2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan Karang
Ikan karang merupakan komponen penting penyusun ekosistem terumbu
karang.
Ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah, terbatas pada
daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi. Populasi ikan di terumbu karang
berubah dari siang ke malam hari. Ikan pemakan plankton yang banyak tersebar
di sekeliling terumbu pada siang hari, bersembunyi/berlindung di celah-celah
terumbu pada malam hari. Selanjutnya pada malam hari populasi ikan terumbu
digantikan oleh sejumlah kecil spesies nokturnal yang semuanya bersifat predator
(Nybakken 1988).
Sale (1991) mengelompokkan ikan karang yang berasosiasi paling erat
dengan lingkungan terumbu karang menjadi tiga golongan utama, yaitu:
1.
Labroid: Labridae (wrassess), Scaridae (parrot fish), dan Pomacentridae
(damselfish).
2.
Acanthuroid: Acanthuroidae (surgeonfishes), Siganidae (rabbitfishes), dan
Zanclidae (moorish idols) yang terdiri dari satu genus yaitu Zanclus.
3.
Chaetodontoid:
Chaetodontidae
(butterflyfishes)
dan
Pomacanthidae
(angelfishes).
Menurut Nybakken (1988) berdasarkan waktu makannya, ikan karang terdiri
dari ikan diurnal dan nokturnal. Berdasarkan kebiasaan makannya, Hiatt dan
Donald (1980) mengelompokkan ikan karang menjadi pemakan alga, pemakan
plankton, omnivor, pemakan detritus, pemakan polip karang dan karnivor besar
pengelana. Sedangkan Sorokin (1995) membagi ikan karang berdasarkan
kebiasaan makannya menjadi pemakan plankton (planktivorous fish), pemakan
organisme bentik (benthopages), pemakan segala (omnivor), pemakan tumbuhan
alga (herbivorous fish) dan pemakan ikan (piscivorous fish). Kelompok lain yang
juga ditemukan di daerah terumbu maupun non terumbu adalah predator besar
yang memakan invertebrata bergerak dan ikan lain, serta planktivor. Menurut
Allen & Steene (1990), ikan diurnal merupakan kelompok terbesar di ekosistem
terumbu karang,yang termasuk ikan diurnal adalah dari famili Pomacentridae,
Labridae, Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Pomacanthidae, Lutjanidae,
12
Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blenniidae dan Gobiidae. Ikan diurnal
makan dan tinggal di permukaan karang serta memakan plankton yang lewat
diatasnya. Pada malam hari ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam
karang dan keberadaan ikan diurnal akan digantikan oleh ikan nokturnal. Ikan
nokturnal meliputi famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae,
Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae. Selain itu ada pula ikan lain yang sering
melintasi ekosistem terumbu karang seperti famili Scombridae, barracuda
(Sphyraenidae), ekor kuning (Caesionidae) dan hiu (Alopiidae). Ikan ini biasanya
merupakan ikan predator dan ikan pelagis yang berasal dari perairan di sekitarnya.
Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah
variasi habitat yang terdapat di terumbu. Terumbu karang tidak hanya terdiri dari
karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga dan
juga perairan yang dangkal dan dalam. Perbedaan dalam kadar cahaya hingga
pergerakan ombak, arus, kecerahan, ketersediaan alga, plankton, dan jenis habitat
yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh ikan dengan
karakteristik yang berbeda pula (Allen 1999). Selain itu tingginya keragaman
spesies ini juga dikarenakan pembagian habitat yang jelas dalam ekosistem
terumbu. Sebagai contoh, banyak ikan-ikan terumbu, meskipun gerakannya jelas
tetapi ternyata terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi, tidak
berpindah.
Hubungan dalam kebiasaan makan ikan-ikan terumbu juga merupakan hal
yang menarik perhatian. Tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di
terumbu adalah karnivor (sekitar 50 – 70%). Sebagian besar dari ikan karnivor ini
bersifat oportunistik dan memakan mangsa yang berbeda pada tingkatan yang
berbeda dalam siklus hidupnya.
2.2 Jenjang Trofik dan Aliran Energi
Pada dasarnya jenjang trofik (trofik level) merupakan urut-urutan tingkat
pemanfaatan pakan atau material dan energi seperti yang tergambarkan oleh rantai
makanan (food chain). Jenjang trofik menggambarkan tahapan transfer material
atau energi dari setiap jenjang atau kelompok ke jenjang berikutnya, yang dimulai
dengan produser primer, jenjang berikutnya adalah konsumer primer (herbivor),
13
kemudian sekunder, tersier, dan seterusnya dan diakhiri dengan predator puncak
(Gallopin 1972; Odum 1998; Kennish 2000; Jenning et al. 2003; Widodo dan
Suadi 2006).
Dasar dari jenjang trofik adalah autotrof yang memfiksasi C
(karbon) melalui fotosintesa dan menyediakan enegi untuk organisme konsumer
(yaitu heterotrof). Pada urutan jenjang trofik berikutnya yang lebih tinggi,
konsumer primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumer sekunder
yang selanjutnya dimangsa oleh konsumer tersier (yaitu organsime karnivor).
Dekomposer (yaitu bakteri saprobik dan alga) akan mengasimilasi material hewan
dan tumbuhan yang mati, mentransformasikannya ke dalam DOM (Dissolved
Organic Matter) untuk mendapatkan keperluan energi mereka dengan melepaskan
nutrien energi yang berguna bagi pertumbuhan autotrof.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat dikatakan bahwa jenjang trofik adalah setiap jenjang dari transfer
energi atau setiap stadia dari rantai makanan (Nontji 1993).
Jenjang trofik pertama ditempati oleh fitoplankton sebagai produser primer,
jenjang trofik ke dua ditempati oleh zooplankton herbivor, dan jenjang trofik ke
tiga ditempati oleh organisme karnivor (Nontji 1993; Piska & Naik 2007)
Tumbuhan hijau menduduki jenjang trofik pertama, pemakan tumbuhan
menduduki jenjang trofik ke dua (tingkat konsumen primer pertama), karnivor
yang memakan herbivor menduduki jenjang trofik ke tiga (tingkat konsumen
tersier). Pada umumnya dari jenjang trofik rendah menuju ke tingkat yang lebih
tinggi, ukuran biotanya semakin besar tetapi total seluruh biomasa pada jenjang
trofik semakin kecil. Hal ini karena pengalihan atau transfer energi dari satu
jenjang trofik ke jenjang trofik berikutnya sangat kecil, pada umumnya dianggap
sekitar 10%. Dilihat dari segi biomasanya, jenjang trofik ini dapat digambarkan
sebagai piramida dengan fitoplankton sebagai fundamennya dan karnivor puncak
berada pada paling atas (Gambar 2). Jenjang trofik dapat bersifat sederhana,
dimana rantai makanan pendek sehingga transfer energi langsung dari
fitoplankton ke predator puncak, namun dapat pula bersifat kompleks, dimana
satu spesies dapat memanfaatkan lebih dari satu jenjang trofik. Jenjang trofik di
ekosistem laut biasanya hanya sampai jenjang V atau VI
14
Gambar 2 Piramida makanan dengan lima jenjang trofik.
Contoh jenjang trofik dikemukakan oleh Hiatt & Donald (1980) yang
mendapatkan bahwa rantai makanan pada ekosistem terumbu karang di Laut
Marshall terdiri atas lima jenjang trofik (Gambar 3). Contoh lain dikemukakan
oleh Nurhakim (2005) tentang jenjang trofik ekosistem di Pantai Utara (Pantura)
Jawa Tengah. Ekosistem Pantura Jawa Tengah terdiri atas empat jenjang trofik,
dengan jenjang trofik Cetacean dan perikanan sebagai predator tertinggi.
Penyebaran kelompok fungsional diantara jenjang trofik relatif sama antara
jenjang trofik terendah (nilai jenjang trofik < 2,5) dan jenjang trofik sedang (nilai
jenjang trofik 2,5 – 3,5). Terdapat 11 kelompok yang termasuk jenjang trofik
rendah dan 12 kelompok termasuk jenjang trofik sedang. Lima kelompok lainnya
merupakan jenjang trofik tertinggi (nilai jenjang trofik > 3,5). Tingginya
kelompok yang ada dalam jenjang trofik yang sama menunjukkan suatu kompetisi
yang kuat terhadap sumberdaya. Hal ini dapat dijadikan petunjuk adanya dampak
langsung dari suatu perikanan dan pengaruhnya terhadap keseluruhan ekosistem,
baik melalui interaksi langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian
pengkajian tentang jenjang trofik di suatu perairan dapat digunakan untuk
menganalisis status sumberdaya perikanan. Dalam pengkajian stok sumberdaya
ikan demersal di Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah didapatkan bahwa ikan
sumberdaya demersal di Pantura telah mengalami over-eksploitasi (Nurhakim
2005).
Trofik level:
1
2
Zoooplankton
3
Small mid-water
plankton feeders
Phytoplankton
4
5
Large mid-water
carnivore
Corals
Coral feeders
Photosynthesis
Detritus
Transient
carnivores
Omnivore
Detritus feeders
Large benthic
omnivores
Benthic algae
Algal feeders
Small benthic carnivores
Gambar 3 Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Marshall (Hiatt & Donald, 1980).
15
16
Jejaring makanan pada ekosistem terumbu karang sangat kompleks,
beberapa hubungan keterkaitan trofik utama disajikan pada Gambar 4.
Berdasarkan tingkat trofiknya, Allen & Steene (1990) membagi jejaring makanan
yang terdapat di ekosistem terumbu karang dalam empat trofik level, yaitu:
1.
Tumbuhan (Produsen), terutama jenis alga sebagai produsen utama yang
memanfaatkan secara langsung energi matahari untuk pertumbuhan jaringan
melalui proses fotosintesa. Pada trofik level pertama ini ekosistem terumbu
karang harus menyediakan energi yang cukup besar untuk digunakan pada
trofik level berikutnya.
2.
Herbivor (Konsumer) yang mengkonsumsi organisme tumbuhan. Kelompok
terpenting dari ikan karang herbivor adalah famili Mullidae (mullet), Scaridae
(parrotfishes), Acanthuridae (surgeonfishes), Kymposidae (rudderfishes),
Blenniidae (blennies), Siganidae (rabbitfishes), Balistidae (triggerfishes),
Monacanthidae (filefishes), Ostraciotidae (boxfishes) dan Tetraodontidae
(puffer). Ikan pemakan alga dapat digolongkan menjadi pemakan tumbuhan
(grazer) dan pemakan polip atau tunas (browser).
Kelompok pertama
mengumpulkan makannya di sekitar dasar perairan seperti ikan surgeon,
damsel, blennies dan trigger. Selebihnya adalah browser yang memiliki gigi
untuk memotong daun yang terdapat di permukaan terumbu karang.
3.
Ikan karnovor kecil yang makan zooplankton, ikan-ikan kecil dan
invertebrata. Termasuk golongan ini adalah damselfishes dari genus Cromis,
famili Synodontidae (lizardfishes), Muraenidae (moray eel), Holocentridae
(squirrefishes),
Apogonidae
(cardinalfishes),
Serranidea
(grouper),
Lutjanidae (snapper) dan Labridae (wrasses).
4.
Kelompok predator besar yang termasuk dalam kelompok hiu, famili
Carrangidae, Scombridae, Sphyraenidae (barracuda) dan kelompok ikan-ikan
omnivor yang memakan tumbuhan dan biota-biota kecil. Spesies penting
yang termasuk kategori ini adalah jenis damselfishes, parrotfihses, gobies,
wrasses, trigerfishes dan puffer.
17
LARGE PISCIVORES
SMALL FISH-FEEDERS
MIDWATER PISCIVORES
CORAL FEEDERS
BENTHIC INVERTEBRATEFEEDERS
MIDWATER INVERTEBRATEFEEDERS
corals
HERBIVORES
DETRITUS-FEEDERS
zooplankton
benthic invertebrates
benthic algae
detritus
phytoplankton
Gambar 4 Inter-relasi trofik utama antar ikan di terumbu karang, terdapat 5 trofik
level (Mc. Conell, 1987).
Beberapa penelitian yang dirangkum oleh Mc.Conell (1987) menunjukkan
bahwa proporsi herbivor hingga karnivor berbeda pada berbagai tipe koral.
Berdasarkan penelitian di Eniwetok Atoll di Kepulauan Marshall ditulis bahwa
biomasa herbivor (ikan dan invertebrata) diperkirakan 4 hingga 5 kali karnivor.
Di Tatia Reef, ikan herbivor ditemukan kurang dari saparuh total biomasa
(herbivor 39%, karnivor 61%). Proporsi relatif dari kategori trofik yang berbeda
telah dipelajari di Greet Barrier Reef. Secara keseluruhan, total sampel biomasa
hampir 54% adalah piscivore, 18% pemakan invertebrata bentik, 18% grazer, dan
10% planktivor. Ikan-ikan karnivor adalah 3 hingga 4 kali biomasa grazer, tetapi
karnivor tersebut juga memakan invertebrata pada trofik level ke 2 hingga 3.
18
Pada ekosistem terumbu karang dengan tingkat ekskploitasi rendah, biomasa ikan
didominasi oleh predator puncak, bisa mencapai 54% dari total biomasa,
sedangkan pada terumbu karang dengan tingkat eksploitasi tinggi dominasi
herbivor hingga 55% (Friedlander 2002).
Sebagaimana diketahui bahwa rantai makanan klasik menggambarkan
transfer energi dalam bentuk bahan organik dari satu kelompok (jenjang) ke
kelompok berikutnya dan transfer tersebut berjalan hanya pada satu arah, yang
dimulai dengan produser primer, hingga predator puncak.
Pada setiap jenjang
trofik, sekitar 80 hingga 90% dari energi potensial hilang sebagai panas, sehingga
membatasi rantai makanan kedalam tiga atau empat jenjang trofik (Kennish
1990). Diketahui pula bahwa bagian dari energi yang memasuki jenjang trofik
tersedia di jenjang trofik berikutnya (atau yang disebut dengan efisiensi ekologis)
umumnya kecil, sehingga energi yang tersedia di jenjang berikutnya cepat habis.
Sebagai contoh pada efisiensi 10%, NPP (Net Primary Productivity) = 104
kcal.waktu-1luas-1 hanya cukup untuk empat jenjang, dan tidak cukup energi untuk
mendukung jenjang trofik berikutnya. Dengan demikian alternatif spesies pada
jenjang trofik ke lima harus memakan area yang luas untuk mencukupi energinya,
dan area tersebut lama kelamaan juga akan habis. Efisiensi transfer energi di
perairan laut berkisar 10%, sisanya dilepaskan untuk berbagai kegiatan
metabolisme seperti bernafas, berenang, makan, reproduksi dan hilang sebagai
energi bahang (panas).
Peristiwa makan memakan tidak sesederhana seperti pada pertingkatan
trofik diatas. Dalam kenyataannya tiap individu sebenarnya berkaitan satu dengan
lainnya dalam jaringan makanan yang amat kompleks atau disebut sebagai
jejaring makanan (food web). Didalam jejaring makanan terdapat mekanisme
saling mempengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik
di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah
ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect) (Chassot et al. 2005). Seekor
ikan misalnya bisa mengkonsumsi berbagai jenis plankton. Bahkan dapat juga
mengkonsumsi fitoplankton dan zooplankton sekaligus. Hal ini merupakan
kenyataan bahwa beberapa spesies memangsa lebih dari satu jenjang trofik (Rice
2008). Suatu organisme atau spesies seringkali tidak dapat dikategorikan ke dalam
19
satu jenjang trofik karena jenjang trofik organisme berkaitan dengan kebiasaan
makanannya.
Kompleksitas
kebiasaan
makanan
dari
suatu
organisme
menyebabkan ikan mungkin saja menduduki hampir setiap jenjang trofik.
Pemangsaan dapat mempengaruhi kepadatan populasi pada tingkatan trofik yang
berbeda (Odum 1998; Jennings et al. 2003), sedangkan ketersediaan makanan
dapat mempengaruhi tingkat trofik di atasnya (Chassot et al. 2005).
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Trofik
Trofik
level
sering
diaplikasikan
untuk
menggambarkan
posisi
spesies/individu dalam suatu rantai makanan. Pengaruh manusia terhadap
ekosistem perairan, perubahan iklim, perubahan biota, degradasi habitat dan
aktifitas penangkapan berpengaruh besar terhadap populasi hewan air (Lopez et
al. 2005; Jaureguizar & Millesi 2008; Singh et al. 2010). Adanya penangkapan
dapat merubah distribusi spasial dan kelimpahan ikan dan selanjutnya
berpengaruh penting terhadap interaksi spesies dan struktur trofik pada umumnya
(Garisson & Lingk 2000 in Lopez et al. 2005). Oleh karena itu pengetahuan
tentang evolusi spasial dan temporal komunitas ikan dapat membantu untuk
memahami pengaruh aktivitas anthropogenik tersebut. Lopez et al. (2005) dalam
penelitiannya di Laguna Pesisir Terminos Lagoon Mexico mendapatkan adanya
perubahan struktur trofik komunitas ikan di perairan tersebut. Terdapat suatu
indikasi re-alokasi yaitu biomasa dari spesies-spesies yang termasuk dalam trofik
level menengah menjadi spesies karnivorus dan herbivorus-detrivorus. Gambar 5
menunjukkan pola spatio-temporal komunitas ikan berdasarkan trofik level di
Laguna pesisir di Mexico, sebagai suatu indikator potensial ekosistem akibat
adanya berbagai faktor yang berpengaruh.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa di Zona C, peningkatan spesies
predator laut lebih nyata dibanding zona yang berada dibawah pengaruh aliran air
sungai (A dan E) dan zona yang berada di bagian dalam kepulauan (B). Hal ini
ditunjukkan dengan peningkatan hasil tangkap sampingan (by catch) dari
perikanan tradisional udang yang berkembang di sekitar zona A dan E, atau oleh
perubahan kondisi hidrologi, karena tampak adanya peningkatan pemasukan air
laut ke laguna. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan terbatasnya distribusi
20
spesies estuarine. Selanjutnya, peningkatan pengaruh kondisi lautan, yaitu adanya
konstruksi artificial reef di timur paparan pantai (dekat Zona C), juga dapat
meningkatkan kesempatan masuknya spesies predator laut (khususnya snapper
dan schooller kecil).
Selanjutnya dikemukakan bahwa peningkatan spesies detritivor (spesies
gerreid) di Terminos Lagoon merupakan respon hilangnya vegetasi air karena
kerusakan fisik yang disebabkan oleh penggunaan trawl pada penangkapan udang
intensif sekitar tahun 1980 atau oleh bahan pencemar yang mengalir ke laguna.
Peningkatan spesies detritivor tersebut juga sesuai dengan dugaan penyesuaian
komunitas ikan dalam merespon tingginya tekanan penangkapan dan perubahan
habitat. Penyesuaian komunitas ikan terhadap perubahan habitat dapat
ditunjukkan dengan penurunan yang signifikan dari spesies yang berasosiasi
dengan vegetasi air.
Gambar 5
Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon,
Mexico (garis bersambung adalah tahun 1980-1981; garis putus putus, 1998 – 1999). Sumber: Lopez et al. (2005).
Secara keseluruhan gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara
dua periode dan adanya indikasi perubahan struktur trofik dalam ekosistem.
Secara spesifik, biomasa omnivor dan spesies estuari yang berada pada trofik
level menengah dalam rantai makanan dan semula dominan telah digantikan oleh
spesies karnivor dan herbivor-detritivor. Sebagai konsekuensinya, bentuk sigmoid
21
dari kurva terlihat cenderung lebih linier. Hal ini menunjukkan adanya suatu
kekuatan yang mempengaruhi struktur trofik dan dapat digunakan sebagai
indikator yang potensial, yaitu:
1.
Peningkatan pengaruh kondisi lautan, seperti konstruksi artificial reef dapat
memperkaya biomasa predator laut dan spesies detritivor (khususnya snapper
dan schooller kecil).
2.
Berkurangnya pengaruh estuari dapat menimbulkan penurunan biomasa
generalis spesies estuari.
3.
Pembuatan daerah perlindungan laut (marine protected area, artificial reef)
dapat meningkatkan biomasa predator dan selanjutnya menyebabkan
turunnya biomasa mangsa.
Perubahan kelimpahan relatif yang merupakan hasil dari kombinasi
pengaruh mortalitas dan life history direfleksikan dalam trend dari struktur trofik.
Umumnya, spesies dengan life history yang lebih cepat mempunyai produksi yang
lebih tinggi dalam hal rasio biomasa. Pada penangkapan ikan intensif di terumbu
karang, biomasa ikan didominasi oleh herbivor dan didominasi oleh jenis ikan
pemakan invertebrata dan piscivore (Friedlander 2002).
Secara garis besar, Cochrane (2002) menyebutkan adanya empat dampak
usaha perikanan pada ekosistem yaitu:
1.
Dampak langsung pada spesies target
2.
Dampak langsung pada spesies non target (by-catch) (mencakup limbah dan
oleh kematian alami)
3.
Dampak tidak langsung pada organisme lain melalui rantai makanan
(perubahan jumlah mangsa, pemangsa, pesaing)
4.
Dampak langsung dari teknologi penangkapan terhadap lingkungan fisik
atau kimia
Selanjutnya dikemukakan oleh Robinson & Frid (2003) bahwa kegiatan
penangkapan ikan sangat potensial berpengaruh pada semua trofik level.
Disebutkan bahwa kegiatan penangkapan ikan mempengaruhi ekosistem lautan
dalam beberapa cara yaitu:
1.
Penghilangan langsung pada spesies target
2.
Perubahan langsung pada ukuran dan struktur populasi spesies target
22
3.
Perubahan dalam populasi ikan non target dan bentos
4.
Perubahan pada lingkungan fisik
5.
Perubahan pada lingkungan kimia, termasuk ketersediaan nutrien
6.
Aliran trofik dan perubahan tekanan predasi
Pengaruh penangkapan dapat dikategorikan dua macam, yaitu pengaruh
langsung dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi mortalitas
spesies target dan biota lain termasuk spesies non-target, mamalia laut, burung
laut, organisme bentik, kerusakan dasar laut dan kosekuensi kerusakan habitat
bentik dan organisme lain sebagai dampak teknik penangkapan, serta input
buangan perikanan. Buangan perikanan menyediakan makanan bagi organisme
scavenger seperti burung laut.
Pengaruh tidak langsung, termasuk perubahan habitat dan struktur
ekosistem sebagai konsekuensi dari pengaruh langsung. Sebagai contoh,
kehilangan atau berkurangnya jumlah ikan predator besar, misalnya cod, akan
diikuti pertumbuhan populasi spesies prey. Berkurangnya predator besar juga
menurunkan kompetisi prey bagi predator lain sehingga memberi peluang
tumbuhnya populasi predator lain. Penangkapan secara langsung ikan prey kecil,
misalnya sandeels atau sprat, akan menurunkan makanan bagi semua hewan yang
memakannya (Tasker & Knapman 2001). Contoh nyata adalah colapsnya ikan cod
di Laut Utara akibat colapsnya hering dan mackerel, karena kedua ikan ini
merupakan makanan bagi ikan cod. Lebih lanjut dikemukakan pengaruh
penangkapan terhadap laju perubahan ekosistem bersifat dominan dalam merubah
nilai penting yang menentukan komposisi spesies suatu komunitas dan hal ini
merupakan salah satu yang menjadi pemicu respon manajemen (Robinson & Frid
2003).
Terdapat beberapa contoh perubahan struktur komunitas dan penangkapan
di terumbu karang tropis (Jennings et al. 2001; Friedlander 2002). Di terumbu
karang tropis, kekayaan jenis spesies target (spesies richness)
berhubungan
dengan intensitas penangkapan (Jennings et al. 2001). Di Jamaica, ukuran ikan
hasil tangkapan oleh alat tangkap trap yaitu jenis-jenis grouper, snapper dan
parrotfishes, semakin kecil. Selanjutnya disebutkan bahwa perubahan kelimpahan
mengindikasikan kerusakan spesies, maka pengukuran keragaman spesies
23
merupakan pengukuran yang baik untuk melihat pengaruh penangkapan.
Di
bagian barat Hawai, ukuran ikan target, apapun trofik levelnya, selalu kecil pada
terumbu karang yang mengalami eksploitasi tinggi (Firedlander 2002).
Sadhotomo (2003) dalam pengkajiannya tentang sumberdaya ikan demersal
Indonesia menyatakan bahwa (i) telah terjadinya penurunan kelimpahan stok yang
ditunjukkan oleh penurunan laju-tangkap, (ii) peningkatan dominasi krustase
lainnya (rajungan), (iii) pergeseran spesies udang dan penurunan ukuran udang
yang tertangkap. Lebih jauh diingatkan bahwa secara ekologis pengoperasian
pukat tarik akan mempengaruhi komposisi spesies dan komposisi ukuran krustase
dan ikan-ikan demersal. Selain itu diyakini bahwa penangkapan dengan pukat
tarik akan menimbulkan perubahan pada struktur mikrobentos perairan.
Nurhakim (2003) menyatakan bahwa nelayan trawl dan jaring pelagis adalah dua
armada yang menunjukkan dampak besar dalam ekosistem di Pantai Utara Jawa
Tengah.
Banyak
penelitian
yang
membuktikan
bahwa
peningkatan
upaya
penangkapan ikan (fishing effort) yang sangat intensif di tingkat top predator
dalam jangka waktu tertentu bisa menghasilkan keuntungan ekonomi, namun akan
tiba saatnya dimana kegiatan penangkapan ikan tersebut menjadi tidak
memungkinkan karena jumlah hewan-hewan atau ikan-ikan top predator sudah
sangat menurun drastis dan tidak menguntungkan lagi secara ekonomis untuk
terus mempertahankan tingkat fishing effort yang bersangkutan. Pada akhirnya
target penangkapan beralih ke ikan-ikan pada trofik level di bawahnya, dan begitu
seterusnya, hingga ke tingkat trofik level yang paling bawah letaknya. Fenomena
ini disebut sebagai “fishing down the marine food web”(Pauly et al. 1998).
2.4 Biologi Populasi
Biologi populasi bertujuan untuk mempelajari dinamika (perubahan) dari
satu atau lebih populasi. Terdapat empat parameter yang menentukan perubahan
suatu populasi, yaitu kelahiran, kematian, emigrasi dan imigrasi (Emlen 1984,
Piska & Naik 2007), dan dalam mempelajari dinamika populasi perlu
mempertimbangkan populasi atau stok sebagai sistem biologi yang sederhana
(King 1995). Bila diasumsikan emigrasi sama dengan imigrasi, maka jumlah
suatu populasi akan bertambah karena reproduksi yang tumbuh dan rekrut ke
24
dalam stok, dan biomasa suatu stok akan meningkat karena adanya pertumbuhan.
Sebaliknya suatu stok akan berkurang baik jumlah maupun biomasanya karena
adanya kematian baik alami maupun karena penangkapan. Dalam stok yang tidak
ada eksploitasi atau laju eksploitasi rendah, pengurangan populasi akibat kematian
sebanding dengan rekrutmen sehingga fluktuasi kelimpahan stok tidak nyata.
Sedangkan pada spesies yang mengalami laju eksploitasi tinggi maka jumlah
dewasa yang mati akibat eksploitasi tidak terganti oleh reproduksinya sehingga
rekrutmen berkurang dan jumlah stok menurun (Piska & Naik 2007).
A. Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan peningkatan biomasa suatu populasi yang
dihasilkan oleh akumulasi bahan-bahan yang ada dalam lingkungannya.
Pertumbuhan ditunjukkan dengan perubahan panjang atau berat ikan selama
waktu tertentu sehingga untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang
(L) atau berat (W) dan umur (t) atau waktu.
Tingkat pertumbuhan ikan sangat bervariasi dan tergantung pada faktor
lingkungan seperti suhu, jumlah oksigen terlarut, amonia, salinitas, tingkat
persaingan, kualitas makanan yang diambil, umur dan tingkat kematangan gonad.
Suhu adalah salah satu faktor lingkungan yang penting, dan bersama dengan
faktor lain, berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan (Piska & Naik 2007).
Tingkat pertumbuhan juga tergantung pada kepadatan populasi. Kepadatan yang
lebih tinggi memperlambat pertumbuhan dan kepadatan rendah cenderung untuk
meningkatkan pertumbuhan. Hal ini terjadi karena terjadinya kompetisi terhadap
sumberdaya makanan yang tersedia, baik interspesifik maupun intraspesifik
(Piska & Naik 2007).
Studi pertumbuhan merupakan penentuan ukuran tubuh sebagai fungsi dari
umur sehingga semua studi pertumbuhan bekerja dengan data komposisi umur
(Piska & Naik 2007). Di daerah beriklim sedang, data komposisi umur
dapat
diperoleh dari penghitungan lingkaran tahunan sedangkan di daerah tropis, tidak
mungkin menggunakan lingkaran tahunan untuk penentuan umur
sehingga
digunakan metode numerik yaitu konversi dari frekuensi panjang ke dalam
komposisi umur (Sparre & Venema 1999). Tujuan analisis pertumbuhan dalam
25
dinamika populasi adalah (1) mengetahui pengaruh pertumbuhan terhadap waktu
atau kapan pertama kali bertelur; (2) mengetahui pengaruh laju pertumbuhan
terhadap stok; (3) mengetahui pengaruh laju pertumbuhan terhadap potensi hasil
suatu stok. Dalam manajemen perikanan tujuan analisis pertumbuhan adalah
memprediksi ukuran ikan rata-rata pada beberapa titik waktu (King 1995).
Pertumbuhan ikan sering digambarkan dengan bentuk perubahan panjang
atau berat berdasarkan waktu yang dinyatakan dengan matematika. Von
Bertalanffy in Stefanson (2002) menyatakan pertumbuhan panjang dan berat
terhadap waktu adalah berbeda. Jika panjang diplotkan terhadap waktu akan
terbentuk kurva dengan sudut yang semakin kecil dengan bertambahnya umur dan
garis kurva tersebut mendekati asymptote atas yang sejajar dengan sumbu-x. Jika
berat diplotkan dengan umur maka kurva berbentuk sigmoid dan peningkatan atau
perubahan berat pada tahap awal rendah atau lambat, kemudian cepat dan
menurun setelah mencapai titik infleksi.
Model
pertumbuhan
didesain
untuk
menerangkan
dan
menduga
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam suatu populasi ikan dari waktu ke
waktu sehingga berguna untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan sumber
daya perikanan.
Tedapat 2 macam
model pertumbuhan yaitu model yang
berhubungan dengan berat dan model yang berhubungan dengan panjang. Model
pertumbuhan yang sering digunakan adalah model von Bertalanffy. Model ini
merupakan dasar dalam studi biologi perikanan, digunakan sebagai suatu
submodel dalam sejumlah model yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai
dinamika dari populasi ikan. Terdapat hubungan linier antara kecepatan
pertumbuhan dan panjang ikan (Gulland 1969).
B. Mortalitas
Salah satu karakteristik perubahan populasi adalah mortalitas (Piska &
Naik 2007). Estimasi mortalitas total dalam suatu perikanan yang tereksploitasi
sangat penting untuk menganalisis dinamika suatu populasi (Widodo 1991; Piska
&Naik 2007). Terdapat dua penyebab mortalitas, yaitu mortalitas alami (M) dan
mortalitas akibat penangkapan (F). Pendugaan mortalitas alami diperlukan dalam
26
model analitik untuk menganalisis hasil tangkapan, untuk menduga ukuran
populasi yang dieksploitasi (Ricker 1975).
Mortalitas alami terjadi karena berbagai sebab, misalnya penyakit, predasi,
karena tua, pencemaran dan persaingan. Selain itu, mortalitas alami berkaitan
dengan koefisisen pertumbuhannya (K), semakin tinggi K maka mortalitas alami
akan semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Rasio M/K sama dengan 1,5
sampai dengan 2,5 (Beverton & Holt, 1959 in Sparre & Venema 1999).
Mortalitas alami juga berkaitan dengan panjang asimtotik (L∞) dan berat asimtotik
(W∞) , karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dibanding ikan kecil. Selain itu
mortalitas alami juga berkaitan dengan suhu (Pauly 1983).
2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Pendekatan Ekosistem
Pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan Petunjuk Teknis yang
disusun oleh FAO (Cochrane 2002) merupakan proses yang terintegrasi atas
pengumpulan
informasi,
analisa,
perencanaan,
konsultasi,
pengambilan
keputusan, alokasi sumberdaya serta perumusan dan implementasi, dengan
penegakan
peraturan
yang
diperlukan
untuk
memastikan
produktivitas
berkelanjutan dari suatu sumberdaya dan penyelesaian sasaran lain dalam
perikanan. Dalam Code of Conduct, Paragraph 7.2.1 disebutkan bahwa tujuan
utama dari manajemen perikanan adalah penggunaan sumberdaya perikanan yang
tepat dalam jangka panjang. Pada garis besarnya, tujuan manajemen perikanan ini
dapat dibagi dalam 4 tujuan: biologi, ekologis, ekonomis, dan sosial, dimana
sosial termasuk politik dan tujuan budaya (Cochrane 2002). Contoh dari setiap
tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
-
Sasaran biologi, yaitu untuk memelihara spesies target sama dengan atau
diatas
tingkatan
yang
diperlukan
untuk
memastikan
kelangsungan
produktivitasnya.
-
Sasaran ekologi, untuk meminimumkan dampak penangkapan terhadap
lingkungan fisik dan pada spesies tangkapan non target (by catch), dan jenis
lain yang berhubungan.
-
Sasaran ekonomi, untuk memaksimalkan pendapatan bersih dari nelayan
yang berpartisipasi.
27
-
Untuk memaksimalkan peluang ketenagakerjaan bagi mereka yang hidupnya
tergantung pada perikanan, merupakan sasaran sosial.
Untuk mencapai semua tujuan tersebut sekaligus tidak mudah. Sebagai
contoh untuk mengurangi dampak perikanan terhadap ekosistem sekaligus
memaksimalkan pendapatan bersih adalah
sulit.
Meningkatkan peluang
ketenagakerjaan berarti membiarkan sebanyak mungkin kegiatan perikanan yang
mungkin secara ekonomis tidak efisein (Cochrane 2002). Oleh karena itu perlu
menetapkan sasaran operasional, misalnya menjaga jumlah stok terus menerus
diatas 50% tidak dieksploitasi (sasaran biologi).
Sasaran operasional ini dapat digunakan sebagai titik acuan (reference point)
bagi pengelola perikanan yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk
membuat strategi pengelolaan. Pendekatan hasil maksimum lestari (Maximum
Sustainable Yield, MSY) sebagai tujuan pengelolaan perikanan berarti meletakkan
target pengelolaan yang secara bersama mempertahankan keberlanjutan biologi
dan memaksimumkan hasil. Katsuwaka (2004) menyatakan bahwa manajemen
perikanan demikian merupakan manajemen perikanan tradisional dengan target
titik acuan tunggal (spesies tunggal).
Pengelolaan perikanan dengan spesies tunggal berkaitan dengan pernyataan
Gulland (1974) bahwa semua stok ikan terbatas besarnya, hanya dapat diambil
terbatas banyaknya, walaupun dalam keadaan optimum sekalipun. Oleh karena itu
perlu diketahui informasi mengenai stok yang bersangkutan. Berkaitan dengan
pengelolaan variabel tunggal tersebut dinyatakan bahwa dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan terdapat tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan
masalah-masalah pengelolaan yang harus dicari jawabannya yaitu:
1.
Berapa besarnya stok dan berapa banyak dapat diambil setiap tahun supaya
stok lestari?
2.
Jika potensinya diketahui, bagaimana cara memanfaatkannya agar negara
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya?
3.
Tindakan-tindakan apa yang perlu diambil untuk mencapai tujuan seperti
tertera pada poin 2?
Uraian tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dengan variabel
tunggal lebih banyak didasarkan pada pertimbangan biologi. Sebagaimana
28
dikemukakan dalam aksioma Russel yang dirujuk oleh Cochrane (2002) bahwa
dalam keseimbangan populasi, rata-rata pertambahan angka pertumbuhan dan
reproduksi adalah sama dengan kerugian akibat angka total kematian. Dalam
suatu populasi yang tidak dieksploitasi, total kematian hanya berasal dari angka
kematian alami, seperti predasi, penyakit, atau perubahan drastis dari lingkungan.
Dalam populasi yang ditangkap, total angka kematian berasal dari kematian alami
ditambah dengan kematian tangkapan. Pengelolaan perikanan dalam hal ini
bertujuan untuk memastikan bahwa angka kematian akibat penangkapan tidak
melebihi jumlah dimana populasi dapat bertahan, sebagai tambahan terhadap
angka kematian alami, tanpa perusakan terhadap produktivitas populasi tersebut.
Oleh karena itu tidak hanya total populasi yang harus dijaga kelimpahannya atau
biomasasnya, tetapi struktur umur populasi juga harus dipertahankan pada status
dimana populasi tersebut bisa mempertahankan tingkatan reproduksi, sehingga
terjadi rekrutmen untuk mengganti kematian.
Dua pendekatan yang umum digunakan dalam studi penelolaan sumberdaya
perikanan adalah:
1. Pendekatan Struktural, yaitu pendekatan dengan cara mencoba
menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponenkomponen yang membentuk sistem tersebut. Komponen-komponen
tersebut adalah penambahan, pertumbuhan dan mortalitas. Pendekatan
ini adalah yang paling ideal sampai saat ini, tetapi juga adalah yang
paling mahal dan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena untuk
dapat memahami setiap komponen tersebut diperlukan penelitianpenelitian khusus yang sangat banyak macam ragamnya, mulai dari
aspek-aspek biologinya secara kualitatif sampai dengan berbagai
aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu studi. Bagi negaranegara maju seperti Eropa Barat, pendekatan ini merupakan pilihan
yang tepat melalui kerjasama penelitian antar negara yang sama-sama
memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan yang sama
disamping pendekatan lain sebagai pembanding.
2. Pendekatan Global, yang mencoba menjelaskan sistem sumberdaya
perikanan,
tanpa
memperhatikan
komponen-komponen
yang
29
membentuknya, melainkan berdasarkan data dan informasi yang paling
mudah dikumpulkan, seperti data tangkapan, upaya tangkap, produksi
dan nilai produksi serta data dan informasi lain yang dapat diperoleh
melalui sistem pelaporan setiap kegiatan armada perikanan di
perlabuhan-pelabuhan lapor khusus atau Tempat Pelelangan Ikan atau
tempat-tempat lain yang telah ditentukan oleh negara yang
bersangkutan. Kelemahan pendekatan ini adalah pada mekanisme
pelaporan itu sendiri, karena manipulasi angka dapat sangat mungkin
terjadi dan permasalahan ini bagi negara berkembang seperti Indonesia
adalah masalah klasik yang semakin dicoba memahaminya bahkan
semakin rumit.
Cochrane (2002) menyatakan adanya pergeseran perhatian beberapa tahun
terakhir ini dari pengelolaan perikanan dimana terpusat yang utama pada variabel
tunggal atau perikanan tunggal ke pengelolaan dengan orientasi ekosistem
(Ecosystem Based Fisheries Management, EBFM). Hal ini didasari adanya
dampak dari usaha perikanan (penangkapan) terhadap ekosistem, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung penangkapan berpengaruh,
baik terhadap ikan target maupun non target. Dampak langsung penangkapan
terhadap ikan non target, secara tidak langsung akan mempengaruhi organisme
lainnya melalui rantai makanan yang dapat berakibat adanya perubahan jumlah
mangsa, pemangsa maupun pesaing dan selanjutnya berakibat ketidakseimbangan
dalam ekosistem. Pemahaman tentang pengaruh tidak langsung dari penangkapan
terhadap hubungan mangsa-pemangsa diperlukan untuk pengembangan model
multispesies yang valid dan untuk menentukan faktor-faktor yang mengatur
struktur komunitas ikan pada skala yang lebih besar (Jennings & Polunin 1997).
Tugas utama pengelola adalah menyusun strategi yang memastikan keberlanjutan
sumber daya perikanan jangka panjang, dan mencegah overfishing biologi dan
ekonomi termasuk meminimalkan gangguan terhadap ekosistem (King 1995).
Oleh sebab itu pengelolaan perikanan dengan berorientasi pada ekosisitem
merupakan prinsip yang tidak bisa dipisahkan dalam manajemen perikanan.
Pengaruh penangkapan terhadap suatu populasi akan mempengaruhi populasi
yang lain dan dalam skala ruang dan waktu yang luas akan mempunyai pengaruh
30
terhadap lingkungan. Orientasi ekosistem dalam pengelolaan perikanan dapat
digunakan untuk menguji ekosistem sebagai suatu keseluruhan dan dapat
diterapkan pada berbagai kondisi yang bersifat tidak dalam keseimbangan (nosteady-state), atau bisa disebut sebagai model dengan orientasi modern.
Pendekatan ekosistem merupakan pendekatan yang mengikut sertakan
keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya
dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan perikanan secara
berkelanjutan (Jennings et al. 2003; Widodo dan Suadi 2006), serta dapat
diterapkan pada perikanan multi jenis. Pendekatan tersebut memadukan berbagai
informasi yang tersedia seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan, dan
berbagai pola hubungan makan memakan atau rantai dan jaring makanan untuk
memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis yang terjadi pada
ekosistem perairan. Pengelolaan dengan pendekatan ekosistem membutuhkan
informasi mengenai struktur sistem jaringan makanan untuk menentukan
keterkaitannya dengan produktivitas perairan dan perikanan. Menurut Garcia et
al. (2003), suatu pendekatan ekosistem mempertimbangkan interaksi antara
komponen fisik, biologis dan manusia yang dapat menjamin kesehatan setiap
komponen termasuk di dalamnya keberlanjutan spesies yang dikelola.
Untuk mengeksplorasi dan mengevaluasi kesehatan dan kondisi ekosistem,
Badan
Penelitian
dan
Manajemen
Perikanan
berdasarkan
Ekosistem
menganjurkan dan mendukung penggunaan model ekologi (NRC 1999; ICES
2000 in Robinson & Frid 2003). Terdapat beberapa alat yang bertujuan
memberikan penjelasan tingkatan ekosistem dan memberikan gambaran yang baik
dan mewakili semua komponen ekosistem,yang dipengaruhi oleh kegiatan
penangkapan ikan baik langsung ataupun tidak langsung. Penggunaan model
ekosistem dinamik (dinamika ekosistem) berpotensi untuk membuat pengukuran
dan prediksi yang benar tentang pengaruh kegiatan penangkapan ikan pada
ekosistem dengan perkiraan yang menyeluruh (Robinson & Frid 2003).
Pendekatan ekosistem dapat juga dilakukan dengan menduga perubahan spektrum
trofik level fitoplankton melalui perubahan nutrien. Berdasarkan hasil kajian
benthos melalui perubahan predasi dan persaingan, atau ikan sebagai hasil
langsung mortalitas penangkapan dan secara tidak langsung oleh buangan hasil
31
samping (by cacth) dan perubahan predator-prey. Berdasarkan predator tingkat
tinggi melalui persediaan dan mortalitas langsung dari burung laut dan melalui
mortalitas langsung dan perubahan sumberdaya makanan dari mamalia laut
ataupun ikan.
Model-model dinamika akosistem menyediakan suatu peluang untuk dapat
mengevaluasi status suatu ekosistem dan juga membuat penaksiran tentang
ekosistem
dibawah
berbagai
skenario
penangkapan.
Model
ini
juga
memungkinkankan suatu pengujian dari tingkah laku matriks ekosistem seperti
perubahan aliran energi atau rata-rata trofik level, agar dapat dengan mudah
diterjemahkan ke dalam reference point (poin-poin acuan) yang mudah dipahami.
Melalui pemodelan sistem memungkinkan untuk memperoleh suatu pemahaman
menyangkut efek tidak langsung dan untuk mengembangkan matriks ekosistem
sebagai dasar dari poin-poin acuan yang diperlukan dalam pengelolaan.
Berdasarkan berbagai literatur, terdapat 33 model terapan multispesies
ekosistem
laut.
ICES
Working
Group
in
Robinson
&
Frid
(2003)
mengkategorikan model berdasarkan pengaruh penangkapan terhadap ekosistem
menjadi tujuh kategori model seperti berikut:
1. Model berdasarkan habitat, meliputi penjelasan bagaimana kegiatan
penangkapan merubah total ukuran habitat. Model berdasarkan pada matrik
komunitas. Model ini menggambarkan bagaimana matriks tingkat komunitas
berubah sebagai respon terhadap penangkapan.
2. Model single-species dengan variabel mangsa-pemangsa, yaitu reaksi umpan
balik trofik searah pada model single-species dinamis akibat suatu gangguan
perikanan.
3. Model produksi multispesies, yang menunjukkan bagaimana penangkapan
terhadap predator atau prey akan berpengaruh pada kelimpahan masingmasing.
4. Model multispesies dinamik, dapat menggabungkan dinamika spasial atau
struktur umur/ukuran populasi ke dalam perubahan dalam interaksi predatorprey oleh gangguan penangkapan.
32
5. Model agregat ekosistem, bagian dari jejaring makanan dan pembelanjaan
energi, menggambarkan perubahan energi, karbon atau biomasa fungsi
agregat kelompok spesies.
6. Model ekosistem dengan struktur umur/ ukuran.
Berbeda dengan model
agregat ekosistem dimana fungsi kelompok individu secara umum dikurangi
aggregat dan disini memiliki penyelesaian temporal terbesar dalam dinamika.
Berdasarkan penggolongan model aplikasi tersebut, Robinson & Frid (2003)
melakukan penilaian dan mendapatkan sembilan kelompok fungsional penting
dalam pengkajian dampak ekologi dari kegiatan penangkapan. Sembilan
kelompok fungsional tersebut adalah detritus, nutrien, produser primer, bentos,
ikan target, ikan non taget, elasmobranchi, burung laut, dan mamalia laut. Modelmodel tersebut juga dikaji dengan menambahkan beberapa faktor yang menjadi
dasar aturan dalam ekosistem laut dan dalam penggolongan peranan prediksi
proses ekologi (contoh simulasi, ruang, hasil perikanan/kematian).
Berdasarkan analisa yang dilakukan, disebutkan bahwa model Ecopath with
Ecosim (EwE) yang merupakan perluasan model Beverton dan Holt sangat sesuai
untuk membantu investigasi secara lebih mendalam. Metode ini didasarkan pada
keseimbangan biomasa (biomass balance). Dengan mengetahui kelompokkelompok yang menjadi bagian suatu ekosistem, dapat diestimasi alur biomasa
dari rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Asumsi model ini adalah bahwa
antara produksi (penambahan) dan mortalitas (pengurangan) biomasa di dalam
suatu ekosistem, terdapat suatu keseimbangan.
Secara umum dalam Ecopath
diperlukan input 4 parameter, yaitu biomasa (B), perbandingan produksi/biomasa
(P/B), perbandingan konsumsi/biomasa (Q/B) dan efisiensi ecothropic (EE), pada
tiap kelompok dalam suatu model.
Download