Colossoma macropomum

advertisement
IDENTIFIKASI CACING PARASITIK PADA INSANG DAN
GAMBARAN LEUKOSIT IKAN BAWAL AIR TAWAR
(Colossoma macropomum) DI KABUPATEN BOGOR
DAVID KUSMAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul “ Identifikasi
Cacing Parasitik Pada Insang dan Gambaran Leukosit Ikan Bawal Air Tawar
(Colossoma macropomum) di Kabupaten Bogor” adalah karya saya sendiri dan
belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak
diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir Skripsi.
Bogor, Januari 2012
David Kusmawan
NIM B04070085
ABSTRACT
This research was aimed to identify the parasitic worm on the Colossoma
macropomum and see the relationship between the infestation of worm with the
hematology of Colossoma macropomum. This research used 30 samples from
Situ Daun, Ciampea, and Cibitung Tengah. The organ which examined were the
gills and the intestines. The prevalence of parasitic worm showed that in Situ
Daun was 100%, Ciampea 70%, and Cibitung Tengah 50%. Parasitic worm that
identified from gills were a subclass of monogenea, Diplectanidae family,
Oncocleidus sp, and Tetraonchus sp. The level of eosinophil was increased
because of infection of parasitic worm.
Keyword : Colossoma macropomum, parasitic worm, gills, prevalensi,
hematology, intestines
ABSTRAK
DAVID KUSMAWAN. Identifikasi Cacing Parasitik Pada Insang dan Gambaran
Leukosit Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) di Kabupaten Bogor.
Dibimbing oleh RISA TIURIA DAN DAMIANA RITA E.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi cacing parasit pada Colossoma
macropomum dan melihat hubungan antara infestasi cacing dengan gambaran
hematologi Colossoma macropomum. Penelitian ini menggunakan 30 sampel dari
Situ Daun, Ciampea, dan Cibitung Tengah. Organ yang diperiksa adalah insang
dan usus. Prevalensi cacing parasit menunjukkan bahwa di Situ Daun adalah
100%, Ciampea 70%, dan Cibitung Tengah 50%. Cacing parasit yang
diidentifikasi dari insang adalah subclass dari monogenea, family Diplectanidae,
Oncocleidus sp, dan Tetraonchus sp. Tingkat eosinofil meningkat karena infeksi
cacing parasit.
Kata kunci : Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) cacing parasitik,
insang, prevalensi, hematologi, saluran pencernaan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
IDENTIFIKASI CACING PARASITIK PADA INSANG DAN
GAMBARAN LEUKOSIT IKAN BAWAL AIR TAWAR
(Colossoma macropomum) DI KABUPATEN BOGOR
DAVID KUSMAWAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi :
Identifikasi Cacing Parasitik Pada Insang dan Gambaran
Leukosit Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
di Kabupaten Bogor
Nama
:
David Kusmawan
NIM
:
B04070085
Disetujui :
Dr.drh Risa Tiuria, MS
NIP 19630430 198703 2 001
Dr.drh Damiana R.E., MS
NIP19620212 198601 2 001
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
drh.H.Agus Setiyono, MS, PhD,APVet
NIP 19630810 198803 1 004
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 26 April 1988 sebagai anak
kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Damun, S.Pd dan Ibu Marmi, S.Pd.
Pendidikan dasar ditempuh di SDN Bedikulon 02 dan SDN Padas pada tahun
1995-2001, kemudian dilanjutkan pada pendidikan menengah di SMPN 1
Ponorogo dari tahun 2001-2004. Pendidikan menengah atas di tempuh di SMAN
1 Ponorogo dari tahun 2004-2007.
Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada Fakultas Kedokteran Hewan
pada tahun 2007 melalui jalur Undangan dan Saringan Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis pernah aktif di berbagai organisasi
seperti Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI), DKM AnNahl, LES-BEM KM IPB, Divisi Service UKM Forum for Scienties (FORCESS
IPB), anggota Himpro Ruminansia, OMDA Manggolo Putro Ponorogo. Pada
tahun 2010 penulis pernah mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kementerian
Pendidikan Nasional, serta pernah mengikuti Renewable Energy Conference dan
menjadi finalis dan presenter pada International Student Paper Contest tentang
Renewable Energy (RENEWS2010) di Rhotes Rathaus Berlin Jerman, menjadi
finalis dan presenter pada Aceh Development International Conference
(ADIC2011) di Universitas Kebangsaan Malaysia, serta menjadi peserta Tokyo
Indonesian Comittment Award Tokkodai Japan (TICA2011).
PRAKATA
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia yang begitu besar sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Cacing Parasitik Pada Insang
dan Gambaran Leukosit Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) di
Kabupaten Bogor. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor. Penulis memilih topik penelitian ini didasarkan atas ketertarikan penulis
untuk mengetahui jenis cacing parasitik yang terdapat pada ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih
mempunyai kekurangan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam perbaikan dan
penulisan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat buat
pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi para pembaca.
Bogor, Januari 2012
David Kusmawan
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur atas segala nikmat, limpahan rahmat, serta karuniaNya yang
senantiasa diberikan selama perjalanan di dalam proses penulisan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa penulis haturkan kepada Rasulullah beserta para
keluarga dan sahabat semoga kita bisa istiqomah di dalam mengamalkan
risalahnya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar- besarnya kepada :
1. Dr. Drh Risa Tiuria MS selaku dosen pembimbing skripsi I dan Dr. Drh
Damiana Rita Ekastuti MS selaku dosen pembimbing skripsi II atas
bimbingan, saran, motivasi yang begitu luar biasa.
2. Dr.Drh. Huda S Darusman, M.Si selaku dosen pembimbing akademik
yang selalu memberikan inspirasi, arahan dan motivasi selama penulis
melaksanakan perkuliahan.
3. Orang tua tercinta Bapak Damun dan Ibu Marmi atas lantunan doa,
nasehat, dan dukungan yang begitu besar untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Teman seperjuangan di Kastil Ummi (akh Aminudi, Syuhada, Huda,
Yusuf, Abas, Angger, Pandu, kak Miqdham, kak Bima, kak Hasan)
5. Teman kost HAMAS (Arief, Ali, Budi, kak Andi, Dimas)
6. Tim Bondo Nekat RENEWS2010 Jerman ( mbak Desty, ukhti Didi, ukhti
Dini, Fia, dan akh Rahman)
7. Teman satu penelitian Arsi dan mbak Lia atas semangat dan kerjasama
selama penelitian sampai akhir.
8. Teman-teman Gianuzzi 44 atas kebersamaan, inspirasi, motivasi dan
semangat yang luar biasa.
9. Kak Wanda Ali Akbar (Lemigas Kementerian ESDM RI), mas Adit
“preman2 Al-Fallah, serta Bang Ipon I4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia
Internasional) yang sangat menginspirasi dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Staf laboratorium (Pak Eman dan Ibu Irawati) atas bantuannya selama
penelitian.
11. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesain skripsi ini baik secara langsung
maupun tidak langsung, semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah
dilakukan.
Bogor, Januari 2012
David Kusmawan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................
Tujuan ..................................................................................................
Manfaat ................................................................................................
1
2
2
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Ikan Bawal (Colossoma macropomum) .............................
Morfologi Ikan Bawal (Colossoma macropomum) ..............................
Anatomi Fisiologi Ikan Bawal (Colossoma macropomum) .................
Parasit Pada ikan Air Tawar..................................................................
Bakteri Pada Ikan...................................................................................
Sistem Sirkulasi Ikan............................................................................
Sistem Pertahanan Tubuh Ikan.............................................................
3
4
5
6
9
10
11
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat................................................................................
Bahan dan Alat .....................................................................................
Pengambilan Sampel .............................................................................
Pengambilan Saluran Pencernaan dan Insang.......................................
Metode Pewarnaan ................................................................................
Identifikasi Jenis Cacing Parasitik ........................................................
Pengamatan Differensial Leukosit ........................................................
Analisa Data Tingkat Infeksi ................................................................
18
18
18
19
19
20
20
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Kecacingan Ikan Bawal Air Tawar...................................
Klasifikasi Cacing Parasitik................................................................
Identifikasi Cacing Parasitik...............................................................
Karakteristik Cacing Parasitik...........................................................
Gambaran Mikroskopis Sel Darah.....................................................
Diferensial Leukosit...........................................................................
22
23
26
27
31
34
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan............................................................................................... 36
Saran..................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 37
LAMPIRAN ....................................................................................................... 41
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan bawal air tawar (Colossoma
macropomum) di Bogor...............................................................
22
2
Jenis Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum)...............................................................................
23
3
Jumlah Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum) wilayah tambak Daerah Situ Daun........…….......
24
4
Jumlah Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum) dari wilayah tambak Daerah Ciampea ..................
25
5
Jumlah Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum) dari wilayah tambak Daerah Cibitung Tengah ......
26
DAFTAR GAMBAR
1
Ikan Bawal ( Colossoma macropumum)..............................................
04
2
Familli Monogenea..............................................................................
08
3
Contoh familli Monogena Tetraonchus sp..........................................
09
4
Contoh familli Cleidodiscus sp...........................................................
09
5
Trombosit pada ikan...........................................................................
11
6
Limfosit pada darah ikan....................................................................
14
7
Monosit pada darah ikan....................................................................
15
8
Heterofil pada darah ikan...................................................................
16
9
Tetraonchus sp……...........................................................................
27
10
Diplectanum sp …….........................................................................
28
11
Oncocleidus sp ………………………..............................................
29
12
Sub Kelas Monogenea……...............................................................
30
13
Gambaran mikroskopis darah ikan bawal air tawar (Colossoma
macropomum)...................................................................................
31
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Prevalensi Kecacingan di Tambak Situ Daun …...................……
41
2
Prevalensi Kecacingan di Tambak Ciampea..................................
41
3
Prevalensi Kecacingan di Tambak Cibitung Tengah....................
41
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) merupakan salah satu
komoditas perikanan yang bernilai ekonomis cukup tinggi. Ikan ini tergolong ke
dalam Famili Characidae dan genus Colossoma. Pada mulanya ikan bawal air
tawar (Colossoma macropomum) diperdagangkan sebagai ikan hias, namun
karena memiliki pertumbuhan yang relatif cepat dan rasa daging yang enak, maka
masyarakat menjadikan ikan tersebut sebagai ikan konsumsi.
Meningkatnya kegemaran masyarakat mengkonsumsi ikan menyebabkan
banyak konsumen mulai menyukai ikan bawal air tawar (Colossoma
macropomum). Hal ini secara tidak langsung mendorong suplai ikan bawal untuk
konsumsi semakin meningkat.
Namun seperti makhluk hidup lainnya, ikan juga tidak pernah bebas dari
ancaman berbagai jenis penyakit dan salah satu penyebab penyakit tersebut adalah
parasit. Menurut Noble dan Noble (1989), parasit adalah organisme yang
hidupnya dapat menyesuaikan diri dengan inang definitifnya tetapi merugikan
bagi organisme yang ditempatinya.
Menurut Sindermann (1990) keberadaan parasit pada ikan akan
berdampak pada pengurangan konsumsi, penurunan kualitas pada usaha budidaya,
penurunan bobot badan ikan konsumsi dan penolakan oleh konsumen akibat
adanya morfologi atau bentuk tubuh ikan yang abnormal. Pada skala budidaya
parasit juga dapat menurunkan kematian larva secara massal (Grabda 1991).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis cacing parasitik yang
terdapat pada insang ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) dan
mengetahui tingkat infeksi cacing parasitik di tiga wilayah tambak ikan bawal
(Colossoma macropomum) di daerah Situ Daun, Ciampea, dan Cibitung Tengah,
serta mengetahui gambaran hematologi pada ikan bawal air tawar (Colossoma
macropomum) yang terinfeksi cacing parasitik.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
jenis cacing parasitik pada insang ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum)
dan memberikan informasi tentang profil hematologi pada ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Ikan Bawal (Colossoma macropomum)
Klasifikasi dan tatanama ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum)
menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Subfilum
: Craniata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Neopterigii
Ordo
: Cypriniformes
Subordo
: Cyprinoidea
Famili
: Characidae
Genus
: Colossoma
Species
: Colossoma macropomum
Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) memiliki badan agak
bulat, bentuk tubuh pipih, sisik kecil, kepala hampir bulat, lubang hidung agak
besar, sirip dada di bawah tutup insang, sirip perut dan sirip dubur terpisah,
punggung berwarna abu-abu tua, serta perut putih abu-abu dan merah (Saint-paul
dalam Supriatna, 1998). Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) memilki
dua buah sirip punggung yang letaknya agak bergeser ke belakang. Sirip perut dan
sirip dubur terpisah, sedangkan sirip ekor berbentuk homocercal. Ikan bawal air
tawar (Colossoma macropomum) memiliki bibir bawah menonjol dan memiliki
gigi besar serta tajam untuk memecah bibi-bijian atau buah-buahan yang
ditelannya. Lambung ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum)
berkembang baik dan memiliki 43-75 buah cecapylorica. Panjang usus berkisar 22,5 kali panjang badan. Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) memiliki
insang permukaan, sehingga permukaan pernapasannya lebih luas dari pada jenis
ikan lain. Permukaan pernapasan yang luas ini memungkinkan ikan bawal
(Colossoma macropomum) air tawar mampu bertahan hidup pada perairan yang
memiliki kandungan oksigen rendah. Pada kondisi perairan dengan kandungan
oksigen terlarut kurang dari 0,5 mg O2/l masih memungkinkan ikan ini dapat
bertahan selama beberapa jam (Djarijah 2001). Ikan bawal air tawar (Colossoma
macropomum) termasuk jenis ikan omnivor (Saint-paul dalam Supriatna, 1998).
Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) bersifat kanibal pada
saat stadium larva. Jadi pada saat fase tersebut larva tidak boleh kekurangan
makanan karena sifat kanibalnya akan muncul (Arie 2000).
Gambar 1 Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) (koleksi pribadi)
B. Morfologi Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
Dari arah samping, tubuh ikan bawal tampak membulat (oval) dengan
perbandingan antara panjang dan tinggi 2 : 1. Bila dipotong secara vertikal, bawal
memiliki bentuk tubuh pipih (compressed) dengan perbandingan antara tinggi dan
lebar tubuh 4:1. Bentuk tubuh seperti ini menandakan gerakan ikan bawal tidak
cepat seperti ikan lele atau grass carp, tetapi lambat seperti ikan gurame dan
tambakan. Sisiknya kecil berbentuk ctenoid, di mana setengah bagian sisik
belakang menutupi sisik bagian depan. Warna tubuh bagian atas abu-abu gelap,
sedangkan bagian bawah berwarna putih. Pada ikan bawal dewasa, bagian tepi
sirip perut, sirip anus dan bagian bawah sirip ekor berwarna merah. Warna merah
ini merupakan ciri khusus ikan bawal tawar (Colossoma macropomum) sehingga
oleh orang Inggris dan Amerika disebut red bally pacu (Arie 2000).
Kepala ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) berukuran kecil
yang terletak di ujung kepala tetapi agak sedikit ke atas. Bawal memiliki lima
buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip anus dan sirip ekor.
Sirip punggung tinggi kecil dengan sebuah jari-jari tegak keras, tetapi tidak tajam,
sedangkan jari-jari lainnya lemah. Sirip punggung pada ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) terletak agak ke belakang. Sirip dada, sirip perut dan
sirip anus kecil dan jari-jarinya lemah. Demikian pula dengan sirip ekor, jarijarinya lemah tetapi berbentuk cagak (Arie 2000).
Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) atau lebih dikenal dengan
sebutan tambaqui adalah ikan introduksi yang berasal dari Amerika Latin,
terutama dari Brazil.
Ikan ini merupakan ikan yang potensial untuk
dibudidayakan karena berbagai kelebihannya.
Ikan ini mempunyai tingkat
kelangsungan hidup yang tinggi (hingga 90%) dan dapat dipelihara dalam kolam
dengan kepadatan yang tinggi. Ikan bawal air tawar hidup bergerombol di daerah
yang aliran sungainya deras, tetapi ditemukan pula di daerah yang airnya tenang,
terutama saat masih dalam kondisi benih. Di habitat asalnya, ikan ini ditemukan
di sungai Orinoco di Venezuela dan sungai Amazon di Brazil (Arie 2000).
Di dalam negeri sendiri ikan bawal tawar (Colossoma macropomum)
mulai digemari oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama di Jawa Barat, DKI
Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari keempat provinsi tersebut, Jawa
Barat dapat dikatakan sebagai pelopor karena di provinsi inilah ikan bawal tawar
pertama kali dikembangkan. Dalam satu musim tidak kurang 500 juta ekor benih
dijual ke berbagai provinsi di Indonesia. Indonesia juga mengekspor ikan bawal
dalam ukuran kecil atau sebagai ikan hias ke negara Hongkong dan Amerika.
Sampai saat ini baru sekitar 10 % dari seluruh permintaan dapat dipenuhi (Arie
2000).
C. Anatomi dan Fisiologi Ikan
Sistem Respirasi
Insang merupakan alat respirasi ikan seperti paru-paru pada mamalia atau
hewan darat lainnya. Luas permukaan epitel insang hampir setara dengan luas
total permukaan kulit, bahkan pada sebagian besar spesies ikan luas permukaan
epitel insang ini jauh melebihi kulit. Fungsi lain dari insang yaitu mengatur
homeostasis ikan. Lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung
dengan lingkungan luar menyebabkan insang berpeluang besar terinfeksi
penyakit.
Insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air,
pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang
ringan sekalipun dapat mengganggu proses pengaturan osmosis dan kesulitan di
dalam pernafasan (Nabib dan Pasaribu 1989). Insang mempunyai beberapa
glandula yang disebut dengan glandula brankhial. Glandula brankhial merupakan
sel-sel epitel insang yang mengalami diferensiasi.
Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan ikan pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu saluran
pencernaan dan kelenjar pencernaan. Setiap spesies ikan mempunyai bermacammacam variasi saluran cerna dan kelenjarnya. Saluran pencernaan ikan terdiri dari
rongga mulut, pharing, esofagus, lambung, dan usus (Hibiya 1995). Lambung
ikan pada umumnya berbentuk sigmoid yang melengkung dengan banyak lipatan
pada dinding dalamnya (Roberts 2001).
D. Parasit Pada Ikan Air Tawar
Parasit yang sering menyerang ikan air tawar setidaknya ada tujuh macam
yaitu protozoa, coelenterata, trematoda, cestoda, moluska, dan arthropoda
(Markevich 1963). Parasit yang biasa menyerang ikan yang dibudidayakan di
kolam termasuk ikan bawal (Colossoma macropomum)
adalah protozoa dan
cacing.
Cacing termasuk parasit yang banyak menyerang ikan air tawar. Beberapa
cacing trematoda dan cestoda sering ditemukan pada ikan air tawar. Trematoda
monogenea merupakan parasit di kulit dan insang yang dapat menjadi indikasi
kondisi sanitasi. Infestasi cacing ini menyebabkan iritasi, luka dalam pada kulit,
produksi mukus meningkat dan hiperplasia epitel. Luka yang terjadi dapat diikuti
infeksi sekunder oleh bakteri dan agen lainnya (Irianto 2005). Ada dua ordo dari
kelas monogea yang biasa menyerang ikan air tawar. Ordo pertama Gyrodactylus
dan ordo kedua yaitu Dactylogyrus.
Trematoda monogenea berbentuk pipih
dengan ujung anterior yang dilengkapi alat penempel berpengait serta alat hisap
(sucker). Beberapa spesies memiliki alat hisap di ventral tubuh atau di posterior.
Seluruh trematoda monogenea adalah hermaprodit dan memiliki siklus hidup
langsung. Gyrodactylus berhabitat di kulit dan insang, berbentuk seperti daun,
tanpa bintik mata, ujung kepala seperti huruf V serta memiliki organ untuk
menempel (opisthohaptor) dengan dua anchor (kait yang berbentuk seperti
jangkar). Setiap anchor memiliki rata-rata 16 kait kecil. Cacing dewasa bersifat
vivipar, yaitu melepaskan larva yang berbentuk seperti cacing dewasa. Larva ini
akan menempel pada insang atau kulit ikan.
Cacing dewasa Dactylogyrus memiliki dua atau empat bintik mata dan
memiliki alat menempel yang berbentuk jangkar (opisthohaptor). Dactylogyrus
bersifat ovipar sehingga cacing dewasa akan melepaskan telur yang akan menetas
menjadi larva. Larva Dactylogyrus memiliki bulu getar sebagai alat gerak di air
untuk menuju insang (Markevich 1963).
Dactylogyrus cenderung melekat pada insang dengan haptor, menginfeksi
hampir semua ikan air tawar terutama cryprinid. Hal ini akan merangsang sekresi
mukus yang berlebihan dan dapat menyebabkan tepi lamella insang tercabik atau
luka. Pada infeksi yang beratt akan mengganggu penyerapan oksigen sehingga
ikan akan kekurangan oksigen.
Dactylogyrus membebaskan telur ke kolam
kemudian menetas menjadi larva berbulu getar yang berenang bebas hingga
menemukan inang yang sesuai. Waktu yang diperlukan dari telur hingga menjadi
individu dewasa sangat tergantung suhu, pada suhu 8,5 sampai 9 ºC hanya
memerlukan waktu beberapa hari, adapun pada suhu yang lebih rendah akan
berlangsung beberapa minggu hingga beberapa bulan (Irianto 2005). Trematoda
dari ordo Digenea juga ada yang menyerang ikan air tawar. Digenea berbeda
dengan Monogenea karena memiliki siklus hidup yang tidak langsung, sehingga
memerlukan inang antara dalam siklus hidupnya (Paperna 1996).
Dactylogyrus
termasuk
ke
dalam
genus
Dactylogyrus
Famili
Dactylogyridae, Subordo Dactylogyrinea, Ordo Dactylogyridea, Subkelas
Monopisthocotylea,
Kelas
Monogea,
Subphylum
Neodermata,
Phylum
Platyhelminthes, Subkingdom Eumetazoa dan Kingdom Animalia (David 2010).
Memiliki panjang 0,5-0,65 mm dan lebar sekitar 0,12-0,22 mm (Abdullah 2009).
Monogenea
Kelas Monogeneasida (Gambar 2) sebagian besar merupakan cacing
ektoparasit pada ikan dan amfibia. Siklus hidup cacing ini bersifat langsung atau
tidak memerlukan inang antara dalam melangsungkan hidupnya. Cacing daun
muda mirip dengan cacing daun dewasa. Beberapa spesies cacing ini hidup di
rongga insang, rongga mulut, kandung kemih, kloaka, ureter, atau rongga tubuh
hospesnya (Levine 1994).
Daur hidup Monogenea tidak melibatkan lebih dari satu inang. Cacing
parasitik dewasa menempel pada inang menggunakan alat penempel yang disebut
haptor atau opishaptor dan haptor yang terletak di ujung anterior disebut
prohaptor. Organ ini mempunyai satu atau lebih batil hisap yang berfungsi untuk
melekatkan diri pada inang. Semakin banyak jumlah batil hisap, bagian posterior
tubuh semakin besar dan berbentuk piring. Saluran pencernaan terdiri atas mulut,
faring, esophagus dan usus. Mulut cacing parasitik ini terletak di anterior tubuh
cacing.
Usus berbentuk sederhana dengan kantong-kantong buntu kecil.
Sebagian besar cacing golongan monogenea terutama menghsiap darah inag
terkadang memakan lendir dan sel-sel epitel. Cacing ini termasuk hermafrodit
(Noble dan Noble 1989)
Gambar 2. Contoh beberapa families dari Monogenea. A - Dactylogyridae B,C Ancyrocephalidae; D - Tetraonchidae; E - Gyrodactylidae; F - Diclobothriidae; G
- Mazocraeidae; H - Diplozoidae; I - Discocotylidae; J - Octomacridae. (Gussey
dan Bychowsky).
Gambar 3. Tetraonchus
Gambar 4. Cleidodiscus sp.
E. Bakteri pada ikan
Beberapa bakteri pada ikan yang dapat menimbulkan penyakit antara lain
Renibacterium salmoninarum yang menyebabkan bacterial kidney disease (BKD),
dua jenis bakteri gram positif yang merupakan bakteri patogen yang penting
adalah Enterococcus seriolicida dan Streptococcus iniae, Mycobacterium
penyebab Mycobacteriosis dan Nocardia sebagai penyebab Nocardiosis.
Aeromonas salmonicida, Aeromonas hydrophila, serta Yersini ruckeri yang dapat
menyebabkan Enteric redmouth disease.
Vibrio spp yang bisa menyebabkan
Vibriosis. Flavobacterium spp sebagai penyebab penyakit Flavobakterial.
Pesudomonas merupakan bakteri yang pada umumnya dapat bersifat aportunistik
patogen atau menyebabkan infeksi sekunder. Serratia dan Proteus yang bersifat
oportunistik
patogen,
bakteri
asam
laktat
seperti
Lactobacillus
atau
Carnobacterium yang dapat menyebabkan penyakit pada ikan (Woo dan Bruno
1999).
F. Sistem Sirkulasi
Pemeriksaan darah penting artinya untuk membantu dalam meneguhkan
diagnosa suatu penyakit.
Penyimpangan fisiologis ikan akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada komponen-komponen darah (Wedemeyer 1990).
Perubahan gambaran darah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dapat
menentukan kondisi atau status kesehatan ikan (Wedemeyer 1990). Studi tentang
hematologi dalam ikan juga telah diasumsikan lebih penting karena parameter ini
merupakan indeks yang efektif dan sensitif untuk memonitor perubahan fisiologis
dan patologis yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti infeksi jamur, bakteri
atau pencemaran sumber daya air. (Dick dan Dixon 2000).
Darah merupakan bagian penting dari sistem transpor di dalam tubuh.
Darah merupakan jaringan
berbentuk cair yang dialirkan melalui saluran
vaskular, yang terdiri atas dua komponen yaitu plasma dan sel-sel darah. Darah
ikan tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Di
dalam plasma darah terkandung garam-garam organik (natrium klorida, natrium
bikarbonat, dan natrium fosfat), protein (dalam bentuk albumin, globulin, dan
fibrinogen), lemak (dalam bentuk lesitin dan kolesterol) serta zat-zat lainnya
misalnya hormon, vitamin, enzim, dan nutrien (Affandi dan Tang 2002).
Darah mempunyai fungsi sebagai transport nutrien, oksigen dan
karbondioksida, menjaga keseimbangan suhu tubuh dan berperan penting di
dalam sistem pertahanan tubuh ( Rastogi 1997 dalam Ariaty 1991).
fungsional trombosit berperan dalam pembekuan darah.
Secara
Monosit berfungsi
sebagai makrofag, serta limfosit berfungsi sebagai penghasil antibodi untuk
melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh dan neutrofil mempunyai fungsi
fagositik (Yasutake dan Wales 1983 dalam Affandi dan Tang 2002).
Trombosit
Trombosit atau keping-keping darah merupakan salah satu komponen
penting yang berperan di dalam proses pembekuan darah. Trombosit mempunyai
ciri khas yaitu mempunyai lingkaran sitoplasma tipis di sekeliling inti yang
berwarna biru cerah dengan pewarnaan Wright dan Giemsa. Trombosit
mempunyai ukuran rata-rata 4x7 μm sampai 5x13 μm (Chinabut et al. 1991).
Roberts dan richard (1978) menyatakan bahwa trombosit mampu menghasilkan
tromboplastin yaitu enzim yang membuat polimeri dan fibrinogen yang berperan
penting di dalam proses pembekuan darah. Jika ditemukan jumlah trombosit yang
meningkat di dalam darah berarti ada indikator ikan dalam proses penyembuhan
luka.
Gambar 5. Trombosit pada darah ikan
Eritrosit
Eritrosit pada ikan berinti, berbentuk oval dengan kedua ujungnya
membulat (Canfield 2006). Eritrosit yang sudah matang berukuran panjang 13-16
mikron dan lebar 7-10 mikron. Eritrosit mempunyai sitoplasma yang homogen
dengan ulasan pewarnaan Giemsa. Inti eritrosit terletak di tengah-tengah,
berbentuk oval, berwarna merah keunguan dan mempunyai kromatin yang
kompak (Affandi dan Tang 2002). Ukuran sel yang belum matang lebih kecil
dibandingkan dengan sel yang sudah matang (Canfield 2006).
Eritrosit
mengandung hemoglobin yang ditemukan pada seluruh jenis ikan kecuali pada
ikan Chaenichthydae (ice fish) dan larva ikan sidat (Leptocephalus larvae),
dimana pada ikan tersebut darah tidak berwarna. Secara umum eritrosit ikan
mempunyai ukuran yang berbeda-beda untuk setiap spesiesnya (Affandi dan Tang
2002).
G. Sistem Pertahanan Tubuh Ikan
Ikan merupakan salah satu hewan air yang selalu bersentuhan dengan
lingkungan perairan, sehingga mudah terinfeksi bahan asing melalui air. Penyakit
didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi dan fungsi yang mengalami
perubahan dari kondisi normal karena beberapa penyebab, yaitu penyebab dari
dalam (internal) dan penyebab dari luar tubuh (eksternal) (Yuasa 2003). Penyakit
pada hewan perairan dapat disebabkan oleh cacat genetik, cedera fisik,
kesetidakimbangan nutrisi, benda asing dan polusi (Kinne 1980).
Penyakit ikan pada umumnya disebabkan oleh kontaminasi yang berasal
dari luar tubuh (eksternal) yang terbagi atas dua, yaitu penyakit yang bersifat
infeksius dan non infeksius. Penyakit non infeksius dipengaruhi oleh lingkungan,
yang meliputi suhu dan kualitas air (pH, kelarutan gas, zat beracun). Penyakit
infeksius bisa disebabkan oleh virus, jamur, bakteri dan parasit. Penyakit internal
adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor genetik, imunodefisiensi, saraf dan
metabolik (Yuasa 2003).
Ikan memiliki sistem pertahanan tubuh untuk melawan berbagai macam
penyakit. Pertahanan tubuh ikan terbagai menjadi dua sistem yaitu pertahanan
non spesifik dan spesifik (Kamiso 2001). Pertahanan non spesifik merupakan
pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme
yang masuk karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen.
Respon pertahanan ikan terdiri atas respon humoral dan respon selular
(Anderson 1974). Respon pertahanan tubuh seluler bersifat non spesifik yang
terdiri dari sel makrofag, leukosit dan Natural Killer (NK) sel (Ellis 1978).
Sistem pertahanan tubuh ikan yang mula-mula berfungsi pada awal kehidupan
sistem pertahanan non-spesifik. Pertahanan non spesifik terdiri dari pertahanan
pertama yaitu kulit, sisik, dan lendir (Kamiso 2001). Sisik dan kulit merupakan
pelindung fisik yang melindungi ikan dari kemungkinan luka dan berperan sangat
penting dalam mengendalikan osmolaritas tubuh. Kerusakan sisik dan kulit akan
mempermudah agen patogen menginfeksi inang (O’Donnell et al. 1994). Sistem
pertahanan tubuh kedua pada ikan yaitu darah. Pertahanan spesifik ikan baru
berkembang dan berfungsi dengan baik pada umur beberapa minggu setelah telur
menetas. Sistem pertahanan spesifik disebut juga sebagai respon humoral yang
merupakan sistem pertahanan ketiga dan yang berperan adalah antibodi (Kamiso
2001).
Keadaan stres pada ikan akan mempengaruhi faktor perlindungan alami
pada ikan, seperti mukus, sisik, kulit, lisozim, dan antibodi. Stres pada ikan bisa
disebabkan oleh penanganan yang kurang baik pada saat pemindahan ikan,
perawatan atau pemanenan yang menyebabkan hilangnya mukus. Faktor lain
penyebab stress pada ikan yaitu penurunan suhu air yang ekstrim yang akan
mengganggu kemampuan ikan dalam melepaskan antibodi secara cepat untuk
melawan benda asing ( Selye 1973).
Leukosit
Leukosit memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan sel
darah merah, yaitu berkisar antara 20.000/mm3 sampai 150.000/mm3 (Moyle dan
Cech 1988).
Bentuk sel darah putih menurut Lagler et al. (1977) adalah
berbentuk lonjong sampai bulat. Guyton dan Hall (1999) melaporkan bahwa
leukosit terdiri dari agranulosit (monosit dan limfosit) dan granulosit (heterofil,
eosinofil dan basofil).
Leukosit mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan eliminasi benda
asing termasuk mikroorganisme patogen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah leukosit adalah kondisi dan kesehatan tubuh ikan (Moyle dan Cech 1998).
Infiltrasi granulosit muncul 12-24 jam setelah diinjeksi oleh bakteri pada ikan
ranbow trout. Setelah itu persentase granulosit dan makrofag akan meningkat
hingga 2 sampai 4 hari (Van Muiswinkel dan Vervoorn 2006).
Limfosit
Limfosit muncul dalam jumlah yang besar dalam pembuluh limfe di
duktus torakokus pada mamalia. Pada ikan juga hampir mirip, yaitu terdapat
sejumlah limfosit di pembuluh limfe, sebagian besar di neural duktus limfatikus
(Ardelli dan Woo 2006). Ada beberapa macam penampilan dan ukuran limfosit
yaitu kecil, medium, hingga ukuran besar (Canfield 2006).
Semakin besar
limfosit, maka semakin banyak jumlah sitoplasma yang dimilikinya (Feldman et
al. 2000).
Gambar 6. Limfosit pada darah ikan
www.vet.uga.edu
Seperti pada mamalia, ikan juga memiliki sel T dan sel B, dimana secara
morfologi tidak dapat dibedakan jika menggunakan mikroskop cahaya. Kedua
bentuk sel ini sama-sama mempunyai ukuran inti yang besar, yang mengisi
hampir seluruh sel. Jumlah limfosit yang bersirkulasi pada ikan adalah 12x103
limfosit/mm3 (Ellis 1986 dalam Affandi dan Tang 2002).
Monosit
Monosit merupakan sel besar yang terdiri dari sitoplasma berwarna biru
keabu-abuan hingga biru yang menempati sedikitnya sebagian isi sel. Bentuk
intinya bervariasi, mulai dari bulat hingga oval dan bahkan kadang bertakuk atau
berlekuk (Feldman et al. 2000).
Monosit pada umumnya ditemukan di dalam sirkulasi darah, dan dalam
jumlah yang sedikit di limfonodus, limfa, sumsum tulang dan jaringan penunjang
pada vertebrata yang lebih tinggi tingkatannya. Monosit bermigrasi dari sirkulasi
darah menuju ke jaringan ketika menerima rangsangan yang sesuai dengan
reseptornya. Monosit yang belum matang dapat meninggalkan sirkulasi darah,
menuju dan menetap di jaringan, lalu berkembang menjadi matang yang dikenal
sebagai sel fagositik makrofag (Ardelli dan Woo 2006).
Monosit pada umumnya memiliki bentuk tepi luar (outline) sel yang
irregular hingga bentuk seperti psudopoda (Moyle dan Cech 1988). Lebih jauh
Feldmen et al. (2000) melaporkan bahwa monosit memiliki sifat fagositik,
dipengaruhi oleh sitokin serta berpartisipasi pada banyak respon imun. Bentuk
mononuklear fagosit adalah bentuk umum monosit pada inflamasi kronis.
Gambar 7. Monosit pada darah ikan
www.vet.uga.edu
Heterofil
Heterofil adalah sel darah putih yang mengandung vakuola berisi lisozim
untuk menghancurkan organisme yang telah difagosit.
Heterofil berbentuk
bundar dan berukuran besar (diameter berkisar antara 9-13µm) dengan jumlah
sitoplasma yang besar dan mengandung granula. Sitoplasma berwarna biru cerah
atau ungu pucat, sementara intinya berwarna biru gelap (Chinabut et al. 1991).
Heterofil di dalam sirkulasi darah ikan berasal dari jaringan hematopoetik dalam
ginjal dan juga limpa (Nabib dan Pasaribu 1989).
Istilah heterofil atau leukosit berinti polimorf berasal dari histologi pada
manusia. Oleh karena butir-butir protoplasmanya tidak selalu berwarna netral,
dan intinya tidak berkeping-keping, pada ikan dikenal dengan istilah heterofil.
Persentase heterofil di dalam darah ikan berkisar antara 6-8% dari total leukosit
yang bersirkulasi (Nabib dan Pasaribu 1989). Jumlah heterofil sangat bervariasi
di antara spesies ikan ( Secombes 1996). Morfologi heterofil (polymorphonuclear
leukocyte) pada ikan mirip dengan neutrofil pada mamalia. Jumlah heterofil pada
ikan teleost berbeda-beda (Robert dan Richard 1978).
Heterofil sangat aktif
dalam membunuh bakteri (Tagliasacchi dan Carboni 1997).
Pada saat terjadi luka, heterofil yang telah matang akan memasuki jaringan
dan memulai proses fagositosis.
Mula-mula sel heterofil akan melekat pada
partikel kemudian akan menjulurkan kaki semunya dan akan memakannya.
Sebuah heterofil dapat memfagosit 5-20 bakteri sebelum heterofil inaktif dan mati
(Guyton dan Hall 1999).
Gambar 8. Neutrofil dan Heterofil pada darah ikan
Eosinofil
Eosinofil atau sering disebut juga sebagai sel granular eosinofilik secara
normal berada pada berbagai macam jaringan pada ikan. Sel ini berakumulasi
ketika terjadi proses inflamasi, khususnya sebagai akibat infeksi parasit ( Feldmen
et al. 2000).
Eosinofil mengandung sejumlah besar protein dasar dalam granulanya
sehingga memberikan afinitas pada pencelupan asam. Eosinofil memiliki fungsi
utama di dalam mensekresikan isi granularnya sebagai respon terhadap infeksi
parasit (Ardelli dan Woo 2006).
Basofil
Persentase basofil di dalam darah ikan berkisar antara 0.17-0.194 % dan
berukuran 8-12 µm (Affandi dan Tang 2002). Granula basofil bersifat basofilik.
Granula berisi faktor kemotaksis eosinofil dan mediator hipersensitivitas tipe 1.
Ketika ada rangsangan dari alergen yang menyebabkan terjadinya penempelan
alergen pada basofil maka akan terjadi pelepasan isi kandungan basofil ( Ardelli
dan Woo 2006).
Basofil memiliki morfologi yang sama pada kebanyakan ordo, kecuali
pada nonmamalia yaitu tidak berlobus. Basofil berbentuk bulat dengan granula
basofilik yang mengisi sitoplasma dan terkadang menutupi bagian inti sel
(Canfiled 2006)
Keberadaan basofil di dalam sirkulasi darah telah diamati hanya pada
sejumlah kecil dari spesies ikan yang ada. Bahkan basofil lebih jarang ditemukan
pada pemeriksaan darah dibandingkan dengan eosinofil (Feldman et al. 2000).
Pada ikan Oreochromis niloticus, basofil berbentuk seperti bola, sitoplasmanya
mengandung granula basofilik dengan berbagai variasi ukuran. Inti berebentuk
seperti bola dengan bercak berwarna ungu. Kadang-kadang garis tepi inti tidak
dapat dikenali karena keberadaan granul (Ueda et al. 2001)
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai bulan Juni 2011
di Laboratorium Helminthologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) yang berjumlah 30 ekor yang diambil dari tiga lokasi
tambak ikan bawal yang ada di Situ Daun, Ciampea, serta Cibitung Tengah
dengan masing masing daerah dilakukan pengambilan sampel sebanyak 10 ekor
secara acak. Bahan yang digunakan adalah NaCl fisiologis, etanol 70%, 85%,
95%, dan 100%, pewarna Acetocarmine, pewarna Giemsa 10%, xylol HCl,
entellan dan aquades.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat bedah/dissecting
kit (gunting, scalpel, dan pinset) alas berupa gabus yang dilapisi plastik berwarna
hitam, cawan petri, lemari pendingin bersuhu 4 ºC, timbangan digital, tissue,
mikroskop cahaya, mikroskop stereo dan video mikrometer, gelas obyek, cover
glass, botol plastik film, dan kertas label.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
Pengambilan sampel ikan dilakukan dari tiga daerah tambak ikan air tawar
yang berbeda di Bogor. Daerah pertama yaitu tambak di daerah Situ Daun, kedua
dari Ciampea, dan ketiga dari Cibitung Tengah. Sampel ikan diambil secara acak
sebanyak 10 ekor di setiap lokasi. Ikan yang disampling dari tiga lokasi tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi air tambak setempat,
kemudian diberi aerasi dan selanjutnya dibawa ke laboratorium Helminthologi
dan dimasukkan ke dalam akuarium selama satu-sampai dua hari dan diukur
panjang dan bobotnya.
Pembuatan Preparat Ulas Darah, Pengambilan Cacing dari Insang dan
Saluran Pencernaan
Sampel ikan bawal air tawar ditimbang terlebih dahulu dengan timbangan
digital dan dilakukan pengukuran panjang tubuh ikan. Kemudian darah ikan
diambil untuk membuat preparat ulas darah.
Preparat ulas darah dibiarkan
mengering di udara terbuka ( Samsi 2006).
Sampel ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) ini kemudian dipreparasi dengan cara merusak bagian
otaknya kemudian langsung dipotong pada kepalanya. Bagian perut ikan disayat
memanjang mulai dari kloaka sampai leher ikan. Insang dipisahkan, saluran
pencernaan ikan dikeluarkan kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang
telah berisi larutan NaCl fisiologis. Insang yang telah dipisahkan dari bagian
kepala serta saluran pencernaan yang telah disayat dimasukkan ke dalam NaCl
fisiologis kemudian dilihat di bawah mikroskop stereo. Spesimen yang belum
teramati disimpan kembali pada lemari pendingin bersuhu 4 ºC. Cacing parasitik
yang dikoleksi dari insang dan saluran pencernaan ikan kemudian diisolasi dan
disimpan pada botol yang telah diberi larutan NaCl fisiologis selama 8 jam di
lemari pendingin bersuhu 4 ºC, kemudian dipindahkan ke dalam etanol 70% untuk
dilakukan proses pewarnaan (Soulsby 1973)
Metode Pewarnaan
Menurut Soulsby 1985, pewarnaan Semichons Acetocarmine merupakan
pewarnaan yang tepat untuk mengidentifikasi cacing pipih ( Trematoda,
Monogenea, dan Cestoda) karena hasil pewarnaan sangat baik dan bersifat
permanen. Metode pewarnaan yang akan dilakukan yaitu pewarnaan permanen
dengan menggunakan Semichons Acetocarmine. Spesimen diambil dari larutan
etanol 70% kemudian direndam dalam larutan Acetocarmine dengan tujuan
pewarnaan selama kurang lebih 15-20 menit sampai warna terserap, warna
spesimen akan berubah menjadi merah cerah. Setelah perendaman spesimen
dibilas dengan ethanol 70% dan direndam dalam larutan asam alkohol ( 99 bagian
ethanol 70% dan 1 bagian HCl). Setelah itu direndam selama 5 menit dengan
alkohol secara bertahap untuk tujuan dehidrasi. Kemudian dilanjutkan dengan
perendaman dalam xylol sampai spesimen terlihat transparan, kemudian spesimen
difiksasi pada sediaan gelas obyek dengan bahan entellan sebagai media fiksasi.
Identifikasi Cacing Parasitik
Metode identifikasi cacing dilakukan setelah pewarnaan selesai. Spesimen
yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop dan dilakukan identifikasi
terhadap famili hingga genus dari sampel cacing. Di dalam identifikasi ini juga
dilakukan pengukuran panjang dan lebar dari jenis cacing parasit yang ditemukan
dengan menggunakan mikroskop. Identifikasi cacing dilakukan berdasarkan
morfologi dan morfometri cacing dengan mengacu pada Yamaguti (1958), Grabda
(1991), Woo (2006) dan Noble & Noble (1989).
Pengamatan Diferensiasi Leukosit
Pengamatan diferensiasi leukosit dilakukan untuk menentukan persentase
tiap jenis leukosit yang ada di dalam darah. Pengamatan diferensial leukosit
dilakukan dengan mengamati preparat ulas darah di bawah mikroskop.
Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan cara menempatkan setetes darah
pada gelas obyek. Gelas obyek kedua diletakkan dengan sudut 45º di atas gelas
obyek pertama, kemudian digeser ke belakang menyentuh darah sehingga darah
menyebar.
Gelas obyek kedua kemudian digeser ke arah yang berlawanan sehingga
membentuk suatu lapisan tipis darah. Preparat ulas darah dibiarkan kering di
udara.
Setelah itu dilanjutkan dengan proses fiksasi dengan cara merendam
preparat di dalam larutan metanol selama 5 menit, kemudian dikeringkan.
Preparat kemudian dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit setelah
itu dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop
dengan pembesaran 1000x (dengan minyak imersi), dan dilakukan penghitungan
masing-masing jenis leukosit hingga mencapai jumlah 100 sel leukosit (Aqualex
2008).
Analisis Data Tingkat Infeksi
Pada analisa data dilakukan penghitungan terhadap prevalensi kecacingan
pada ketiga lokasi tambak. Tingkat infeksi ikan dinyatakan dalam prevalensi.
Prevalensi merupakan persentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam
suatu populasi. Untuk menghitung prevalensi (pendugaan proporsi) dari sampel
dapat dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Kecacingan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan bawal air tawar dapat dilihat
pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan bawal air tawar (Colossoma
macropomum) di Bogor.
Lokasi
Pengambilan
Jumlah ikan
Prevalensi di insang
(%)
Prevalensi di
usus (%)
Situ Daun
10
100
0
Ciampea
Cibitung
Tengah
10
70
0
10
50
0
Tabel 1 di atas memperlihatkan perbedaan tingkat prevalensi di ketiga
lokasi tambak. Perbedaan ini dimungkinkan oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik misalnya tingkat stress pada ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) yang tinggi sehingga menyebabkan sistem imun
menurun. Selain itu kekebalan individu, jenis kelamin, galur dan umur ikan juga
merupakan faktor pendukung terjadinya kecacingan. Faktor ekstrinsik yang dapat
menyebabkan tingginya prevalensi kecacingan di antaranya kondisi sanitasi
tambak yang buruk, biosekuriti, dekatnya tambak dengan pemukiman, sistem
pengairan dan sumber air kolam yang buruk.
Doggie et al. 1999 juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan
besarnya prevalensi kecacingan suatu ikan antara lain makanan bagi inang, umur,
gerakan dan luas daerah penyebaran inang, kontak langsung antar individu, dan
kebiasaan makan inang yang berkaitan dengan ekologi ikan. Pada penelitian ini
tidak ditemukan cacing parasitik yang menginfeksi pada saluran pencernaan.
Cacing parasitik akan tumbuh dengan baik pada media dengan kondisi air yang
buruk sehingga mereka berkembangbiak dan populasinya cukup untuk
menginfeksi ikan sampai sakit (Taukhid 2006).
Klasifikasi Cacing Parasitik pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum) di Tambak Situ Daun, Ciampea, dan Cibitung Tengah.
Hasil identifikasi cacing parasitik yang ditemukan pada insang ikan bawal
air tawar (Colossoma macropomum) dikelompokkan ke dalam Fillum
Plathyhelmintes dan Kelas Trematoda Sub Kelas Monogenea. Monogenea
merupakan parasit yang umum ditemukan pada insang dan kulit ikan air tawar
maupun air laut. Infestasi monogenea biasanya merupakan indikator sanitasi yang
rendah pada kualitas air, seperti contoh tingginya amoniak dan nitrit, polusi bahan
organik dan kadar oksigen yang rendah, dengan kondisi seperti tersebut
monogenea dapat sangat cepat bereproduksi (Noga 2000). Klasifikasi cacing
parasitik pada insang ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) dapat
dilihat pada Tabel di bawah ini
Tabel 2. Jenis-jenis Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum).
Kelas
Subkelas
Famili
Genus
Trematoda
Monogenea
Tetraonchidae
Tetraonchus sp
Trematoda
Monogenea
Diplectanidae
Diplectanum sp
Trematoda
Monogenea
Oncocleidae
Oncocleidus sp
Trematoda
Monogenea
-
Tabel 2 di atas menunjukkan keanekaragaman cacing parasitik yang
ditemukan pada insang ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) di ketiga
lokasi tambak. Jenis cacing parasitik yang ditemukan antara lain Tetraonchus sp
yang berasal dari famili Tetraonchidae, Oncocleidus sp, Diplectanum sp dari
famili Diplectanidae.
Tabel 3. Jumlah Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum) dari wilayah tambak Daerah Situ Daun.
Bobot Badan
(gram)
Jumlah Cacing
Jumlah Ikan
(ekor)
Jumlah ikan
yg terinfeksi
Rataan cacing/
ikan terinfeksi
40-50
152
4
4
38
51-60
140
4
4
35
61-70
10
1
1
10
71-80
8
1
1
8
Total Cacing
310
10
10
Tabel 3 di atas menunjukkan tingkat kecacingan pada berbagai bobot
badan ikan yang menjadi sampel penelitian. Jumlah cacing parasitik yang
menginfeksi ikan bawal yang berasal dari tambak Situ Daun yang paling banyak
terdapat pada bobot badan antara 40-50 gram dengan jumlah cacing 152 cacing
dengan jumlah ikan 4 ekor. Jumlah cacing terbanyak kedua menginfestasi ikan
dengan bobot badan antara 51-60 gram dengan jumlah cacing sebanyak 140
dengan jumlah ikan dengan kisaran bobot badan tersebut yang terinfeksi sebanyak
4 ekor. Dari data hasil yang diperoleh di atas dapat kita gambarkan bahwa jumlah
cacing parasitik yang menginfeksi ikan bawal mempunyai korelasi yang positif
terhadap kondisi bobot badan ikan.
Keberadaan cacing parasitik pada ikan
merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan bobot badan pada ikan.
Di daerah tambak ini jenis cacing parasitik yang menyerang termasuk ke
dalam golongan monogenea.
Parasit termasuk monogenea cenderung
menginfeksi organ tertentu pada inangnya (mikrohabitat). Keberadaan parasit
pada organ tertentu pada mikrohabitat kemungkinan berhubungan dengan
perkembangan dan kematangan dari parasit tersebut, reproduksi atau berhubungan
dengan pencarian daerah yang aman (Anshary et al. 2001). Selain itu infeksi oleh
parasit golongan monogenea dapat mengakibatkan rendahnya produksi karena
pertumbuhan ikan terhambat atau bahkan mematikan, juga dapat merusak
penampilan fisik ikan (Sinderman 1990).
Buchmann dan Bresciani 2001 juga memaparkan bahwa selain
menimbulkan
kelainan
patologis
seperti
letargi,
anoreksia,
inflamasi
(peradangan), serta ascites kecacingan pada ikan juga dapat menyebabkan
rendahnya produktivitas satwa ikan yang terinfeksi yaitu kekurusan dan tingkat
reproduksi yang rendah.
Tabel 4. Jumlah Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum) dari wilayah tambak Daerah Ciampea.
Bobot Badan
(gram)
Jumlah
Cacing
Jumlah Ikan
(ekor)
70-80
81-90
91-100
101-110
111-120
121-130
1
0
71
0
0
55
2
1
4
1
0
2
Total Cacing
127
10
Jumlah
ikan yg
terinfeksi
Rataan cacing
/ekor ikan yg
terinfeksi
1
0
4
0
0
2
7
1
0
17.75
0
0
27.5
Tabel 4 di atas menunjukkan tingkat kecacingan pada berbagai bobot
badan ikan yang menjadi sampel penelitian. Jumlah cacing parasitik yang
menginfeksi ikan bawal yang berasal dari tambak di daerah Ciampea yang paling
banyak terdapat pada bobot badan antara 91-100 gram dengan jumlah cacing 71
cacing dengan jumlah ikan 4 ekor. Jumlah cacing terbanyak kedua terdapat pada
kelompok ikan dengan bobot terbesar yaitu antara 121-130 gram dengan jumlah
cacing sebanyak 55 dengan jumlah ikan yang terinfeksi pada kisaran bobot badan
tersebut sebanyak 2 ekor. Sedikit berbeda dengan data hasil jumlah kecacingan
pada Tabel 3 yang secara signifikan terlihat jelas pengaruh jumlah kecacingan
terhadap bobot badan ikan dan banyaknya jumlah ikan yang menginfeksi.
Perbedaan jumlah cacing parasitik yang menyerang ini bisa dimungkinkan oleh
perbedaan kondisi sanitasi lingkungan dan kualitas air tambak.
Bhagawati et al. 1991 memaparkan bahwa keberadaan suatu parasit di
dalam sebuah tambak karena terbawa air, tumbuhan, benda atau binatang yang
masuk melalui kolam. Untuk menunjang kehidupannya parasit tersebut
membutuhkan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan seperti
banyaknya bahan organik dalam tambak, kualitas air yang buruk, kondisi air yang
tergenang, fluktuasi suhu yang drastis, suhu yang rendah, serta padat penebaran
kolam yang tinggi. Perbedaan sistem imunitas antar spesies juga ikut berperan di
dalam jumlah ikan yang terinfeksi.
Tabel 5. Jumlah Cacing Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum) dari wilayah tambak Daerah Cibitung Tengah.
Jumlah ikan
yg terinfeksi
Rataan cacing
/ekor ikan yg
terinfeksi
3
1
8
1
1
1
4
1
11
0
0
0
2
2
9.5
10
5
Bobot Badan
(gram)
Jumlah
Cacing
Jumlah Ikan
(ekor)
30-40
8
41-50
51-60
61-70
71-80
Total Cacing
1
11
0
19
39
Tabel 5 di atas menunjukkan tingkat kecacingan pada berbagai bobot
badan ikan yang menjadi sampel. Jumlah cacing parasitik yang menginfeksi ikan
bawal yang berasal dari tambak di daerah Cibitung Tengah yang paling banyak
terdapat pada bobot badan tertinggi yaitu pada kisaran bobot badan antara 71-80
gram dengan jumlah cacing 19 cacing dengan jumlah ikan yang terinfeksi
sebanyak 2 ekor. Jumlah cacing terbanyak kedua terdapat pada kelompok ikan
dengan bobot terbesar yaitu antara 51-60 gram dengan jumlah cacing sebanyak 11
dengan jumlah ikan yang terinfeksi pada kisaran bobot tersebut sebanyak 2 ekor.
Di lokasi tambak ini jenis cacing yang menyerang juga dari golongan
cacing parasitik monogenea. Pada Tabel 5 di atas menggambarkan bahwa jumlah
cacing yang menginfeksi tidak selalu berkorelasi positif dengan penurunan bobot
badan pada ikan bawal. Hal ini sangat dimungkinkan karena perbedaan jenis
cacing (intensitas cacing parasitik) yang menginfeksi serta tingkat patogenitas dari
jenis cacing parasitik yang menginfeksi.
Identifikasi Cacing Parasitik Pada Insang Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum)
Cacing-cacing yang telah diwarnai dengan pewarnaan acetocarmine
memberikan warna merah pada cacing. Identifikasi yang dilakukan mengacu
pada Yamaguti (1963), Grabda (1991), Woo (2006) dan Noble & Noble (1989).
Identifikasi dilakukan dengan melakukan pengamatan di bawah mikroskop
berdasarkan morfologi, ukuran tubuh dan kemiripin bentuk tubuh. Pengamatan
ini hanya memungkinkan diferensiasi sampai famili dan genus.
Karakteristik Cacing Parasitik yang Ditemukan pada Insang Ikan Bawal Air
Tawar (Colossoma macropomum)
2 spot mata
anterior
vitellaria
2 kait utama
Gambar 9. Tetraonchus sp
Cacing parasitik yang diidentifikasi dari insang ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) memiliki panjang tubuh 5,3 mm dengan lebar tubuh
0.648 mm. Bagian anterior dari cacing ini dilengkapi dengan lekukan-lekukan
dan 2 spot mata, serta di bagian posterior dilengkapi dengan 2 kait (marginal
hooks) yang berfungsi sebagai alat pelekat kepada inangnya. Menurut Yamaguti
(1958) cacing parasitik di atas (Gambar 9) diketahui sebagai Tetraonchus.
Cacing parasitik ini mempunyai siklus hidup langsung.
Siklus hidup langsung yaitu siklus hidup yang hanya memerlukan satu
inang dalam siklus hidupnya. Cacing parasit ini mengeluarkan telur dan setelah
menetas akan menjadi larva yang kemudian akan berenang bebas yang disebut
dengan oncomirasidium
yang bergerak diantara filamen insang serta dapat
menginfeksi inang dalam beberapa jam. Setelah mencapai inang, cacing parasit
ini bermigrasi ke target organ dan berkembang menjadi parasit dewasa. Larva
Tetraonchus sp tumbuh dan berkembang dengan baik menjadi dewasa pada
insang dengan pengaruh temperatur di atas 10º C. Gejala yang ditunjukkan dari
infeksi jenis cacing parasitik ini diantaranya hipersalivasi, hiperplasia epitel,
hemoragi, penurunan nafsu makan, sampai kematian.
Menurut Soulsby (1982) Tetraonchus sp termasuk ke dalam klasifikasi
filum Platyhelminthes, kelas Trematoda, subkelas Monopisthocotylea, kelas
Monogenea famili Tetraonchidae dan genus Tetraonchus.
4 spot mata
2 pasang kait
(hook)
Gambar 10. Diplectanum sp
Cacing parasitik yang diidentifikasi dari insang ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) di atas memiliki panjang tubuh 6,21 mm dengan lebar
tubuh 3,25 mm.
Cacing parasit di atas (Gambar 10) termasuk Ordo
Dactylogyridae, Famili Diplectanidae, karena sering ditemui menyerang insang
parasit ini juga sering disebut sebagai cacing insang. Cacing jenis ini biasa
menyerang di lamella insang ikan laut (ikan kerapu, kakap, napoleon dan bawal).
Parasit Diplectanum mempunyai kekhasan yang membedakannya dari spesies lain
dalam ordo Dactylogyridae yang mempunyai squamodisc (satu terletak di ventral
dan satu di dorsal) dan sepasang jangkar yang terletak berjauhan (Zafran et al.
1997).
Pada beberapa kasus serangan parasit insang ini bisa menyebabkan
kematian pada ikan yang cukup banyak. Ikan yang terserang akan mengalami
gangguan dalam proses pernafasan selain itu luka yang ditimbulkan bisa
menyebabkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri.
Parasit yang termasuk ke dalam monogenea ini dapat berkembangbiak
lebih cepat berkembang biak lebih cepat tanpa memerlukan inang perantara
sehingga dalam budidaya yang dicirikan oleh padat penebaran yang tinggi dan
banyaknya stressor dapat memicu perkembangan parasit. Parasit ini melekat pada
filamen insang dan dapat menyebabkan perubahan pada lamella insang ikan
sebagai akibat respon kronis dari parasit tersebut.
Parasit Diplectanum sp
memiliki alat pengait (anchor) yang digunakan untuk melekatkan diri pada
filamen insang yang dapat menyebabkan luka dan memproduksi lendir yang
berlebihan (Reed et al. 2004).
4 spot mata
anterior
posterior
2 pasang haptor
Gambar 11. Oncocleidus sp
Cacing parasitik yang diidentifikasi dari insang ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) di atas memiliki panjang tubuh 2.817 mm. dengan
lebar tubuh 0.147 mm. Cacing parasitik di atas (Gambar 11) termasuk ke dalam
subkelas monogenea Famili Oncocleiduae.
Cacing monogenea ini juga termasuk ke dalam golongan cacing
ektoparasit. Parasit ini ditemukan pada permukaan ekternal dari inang mereka.
Parasit ini juga ditemukan di dalam air dan tidak diingestikan oleh inang mereka
tetapi melekat dan membentuk koloni pada insang untuk menyerap nutrien inang.
Cacing parasit ini kemudian melakukan perkawinan dan melepaskan telur
sehingga menghasilkan kolonisasi cacing baru yang lebih banyak lagi. Cacing
ektoparasit ini umumnya dianggap bisa merusak populasi ikan tangkapan seperti
di hatchery. (Schmidt et al. 2009)
posterior
2 pasang
haptor
17
mm
4 spot mata
anterior
Gambar 12. Subkelas Monogenea
Cacing parasitik yang diidentifikasi dari insang ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) di atas memiliki panjang tubuh 2,6 mm dengan lebar
tubuh 0,531 mm. Cacing parasitik ini tergolong ke dalam subkelas monogenea
Monopistocotylea Famili Dactylogyridae atau jenis cacing yang mempunyai satu
bagian haptor dan termasuk pengait (alat untuk melekatkan dengan inang).
Menurut Grabda (1991) monogenea termasuk ke dalam Kingdom
Animalia dan Filum Platyhelmintes. Monogenea termasuk cacing berbentuk pipih
dorsoventral, mempunyai haptor yang berfungsi untuk melekat pada inangnya.
Haptor yang berada di ujung anterior dan posterior disebut opisthaptor dan haptor
yang berada di ujung anterior disebut prohaptor. Haptor tersebut disertai dengan
hook atau kait yang berfungsi untuk menempel pada organ. Monogenea tidak
mempunyai sistem respirasi, sistem peredaran darah serta sistem rangka.
Monogenea merupakan cacing hermafrodit, sistem reproduksi jantan
terdiri dari testis dan vas deferens sedangkan sistem reproduksi betina terdari dari
ovarium, uterus dan vitellaria.
Monogenea merupakan cacing kecil dengan
ukuran satu sampai beberapa milimeter.
Monogenea kebanyakan merupakan
cacing parasit pada ikan dengan habitat pada insang atau sisik ikan, terkadang
ditemukan juga pada saluran pencernaan ikan.
Gambaran Mikroskopis Sel Darah Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum)
Gambaran darah ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) dapat
dilihat pada gambar 13 di bawah ini
13a
13b
Trombosit
(Tr)
Eritrosit(Er)
(Perbesaran 1000x)
13c
Limfosit (L)
(Perbesaran 1000x)
(Perbesaran 1000x)
13d
Heterofil (H)
(Perbesaran 1000x)
Eosinofil
13f
13e
13f
Eosinofil (Eo)
Monosit (M)
(Perbesaran 1000x)
(Perbesaran 1000x)
Gambar 13. Gambaran mikroskopis sel darah ikan bawal air tawar
(Colossoma macropomum) : 13a Eritrosit (Er), 13b. Trombosit
(Tr), 13c. Limfosit (L), 13d. Heterofil (H), 13e. Monosit (M),
13f. Eosinofil (Eo) (Perbesaran 1000x)
Eritrosit
Seperti pada reptil, amphibi dan unggas, salah satu ciri pembeda darah
ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) adalah inti pada eritrosit yang
matang. Ulasan darah dari ikan yang sehat menunjukkan jumlah eritrosit yang
lebih besar dibandingkan sel-sel darah lainnya (Affandi dan Tang 2002).
Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum)
yang diamati juga
memiliki eritrosit (Gambar 13a.) yang berinti sama seperti ikan dari spesies lain.
Tepi ujung dari eritrosit membulat sehingga bentuk sel tampak ovoid (bulat oval)
seperti telur, lebih bulat dari eritrosit unggas yang cenderung agak elips.
Pewarnaan menggunakan Giemsa memperlihatkan sitoplasma yang terlihat
berwarna asidofilik dengan inti yang berwarna keunguan. Inti dari eritrosit
terletak di tengah dengan kromatin yang kompak ( Ranzani-Paiva et al. 2003).
Limfosit
Limfosit ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) (Gambar 13c.)
memiliki ukuran diameter rata-rata 13 µm. Memiliki inti yang hampir menutupi
sitoplasma. Sitoplasma sedikit , homogen dengan warna biru mengelilingi nukleus
dengan warna ungu gelap.
Menurut (Canfiled 2006) limfosit memiliki diameter berkisar antara 8-12
µm ( Ardelli dan Woo 2006). Sitoplasma berwarna biru pucat, inti berbentuk bulat
sampai oval bertakuk. Sitoplasma berisi vakuola kecil dan granula azurofilik.
Limfosit memiliki sitoplasma yang sangat basofilik, namun terkadang terlihat
adanya granul merah pada sitoplasma limfosit. Limfosit sering kali dikelirukan
dengan trombosit atau sebaliknya karena memiliki kemiripan morfologi.
Perbedaan mendasar antara kedua sel ini yaitu sifat trombosit yang sering
ditemukan bergerombol pada preparat ulas darah.
Heterofil
Heterofil pada ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) yang
diamati seperti pada gambar (13d.) memiliki diameter rata-rata 12,45 µm.
Menurut (Ardelli dan Woo 2006) ukuran heterofil pada ikan bervariasi
(berdiameter 8-15 µm) dengan sel yang berbentuk oval dan bentuk inti tidak tetap
(mulai dari bulat hingga berlobus). Ukuran, bentuk, warna dan komposisi kimia
pada granul heterofil bervariasi. Sitoplasma berwarna pucat dan berisi sejumlah
granul merah muda halus atau pucat tergantung pada spesies ikan. Feldmen et al.
2000 melaporkan bahwa ciri heterofil pada ikan yaitu mempunyai inti yang
eksentrik dengan bentuk bulat sampai oval. Pada beberapa spesies inti ada juga
yang mempunyai lobus. Pada umumnya sel heterofil memiliki inti berbentuk
bulat sampai oval bertakuk (berlekuk).
Inti berwarna ungu gelap dengan
gumpalan kromatin yang kasar. Sitoplasma biasanya berwarna biru pucat dengan
warna granul bervariasi mulai dari abu-abu, biru , serta merah.
Monosit
Bentuk monosit mempunyai kemiripan dengan limfosit, dimana monosit
memiliki ukuran sel yang lebih besar dengan inti tidak berlobus dengan sejumlah
besar sitoplasma yang tidak terlalu basofilik.
Sitoplasma berisi vakuola dan
granula azurofilik yang halus. Istilah azurofilik mengacu pada bentuk monosit
yang berisi sejumlah granula sitoplasmik yang halus berwarna merah keunguan
(Canfiled 2006).
Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum)
memiliki
ukuran sel monosit (Gambar 13e.) yang besar dengan inti yang bertakuk
(berlekuk) dan sejumlah besar sitoplasma tidak terlalu basofilik.
Eosinofil
Eosinofil pada ikan mempunyai diameter yang berkisar antara 9-15 µm
dengan inti yang berbentuk bulat eksentrik tidak berlobus dan sitoplasma
memiliki granula eosinofilik yang besar ( Ranzani-Paiva et al. 2003). Eosinofil
pada ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) yang diamati seperti pada
gambar (13f.) memiliki diameter rata-rata 14,6 µm dengan inti sitoplasma
berwarna sedikit kemerahan dengan campuran warna biru muda.
Diferensial Leukosit
Diferensiasi leukosit meliputi hitung jenis sel limfosit, monosit, heterofil,
eosinofil dan basofil dalam 100 buah sel darah putih yang dilihat di bawah
mikroskop dengan pembesaran 1000x (100x10). Diferensiasi leukosit pada ikan
bawal air tawar (Colossoma macropomum) dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Diferensiasi jenis sel leukosit ikan bawal air tawar (Colossoma
macropomum) di tiga wilayah tambak.
Parameter
Pengamatan
Limfosit
(%)
Monosit
(%)
Eosinofil
(%)
Heterofil
(%)
Basofil (%)
SituDaun
(n=10)
(lokasi 1)
5,02
(32,41-42,45)
Ciampea
(n=10)
(lokasi 2)
9,24
(26,4344,91)
CibitungTengah Leukosit Normal
(n=10)
Salasia
(lokasi 3)
et al. 2001
3,50
60,20-81
(33,92-40,92)
7,75-29,20
3,00
3,94
(11,93-19,81)
4,32
(11,18-19,82)
2,50
(26,90-31,90)
0
(11,5017,50)
(13,62-19,72)
5,02
(9,38-19,42)
2,70
(6,70-12,10)
2,40-8,00
4,67
(33,19-42,53)
3,25-8,40
0
-
7,43
(25,3240,18)
0
Kondisi gambaran diferensial leukosit di daerah Situ Daun secara umum
memperlihatkan jumlah eosinofil yang lebih besar dibandingkan dengan kedua
lokasi tambak ikan air tawar (Colossoma macropomum) lainnya yaitu sebesar
4,32. Sedangkan pada tambak di Ciampea dan Situ Daun masing-masing
sebesar
5,028 dan
2,70. Berdasarkan data prevalensi kecacingan
yang terdapat di daerah tambak Situ Daun sebesar 100% yang artinya semua
sampel ikan yang diperiksa terinfeksi cacing parasitik dengan jumlah cacing
paling banyak total cacing yang didapat sebesar 302 cacing parasitik. Sedangkan
jumlah total cacing yang menginfeksi pada wilayah tambak Ciampea dan Cibitung
Tengah masing-masing sebanyak 127 dan 29 ekor cacing pada 10 sampel yang
diperiksa. Tizard 1995 menyatakan bahwa eosinofil merupakan salah satu sel
pertahanan tubuh yang dominan di dalam darah dan akan meningkat tajam
jumlahnya bila terjadi infeksi penyakit parasiter terutama terhadap infeksi parasit
cacing.
Lukistyowati et al. (2007) menjelaskan bahwa jumlah limfosit pada ikan
bawal air tawar (Colossoma macropomum) berkisar antara 36 – 80 %. Hasil
pengamatan untuk limfosit secara umum tambak di daerah Situ Daun
memperlihatkan jumlah limfosit yang paling banyak yaitu sebesar
5.028.
Angka ini masih dalam kisaran yang normal. Selain itu untuk parameter limfosit
ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum)
sebesar
di kedua tambak yang lain
9.24 untuk tambak wilayah Ciampea dan
3.50 untuk
wilayah tambak Cibitung Tengah. Limfosit berfungsi sebagai penghasil antibodi
untuk kekebalan tubuh dari gangguan penyakit (Bastiawan 2001).
Adapun pengamatan di tiga lokasi menunjukkan jumlah monosit yang
paling tinggi ditemukan pada wilayah tambak Cibitung Tengah sebesar
. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pendapat Klontz (1994) yang
menjelaskan bahwa kisaran monosit berkisar 0,1-3 % akan tetapi dapat meningkat
sekitar 38%. Selain itu melihat nilai hematologi monosit untuk seluruh lokasi
penelitian lebih tinggi dari pernyataan para ahli ini merupakan gejala normal
untuk ikan yang hidup di daerah bersuhu tropis, karena menurut Klontz (1994)
bahwa nilai parameter hematologi dapat bervariasi, hal ini bisa disebabkan oleh
jenis ikan, suhu, dan musim. Menurut Bastiawan et al. (2001) monosit berfungsi
sebagai fagosit terhadap benda-benda asing yang berperan sebagai agen penyakit.
Sedangkan parameter heterofil untuk semua lokasi tambak menunjukkan
peningktan dari jumlah normal, hal ini dimungkinkan semua lokasi tambak telah
terinfeksi cacing parasit yang bersifat akut. Parameter yang tidak ditemukan pada
pengamatan pada ke tiga wilayah tambak yaitu basofil. Feldman et al. 2000
menerangkan bahwa keberadaan basofil di dalam sirkulasi darah telah diamati
hanya pada sejumlah kecil dari spesies ikan yang ada. Bahkan basofil lebih jarang
ditemukan pada pemeriksaan darah dibandingkan dengan eosinofil. Affandi dan
Tang (2002) menyatakan bahwa persentase basofil di dalam darah ikan berkisar
antara 0.17-0.194 % dan berukuran 8-12 µm.
Granula basofil bersifat basofilik. Granula berisi faktor kemotaksis
eosinofil dan mediator hipersensitivitas tipe 1.
Ketika ada rangsangan dari
alergen yang menyebabkan terjadinya penempelan alergen pada basofil maka
akan terjadi pelepasan isi kandungan basofil ( Ardelli dan Woo 2006).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jenis cacing parasitik yang
sering menginfeksi insang ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) di
wilayah tambak
Situ Daun, Ciampea, dan Cibitung Tengah yaitu terdiri dari
Tetraonchus sp, Diplectanum sp, Oncocleidus sp, serta dari subkelas Monogenea
dengan tingkat prevalensi masing-masing daerah sebesar 100%, 70%, dan 50%.
Nilai eosinofil, heterofil, dan monosit pada ketiga daerah yang diperiksa
menunjukkan peningkatan karena adanya infeksi cacing parasitik.
Saran
Perlu memberikan penyuluhan kepada para petani tambak di lingkungan
tersebut dalam rangka perbaikan manajemen tambak sebagai upaya pengendalian
kasus kecacingan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih
jauh lagi kondisi kesehatan ikan serta jenis bakteri dan endoparasit lain yang bisa
diisolasi dari organ insang, organ pencernaan, serta pada sisik ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, UM Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Riau : University Riau Pr.
Anonim. 2011. Basic Techniques in Fish Haematology. http://www.aqualex.org
terhubung berkala [diakses Maret 2011]
Anshary H K. Ogawa. 2001. Microhabitats and Mode of Attachment of
Neoheterobothrium hirame, Monogenean Parasite of Japanese
Flounder. Fish Pathol, 36 (1). 21-26.
Ardelli BF, Woo PTK. 2006. Immunocompetent Cells and Their Mediators in Fin
Fish di dalam : Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and
Disorder. Vol 3. Ed ke-2. UK : CABI Pub. hlm 702-724.
Ariaty L. 1991. Morfologi Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Nila Merah
(Orechromis sp) dan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dari Sukabumi.
[skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Arie U. 2000. Budidaya Bawal Air Tawar untuk Konsumsi dan Ikan Hias.
Penebar Swadaya Jakarta.
Bastiawan D, A. Wahid, M. Alifudin dan I. Agustiawan. 2001. Gambaran Darah
Lele dumbo (Clarias spp) yang Diinfeksi Cendawan Aphanomyces sp
pada pH yang Berbeda. Jurnal Penelitian Indonesia 7(3) : 44-47.
Bhagawati, D. Petrus, H.T. dan Siti, R.1991. Mengenal Ektoparasit Penyebab
Penyakit Pada Kolam Rakyat di Desa Beji Purwokerto. Karya Ilmiah.
Fakultas Biologi UNSOED. Purwokerto.
Buchmann K, Bresciani J. 2006. Monogenea (Phylum Platyhelminthes). Di
dalam: Woo PTK, Bruno DW editor. Fish Disease and Disorder. Vol
3. Ed ke-2. UK : CABI Pub. hlm 297-344.
Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Disease of
Freshwater Trout. Denmark : DSR Pub.
Canfield PJ. 2006. Complemarative cell morphology in the peripheral blood film
from exotic and native animal. Aust Vet J 76 : 793-800.
Chinabut S, Limsuwan C and Kitsawat P. 1991. Histology of the Walking Catfish
(Clarias batrachus). Departemen of Fisheries Thailand. Thailand.96p.
David G. 2010. Dactylogyrus. Fauna europaea versi2.4 [terhubung berkala]
http://www.faunaeur.org [14 Mei 2011].
Feldman BF, Zinkl JG, Jain NC, Schalm OW. 2000. Schalms Veterinary
Hematology. Blackwell Pub.
Guyton Arthur C. and Hall John E. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah: Setiawan I, editor.
Jakarta : EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology.
Grabda J.1991. Marine Fish Parasitology. New York : Warszawa Polish
Scientific Pub.
Hibiya T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and Pathological Features.
(second edition). Kodansha LTD, Tokyo.
Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Kinne O.1980. Disease of Marine Animals.Vol. 1. General Aspects. Protozoa to
Gastropoda. John Wiley dan Sons, Chichester Markevich AP.1963.
Parasitic Fauna of Fresh Water Fish of the Ukrainan. London SSR.
Oldbourne Pr.
Klont.G.W,1994. Tecniques In Fish Immunology. Department of Fish and
Wildlife Resources University of Idaho. Moscow : Idaho Pr.
Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi, penerjemah.
UGM Gadjah Mada Uni Press. Yogyakarta. Terjemahan dari :
Textbook of Veterinary Parasitology.
Moyle PB, Cech JJ. 1988. Fish an Introduction to Ichthology Second Edition.
New Jersey : Prentice Hall.
Lukistyowati W. 2007. Hematologi Ikan-ikan Air Tawar. Lembaga Penelitian
Universitas Riau. Pekanbaru : Universitas Riau Pr.
Mulyani Sri. 2006. Gambaran Darah Ikan Gurame (Osphronemus gouramy) Yang
Terinfeksi Cendawan Achlya sp. Pada Kepadatan 320 dan 720. Skripsi
Fakultas Perikanan Dan Ilmu kelautan, IPB [skripsi].
Noble ER, Noble GA.1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke-5.
Ardianto, Penerjemah; Soeripto N. Editor. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari : Parasitology : The Biology of
Animal Parasites 5th edition.
Noga E.J. 2000. Fish Disease : Diagnosis and Treatment. Lowa State University
Pr.
Ranzani-Paiva, M.J.T., Rodrigues, E.L.. Veiga, M.L., Eiras, A.C. & Camp os,
B.E.S. 2003. Differential leukocytes counts in “dourado”Salminus
maxillous” Valenciennes, 1840, from the Mogi- Guaçu River,
Pirassiununga, SP. Brazilian Journal of Biology 63: 517-525
Samsi M. 2006. Ulas Darah. Damandiri.or.id/file/muhamadsamsiipbbab3. Pdf
[ 27 September 2011].
Schmidt, G.D. Robert, L.S Janovy Jr J.2009. Foundations of Parasitology 8th
Edition McGraw Hill New York.
Selye H.1973. The evolution of the stress concept. American Scientist 61 : 692699 Wedemeyer GA dan Yasutke. 1997. Clinical Methods for The
Assessment on The Effect of Environmental Stress on Fish Health.
Technical Paper of The US Departement of The Interior Fish and the
Wildlife Service 89 : 1-17.
Sindermann CH.1990. Principle Disease of Marine Fish and Shellfish. 2
nd
ed.
San Diego : Academic Pr.
Soulsby EJL. 1973. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domisticated
Animals. London. Bailliere, Tindall and Cassell.
Taukhid. 2006. Manajemen Kesehatan dan Lingkungan. Laboratorium Riset
Kesehatan Ikan. Bogor.
Tizard I.R. 1995. Immunology: An Introduction. 5th ed. New York, Orlando :
Saunders College Pub.
Woo. 2006. Diplomonadida (Phylum Parabasalia) and Kinetoplastea (Phylum
Euglenozoa). Di dalam : Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease
and Disorder. Vol 3. Ed ke-2. UK : CABI Publising. hlm 46-204.
Yamaguti, S. 1958. Systema Helminthum Vol 1. Monogenea and Aspidocotylea
Part I. Interscience Pub. London.
Yuasa Kei dkk. 2003. Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air Tawar Jambi,
Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA.
Zafran, I Koesharyani dan K Yuasa. 1997. Parasit Pada Ikan Kerapu di Panti
Benih dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. Vol III(4):16-23
Lampiran 1
Prevalensi Kecacingan di Tambak Situ Daun
=
=
Prevalensi Kecacingan di Tambak Ciampea
=
=
Prevalensi Kecacingan di Tambak Cibitung Tengah
=
=
Download