56 bab iii harmonisasi pengaturan tentang penyalahgunaan posisi

advertisement
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III
HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN
POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN
ECONOMIC COMMUNITY
3.1 Pentingnya Harmonisasi Pengaturan tentang Penyalahgunaan Posisi
Dominan dalam ASEAN Economic Community
Salah satu tujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam
Deklarasi Bangkok adalah mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi dan
kemajuan sosial di kawasan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut berbagai
kebijakan kerjasama ekonomi telah dilakukan salah satunya adalah pembentukan
Komunitas Ekonomi ASEAN atau AEC pada tahun 2015.
Dengan adanya kebijakan AEC pada tahun 2015 ini negara-negara di
kawasan ASEAN menghendaki adanya liberalisasi perdagangan barang, jasa,
investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas
diantara negara kawasan ASEAN, hal ini nantinya akan mengintegrasikan negaranegara di kawasan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal yang bebas. Perwujudan
integrasi ekonomi merupakan langkah penting bagi pencapaian AEC yang
memiliki daya saing yang tinggi serta dapat turut serta berperan aktif dalam
kegiatan ekonomi global.
Kebijakan dalam AEC 2015 yang mengintegrasikan negara-negara di
kawasan ASEAN ke dalam suatu pasar tunggal tentu tidak akan luput dari
permasalahan. Dengan terintegrasinya kawasan ASEAN kedalam satu pasar
56
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
tunggal, maka pelaku usaha di negara-negara ASEAN dapat dengan bebas
melakukan transaksi-transaksi bisnis di kawasan ASEAN, keadaan ini membuat
kawasan ASEAN tumbuh menjadi kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi
yang tinggi.86 Tingkat kompetisi yang tinggi diantara pelaku-pelaku usaha di
ASEAN ini berpotensi menimbulkan permasalahan terutama yang berkaitan
dengan praktek persaingan usaha tidak sehat salah satunya adalah penyalahgunaan
posisi dominan (abuse of dominant position).
Dengan terbentuknya kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal, pelaku usaha
di kawasan ASEAN dapat dengan mudah melakukan transaksi-transaksi bisnis
yang bersifat lintas batas negara. Dengan adanya kebijakan AEC ini tentu akan
memungkinkan pelaku usaha yang berasal dari suatu negara di ASEAN untuk
melakukan penetrasi pasar ke negara ASEAN lainnya dan memegang posisi
dominan di pasar tempat ia melakukan penetrasi tersebut. Dengan posisi dominan
yang
dimilikinya,
pelaku
usaha
tersebut
berpotensi
untuk
melakukan
penyalahgunaan yang nantinya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di
pasar yang ia kuasai tersebut.
Sifat transaksi yang melibatkan lintas batas negara serta belum adanya
kebijakan terpadu tentang persaingan usaha di antara negara-negara ASEAN
terutama yang mengatur mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya tentu
berpotensi menimbulkan berbagai persoalan terlebih pada saat kebijakan AEC
nanti resmi diberlakukan.
86
Rhido Jusmadi, Konsep Hukum Persaingan Usaha ; Sejarah, Kaidah Perdagangan Bebas dan
Pengaturan Merger-Akuisisi, Setara Press, Malang, 2014, h.71.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
Belum adanya keseragaman pengaturan mengenai posisi dominan yang
berlaku secara global bagi pelaku usaha di kawasan ASEAN dapat menimbulkan
permasalahan terlebih ketika AEC akan resmi diberlakukan pada 2015.
Permasalahan yang mungkin timbul dari disharmonisasi ini terkait dengan:
1. Definisi pelaku usaha
Definisi dari pelaku usaha merupakan salah satu unsur paling penting untuk
menentukan keberlakuan kebijakan persaingan usaha khususnya mengenai
pengaturan posisi dominan bagi pelaku usaha. Dengan adanya kebijakan AEC
yang menghendaki adanya integrasi ekonomi ke dalam satu pasar tentu akan
meningkatkan lalu lintas transaksi bisnis di kawasan ASEAN. Pelaku usaha dari
negara ASEAN dapat dengan bebas melaksanakan kegiatan bisnisnya di negara
ASEAN lainnya tanpa ada lagi batasan antar negara di kawasan ASEAN.
Namun seiring dengan akan diberlakukannya kebijakan AEC pada 2015
masih terdapat permasalahan diantara negara-negara ASEAN yaitu masih terdapat
ketidakseragaman mengenai definisi pelaku usaha diantara negara-negara
ASEAN. Masih banyak negara ASEAN yang mendefinisikan pelaku usahanya
secara sempit yaitu hanya mencakup pelaku usaha dalam negeri ataupun pelaku
usaha yang beroperasi di negara tersebut, padahal dengan adanya kebijakan AEC
ini kegiatan bisnis yang terjadi akan semakin luas dan melibatkan banyak pelaku
usaha asing yang berasal dari negara lain di ASEAN. Berikut tabel yang
menunjukkan adanya perbedaan definisi pelaku usaha yang terjadi di ASEAN
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
Tabel III.1
Definisi pelaku usaha di ASEAN
Definisi Pelaku Usaha
subjek/badan hukum yang berdiri dan berkedudukan
1 Indonesia
atau melakukan kegiatan di wilayah Indonesia
2 Filipina
subjek/badan hukum Filipina
perorangan/badan hukum yang bergerak di bidang
3 Laos
barang dan jasa
semua badan yang melakukan kegiatan komersial di
4 Malaysia bidang barang dan jasa di dalam/luar malaysia yang
berpengaruh di pasar Malaysia
semua pelaku usaha domestik maupun asing yang
5 Singapura
kegiatannya berdampak terhadap pasar Singapura
distributor, produsen, importir ke dalam wilayah
6 Thailand
Thailand
pelaku usaha domestik maupun asing yang beroperasi di
7 Vietnam
Vietnam
Sumber : diolah dari berbagai sumber.
No Negara
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa diantara negara-negara ASEAN
masih belum terdapat keseragaman mengenai definisi dari pelaku usaha. Masih
terdapat beberapa negara yang mendefinisikan pelaku usahanya secara sempit
sehingga hanya mencakup pelaku usaha domestik saja hal ini ditemui di Filipina
dan Laos.
Indonesia mendefinisikan pelaku usaha sebagai subjek atau badan hukum
yang berdiri dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
Dilihat dari sisi normatif, pelaku usaha asing yang melakukan kegiatan di wilayah
Indonesia termasuk pelaku usaha yang diatur dalam undang-undang yang berlaku.
Kondisi yang sama juga ditemui di Thailand dan Vietnam yang juga
memberlakukan undang-undangnya bagi pelaku usaha asing yang melakukan
kegiatan usahanya di wilayah negaranya. Namun terdapat kelemahan dalam
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
definisi pelaku usaha yang terdapat dalam ketiga negara ini yaitu tidak adanya
kekuatan keberlakuan yang bersifat ekstra teritorial dalam definisi tersebut.
Dengan diberlakukannya kebijakan AEC yang menghendaki ASEAN
terintegrasi ke dalam suatu pasar tunggal yang bebas tentu akan membuat pelaku
usaha-pelaku usaha di kawasan ASEAN semakin bebas melakukan transaksi
bisnis nya dimana saja. Dengan terbentuknya pasar bebas ini tidak selalu
penyalahgunaan posisi dominan yang akhirnya berdampak negatif bagi pasar
domestik suatu negara, dilakukan oleh pelaku usaha yang menjalankan kegiatan
usahanya di wilayah yang terkena dampak penyalahgunaan tersebut. Pelaku usaha
asing yang berasal dari negara ASEAN lain bisa saja melakukan bentuk
penyalahgunaannya di luar wilayah suatu negara ASEAN lainnya namun tindakan
itu memberikan dampak negatif bagi persaingan di negara tersebut. Sebagai
contoh adalah ilustrasi kasus sebagai berikut:
Dalam pasar penyedian jasa layanan telekomunikasi di ASEAN terdapat
lima pelaku usaha yang berasal dari negara-negara di ASEAN yaitu perusahaan A
(Singapura), perusahaan B (Singapura), perusahaan C (Indonesia), perusahaan D
(Malaysia), perusahaan E (Vietnam) dan perusahaan F (Filipina). Perusahaan A
(Singapura) menguasai pangsa pasar sebesar 25%, perusahaan B (Singapura)
menguasai pangsa pasar 30%, perusahaan C (Indonesia) 25%, perusahaan D
(Malaysia) 10%
dan perusahaan E (Vietnam) serta perusahaan F (Filipina)
masing-masing menguasai 5% pangsa pasar. Kemudian kedua pelaku usaha yaitu
A dan B yang sama-sama berasal dari Singapura melakukan merger di Singapura
yang kemudian mengakibatkan kedua perusahaan tersebut menguasai 55% pangsa
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
61
pasar dan memegang posisi dominan di pasar penyedia jasa layanan
telekomunikasi di ASEAN, hal ini tentu dapat menimbulkan dampak bagi pasar
domestik jasa layanan telekomunikasi di Indonesia. Dengan tidak adanya
kekuatan keberlakuan ekstra teritorial dari undang-undang yang berlaku di
Indonesia maka akan menyulitkan komisi pengawas persaingan usaha di
Indonesia untuk melakukan penindakan dari tindakan merger yang dilakukan oleh
pelaku usaha Singapura tersebut.
Pendefinisian pelaku usaha yang lebih luas terdapat di Malaysia dan
Singapura. Definisi pelaku usaha di negara ini mencakup pelaku usaha dalam
negeri maupun asing baik yang berada di dalam maupun luar wilayah negara
tersebut dan tindakannya berdampak pada pasar masing-masing negara tersebut.
Dengan masih tidak seragamnya pendefinisian mengenai pelaku usaha
diantara negara-negara ASEAN tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan
terkait
dengan
penindakan
terhadap
pelaku
usaha
yang
melakukan
penyalahgunaan posisi dominan.
Bentuk harmonisasi yang harus dilakukan terkait dengan masalah ini adalah
harus segera dilakukan penyeragaman terkait definisi pelaku usaha dan
menetapkan definisi yang lebih luas serta mempunyai daya berlaku ekstra
teritorial sehingga dapat mencakup seluruh pelaku usaha di kawasan ASEAN
khususnya dalam menghadapi kebijakan AEC nanti.
2. Penetapan posisi dominan
Unsur yang paling utama dari penyalahgunaan posisi dominan adalah
tindakan-tindakan anti persaingan yang dilakukan sebagai bentuk penyalahgunaan
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
posisi dominan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha yang memegang posisi
dominan di suatu pasar bersangkutan.
Masih adanya perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan diantara
negara-negara di ASEAN tentu akan menimbulkan permasalahan dalam AEC
nanti. Perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan di kawasan ASEAN
dapat dilihat dari:
a.) Definisi pasar bersangkutan
Seperti yang diuraikan sebelumnya, pasar bersangkutan merupakan salah
satu indikator utama untuk mengukur apakah suatu pelaku usaha memegang
posisi dominan dalam suatu pasar bersangkutan. Ketepatan dalam mengukur pasar
bersangkutan diperlukan untuk mengukur struktur pasar dan batasan dari perilaku
anti persaingan yang dilakukan.87
Dalam UU No.5/1999 pasal 1 angka 10 mendefinisikan pasar bersangkutan
sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu
oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut.88 Berdasarkan definisi pasal diatas terdapat 2
(dua) aspek yang terdapat dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product
market) dan pasar geografis (relevant geographic market).
87
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.50.
88
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Loc.Cit.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
63
Cakupan pasar produk ini terkait dengan dengan kesamaan, kesejenisan
dan/atau tingkat subtitusi suatu produk. Sedangkan cakupan pasar geografis ini
terkait dengan jangkauan daerah pemasaran suatu produk.89
Dalam pasar produk untuk menentukan apakah suatu barang dengan barang
lain dapat dinyatakan sama atau menjadi subtitusi terhadap barang tertentu perlu
dilihat dari empat aspek yaitu: a. bentuk dan sifat barang tersebut; b. fungsi
barang; c. harga barang; dan d. fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen
(interchangeable).90 Apabila suatu produk sudah ditetapkan mempunyai barang
sejenis atau subtitusi maka pangsa pasar produk tersebut termasuk dalam satu
pasar bersangkutan secara objektif.91
Di Uni Eropa pernah terjadi suatu kasus mengenai penentuan pasar
bersangkutan terkait dengan pengukuran definisi pasar produk yaitu United
Brands Case.92
Kasus ini terjadi antara United Brands Company and United Brands
Continentaal BV versus Commission of the European Communities.Dalam kasus
ini United Brands Company dianggap melanggar ketentuan pasal 106 Treaty on
the Functioning of the European Union (untuk selanjutnya disebut TFEU) yang
melarang negara anggota menerapkan kebijakan khusus atau ekslusif yang
bertentangan dengan yang diatur dalam pasal 101-109 TFEU.
89
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.5.
90
Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit.
91
Ibid.
92
Judgment of the Court of 14 February 1978. - United Brands Company and United Brands
Continentaal BV v Commission of the European Communities. - Chiquita Bananas. - Case 27/76.
www.eur-lex.europa.eu Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
64
Dalam kasus ini United Brands perusahaan yang memproduksi Chiquita
Bananas dianggap telah melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan
dalam bentuk unfair condition yang diwujudkan dengan melarang distributor di
Belgo-Luxembourg Economic Union, Denmark, Jerman, Irlandia dan Belanda
untuk menjual kembali pisang dari United Brands apabila masih dalam keadaan
mentah. Selain itu United Brands juga dianggap menetapkan unfair condition dan
discriminatory prices terhadap distributor yang tidak termasuk kedalam the spicio
group. United Brands juga telah melakukan refusal to supply kepada TH.Olesen
A/S, Valby, Copenhagen, Denmark.
Dalam rangka membuktikan adanya penyalahgunaan tersebut maka
diperlukan analisis terlebih dahulu mengenai penguasaan United Brands atas
suatu produk tertentu dalam hal ini pisang.Analisa ini dimulai dengan pengukuran
terhadap pasar bersangkutan yang terdiri dari dua aspek yaitu pasar produk dan
pasar geografis.
Terdapat hal yang menarik dalam kasus ini yaitu terkait dengan penilaian
terhadap pasar bersangkutan dilihat dari aspek pasar produk. Dalam kasus ini
United Brands menolak bahwa ia memegang posisi dominan di pasar dan
mendalilkan bahwa pisang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari buah
lainnya seperti apel, orange, anggur dan lain lain. Pisang termasuk produk sejenis
dengan buah lainnya dikarenakan pisang dan buah segar lain mempunyai sifat
interchangeable.
Namun Comission of the European Communities memberikan penilaian
berbeda dan membedakan produk pisang dengan produk buah lainnya.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
65
Pembedaan ini didasarkan pada elatisitas silang pada permintaan. Statistik
menunjukkan bahwa pembelian pisang oleh konsumen berada di tingkat paling
rendah diantara bulan Juni dan Desember dimana saat itu terdapat banyak pasokan
dari buah segar domestik di dalam pasar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh the Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan harga produk
pisang cenderung lemah selama musim panas dan harga dari produk buah lain
seperti apel memiliki dampak statistik yang cukup besar terhadap tingkat
konsumsi pisang di negara Jerman. Pada musim puncak dimana terdapat pasokan
yang melimpah dari produk buah segar lain memberikan pengaruh tidak hanya
terhadap harga namun juga terhadap volume penjualan pisang hal ini juga
berdampak terhadap tingkat impor produk ini.
Komisi berpendapat bahwa terdapat perbedaan tingkat permintaan antara
pisang dengan produk buah segar lainnya, selain itu terdapat kualitas khusus
dalam pisang yang mempengaruhi tingkat preferensi dari konsumen yang
menyebabkan mereka tidak serta merta dapat mengganti pisang dengan buah lain.
Berdasarkan analisa tersebut komisi memutuskan bahwa pisang dan buah segar
lain bukanlah produk yang sejenis. Sempitnya pembatasan terhadap pasar produk
yang dilakukan komisi ini membawa dampak terhadap United Brands, dominasi
United Brands atas produk pisang ini terlihat jelas sehingga United Brands
dianggap memiliki posisi dominan terhadap produk pisang.
Dalam pasar geografis pengukuran terhadap pasar bersangkutan ditentukan
berdasarkan luas wilayah pemasaran produk oleh pelaku usaha. Penetapan pasar
bersangkutan berdasarkan aspek geografis ditentukan oleh ketersediaan produk.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
66
Dalam pasar geografis faktor-faktor yang digunakan menentukan luas dan
cakupan wilayah dari suatu produk adalah kebijakan perusahaan, biaya
transportasi, lamanya perjalanan, tarif dan peraturan yang membatasi lalu lintas
perdagangan antar kota/wilayah.93
Dalam pasar geografis penetapan pasar bersangkutan ini mengacu pada
lokasi pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dan/atau lokasi peredaran
produk dan jasa dan/atau dimana beberapa daerah memiliki kondisi persaingan
yang relatif seragam dan berbeda dengan kondisi persaingan di daerah lainnya.94
Berdasarkan analisa terhadap pengaturan persaingan usaha di negara-negara
ASEAN masih terdapat ketidakseragaman terkait dengan pendefinisian pasar
bersangkutan. Dalam kawasan ASEAN masih terdapat beberapa negara yang
tidak mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan dalam
instrumen hukum persaingan usahanya.
Tabel III.2
Definisi pasar bersangkutan di ASEAN
No
Negara
1
Indonesia
2
3
4
Filipina
Laos
Malaysia
5
Singapura
6
Thailand
7
Vietnam
Definisi Pasar Bersangkutan
terdiri dari pasar produk dan pasar
geografis
tidak ditemui definisi pasar bersangkutan
tidak ditemui definisi pasar bersangkutan
tidak didefinisikan secara spesifik
terdiri dari pasar produk dan pasar
geografis
tidak ditemui definisi pasar bersangkutan
terdiri dari pasar produk dan pasar
geografis
93
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.16.
94
Ibid, h.6. Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
67
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Berdasarkan tabel diatas terlihat masih terdapat perbedaan terkait dengan
pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan. Tidak semua negara ASEAN
mencantumkan definisi yang spesifik di dalam aturan persaingan usaha negaranya
mengenai apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta aspek-aspek
didalamnya.
Berdasarkan analisis terhadap pengaturan persaingan usaha yang dimiliki
negara-negara ASEAN hanya Indonesia, Singapura dan Vietnam yang
mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan. Di ketiga negara ini
terdapat dua aspek dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product market)
dan pasar geografis (geographic relevant market). Sedangkan di Malaysia definisi
pasar bersangkutan tidak disebutkan secara spesiifik dalam undang-undang yang
berlaku namun terdapat ketentuan yang menyebutkan penilaian yang dilakukan
oleh komisi pengawas persaingan di negara ini terhadap pasar mencakup analisa
terhadap: struktur pasar, perilaku pelaku usaha di pasar, perilaku distributor dan
konsumen terhadap pelaku usaha di pasar dan hal lain yang dianggap relevan.95 Di
ketiga negara lainnya di ASEAN yaitu Filipina, Laos dan Thailand tidak ditemui
adanya pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan dalam undang-undang
yang berlaku di negara-negara tersebut.
Ketidakseragaman mengenai pengaturan definisi pasar bersangkutan yang
terjadi di negara-negara ASEAN ini tentu berpotensi menimbulkan permasalahan
pada saat AEC resmi diberlakukan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pasar
95
The Competition Act 2010, Op.Cit., part 11(2).
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
68
bersangkutan merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur apakah
suatu pelaku usaha memegang posisi dominan atau tidak. Definisi pasar
bersangkutan ini penting untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan
produk tertentu dalam suatu pasar oleh pelaku usaha. Definisi pasar bersangkutan
dapat digunakan untuk mengukur luasnya dampak dari tindakan anti persaingan
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Melalui pendefinisian pasar bersangkutan ini
kondisi faktual di pasar bisa dianalisis melalui perspektif persaingan.96
Ketepatan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan sangat diperlukan
untuk menghasilkan pengukuran terhadap dominasi pelaku usaha atas produk
tertentu di suatu pasar yang akurat, semakin sempit pembatasan terhadap pasar
bersangkutan maka dominasi pelaku usaha atas produk tertentu akan sangat
terlihat sedangkan apabila pengukuran terhadap pasar bersangkutan terlalu luas
akan menyebabkan dominasi pelaku usaha dalam pasar tersebut tidak akan
terlihat. Mengingat hal tersebut maka diperlukan ketepatan dalam mendefinisikan
pasar bersangkutan.
Masih adanya ketidakseragaman terkait dengan definisi pasar bersangkutan
ini tentu akan menimbulkan kesulitan bagi suatu komisi pengawas persaingan
usaha di suatu negara untuk melakukan penilaian yang akurat terkait dengan
apakah suatu pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan atau tidak.
Bentuk harmonisasi yang diperlukan terkait dengan perbedaan definisi pasar
bersangkutan ini adalah perlu adanya suatu kesepahaman diantara negara-negara
anggota ASEAN tentang apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta
96
Ibid, h.9
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
69
aspek-aspek yang terkait dengan penilaian pasar bersangkutan agar terdapat suatu
definisi yang seragam diantara negara-negara anggota ASEAN mengenai apa
yang dimaksud dengan pasar bersangkutan dan aspek-aspek penilaian apa saja
yang ada di dalamnya sehingga terdapat suatu batas penilaian yang jelas untuk
mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha di kawasan ASEAN,
yang kemudian akan menghasilkan penilaian yang akurat terkait dengan
kepemilikan posisi dominan pelaku usaha di kawasan ASEAN.
b.) Jumlah penguasaan pangsa pasar
Dalam menentukan dominasi suatu pelaku usaha di suatu pasar, selain
menetapkan batas pengukuran yang tepat terhadap pasar bersangkutan suatu
produk tertentu, hal lain yang juga harus dilihat adalah presentase penguasaan
pangsa pasar oleh pelaku usaha. Penentuan jumlah presentase penguasaan pangsa
pasar ini sangat dipengaruhi oleh struktur pasar yang berada di suatu pasar di
negara tersebut.
Dalam UU No. 5/1999 pasal 1 angka 11 yang dimaksud struktur pasar
adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek
yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan
kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk
dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan
pangsa pasar.
Struktur pasar merupakan kondisi lingkungan dimana pelaku usaha
melakukan aktivitasnya sebagai produsen.Struktur pasar dalam ilmu ekonomi
dibagi ke dalam empat bentuk yaitu:97
a. Pasar persaingan sempurna (perfect competition)
97
Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
70
Pasar persaingan sempurna merupakan suatu pasar dimana jumlah antara
penjual dan pembeli relatif seimbang.
b. Pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition)
Hampir sama dengan pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik
jumlah penjual relatif banyak dan produk yang terdapat dalam pasar ini
terdiferensiasi yang berarti produk dalam pasar ini memiliki perbedaan
karakteristik dengan produk sejenis lain sehingga menimbulkan preferensi
konsumen terhadap produk tertentu. 98
c. Pasar oligopoli (oligopoly)
Dalam suatu pasar oligopoli hanya terdapat beberapa penjual yang ada di
pasar. Para pelaku usaha dalam pasar oligopoli ini cenderung memilliki
ketergantungan satu dengan yang lain, dalam artian dalam struktur pasar ini
keputusan strategis pelaku usaha sangat dipengaruhi oleh keputusan strategis
pelaku usaha lain.99
d. Pasar monopoli (monopoly)
Pasar monopoli merupakan industri satu perusahaan dimana dalam suatu
pasar hanya terdapat satu penjual. Produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha ini
juga tidak dapat dibeli di tempat lainnya serta produk tersebut tidak mempunyai
subtitusi yang ada hanyalah barang pengganti yang sangat berbeda sifatnya.100
98
Ibid, h.34-35.
99
Ibid, h.36.
100
Ibid, h.33.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
71
Menurut ilmu hukum struktur pasar terbagi kedalam dua bentuk yaitu pasar
persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Perbedaan struktur
pasar tersebut disebabkan adanya perbedaan degree of market power atau
kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi keseimbangan harga pasar.101
Suatu pasar dapat dikategorikan memiliki struktur persaingan sempurna
apabila memiliki karakteristik sebagai berikut102:
a. Banyaknya penjual dan pembeli
Jumlah penjual dan pembeli dalam pasar yang memiliki struktur persaingan
sempurna cenderung seimbang atau sama banyaknya antara penjual dan pembeli.
Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal karena harga yang didapatkan
konsumen ditentukan dari kinerja mekanisme pasar.
b. Produk yang homogen
Produk yang homogen yaitu produk yang mampu memeberikan kepuasan
kepada konsumen tanpa mengetahui siapa produsennya, sehingga disini
konsumen membeli kegunaan barang dan konsumen menganggap semua pelaku
usaha mampu memproduksi barang dan jasa dengan kualitas dan karakter yang
sama.
c. Bebas masuk dan keluar pasar
Dalam struktur pasar persaingan sempurna, faktor mobilitas produksi
menjadi tidak terbatas dan tidak memerlukan biaya. Tidak terbatasnya mobilitas
suatu produksi ini menyebabkan pelaku usaha mudah untuk masuk keluar pasar.
d. Informasi sempurna
101
102
Ibid.
Ibid, h. 30. Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
72
Dalam struktur pasar persaingan sempurna pelaku usaha maupun konsumen
memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap harga suatu produk dan input yang
dijual. Keadaan ini akan mencegah adanya pemberlakuan harga jual yang berbeda
antara pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya.
Berbeda halnya dengan struktur pasar persaingan sempurna, karakteristik
yang dimiliki oleh struktur pasar persaingan tidak sempurna adalah:
a. Tidak seimbangnya jumlah penjual dan pembeli
Berbeda dengan struktur pasar persaingan sempurna dalam struktur pasar ini
jumlah antara penjual dan pembeli cenderung tidak seimbang. Contohnya dalam
pasar monopoli yang hanya terdapat satu penjual dengan banyak pembeli serta
pasar oligopoli dimana hanya terdapat beberapa penjual dengan banyak pembeli.
Dengan kondisi ini konsumen cenderung dirugikan karena pelaku usaha
cenderung memiliki bargaining position yang lebih tinggi dari konsumen.
b. Terdapat hambatan teknis
Dalam pasar dengan struktur persaingan tidak sempurna cenderung terdapat
hambatan teknis bagi pelaku usaha yang menyebabkan pelaku usaha tersebut sulit
bersaing dengan pelaku usaha yang telah ada di pasar.103 Keadaan ini sering
ditemui dalam pasar dengan struktur monopoli.
c. Produknya terdiferensiasi
Tidak seperti dalam pasar persaingan sempurna yang produknya bersifat
homogen. Dalam pasar ini produk yang ada di pasar cenderung terdiferensiasi,
antara satu produk dengan produk lain memiliki karakteristik yang berbeda
103
Ibid, h.32.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
73
sehingga menyebabkan konsumen mempunyai kecenderungan terhadap produk
tertentu dibanding produk lainnya. Hal ini biasa ditemui dalam pasar persaingan
monopolistik.
d. Dapat menguasai penentuan harga
Dalam pasar persaingan tidak sempurna jumlah penjual dan pembeli relatif
tidak seimbang. Dalam struktur pasar ini biasanya jumlah penjual cenderung lebih
sedikit daripada jumlah pembeli contohnya dalam pasar monopoli dan oligopoli.
Dengan keadaan tersebut pelaku usaha tentu mempunyai bargaining position
yang lebih tinggi dari konsumen sehingga pelaku usaha mempunyai kemampuan
untuk menentukan harga suatu produk tersebut bagi konsumen.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, struktur pasar ini merupakan
faktor yang mempengaruhi penetapan jumlah presentase penguasaan pangsa pasar
yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi
dominan terutama terkait dengan banyaknya jumlah pelaku usaha yang ada di
dalam suatu pasar tersebut. Dalam struktur pasar yang terdapat banyak pelaku
usaha di dalamnya seperti pasar persaingan sempurna maupun pasar persaingan
monopolistik tentu penguasaan pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki
posisi dominan tidaklah terlalu besar, sedangkan dalam struktur pasar yang
jumlah pelaku usahanya terbatas seperti pasar oligopoli dan monopoli penguasaan
pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki posisi dominan tentu akan lebih
besar.
Perbedaan struktur pasar terutama terkait dengan jumlah pelaku usaha yang
terdapat dalam suatu pasar inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan terkait
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
74
dengan presentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha untuk dapat dikatakan
memiliki posisi dominan.
Dalam negara-negara di kawasan ASEAN masih terdapat adanya perbedaan
terkait dengan jumlah presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha
untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan.
Perbedaan presentase pangsa pasar diantara negara di kawasan ASEAN ini
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur pasar yang terdapat di negaranegara ASEAN.
Tabel III.3
Presentase penguasaan pangsa pasar di ASEAN
No
1
2
3
4
5
6
7
presentase penguasaan pasar
satu pelaku usaha dua/lebih pelaku usaha
≥ 50%
≥ 75%
Indonesia
Filipina
Laos
Malaysia
≥ 60%
≥ 60%
Singapura
> 50%
> 75%
Thailand
≥ 30%
≥ 50% , ≥ 65% , ≥ 75%
Vietnam
Negara
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Dalam tabel diatas terdapat perbedaan mengenai presentase penguasaan
pasar sehingga pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu
pasar. Di Indonesia berdasarkan UU No.5/1999 pelaku usaha dapat dikatakan
memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih untuk pelaku usaha
perseorangan dan 75% atau lebih untuk dua pelaku usaha atau lebih. Di dalam
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
75
pengaturan persaingan usaha di negara Filipina tidak ditemui pengaturan terkait
besaran penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha dominan sedangkan untuk
Malaysia dan Laos dalam undang-undang yang berlaku di negaranya pelaku usaha
dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai pangsa pasar melebihi nilai
yang ditetapkan komisi pengawas persaingan masing-masing negara. Tidak
ditemui besaran pasti terkait presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku
usaha untuk memegang posisi dominan di negara-negara tersebut.Singapura
menetapkan pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan apabila
menguasai 60% pangsa pasar hal ini berlaku bagi pelaku usaha perseorangan atau
lebih. Di Thailand seorang pelaku usaha dapat dikatakan memegang posisi
dominan apabila menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dan lebih dari 75%
pangsa pasar bagi dua/lebih pelaku usaha. Berbeda dengan negara lainnya
Vietnam menetapkan penguasaan pangsa pasar sebesar 30% atau lebih untuk
seorang pelaku usaha dan membagi kelompok usaha menjadi tiga bagian yaitu
untuk dua pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar, tiga dan empat
pelaku usaha berturut turut 65% atau lebih dan 75% atau lebih pangsa pasar.
Perbedaan terkait presentase pangsa pasar ini tentu akan berpotensi
menimbulkan permasalahan terutama dalam pelaksanaan AEC pada 2015. Hal ini
disebabkan karena penguasaan pangsa pasar merupakan salah satu indikator
penting dalam mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha.
Bentuk harmonisasi yang perlu dilakukan terkait dengan perbedaan
presentase penguasaan pangsa pasar ini adalah perlu adanya kesepahaman
diantara negara-negara anggota ASEAN mengenai kriteria yang digunakan dalam
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
76
menetapkan nilai presentase penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha untuk
dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu pasar.
3. Bentuk penyalahgunaan
Dalam penyalahgunaan posisi dominan terdapat dua bentuk penyalahgunaan
yang ada yaitu: penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) dan
penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse).
Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif disini merupakan bentuk upaya
maksimalisasi keuntungan dengan cara mereduksi iuaran dan menaikkan harga
diatas level kompetitif sehingga terjadi suatu eksploitasi dari pelaku usaha
terhadap konsumen.104 Penyalahgunaan jenis ini dapat berupa excessive price
yang merupakan penerapan harga yang bersifat monopolistik, unfair condition
yaitu penerapan syarat-syarat yang tidak adil bagi konsumen atau pelaku usaha
pesaing dan the quite life yakni penolakan penggunaan teknologi tertentu dengan
alasan-alasan yang tidak dapat diterima.105 Penyalahgunaan lainnya adalah
penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran. Dalam penyalahgunaan ini pelaku
usaha pemegang posisi dominan berusaha membatasi akses terhadap pasar baik
dari pelaku usaha pesaing maupun pelaku usaha potensial. Tujuan dari
penyalahgunaan ini adalah menyingkirkan pelaku usaha pesaing yang telah ada di
pasar dan mencegah masuknya pelaku usaha potensial ke dalam suatu pasar yang
dikuasainya. Penyalahgunaan ini dapat berupa:106
a. Hambatan masuk ke pasar (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial,
104
105
106
Vegitya Ramadhani Putri, Loc.Cit.
Ibid.
Ibid, Loc.Cit. Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
77
b. Export bans yang merupakan pelarangan ekspor,
c. Pricing strategies yang meliputi discount and rabates dan predatory pricing,
d. Tying and leverage,
e. Merger
f. Refusal to supply yang meliputi refusal to deal dan refusal to allow consumers
access to essential facility
Diantara negara-negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan
mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang di dalam legislasi
mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini
Tabel III.4
Bentuk penyalahgunaan posisi dominan di ASEAN
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Negara Bentuk Penyalahgunaan Indonesia Filipina Laos Malaysia Singapura Thailand Vietnam excessive price × × × × × unfair condition √ √ √ √ √ √ √ × √ the quite life √ barrier to entry √ √ √ √ √ export bans × × × × × pricing × √ √ √ √ strategies tying and × √ × × × leverage × √ √ √ merger √ refusal to supply √ √ × √ √ Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Keterangan: untuk Filipina dan Laos tidak terdapat pengaturan penyalahgunaan
posisi dominan.
Keterangan : × = tidak diatur
√ = diatur
Berdasarkan tabel diatas terlihat masih terdapat ketidakseragaman
pengaturan mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Di
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
78
kawasan ASEAN hampir semua menetapkan penerapan unfair condition terhadap
konsumen atau pelaku usaha pesaing merupakan bentuk dari penyalahgunaan
posisi dominan. Negara-negara anggota ASEAN kecuali Thailand menetapkan
pembatasan penggunaan teknologi (the quite life) sebagai salah satu bentuk
penyalahgunaan posisi dominan.
Terdapat keseragaman terkait dengan bentuk penyalahgunaan berupa
barrier to entry, semua negara ASEAN yang mengatur mengenai penyalahgunaan
posisi dominan mengatur bahwa hambatan masuk ke pasar merupakan salah satu
bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Di negara ASEAN tidak
ada
yang
mengatur
pelarangan
ekspor
(export
bans)
sebagai
bentuk
penyalahgunaan posisi dominan, selain itu untuk bentuk penyalahgunaan berupa
pricing strategies hanya Indonesia yang tidak memasukkannya ke dalam bentuk
penyalahgunaan posisi dominan. Malaysia menjadi satu-satunya negara di
ASEAN yang mengatur secara spesifik mengenai kebijakan tying and leverage
sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Merger yang dapat
mengakibatkan posisi dominan dilarang hampir di seluruh negara ASEAN hanya
Malaysia yang tidak mengatur secara spesifik mengenai merger. Selain di
Singapura, tindakan refusal to supply oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan
dikategorikan oleh negara-negara di ASEAN sebagai bentuk penyalahgunaan
yang dilarang.
Kesimpulan berdasarkan analisis diatas adalah masih terdapat perbedaan
diantara negara-negara di ASEAN mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan
posisi dominan yang dilarang. Perbedaan pengaturan ini tentu dapat menjadi celah
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
79
bagi pelaku usaha untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan terutama
pada saat AEC diberlakukan karena tidak semua negara ASEAN mengatur bentuk
penyalahgunaan posisi dominan yang sama.
Bentuk harmonisasi yang perlu dilakukan oleh negara-negara anggota
ASEAN
adalah
menyeragamkan
pengaturan
mengenai
bentuk-bentuk
penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang bagi pelaku usaha, hal ini untuk
menutup celah timbulnya praktek penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku
usaha di kawasan ASEAN.
4. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penyalahgunaan posisi dominan
Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua jenis pendekatan yang
digunakan dalam menerapkan pasal-pasal yang mengatur tindakan anti persaingan
yaitu per se illegal dan rule of reason.
Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan
usaha tertentu illegal tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut atas dampak
yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut, sedangkan
pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga
otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi terhadap akibat yang
ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tertentu untuk menentukan
apakah perjanjian atau kegiatan usaha tersebut bersifat menghambat atau
mendukung persaingan.107
Terdapat kelebihan dan kelemahan dalam masing-masing pendekatan
tersebut. Kelebihan dalam menggunakan metode pendekatan per se illegal adalah
107
Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
80
pada proses penyelidikan yang relatif mudah dan sederhana. Dalam pendekatan
ini tidak diperlukan lagi suatu evaluasi terhadap situasi dan karakteristik pasar.108
Pada pendekatan per se illegal keputusan melawan hukum diberikan tanpa adanya
analisa lebih lanjut terkait dengan dampak dari perbuatan tersebut, sehingga
terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pendekatan ini yaitu
adanya dampak kerugian yang signifikan dari perilaku tersebut dan kerugian
tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang.109 Kelebihan lain yang
terdapat dalam pendekatan ini adalah penerapan per se illegal dianggap lebih
memberikan kepastian hukum terutama bagi pelaku usaha. Kelemahan yang
terdapat dalam pendekatan ini adalah berkaitan dengan pembuktian adanya suatu
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang tersebut, hal ini dikarenakan
pada umumnya pelaku usaha tidak melakukan perjanjian maupun kegiatan usaha
yang dilarang tersebut secara terang-terangan sehingga dalam hal ini perlu
kejelian dari otoritas pengawas persaingan usaha untuk membuktikan adanya
perjanjian maupun kegiatan usaha tersebut.
Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam pendekatan rule of reason
memungkinkan adanya interpretasi terhadap undang-undang sehingga tidak serta
merta suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang dianggap
melanggar undang-undang, melainkan dianalisis terlebih dahulu apakah perjanjian
atau kegiatan usaha yang dilakukan itu menghambat proses persaingan atau tidak.
108
Andi Fahmi Lubis, et al., Op.Cit., h. 60 dikutip dari Carl Kaysen and Donald F.Turner, Antitrust
Policy an Economic and Legal Analysis, (Cambridge: Harvard University Press, 1971) p.142.
109
Ibid, h.61 dikutip dari Carl Kaysen and Donald F. Turner Op.Cit. Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
81
Kelebihan dalam pendekatan rule of reason adalah adanya analisis ekonomi
untuk mencapai efisiensi guna mengetahui secara pasti apakah tindakan pelaku
usaha tersebut berdampak terhadap persaingan.110 Pendekatan rule of reason ini
juga mengandung kelemahan yaitu dipersyaratkannya pengetahuan tentang teori
ekonomi dan data-data ekonomi yang kompleks untuk menganalisa tindakan
pelaku usaha tersebut apakah bersifat menghambat persaingan. Kelemahan
lainnya adalah proses penyelidikan yang lebih rumit dan waktu yang lebih
panjang hal ini dikarenakan perlu suatu analisis ekonomi terlebih dahulu untuk
menilai apakah tindakan pelaku usaha tersebut menimbulkan dampak terhadap
persaingan.
Di kawasan ASEAN masih terdapat perbedaan terkait dengan jenis
pendekatan yang digunakan oleh komisi pengawas persaingan usaha di masingmasing negara dalam menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi
dominan.
Tabel III.5
Jenis pendekatan yang digunakan di ASEAN
No
1
2
3
4
5
6
7
Jenis Pendekatan yang digunakan
Indonesia Per Se Illegal
Filipina
Laos
Malaysia Rule of reason
Singapura Rule of reason
Thailand Rule of reason
Per Se Illegal
Vietnam
Negara
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
110
Ibid, h.66.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
82
Keterangan: untuk Filipina dan Laos tidak terdapat pengaturan penyalahgunaan
posisi dominan.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa terdapat ketidakseragaman diantara
negara-negara anggota ASEAN terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan
untuk menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Di Indonesia
secara normatif terlihat dalam pasal yang mengatur mengenai penyalahgunaan
posisi dominan menggunakan pendekatan per se illegal namun dalam prakteknya
otoritas pengawas persaingan di Indonesia cenderung menggunakan pendekatan
rule of reason dalam menerapkan pasal terkait penyalahgunaan posisi dominan.
Vietnam yang dengan tegas melarang adanya penyalahgunaan posisi
dominan oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan sehingga dapat disimpulkan
pendekatan yang digunakan oleh negara ini adalah per se illegal, sedangkan di
Malaysia, Singapura dan Thailand pendekatan yang digunakan untuk menerapkan
pasal penyalahgunaan posisi dominan adalah rule of reason.
Ketidakseragaman terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan oleh
negara-negara anggota ASEAN dalam menerapkan pasal penyalahgunaan posisi
dominan tentu berpotensi menimbulkan permasalahan terkait ketidakpastian
hukum dalam menerapkan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan
terhadap pelaku usaha pemegang posisi dominan di kawasan ASEAN.
Bentuk harmonisasi yang dapat dilakukan adalah menciptakan kesepahaman
terkait jenis pendekatan apa yang paling sesuai untuk digunakan dalam
menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan di dalam kawasan ASEAN
khususnya saat AEC nanti mulai diberlakukan.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
83
Tidak adanya harmonisasi terkait pengaturan posisi dominan di negaranegara ASEAN tentu akan menyebabkan lemahnya penindakan oleh suatu komisi
pengawas persaingan terhadap tindakan penyalahgunaan posisi dominan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Keadaan tersebut disebabkan belum adanya aturan
yang berlaku secara global di kawasan ASEAN terkait dengan posisi dominan dan
penyalahgunaannya. Perbedaan aturan diantara negara-negara ASEAN ini tentu
akan berpengaruh terhadap kekuatan hukum dari putusan yang dikeluarkan oleh
komisi pengawas persaingan di suatu negara, contohnya ketika komisi pengawas
persaingan usaha Indonesia dalam hal ini KPPU menjatuhkan putusan bersalah
bagi pelaku usaha asal Singapura yang terbukti berdasarkan hukum yang berlaku
di Indonesia melakukan penyalahgunaan posisi dominan di pasar domestik
Indonesia bisa saja karena terdapat perbedaan pengaturan mengenai posisi
dominan dan penyalahgunaannya yang berlaku diantara kedua negara ini maka
pelaku usaha tersebut dinyatakan bebas oleh komisi pengawas persaingan usaha di
Singapura, sehingga dalam hal ini perlu adanya suatu harmonisasi agar putusan
yang dijatuhkan dapat oleh komisi pengawas persaingan usaha suatu negara
memiliki kekuatan hukum yang mengikat juga di negara lain.111
Pentingnya harmonisasi pengaturan khususnya terkait dengan kepemilikan
posisi dominan diantara negara-negara ASEAN ini dapat dilihat dalam AEC
Blueprint. Dalam AEC Blueprint ini memuat empat kerangka utama untuk
mencapai AEC 2015 salah satunya adalah mewujudkan ASEAN sebagai kawasan
dengan daya saing ekonomi yang tinggi dengan elemen peraturan kompetisi,
111
“KPPU: Perlu Harmonisasi Hukum Persaingan Usaha di ASEAN”, www.hukumonline.com
diakses pada tanggal 9 Desember 2014.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perlindungan
konsumen,
hak
atas
kekayaan
intelektual,
84
pengembangan
infrastruktur, perpajakan dan e-commerse.
3.2 Bentuk Pendekatan dalam Upaya Harmonisasi Pengaturan Posisi
Dominan
Dalam upaya membentuk suatu harmonisasi pengaturan diantara negaranegara anggota ASEAN dalam rangka menyambut berlakunya kebijakan AEC
pada 2015, terdapat beberapa dasar pendekatan yang mengemuka yaitu:112
1.
Harmonisasi dilakukan dengan membentuk sebuah peraturan internasional
yang komperhensif dan dilengkapi dengan adanya lembaga penegakan hukum
persaingan usaha yang bersifat supranasional. Supranasional disini mempunyai
arti suatu lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang melampaui satu negara.
Pendekatan ini digunakan oleh Munich Group yang mengusulkan International
Antitrust Code yang diterbitkan pada tahun 1993 sebagai draft dari GATT
plurilateral agreement;
2.
Dalam pendekatan ini harmonisasi tidak dilakukan dengan membentuk
suatu ketentuan hukum yang bersifat supranasional melainkan melalui
harmonisasi terhadap hukum persaingan usaha nasional. Upaya harmonisasi ini
dapat berbentuk “uniform laws project” yang disusun oleh orang-orang ahli dan
berpengalaman yang didalamnya berisi banyak aturan dan opsi.
3.
Dalam pendekatan ini langkah awal dari harmonisasi dimulai dengan
membentuk dan menyempurnakan perjanjian-perjanjian bilateral yang bertujuan
112
Rhido Jusmadi, Op.Cit., h.108, dikutip dari Eleanor M.Fox, The US Merger that Europe
Stopped-A Story of the Politics of Convergence, dalam Eleanor M.Fox & Daniel N.Crane (eds),
Antitrust Story, New York: Foundation Press, 2007, p.13-14. Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
85
untuk memperkuat kerjasama antar otoritas persaingan usaha. Tahap selanjutnya
negara-negara akan membentuk suatu plurilateral framework yang berisikan
tentang perangkat minimum aturan-aturan persaingan usaha dan instrumen
penyelesaian sengketa.
Dalam plurilateral framework ini mengatur mengenai hal-hal yang bersifat
konstitusional dalam persaingan usaha yang pada umumnya berupa pelarangan
terhadap praktek-praktek anti persaingan usaha yang menutup market access
seperti penyalahgunaan posisi dominan maupun pelarangan terhadap kartel-kartel
transnasional.
Langkah harmonisasi berdasarkan pendekatan ini dimulai dari penerapan
plurilateral framework oleh kelompok inti dari negara-negara yang kemudian
akan diperluas penerapannya oleh kelompok partisipasi hingga menghasilkan
suatu peraturan persaingan usaha yang sesuai bagi negara-negara tersebut.113
4.
Salah satu hambatan dari upaya harmonisasi adalah adanya keengganan dari
negara-negara untuk membawa permasalahan kebijakan persaingan ke tingkat
multinasional.
Negara-negara
cenderung
berasumsi
bahwa
permasalahan
kebijakan persaingan ini dapat diselesaikan di level nasional dengan
menggunakan perangkat hukum nasional. Melalui pendekatan ini harmonisasi
dilakukan dengan meningkatkan kesadaran negara-negara tersebut mengenai
pentingnya pembahasan mengenai permasalahan kebijakan persaingan di tingkat
113
Ibid.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
86
multinasional sebagai suatu langkah awal untuk mewujudkan harmonisasi
pengaturan diantara negara kawasan.114
3.3 Langkah-Langkah Untuk Mewujudkan Harmonisasi Pengaturan Posisi
Dominan dalam ASEAN Economic Community
Pembentukan suatu komunitas masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah
regional tidak hanya terjadi dalam ASEAN Economic Community, pembentukan
komunitas masyarakat ekonomi regional ini pernah dilakukan oleh Uni Eropa
(European Union) (untuk selanjutnya disebut sebagai EU). EU merupakan
organisasi yang bersifat supra-nasional yang beranggotakan negara-negara di
Eropa. Salah satu langkah awal pembentukan EU ini bermula dari kerjasama
ekonomi diantara negara-negara di kawasan Eropa yang ditandai dengan
pembentukan European Economic Community (EEC). Komunitas Ekonomi Eropa
ini dibentuk pada 1 Januari 1958 berdasarkan perjanjian roma (rome treaty).115
Saat ini EU telah bertransformasi dari sebuah kesatuan ekonomi menjadi suatu
kesatuan politik.
3.3.1 Harmonisasi dalam Uni Eropa
Dalam
perkembangannya
EU
telah
melakukan
berbagai
langkah
harmonisasi pengaturan diantara negara-negara anggotanya. Terdapat dua konsep
harmonisasi yang digunakan oleh EU dalam mengharmonisasikan aturanaturannya yaitu harmonisasi minimum dan harmonisasi maksimum.
114
Ibid.
115
Fany Dastanta, “Implikasi Penerimaan Siprus Dalam Keanggotaan Uni Eropa Terhadap
Penerimaan Turki Dalam Keanggotaan Uni Eropa”, Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, h. 34.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
87
Harmonisasi minimum disini umumnya berupa kesepakatan politik antara
negara anggota EU dengan European Commission (untuk selanjutnya disebut
EC). Harmonisasi ini diwujudkan dengan pembentukan platform umum dalam EU
yang berlaku bagi seluruh negara anggota namun dimungkinkan bagi negara
anggota EU untuk mengatur standar yang lebih ketat dalam hukum
nasionalnya.116
Berbeda dengan harmonisasi minimum, dalam harmonisasi maksimum ini
negara-negara anggota diharuskan memberlakukan seluruh ketentuan yang telah
ditetapkan dalam peraturan EU ke dalam hukum nasionalnya. Negara-negara
anggota tidak dimungkinkan untuk mengatur standar yang lain lebih ketat kecuali
dengan alasan-alasan yang telah diatur dalam peraturan EU tersebut. Salah satu
contoh penerapan harmonisasi maksimum ini dapat ditemui dalam The Unfair
Commercial Practices Directive 2005/29/EC.
Terkait dengan kebijakan persaingan usaha khususnya mengenai pengaturan
posisi dominan, upaya harmonisasi pengaturan ini dapat dilihat dalam TFEU. Di
dalam TFEU ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan diatur dalam
article 102. Ketentuan penyalahgunaan posisi dominan tersebut berlaku bagi
seluruh negara anggota dalam EU. Hal ini untuk menjamin bahwa persaingan
dalam pasar bersama di EU tidak terdistorsi.117 Bentuk harmonisasi yang
digunakan EU dalam penerapan kebijakan persaingan usaha khususnya terkait
dengan penyalahgunaan posisi dominan adalah harmonisasi maksimum, hal ini
116
Geraint Howells, Hans-W. Micklitz, and Thomas Wilhelmsson, European Fair Trading Law
The Unfair Commercial Practices Directive, Ashgate, 2006, h. 28.
117
Lihat Council Regulation (EC) No.1/2003 of 16 December 2002 on the implementation of the
rules on competition laid down in Articles 101 and 102 of the Treaty.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
88
dapat dilihat dari ketentuan pelaksana competition policy yang ada dalam EU
yaitu Council Regulation (EC) No.1/2003 of 16 December 2002 on the
implementation of the rules on competition laid down in Articles 101 and 102 of
the Treaty on the Functioning of the European Union yang tidak melarang negaranegara anggota EU untuk menerapkan legislasi nasional yang berlaku di
wilayahnya selama produk legislasi tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip umum dan ketentuan hukum lainnya yang telah diatur dalam
TFEU.
3.3.2 Konsep harmonisasi dalam pelaksanaan ASEAN Economic Community
Tidak sepenuhnya konsep harmonisasi yang diterapkan dalam EU dapat
diaplikasikan ke dalam AEC. Keadaan ini disebabkan karena terdapat perbedaan
antara EU dengan AEC. Perbedaan yang mendasar antar EU dengan AEC adalah
adanya penyerahan kedaulatan oleh negara-negara anggota EU kepada EC
sehingga EC berwenang untuk mengambil keputusan yang otonom yang mengikat
negara-negara anggota EU, sedangkan dalam AEC kedaulatan tertinggi tetap
berada di negara-negara anggota ASEAN.
Mengingat kondisi tersebut maka bentuk harmonisasi pengaturan posisi
dominan yang sesuai untuk dapat diterapkan dalam pelaksanaan AEC adalah
harmonisasi minimum.
Harmonisasi ini dilakukan dengan pembentukan suatu platform umum yang
memuat pengaturan mengenai posisi dominan dan bentuk penyalahgunaannya
yang berlaku di seluruh negara kawasan ASEAN.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
89
Demi mewujudkan adanya suatu harmonisasi terkait dengan pengaturan
posisi dominan dalam AEC perlu adanya kesepahaman terlebih dahulu mengenai
apa yang dimaksud dengan posisi dominan serta kriteria penyalahgunaannya
diantara negara-negara anggota ASEAN. Setelah tercapai suatu kesepahaman
mengenai definisi dari posisi dominan dan kriteria penyalahgunaannya maka
upaya harmonisasi dilakukan dengan menyeragamkan pengaturan mengenai halhal yang mendasar dalam pegaturan posisi dominan yaitu:
1. Definisi pelaku usaha
Pelaku usaha merupakan unsur penting dalam menentukan keberlakuan dari
pengaturan posisi dominan. Dengan adanya integrasi ekonomi dalam AEC tentu
akan meningkatkan arus transaksi bisnis yang bersifat lintas batas negara serta
melibatkan pelaku usaha yang berasal dari berbagai negara di ASEAN. Masih
belum seragamnya definisi pelaku usaha di negara-negara ASEAN tentu rawan
menjadi celah bagi pelaku usaha asing yang berasal dari negara anggota ASEAN
untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan yang dapat menimbulkan
dampak negatif bagi pasar domestik di negara ASEAN lain.
Dalam rangka menghindari hal tersebut penyeragaman pengaturan
mengenai definisi dari pelaku usaha diantaranegara anggota ASEAN perlu
dilakukan. Negara di kawasan ASEAN perlu menetapkan definisi yang seragam
terkait dengan apa yang dimaksud dengan pelaku usaha. Selain itu perlu negara di
kawasan ASEAN perlu melakukan perluasan terhadap definisi pelaku usaha
sehingga nantinya definisi tersebut mempunyai kekuatan berlaku secara ekstra
teritorial. Hal tersebut penting mengingat dengan adanya AEC pelaku usaha
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
90
berpotensi melakukan penyalahgunaan dominan yang berdampak terhadap pasar
domestik di suatu negara tanpa harus menjalankan kegiatan usahanya di negara
tersebut. Dengan adanya definisi pelaku usaha yang mempunyai kekuatan berlaku
yang bersifat ekstra teritorial ini pengaturan tentang posisi dominan khususnya
mengenai penyalahgunaannya dapat mencakup pelaku usaha asing dan
memudahkan penindakan terhadap pelaku penyalahgunaan posisi dominan
tersebut.
2. Penetapan posisi dominan
a. Pasar bersangkutan
Harmonisasi terkait dengan definisi pasar bersangkutan di ASEAN dalam
rangka menghadapi kebijakan AEC 2015 sangat penting untuk dilakukan. Hal ini
dikarenakan definisi pasar bersangkutan merupakan salah satu indikator utama
untuk mengukur penguasaan pelaku usaha atas produk tertentu. Perbedaan definisi
pasar bersangkutan yang terjadi di kawasan ASEAN tentu akan menyulitkan
komisi pengawas persaingan di suatu negara untuk menilai secara tepat apakah
pelaku usaha tersebut dapat dikatakan memiliki posisi dominan atau tidak atas
suatu produk tertentu.
Harmonisasi terkait dengan pendefinisian pasar bersangkutan diantara
negara-negara anggota ASEAN ini dapat dilakukan dengan membuat suatu
definisi yang seragam mengenai pasar bersangkutan beserta aspek-aspek penilaian
didalamnya yang nantinya berlaku bagi seluruh negara di kawasan ASEAN.
Keseragaman definisi mengenai pasar bersangkutan ini penting agar suatu komisi
persaingan usaha di negara ASEAN dapat melakukan pembatasan dan penilaian
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
91
yang akurat dan tepat terkait dengan dominasi pelaku usaha di pasar yang terdapat
di kawasan ASEAN.
b. Pangsa pasar
Faktor lain yang penting dalam menentukan posisi dominan palaku usaha
adalah penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha. Berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan sebelumnya, terdapat perbedaan diantara negara-negara anggota
ASEAN terkait dengan jumlah presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi
pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan. Perbedaan terkait
dengan jumlah presentase pangsa pasar tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan
struktur pasar yang dimiliki masing-masing negara. Selain terdapat perbedaan
mengenai jumlah presentase penguasaan pangsa pasar masalah lain juga terlihat
dengan masih adanya negara yang tidak menetapkan secara spesifik nilai
presentase penguasaan pangsa pasar berlaku di negaranya.
Harmonisasi yang dapat dilakukan terkait dengan presentase penguasaan
pangsa pasar ini adalah perlu adanya keseragaman terkait dengan kriteria yang
digunakan oleh suatu negara dalam menentukan jumlah presentase pangsa pasar
bagi pelaku usaha dominan. Hal ini dikarenakan struktur pasar yang berbeda di
setiap negara turut mempengaruhi perbedaan nilai presentase penguasaan pasar
yang berlaku di suatu negara. Selain itu perlu adanya suatu pengaturan yang
spesifik mengenai nilai presentase penguasaan pangsa pasar bagi negara yang
belum mencantumkannya secara rinci di pengaturan posisi dominan yang berlaku
di negaranya. Hal ini diperlukan untuk memudahkan komisi pengawas persaingan
usaha untuk menilai dominasi suatu pelaku usaha pada pasar.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
92
c. Bentuk penyalahgunaan
Belum adanya harmonisasi terkait dengan bentuk penyalahgunaan apa
sajakah yang dilarang dalam AEC tentu akan menimbulkan masalah terkait
dengan lemahnya penegakan hukum terkait penyalahgunaan posisi dominan.
Dalam prakteknya bisa saja suatu bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang
dilarang di suatu negara tidak dilarang di negara ASEAN lainnya. Hal ini tentu
akan menimbulkan celah bagi pelaku usaha asing yang memiliki posisi dominan
untuk dapat melakukan penyalahgunaan yang nantinya berdampak negatif
terhadap pasar domestik di suatu negara di kawasan ASEAN.
Harmonisasi yang dapat dilakukan negara-negara di ASEAN terkait hal ini
adalah dengan menetapkan bentuk-bentuk penyalahgunaan apa saja yang dilarang
bagi pelaku usaha dominan di kawasan ASEAN. Hal ini penting agar ada suatu
aturan main yang jelas bagi pelaku usaha di kawasan ASEAN mengenai apa saja
tindakan penyalahgunaan yang dilarang bagi pemegang posisi dominan.
d. Jenis pendekatan yang digunakan
Sebagaimana yang diketahui terdapat dua pendekatan yang digunakan
dalam hukum persaingan usaha yaitu per se illegal dan rule of reason. Dalam
pengaturan mengenai posisi dominan yang ada di ASEAN masih terdapat
perbedaan mengenai jenis pendekatan yang digunakan dalam menerapkan pasal
terkait dengan penyalahgunaan posisi dominan.
Perbedaan jenis pendekatan yang digunakan ini tentu berpotensi
menimbulkan permasalahan bagi komisi pengawas persaingan di suatu negara
untuk menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Perbedaan ini
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
93
akan menimbulkan ketidakpastian karena berbeda jenis pendekatan maka berbeda
pula dampak yang diakibatkan bagi pelaku usaha, apabila negara tersebut
menggunakan pendekatan per se illegal maka setiap tindakan pelaku usaha yang
dilarang oleh undang-undang akan selalu dianggap melanggar hukum. Berbeda
jika negara tersebut menggunakan pendekatan rule of reason, maka tindakan yang
dilakukan pelaku usaha yang dilarang oleh undang-undang tidak serta merta
dianggap suatu pelangggaran melainkan terlebih dahulu dilakukan analisa apakah
tindakan tersebut membawa dampak negatif terhadap persaingan di pasar tersebut
atau tidak.
Jenis pendekatan yang sebaiknya digunakan dalam menerapkan ketentuan
posisi dominan dalam AEC adalah pendekatan rule of reason, hal ini mengingat
bahwa pada dasarnya dalam hukum persaingan usaha memegang posisi dominan
tidaklah dilarang.
Tujuan dari setiap pelaku usaha adalah agar dapat menjadi lebih unggul dari
pelaku usaha lainnya di pasar bersangkutan sehingga untuk mencapai posisi
tersebut pelaku usaha melakukan inovasi serta efisiensi agar mampu
menghasilkan produk yang kompetitif dan berkualitas sehingga lebih diminati
konsumen. Sehingga dapat dikatakan memiliki posisi dominan merupakan
prestasi tersendiri bagi pelaku usaha.
Berdasarkan kondisi ini maka kepemilikan posisi dominan tidak seharusnya
dilarang, yang dilarang adalah penyalahgunaannya yang dapat menimbulkan
praktek persaingan tidak sehat di suatu pasar, sehingga dapat disimpulkan
pendekatan yang seharusnya digunakan dalam ketentuan posisi dominan adalah
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
94
pendekatan rule of reason agar tidak membatasi pertumbuhan pelaku usaha yang
efisien, inovatif dan kompetitif di suatu pasar bersangkutan.118
Selain pembentukan aturan yang seragam mengenai hal-hal yang mendasar
dalam penetapan posisi dominan, hal yang penting yang perlu dilakukan oleh
negara-negara anggota ASEAN adalah menyepakati tentang kekuatan keberlakuan
dari kebijakan yang dibentuk secara bersama ini, hal ini untuk menghindari
adanya pergesekan antara hukum yang dibuat secara bersama oleh negara-negara
anggota ASEAN dengan hukum nasional masing-masing negara yang mereka
miliki. Selain itu hal ini juga diperlukan untuk memberikan suatu code of conduct
yang jelas bagi komisi pengawas persaingan usaha di masing-masing negara
dalam melakukan pengawasan serta penindakan terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha di kawasan ASEAN terhadap aturan bersama
tersebut.
118
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.170.
Skripsi
HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
Download