g-20 awalnya adalah kekhawatiran.

advertisement
G-20: Awalnya adalah Kekhawatiran
KOMPAS, Rabu, 30 Juni 2010 | 03:57 WIB
Oleh Muhammad Chatib Basri
Awalnya adalah kekhawatiran. Pertama, kekhawatiran bahwa kesepakatan G-20 untuk
konsolidasi fiskal akan berdampak negatif bagi perekonomian global. Kedua, kekhawatiran
meningkatnya biaya pinjaman (cost of borrowing) di pasar global akibat krisis utang di Eropa.
Ketiga, jika stimulus dihentikan dan proteksionisme menguat, tak ada lagi sumber pertumbuhan
ekonomi global.
Kita tahu, ekonomi global membaik karena adanya kebijakan stimulus fiskal di seluruh dunia.
Karena itu, penurunan stimulus memiliki risiko mengancam pemulihan ekonomi. Ada
kekhawatiran di sini. Namun, disisi lain kita juga sadar, krisis utang di Eropa yang dipicu oleh
defisit anggaran yang besar telah membuat rasio utang terhadap PDB melonjak dan akhirnya
membuat perekonomian Yunani mengalami kebangkrutan (insolvent). Hal yang mirip
dikhawatirkan juga terjadi pada negara PIIGS (Portugal, Irlandia, Italia, Yunani, dan Spanyol).
Akibatnya, Eropa—di luar Jerman—punya kendala untuk meneruskan stimulus fiskal. Benar
bahwa Uni Eropa dan IMF telah memberikan bail out bagi Yunani dan menyediakan dana bagi
PIIGS, tetapi ini tak menyelesaikan masalah kebangkrutan. Saya juga ragu program pengetatan
(austerity measures) yang diminta IMF bisa berjalan.
Karena itu, skenario yang paling mungkin adalah restrukturisasi utang atau haircut. Jika ini
dilakukan, biaya pinjaman meningkat, institusi keuangan di Eropa bisa bangkrut dan mengancam
terjadinya krisis keuangan di Eropa—bahkan jika berlebihan mungkin krisis global.
Kita tahu, jika stimulus dihentikan, sumber pertumbuhan tidak bisa lagi diharapkan dari
domestik. Ia harus berasal dari perdagangan. Padahal, Amerika Serikat tak bisa lagi menjadi
lokomotif perdagangan karena ia harus mengurangi konsumsinya. Sementara itu, China belum
siap menggantikan AS. Di tengah situasi itu, putaran Doha tak kunjung memberikan
kesepakatan. Akibatnya, sumber pertumbuhan, baik dari eksternal maupun domestik, mandek.
Pertumbuhan ekonomi melambat. Saya bisa mengerti mengapa peraih Nobel Ekonomi Paul
Krugman begitu khawatir, lalu berteriak tentang bahaya penghentian stimulus. Di tengah dilema
dan kecemasan ini, pertemuan G-20 dilangsungkan di Toronto.
Bagi Indonesia sendiri, stimulus fiskal masih dibutuhkan. Kita masih membutuhkan pengeluaran
pemerintah untuk mendorong infrastruktur guna menghapuskan kemiskinan. Sementara itu,
defisit kita relatif kecil, rasio utang terhadap PDB kita berada di bawah 30 persen. Tak ada alasan
untuk menghentikan stimulus.
Di sini kesepakatan G-20 menimbulkan kekhawatiran. Namun—yang melegakan—deklarasi
pemimpin G-20 cukup memberikan ruang untuk stimulus: ada waktu transisi bagi negara maju
untuk konsolidasi fiskal sampai dengan tahun 2013 dan negara berkembang diharapkan terus
membangun infrastruktur dan jaring pengaman sosial. Selain itu, konsolidasi fiskal juga
disesuaikan dengan kondisi setiap negara. Artinya, ruang bagi negara berkembang, termasuk
Indonesia, untuk melanjutkan stimulus tetap terbuka.
Apakah G-20 menjawab kekhawatiran risiko meningkatnya biaya pinjaman? Krisis utang di
Eropa akan meningkatkan biaya pinjaman. Di dalam krisis keuangan, akses terhadap pasar
keuangan praktis tertutup. Kalaupun terbuka, harganya amat mahal. Karena itu, penting sekali
bagi Indonesia untuk memastikan bahwa negara berkembang memiliki akses untuk membiayai
stimulus fiskalnya. Di sini komitmen terhadap apa yang diperjuangkan Indonesia dan negara
berkembang agar dibentuk support fund harus dipenuhi.
Rincian deklarasi Toronto menjawab ini. G-20 memenuhi komitmen untuk memberikan dana
bagi bank-bank pembangunan multilateral (MDBs), seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan
Asia, dan Bank Pembangunan Afrika. Bahkan, secara eksplisit disebutkan, dalam situasi di mana
sumber pembiayaan dari swasta tak tersedia, MDBs dapat membantu. Lebih jauh lagi, modal
dasar (capital base) bagi MDBs dinaikkan 85 persen. Jadi, seandainya pun krisis utang di Eropa
menjalar, sumber pembiayaan untuk fiskal stimulus di negara berkembang, termasuk Indonesia,
aman. Kita tetap dapat menjaga pertumbuhan ekonomi kita.
Konsolidasi fiskal akan mengakibatkan melemahnya sumber pertumbuhan ekonomi domestik di
banyak negara. Permintaan terhadap perdagangan dunia juga bisa melemah. Untuk mencegah
perdagangan yang melambat, komitmen terhadap putaran Doha harus direalisasikan. Sejauh ini
proteksionisme bisa dicegah. Namun, itu tak cukup. Ia harus diikuti penyelesaian Agenda
Pembangunan Doha. Jika tidak, kombinasi stimulus fiskal dan perdagangan yang mandek
memang akan menimbulkan kekhawatiran.
M Chatib Basri Pengajar FEUI
Download