2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Karang Ikan karang merupakan komponen penting penyusun ekosistem terumbu karang. Ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah, terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi. Populasi ikan di terumbu karang berubah dari siang ke malam hari. Ikan pemakan plankton yang banyak tersebar di sekeliling terumbu pada siang hari, bersembunyi/berlindung di celah-celah terumbu pada malam hari. Selanjutnya pada malam hari populasi ikan terumbu digantikan oleh sejumlah kecil spesies nokturnal yang semuanya bersifat predator (Nybakken 1988). Sale (1991) mengelompokkan ikan karang yang berasosiasi paling erat dengan lingkungan terumbu karang menjadi tiga golongan utama, yaitu: 1. Labroid: Labridae (wrassess), Scaridae (parrot fish), dan Pomacentridae (damselfish). 2. Acanthuroid: Acanthuroidae (surgeonfishes), Siganidae (rabbitfishes), dan Zanclidae (moorish idols) yang terdiri dari satu genus yaitu Zanclus. 3. Chaetodontoid: Chaetodontidae (butterflyfishes) dan Pomacanthidae (angelfishes). Menurut Nybakken (1988) berdasarkan waktu makannya, ikan karang terdiri dari ikan diurnal dan nokturnal. Berdasarkan kebiasaan makannya, Hiatt dan Donald (1980) mengelompokkan ikan karang menjadi pemakan alga, pemakan plankton, omnivor, pemakan detritus, pemakan polip karang dan karnivor besar pengelana. Sedangkan Sorokin (1995) membagi ikan karang berdasarkan kebiasaan makannya menjadi pemakan plankton (planktivorous fish), pemakan organisme bentik (benthopages), pemakan segala (omnivor), pemakan tumbuhan alga (herbivorous fish) dan pemakan ikan (piscivorous fish). Kelompok lain yang juga ditemukan di daerah terumbu maupun non terumbu adalah predator besar yang memakan invertebrata bergerak dan ikan lain, serta planktivor. Menurut Allen & Steene (1990), ikan diurnal merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang,yang termasuk ikan diurnal adalah dari famili Pomacentridae, Labridae, Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Pomacanthidae, Lutjanidae, 12 Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blenniidae dan Gobiidae. Ikan diurnal makan dan tinggal di permukaan karang serta memakan plankton yang lewat diatasnya. Pada malam hari ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam karang dan keberadaan ikan diurnal akan digantikan oleh ikan nokturnal. Ikan nokturnal meliputi famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae. Selain itu ada pula ikan lain yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti famili Scombridae, barracuda (Sphyraenidae), ekor kuning (Caesionidae) dan hiu (Alopiidae). Ikan ini biasanya merupakan ikan predator dan ikan pelagis yang berasal dari perairan di sekitarnya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat yang terdapat di terumbu. Terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga dan juga perairan yang dangkal dan dalam. Perbedaan dalam kadar cahaya hingga pergerakan ombak, arus, kecerahan, ketersediaan alga, plankton, dan jenis habitat yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh ikan dengan karakteristik yang berbeda pula (Allen 1999). Selain itu tingginya keragaman spesies ini juga dikarenakan pembagian habitat yang jelas dalam ekosistem terumbu. Sebagai contoh, banyak ikan-ikan terumbu, meskipun gerakannya jelas tetapi ternyata terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi, tidak berpindah. Hubungan dalam kebiasaan makan ikan-ikan terumbu juga merupakan hal yang menarik perhatian. Tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di terumbu adalah karnivor (sekitar 50 – 70%). Sebagian besar dari ikan karnivor ini bersifat oportunistik dan memakan mangsa yang berbeda pada tingkatan yang berbeda dalam siklus hidupnya. 2.2 Jenjang Trofik dan Aliran Energi Pada dasarnya jenjang trofik (trofik level) merupakan urut-urutan tingkat pemanfaatan pakan atau material dan energi seperti yang tergambarkan oleh rantai makanan (food chain). Jenjang trofik menggambarkan tahapan transfer material atau energi dari setiap jenjang atau kelompok ke jenjang berikutnya, yang dimulai dengan produser primer, jenjang berikutnya adalah konsumer primer (herbivor), 13 kemudian sekunder, tersier, dan seterusnya dan diakhiri dengan predator puncak (Gallopin 1972; Odum 1998; Kennish 2000; Jenning et al. 2003; Widodo dan Suadi 2006). Dasar dari jenjang trofik adalah autotrof yang memfiksasi C (karbon) melalui fotosintesa dan menyediakan enegi untuk organisme konsumer (yaitu heterotrof). Pada urutan jenjang trofik berikutnya yang lebih tinggi, konsumer primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumer sekunder yang selanjutnya dimangsa oleh konsumer tersier (yaitu organsime karnivor). Dekomposer (yaitu bakteri saprobik dan alga) akan mengasimilasi material hewan dan tumbuhan yang mati, mentransformasikannya ke dalam DOM (Dissolved Organic Matter) untuk mendapatkan keperluan energi mereka dengan melepaskan nutrien energi yang berguna bagi pertumbuhan autotrof. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa jenjang trofik adalah setiap jenjang dari transfer energi atau setiap stadia dari rantai makanan (Nontji 1993). Jenjang trofik pertama ditempati oleh fitoplankton sebagai produser primer, jenjang trofik ke dua ditempati oleh zooplankton herbivor, dan jenjang trofik ke tiga ditempati oleh organisme karnivor (Nontji 1993; Piska & Naik 2007) Tumbuhan hijau menduduki jenjang trofik pertama, pemakan tumbuhan menduduki jenjang trofik ke dua (tingkat konsumen primer pertama), karnivor yang memakan herbivor menduduki jenjang trofik ke tiga (tingkat konsumen tersier). Pada umumnya dari jenjang trofik rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi, ukuran biotanya semakin besar tetapi total seluruh biomasa pada jenjang trofik semakin kecil. Hal ini karena pengalihan atau transfer energi dari satu jenjang trofik ke jenjang trofik berikutnya sangat kecil, pada umumnya dianggap sekitar 10%. Dilihat dari segi biomasanya, jenjang trofik ini dapat digambarkan sebagai piramida dengan fitoplankton sebagai fundamennya dan karnivor puncak berada pada paling atas (Gambar 2). Jenjang trofik dapat bersifat sederhana, dimana rantai makanan pendek sehingga transfer energi langsung dari fitoplankton ke predator puncak, namun dapat pula bersifat kompleks, dimana satu spesies dapat memanfaatkan lebih dari satu jenjang trofik. Jenjang trofik di ekosistem laut biasanya hanya sampai jenjang V atau VI 14 Gambar 2 Piramida makanan dengan lima jenjang trofik. Contoh jenjang trofik dikemukakan oleh Hiatt & Donald (1980) yang mendapatkan bahwa rantai makanan pada ekosistem terumbu karang di Laut Marshall terdiri atas lima jenjang trofik (Gambar 3). Contoh lain dikemukakan oleh Nurhakim (2005) tentang jenjang trofik ekosistem di Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah. Ekosistem Pantura Jawa Tengah terdiri atas empat jenjang trofik, dengan jenjang trofik Cetacean dan perikanan sebagai predator tertinggi. Penyebaran kelompok fungsional diantara jenjang trofik relatif sama antara jenjang trofik terendah (nilai jenjang trofik < 2,5) dan jenjang trofik sedang (nilai jenjang trofik 2,5 – 3,5). Terdapat 11 kelompok yang termasuk jenjang trofik rendah dan 12 kelompok termasuk jenjang trofik sedang. Lima kelompok lainnya merupakan jenjang trofik tertinggi (nilai jenjang trofik > 3,5). Tingginya kelompok yang ada dalam jenjang trofik yang sama menunjukkan suatu kompetisi yang kuat terhadap sumberdaya. Hal ini dapat dijadikan petunjuk adanya dampak langsung dari suatu perikanan dan pengaruhnya terhadap keseluruhan ekosistem, baik melalui interaksi langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian pengkajian tentang jenjang trofik di suatu perairan dapat digunakan untuk menganalisis status sumberdaya perikanan. Dalam pengkajian stok sumberdaya ikan demersal di Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah didapatkan bahwa ikan sumberdaya demersal di Pantura telah mengalami over-eksploitasi (Nurhakim 2005). Trofik level: 1 2 Zoooplankton 3 Small mid-water plankton feeders Phytoplankton 4 5 Large mid-water carnivore Corals Coral feeders Photosynthesis Detritus Transient carnivores Omnivore Detritus feeders Large benthic omnivores Benthic algae Algal feeders Small benthic carnivores Gambar 3 Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Marshall (Hiatt & Donald, 1980). 15 16 Jejaring makanan pada ekosistem terumbu karang sangat kompleks, beberapa hubungan keterkaitan trofik utama disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan tingkat trofiknya, Allen & Steene (1990) membagi jejaring makanan yang terdapat di ekosistem terumbu karang dalam empat trofik level, yaitu: 1. Tumbuhan (Produsen), terutama jenis alga sebagai produsen utama yang memanfaatkan secara langsung energi matahari untuk pertumbuhan jaringan melalui proses fotosintesa. Pada trofik level pertama ini ekosistem terumbu karang harus menyediakan energi yang cukup besar untuk digunakan pada trofik level berikutnya. 2. Herbivor (Konsumer) yang mengkonsumsi organisme tumbuhan. Kelompok terpenting dari ikan karang herbivor adalah famili Mullidae (mullet), Scaridae (parrotfishes), Acanthuridae (surgeonfishes), Kymposidae (rudderfishes), Blenniidae (blennies), Siganidae (rabbitfishes), Balistidae (triggerfishes), Monacanthidae (filefishes), Ostraciotidae (boxfishes) dan Tetraodontidae (puffer). Ikan pemakan alga dapat digolongkan menjadi pemakan tumbuhan (grazer) dan pemakan polip atau tunas (browser). Kelompok pertama mengumpulkan makannya di sekitar dasar perairan seperti ikan surgeon, damsel, blennies dan trigger. Selebihnya adalah browser yang memiliki gigi untuk memotong daun yang terdapat di permukaan terumbu karang. 3. Ikan karnovor kecil yang makan zooplankton, ikan-ikan kecil dan invertebrata. Termasuk golongan ini adalah damselfishes dari genus Cromis, famili Synodontidae (lizardfishes), Muraenidae (moray eel), Holocentridae (squirrefishes), Apogonidae (cardinalfishes), Serranidea (grouper), Lutjanidae (snapper) dan Labridae (wrasses). 4. Kelompok predator besar yang termasuk dalam kelompok hiu, famili Carrangidae, Scombridae, Sphyraenidae (barracuda) dan kelompok ikan-ikan omnivor yang memakan tumbuhan dan biota-biota kecil. Spesies penting yang termasuk kategori ini adalah jenis damselfishes, parrotfihses, gobies, wrasses, trigerfishes dan puffer. 17 LARGE PISCIVORES SMALL FISH-FEEDERS MIDWATER PISCIVORES CORAL FEEDERS BENTHIC INVERTEBRATEFEEDERS MIDWATER INVERTEBRATEFEEDERS corals HERBIVORES DETRITUS-FEEDERS zooplankton benthic invertebrates benthic algae detritus phytoplankton Gambar 4 Inter-relasi trofik utama antar ikan di terumbu karang, terdapat 5 trofik level (Mc. Conell, 1987). Beberapa penelitian yang dirangkum oleh Mc.Conell (1987) menunjukkan bahwa proporsi herbivor hingga karnivor berbeda pada berbagai tipe koral. Berdasarkan penelitian di Eniwetok Atoll di Kepulauan Marshall ditulis bahwa biomasa herbivor (ikan dan invertebrata) diperkirakan 4 hingga 5 kali karnivor. Di Tatia Reef, ikan herbivor ditemukan kurang dari saparuh total biomasa (herbivor 39%, karnivor 61%). Proporsi relatif dari kategori trofik yang berbeda telah dipelajari di Greet Barrier Reef. Secara keseluruhan, total sampel biomasa hampir 54% adalah piscivore, 18% pemakan invertebrata bentik, 18% grazer, dan 10% planktivor. Ikan-ikan karnivor adalah 3 hingga 4 kali biomasa grazer, tetapi karnivor tersebut juga memakan invertebrata pada trofik level ke 2 hingga 3. 18 Pada ekosistem terumbu karang dengan tingkat ekskploitasi rendah, biomasa ikan didominasi oleh predator puncak, bisa mencapai 54% dari total biomasa, sedangkan pada terumbu karang dengan tingkat eksploitasi tinggi dominasi herbivor hingga 55% (Friedlander 2002). Sebagaimana diketahui bahwa rantai makanan klasik menggambarkan transfer energi dalam bentuk bahan organik dari satu kelompok (jenjang) ke kelompok berikutnya dan transfer tersebut berjalan hanya pada satu arah, yang dimulai dengan produser primer, hingga predator puncak. Pada setiap jenjang trofik, sekitar 80 hingga 90% dari energi potensial hilang sebagai panas, sehingga membatasi rantai makanan kedalam tiga atau empat jenjang trofik (Kennish 1990). Diketahui pula bahwa bagian dari energi yang memasuki jenjang trofik tersedia di jenjang trofik berikutnya (atau yang disebut dengan efisiensi ekologis) umumnya kecil, sehingga energi yang tersedia di jenjang berikutnya cepat habis. Sebagai contoh pada efisiensi 10%, NPP (Net Primary Productivity) = 104 kcal.waktu-1luas-1 hanya cukup untuk empat jenjang, dan tidak cukup energi untuk mendukung jenjang trofik berikutnya. Dengan demikian alternatif spesies pada jenjang trofik ke lima harus memakan area yang luas untuk mencukupi energinya, dan area tersebut lama kelamaan juga akan habis. Efisiensi transfer energi di perairan laut berkisar 10%, sisanya dilepaskan untuk berbagai kegiatan metabolisme seperti bernafas, berenang, makan, reproduksi dan hilang sebagai energi bahang (panas). Peristiwa makan memakan tidak sesederhana seperti pada pertingkatan trofik diatas. Dalam kenyataannya tiap individu sebenarnya berkaitan satu dengan lainnya dalam jaringan makanan yang amat kompleks atau disebut sebagai jejaring makanan (food web). Didalam jejaring makanan terdapat mekanisme saling mempengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect) (Chassot et al. 2005). Seekor ikan misalnya bisa mengkonsumsi berbagai jenis plankton. Bahkan dapat juga mengkonsumsi fitoplankton dan zooplankton sekaligus. Hal ini merupakan kenyataan bahwa beberapa spesies memangsa lebih dari satu jenjang trofik (Rice 2008). Suatu organisme atau spesies seringkali tidak dapat dikategorikan ke dalam 19 satu jenjang trofik karena jenjang trofik organisme berkaitan dengan kebiasaan makanannya. Kompleksitas kebiasaan makanan dari suatu organisme menyebabkan ikan mungkin saja menduduki hampir setiap jenjang trofik. Pemangsaan dapat mempengaruhi kepadatan populasi pada tingkatan trofik yang berbeda (Odum 1998; Jennings et al. 2003), sedangkan ketersediaan makanan dapat mempengaruhi tingkat trofik di atasnya (Chassot et al. 2005). 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Trofik Trofik level sering diaplikasikan untuk menggambarkan posisi spesies/individu dalam suatu rantai makanan. Pengaruh manusia terhadap ekosistem perairan, perubahan iklim, perubahan biota, degradasi habitat dan aktifitas penangkapan berpengaruh besar terhadap populasi hewan air (Lopez et al. 2005; Jaureguizar & Millesi 2008; Singh et al. 2010). Adanya penangkapan dapat merubah distribusi spasial dan kelimpahan ikan dan selanjutnya berpengaruh penting terhadap interaksi spesies dan struktur trofik pada umumnya (Garisson & Lingk 2000 in Lopez et al. 2005). Oleh karena itu pengetahuan tentang evolusi spasial dan temporal komunitas ikan dapat membantu untuk memahami pengaruh aktivitas anthropogenik tersebut. Lopez et al. (2005) dalam penelitiannya di Laguna Pesisir Terminos Lagoon Mexico mendapatkan adanya perubahan struktur trofik komunitas ikan di perairan tersebut. Terdapat suatu indikasi re-alokasi yaitu biomasa dari spesies-spesies yang termasuk dalam trofik level menengah menjadi spesies karnivorus dan herbivorus-detrivorus. Gambar 5 menunjukkan pola spatio-temporal komunitas ikan berdasarkan trofik level di Laguna pesisir di Mexico, sebagai suatu indikator potensial ekosistem akibat adanya berbagai faktor yang berpengaruh. Pada gambar tersebut terlihat bahwa di Zona C, peningkatan spesies predator laut lebih nyata dibanding zona yang berada dibawah pengaruh aliran air sungai (A dan E) dan zona yang berada di bagian dalam kepulauan (B). Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan hasil tangkap sampingan (by catch) dari perikanan tradisional udang yang berkembang di sekitar zona A dan E, atau oleh perubahan kondisi hidrologi, karena tampak adanya peningkatan pemasukan air laut ke laguna. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan terbatasnya distribusi 20 spesies estuarine. Selanjutnya, peningkatan pengaruh kondisi lautan, yaitu adanya konstruksi artificial reef di timur paparan pantai (dekat Zona C), juga dapat meningkatkan kesempatan masuknya spesies predator laut (khususnya snapper dan schooller kecil). Selanjutnya dikemukakan bahwa peningkatan spesies detritivor (spesies gerreid) di Terminos Lagoon merupakan respon hilangnya vegetasi air karena kerusakan fisik yang disebabkan oleh penggunaan trawl pada penangkapan udang intensif sekitar tahun 1980 atau oleh bahan pencemar yang mengalir ke laguna. Peningkatan spesies detritivor tersebut juga sesuai dengan dugaan penyesuaian komunitas ikan dalam merespon tingginya tekanan penangkapan dan perubahan habitat. Penyesuaian komunitas ikan terhadap perubahan habitat dapat ditunjukkan dengan penurunan yang signifikan dari spesies yang berasosiasi dengan vegetasi air. Gambar 5 Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon, Mexico (garis bersambung adalah tahun 1980-1981; garis putus putus, 1998 – 1999). Sumber: Lopez et al. (2005). Secara keseluruhan gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara dua periode dan adanya indikasi perubahan struktur trofik dalam ekosistem. Secara spesifik, biomasa omnivor dan spesies estuari yang berada pada trofik level menengah dalam rantai makanan dan semula dominan telah digantikan oleh spesies karnivor dan herbivor-detritivor. Sebagai konsekuensinya, bentuk sigmoid 21 dari kurva terlihat cenderung lebih linier. Hal ini menunjukkan adanya suatu kekuatan yang mempengaruhi struktur trofik dan dapat digunakan sebagai indikator yang potensial, yaitu: 1. Peningkatan pengaruh kondisi lautan, seperti konstruksi artificial reef dapat memperkaya biomasa predator laut dan spesies detritivor (khususnya snapper dan schooller kecil). 2. Berkurangnya pengaruh estuari dapat menimbulkan penurunan biomasa generalis spesies estuari. 3. Pembuatan daerah perlindungan laut (marine protected area, artificial reef) dapat meningkatkan biomasa predator dan selanjutnya menyebabkan turunnya biomasa mangsa. Perubahan kelimpahan relatif yang merupakan hasil dari kombinasi pengaruh mortalitas dan life history direfleksikan dalam trend dari struktur trofik. Umumnya, spesies dengan life history yang lebih cepat mempunyai produksi yang lebih tinggi dalam hal rasio biomasa. Pada penangkapan ikan intensif di terumbu karang, biomasa ikan didominasi oleh herbivor dan didominasi oleh jenis ikan pemakan invertebrata dan piscivore (Friedlander 2002). Secara garis besar, Cochrane (2002) menyebutkan adanya empat dampak usaha perikanan pada ekosistem yaitu: 1. Dampak langsung pada spesies target 2. Dampak langsung pada spesies non target (by-catch) (mencakup limbah dan oleh kematian alami) 3. Dampak tidak langsung pada organisme lain melalui rantai makanan (perubahan jumlah mangsa, pemangsa, pesaing) 4. Dampak langsung dari teknologi penangkapan terhadap lingkungan fisik atau kimia Selanjutnya dikemukakan oleh Robinson & Frid (2003) bahwa kegiatan penangkapan ikan sangat potensial berpengaruh pada semua trofik level. Disebutkan bahwa kegiatan penangkapan ikan mempengaruhi ekosistem lautan dalam beberapa cara yaitu: 1. Penghilangan langsung pada spesies target 2. Perubahan langsung pada ukuran dan struktur populasi spesies target 22 3. Perubahan dalam populasi ikan non target dan bentos 4. Perubahan pada lingkungan fisik 5. Perubahan pada lingkungan kimia, termasuk ketersediaan nutrien 6. Aliran trofik dan perubahan tekanan predasi Pengaruh penangkapan dapat dikategorikan dua macam, yaitu pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi mortalitas spesies target dan biota lain termasuk spesies non-target, mamalia laut, burung laut, organisme bentik, kerusakan dasar laut dan kosekuensi kerusakan habitat bentik dan organisme lain sebagai dampak teknik penangkapan, serta input buangan perikanan. Buangan perikanan menyediakan makanan bagi organisme scavenger seperti burung laut. Pengaruh tidak langsung, termasuk perubahan habitat dan struktur ekosistem sebagai konsekuensi dari pengaruh langsung. Sebagai contoh, kehilangan atau berkurangnya jumlah ikan predator besar, misalnya cod, akan diikuti pertumbuhan populasi spesies prey. Berkurangnya predator besar juga menurunkan kompetisi prey bagi predator lain sehingga memberi peluang tumbuhnya populasi predator lain. Penangkapan secara langsung ikan prey kecil, misalnya sandeels atau sprat, akan menurunkan makanan bagi semua hewan yang memakannya (Tasker & Knapman 2001). Contoh nyata adalah colapsnya ikan cod di Laut Utara akibat colapsnya hering dan mackerel, karena kedua ikan ini merupakan makanan bagi ikan cod. Lebih lanjut dikemukakan pengaruh penangkapan terhadap laju perubahan ekosistem bersifat dominan dalam merubah nilai penting yang menentukan komposisi spesies suatu komunitas dan hal ini merupakan salah satu yang menjadi pemicu respon manajemen (Robinson & Frid 2003). Terdapat beberapa contoh perubahan struktur komunitas dan penangkapan di terumbu karang tropis (Jennings et al. 2001; Friedlander 2002). Di terumbu karang tropis, kekayaan jenis spesies target (spesies richness) berhubungan dengan intensitas penangkapan (Jennings et al. 2001). Di Jamaica, ukuran ikan hasil tangkapan oleh alat tangkap trap yaitu jenis-jenis grouper, snapper dan parrotfishes, semakin kecil. Selanjutnya disebutkan bahwa perubahan kelimpahan mengindikasikan kerusakan spesies, maka pengukuran keragaman spesies 23 merupakan pengukuran yang baik untuk melihat pengaruh penangkapan. Di bagian barat Hawai, ukuran ikan target, apapun trofik levelnya, selalu kecil pada terumbu karang yang mengalami eksploitasi tinggi (Firedlander 2002). Sadhotomo (2003) dalam pengkajiannya tentang sumberdaya ikan demersal Indonesia menyatakan bahwa (i) telah terjadinya penurunan kelimpahan stok yang ditunjukkan oleh penurunan laju-tangkap, (ii) peningkatan dominasi krustase lainnya (rajungan), (iii) pergeseran spesies udang dan penurunan ukuran udang yang tertangkap. Lebih jauh diingatkan bahwa secara ekologis pengoperasian pukat tarik akan mempengaruhi komposisi spesies dan komposisi ukuran krustase dan ikan-ikan demersal. Selain itu diyakini bahwa penangkapan dengan pukat tarik akan menimbulkan perubahan pada struktur mikrobentos perairan. Nurhakim (2003) menyatakan bahwa nelayan trawl dan jaring pelagis adalah dua armada yang menunjukkan dampak besar dalam ekosistem di Pantai Utara Jawa Tengah. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa peningkatan upaya penangkapan ikan (fishing effort) yang sangat intensif di tingkat top predator dalam jangka waktu tertentu bisa menghasilkan keuntungan ekonomi, namun akan tiba saatnya dimana kegiatan penangkapan ikan tersebut menjadi tidak memungkinkan karena jumlah hewan-hewan atau ikan-ikan top predator sudah sangat menurun drastis dan tidak menguntungkan lagi secara ekonomis untuk terus mempertahankan tingkat fishing effort yang bersangkutan. Pada akhirnya target penangkapan beralih ke ikan-ikan pada trofik level di bawahnya, dan begitu seterusnya, hingga ke tingkat trofik level yang paling bawah letaknya. Fenomena ini disebut sebagai “fishing down the marine food web”(Pauly et al. 1998). 2.4 Biologi Populasi Biologi populasi bertujuan untuk mempelajari dinamika (perubahan) dari satu atau lebih populasi. Terdapat empat parameter yang menentukan perubahan suatu populasi, yaitu kelahiran, kematian, emigrasi dan imigrasi (Emlen 1984, Piska & Naik 2007), dan dalam mempelajari dinamika populasi perlu mempertimbangkan populasi atau stok sebagai sistem biologi yang sederhana (King 1995). Bila diasumsikan emigrasi sama dengan imigrasi, maka jumlah suatu populasi akan bertambah karena reproduksi yang tumbuh dan rekrut ke 24 dalam stok, dan biomasa suatu stok akan meningkat karena adanya pertumbuhan. Sebaliknya suatu stok akan berkurang baik jumlah maupun biomasanya karena adanya kematian baik alami maupun karena penangkapan. Dalam stok yang tidak ada eksploitasi atau laju eksploitasi rendah, pengurangan populasi akibat kematian sebanding dengan rekrutmen sehingga fluktuasi kelimpahan stok tidak nyata. Sedangkan pada spesies yang mengalami laju eksploitasi tinggi maka jumlah dewasa yang mati akibat eksploitasi tidak terganti oleh reproduksinya sehingga rekrutmen berkurang dan jumlah stok menurun (Piska & Naik 2007). A. Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan peningkatan biomasa suatu populasi yang dihasilkan oleh akumulasi bahan-bahan yang ada dalam lingkungannya. Pertumbuhan ditunjukkan dengan perubahan panjang atau berat ikan selama waktu tertentu sehingga untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang (L) atau berat (W) dan umur (t) atau waktu. Tingkat pertumbuhan ikan sangat bervariasi dan tergantung pada faktor lingkungan seperti suhu, jumlah oksigen terlarut, amonia, salinitas, tingkat persaingan, kualitas makanan yang diambil, umur dan tingkat kematangan gonad. Suhu adalah salah satu faktor lingkungan yang penting, dan bersama dengan faktor lain, berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan (Piska & Naik 2007). Tingkat pertumbuhan juga tergantung pada kepadatan populasi. Kepadatan yang lebih tinggi memperlambat pertumbuhan dan kepadatan rendah cenderung untuk meningkatkan pertumbuhan. Hal ini terjadi karena terjadinya kompetisi terhadap sumberdaya makanan yang tersedia, baik interspesifik maupun intraspesifik (Piska & Naik 2007). Studi pertumbuhan merupakan penentuan ukuran tubuh sebagai fungsi dari umur sehingga semua studi pertumbuhan bekerja dengan data komposisi umur (Piska & Naik 2007). Di daerah beriklim sedang, data komposisi umur dapat diperoleh dari penghitungan lingkaran tahunan sedangkan di daerah tropis, tidak mungkin menggunakan lingkaran tahunan untuk penentuan umur sehingga digunakan metode numerik yaitu konversi dari frekuensi panjang ke dalam komposisi umur (Sparre & Venema 1999). Tujuan analisis pertumbuhan dalam 25 dinamika populasi adalah (1) mengetahui pengaruh pertumbuhan terhadap waktu atau kapan pertama kali bertelur; (2) mengetahui pengaruh laju pertumbuhan terhadap stok; (3) mengetahui pengaruh laju pertumbuhan terhadap potensi hasil suatu stok. Dalam manajemen perikanan tujuan analisis pertumbuhan adalah memprediksi ukuran ikan rata-rata pada beberapa titik waktu (King 1995). Pertumbuhan ikan sering digambarkan dengan bentuk perubahan panjang atau berat berdasarkan waktu yang dinyatakan dengan matematika. Von Bertalanffy in Stefanson (2002) menyatakan pertumbuhan panjang dan berat terhadap waktu adalah berbeda. Jika panjang diplotkan terhadap waktu akan terbentuk kurva dengan sudut yang semakin kecil dengan bertambahnya umur dan garis kurva tersebut mendekati asymptote atas yang sejajar dengan sumbu-x. Jika berat diplotkan dengan umur maka kurva berbentuk sigmoid dan peningkatan atau perubahan berat pada tahap awal rendah atau lambat, kemudian cepat dan menurun setelah mencapai titik infleksi. Model pertumbuhan didesain untuk menerangkan dan menduga perubahan-perubahan yang terjadi di dalam suatu populasi ikan dari waktu ke waktu sehingga berguna untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Tedapat 2 macam model pertumbuhan yaitu model yang berhubungan dengan berat dan model yang berhubungan dengan panjang. Model pertumbuhan yang sering digunakan adalah model von Bertalanffy. Model ini merupakan dasar dalam studi biologi perikanan, digunakan sebagai suatu submodel dalam sejumlah model yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika dari populasi ikan. Terdapat hubungan linier antara kecepatan pertumbuhan dan panjang ikan (Gulland 1969). B. Mortalitas Salah satu karakteristik perubahan populasi adalah mortalitas (Piska & Naik 2007). Estimasi mortalitas total dalam suatu perikanan yang tereksploitasi sangat penting untuk menganalisis dinamika suatu populasi (Widodo 1991; Piska &Naik 2007). Terdapat dua penyebab mortalitas, yaitu mortalitas alami (M) dan mortalitas akibat penangkapan (F). Pendugaan mortalitas alami diperlukan dalam 26 model analitik untuk menganalisis hasil tangkapan, untuk menduga ukuran populasi yang dieksploitasi (Ricker 1975). Mortalitas alami terjadi karena berbagai sebab, misalnya penyakit, predasi, karena tua, pencemaran dan persaingan. Selain itu, mortalitas alami berkaitan dengan koefisisen pertumbuhannya (K), semakin tinggi K maka mortalitas alami akan semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Rasio M/K sama dengan 1,5 sampai dengan 2,5 (Beverton & Holt, 1959 in Sparre & Venema 1999). Mortalitas alami juga berkaitan dengan panjang asimtotik (L∞) dan berat asimtotik (W∞) , karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dibanding ikan kecil. Selain itu mortalitas alami juga berkaitan dengan suhu (Pauly 1983). 2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Pendekatan Ekosistem Pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan Petunjuk Teknis yang disusun oleh FAO (Cochrane 2002) merupakan proses yang terintegrasi atas pengumpulan informasi, analisa, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya serta perumusan dan implementasi, dengan penegakan peraturan yang diperlukan untuk memastikan produktivitas berkelanjutan dari suatu sumberdaya dan penyelesaian sasaran lain dalam perikanan. Dalam Code of Conduct, Paragraph 7.2.1 disebutkan bahwa tujuan utama dari manajemen perikanan adalah penggunaan sumberdaya perikanan yang tepat dalam jangka panjang. Pada garis besarnya, tujuan manajemen perikanan ini dapat dibagi dalam 4 tujuan: biologi, ekologis, ekonomis, dan sosial, dimana sosial termasuk politik dan tujuan budaya (Cochrane 2002). Contoh dari setiap tujuan tersebut adalah sebagai berikut: - Sasaran biologi, yaitu untuk memelihara spesies target sama dengan atau diatas tingkatan yang diperlukan untuk memastikan kelangsungan produktivitasnya. - Sasaran ekologi, untuk meminimumkan dampak penangkapan terhadap lingkungan fisik dan pada spesies tangkapan non target (by catch), dan jenis lain yang berhubungan. - Sasaran ekonomi, untuk memaksimalkan pendapatan bersih dari nelayan yang berpartisipasi. 27 - Untuk memaksimalkan peluang ketenagakerjaan bagi mereka yang hidupnya tergantung pada perikanan, merupakan sasaran sosial. Untuk mencapai semua tujuan tersebut sekaligus tidak mudah. Sebagai contoh untuk mengurangi dampak perikanan terhadap ekosistem sekaligus memaksimalkan pendapatan bersih adalah sulit. Meningkatkan peluang ketenagakerjaan berarti membiarkan sebanyak mungkin kegiatan perikanan yang mungkin secara ekonomis tidak efisein (Cochrane 2002). Oleh karena itu perlu menetapkan sasaran operasional, misalnya menjaga jumlah stok terus menerus diatas 50% tidak dieksploitasi (sasaran biologi). Sasaran operasional ini dapat digunakan sebagai titik acuan (reference point) bagi pengelola perikanan yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk membuat strategi pengelolaan. Pendekatan hasil maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sebagai tujuan pengelolaan perikanan berarti meletakkan target pengelolaan yang secara bersama mempertahankan keberlanjutan biologi dan memaksimumkan hasil. Katsuwaka (2004) menyatakan bahwa manajemen perikanan demikian merupakan manajemen perikanan tradisional dengan target titik acuan tunggal (spesies tunggal). Pengelolaan perikanan dengan spesies tunggal berkaitan dengan pernyataan Gulland (1974) bahwa semua stok ikan terbatas besarnya, hanya dapat diambil terbatas banyaknya, walaupun dalam keadaan optimum sekalipun. Oleh karena itu perlu diketahui informasi mengenai stok yang bersangkutan. Berkaitan dengan pengelolaan variabel tunggal tersebut dinyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan masalah-masalah pengelolaan yang harus dicari jawabannya yaitu: 1. Berapa besarnya stok dan berapa banyak dapat diambil setiap tahun supaya stok lestari? 2. Jika potensinya diketahui, bagaimana cara memanfaatkannya agar negara memperoleh keuntungan sebesar-besarnya? 3. Tindakan-tindakan apa yang perlu diambil untuk mencapai tujuan seperti tertera pada poin 2? Uraian tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dengan variabel tunggal lebih banyak didasarkan pada pertimbangan biologi. Sebagaimana 28 dikemukakan dalam aksioma Russel yang dirujuk oleh Cochrane (2002) bahwa dalam keseimbangan populasi, rata-rata pertambahan angka pertumbuhan dan reproduksi adalah sama dengan kerugian akibat angka total kematian. Dalam suatu populasi yang tidak dieksploitasi, total kematian hanya berasal dari angka kematian alami, seperti predasi, penyakit, atau perubahan drastis dari lingkungan. Dalam populasi yang ditangkap, total angka kematian berasal dari kematian alami ditambah dengan kematian tangkapan. Pengelolaan perikanan dalam hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa angka kematian akibat penangkapan tidak melebihi jumlah dimana populasi dapat bertahan, sebagai tambahan terhadap angka kematian alami, tanpa perusakan terhadap produktivitas populasi tersebut. Oleh karena itu tidak hanya total populasi yang harus dijaga kelimpahannya atau biomasasnya, tetapi struktur umur populasi juga harus dipertahankan pada status dimana populasi tersebut bisa mempertahankan tingkatan reproduksi, sehingga terjadi rekrutmen untuk mengganti kematian. Dua pendekatan yang umum digunakan dalam studi penelolaan sumberdaya perikanan adalah: 1. Pendekatan Struktural, yaitu pendekatan dengan cara mencoba menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponenkomponen yang membentuk sistem tersebut. Komponen-komponen tersebut adalah penambahan, pertumbuhan dan mortalitas. Pendekatan ini adalah yang paling ideal sampai saat ini, tetapi juga adalah yang paling mahal dan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena untuk dapat memahami setiap komponen tersebut diperlukan penelitianpenelitian khusus yang sangat banyak macam ragamnya, mulai dari aspek-aspek biologinya secara kualitatif sampai dengan berbagai aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu studi. Bagi negaranegara maju seperti Eropa Barat, pendekatan ini merupakan pilihan yang tepat melalui kerjasama penelitian antar negara yang sama-sama memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan yang sama disamping pendekatan lain sebagai pembanding. 2. Pendekatan Global, yang mencoba menjelaskan sistem sumberdaya perikanan, tanpa memperhatikan komponen-komponen yang 29 membentuknya, melainkan berdasarkan data dan informasi yang paling mudah dikumpulkan, seperti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan nilai produksi serta data dan informasi lain yang dapat diperoleh melalui sistem pelaporan setiap kegiatan armada perikanan di perlabuhan-pelabuhan lapor khusus atau Tempat Pelelangan Ikan atau tempat-tempat lain yang telah ditentukan oleh negara yang bersangkutan. Kelemahan pendekatan ini adalah pada mekanisme pelaporan itu sendiri, karena manipulasi angka dapat sangat mungkin terjadi dan permasalahan ini bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah masalah klasik yang semakin dicoba memahaminya bahkan semakin rumit. Cochrane (2002) menyatakan adanya pergeseran perhatian beberapa tahun terakhir ini dari pengelolaan perikanan dimana terpusat yang utama pada variabel tunggal atau perikanan tunggal ke pengelolaan dengan orientasi ekosistem (Ecosystem Based Fisheries Management, EBFM). Hal ini didasari adanya dampak dari usaha perikanan (penangkapan) terhadap ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung penangkapan berpengaruh, baik terhadap ikan target maupun non target. Dampak langsung penangkapan terhadap ikan non target, secara tidak langsung akan mempengaruhi organisme lainnya melalui rantai makanan yang dapat berakibat adanya perubahan jumlah mangsa, pemangsa maupun pesaing dan selanjutnya berakibat ketidakseimbangan dalam ekosistem. Pemahaman tentang pengaruh tidak langsung dari penangkapan terhadap hubungan mangsa-pemangsa diperlukan untuk pengembangan model multispesies yang valid dan untuk menentukan faktor-faktor yang mengatur struktur komunitas ikan pada skala yang lebih besar (Jennings & Polunin 1997). Tugas utama pengelola adalah menyusun strategi yang memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan jangka panjang, dan mencegah overfishing biologi dan ekonomi termasuk meminimalkan gangguan terhadap ekosistem (King 1995). Oleh sebab itu pengelolaan perikanan dengan berorientasi pada ekosisitem merupakan prinsip yang tidak bisa dipisahkan dalam manajemen perikanan. Pengaruh penangkapan terhadap suatu populasi akan mempengaruhi populasi yang lain dan dalam skala ruang dan waktu yang luas akan mempunyai pengaruh 30 terhadap lingkungan. Orientasi ekosistem dalam pengelolaan perikanan dapat digunakan untuk menguji ekosistem sebagai suatu keseluruhan dan dapat diterapkan pada berbagai kondisi yang bersifat tidak dalam keseimbangan (nosteady-state), atau bisa disebut sebagai model dengan orientasi modern. Pendekatan ekosistem merupakan pendekatan yang mengikut sertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan (Jennings et al. 2003; Widodo dan Suadi 2006), serta dapat diterapkan pada perikanan multi jenis. Pendekatan tersebut memadukan berbagai informasi yang tersedia seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan, dan berbagai pola hubungan makan memakan atau rantai dan jaring makanan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis yang terjadi pada ekosistem perairan. Pengelolaan dengan pendekatan ekosistem membutuhkan informasi mengenai struktur sistem jaringan makanan untuk menentukan keterkaitannya dengan produktivitas perairan dan perikanan. Menurut Garcia et al. (2003), suatu pendekatan ekosistem mempertimbangkan interaksi antara komponen fisik, biologis dan manusia yang dapat menjamin kesehatan setiap komponen termasuk di dalamnya keberlanjutan spesies yang dikelola. Untuk mengeksplorasi dan mengevaluasi kesehatan dan kondisi ekosistem, Badan Penelitian dan Manajemen Perikanan berdasarkan Ekosistem menganjurkan dan mendukung penggunaan model ekologi (NRC 1999; ICES 2000 in Robinson & Frid 2003). Terdapat beberapa alat yang bertujuan memberikan penjelasan tingkatan ekosistem dan memberikan gambaran yang baik dan mewakili semua komponen ekosistem,yang dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan ikan baik langsung ataupun tidak langsung. Penggunaan model ekosistem dinamik (dinamika ekosistem) berpotensi untuk membuat pengukuran dan prediksi yang benar tentang pengaruh kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem dengan perkiraan yang menyeluruh (Robinson & Frid 2003). Pendekatan ekosistem dapat juga dilakukan dengan menduga perubahan spektrum trofik level fitoplankton melalui perubahan nutrien. Berdasarkan hasil kajian benthos melalui perubahan predasi dan persaingan, atau ikan sebagai hasil langsung mortalitas penangkapan dan secara tidak langsung oleh buangan hasil 31 samping (by cacth) dan perubahan predator-prey. Berdasarkan predator tingkat tinggi melalui persediaan dan mortalitas langsung dari burung laut dan melalui mortalitas langsung dan perubahan sumberdaya makanan dari mamalia laut ataupun ikan. Model-model dinamika akosistem menyediakan suatu peluang untuk dapat mengevaluasi status suatu ekosistem dan juga membuat penaksiran tentang ekosistem dibawah berbagai skenario penangkapan. Model ini juga memungkinkankan suatu pengujian dari tingkah laku matriks ekosistem seperti perubahan aliran energi atau rata-rata trofik level, agar dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam reference point (poin-poin acuan) yang mudah dipahami. Melalui pemodelan sistem memungkinkan untuk memperoleh suatu pemahaman menyangkut efek tidak langsung dan untuk mengembangkan matriks ekosistem sebagai dasar dari poin-poin acuan yang diperlukan dalam pengelolaan. Berdasarkan berbagai literatur, terdapat 33 model terapan multispesies ekosistem laut. ICES Working Group in Robinson & Frid (2003) mengkategorikan model berdasarkan pengaruh penangkapan terhadap ekosistem menjadi tujuh kategori model seperti berikut: 1. Model berdasarkan habitat, meliputi penjelasan bagaimana kegiatan penangkapan merubah total ukuran habitat. Model berdasarkan pada matrik komunitas. Model ini menggambarkan bagaimana matriks tingkat komunitas berubah sebagai respon terhadap penangkapan. 2. Model single-species dengan variabel mangsa-pemangsa, yaitu reaksi umpan balik trofik searah pada model single-species dinamis akibat suatu gangguan perikanan. 3. Model produksi multispesies, yang menunjukkan bagaimana penangkapan terhadap predator atau prey akan berpengaruh pada kelimpahan masingmasing. 4. Model multispesies dinamik, dapat menggabungkan dinamika spasial atau struktur umur/ukuran populasi ke dalam perubahan dalam interaksi predatorprey oleh gangguan penangkapan. 32 5. Model agregat ekosistem, bagian dari jejaring makanan dan pembelanjaan energi, menggambarkan perubahan energi, karbon atau biomasa fungsi agregat kelompok spesies. 6. Model ekosistem dengan struktur umur/ ukuran. Berbeda dengan model agregat ekosistem dimana fungsi kelompok individu secara umum dikurangi aggregat dan disini memiliki penyelesaian temporal terbesar dalam dinamika. Berdasarkan penggolongan model aplikasi tersebut, Robinson & Frid (2003) melakukan penilaian dan mendapatkan sembilan kelompok fungsional penting dalam pengkajian dampak ekologi dari kegiatan penangkapan. Sembilan kelompok fungsional tersebut adalah detritus, nutrien, produser primer, bentos, ikan target, ikan non taget, elasmobranchi, burung laut, dan mamalia laut. Modelmodel tersebut juga dikaji dengan menambahkan beberapa faktor yang menjadi dasar aturan dalam ekosistem laut dan dalam penggolongan peranan prediksi proses ekologi (contoh simulasi, ruang, hasil perikanan/kematian). Berdasarkan analisa yang dilakukan, disebutkan bahwa model Ecopath with Ecosim (EwE) yang merupakan perluasan model Beverton dan Holt sangat sesuai untuk membantu investigasi secara lebih mendalam. Metode ini didasarkan pada keseimbangan biomasa (biomass balance). Dengan mengetahui kelompokkelompok yang menjadi bagian suatu ekosistem, dapat diestimasi alur biomasa dari rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Asumsi model ini adalah bahwa antara produksi (penambahan) dan mortalitas (pengurangan) biomasa di dalam suatu ekosistem, terdapat suatu keseimbangan. Secara umum dalam Ecopath diperlukan input 4 parameter, yaitu biomasa (B), perbandingan produksi/biomasa (P/B), perbandingan konsumsi/biomasa (Q/B) dan efisiensi ecothropic (EE), pada tiap kelompok dalam suatu model.