Pengantar Editor Edisi New Media Farabi Fakih Ini adalah terbitan tematis edisi ke jurnal Etnohistori. Tema yang diangkat pada edisi ini semula berkaitan dengan kegiatan yang diselenggarakan bersama dengan Forum Film Dokumenter. Etnohistori mengembangkannya lebih luas dengan menurunkan tulisan dari berbagai fokus telaah. Tujuan edisi ini adalah untuk mengeksplorasi ide-ide mengenai efek teknologi terhadap beragam praktek keseharian di bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi. Apakah perkembangan dari apa yang disebut New Media berefek terhadap serangkaian praktek yang selama ini kita lumrahi? Bagaimana teknologi itu memberi efek? Kita ingin mengangkat permasalahan yang diakibatkan ketika teknologi itu meretas batas-batas medium atau, menggunakan kata Bourdieu yang diangkat dalam edisi ini, beragam arena dan, sebagai akibat daripadanya, ekspansi daripada agen-agen yang berada dalam arena dan bermain dalam permainan yang terus-menerus berubah. Kalau ditilik dalam pandangan longue duree, akar permasalahan itu bisa ditarik jauh sebagai bagian dari trend sejarah modern yang memperluas akses partisipasi, utamanya kecenderungan perkembangan teknologi untuk memperbesar jumlah agen. Kita mengajukan pertanyaaan akan seberapa jauh perkembangan teknologi itu memungkinkan naiknya individu sebagai agen pada tingkat yang paling atomistis untuk berperan dalam beragam arena kehidupan. Bagaimana lantas nasib para elit? Apakah masih ada peranan mereka dalam dunia partisipatif ini? Dan dalam bentuk apa 'elit' itu dapat diciptakan? Pada saat yang bersamaan, kita juga mempertanyaan seberapa stabil-kah authorship dalam protokol penciptaan pemaknaan? Bagaimana kemunculan dari protokol penciptaan kebudayaan yang anonim dan partisipatif itu memunculkan bentuk-bentuk kebudayaan baru? Artikel-artikel Edisi Ini Salah satu artikel adalah artikel yang ditulis oleh Gde Dwitya. Artikel ini adalah satu-satunya yang langsung berpolemik terhadap tulisan permintaan editorial. Gde mencoba menganalisis bagaimana menempatkan sosmed dalam konteksnya yang lebih sesuai. Artinya, daripada melihat sosmed sebagai fenomena yang akan menyebabkan perubahan secara mendasar dalam cara kita bernegara, ia mengkritik hal ini dan menggunakan contoh peranan media baru dalam kasus Musim Semi Arab guna menunjukkan betapa terbatasnya teknologi ini dalam mengubah cara kerja negara. Menggunakan beberapa analisis ilmu politik yang melakukan studi komparatif terhadap beberapa negara Arab yang mengalami gejolak dan yang tidak mengalami gejolak, ilmuwan politik menemukan bahwa penentu utama daripada keberhasilan ‘revolusi’ ditentukan oleh niat daripada militer untuk mempertahankan status quo. Media sosial punya peranan yang lemah dan tidak langsung dan hanya berfungsi untuk meningkatkan agitasi. Apa yang dilakukan oleh Gde adalah kritikan valid terhadap media baru dan merupakan usahanya memberi peringatan untuk hati-hati mengangkat tema ini sebagai sesuatu yang punya efek fundamental terhadap perhubungan manusia dengan negara. Tetapi ada beberapa aspek yang tampaknya terlupakan dalam analisis yang Gde lakukan terhadap tema ini. Pertama, ia membatasi analisisnya pada sosial media, sebuah alasan yang lumrah karena ini adalah tema utama dari edisi ini. Tetapi perkembangan teknologi yang bersifat meng-empower individu dan memberi kebebasan untuk berada off-grid itu jauh lebih luas dan kompleks daripada sosial media. Seperti yang sudah diulas sedikit dalam call for paper yang diajukan oleh editor, bentuk perkembangan media termasuk hal seperti bitcoin (dan lain-lain) dan bentuk-bentuk transaksi keuangan yang terdesentralisir, kemunculan daripada printing 1 tiga-dimensi dan bentuk-bentuk additive manufacturing yang juga akan mendesentralisir proses produksi, usaha-usaha penciptaan bentuk komunitas off-grid lainnya yang mencari alternatif cara hidup yang tidak membutuhkan negara ataupun struktur organisasional besar lainnya. Oleh karenanya, informasi dan sosial media hanyalah salah satu daripada serangkaian perkembangan teknologi yang mengarah pada desentralisasi kekuasaan. Tentu kita tidak tahu dimana akhirnya dari proses ini, tetapi kecendrungan yang ada sekarang merupakan serangan terhadap integritas kelembagaan yang bersifat sentralis, organisatoris dan hirarkis. Pergeseran ini penting karena trend utama manusia sejak beberapa milenia terakhir (khususnya semenjak zaman modern) adalah naiknya organisasi yang besar dan rumit (negara, perusahaan, partai politik, labor union dan lain-lain) yang hirarkis. Pergeseran menuju pada bentuk-bentuk terdesentralisir ini bersifat fundamental dalam tata cara produksi dan konsumsi kita akan informasi, produk, energi dan lain-lain. Harus pula diingat bahwa kemunculan negara itu relatif baru dan singkat dalam sejarah umat manusia. Kalau mau mengukur waktu kemunculan manusia modern (homosapien) pada masa sekitar 200 ribu tahun yang lalu, maka kemunculan negara kompleks baru terjadi pada masa-masa terakhirnya, sekitar mungkin 10 ribu tahun terakhir. Dalam sejarah umat manusia yang panjang, manusia dapat berfungsi relatif sukses (jika dipandang dari kesuksesan reproduksi) pada sebagian besar masa hidup spesiesnya tanpa adanya negara/kota/tribes. Ini tidak berarti bahwa manusia sekarang siap untuk meninggalkan kota dan menjadi pemburu/peramu dalam waktu abad-abad mendatang. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan untuk tidak diikat oleh tirani organisasi dan menjadi bebas itu punya nuansa romantis tersendiri untuk banyak orang. Menguatnya ideologi macam libertarian dan anarkisme di abad ke 21 menandakan bahwa romansa itu masih ada dan kuat dibanyak kalangan umat. Sayangnya, tidak ada satupun dari tulisan yang berusaha menganalisis atau mengekstrapolasi masa depan dari teknologi. Hampir semuanya menganalisis teknologi sosial masa kini. Dalam potongan masa kini, dunia masih tampak sangat normal dan sesuai dengan pandangan tradisional kita. Tetapi teknologi akan makin cepat berkembang dimasa mendatang. Walaupun Noam Chomsky tidak percaya, banyak orang melihat bahwa akan ada masa tidak lama lagi (mungkin di abad ini) ketika perkembangan teknologi manusia akan menyebabkan terjadinya singularitas yang mengubah peradaban kita menjadi peradaban pasca-manusia. Tetapi walalupun begitu, artikel-artikel lain seperti tulisan Gde, menghasilkan analisis-analisis yang amat menarik walau, seperti ditunjukkan di atas, fokus pada analisis penggunaan dan efek sosmed masa kini. Ada dua artikel yang membahas mengenai kemunculan daripada fenomena gerakangerakan digital di sosial media. Yang pertama adalah tulisan Merlyna Lim yang mencoba menganalisis hubungan antara ruang-ruang digital beserta ruang-ruang urban dan bagaimana kedua ranah itu perlu disatukan guna menciptakan gerakan sosial yang ampuh. Artikel Lim adalah hasil saduran dari artikel yang sudah diterbitkan di sebuah jurnal peer-reviewed luar negeri. Dengan giat, artikel ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh kolega Etnohistori, saudari Windi. Artikel Lim ini sangat menarik karena ia ingin menghubungkan gerakan digital dalam bentuk ‘riil’ mereka dalam dunia nyata. Dalam pembacaan saya, Lim tampaknya mempertanyakan keefektifitasan gerakan digital jika ia, pertama, diwujudkan dalam media digital ‘dengan logika yang sama dengan sistem neoliberal-kapitalis,’ dan kedua, tidak dapat diterjemahkan dalam ruang-ruang spasial tanpa adanya intermodality yang menciptakan ‘jaringan hibrid dan ruang hibrida dimana ruang digital dan ruang urban saling terhubung dan tumpang tindih.’ Mirip dengan kritikan Gde diatas, Lim mempertanyakan seberapa efektifkah gerakan sosial jika ia tidak punya akar-akar dalam ruang lainnya yang nyata. Aspek daripada 2 logika neoliberal-kapitalis ini menarik sekali untuk diangkat. Daripada menciptakan gerakan yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan kekuatan politik/sosial/budaya yang ada dalam ruang-ruang spasial dalam masyarakat, ruang digital seringkali jatuh dalam ekspresi clickactivism yang tidak berkelanjutan dan punya efek yang lemah terhadap ruang riil. Lim mengangkat beberapa contoh kasus yang terpaksa tidak kami masukkan kedalam artikel yang diterjemahkan ini. Kasus itu beragam, mulai dari gerakan Musim Semi Arab sampai kepada gerakan aktivisme di Indonesia. Dalam gerakan aktivisme di Indonesia, teknologi punya peran dalam membeberkan informasi, tetapi juga bahwa ada lembagalembaga lain yang seringkali luput tetapi merupakan bagian integral dalam proses penyebaran informasi. Ia memberi contoh bahwa dalam gerakan anti-pemerintah di Indonesia, keberadaan supir taksi dan warung adalah bagian daripada institutional environment yang secara spasial menghuni dan menyediakan jasa penyebaran informasi yang sama pentingnya dengan teknologi baru macam handphone ataupun sosmed. Keterhubungan antara berbagai ‘lembaga’ dan teknologi yang ada itulah yang menentukkan keberhasilan daripada gerakan. Bahwa ia bisa diejawantahkan dalam ruang-ruang spasial yang riil adalah bukti ketika gerakan itu tidak hanya terbatas pada facebook dan menjadi bagian dari proses politik yang nyata. Sayangnya, tidak ada kajian yang in-depth terhadap proses keberhasilan/kegagalan yang dapat memberikan kita gambaran lebih jelas lagi untuk memahami betapa sulit hal ini dapat diwujudkan. Tulisan Imam Ardhianto mengenai publik Islam dalam ruang digital menawarkan sebuah analisis contoh kasus yang lebih dalam. Kajian Ardhianto itu ingin menempatkan perkembangan dan kemunculan ruang digital Islam sebagai bagian daripada wacana publik Islam yang sudah punya sejarah yang lama. Berbeda dengan kajian Lim yang ingin melihat gerakan-gerakan baru yang muncul sebagai akibat daripada teknologi baru, Ardhiatno ingin melihat transisi daripada ruang publik Islam dari ranah non-digital menuju ranah digital. Artikel Ardhianto itu terpaksa kami ringkaskan karena terlalu panjang. Bagian awalnya adalah diskusi mengenai sejarah wacana publik Islam sepanjang dua abad terakhir. Kami pikir, diskusinya mengenai wacana digital adalah yang lebih relevan untuk edisi ini. Ardhianto memfokuskan pada pewacanaan mengenai polemik yang ditimbulkan antara Jaringan Islam Liberal dengan mereka yang anti-JIL, yaitu kelompok dengan hash-tag IndonesiaTanpaJIL (#IndonesiaTanpaJIL). Ini adalah analisis menarik akan satu masalah dalam kejadian dunia nyata yang terwacanakan lewat twitter. Khususnya ia ingin melihat bagaimana masalah seputar kasus moralitas dan ‘penyimpangan’ terhadap Agama Islam. Sebagai contoh seputar kasus UU Pornografi dan permasalahan Ahmadiyah. Ia melihat bahwa dalam banyak kasus diskursus yang dihasilkan oleh wacana digital itu bersifat afirmatif tetapi tidak dialogis. Kalau menggunakan terma Reddit, yang terjadi seringkali adalah circle-jerking dimana ide-ide preconceived daripada kedua belah pihak itu tidak mencapai titik temu, melainkan mereka hanya memperkuat posisi masing-masing. Ini adalah kritikan mendalam akan tawaran anonimitas yang diajukan oleh teknologi. Dalam kasus wacana Islam, pengkategorian tetap terjadi sehingga orang tidak pernah menjadi anonim. Bahkan lebih parahnya lagi, karena minimnya informasi yang dimiliki akan orang yang men-tweet atau re-tweet, kategorisasi terjadi pada tingkat yang amat dasar: dalam kasus ini keberagaman orang diubah menjadi hanya tiga kelompok: liberal, ekstrim ataupun yang belum memilih. Keterbatasan pada jumlah teks yang dapat ditulis juga mengkhawatirkan. Diskusi mengenai sekularisme, moralitas dan lain-lain yang seharusnya amat kompleks dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah, filsafati ataupun lain-lain itu terdegradasi dalam tweet yang terlalu sederhana. Daripada menambah dalamnya diskusi dan menciptakan ruang tengah, yang terjadi adalah perang 'kata kacangan' yang naif dan tidak berbobot. Ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik daripada tulisan Ardhianto. Hubungan antara JIL dan #IndonesiaTanpaJIL itu adalah hubungan yang asimetris. Pertama, JIL adalah sebuah organisasi yang sudah relatif mapan dalam dunia nyata Indonesia dengan 3 kantor, publikasi dan tokoh-tokoh yang terkenal. Sementara #IndonesiaTanpa JIL adalah hashtag yang mengandalkan media partisipatif yang disediakan oleh twitter. Dalam hal ini, amat menarik untuk mengetahui siapa yang berada di balik hashtag ini. Tentunya karena anonimitas grup dan ketiadaan struktur organisasi yang nyata, grup macam ini seharusnya punya anggota yang cair. Sayangnya Ardhianto tidak punya data yang lebih lengkap mengenai anggota grup ini dan bagaimana hubungan grup ini dengan dunia nyata. Apakah benar mereka anonim ataukah merupakan ekstensi daripada kelompok nyata yang lebih terorganisir? Bagaimana intermodality itu berfungsi dalam kasus ini? Berhubung pula dengan pernyataan asimetris itu, dalam kasus ini amat menarik untuk melihat posisi mana yang lebih menguntungkan. Apakah posisi JIL yang dimana anggota dan tokohnya nyata ataukah gerakan anti-JIL yang relatif lebih anonim? Seperti penggunaan kata ‘rakyat’ oleh banyak orang untuk melegitimasi posisi mereka di Indonesia zaman Revolusi dan pasca-Kemerdekaan (1950-an sebagai contoh), keanonimitas daripada keanggotaan ‘rakyat’ ini secara efektif digunakan oleh orang-orang yang ingin menyerang otoritas. Dalam banyak hal, kasus JIL itu mirip dengan clash antara orang-orang ahli yang berotoritas (dalam kasus ini tokoh-tokoh JIL yang mendapatkan pendidikan luar negeri) versus orang-orang anonim yang otoritasnya berasal dari legitimasi yang vague macam rakyat atau, dalam hal ini, umat. Dalam kasus ini, apa yang terjadi jika klaim otoritas daripada intelektual publik itu dapat dibantah secara langsung dalam ranah-ranah digital yang menghilangkan batasan antara ‘massa’ dengan pemimpin, dalam hal ini, intelektual Islam muda. Sayangnya pula, Ardhianto tidak banyak melihat kasus lain dimana otoritas lain dalam Islam (sebagai contoh FPI) berusaha menyetir pandangan mereka dalam ranah digital. Apakah mereka menghadapi hal yang sama ataukah perhubungan digital itu adalah sesuatu yang dapat dipilih dan bukan mutlak? Bisakah otoritas lainnya menolak persehubungan langsung ranah digital? Apa efeknya jika itu terjadi? Bukan hanya dalam kasus Islam, tentunya, tetapi beragam kasus: apakah otoritas tradisional itu berusaha mengendalikan wacana yang selama ini mereka kontrol dan bagaimana caranya? Dan tentu ini menyangkut banyak hal: apakah itu ekonom, Kraton Jawa, Pemanasan Global dan lain-lainnya. Di Facebook ataupun Twitter (dan banyak platform lainnya) ada jasa yang dapat meningkatkan jumlah teman atau follower yang kita miliki. Ada kepercayaan bahwa negara/perusahaan/tokoh kadang dan dapat menggunakan brigade pembuat opini yang dapat disebar dalam forum ataupun platform sosmed lainnya. Keberadaan anonimitas itu memberi kekuatan yang amat besar kepada negara/organisasi/perusahaan/orang untuk melancarkan serangan anonim pula. Ini bukan hal yang baru, tetapi praktek-praktek ini seharusnya terangkat pula dalam dunia maya. Dan ini seharusnya membuat orang jadi lebih curiga akan apa yang dibacanya di internet. Ada satu tulisan yang benar-benar keluar daripada dunia maya dan mencoba melihat bagaimana orang menggunakan media tradisional tapi dengan cara yang baru. Tulisan Khotim Ubaidillah tentang gerakan ArtPrek ini mengangkat gerakan penciptaan ruang visual estetis dikota Yogyakarta lewat pelukisan seni grafiti dalam ruang-ruang kota. Khotim menganalisis kegiatan daripada Jogja Mural Forum dalam kaitannya menjadikan ruang kota sebagai sarana pendidikan. Organisasi ini amat menarik karena ini adalah contoh dimana media baru yang nonteknologis digunakan dengan cara yang mirip dengan sosmed di atas. Artinya bagaimana forum itu menciptakan akses bagi partisipasi masyarakat dalam berekspresi dalam ruang visual perkotaan, sebagai ekspresi dari kepemilikan terhadap ruang kota, tetapi juga sebagai ekspresi daripada perluasan otoritas dan demokratisasi kota itu sendiri. Ia adalah komunitas tetapi juga berupaya untuk menciptakan intermodalitas antara beragam media itu dengan cara membangun presensi di sosmed. Apa yang terjadi adalah eksperimentasi dari ekspresi populer beserta otoritas yang dalam hal ini diwakili oleh seniman itu sendiri dan pemerintahan kota Yogyakarta. 4 Ini amat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Khotim menulis bahwa proyek mural ini adalah bagian dari perlawanan, tetapi yang tidak jelas adalah melawan siapa? Karena jelas bahwa pemerintah kota Yogyakarta mendukung proyek ini sebagai bagian dari ide memperindah ruang-ruang perkotaan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Yogya itu relatif progresif dibandingkan dengan banyak kota lain di dunia, tetapi jelas dalam hal ini, proyek ini diterjemahkan pula oleh negara sebagai bagian dari tujuannya. Sayangnya, kita tidak mengetahui banyak daripada pandangan pemerintah kota sendiri: apa tujuan mereka mendukung proyek dan apakah tujuan ini sesuai dengan tujuan seniman ataupun warga yang berpartisipasi. Jika ini adalah perlawanan terhadap ‘kapitalisme’ atau ‘neoliberalisme’, dalam cara bagaimana perlawanan ini diwujudkan secara rasional? Memperebutkan ruang kota dari perusahaan atau iklan mungkin adalah wujud daripada keinginan sebagian warga untuk mengambil kontrol terhadap ruang kota, tetapi sama seperti permasalahan pemkot, kita juga tidak disuguhi informasi tentang sudut pandang warga; baik mereka yang menjadi partisipan dalam proyek ataupun yang tidak menjadi partisipan. Sekali lagi, permasalahan mengarah pada otoritas. Ini mungkin adalah perbedaan terbesar tulisan Khotim dengan tulisan-tulisan lain diatas: bahwa karena hampir tidak ada pembahasan akan sosial media, proyek mural ini punya kesamaan yang lebih kuat dengan bentuk ekspresi otoritas yang tersentralisir: dalam hal ini seniman dan pemkot. Intermodality yang mungkin diciptakan lewat sosmed itu seharusnya dapat menciptakan wacana yang lebih dalam yang bisa membuka partisipasi dari beragam pihak, termasuk mungkin bagi mereka yang tidak setuju dengan seniman JMF ataupun pemkot Yogyakarta. Di sinilah letak kekuatan yang ada pada sosmed: desentralisasi dari akses, melemahnya otoritas dan partisipasi. Hal ini tidak otomatis merupakan hal yang baik. Contoh, betapa kuatnya propagasi pandangan ekstrim seperti dalam tulisan Ardhianto terhadap otoritas yang terpelajar. Hal ini tidak hanya terjadi pada Islam, tentunya, tetapi proliferasi dari beragam forum dan media menciptakan afirmasi atau circle-jerking yang memperkuat fringe ideologies, daripada menciptakan pemahaman yang lebih luas dan umum. Selain itu, partisipasi tanpa batasan itu menciptakan gerakan massal yang tidak seringkali didorong oleh kekuatan jumlah daripada argumen. Data dan analisis diganti oleh name-calling dan vote brigading. Berhadapan dengan mob dan massa, apakah benar terjadi peluruhan terhadap wacana? Daripada menyatukan, apakah sosmed memecah belah? Artikel terakhir yang diangkat dalam edisi ini adalah hasil dari terjemahan Anton Novenanto terhadap artikel filusuf/sosiolog Prancis Pierre Bourdieu. Ini adalah artikel amat menarik akan peranan kekuasaan dan arena yang beragam dalam kehidupan sosial/politik/budaya manusia. Bourdieu yang telah lama menganalisis bagaimana pengetahuan itu diproduksi dalam beragam lembaga (universitas, negara, lembaga penelitian dan lain-lain) menghubungkan posisi sosial/institusional seseorang dengan kekuasaan untuk memproduksi pengetahuan. Analisisnya mengenai arena yang bersifat otonom (mikrokosmos yang otonom dalam makrokosmos masyarakat) mengikuti ide-ide penting filsafat abad ke-20 tentang pengetahuan dan kekuasaan. Sayangnya, dan mungkin disini adalah letak pentingnya, analisis yang ditawarkan oleh Bourdieu, jika saya tidak salah baca, tampaknya belum memikirkan efek-efek teknologis yang menghancurkan posisi legitimasi agen sebagai akibat daripada ekspansi partisipasi. Permasalahan dari intelektual masa kini tidak hanya terletak pada kemampuannya mewacanakan dirinya pada posisi yang unik, melainkan, seperti pada diskusi Ardhianto mengenai JIL, pada kemampuannya menghadapi delegitimasi massa. Jika ilmuwan sosial ataupun sejarawan, seperti pelukis pada abad-abad sebelumnya, terikat daripada hirarki sumber daya, dapatkah muncul bentuk-bentuk produksi kebudayaan (termasuk produksi pengetahuan ilmu sosial atapun sejarah) yang bersifat egaliter, desentralis dan partisipatoris? Apakah teknologi yang dapat memberikan kita kesempatan itu? Kita akan tahu lebih banyak ditahun-tahun mendatang. 5 Negara yang hilang? Sayangnya, tidak ada satupun dari tulisan diatas yang mencoba memahami bagaimana negara ataupun elit bereaksi terhadap perkembangan di atas. Musim Semi Arab yang pada awalnya tampak seperti keinginan ekspresi kelas menengah terhadap keterbatasan hak dalam beragam negara-negara Arab sekarang lebih terlihat sebagai ekspresi geopolitis pengaruh Syiah versus Sunni dan perang sipil di Syria lebih tampak sebagai perang proxy guna menentukkan apakah Iran atau Arab Teluk yang akan mendominasi kawasan ini dimasa ini? Lebih luas lagi, ia juga bisa dilihat sebagai perang proxy antara Amerika Serikat/Eropa/Turki melawan Rusia. Kekecewaan terhadap ini menunjukkan betapa rapuhnya ide kita mengenai empowerment individual yang ditawarkan oleh teknologi. Tetapi, usaha untuk meng-contain pengaruh Twitter Revolution ini menandakan pula adanya rasa takut yang nyata dari berbagai kalangan elit didunia. Presiden Rusia, Vladimir Putin, baru-baru ini menyatakan bahwa internet itu adalah konspirasi dari CIA yang bertujuan mendestabilisir negara-negara musuh Amerika Serikat. Pemerintahan Erdogan di Turki berusaha keras mengontrol media sosial dan membatasi akses oposisi terhadap alat-alat ini. Mereka bahkan sukses untuk memaksa Twitter untuk menghapus akun beberapa pemimpin gerakan anti-pemerintah. Lebih menakutkan lagi adalah bagaimana negara menggunakan teknologi-teknologi baru itu untuk menciptakan protokol kontrol dan pengaturan yang baru. Kita sekarang paham sebagai akibat dari pembeberan Edward Snowden ataupun serangkaian pembeberan Wikileaks, bahwa Amerika Serikat memiliki kemampuan untuk melakukan spionase berteknologi tinggi yang menjangkau hampir semua orang di seluruh dunia. Kita tahu pula bahwa banyak perusahaan Amerika Serikat macam Google atau Facebook yang telah memberikan akses terhadap informasi pribadi jutaan dari pengguna mereka. Kalau kita lihat lagi model bisnis dari perusahaan seperti Facebook, cara mereka berusaha menguangkan platform teknologi mereka adalah melalui penjualan informasi pribadi secara agregat. Ini jelas-jelas menunjukkan makin getolnya teknologi informasi digunakan baik oleh perusahaan maupun oleh negara. Bagaimanapun pula, usaha menganalisis perubahan teknologi seperti sosmed ataupun teknologi desentralis lainnya merupakan tugas utama intelektual abad ke-21. Sebagian besar diskusi intelektual dan pengamat abad ke 19 dan 20 fokus pada kenaikan organisasi besar macam negara dan industri dan ancamannya terhadap kebebasan individu dan kebenaran. Apakah di abad ke 21, kita menghadapi bentuk-bentuk penguasaan yang berbeda? Apakah kebebasan individual mungkin dapat tercapai? Ataukah ini hanyalah bentuk lain dari kontrol yang sama? Dapatkah hirarki dipertahankan lewat protokol baru menggunakan teknologiteknologi yang pada awalnya menawarkan kebebasan dan bentuk-bentuk produksi, reproduksi dan konsumsi yang baru? Karangan-karangan di edisi ini menawarkan sedikit pandangan ke dalam dunia baru itu. Selamat membaca. 6