkatan
proliferasi sel endotel dengan meregulasi gen yang terlibat dalam siklus sel
dan
replikasi
DNA
dan
berakhir
dengan
stimulasi
pembentukan
neovaskularisasi.46 Ekstrak daun binahong dalam fase peyembuhan luka
berperan dalam fase hemostasis.
Absorbsi zat quercetin sangat rendah. Quercetin yang berpotensi sebagai
zat aktif hanya sekitar 2/3 dari senyawa murni yang akan diserap setelah
pemberian ekstrak tanaman.47
Neovaskularisasiberfungsi sebagai pemberi oksigen dan nutrisi untuk
jaringan.28 Kombinasi antara pemberiaan oral dan topikal akan meningkatkan
jumlah pembuh darah pada perlakuan P3.
Vitamin C dalam binahong sangat baik untuk meningkatkan fungsi
neutrofil dan fibroblas juga akan mendorong pembentukan neovaskularisasi
dan menguatkannya.48 Suplemen vitamin C yang diberikan oral cukup bagus
absorbsinya.49 Kandungan vitamin C dalam binahong 6.67+/- 0.77
mg/100g.50
Pembuluh darah sebagian dibentuk pada saat fetal, namun bisa terbentuk
juga saat dewasa sebagai respon terjadinya luka. Pembentukan ini
dipengaruhi oleh faktor pro dan anti-angiogenesis yang terdapat dalam tubuh.
Angiogenesis pada proses penyembuhan luka akan ditekan oleh faktor anti
angiogenesis pada tahap tertentu. Faktor pertumbuhan menurun sebagaimana
seiring penyembuhan jaringan yang mereda dan inhibitor angiogenesis
57
menjadi dominan. Perisityang berperan dalam proses stabilisasi sel endotel
mensekresi inhibitor TGF-β yang apabila proliferasi pembuluh darah telah
mencukupi, berfungsi untuk stabilisasi dan mencegah proliferasi pembuluh
darah.28
Perlakuan P3 (salep ekstrak daun konsentrasi 40% dan ekstrak daun
binahong sediaan oral) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P4
(kontrol+, silver sulfadiazin), hal ini disebabkan oleh karena silver sulfadiazin
berfungsi sebagai antibiotik, bukti sementara menunjukkan bahwa Silver
sulfadiazinmeningkatkan waktu penyembuhan – luka akan sembuh lama jika
diberikan obat ini, jadi obat ini tidak direkomendasikan.29&31
Perlakuan P2 (ekstrak sediaan oral) lebih tinggi dibandingkan P1 topikal
(salep ekstrak daun konsentrasi 40%) dikarenakan salep ekstrak daun
binahong tidak diabsorbsi secara sempurna dan tidak mencapai dalam darah
sehingga efeknya jauh lebih rendah dibanding dengan pemberian oral
walaupun pemberian oral memiliki bioavailabilitas yang rendah dan absorbsi
yang baik untuk vitamin C.
Penelitian Aini (2014) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun
binahong
dapat
meningkatkan
pembentukan
neovaskularisasi
sesuai
konsentrasi yang diberikan pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan
paparan luka bakar 30 detik plat besi namun secara statistik tidak bermakna.12
Hasil dapat terlihat bahwa nilai (P>0.05) yang menunjukkan bahwa
perbedaan jumlah neovaskularisasi antar kelompok penelitian tidak bermakna
dikarenakan tidak semua lapang pandang dari setiap sampel kelompok
perlakuan ditemukan neovaskularisasi sehingga bernilai nol, jadi bisa
disimpulkan bahwa ekstrak daun binahong tidak berpengaruh secara
bermakna terhadap peningkatan jumlah neovaskularisasi pada luka bakar
derajat II tikus Sprague dawley.12
58
1.3
Keterbatasan Penelitian
1. Tidak
menghitung
luas
luka
bakar
yang
dilihat
secara
makroskopik dari awal pembuatan luka sampai hari terakhir
pengobatan.
2. Daun binahong yang digunakan dalam pembuatan ekstrak sedikit
sehingga berpengaruh terhadap jumlah salep.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan:
1. Pemberian ekstrak daun binahong Anredera cordifolia (Tenore) Steenis
tidak berpengaruh secara bermakna terhadap peningkatan jumlah
neovaskularisasi pada luka bakar derajat II tikus Sprague dawley.
2. Jumlah neovaskularisasi yang terbentuk paling banyak adalah kelompok
P5 (kontrol negatif berupa adeps lanae dan vaseline album tanpa
campuran ekstrak daun binahong), diikuti kelompok P3 (salep ekstrak
daun binahong konsentrasi 40%) dan ekstrak daun binahong sediaan oral),
kelompok P4 (kontrol positif berupa krim silver sulfadiazine), kelompok
P2 (ekstrak daun binahong sediaan oral), dan kelompok P1 (salep ekstrak
daun binahong dengan konsentrasi 40%).
5.2
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Melakukan perhitungan luas luka bakar secara makroskopik dari awal
pembuatan luka sampai hari terakhir pengobatan.
2. Dilakukan penelitian dengan dosis oral ekstrak daun binahong yang
bervariasi.
3. Waktu pemberian obat bisa diberikan lebih lama.
59
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Golshan A, Cyra P, Adnan AH. A systematic review of the epidemiology
of unintentional burn injuries in South Asia. Journal of Public Health.
January 2013; 35 ( 3); 384–396
2. Kimy R. Harbin, and Teresa EN. Anesthetic Management of Patients With
Major Burn Injury. AANA Journal. December 2012; 80 (6); 430-439
3. Burn and Fire Safety Fact Sheet. Safe Kids Worldwide. February 2015
4. International Best Practice Guidelines: Effective Skin and Wound
Management of Noncomplexburns. Wounds International, 2014; 1-24
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (RISKESDAS 2013). Kementrian
Kesehatan RI. p101-109
6. Ratna NM and Aditya W. Mortality Analysis of Adult Burn Patients. JPR
Journal. April - June 2013; 2 (2); 96-100
7. Wilmink Jacintha M, and P. Rene VW. Treatment of Exuberant
Granulation Tissue. ResearchGate. June 2004; 141-147
8. Murni Sri A, Mimi S, Retno A, etc. Determination of Saponin Compound
from Anredera cordifollia Tenore) Steenis Plant (Binahong) to Potential
Treatment for Several Diseases. Journal of Agricultural Science.
December 2011; 3 (4); 224-232
9. Miladiyah Isnatin and Bayu RP. Ethanolic Extract of Anredera Cordifolia
(Ten.) Steenis Leaves Improved Wound Healing in Guinea Pigs. Universa
Medicina. January- April 2012; 31 (1); 4-11
10. Zulfitri AI, Christian K, Istiati. Efek Gel Ekstrak Daun Binahong
(Anredera cordifolia) terhadap Jumlah Sel Fibroblas dan Pembuluh Darah
Kapiler pada Luka Pasca Pencabutan Gigi Marmut (Cavia cobaya). Oral
Biology Dental Journal. Juli-Desember 2012; 4 (2); 51-55
11. Rohma SC, Evi M, dan Diana. Pengaruh Gel Binahong (Anredera
Cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap Penyembuhan Luka Tikus Diabetes
yang Diinduksi Alakson. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. September 2015; 3
(3); 414-418
61
12. Aini SQ. Pengaruh Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera Cordifolia
(Tenore.) Steenis) terhadap Pembentukan Jaringan Granulasi pada Luka
Bakar Tikus Sprague dawley. Repository UIN Jakarta. Januari 2015
13. Mescher, Anthony L. Hitologi dasar Junqueira : teks dan atlas ; alih
bahasa, Frans Dany ; editor edisi bahasa Indonesia, Huriawati HartantoEd.12- Jakarta: EGC, 2011
14. Linuwih Sri M, Kusmarinah B, Wresti I. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin- Ed.7- Jakarta Badan Penerbit FK UI, 2015
15. Grey Benjamin R, Jeremy EO, Michael DB, etc. CD133; A marker of
transit amplification rather than stem cell phenotype in the prostate?.
Journal Compilation. 2008; 1-3
16. Hanel Kai H, Christian C, Bernhard L, etc. Cytokines and the Skin
Barrirer. International journal of Molecular Sciences. 2013; 14; 6720-6745
17. The East-West School for Herbal and Aromatic and Jade Shutes. Anatomy
and Physiology of the Skin. 2012
18. WHO. World report on child injury prevention/ edited by Margie Peden, et
al. 2008; 79-93
19. WHO. Child Injury Prevention in the South-East Asia Region. December
2008; 1-4
20. Advance Traumat Life Suport. American College of Surgeon 9th. 2012
21. Velnar T, T Bailey, V Smrkolj. The Wound Healing Process; an Overview
of the Cellular and Molecular Mechanism. The Journal of International
Medical Research. 2009; 37; 1528-1542
22. Young Alistair and Clare EM. The Physiology of Wound Healing.
ResearchGate. December 2011; 475-479
23. Buku ajar patologi Robins / editor, Vinay Kumar, Ramzi SC, Stanley LR ;
alih bahasa, Asroruddin, Huriawati H, Nurwany W.- Ed. 7. – Jakarta :
EGC, 2007.
24. Johnson KE and Traci AW. Vascular endothelial growth factor and
angiogenesis in the regulation of cutaneous wound repair. Wound Care.
2014; 3 (10); 647-661
62
25. Enoch Stuart, David JL. Basic Science of Wound Healing. ResearchGate.
2007; 31-37
26. Connolly Siobhan. Clinical Practice Guidlines: Burn Patient Management.
ACI NWS Agency for Clinical Innovation. 2011; 2-45
27. Badan POM RI-Direktorat Obat Asli Indonesia 2008
28. Mamba’ul Arif IZ, Christian K, Istiati S. Efek gel ekstrak daun binahong
(Anredera cordifolia) terhadap jumlah sel fibroblas dan pembuluh darah
kapiler pada luka pasca pencabutan gigi marmut (Cavia cobaya). Oral
Biology Dental Journal. Juli-Desember 2012; 4 (2); 51-55
29. Dai Tianhong, Ying-ying H, Sulba K, et al. Topical Antimicrobial for
Burn Wound Infection. National Isntitutes Health. June 2010; 5 (2); 124151
30. International Concencus. Appropiate Use of Silver Dressings in Wound.
An Expert Working Group Concencus. London: Wound International,
2012; 1-20
31. Ali Heyam, Rasha S, Ahmad A, Babiker EH. A Study of Light Influence
on Silver Sulfadiazin Cream: causes, effect, and solution. International
Journal of Pharmacy & Pharmaceutical January 2016; 140-152
32. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Pengarang: Howard C. Ansel;
penerjemah Farida Ibrahim; pendamping Asmanizar, Iis A- Cet 1- Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia. 2008
33. Ueda Clarence T, Vinod PS, Kris D, et al. Topical and Transdermal Drug
Product. The United States Pharmacopeial, Inc. 2009; 35 (3); 750-764
34. Savjani ketan T, Anuradha KG, and Jignasa KS. Drug solubility:
Importance and Enhancement Techniques. International Scholarly
Research Network. 2012; 1-10
35. Sulasanti CD, EY sukandar, Fidrianny. Acute and Sub Chronic Toxicity
Study of Ethanol Extract of Anredera Cordifolia (TEN) V. Steenis Leaves.
International Journal of Pharmacy & Pharmaceutical January. 2014; 6 (5);
348-352
63
36. Wijayani Arum, Khoirul U, and Siti T. Characterization of Carboxy
Methyl Cellulose (CMC) from Eichornia crassipes (Mart) Sloms. Indo J.
Chem. 2005; 5 (3); 228-231
37. Sulistia GG, Rianto SN, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi- Ed. 5 – 2012.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta
38. Tuley Susan M. Understanding Pharmacology for Helth Professional
ed.4th. 2010. Pearson Education Inc; 47-63
39. Pharmokinetics: The Absorption, Distribution, and Excretion of Drugs.
Practical Phamacology for The Pharmacy Technician. Chapter 3; 27-40
40. Budijanto Didik. Populasi, sampling, dan besar sampel. Pusdatin-KemKes
RI.
Available
from
URL
http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id/2015/wpcontent/uploads/2013/02/SAMPLING-DAN-BESAR-SAMPEL.pdf.
Diakses 24 September, pukul 19:24
41. Fachrial Paputungan, Paulina PYY, dan Gayatri C. Uji Efektifitas Salep
Ekstrak Etanol Daun Bakau Hitam (Rhizophora mucronata Lamk) dan
Pengujian terhadap Proses Penyembuhan Luka Punggung Kelinci yang
Diinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah FarmasiUNSRAT. Februari 2014; 3 (1); 16-26
42. Sukandar EY, Fidrianny I, Adiwiowo LF. Efficacy of Ethanol Extract of
Anrederacordifolia (Tenore) Steenis Leaves on Improving Kidney Failure
on Rats. International Journal of Pharmacology. 2011; 7 (8); 850-855
43. Gopalakrishnan A, M Ram, S Kumawat, et al. Quercetin Accelerated
Cutaneous Wound Healing in Rats by Increasing Level of VEGF and
TGF-ß1. Indian Journal of Experimental Biology. Marc 2016; 54; 187-195
44. Faculty of Biological Sciences at Leeds. Webside The Histology Guide.
Available
from
http://www.histology.leeds.ac.uk/skin/skin_layers.php.
Diakses 19 Oktober, pukul 16:53
45. Dhivya S, Vismanadha VP, Elango S. Wound Dressings- a review.
BioMedicine. 2015; 5 (4); 24-28
46. Zimna Agneiszka and Maceijk K. Hypoxia-Inducible Factor-1 in
Physiological and Pathophysiological Angiogenesis: Applications and
64
Therapies.
BioMed
Research
International.
2015;
13
https://www.hindawi.com/journals/bmri/2015/549412/ - sec4.1. Diakses
24 September, pukul 17:12 WIB.
47. Grafea EU, Joerg W, Silke M, et al. Pharmacokinetic and Biovailability of
Quercetin Glycosides in Humans. Journal of Clinical
Pharmacology.
2001; 41; 492-499
48. David Emery T, Dawe A, and Solomon H. Natural Wound Healing and
Bioactive Natural Products. Inforeisghts Publishing UK. 2013; 4 (3); 532560
49. Callen
Pacier
and
Danik
MM.
Vitamin
C:
optimal
dosage,
supplementation and use in disease prevention. Functional Food in Health
and Disease. 2015; 5 (3); 89-107
50. Tri Endang WM, Yusrin, Ana HM. Analisis Vitamin C dan Kalium pada
Daun Bianahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis). 2015; 441-444;
ISNN 2407-9189
65
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Determinasi Tanaman Binahong
66
Lampiran 2
Surat Ekstrasi
67
Lampiran 3
Surat Keterangan Sehat Tikus Sprague dawley
68
Lampiran 4
Foto Riset
Pembuatan salep
69
(lanjutan)
Pembuatan suspensi oral
70
(lanjutan)
Foto preparat yang sudah jadi
71
(lanjutan)
Proses pembuatan luka bakar
72
(lanjutan)
Pengambilan jaringan
73
Lampiran 5
Uji statistik
Descriptives
Rerata jumlah pembuluh darah baru
95% Confidence Interval for
Mean
Std.
N
Mean
Deviation
Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
P1
5
5.320
4.1523
1.8570
.164
10.476
.3
10.7
P2
5
6.640
1.9047
.8518
4.275
9.005
4.6
9.5
P3
5
7.360
3.8161
1.7066
2.622
12.098
3.0
13.5
P4
5
6.680
2.0861
.9330
4.090
9.270
3.9
9.3
P5
5
8.800
2.0821
.9311
6.215
11.385
6.7
11.8
25
6.960
2.9479
.5896
5.743
8.177
.3
13.5
F
Sig.
Total
ANOVA
Rerata jumlah pembuluh darah baru
Sum of Squares
Between Groups
df
Mean Square
32.080
4
8.020
Within Groups
176.480
20
8.824
Total
208.560
24
.909
.478
74
Lampiran 6
Riwayat Hidup
Identitas
Nama
: Alfi Alfina
Jenis kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal, Lahir : Surabaya, 02 April 1997
Agama
: Islam
e-mail
: [email protected]
Riwayat Pendidikan





2001-2003
2003-2009
2009-2011
2011-2013
2013-sekarang
: TK Aisyiyah Bustanul Athfal 1 Gempol-Pasuruan
: MI Nahdlotul Ulama Kedungcangkring- Sidoarjo
: Mts. Amanatu Ummah- Surabaya
: MA. Amanatul Ummah- Surabaya
: UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta
Download