TINJAUAN PUSTAKA Integrasi Ternak terhadap Tanaman Kelapa Sawit Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan pendekatan konsep LEISA (Low External Input System Agriculture), dimana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Oleh karena itu, program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos sebagai penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan (Gunawan et al., 2004). Pengadaan bahan pakan bagi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) sebaiknya terfokus kepada kelompok bahan pakan yang tidak bersaing dengan ternak lain . Bahan pakan seperti ini dicirikan utamanya oleh tingginya kandungan dinding sel (selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin) dan hanya dapat dimanfaatkan melalui proses fermentasi pada lambung ternak (Diwyanto et al., 2004) . Ternak ruminansia memiliki sistem pencernaan fermentatif yang unik dan memungkinkan ternak mengolah bahan pakan dengan karakter konsentrasi nutrisi rendah per satuan berat atau keambaan tinggi (bulky) . Karakteristik bahan pakan Universitas Sumatera Utara seperti di atas dimiliki oleh hasil samping perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis) seperti hijauan pakan, pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit. Bahan pakan tersebut umumnya memiliki kandungan dinding sel yang tinggi namun memiliki tingkat kecernaan yang relatif rendah sehingga potensi nutrisi yang dikandungnya tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan . Oleh karena itu peningkatan kualitas bahan pakan perlu dilakukan utamanya dalam hal tingkat kecernaan, konsumsi dan kandungan nutrisinya. Hasil samping kelapa sawit lainnya seperti bungkil inti sawit (BIS, palm cernel cake) dan lumpur sawit (solid decanter) tergolong pakan kelas konsentrat yang tidak memerlukan perlakuan pra pemberian . Pelepah sawit dan serabut mesokarp dapat digunakan sebagai sumber serat kasar atau pengganti pakan hijauan untuk ternak ruminansia, sedangkan lumpur sawit dan bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai sumber energi dan protein untuk ternak ruminansia maupun non ruminansia . Serabut mesokarp dan lumpur sawit merupakan bahan sumber energi yang cukup baik untuk ternak disebabkan oleh kandungan minyak yang terdapat di dalamnya (Elizabeth dan Ginting, 2004). Integrasi ternak dengan perkebunan dapat menurunkan biaya produksi yang berkaitan dengan pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu dan tenaga kerja, serta merupakan pola yang sangat tepat untuk dilaksanakan karena saling menguntungkan (benefit mutualistis) . Vegetasi (rerumputan) di lahan perkebunan digunakan sebagai pakan ternak untuk menghasilkan daging. Ternak ruminansia berpotensi besar untuk mendukung pengembangan perkebunan yang pengelolaannya tidak terlepas dari faktor pemupukan dan perbaikan tekstur tanah . Ternak bertindak sebagai bioindustri Universitas Sumatera Utara dengan menghasilkan pupuk kandang yang berarti pegurangan biaya produksi perkebunan dan berperan ganda sebagai pemroses hasil samping perkebunan, pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa digunakan saat tanaman muda maupun pada lahan berlereng, tenaga kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani (Lermansius, 2000). Tanaman kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diandalkan untuk meningkatkan ekspor dan penerimaan devisa negara sehingga memerlukan penanganan dan pengelolaan yang efektif guna peningkatan produktivitasnya. Kelapa sawit adalah tanaman keras sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibandingkan minyak nabati lainnya. Demikian pula budidaya kelapa sawit tidak memerlukan yang teknologi maksimal tinggi diperlukan namun pengelolaan untuk yang mendapatkan intensif dan hasil terpadu (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Areal perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1978 mengalami laju perkembangan yang sangat pesat sampai tahun 1999 menjadi 2.975 ribu ha, meningkat sebesar 25 kali lipat. Perkebunan sawit tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat yang bermitra dengan perkebunan besar (32,7%), usaha perkebunan besar milik negara (16,6%) dan swasta (50,7%). Perkembangannya didominasi oleh perkebunan rakyat dan swasta, sedangkan perkebunan negara relatif lebih kecil (Departemen Pertanian, 2002). Perkembangan pertanaman kelapa sawit di Indonesia cukup menggembirakan, yakni 14% per tahun dan akan Universitas Sumatera Utara terus bertumbuh mengingat lahan yang sesuai agroekosistem dan agroklimatnya untuk kelapa sawit masih cukup luas. Peluang alternatif untuk memperbaiki pengelolaan perkebunan kelapa sawit adalah dengan mengintegrasikan usaha peternakan, khususnya ternak ruminansia seperti sapi potong, sapi perah dan domba/kambing (Ditjen Bina Produksi Perternakan, 2002). Dengan demikian, kebutuhan pakan ternak dapat dipenuhi dengan memanfaatkan vegetasi dan hasil samping industri perkebunan kelapa sawit. Indonesia sebagai negara tropis di kawasan katulistiwa dengan areal yang cukup luas, maka persediaan bahan pakan ternak sebetulnya bukan merupakan kendala dalam usaha peternakan sapi potong. Banyak potensi bahan baku pakan lokal yang belum diolah atau dimanfaatkan secara maksimal, antara lain berupa limbah perkebunan seperti hijauan antar tanaman, pucuk tebu, limbah tanaman pangan seperti jerami, limbah industri meliputi molases, ampas, dedak, bungkil dsb (Diwyanto et al.,2004). Produk Hijauan Antar Tanaman (HAT) adalah vegetasi di lahan perkebunan (leguminosa, semak, ilalang, rumput lapangan). Peranan perkebunan sawit sebagai salah satu sumber yang dapat digunakan sebagai lahan pengembangan ternak sangatlah mendukung, ditunjang oleh peranan vegetasi lahan sebagai penutup tanah dan pakan ternak, serta produk samping perkebunan dan industri pengolahan buah sawit sebagai pakan ternak. Sebagaimana tanaman perkebunanan lain yang bercirikan tanaman keras, hasil samping yang didapatkan merupakan limbah dengan nilai nutrisi rendah dan kandungan lignin yang cukup tinggi. Diperlukan teknologi pengolahan pakan hijauan dalam upaya memaksimalkan kandungan nutrisi dan manfaat limbah perkebunan sebagai pakan Universitas Sumatera Utara pengganti/substitusi pada saat kemarau yang dicirikan dengan terbatasnya ketersediaan pakan hijauan. Kotoran dan sisa pakan ternak dapat mengurangi biaya kebutuhan pupuk yang sekaligus dapat mengurangi biaya produksi disamping menjaga kelestarian bahan organik tanah, khususnya di wilayah perkebunan yang berlereng dan memberikan tambahan pendapatan usahatani (Hutabarat, 2002). Sedangkan hasil olahan tandan buah digunakan sebagai bahan utama pangan dan bahan dasar industri makanan, sabun, cat, kosmetik. Deskripsi Tanaman Rumput dan Legum Asystasia sp Asystasia sp berasal dari Afrika dan telah tersebar luas di Asia Tenggara, China, Australia, Papua Nugini dan Kepulauan Pasifik (CRC, 2003; Zhengyi, 2011). Rumput ini telah ada di Malaysia sejak tahun 1876, dan dilaporkan sebagai rumput baru pada tahun 1950-an. Perhatian khusus terhadap rumput Asystasia sp mulai ditunjukkan sejak tahun 1970-an karena masalah yang telah ditimbulkannya pada perkebunan-perkebunan di Semenanjung Malaya, terutama pada perkebunan kelapa sawit. Di Indonesia, rumput ini telah tersebar luas di Sumatera, Jawa Barat dan Kalimantan (Tjitrosoedirjo, 2011). Saat ini dapat dengan mudah dijumpai di perkebunan, lahan terlantar tepi jalan, hingga di tepian sungai. Diperkirakan jenis rumput ini masuk ke Sumatera melalui Semenanjung Malaya, dan ke Kalimantan dari Sabah dan Serawak. Rumput Asystasia sp dilaporkan mulai menimbulkan masalah di perkebunan kelapa sawit di Sumatera pada akhir tahun 2000. Asystasia sp dikategorikan kedalam golongan herba yang dapat tumbuh tegak hingga 0.5m atau merayap hingga menutupi tanaman lain. Produksi biji Universitas Sumatera Utara Asystasia sp diperkirakan mencapai 27 juta per hektar. Setelah berkecambah, tanaman akan tumbuh dengan cepat dan menginvasi area disekitarnya. Tunas baru dapat tumbuh dari pangkal ruas-ruas batang. Tiap tunas dapat membentuk percabangan baru dan tumbuh menjadi tanaman baru saat menyentuh tanah. Tunas-tunas baru akan terus terbentuk hingga menekan pertumbuhan tanaman disekitarnya (Othman, 1993). Asystasia sp merupakan rumput tahunan yang tumbuh merayap membentuk belukar yang sangat tebal. Pembungaan dan produksi biji terjadi sepanjang tahun (Kiew & Vollesen, 1997). Pada tempat yang ternaungi, Asystasia sp akan tumbuh membentuk organ-organ vegetatif yang lebih banyak, sebaliknya pada tempat terbuka akan memproduksi lebih banyak bunga dan biji (Othman dan Musa, 1992). Rumput ini mampu tumbuh dengan baik pada daerah tropis dan subtropis. Memiliki toleransi yang baik terhadap berbagai jenis tanah dan dapat ditemukan hingga ketinggian 500 mdpl (CRC, 2003). Axonopus compressus Rumput menahun, membentuk bahan jerami di tanah dengan batang yang memiliki sudut antar ruas, batangnya berdaun 1-2, tunasnya menjalar dan bercabang, seringkali berwarna ungu, tingginya mencapai 0,2-0,5 m. Helaian daunnya berbentuk lanset, memiliki tepian kasar, yang berukuran 2,5-37 kali atau 0,6-1,6 cm. Pangkal daunnya berlekuk dan ujungnya lancip dengan permukaan yang bergelombang. Memiliki bulir pada satu sisi, panjangnya mencapai 3-11 cm. Anak bulir berselang seling kiri dan kanan, menempel pada porosnya, bentuknya memanjang, ukurannya 2,5 mm. Jumlah benang sarinya 3, tangkai putiknya 3, Universitas Sumatera Utara ukuran kepala putiknya besar, muncul kesamping, warnanya putih (Tjitrosoedirjo, 2011). Axonopus compressus berkembangbiak dengan cepat melalui biji atau dengan batang memanjat. Biji-bijinya mudah sekali menempel pada benda yang menyentuhnya, terutama dalam keadaan basah. Sistem perakaran serabut, batangnya berwarna hijau keunguan, tinggi 30cm-40cm, ruas 4cm-5cm, permukaan berbulu tipis, menjalar, bentuk bulat berongga. Bangun daun lanset, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi kasar, daging seperti kertas, warna hijau keunguan, permukaan berbulu. Bunga bulir, terdapat sekam, benang sari 3, putik 2, termasuk bunga lengkap. Selain berperan sebagai bahan pakan ternak Axonopus compressus juga berpotensi sangat kuat dan kuat sebagai antibiotik. Pada tempat yang ternaungi, Axonopus compressus akan tumbuh membentuk organ-organ vegetatif yang lebih banyak, sebaliknya pada tempat terbuka akan memproduksi lebih banyak bunga dan biji (Othman dan Musa, 1992). Rumput ini mampu tumbuh dengan baik pada daerah tropis dan subtropis. Setaria sp Setaria sp lazim dijumpai tumbuh mengelompok membentuk rumpunrumpun yang longgar di perkebunan khususnya di areal pembibitan, di areal tanaman belum menghasilkan dan jarang di areal tanaman menghasilkan. Termasuk gulma saluran drainase. Delain di perkebunan kelapa sawit, juga terdapat di perkebunan karet, kelapa, coklat, teh, tebu, buah-buahan (Rambe et al, 2010). Universitas Sumatera Utara Rumput menahun, membentuk bahan jerami di tanah dengan batang yang memiliki sudut antar ruas, batangnya berdaun 3-5, tunasnya menjalar dan bercabang, tingginya mencapai 0,5-1 m. Helaian daunnya berbentuk lanset, memiliki tepian berbulu. Ujung daun lancip dengan permukaan yang bergelombang. Memiliki bulir pada satu sisi. Anak bulir berselang seling kiri dan kanan, menempel pada porosnya, bentuknya memanjang, ukurannya 2,5 mm. Jumlah benang sarinya 3, tangkai putiknya 3, ukuran kepala putiknya besar, muncul kesamping, warnanya putih (Tjitrosoedirjo, 2011). Ottochloa nodosa Rumput Parennial, menyebar dengan tumbuh menjalar melalui perakaran dan bertunas. Tunas juga tumbuh hingga 30-120 cm. Daun linier-lanset, panjang meruncing, 7,5-20 cm x 0,6-1,8 cm, gundul, tepi halus bergaris tidak menebal, karakteristik menyempit sedikit, dua perlima dari panjang dari ujung. Ligule punggung berbukit kecil, bantalan rambut panjang. Daun selubung dan dasar daun dengan rambut panjang jarang. Perbungaan berupa malai 7,5-20 cm longgar panjang, cabang ramping, scabrid, menyebar saat masak. Bulir pucat coklat, elips, 3-3,2 mm. Bagian bawah daun hanya sedikit lebih pendek dari bagian atas, setengah sampai tiga perempat panjang gabah, baik sangat nerved dengan margin hialin sempit dan sangat hemat berbulu. Steril lemma kuat 9-nerved, mirip tekstur dengan glumes. Lemma atas indurated, terkena, cokelat pucat saat jatuh tempo, 2,8-2,9 mm, diratakan untuk sedikit tertekan punggung, berduri di puncak dengan seberkas rambut (Barnes, 2004). Universitas Sumatera Utara Produktivitas Padang Penggembalaan Dalam bahasa Inggris, hal-hal yang berkaitan dengan penggembalaan disebut pastoral. Ekosistem ini terdiri atas peternak (pastoralist) dan hewan ternak. Adapun padang penggembalaan disebut ekosistem pastoral (Iskandar, 2001). Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat peternak (pastoralist society) merupakan bagian integral yang sangat penting dalam ekosistem pastoral ini. Areal perkebunan memiliki berbagai sumber penunjang diantaranya pakan ternak. Umumnya sapi-sapi dapat hidup pada padang penggembalaan perkebunan. Pada areal perkebunan dapat dikembangkan sentra-sentra penggemukan baik secara tradisional maupun semi-tradisional. Tersedianya padang penggembalaan perkebunan yang luas menyebabkan pemeliharaan sapi-sapi menjadi sangat murah karena hampir zero-input. Areal perkebunan seperti ini diharapkan bisa menghasilkan hampir penggemukan pada seluruh berbagai sapi-sapi areal bibit maupun perkebunan bakalan di untuk Indonesia (Wirdahayati dan Bamualim et al., 2003). Berbagai aktifitas peternak itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Hadi (2002) menyebutkan sistem padang penggembalaan merupakan kombinasi antara pelepasan ternak di padang penggembalaan bebas dengan pemberian pakan. Di Indonesia sistem penggembalaan bebas hanya ditemukan di wilayah timur Indonesia dimana terdapat areal padang rumput alami yang luas. Di beberapa tempat ternak dilepas untuk merumput di tepi jalan, halaman rumah atau tanah kosong di sekitar desa. Sistem ini menggunakan sedikit tenaga kerja. Peternak menggunakan sistem penggembalaan ini sepanjang tahun. Universitas Sumatera Utara Selama musim hujan dimana sebagian areal penggembalaan dimanfaatkan untuk ditanami tanaman budidaya semusim, kawanan ternak digiring ke wilayah dekat hutan. Selain itu beberapa ternak dimanfaatkan untuk menggarap tanah pertanian. Bila tidak terdapat kawasan hutan, peternak membuatkan kandang pagar dimana ternak dapat merumput dan memakan pakan yang disediakan (http://www.aciar.gov.au). Lebih lanjut dijelaskan, penempatan lokasi padang penggembalaan perkebunan sangat penting. Masing-masing perkebunan menyediakan lokasi untuk areal padang penggembalaan bersama. Komposisi Botani Padang penggembalaan Perubahan susunan komponen akan selalu terjadi pada padang penggembalaan. Hal ini mungkin terjadi karena disebabkan oleh kondisi tanah, musim dan pengaruh pemanfaatan oleh ternak. Perubahan-perubahan ini menyebabkan tidak pernah konstannya komposisi botani padang penggembalaan. Analisis komposisi botani diperlukan untuk mengetahui kondisi pastura yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas hijauan yang dihasilkan. Analisis komposisi botani dapat dilakukan secara manual dengan melihat secara langsung komposisi botani yang ada di suatu pastura. Namun hal ini tentu akan menjadi masalah dalam menentukan akurasi jenis botani dan waktu yang diperlukan untuk melihat kondisi botani yang ada secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan metode analisis komposisi botani hijauan makanan ternak yang cepat dan tepat. Beberapa metode analisis komposisi botani yang dikenal diantaranya : Universitas Sumatera Utara 1. Metode langsung Pemisahan dengan menggunakan tangan dan penimbangan hijauan makanan ternak yang ternak yang telah dipotong. Metode ini paling teliti jika digunakan jumlah sampel yang cukup banyak, tetapi memerlukan waktu yang lama dengan fasilitas pengeringan yang memadai. 2. Metode pendugaan Estimasi persentase berat pada hijauan makanan ternak yang telah dipotong, estimasi persentase berat in situ di kebun/lapangan dan estimasi unit berat dari tiap-tiap spesies di kebun/lapangan. Metode-metode tersebut lebih cepat tetapi kurang teliti karena faktorfaktor subyektif. Dalam perkembangannya, diperkenalkan metode “rank” atau perbandingan yang memberikan persentase relatif tentang kedudukan masingmasing spesies (relative importance percentage). Metode ini digunakan untuk menaksir komposisi botani pada rumput atas dasar bahan kering tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan (Iskandar, 2001). Pengaruh Cahaya terrhadap Pertumbuhan Tanaman Cahaya matahari mempunyai peranan penting bagi tanamandalam proses fotosintesis dan pembungaan. Intensitas cahaya yang diterima tanaman selama fotosintesis akan dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan lama penyinaran mengendalikan pembungaan sebagian besar jenis tanaman. Gejala ini dikenal dengan nama fotoperiodisme. Ditinjau dari fotoperiodisme, dikenal beberapa kelompok tanaman yaitu kelompok netral (day-neeutral plant), tanaman Universitas Sumatera Utara hari panjang (long-day plant) dan tanaman hari pendek (short-day plant) (Fisher, 1999). Cahaya yang mempengaruhi tumbuhan dibagi dalam tiga komponen penting yaitu kualitas, lama penyinaran dan intensitas. Kualitas cahaya berhubungan dengan panjang gelombang, dimana panjang gelombang yang mempunyai laju pertumbuhan baik pada fase vegetatif maupun generatif adalah cahaya tampak dengan panjang gelombang 360 nm sampai 760 nm. Panjang gelombang pada kisaran tersebut merupakan radiasi aktif untuk proses foto sintesis. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan yang relatif lambat pada hampir semua spesies rumput rumput adalah akibat kurangnya cahaya. Namun demikian, banyak spesies rumput yang dapat tumbuh baik pada intensitas cahaya yang kurang dari cahaya penuh. Secara langsung, intensitas cahaya mempengaruhi pertumbuhan melalui sintesis klorofil, fase reaksi cahaya fotosintesis, sintesis hormon dan pembukaan stomata (Salisbury dan Ross, 2005). Pengaruh Naungan terhadap Tanaman Naungan dibuat untuk mengurangi intensitas cahaya yang sampai pada tanama dan berfungsi untuk menghindari terpaan air hujan secara langsung pada tanaman saat musim hujan. Naungan yang diberikan secara fisik pada tanaman, tidak hanya menurunkan intensitas radiasi matahari, tetapi juga mempngaruhi unsur-unsur mikro lainnya. Nnaungan juga akan mempengaruhi proses-proses yang ada di dalam tanaman, menurunkan respirasi gelap, titik jenuh dan titik kompensasi cahaya, kerapatan stomata, berat segar tanaman dan berat kering tanaman (Sirait, 2005). Universitas Sumatera Utara Sebenarnya tidak ada defenisi yang tepat untuk tanaman yang toleran terhadap naungan, namun secara agronomi tanaman tahan naungan adalah tanaman yang penampilannya relatif baik pada naungan jika dibandingkan dengan tanaman yang mendapatkan cahaya penuh dan dipengaruhi oleh pemotongan secara teratur, termasuk ke dalamnya adalah bahan kering dan presistensinya. Naungan bepengaruh terhadap pertumbuhan dan morfologi tanaman, yaitu menurunkan produksi anakan, daun, batang, bulu akar dan produksi akar, daun menjadi tipis dengan kandungan air yang tinggi. Tanaman yang ditanam pada kondisi tanpa naungan cenderung memiliki produksi berat akar lebih tinggi dibanding tanaman yang dinaungi. Selanjutnya dilaporkan terjadinya peningkatan luas daun dengan meningkatnya taraf naungan (Alvarenga, 2004). Sopandie et al,. (2003) melaporkan bahwa daun yang tumbuh pada intensitas cahaya rendah biasanya mengalami kerusakan, peristiwa ini disebut photoinhibiton yang dapat menurunkan laju fotosintesis, serta kurang berfungsinya transfer elektron dan fotofosforilisasi. Selain itu distribusi spektrum cahaya matahari yang diterima oleh daun di permukaan tajuk lebih besar dibanding dengan daun dibawah naungan, sehingga cahaya yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis sangan sedikit. Cruz (1997) menyatakan bahwa naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO 2 dan menurunkan titik kompensasi cahaya. Sebagian besar tanaman tropis, terutama rumput mengalami penurunan produksi sejalan dengan menurunnya intensitas sinar, namun spesies yang tahan naungan sering menunjukkan penurunan produksi yang relatif kecil atau masih meningkat pada naungan sedang (Wong, 1991). Universitas Sumatera Utara Kapasitas Tampung Ternak Kemampuan berbagai padang rumput dalam menampung ternak berbedabeda karena adanya perbedaan dalam hal produktifitas tanah, curah hujan dan penyebarannya, topografi dan hal lain-lain. Oleh karena itu padang rumput sebaiknya digunakan menurut kemampuannya masing-masing. Kapasitas tampung ternak bertujuan untuk mendefenisikan tekanan penggembalaan dalam jangka panjang, dalam tingkat optimum yang secara aman berkelanjutan dan dihubungkan dengan ketersediaan hijauan. Gambar 1 di bawah menjelaskan bahwa pada tekanan penggembalaan ringan (Pk) kenaikan berat badan tiap ternak mencapai maksimum. Makin besar tekanan penggembalaan maka kenaikan berat badan tiap ternak menurun, tapi kenaikan berat badan tiap unit luasan tanah naik. Keadaan ini disebut tekanan penggembalaan optimum. Keadaan pada kapasitas tampung (carrying capacity) mencapai kondisi ideal suatu penggembalaan, karena pertumbuhan ternak maupun pertumbuhan hijauan dalam keadaan optimum. Produktivitas dari padang penggembalaan yang optimal dari ternak sapi pada lahan kelapa sawit tergantung pada ketersediaan hijauan. Pada tanaman sawit yang lebih tua, radiasi cahaya menurun, sehingga ketersediaan hijauan juga menurun, yang berakibat pada menurunnya produktivitas padang penggembalaan. Universitas Sumatera Utara Kenaikan bb tiap ternak Kenaikan bb tiap unit luasan lahan Pk Po Pl Tekanan Penggembalaan (ekor/satuan luas lahan) Gambar 1. Grafik hubungan Tekanan Penggembalaan dengan Produksi Ternak. Keterangan: bb: berat badan Pk: Penggembalaan ringan Pl: Penggembalaan berat Po: Penggembalaan optimum Kendala utama pemanfaatan hijauan yang tersedia pada lahan perkebunan adalah adanya perubahan yang cepat akan produksinya sejalan dengan umur dan tingkat naungan. Pohon karet muda, umur 2-5 tahun daya tampung vegetasi hijauan sekitar 8-14 ekor domba/hektar/tahun; umur 6-20 tahun daya tampungnya menurun menjadi 1.3-3 ekor domba/hektar/tahun. Pada umur >20 tahun daya tampungnya meningkat lagi menjadi 6-8 ekor domba/hektar/tahun (Batubara et al., 1997). Pada perkebunan kelapa sawit daya tampung vegetasi hijauannya pada umur <5 tahun, akan sedikit lebih tinggi dari perkebunan karet, tetapi jauh lebih rendah setelah pohon sawit berumur 6-22 tahun (Batubara et al.,2004). Universitas Sumatera Utara