sesuai petunjuk bapak presiden

advertisement
Makalah UAS
“SESUAI PETUNJUK
BAPAK PRESIDEN”
Tinjauan Buku Etnografi
Young Heroes: The Indonesian Family in Politics
karya Saya Sasaki Shiraishi (1997)
M. Arief Wicaksono
Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Makalah diperuntukkan memenuhi Ujian Akhir Semester Genap 2017
Mata Kuliah Metode Penelitian Antropologi
“SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN”
Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics
karya Saya Sasaki Shiraishi (1997)
Kutipan yang saya jadikan judul di atas adalah perkataan yang lazim didengarkan rakyat
Indonesia pada masa orde baru. Ucapan itu sering dilontarkan oleh seorang menteri Soeharto,
Harmoko, yang sangat loyal pada presidennya. Buku ini adalah buku etnografi yang
membahas bagaimana kata bapak bukan sekadar kata untuk memanggil orang laki-laki yang
lebih tua dari kita. Kata bapak telah memiliki makna yang amat penting bahkan menjadi
ideologi, bersama kata ibu, anak, dan keluarga. Buku Young Heroes: The Indonesian Family
in Politics yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Seno Gumira Ajidarma,
Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik ditulis ditulis oleh Profesor
Saya Sasaki Shiraishi, pengajar antropologi pendidikan dan etnografi asia tenggara di
Departemen Antropologi, Universitas Kyoto Bunkyo yang telah melakukan penelitian di
Indonesia pada tahun 1989. Masa orde baru menjadi latar sekaligus konteks yang penting
bagi setiap peristiwa yang dipaparkan oleh Shiraishi dalam buku ini.
Konten Buku
Shiraishi adalah satu dari sedikit ahli dan peneliti antropologi (baik yang berasal dari dalam
maupun luar Indonesia) yang memiliki perspektif berbeda dalam menentukan fokus
kajiannya. Pada tahun-tahun itu (Tahun 80-an) banyak ahli dan peneliti antropologi memilih
untuk melakukan penelitian tentang kelompok-kelompok etnik/suku bangsa. Hal ini bermula
ketika Shiraishi banyak berjumpa dengan orang-orang yang semula memperkenalkan diri
sebagai “orang Indonesia”, baru kemudian memperkenalkan diri mereka sebagai bagian drai
kelompok etnik tertentu, seperti “orang Jawa, orang Sunda”, dan lain sebagainya. Bagi
Shiraishi, sudah waktunya (pada saat itu) para antropolog mengkaji makna menjadi orang
Indonesia, dan apakah ada sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia (Shiraishi
(dalam terjemahan), 2001:vii).
Gagasan utama Shiraishi dalam buku ini, sebagaimana yang telah dia jadikan sebagai
judul buku, adalah pemikirannya mengenai “Keluarga Indonesia”. Gagasan mengenai
“Keluarga Indonesia” ini merupakan implikasi dari skenario besar rezim Orde Baru melalui
reproduksi harian jaringan perluasan keluarga semu yang meletakkan (tentunya) Presiden
Soeharto sebagai bapak tertinggi, sementara rakyat Indonesia sebagai “anak-anaknya”. Maka
tak heran jika pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dianugerahi gelar sebagai “Bapak
Pembangunan”. Pengertian kata bapak dalam buku ini tidak merujuk pada pengertian paling
mendasar (jika dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pengertian pertama) yaitu sebagai
(1) orang tua laki-laki ; ayah (2) orang laki-laki yang dalam pertalian kekeluargaan boleh
dianggap sama dengan ayah (seperti saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki bapak)1.
Di bagian pendahuluan, Shiraishi memberikan kutipan dari buku otobiografi
Soeharto, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) yang menurutnya sangat
gamblang menunjukkan bagaimana ideologi kekeluargaan (semu) itu dijalankan oleh
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 80
Soeharto sebagai bapak tertinggi kepada menteri-menterinya sebagai anak. Perhatikan
kutipan berikut ini:
Di mata saya tidak ada anak emas, juga tidak ada anak yang tidak saya senangi. Tidak ada.
Semua mereka itu, dalam tugas dan bidangnya masing-masing, mempunyai kepercayaan
yang sama dari saya. Semuanya pembantu-pembantu dekat saya sesuai degan bidangnya
masing-masing...2
Dari kutipan di atas jelas bagaimana Soeharto menggunakan kata anak untuk
menyebut pembantu-pembantunya (menteri-menterinya). Sebaliknya, para menteri itu
menganggap dan menyebut presidennya sebagai bapak. Dalam bahasa politik kekeluargaan,
Soeharto bukan sekadar presiden, tetapi bapak presiden. Perbedaan yang amat halus, namun
penting (Shiraishi, 2017:3). Otobiografi Soeharto yang dikutip untuk beberapa bagian dalam
buku ini menunjukkan bahwa gagasan tentang bapak bukan sekadar sebagai bahasa, tetapi
telah merasuk dalam ideologi orde baru yang mengkonstuksi suatu keluarga besar bernama
Indonesia. Hal ini sama halnya dengan anak-anak Indonesia yang memanggil guru mereka
dengan sebutan bapak dan ibu guru, bukan Tuan dan Nyonya, seperti dalam bahasa Inggris
(Mr atau Mrs). Gagasan mengenai Keluarga Indonesia ini pada mulanya mendapat pengaruh
dari sistem pendidikan nasional yang lahir dari Ki Hadjar Dewantoro melalui organisasi
Taman Siswa-nya, sehingga apa yang disebut sebagai Keluarga Indonesia sesungguhnya di
dalamnya terdapat mendapat pemgaruh dari corak budaya Jawa.
Pada bab pertama buku ini, Shiraishi menggambarkan latar dan konteks waktu
penelitian etnografi ini dilakukan, yaitu pada masa rezim Orde Baru, bukan dalam konteks
politik dan pemerintahan, melainkan pada kehidupan sehari-hari keluarga (dalam artian yang
sebenarnya) di Jakarta. Shiraishi tidak hanya melakukan pengamatan langsung terhadap
keluarga-keluarga di Jakarta, melainkan ia juga mengkonstruksi pemaknaan mengenai
gagasan keluarga ini dari sejumlah bacaan: koran hingga majalah anak-anak. Menurutnya,
bacaan-bacaan tersebut memuat bagaimana gagasan keluarga ini dikonstruksikan serta
berkaitan dengan jaringan dan kesetiaan. Shiaishi memaparkan mengenai dikotomi antara
yang dikenal dengan yang tidak dikenal pada masyarakat Jakarta. Maksudnya, bagi seorang
warga Jakarta, dunia jaingannya terdiri dari dua oposisi ini: antara orang-orang yang
dikenalnya dengan yang tidak dikenalnya.
Shiraishi memaparkan pengalamannya ketika melihat seorang ibu sedang menunggu
anaknya di Bandara. Di hadapan ibu itu, banyak sekali orang-orang berlalu lalang dan datang
silih berganti, namun ibu itu hanya menunggu satu orang saja, yaitu anak yang sangat
dicintainya. Ketika melihat anaknya telah tampak dari pintu kedatangan, ibu itu langsung
menghampiri dan mereka berdua slaing berpelukan, tanpa ada satu katapun keluar dari ibu
maupun anak. Bagi sang ibu maupun sang anak, pelukan hangat lebih mengekspresikan
bagaimana kerinduan diutarakan daipada melalui kata-kata. (tindakan lebih ekspresif daipada
kata-kata). Hal inilah yang sesungguhnya menggambarkan bagaimana antaranggota keluarga
menunjukkan kesetiaan diantara mereka. Bagian ini juga menunjukkan bagaimana jaringan
2
Soeharto dalam Shiraishi (Terjemahan, 2001) Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
dibentuk, dalam artian, yang tidak dikenalpun bisa kita ajak kenalan, dan kita masukkan
dalam daftar keluarga (semu) kita.
Di bab dua, Shiraishi mulai spesifik membicarakan sosok Soeharto sebagai Bapak
Orde Baru, bapaknya bangsa Indonesia. Dalam bagian ini, Shiraishi memaparkan tinjuanan
historis kemunculan Orde Baru melalui peristiwa tragis, yaitu upaya kudeta 1 Oktober 1965.
Lebih jauh ke belakang, Shiraishi mengutip penyataan wartawan Bryan May: “Indonesia
dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahikan kembali dlama kudeta dan dibaptis dengan
darah pembantaian.3. Penculikan yang dimaksud bukan penculikan yang terjadi pada
peristiwa 1965, melainkan penculikan yang dilakukan oleh golongan muda terhadap
golongan tua pada detik-detik menjelang kemerdekaan, atau yang kita kenal sebagai peristiwa
Rengasdengklok (1945). Dalam peristiwa ini juga tergambar bagaimana relasi bapak
(Soekarno) dan anak (golongan pemuda). Anak memaksa bapak untuk melakukan revolusi
(memproklamirkan kemerdekaan). Sang bapak marah, anak menjadi segan. Peristiwa
penculikan para Jenderal pada 1965 juga digambarkan dalam relasi bapak dan anak dalam
kesatuan unit militer. Bapak adalah para Jenderal dan anak adalah bawahan mereka yang
memberontak. Peristiwa yang berisi relasi bapak dan anak inilah yang dari dulu hingga
padapada akhirnya melahirkan Indonesia sebagai unit keluarga besar.
Pada bab tiga, Shiraishi memaparkan kejadian-kejadian yang ada dalam lingkungan
keluarga, khususnya di rumah kediaman mereka. Di sini dia berusaha menunjukkan
bagaimana pola keluarga Indonesia yang sebenarnya tebangun dari pola keluarga Jawa itu.
Diceritakan tentang seorang gadis kecil bersama ibunya pada sebuah acara arisan di Jakarta.
Melihat gadis kecilnya akan mengambil permen merah, secara tiba-tiba ibunya
mengambilkan permen hijau dan memasukkan permen itu ke mulut si gadis. Sontak gadis
kecil itu membuang permen hijau dari mulutnya hingga jatuh ke lantai. Melihat peristiwa itu,
ibu-ibu yang lain tertawa karena menganggap peristiwa itu adalah peristiwa yang lucu.
Shiraishi membandingkannya dengan apa yang dia dapatkan dari temannya di Indonesia
mengenai pernikahan. Sang gadis tidak diperkenankan memilih laki-laki pilihannya, tetapi
harus menerima laki-laki pilihan ibunya, meskipun laki-laki pilihan gadis tersebut memiliki
keyakinan yang sama (Katolik) dan bekerja seperti ayahnya, yaitu sebagai polisi. Jika
dikaitkan, apa bedanya antara permen merah dan hijau tersebut? Dalam beberapa konteks,
relasi antara bapak/ibu dan anak menjadi relasi super dan subordinasi.
Pada bab empat, Shiraishi memaparkan bagaimana pemahaman akan “bapak-isme”
ini muncul dan berkembang, meskipun sudah dijelaskan secara sekilas di bagian
pendahuluan, yaitu berawal dari konsep pendidikan KI Hadjar Dewantoro mengenai “sistem
pamong”nya. Penerapan sistem kekeluargaan sebagai prinsip-prinsip organisasi Taman Siswa
mulai dikumandangkan sejak kongres nasional yang berlangsung di Yogyakarta pada
Agustus 1930 (Shiraishi (dalam terjemahan), 2001:124). Disebutkan bahwa seorang tokoh
Taman Siswa cabang Mataram bernama Tjokrodirdjo mengemukakan bahwa Taman Siswa
Cabang Mataram berlaku sebagai kakak yang memikul tanggung jawab pada adik-adiknya
(Taman Siswa cabang lain). Ciri-ciri kekeluargaan ini juga sangat jelas tergambar pada nilainilai Taman Siswa: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
3
Brian May, The Indonesian Tragedy (1978) dalam Shiraishi (tejemahan, 2001), Pahlawan-pahlawan Belia:
Keluarga Indonesia dalam Politik.
Sistem ini tak lain bermaksud mendorong anak agar berjalan di jalan yang benar, memberi
motivasi pada mereka, dan dari belakang melihat kemajuan sang anak. Prinsip ini juga
diterapkan di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Maka tak heran jika di dalam
unit militer, gagasan relasi bapak-anak juga terasa kental.
Pada bab lima, Shiraishi menggambarkan “sisi lain” dari bapak. Bagaimana jika
bapak yang terkenal sebagai sosok yang kita homati, yang dianggap mampu melindungi kita,
yang senantiasa memberikan petunjuk pada anak-anak nya pada suatu saat melakukan
skandal? Di sini dikisahkan tentang seorang Direktur suatu Bank yang telah lama menjabat,
sehingga telah dianggap sebagai bapak oleh karyawan-karyawannya. Sang bapak dikenal
sebagai oang yang dermawan terhadap karyawannya, seperti membiayai operasi anggota
keluarga karyawan. Hingga pada suatu hari sang bapak terkena skandal korupsi sehingga
harus ditahan. Aneh tapi nyata, pada saat acara pencopotan sang bapak di lakukan, para
karyawan bukannya marah karena sosok bapak yang dihormatinya melakukan korupsi, malah
mereka bermuka sembab dan sangat sedih karena akan berpisah dengan sang bapak. Contoh
lain adalah sisi lain dari bapak Sudomo, salah satu “menteri inti” dalam kabinet Soeharto
yang pada suatu ketika menerbitkan kebijakan pelarangan mobil dengan kaca gelap. Namun
demikian, ketika dia ditanya mengapa mobilnya sendiri berkaca gelap, dia hanya menjawab
“ya begitulah”. Sang bapak bisa saja sangat toleran dan baik hati tapi dia juga bisa saja
menjadi orang yang sewenang-wenang.
Pada bab enam, Shiraishi menceritakan bagaimana ideologi kekeluargaan ini juga
terdapat dalam lingkungan pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah (di Jakarta). Dunia
sekolah adalah “dunia keluarga” yang sama sekali baru. Maka tak heran muncul istilah bahwa
guru adalah orang tua kedua di sekolah. Ruang kelas adalah rumah yang baru. Di dalam
“rumah baru” tersebut ada peraturan yang harus dipatuhi oleh murid-murid. Murid adalah
anak, sementara guru adalah bapak atau ibu. Bapak atau ibu guru memandang sama semua
murid-muridnya (anak-anaknya). Hal ini berbeda dengan ibu (asli) yang hanya
memperhatikan anaknya masing-masing, seperti yang terdapat dalam peristiwa “perebutan
bangku paling depan”, dimana ibu-ibu slaing berebut bangku paling depan untuk anaknya
masing-masing. Sistem pendidikan nasional Indonesia memandang seragam semua anakanak yang ada di dalamnya tanpa terkecuali. Salah stau pelajaran yang mengkosntruksi
bagaimana sistem kekeluargaan dibangun adalah pelajaran bahasa Indonesia. Dalam buku
pelajaran bahasa Indonesia, kita tentu familiar dengan bacaan “...ini budi, ini ibu budi, ini
bapak budi,...” yang berperan penting dalam membentuk “keluarga baru”.
Pada bab tujuh (terakhir) dalam buku ini, Shiraishi menceritakan golongan yang
kurang terkekspos dalam ideologi keluarga-isme Indonesia, yaitu para remaja. Dalam hal ini,
Shiraishi mengaitkan antara peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok pemuda
dari sebuah kelompok agama dan respon pemerintah. Pada mulanya adalah majalah Monitor
yang menerbitkan hasil survei tokoh yang digemari. Dalam survei itu, disebutkan bahwa Nabi
Muhammad sebagai sosok yang paling dihormati dalam agama Islam mendapat posisi ke-11,
sementara pemimpin redaksi majalah tersebut, Arswendo, berada satu tingkat di atasnya. Para
remaja marah karena menyamakan Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Pemerintah,
dalam hal ini tidak bisa membela redaksi meskipun urutan pertama dalam suvei tersebut
adalah Soeharto. Pemerintah sebagai bapak memandang bahwa para remaja yang berdemo
itu tak ada bedanya dengan kanak-kanak yang masih mencari bimbingan dan arah kesana
kemari. Oleh karena itu yang dihukum bukanlah anak-anak yang melakukan kekacauan, tapi
pihak redaksi sebagai provokator atau penyebab kekacauan. Anak-anak adalah golongan
yang maish pelu dibimbing. Mereka tidak memahami apa yang mereka lakukan. Redaksi
majalah adalah golongan yang sudah dewasa, yang telah mengerti apa yang telah
dilakukannya. Oleh karena itulah yang dihukum adalah redaksi Monitor.
Tipe Etnografi
Merujuk pada Boyle (1974) dalam Issues in Qualitative Research Methods, karya Shiraishi
ini termasuk dalam maxi/macro-ethnography. Hal ini sejak awal telah diakui oleh Shiraishi
sendiri bahwa lapangan kajiannya tidak seperti antropolog lain yang terbatas pada budaya
kelompok etnik tertentu, melainkan budaya suatu masyarakat negara-bangsa yang di
dalamnya terdiri dari banyak kelompok etnik. Jika merujuk juga pada tabel oposisi biner
klasifikasi etnografi menurut Werner dan Schoelpfle (1978a) dalam Systematic Fieldwork
and Data Analysis Management Vol 1. No. 55, etnografi yang ditulis Shiraishi ini memuat
kriteria: holistik, urban (Shiraishi melakukan penelitiannya di keluarga-keluarga di Jakarta),
berfokus pada penggunaan bahasa lokal, dalam hal ini bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
menjadi penting karena berkaitan dengan konteks dan makna untuk memahami fenomena
sosial budaya pada penelitian tersebut.
Fokus Kajian dan State of The Art
Shiraishi menempatkan dirinya (the self) sebagai instrumen utama penelitian dan informan
sebagai the others (Lasitter, 2005). Fokus kajian utama dalam buku ini adalah konsep atau
gagasan mengenai keluarga dalam berbagai teks dan konteks, yang kesemuanya itu berjujung
pada suatu konstuksi keluarga besar rezim Orde Baru. Keluarga Indonesia menjadi produk
dari proses panjang sejarah dan sistem pendidikan nasional Indonesia. Di dalam (salah
satunya) sistem pendidikan tersebut, bekembang dan tersebar luas buku-buku teks pelajaran
sekolah yang mencerminkan gagasan mengenai kekeluargaan. Gambaran tersebut membantu
warga bangsa dalam mengimajinasikan identitas bangsa mereka sebagai satu kesatuan
keluarga yang besar. Imajinasi ini secara teus menerus direproduksi melalui kehidupan
sehari-hari: di lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, lingkungan sekolah, lingkungan
kerja, hingga lingkungan pemerintahan.
Dalam mencari itu semua, Shiraishi melakukan penelitiannya pada sejumlah
lingkungan keluarga dan sekolah. Selebihnya ia banyak melakukannya dengan studi pustaka
dari berbagai sumber, seperti buku otobiografi, berita-berita di media koran, majalah, hingga
buku-buku teks pelajaran sekolah dasar. Teks-teks tersebut (meskipun tidak mendalam dan
mungkin bias) secara kolektif menunjukkan pola ideologi keluarga ini, mulai dari berita
hingga cerita. Begitu masifnya ideologi kekeluargaan ini dipenetrasi ke dalam kehidupan
berbangsa dan benegara, hingga sangat sering kita dengarkan bahwa setiap ada konflik,
mayoritas pendapat akan mengatakan “sebaiknya setiap masalah diselesaikan dengan
kekeluargaan”. Fokus kajian utama Shiraishi mengenai keluarga ini kemudian
dikontekstualisasikan dalam kehidupan politik Indonesia, dalam hal ini adalah kaitannya
dengan relasi yang cenderung berpola super-subordinasi.
Fenomena mengutamakan kekeluargaan seperti itu bagi banyak orang Indonesia
kebanyakan mungkin dianggap sesuatu yang wajar dan biasa karena memang kekeluargaan
ini disebut-sebut sebagai kekhasan „budaya timur‟ yang mengutamakan solidaritas mekanik.
Akan tetapi, bagi Shiraishi, hal tersebut bukan suatu kebetulan yang tak ada artinya. Dalam
buku ini Shiraishi menunjukkan secara jernih dan argumentatif bahwa ada suatu hubungan
yang erat antara politik dan ideologi keluarga di Indonesia, dan itu berpengaruh bagi
keberlangsungan proses hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini tercermin pada
kesamaan pola hubungan dalam beberapa konteks. Hubungan bapak dan anak tercermin pada
hubungan antara presiden dan menterinya, pemimpin oganisasi dan anggotanya, pimpinan
militer dan pasukannya, hingga guru dan murid-muridnya.
Seperti yang telah saya katakan di awal, (dengan memperhatikan konteks waktu 1989)
bahwa Shiraishi adalah satu dari sedikit ahli dan peneliti antropologi yang menelurkan karya
etnografi seperti ini. Pada masa itu para peneliti antropologi lebih banyak yang mencurahkan
perhatiannya pada kelompok-kelompok suku bangsa tertentu, dalam hal ini adalah
antropologi tradisional. Shiraishi meneliti apa yang pada saat itu sangat jarang diteliti: yaitu
menjadi “orang Indonesia”. Sementara di luar dirinya, para peneliti antropologi lebih banyak
mendalami etnografi-etnografi single-sited, misalnya etnografi kelompok suku bangsa Dayak,
Papua, Bugis, dan lain sebagainya. Bagi Shiraishi, pengakuan seorang informan sebagai
“orang Indonesia” lebih misterius daripada pengakuan seseorang sebagai “orang Dayak,
Jawa, atau Sunda”. Akar kebudayaan yang berbasis etnisitas bagi Shiraishi lebih mudah
ditemukenali akar-akarnya, namun mencari akar dari identitas ke-Indonesia-an, adalah hal
yang menjadi ketertarikan tersendiri dibanding penelitian-penelitian etnografis lainnya.
Shiraishi kemudian berpikir: pola keluarga yang seperti apa yang digunakan untuk
seluruh masyarakat Indonesia yang multietnik ini? Shiraishi mencoba berangkat dari
pemikiran Hildred Geertz yang menyatakan bahwa Indonesia lebih dari tiga ratus kelompok
etnik, dan hubungan kekerabatan atau sistem keluarganya beragam dari pola matrilineal,
patrilineal, hingga bilateral. Konsep keluarga yang berusaha digali Shiraishi dalam konteks
Indonesia ini dipebandingkannya dengan pemikiran Kenci Tsuchiya dan John Pemberton.
Shiraishi pada awalnya menilai bahwa pola keluarga yang diterapkan secara nasional atau
idoelogi keluarga tersebut pada dasarnya merupakan pola keluarga dengan corak Jawa yang
cenderung patriarki. Hal ini diperkuat dengan upaya penggalian asal-usul ideologi keluarga
ini yang berangkat dari sistem pendidikan nasional, yaitu sistem Among yang dicetuskan oleh
KI Hadjar Dewantoro dan diteruskan oleh Soeharto. Namun demikian, Tsuchiya dan
Pemberton mengemukakan bahwa tradisi Jawa telah mendapatkan pengaruh dari Belanda.
Satu hal lain untuk merumuskan state of the art pada penelitian dan publikasi
Shiraishi ini adalah persoalan bahasa. Pola kebudayaan Jawa yang “dinasionalisasi”
membutuhkan suatu mekanisme proses dari rezim Orde Baru. Salah satu poses atau strategi
yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah memasukkan kebijaksanaan Jawa ke dalam
bahasa Indonesia. Maka menurut Shiraishi, kita tidak perlu pergi ke desa-desa tradisional di
Jawa untuk mendapatkan gambaran kebudayaan Jawa yang asli, tetapi cukup dengan
mengkaji bagaimana keluarga Indonesia dibentuk dalam bahasa keseharian, tentunya dengan
memperhatikan konteks historis dan politiknya. Ini adalah sumbangan yang menurut saya
penting bagi metodologi literatur atau kajian pustaka dalam antropologi. Itulah mengapa
sebagian besar data dalam penelitian ini, didapatkan bukan hanya dari pengamatan terlibat,
tetapi juga dari teks-teks dalam berita bahkan cerita anak.
Jika diringkas, fokus kajian Shiraishi adalah gagasan tentang keluarga, bahasa
politik-kekeluargaan, dan pola interaksi yang mencerminkan kekeluargaan itu dalam
kehoidupan sehari-hari, terutama dalam konteks politik (orde baru). Sehingga, state of the art
dari tulisan Shiraishi ini adalah bahwa terdapat signifikansi politis dalam konsep keluarga
(yang kemudian berujung pada ideologi keluarga/famili-isme) yang dibentuk melalui bahasa
politik-kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari dan tulisan sehari-hari (berita-berita dan
cerita-cerita) di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, Shiraishi adalah peristiwa ketika
Shiraishi bertemu dengan seorang kawan Indonesia yang pada mulanya mengenalkan diri
sebagai orang Indonesia baru mengenalkan diri sebagai orang Jawa, merupakan sebuah
foreshadow problem utnuk menelusuri bagaimana ke-Indonesia-an itu dibentuk, serta apa
makna menjadi warga Indonesia.
Perspektif Blasco dan Wardle
Blasco & Wardle (2007), dalam buknya, How to Read Ethnography, menulis bahwa
etnografi tidak hanya menjelaskan data-data yang terkumpul (recollection), akan tetapi juga
melakukan beberapa hal seperti refleksi (reflection), pengujian (examination), dan
memberikan argumen atas pengalaman yang dialami oleh peneliti. (Blasco dan Wardle,
2007:9). Semua data penelitian yang berupa bukti-bukti tersebut dalam konteks ilmu sosial
menurut Charles Ragin (dalam Ten, 2004) perlu didialogkan dengan ide-ide dari peneliti
dalam upaya untuk merespon satu pertanyaan yang diajukan dalam permulaan riset. Ada
empat komponen utama dalam membaca etnografi menurut Blasco dan Wardle, yaitu
perbandingan, konteks, pemaknaan, dan hubungan-hubungan sosial.
Ada empat isu utama dalam membaca etnografi menurut Blasco & Wardle, yaitu:
perbandingan, konteks, pemaknaan, dan hubungan-hubungan sosial. Dalam perbandingan
(comparison),keduanya mengatakan bahwa comparison dalam etnografi diperlukan untuk
melihat perbedaan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.Selain itu, comparison berguna
untuk membuat generalisasi yang diambil dari beberapa lokasi penelitian.Dalam
membandingkan antara diri peneliti (the self) dengan masyarakat (the others), seorang
peneliti haruslah memulai dengan memahami tentang the others dan kebudayaannya.
Dalam hal perbandingan, sejak wal saja Shiraishi telah membandingkan dirinya
dengan peneliti-peneliti antropologi lain yang cenderung menjadikan kelompok-kelompok
etnik sebagai fokus kajian, sementara dirinya menjadikan Indonesia sebagai suatu unit
penelitian. Dalam berbagai kutipan di dalam buku, Shiaishi juga menunjukkan perbandingan
akan pemaknaan bagi orang-orang yang ditelitinya (orang Indonesia) dengan pendapat
pemaknaan dari orang-orang Amerika. Hal ini terlihat dalam contoh kasus “permen hijau”.
Shiraishi menceritakan pengalamannya saat melihat peristiwa permen hijau yang dikeluarkan
dari mulut gadis kecil hingga permen itu jatuh ke lantai, kemudian ibu-ibu justru
mennganggap hal itu adalah hal yang lucu. Tentang peristiwa itu, Shiraishi membandingkan
“respon” yang terjadi antara ibu-ibu di Indonesia dengan ibu-ibu di Amerika. Diceritakan
bahwa suatu ketika terdapat seorang ibu di Amerika yang tengah memangku putrinya yang
menggunakan topi. Suatu saat topi itu dengan sengaja diletakkan di lantai dan dengan segera
ibunya mengambil topi tersebut dan mengenakannya kembali ke kepala sang anak.
Dari perbandingan di atas, Shiraishi mencoba menarik abstraksi dari dua fakta
empirik di lapangan penelitiannya. Shiraishi mengkonseptualisasikannya ke dalam
“dominasi”. Anak-anak diminta untuk belajar bahwa sejak kecil dia tidak bisa membuat
pilihan-pilihannya sendiri. Pilihan-pilihan itu hanya dibuat oleh orang yang berkuasa atas
dirinya, yaitu ayah atau ibunya. Anak-anak hanya bisa memberontak, seperti yang dilakukan
sang gadis kecil ketika membuang permennya ke lantai. Pada peristiwa tersebut, gadis kecil
itu melihat ibunya sebagai figur yang mendominasi dan mengontrol hidupnya, sosok yang
memutuskan segala sesuatu untuk dirinya. Inilah salah stau sisi dari figur orang tua. Kisah
jatuhnya permen hijau ini diceritakan oleh Shiraishi ke beberapa orang dan menanggap reaksi
masing-masing sebagai perbandingan. (Sedikit mengulang) Shiraishi mendapat respon dari
seorang kawannya di Indonesia yang menceritakan tentang perjodohannya. Ketika Shiraishi
menceritakan peristiwa jatuhnya permen hijau itu, kawan Shiraishi langsung teringat
pengalaman tentang perjodohannya yang berakhir di tangan orang tuanya.
Selain itu, tanggapan yang hampir serupa juga didapat dari seorang guru sekolah
dasar. Ketika menceritakan peristiwa jatuhnya permen hijau, guu sekolah dasar itu
mengatakan bahwa hal itu adalah hal yang biasa bagi orang tua dan anak-anak di Indonesia.
Peristiwa dominasi itu bagi guru SD tersebut, sudah ditanamkan dari generasi ke generasi. Di
lain kesempatan, peristiwa itu juga mendapat respon dari seorang rektor yang sedang kesal
karena bukunya dilarang terbit oleh pemerintah. Rektor tersebut mengaku kesal bahwa
sepanjang karirnya selama dua puluh tahun, dia tidak memperoleh kebebasan yang berarti.
Perbandingan peristiwa dan respon yang digali oleh Shiraishi itu penting baginya untuk
diabstraksikan dan direfleksikan ke dalam konteks lain yang menjadi fokus kajian
penelitiannya: keluarga Indonesia dalam politik nasional.
Prinsip relasi antara ibu dan anaknya di atas itulah yang kemudian menjadi model
hubungan pemerintah dengan rakyatnya, rezim Orde Baru dengan bangsa Indonesia.
Pemerintah sebagai orang tua berperan untuk mengontrol, mengatur, dan membuat pilihanpilihan yang boleh bagi anak-anaknya. Inilah juga yang menjadikan etnografi ini
memunculkan metafora tentang seorang anak. Rakyat Indonesia oleh Shiraishi
dimetaforakan sebagai anak (gadis kecil) sang ibu. Sebagai anak, dia belum bisa berbuat
banyak apalagi melakukan bakti kepada ibunya, sementara ibu (sebagai orang tua) tentu telah
berbuat banyak untuk anaknya. Sang ibu telah mengurusi anaknya tersebut, seperti
memberikan makan, memandikan, menyekolahkan anaknya tanpa mengharap imbalan.
Sebagai gantinya, muncul narasi bahwa anak harus berbakti pada orang tua, yaitu tak lain dan
tak bukan dengan cenderung menuruti perintah orang tua. Sedikit berefleksi, dulu ketika
maish di sekolah dasar, saya masih ingat perkataan guru bahwa saya dan teman-teman harus
menuruti perintah orang tua. Orang tua dipandang sebagai figur yang paling mengerti tentang
kebutuhan anak. oleh karena itu, sang anak tidak diperkenankan membuat pilihan-pilihan
sendiri bagi dirinya di luar kontrol orang tua.
Anak (kecil) dimetaforakan oleh Shiraishi sebagai rakyat Indonesia. Pemerintah Orde
Baru adalah orang tua yang telah bersusah payah telah melakukan pembangunan di sana-sini
untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Rakyat tidak mungkin bisa membalas kebaikan
pemerintah yang sangat besar itu, maka sebagai gantinya pemerintah meminta rakyatnya
untuk menurut dan rela berkorban untuk pemerintah (negara). Logika ini juga yang salah
satunya digunakan rezim Orde Baru untuk membangun ideologi ibuisme. Kaum ibu
dikerahkan untuk secara sukarela menjadi “pahlawan-pahlawan” dalam mewujudkan
maysarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang berasaskan Pancasila, tertib, disiplin, sehat,
dan mendidik anak-anaknya dengan baik, melalui program PKK. Hal ini yang dirumuskan
oleh Julia Suryakusumah sebagai ideologi ibuisme negara. Ibu-ibu bekerja untuk negara
tanpa mereka mengaharapkan imbalan dari negara.
Isu kedua menurut Blasco dan Wardle adalah mengenai konteks. Saya melihat bahwa
konteks peristiwa nasional dan konteks waktu adalah dua konteks yang penting dalam
memahami setiap peristiwa yang ditemui dan diceritakan oleh Shiraishi. Oleh karena itu, dia
memulai asumsi penelitiannya dengan mengutarakan konteks waktu (rezim) pada waktu itu.
Apa yang disampaikan oleh Shiraishi untuk mengantarkan penelitiannya menunjukkan bahwa
sebelum memulai penelitiannya, Shiraishi mengemukakan suatu asumsi tentang situasi dan
kondisi politik di Indonesia yang menjadi konteks penting bagi peristiwa-peristiwa yang nanti
ditemuinya, hal ini dapat ditangkap dalam kutipannya di bawah ini:
Tujuan penelitian ini adalah mencari kemungkinan untuk menerobos, dan akhirnya,
menyingkap, masyarakat orde baru yang amat sangat tertekan.…Menurut saya sudah
waktunya para antropolog mengkaji apa makna menjadi orang Indonesia, apakah ada
sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia. (Shiraishi (dalam terjemahan),
2001: vii)
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Shiraishi memulai dengan suatu kesan atau
penilaian tentang kondisi masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru. Dia menangkap bahwa
masyarakat Indonesia mengalami tekanan secara politis dari pemerintah dalam hal ini adalah
Soeharto sebagai kepala negara. Namun demikian, tidak seperti yang terjadi pada
kecenderungan negara lain, dimana ketika mereka ditekan akan timbul pemberontakan dan
kerusuhan, lain halnya dengan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dinilai
tetekan secara politis itu pada kenyataannya hidup sebagai masyarakat yang damai, tanpa
pemberontakan besar, dan seperti tanpa ada tekanan. Jika dapat disederhanakan, rezim Orde
Baru menjadi konteks penting untuk menjawab mengapa peristiwa ini dan itu dapat terjadi
seperti demikian.
Selain itu, konteks bahwa corak kebudayaan Jawa juga menjadi latar penting bagi
penjelas setiap peristiwa, terutama peristiwa-peristiwa yang berkelindan dengan Soeharto
sebagai bapak tertinggi. Soeharto sebagai orang Jawa dikenal sebagai orang yang snagat
menjalankan tradisi ke-Jawa-annya dalam setiap perkataan dan tindakannya. Dalam hal ini,
Soeharto mendapat banyak pengaruh dari filosofi pendidikan nasional yang dicetuskan oleh
KI Hadjar Dewantoro mengenai Sistem Among yang telah disebutkan di awal. Sistem
mendidik anak dengan membei contoh atau arahan di depan, memberi semangat di tengah,
dan memberi dorongan di belakang diterapkan Soeharto pada kemepimpinan ABRI, dan
terutama pada menteri-menterinya di kabinet. Para menteri yang bekerja pada kabinet
Soeharto itu tak ubahnya seperti anak-anak yang tengah belajar di Taman Siswa, hanya saja
mereka berusia 50-60 tahun, yang secara usia tidak lazim disebut sebagai anak-anak. “Anakanak” Soeharto ini, meskipun ada yang berasal drai luar Jawa, sebagian besar juga
merupakan orang Jawa yang dengan sadar ataupun tidak telah mengalami “jawanisasi” dalam
melakukan pekerjaannya sebagai menteri dan dalam relasinya dengan Soeharto sebagai
bapak.
Hal ini juga tercermin dalam teks yang dikutip Shiraishi dari buku otobiografi
Soeharto, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Berikut beberapa kalimat
yang menurut saya relevan dalam menjelaskan kontekstualisasi filosofi Sistem Among dalam
melihat bagaimana Soeharto bertindak untuk menteri-menterinya di kabinet: (1) “Pembantupembantu saya itu melaporkan tentang masalahnya di bidang maisng-masing, mereka
meminta petunjuk kepada saya atau mencocokkannya apakah benar rencana mereka itu ,
apakah benar jalan pikiran mereka itu .... (2) “...kalau mereka datang kepada saya, mereka
memerlukan petunjuk saya, bagaimana pendapat saya tentang ini dan itu. Mereka sendiri
sebenarnya memiliki pikiran dan pendapat sendiri, tetapi mereka perlu mengeceknya supaya
jangan smapai salah...”, (3) “...Supaya jangan sampai bergerak sendirian, saya memberikan
petunjuk kepada mereka...” (Soeharto dalam Shiraishi, 2001:121).
Sangat jelas tercantum di kutipan di atas mengapa seorang presiden bisa menulis
seperti itu. Kita semua tahu bahwa seorang menteri bukan oang yang sembarangan. Mereka
adalah doktor-doktor terbaik bangsa lulusan Amerika yang kemudian dipanggil Soeharto
untuk menjadi pembantunya di kabinet. Artinya, menterio-menteri itu memiliki keahlian di
bidangnya masing-masing. Namun demikian, menteri-menteri yang ahli itu masih diibaratkan
sebagai anak-anak atau murid-murid yang masih belajar. Bagi orang dari luar, sangat sulit
mendapat penjelaskan ketika seorang menteri penerangan bernama Harmoko, sangat identik
dengan perkataan “sesuai petunjuk bapak presiden” tanpa memahami konteks, terutama
konteks budaya yang dilakukan oleh Soeharto.
Harmoko tersebut adalah salah satu menteri Soeharto yang juga dikenal snagat dekat
dengan Soeharto. Harmoko menganggap bahwa Soeharto adalah bapaknya. Namun demikian,
dalam konteks ini yang terjadi adalah relasi guru dan murid. Murid (yang dalam hal ini
adalah para menteri) adalah orang-orang yang ahli dan memiliki pemikiran mereka sendiri.
Soeharto adalah guru yang memiliki murid-murid dengan beragam kepribadian dan beragam
keahlian. Snag guru (Soeharto) tentu memiliki pandangan tersendiri. Kecenderungan muridmurid di Indonesia, meskipun memiliki pandangan sendiri, tentu akan menyesuaikan dengan
pandangan gurunya. Oleh karena itu, dalam setiap tugas, murid selalu menyesuaikan dnegan
guru. prinsip sistem Among ini benar-benar efektif dijalankan Soeharto sebagai seseorang
yang sangat teguh menjalankan tradisi Jawa dalam pemerintahannya.
Selanjutnya, mengenai pemaknaan, saya mencoba membahas bagaimana kata bapak
dimaknai, tentunya dalam konteks bahasa Indonesia. Shiraishi mendiskripsikan bagaimana
pengertian bapak, ibu dan anak menjadi penting dalam konteks politik di Indonesia dan
dalam bahasa Indonesia itu sendiri. Otobiografi Soeharto yang banyak dikutip oleh Shiraishi
dalam buku ini, mengalami dilematika ketika ditranslaiskan ke dalam bahasa Inggris. Buku
otobiografi Soeharto tersebut tidak mungkin membuat kata son, daughter, atau children
untuk menterjemahkan kata anak dalam bahasa Inggris. Oleh karena itulah dalam otobiografi
Soeharto dalam bahasa Inggris, kata anak hilang, dan menteri diterjemahkan menjadi
minister. Keputusan untuk mentranslasikan kata anak menjadi menteri dalam bahasa Inggris
tentu menghilangkan konteks yang turut penting memaknai sebuah gejala sosial politik di
Indonesia. Kata bapak, ibu, dan anak dalam bahasa Indonesia, terutama jika berkelindan
dnegan kehidupan politik, bukan sekadar kata yang menunjukkan posisi dalam sistem
pertalian darah. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, bahwa kata-kata tersebut
memiliki makna relasi dalam memahami bahasa politik-kekeluargaan.
Buku otobiografi Presiden Soeharto dalam bahasa Indonesia sangat kontekstual untuk
memaknai hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia. Hubungan itu bukan
sekadar tertera dalam bahasa, melainkan telah masuk ke dalam segenap bangsa Indonesia dan
menjadi ideologi mereka. Sehingga, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dalam konteks perpolitikan di Indonesia, pengertian kata bapak yang dirujuk bukan pada
pengertian yang tercantum pada definisi pertama dan kedua, melainkan berarti sebagai figur
yang dihormati, yang disegani, yang dapat memberikan perlindungan. Soeharto jelas menjadi
figur yang disematkan kriteria itu semua. Bahkan, nama KI Hadjar Dewantoro yang
gagasannya menjadi rujukan oleh Soeharto, tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
tersebut di bagian kata bapak. Nama KI Hadjar Dewantara tercantum dalam contoh
penggunaan kalimat pada definisi bapak nomor lima, yaitu “...seseorang yang menjadi
pelingdung (pemimpin, perintis jalan yang banyak pengikutnya) (KBBI dalam Shiraishi
(terjemahan), 2001:143). Dilanjutkan, “... KI Hadjar Dewantara dipandang sebagai bapak
pendidikan nasional”. Dari kamus bahasa paling resmi di Indonesia, nama KI Hadjar
Dewantara masih dilekatkan dengan konsep bapak. Ini menjadi petunjuk bahwa untuk
memaknai penggunaan kata bapak baik dalam teks maupun lisan pada masa orde baru, kita
harus juga merujuk pada pemikiran dan sosok KI Hadjar Dewantara tersebut. KI Hadjar
Dewantara adalah sosok pertama yang memberikan “makna” pada konsep bapak tersebut,
yang hingga kini dianut oleh para bapak-bapak di Indonesia, seperti para pemimpin politik
laki-laki hingga pemimpin perusahaan dan organisasi lainnya.
Selain mengenai pemaknaan, hal penting yang menurut Blasco dan Wardle penting
dlam membaca karya etnografi adalah mengenai relasi. Cerita Shiraishi untuk memaknai kata
bapak dan juga selanjutnya ibu dan anak juga berlanjut pada bagaimana dia menggambarkan
relasi-relasi antaraktor yang ditemuinya di lapangan penelitian. Untuk melihat bagaimana
perilaku seorang bapak yang seharusnya dilakukan, Shiraishi memberikan diskripsi atas apa
yang ditemuinya pada seorang yang bernama budi, laki-laki yang menjabat sebagai presiden
direktur suatu perusahaan. Data tekstual tentang sejarah menjadi pijakannya untuk melihat
terminologi bapak, ibu, anak, dan keluarga menjadi kata yang sangat populer digunakan
dalam berbagai wilayah baik dalam hubungan sosial, pendidikan maupun dalam
pemerintahan. Anak sebagai elemen keluarga Juga tidak luput dari perhatian Shiraishi. Dia
mencoba melihat bagaimana posisi anak-anak yang ditempatkan dalam relasi hubungan
bapak-ibu dalam keluarga. Sekolah menjadi bagian penting bagi anak-anak dalam proses
membentuk konsep keluarga.
Di dalam ruang kelas di sekolah hanya ada hanya dua jenis hubungan, yaitu hubungan
resmi dan hubungan tidak resmi. Hubungan resmi adlah hubungan yang terjalin antara guru
dan murid, sementara hubungan tidak resmi adalah hubungan yang terjadi antar sesama
murid. Hubungan guru dan murid isomorfis dengan hubungan orang tua dan anak. Itulah
kenapa di Indonesia terdapat budaya menganggap bahwa guru adalah orang tua kedua bagi
setiap. Murid-murid di Indonesia juga dibiasakan untuk mencium tangan gurunya. Dibalik
arti filosofi menghormati guru, muncul pemaknaan bahwa kebiasaan mencium tangan guru
adalah menegaskan relasi bapak/ibu-anak yang memungkinkan terdapat dominasi dan super-
subordinasi. Mencium tangan, dmeikian juga menundukkan kepala, adalah simbol bagaimana
sang anak menyatakan diri sepenuhnya tunduk pada kemauan dan kontrol orang tua mereka.
Kembali pada persoalan relasi, bahwa hubungan yang resmi adalah hubungan yang
terjalin antara guru dan murid. Hal ini tercermin dari paparan Shiraishi dalam pengalamannya
memperhatikan situasi kelas di sebuah sekolah di Jakarta. Pada saat itu sang guru
melemparkan pertanyaan di hadapan kelas mengenai siapa nama wakil presiden Indonesia
yang baru saja terpilih. Murid-murid saling bersahutan meneriakkan “Sudharmono..
Sdharmono..”. Namun demikian, sang guru tidak menganggap jawaban itu semua. Guru
tersebut kemudian menunjuk seorang anak yang berada di barisan belakang yang tidak ikut
meneriakkan nama Sudharmono untuk merespon pertanyaan gurunya. Anak yang ditunjuk
gurunya tersebut kemudian mengatakan dengan cukup lirih, “Sudharmono”, dan kemudian
guru itu mengatakan, “benar”.
Cerita di atas jelas mencerminkan bagaimana dua pola relasi di dalam ruang kelas itu
terwujud. Pertama, adalah relasi anatra guru dan murid, yaitu ketika guru memberikan
pertanyaan kepada murid. Ini adalah relasi yang resmi, setidaknya seperti yang tercantum
dalam kurikulum: guru memberikan pertanyaan. Kemudian, murid-murid beramai-ramai
menjawab tanpa ditunjuk guru siapa yang mesti diminta menjawab. Ini adalah relasi yang
tidak resmi. Murid-murid saling berteriak nama Sudharmono dan berlomba-lomba untuk
menjadi yang paling kencang suaranya. Namun demikian, sang guru tidak menghendaki
murid-murid yang seperti itu. Suara mereka tidak diakui dan dianggap tidak resmi atau
dianggap di luar pengakuan sang guru. Suara yang resmi adalah suara anak yang duduk di
belakang yang tidak ikut meneriakkan nama Sudharmono. Suara anak itu adalah suara yang
diakui oleh gurunya karena dia dikehendaki oleh gurunya untuk menjawab, sementara suara
murid-murid lain tidak ada bedanya dengan suara bebek. Wek wek wek adalah ungkapan yang
diucapkan guru untuk menegur murid-muridnya yang berisik, yang keberisikannya itu tidak
termasuk dalam relasi resmi antara guru dan murid.
Manfaat Buku
Dari segi metode dan metodologi, seperti juga yang saya katakan di awal, Shiraishi selain
melakukan metode wawancara dan pengamatan terlibat, juga mengandalkan studi literatur
dari sjeumlah teks yang ada di Indonesia. Ini bisa menjadi kelemahan sekaligus kekuatan bagi
metode penelitian etnografi yang dilakukan oleh Shiraishi. Menjadi kekuatan karena teks-teks
yang dirujuk Shiraishi melalui media-media majalah dan berita adalah teks yang bisa
merepresntasikan pola budaya nasional karena media pada waktu itu memiliki kaitan dan
relasi yang sangat erat dengan rezim pemerintah orde baru. Artinya, ketika antropologi
cenderung mengutamakan observasi langsungnya, maka dengan keterkaitan erat antara media
dan rezim, dia tidak perlu datang ke kantor-kantor pemerintah untuk melihat pola perilaku
pemerintah bekerja. Seperti yang dikemukakannya untuk mempelajari budaya Jawa, tidak
perlu kita datang ke desa-desa tradisional untuk mempelajari budaya Jawa yang asli, tetapi
cukup dengan mengidentifikasi bagaimana bahasa, pilihan kata bekerja. Di sisi lain, ini juga
menjadi kelemahan karena metode seperti ini harus ditriangulasi. Proses inilah yang tidak
tampak pada metode yang dilakukan oleh Shiraishi.
Teks menjadi salah satu pintu masuk bagi Shiraishi untuk melakukan penelitian
tentang Kleuarga Indonesia. Pintu mausk ini adalah pintu masuk yang kurang lazim bagi
peneliti antropologi kebanyakan yang memulai pintu masuknya dari gejala atau fakta empirik
di lapangan. Dia memulainya drai buku Otobiografi Soeharto dalam bahasa Indonesia. Upaya
untuk membaca dnegan kritis daya kira dapat ditarik pelajarannya untuk kita dalam
melakukan studi lapangan melalui dokumen atau teks-teks yang ada di lapangan. Sehingga,
ketika melakukan penelitian di lapangan, kita tidak boleh mengesampingkan, misalnya,
poster-poster, teks-teks yang ada di papan pengumuman, atau teks-teks berita lokal yang
tersebar di lapangan. Sebab teks-teks itu juga memuat banyak data yang turut mengkonstruksi
makna atas masyarakat yang diteliti. Dengan kata lain, seperti berkebalikan dengan
pemikiran hermeneutik dimana melihat masyarakat sebagai teks, sedangkan Shiraishi
melihat teks sebagai masyarakat yang ditelitinya.
Buku etnografi Shiraishi ini sangat memberikan inspirasi dalam hal metode bagi
setiap peneliti antropologi, terutama peneliti antropologi dari Indonesia yang ingin mengkaji
tentang bangsa dan negaranya sendiri. Ini adalah persoalan dan isu perbedaan dan
kepekaan. Shiraishi, menurut saya, sangat unggul dalam hal kepekaan. Peneliti yang meneliti
orang-orang di luar kelompoknya memang sangat peka terhadap segala sesuatu yang berbeda
dengan kelompok dirinya sendiri. Peneliti antropologi dari Indonesia seringkali harus
mengasah kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di dalam orang Indonesia sendiri.
Siapa menyangka, misalnya, peristiwa anak kecil yang membuang permen pilihan ibunya,
memiliki signifikansi dan makna yang sangat penting, bahkan jika diabstraksikan dapat
menggambarkan pola-pola perilaku dalam dunia politik nasional.
Penggunaan banyak “cukilan” memoar, kutipan cerita anak juga menjadi strategi
dalam mengkonstruksi makna dari gejala yang ditemui langsung di lapangan. Strategi ini
menjadi kuat jika Shiraishi mampu juga menggali latar belakang (misalnya) penulis dari teks
yang dikutipnya tersebut, namun hal ini tidak dilakukannya. Namun demikian, saya rasa
sepanjang membaca buku etnografi ini, tidak saya jumpai sebuah kutipan yang dirujuk
Shiraishi bertentangan dengan fenomena sosial di lapangan. Hal ini membuktikan bahwa
terdapat keselarasan antara strategi yang dikembangkan Shiraishi dalam memahami dan
memaknai masyarakat Indonesia melalui teks-teks cerita, memoar, dan berita. Bagi Shiraishi,
sebagaiamana di kebanyakan negara lain, buku teks sekolah dan buku anak-anak di Indonesia
menjadi sarana yang penting untuk mempelajari nilai dan ideologi rezim yang berlangsung
dalam sebuah negara, khususnya Indonesia. Hal ini karena anak-anak adalah “sasaran
empuk” bagaimana ideologi ditanamkan. Atas dasar logika inilah Shiraishi tidak ragu untuk
melakukan strategi penelitian berbasis teks cerita anak di majalah anak. Soal hambatan,
Shiraishi tidak mendapatkan hambatan yang berarti sebab Indonesia adalah lapangan utama
kajiannya dalam mengajar antropologi di universitas almamaternya.
Untuk gaya penyampaiannya, inilah yang menurut saya membuat buku ini menjadi
agak sulit dibaca, sebab alur yang digunakan adalah alur maju mundur. Di satu sisi, ketika
Shiraishi menceritakan suatu gejala atau pengalamannya di lapangan, kemudian Shiraishi
merefleksikannya tentang studi pustaka berbasis sejarahnya. Misalnya, ketika menbicarakan
tentang antar-jemput di Bandara, Shiraishi kemudian melompat ke peristiwa penculikan pada
Oktober 1965. Alur maju-mundur ini sebenarnya menarik karena merupakan suatu upaya
narasi-refleksi, namun akan menjadi sulit dipahami jika konsep-konsep yang disampaikan
Shiraishi dalam menceritakan pengalamannya tidak dipahami dengan baik oleh pembaca
yang tidak dapat menemukan keterkaitan antara peristiwa masa kini dan peristiwa masa lalu.
Bahasa yang disampaikan Shiraishi juga sangat tajam untuk memperlihatkan berbagai
hal yang terkesan familiar bagi sesama orang Indonesia (dalam konteks buku ini juga dibaca
oleh sesama orang Indonesia) menjadi sesuatu hal yang memiliki arti dan makna yang
penting, seperti peristiwa arisan, jatuhnya permen hijau, dan lain sebagainya. Untuk upaya
ini, Shiraishi menceritakan segenap pengalamannya (experience) di lapangan, juga
pengalaman interaksinya dengan kawan-kawannya yang lain, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia (recollection). Dari temuan data dan pengetahuan
sebelumnya itulah, Shiraishi mengutarakan argumen-argumennya. Seperti misalnya yang
tertera tentang pengalaman jatuhnya permen hijau dan ingatannya tentang wawancaranya
bersama seseorang perempuan yang laki-laki pilihannya ditolak orang tuanya.
Shiraishi telah menyintesakan segala hal temuan data, mulai dari pengalaman
lapangan sata melakukan pengamatan terlibat, wawancara dengan para informan, hingga
teks-teks yang ada dalam berbagai cerita dan berita nasional menjadi sebuah konsep yang
sejak awal telah menjadi fokus kajiannya, yaitu mengenai Keluarga Indonesia. Pengalaman
di pekarangan rumah, di dalam rumah, di dalam ruang kelas dinarasikan dengan begitu
mengalir dan lebih penting, diabtraksikan untuk melihat bagaimana pola-pola perilaku
kekuasaan Orde Baru berjalan.
Daftar Pustaka
Boyle, J. S. (1994). Styles of ethnography. Critical issues in qualitative research methods, 2,
159-185.
Gay y Blasco, P., & Wardle, H. (2007). How to read ethnography. London and New York:
Routledge.
Lassiter, L.E 2005
Anthropology
“Collaborative Ethnography and Public Anthropology”, Current
Shiraishi, S. S. (2001). Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
(diterjemahkan oleh Seno Gumira Ajiarma, dkk dari Young Heroes: The Indonesian Family
in Politics). Jakarta: Kepustakaan Utama Gramedia.
Werner dan Schoelpfle (1978a). Systematic Fieldwork and Data Analysis Management Vol
1. No. 55.
Download