Fakih Farabi - Suara Komunitas

advertisement
Pengantar Editor Edisi New Media
Farabi Fakih
Ini adalah terbitan tematis edisi ke jurnal Etnohistori. Tema yang diangkat pada edisi ini
semula berkaitan dengan kegiatan yang diselenggarakan bersama dengan Forum Film
Dokumenter. Etnohistori mengembangkannya lebih luas dengan menurunkan tulisan dari
berbagai fokus telaah. Tujuan edisi ini adalah untuk mengeksplorasi ide-ide mengenai efek
teknologi terhadap beragam praktek keseharian di bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Apakah perkembangan dari apa yang disebut New Media berefek terhadap serangkaian
praktek yang selama ini kita lumrahi? Bagaimana teknologi itu memberi efek? Kita ingin
mengangkat permasalahan yang diakibatkan ketika teknologi itu meretas batas-batas medium
atau, menggunakan kata Bourdieu yang diangkat dalam edisi ini, beragam arena dan, sebagai
akibat daripadanya, ekspansi daripada agen-agen yang berada dalam arena dan bermain dalam
permainan yang terus-menerus berubah. Kalau ditilik dalam pandangan longue duree, akar
permasalahan itu bisa ditarik jauh sebagai bagian dari trend sejarah modern yang memperluas
akses partisipasi, utamanya kecenderungan perkembangan teknologi untuk memperbesar
jumlah agen.
Kita mengajukan pertanyaaan akan seberapa jauh perkembangan teknologi itu
memungkinkan naiknya individu sebagai agen pada tingkat yang paling atomistis untuk
berperan dalam beragam arena kehidupan. Bagaimana lantas nasib para elit? Apakah masih
ada peranan mereka dalam dunia partisipatif ini? Dan dalam bentuk apa 'elit' itu dapat
diciptakan? Pada saat yang bersamaan, kita juga mempertanyaan seberapa stabil-kah
authorship dalam protokol penciptaan pemaknaan? Bagaimana kemunculan dari protokol
penciptaan kebudayaan yang anonim dan partisipatif itu memunculkan bentuk-bentuk
kebudayaan baru?
Artikel-artikel Edisi Ini
Salah satu artikel adalah artikel yang ditulis oleh Gde Dwitya. Artikel ini adalah satu-satunya
yang langsung berpolemik terhadap tulisan permintaan editorial. Gde mencoba menganalisis
bagaimana menempatkan sosmed dalam konteksnya yang lebih sesuai. Artinya, daripada
melihat sosmed sebagai fenomena yang akan menyebabkan perubahan secara mendasar dalam
cara kita bernegara, ia mengkritik hal ini dan menggunakan contoh peranan media baru dalam
kasus Musim Semi Arab guna menunjukkan betapa terbatasnya teknologi ini dalam
mengubah cara kerja negara. Menggunakan beberapa analisis ilmu politik yang melakukan
studi komparatif terhadap beberapa negara Arab yang mengalami gejolak dan yang tidak
mengalami gejolak, ilmuwan politik menemukan bahwa penentu utama daripada keberhasilan
‘revolusi’ ditentukan oleh niat daripada militer untuk mempertahankan status quo. Media
sosial punya peranan yang lemah dan tidak langsung dan hanya berfungsi untuk
meningkatkan agitasi.
Apa yang dilakukan oleh Gde adalah kritikan valid terhadap media baru dan
merupakan usahanya memberi peringatan untuk hati-hati mengangkat tema ini sebagai
sesuatu yang punya efek fundamental terhadap perhubungan manusia dengan negara. Tetapi
ada beberapa aspek yang tampaknya terlupakan dalam analisis yang Gde lakukan terhadap
tema ini. Pertama, ia membatasi analisisnya pada sosial media, sebuah alasan yang lumrah
karena ini adalah tema utama dari edisi ini. Tetapi perkembangan teknologi yang bersifat
meng-empower individu dan memberi kebebasan untuk berada off-grid itu jauh lebih luas dan
kompleks daripada sosial media. Seperti yang sudah diulas sedikit dalam call for paper yang
diajukan oleh editor, bentuk perkembangan media termasuk hal seperti bitcoin (dan lain-lain)
dan bentuk-bentuk transaksi keuangan yang terdesentralisir, kemunculan daripada printing
1
tiga-dimensi dan bentuk-bentuk additive manufacturing yang juga akan mendesentralisir
proses produksi, usaha-usaha penciptaan bentuk komunitas off-grid lainnya yang mencari
alternatif cara hidup yang tidak membutuhkan negara ataupun struktur organisasional besar
lainnya.
Oleh karenanya, informasi dan sosial media hanyalah salah satu daripada serangkaian
perkembangan teknologi yang mengarah pada desentralisasi kekuasaan. Tentu kita tidak tahu
dimana akhirnya dari proses ini, tetapi kecendrungan yang ada sekarang merupakan serangan
terhadap integritas kelembagaan yang bersifat sentralis, organisatoris dan hirarkis. Pergeseran
ini penting karena trend utama manusia sejak beberapa milenia terakhir (khususnya semenjak
zaman modern) adalah naiknya organisasi yang besar dan rumit (negara, perusahaan, partai
politik, labor union dan lain-lain) yang hirarkis. Pergeseran menuju pada bentuk-bentuk
terdesentralisir ini bersifat fundamental dalam tata cara produksi dan konsumsi kita akan
informasi, produk, energi dan lain-lain.
Harus pula diingat bahwa kemunculan negara itu relatif baru dan singkat dalam
sejarah umat manusia. Kalau mau mengukur waktu kemunculan manusia modern (homosapien) pada masa sekitar 200 ribu tahun yang lalu, maka kemunculan negara kompleks baru
terjadi pada masa-masa terakhirnya, sekitar mungkin 10 ribu tahun terakhir. Dalam sejarah
umat manusia yang panjang, manusia dapat berfungsi relatif sukses (jika dipandang dari
kesuksesan reproduksi) pada sebagian besar masa hidup spesiesnya tanpa adanya
negara/kota/tribes. Ini tidak berarti bahwa manusia sekarang siap untuk meninggalkan kota
dan menjadi pemburu/peramu dalam waktu abad-abad mendatang. Tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa keinginan untuk tidak diikat oleh tirani organisasi dan menjadi bebas itu
punya nuansa romantis tersendiri untuk banyak orang. Menguatnya ideologi macam
libertarian dan anarkisme di abad ke 21 menandakan bahwa romansa itu masih ada dan kuat
dibanyak kalangan umat.
Sayangnya, tidak ada satupun dari tulisan yang berusaha menganalisis atau
mengekstrapolasi masa depan dari teknologi. Hampir semuanya menganalisis teknologi sosial
masa kini. Dalam potongan masa kini, dunia masih tampak sangat normal dan sesuai dengan
pandangan tradisional kita. Tetapi teknologi akan makin cepat berkembang dimasa
mendatang. Walaupun Noam Chomsky tidak percaya, banyak orang melihat bahwa akan ada
masa tidak lama lagi (mungkin di abad ini) ketika perkembangan teknologi manusia akan
menyebabkan terjadinya singularitas yang mengubah peradaban kita menjadi peradaban
pasca-manusia. Tetapi walalupun begitu, artikel-artikel lain seperti tulisan Gde, menghasilkan
analisis-analisis yang amat menarik walau, seperti ditunjukkan di atas, fokus pada analisis
penggunaan dan efek sosmed masa kini.
Ada dua artikel yang membahas mengenai kemunculan daripada fenomena gerakangerakan digital di sosial media. Yang pertama adalah tulisan Merlyna Lim yang mencoba
menganalisis hubungan antara ruang-ruang digital beserta ruang-ruang urban dan bagaimana
kedua ranah itu perlu disatukan guna menciptakan gerakan sosial yang ampuh. Artikel Lim
adalah hasil saduran dari artikel yang sudah diterbitkan di sebuah jurnal peer-reviewed luar
negeri. Dengan giat, artikel ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh kolega
Etnohistori, saudari Windi.
Artikel Lim ini sangat menarik karena ia ingin menghubungkan gerakan digital dalam
bentuk ‘riil’ mereka dalam dunia nyata. Dalam pembacaan saya, Lim tampaknya
mempertanyakan keefektifitasan gerakan digital jika ia, pertama, diwujudkan dalam media
digital ‘dengan logika yang sama dengan sistem neoliberal-kapitalis,’ dan kedua, tidak dapat
diterjemahkan dalam ruang-ruang spasial tanpa adanya intermodality yang menciptakan
‘jaringan hibrid dan ruang hibrida dimana ruang digital dan ruang urban saling terhubung dan
tumpang tindih.’ Mirip dengan kritikan Gde diatas, Lim mempertanyakan seberapa efektifkah
gerakan sosial jika ia tidak punya akar-akar dalam ruang lainnya yang nyata. Aspek daripada
2
logika neoliberal-kapitalis ini menarik sekali untuk diangkat. Daripada menciptakan gerakan
yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan kekuatan politik/sosial/budaya yang ada dalam
ruang-ruang spasial dalam masyarakat, ruang digital seringkali jatuh dalam ekspresi clickactivism yang tidak berkelanjutan dan punya efek yang lemah terhadap ruang riil.
Lim mengangkat beberapa contoh kasus yang terpaksa tidak kami masukkan kedalam
artikel yang diterjemahkan ini. Kasus itu beragam, mulai dari gerakan Musim Semi Arab
sampai kepada gerakan aktivisme di Indonesia. Dalam gerakan aktivisme di Indonesia,
teknologi punya peran dalam membeberkan informasi, tetapi juga bahwa ada lembagalembaga lain yang seringkali luput tetapi merupakan bagian integral dalam proses penyebaran
informasi. Ia memberi contoh bahwa dalam gerakan anti-pemerintah di Indonesia, keberadaan
supir taksi dan warung adalah bagian daripada institutional environment yang secara spasial
menghuni dan menyediakan jasa penyebaran informasi yang sama pentingnya dengan
teknologi baru macam handphone ataupun sosmed. Keterhubungan antara berbagai ‘lembaga’
dan teknologi yang ada itulah yang menentukkan keberhasilan daripada gerakan. Bahwa ia
bisa diejawantahkan dalam ruang-ruang spasial yang riil adalah bukti ketika gerakan itu tidak
hanya terbatas pada facebook dan menjadi bagian dari proses politik yang nyata.
Sayangnya, tidak ada kajian yang in-depth terhadap proses keberhasilan/kegagalan
yang dapat memberikan kita gambaran lebih jelas lagi untuk memahami betapa sulit hal ini
dapat diwujudkan. Tulisan Imam Ardhianto mengenai publik Islam dalam ruang digital
menawarkan sebuah analisis contoh kasus yang lebih dalam. Kajian Ardhianto itu ingin
menempatkan perkembangan dan kemunculan ruang digital Islam sebagai bagian daripada
wacana publik Islam yang sudah punya sejarah yang lama. Berbeda dengan kajian Lim yang
ingin melihat gerakan-gerakan baru yang muncul sebagai akibat daripada teknologi baru,
Ardhiatno ingin melihat transisi daripada ruang publik Islam dari ranah non-digital menuju
ranah digital. Artikel Ardhianto itu terpaksa kami ringkaskan karena terlalu panjang. Bagian
awalnya adalah diskusi mengenai sejarah wacana publik Islam sepanjang dua abad terakhir.
Kami pikir, diskusinya mengenai wacana digital adalah yang lebih relevan untuk edisi ini.
Ardhianto memfokuskan pada pewacanaan mengenai polemik yang ditimbulkan
antara Jaringan Islam Liberal dengan mereka yang anti-JIL, yaitu kelompok dengan hash-tag
IndonesiaTanpaJIL (#IndonesiaTanpaJIL). Ini adalah analisis menarik akan satu masalah
dalam kejadian dunia nyata yang terwacanakan lewat twitter. Khususnya ia ingin melihat
bagaimana masalah seputar kasus moralitas dan ‘penyimpangan’ terhadap Agama Islam.
Sebagai contoh seputar kasus UU Pornografi dan permasalahan Ahmadiyah.
Ia melihat bahwa dalam banyak kasus diskursus yang dihasilkan oleh wacana digital
itu bersifat afirmatif tetapi tidak dialogis. Kalau menggunakan terma Reddit, yang terjadi
seringkali adalah circle-jerking dimana ide-ide preconceived daripada kedua belah pihak itu
tidak mencapai titik temu, melainkan mereka hanya memperkuat posisi masing-masing. Ini
adalah kritikan mendalam akan tawaran anonimitas yang diajukan oleh teknologi. Dalam
kasus wacana Islam, pengkategorian tetap terjadi sehingga orang tidak pernah menjadi
anonim. Bahkan lebih parahnya lagi, karena minimnya informasi yang dimiliki akan orang
yang men-tweet atau re-tweet, kategorisasi terjadi pada tingkat yang amat dasar: dalam kasus
ini keberagaman orang diubah menjadi hanya tiga kelompok: liberal, ekstrim ataupun yang
belum memilih. Keterbatasan pada jumlah teks yang dapat ditulis juga mengkhawatirkan.
Diskusi mengenai sekularisme, moralitas dan lain-lain yang seharusnya amat kompleks
dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah, filsafati ataupun lain-lain itu terdegradasi
dalam tweet yang terlalu sederhana. Daripada menambah dalamnya diskusi dan menciptakan
ruang tengah, yang terjadi adalah perang 'kata kacangan' yang naif dan tidak berbobot.
Ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik daripada tulisan Ardhianto.
Hubungan antara JIL dan #IndonesiaTanpaJIL itu adalah hubungan yang asimetris. Pertama,
JIL adalah sebuah organisasi yang sudah relatif mapan dalam dunia nyata Indonesia dengan
3
kantor, publikasi dan tokoh-tokoh yang terkenal. Sementara #IndonesiaTanpa JIL adalah
hashtag yang mengandalkan media partisipatif yang disediakan oleh twitter. Dalam hal ini,
amat menarik untuk mengetahui siapa yang berada di balik hashtag ini. Tentunya karena
anonimitas grup dan ketiadaan struktur organisasi yang nyata, grup macam ini seharusnya
punya anggota yang cair. Sayangnya Ardhianto tidak punya data yang lebih lengkap
mengenai anggota grup ini dan bagaimana hubungan grup ini dengan dunia nyata. Apakah
benar mereka anonim ataukah merupakan ekstensi daripada kelompok nyata yang lebih
terorganisir? Bagaimana intermodality itu berfungsi dalam kasus ini?
Berhubung pula dengan pernyataan asimetris itu, dalam kasus ini amat menarik untuk
melihat posisi mana yang lebih menguntungkan. Apakah posisi JIL yang dimana anggota dan
tokohnya nyata ataukah gerakan anti-JIL yang relatif lebih anonim? Seperti penggunaan kata
‘rakyat’ oleh banyak orang untuk melegitimasi posisi mereka di Indonesia zaman Revolusi
dan pasca-Kemerdekaan (1950-an sebagai contoh), keanonimitas daripada keanggotaan
‘rakyat’ ini secara efektif digunakan oleh orang-orang yang ingin menyerang otoritas. Dalam
banyak hal, kasus JIL itu mirip dengan clash antara orang-orang ahli yang berotoritas (dalam
kasus ini tokoh-tokoh JIL yang mendapatkan pendidikan luar negeri) versus orang-orang
anonim yang otoritasnya berasal dari legitimasi yang vague macam rakyat atau, dalam hal ini,
umat. Dalam kasus ini, apa yang terjadi jika klaim otoritas daripada intelektual publik itu
dapat dibantah secara langsung dalam ranah-ranah digital yang menghilangkan batasan antara
‘massa’ dengan pemimpin, dalam hal ini, intelektual Islam muda.
Sayangnya pula, Ardhianto tidak banyak melihat kasus lain dimana otoritas lain dalam
Islam (sebagai contoh FPI) berusaha menyetir pandangan mereka dalam ranah digital. Apakah
mereka menghadapi hal yang sama ataukah perhubungan digital itu adalah sesuatu yang dapat
dipilih dan bukan mutlak? Bisakah otoritas lainnya menolak persehubungan langsung ranah
digital? Apa efeknya jika itu terjadi? Bukan hanya dalam kasus Islam, tentunya, tetapi
beragam kasus: apakah otoritas tradisional itu berusaha mengendalikan wacana yang selama
ini mereka kontrol dan bagaimana caranya? Dan tentu ini menyangkut banyak hal: apakah itu
ekonom, Kraton Jawa, Pemanasan Global dan lain-lainnya. Di Facebook ataupun Twitter (dan
banyak platform lainnya) ada jasa yang dapat meningkatkan jumlah teman atau follower yang
kita miliki. Ada kepercayaan bahwa negara/perusahaan/tokoh kadang dan dapat menggunakan
brigade pembuat opini yang dapat disebar dalam forum ataupun platform sosmed lainnya.
Keberadaan anonimitas itu memberi kekuatan yang amat besar kepada
negara/organisasi/perusahaan/orang untuk melancarkan serangan anonim pula. Ini bukan hal
yang baru, tetapi praktek-praktek ini seharusnya terangkat pula dalam dunia maya. Dan ini
seharusnya membuat orang jadi lebih curiga akan apa yang dibacanya di internet.
Ada satu tulisan yang benar-benar keluar daripada dunia maya dan mencoba melihat
bagaimana orang menggunakan media tradisional tapi dengan cara yang baru. Tulisan Khotim
Ubaidillah tentang gerakan ArtPrek ini mengangkat gerakan penciptaan ruang visual estetis
dikota Yogyakarta lewat pelukisan seni grafiti dalam ruang-ruang kota. Khotim menganalisis
kegiatan daripada Jogja Mural Forum dalam kaitannya menjadikan ruang kota sebagai sarana
pendidikan.
Organisasi ini amat menarik karena ini adalah contoh dimana media baru yang nonteknologis digunakan dengan cara yang mirip dengan sosmed di atas. Artinya bagaimana
forum itu menciptakan akses bagi partisipasi masyarakat dalam berekspresi dalam ruang
visual perkotaan, sebagai ekspresi dari kepemilikan terhadap ruang kota, tetapi juga sebagai
ekspresi daripada perluasan otoritas dan demokratisasi kota itu sendiri. Ia adalah komunitas
tetapi juga berupaya untuk menciptakan intermodalitas antara beragam media itu dengan cara
membangun presensi di sosmed. Apa yang terjadi adalah eksperimentasi dari ekspresi populer
beserta otoritas yang dalam hal ini diwakili oleh seniman itu sendiri dan pemerintahan kota
Yogyakarta.
4
Ini amat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Khotim menulis bahwa proyek mural ini
adalah bagian dari perlawanan, tetapi yang tidak jelas adalah melawan siapa? Karena jelas
bahwa pemerintah kota Yogyakarta mendukung proyek ini sebagai bagian dari ide
memperindah ruang-ruang perkotaan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Yogya itu
relatif progresif dibandingkan dengan banyak kota lain di dunia, tetapi jelas dalam hal ini,
proyek ini diterjemahkan pula oleh negara sebagai bagian dari tujuannya. Sayangnya, kita
tidak mengetahui banyak daripada pandangan pemerintah kota sendiri: apa tujuan mereka
mendukung proyek dan apakah tujuan ini sesuai dengan tujuan seniman ataupun warga yang
berpartisipasi. Jika ini adalah perlawanan terhadap ‘kapitalisme’ atau ‘neoliberalisme’, dalam
cara bagaimana perlawanan ini diwujudkan secara rasional? Memperebutkan ruang kota dari
perusahaan atau iklan mungkin adalah wujud daripada keinginan sebagian warga untuk
mengambil kontrol terhadap ruang kota, tetapi sama seperti permasalahan pemkot, kita juga
tidak disuguhi informasi tentang sudut pandang warga; baik mereka yang menjadi partisipan
dalam proyek ataupun yang tidak menjadi partisipan.
Sekali lagi, permasalahan mengarah pada otoritas. Ini mungkin adalah perbedaan
terbesar tulisan Khotim dengan tulisan-tulisan lain diatas: bahwa karena hampir tidak ada
pembahasan akan sosial media, proyek mural ini punya kesamaan yang lebih kuat dengan
bentuk ekspresi otoritas yang tersentralisir: dalam hal ini seniman dan pemkot. Intermodality
yang mungkin diciptakan lewat sosmed itu seharusnya dapat menciptakan wacana yang lebih
dalam yang bisa membuka partisipasi dari beragam pihak, termasuk mungkin bagi mereka
yang tidak setuju dengan seniman JMF ataupun pemkot Yogyakarta.
Di sinilah letak kekuatan yang ada pada sosmed: desentralisasi dari akses,
melemahnya otoritas dan partisipasi. Hal ini tidak otomatis merupakan hal yang baik. Contoh,
betapa kuatnya propagasi pandangan ekstrim seperti dalam tulisan Ardhianto terhadap otoritas
yang terpelajar. Hal ini tidak hanya terjadi pada Islam, tentunya, tetapi proliferasi dari
beragam forum dan media menciptakan afirmasi atau circle-jerking yang memperkuat fringe
ideologies, daripada menciptakan pemahaman yang lebih luas dan umum. Selain itu,
partisipasi tanpa batasan itu menciptakan gerakan massal yang tidak seringkali didorong oleh
kekuatan jumlah daripada argumen. Data dan analisis diganti oleh name-calling dan vote
brigading. Berhadapan dengan mob dan massa, apakah benar terjadi peluruhan terhadap
wacana? Daripada menyatukan, apakah sosmed memecah belah?
Artikel terakhir yang diangkat dalam edisi ini adalah hasil dari terjemahan Anton
Novenanto terhadap artikel filusuf/sosiolog Prancis Pierre Bourdieu. Ini adalah artikel amat
menarik akan peranan kekuasaan dan arena yang beragam dalam kehidupan
sosial/politik/budaya manusia. Bourdieu yang telah lama menganalisis bagaimana
pengetahuan itu diproduksi dalam beragam lembaga (universitas, negara, lembaga penelitian
dan lain-lain) menghubungkan posisi sosial/institusional seseorang dengan kekuasaan untuk
memproduksi pengetahuan. Analisisnya mengenai arena yang bersifat otonom (mikrokosmos
yang otonom dalam makrokosmos masyarakat) mengikuti ide-ide penting filsafat abad ke-20
tentang pengetahuan dan kekuasaan. Sayangnya, dan mungkin disini adalah letak pentingnya,
analisis yang ditawarkan oleh Bourdieu, jika saya tidak salah baca, tampaknya belum
memikirkan efek-efek teknologis yang menghancurkan posisi legitimasi agen sebagai akibat
daripada ekspansi partisipasi. Permasalahan dari intelektual masa kini tidak hanya terletak
pada kemampuannya mewacanakan dirinya pada posisi yang unik, melainkan, seperti pada
diskusi Ardhianto mengenai JIL, pada kemampuannya menghadapi delegitimasi massa.
Jika ilmuwan sosial ataupun sejarawan, seperti pelukis pada abad-abad sebelumnya,
terikat daripada hirarki sumber daya, dapatkah muncul bentuk-bentuk produksi kebudayaan
(termasuk produksi pengetahuan ilmu sosial atapun sejarah) yang bersifat egaliter, desentralis
dan partisipatoris? Apakah teknologi yang dapat memberikan kita kesempatan itu? Kita akan
tahu lebih banyak ditahun-tahun mendatang.
5
Negara yang hilang?
Sayangnya, tidak ada satupun dari tulisan diatas yang mencoba memahami bagaimana negara
ataupun elit bereaksi terhadap perkembangan di atas. Musim Semi Arab yang pada awalnya
tampak seperti keinginan ekspresi kelas menengah terhadap keterbatasan hak dalam beragam
negara-negara Arab sekarang lebih terlihat sebagai ekspresi geopolitis pengaruh Syiah versus
Sunni dan perang sipil di Syria lebih tampak sebagai perang proxy guna menentukkan apakah
Iran atau Arab Teluk yang akan mendominasi kawasan ini dimasa ini? Lebih luas lagi, ia juga
bisa dilihat sebagai perang proxy antara Amerika Serikat/Eropa/Turki melawan Rusia.
Kekecewaan terhadap ini menunjukkan betapa rapuhnya ide kita mengenai empowerment
individual yang ditawarkan oleh teknologi.
Tetapi, usaha untuk meng-contain pengaruh Twitter Revolution ini menandakan pula
adanya rasa takut yang nyata dari berbagai kalangan elit didunia. Presiden Rusia, Vladimir
Putin, baru-baru ini menyatakan bahwa internet itu adalah konspirasi dari CIA yang bertujuan
mendestabilisir negara-negara musuh Amerika Serikat. Pemerintahan Erdogan di Turki
berusaha keras mengontrol media sosial dan membatasi akses oposisi terhadap alat-alat ini.
Mereka bahkan sukses untuk memaksa Twitter untuk menghapus akun beberapa pemimpin
gerakan anti-pemerintah.
Lebih menakutkan lagi adalah bagaimana negara menggunakan teknologi-teknologi
baru itu untuk menciptakan protokol kontrol dan pengaturan yang baru. Kita sekarang paham
sebagai akibat dari pembeberan Edward Snowden ataupun serangkaian pembeberan
Wikileaks, bahwa Amerika Serikat memiliki kemampuan untuk melakukan spionase
berteknologi tinggi yang menjangkau hampir semua orang di seluruh dunia. Kita tahu pula
bahwa banyak perusahaan Amerika Serikat macam Google atau Facebook yang telah
memberikan akses terhadap informasi pribadi jutaan dari pengguna mereka. Kalau kita lihat
lagi model bisnis dari perusahaan seperti Facebook, cara mereka berusaha menguangkan
platform teknologi mereka adalah melalui penjualan informasi pribadi secara agregat. Ini
jelas-jelas menunjukkan makin getolnya teknologi informasi digunakan baik oleh perusahaan
maupun oleh negara.
Bagaimanapun pula, usaha menganalisis perubahan teknologi seperti sosmed ataupun
teknologi desentralis lainnya merupakan tugas utama intelektual abad ke-21. Sebagian besar
diskusi intelektual dan pengamat abad ke 19 dan 20 fokus pada kenaikan organisasi besar
macam negara dan industri dan ancamannya terhadap kebebasan individu dan kebenaran.
Apakah di abad ke 21, kita menghadapi bentuk-bentuk penguasaan yang berbeda? Apakah
kebebasan individual mungkin dapat tercapai? Ataukah ini hanyalah bentuk lain dari kontrol
yang sama? Dapatkah hirarki dipertahankan lewat protokol baru menggunakan teknologiteknologi yang pada awalnya menawarkan kebebasan dan bentuk-bentuk produksi, reproduksi
dan konsumsi yang baru? Karangan-karangan di edisi ini menawarkan sedikit pandangan ke
dalam dunia baru itu. Selamat membaca.
6
Download