tiva pada kraniotomi pengangkatan meningioma residif

advertisement
TIVA PADA KRANIOTOMI PENGANGKATAN MENINGIOMA RESIDIF
TIVA FOR CRAINOTOMY RECIDIVE MENINGIOMA REMOVAL
Betty Roosiati *), Dyah Yarlitasari **), Sofyan Harahap ***), Sri Rahardjo ****)
*) RS Karya Media I Cibitung Bekasi
**) Eka Hospital Tangerang
***) RS Dr. Kariyadi, Universitas Diponegoro-Semarang
****) RS Sardjito, Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta
Abstract
Meningiomas are brain tumors that are very likely to bleed from the meninges and spinal cord tissue, brain
tissue does not grow out of. Meningiomas usually grow into that causes pressure on the brain and spinal cord,
but also grew out towards the skull, resulting in thickening of the skull. Meningioma not always require
immediate treatment. Signs and symptoms of meningioma is usually gradual but sometimes require emergency
action. At the beginning of obscure symptoms, depending on the tumor location. Symptoms such as double vision
/ blurred, headache, hearing loss, loss of memory, seizures, weakness of the arms and legs. In these patients the
first surgery 2 years ago as an atypical meningioma (WHO grade II as meningiomas) where growth is slightly
more aggressive than grade I and a slightly higher risk of becoming residif. Now repeat surgery.
Case reports: A man aged 68 years, weight 67 kg who complained of dizziness and the same complaint two years
ago. On physical examination, GCS 15 (E4M6V5), blood pressure 110/80 mmHg, heart rate 80 times / minute,
respiratory rate 16 times / minute, temperature 36.80 C. On examination MSCT Angio circle of Willies /
Cerebral, an impression: the size of 49x42x47 mm left ditemporal perifokal accompanied by cerebral edema
with midline shift to the right about 12 mm.
Do the management of anesthesia with propofol TIVA, dexmedetomidine, fentanyl, ventilation controls with
vecuronium, lasts 10 hours on a meningioma tumor removal surgery a second. In this operation the tumor can
not be removed completely due to bleeding. Post-operative care in the ICU with the help of mechanical
ventilation and the patient died after being treated for 7 days.
Key words: meningiomas, TIVA, brain protection, craniotomy.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Meningioma adalah tumor otak yang sangat mudah berdarah yang berasal dari jaringan meningen dan medulla
spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Meningioma umumnya tumbuh ke dalam yang menyebabkan tekanan
pada otak dan medulla spinalis, tetapi juga tumbuh keluar ke arah tulang tengkorak, sehingga terjadi penebalan
tulang tengkorak. Meningioma tidak selalu memerlukan pengobatan segera. Tanda dan gejala meningioma
biasanya secara bertahap, tetapi kadang-kadang memerlukan tindakan emergency. Pada permulaan tidak jelas
gejalanya, tergantung pada lokasi tumor. Gejala berupa penglihatan double/kabur, sakit kepala, pendengaran
berkurang, hilang memori, kejang, lemah pada lengan dan kaki. Pada pasien ini operasi pertama 2 tahun yang
lalu sebagai meningioma atipikal (menurut WHO sebagai meningioma derajat II) dimana pertumbuhannya
sedikit lebih agresif daripada derajat I dan sedikit lebih tinggi risiko menjadi residif. Sekarang dilakukan operasi
ulangan.
Laporan kasus: Seorang laki-laki usia 68 tahun, BB 67 kg yang mengeluh pusing dan sakit kepala, sama dengan
2 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik GCS 15 (E 4M6V5), tekanan darah 110/80 mmHg, laju jantung 80
x/menit, laju nafas 16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pada pemeriksaan MSCT angio circle of Willies/Cerebral, kesan:
masa ditemporal kiri ukuran 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift ke kanan
sekitar 12 mm.
Dilakukan penatalaksanaan anestesi dengan TIVA menggunakan propofol, deksmedetomidin, fentanyl, ventilasi
kontrol dengan vekuronium, berlangsung 10 jam pada pengangkatan tumor meningioma operasi yang kedua.
Pada operasi ini tumor tidak bisa diangkat seluruhnya karena mengalami perdarahan. Post operasi perawatan di
ICU dengan bantuan ventilasi mekanik dan pasien meninggal setelah dirawat selama 7 hari.
Kata kunci: meningioma, TIVA, proteksi otak, kraniotomi.
JNI 2012;1(4):
I.
Pendahuluan
Teknik anestesi inhalasi telah diterima secara luas
pada tata laksana bedah saraf, namun hal ini dapat
menyebabkan penurunan resistensi vaskular
khususnya resistensi pembuluh darah otak,
sehingga menyebabkan meningkatnya aliran darah
otak dan tekanan intrakranial. Pada kasus dengan
kenaikan tekanan intrakranial, teknik anesthesi
inhalasi akan membuat tekanan intrakranial lebih
tinggi sehingga menurunkan tekanan perfusi
serebral, menaikkan risiko terjadinya iskemik
serebral yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak (brain damage).
Teknik Total intravenous anesthesia (TIVA)
menggunakan propofol/deksmedetomidin dan obatobat analgetik (remifentanil atau fentanyl), dapat
menurunkan aliran darah otak, penurunan tekanan
intrakranial, terpeliharanya tekanan perfusi otak
serta penurunan CMRO2 yang dikenal sebagai
“Coupling Flow Metabolism” sehingga dapat
melindungi jaringan otak dari kerusakan 1.
II. Kasus
Laki-laki berusia 68 tahun dengan berat badan 77
kg. Anamnesis: pasien mengeluh pusing dan sakit
kepala sama dengan operasi 2 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik: keadaan umum GCS 15
(E4M6V5), pre operasi tekanan intrakranial normal
atau sedikit naik, tidak ada tanda-tanda tekanan
intrakranial yang meningkat misalnya sakit kepala
(khas postural headache, pasien bangun pada
malam hari), mual, muntah, pandangan kabur,
somnolen, edema papil, sampai penurunan
kesadaran dan depresi nafas. Tekanan darah
110/80 mmHg, laju jantung 80 x/menit, laju nafas
16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pasien mendapat injeksi
deksametason 4x5mg/hari selama 5 hari.
9
10
11
12
GD puasa
GD 2 jam pp
Lemak
 Kolesterol
 HDL kolesterol
 TG
 LDL kolesterol
Elektrolit
 Na
 K
 Cl
 Ca
: kardiomegali disertai kongestif
pulmonum.
Eko kardiografi : dilatasi atrium kiri, hipertrofi
ventrikel kiri, regurgitasi mitral
ringan, fungsi sistolik ventrikel
kiri dan ventrikel kanan baik.
MSCT
: kesan: masa ditemporal kiri
49x42x47
mm
disertai
perifokal edema serebri dengan
midline shift ke kanan 12 mm.
Gambar 1. MSCT angio circle of Willies/cerebral.
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium
Koinduksi
Induksi
1
2
3
4
5
6
7
8
Hb
Ht
Leukosit
Eritrosit
APTT(P)
APTT(C)
Tes fungsi ginjal
 Ureum
 Kreatinin
Tes fungsi hati
 AST
 ALT
 Gamma GT
Keterangan
15,2 g/dl
47 %
9.200 /mm3
6,6 106 /UL
38,3 detik
33 detik
28 mg/dl
1,1 mg/dl
26 µ/l
35 µ/l
133 µ/l
141 mEq/l
3,6 mEq/l
109 mEq/l
7,9 mEq/l
Foto torak
B. Penatalaksanaan anestesi
Pemeriksaan
125 mg/dl
42 mg/dl
86 mg/dl
66 mg/dl
(Keterangan : Pemeriksaan laboratorium jumlah eritrosit
dan gamma GT sedikit lebih tinggi, elektrolit kalsium
sedikit lebih rendah, GD 2 jam pp sedikit meninggi, HDL
kolesterol rendah).
A. Pemeriksaan penunjang:
No
94 mg/dl
141 mg/dl
: midazolam 5 mg, intravena.
: fentanyl 50 mcg
intravena
: propofol 100 mg
Intubasi
: ETT nomor 8 (non-kinking)
difasilitasi vecuronium 8 mg
intravena.
Pemeliharaan anestesi
Ventilator : TV 8 ml/kg BB, RR 12 x/menit,
I:E=1:2, PCO2 + 32 mmHg; O2 : air
= 1 l/menit : 1 l/menit
Propofol
: 2 – 3 mg/kg BB/jam
Vecuronium : 0,06 mg/kg BB/jam
Fentanyl
: 1 mcg/kg BB/jam
Dexmedetomidine : 0,1 – 0,2 mcg/kg
BB/jam
Dengan
syringe pump
Grafik Pantauan Hemodinamik
Hari 3-7 : Pupil makin melebar dan
meninggal pada hari ke–7.
III.
pasien
Pembahasan
Penatalaksanaan anestesi umum:
Grafik pantauan Hemodinamik: tekanan darah, laju
nadi, SpO2 dan MAP.
(Keterangan : Tekanan darah berkisar 110/60-180/100
mmHg. Laju nadi berkisar 50-70 x/menit). Pada awal
awal setelah intubasi, tekanan darah meningkat
kemungkinan karena dosis obat belum mencukupi.
Operasi berjalan selama 10 jam 20 menit, tumor
tidak diangkat seluruhnya karena mengalami
perdarahan.
Tabel 2. Jumlah Cairan Masuk dan Keluar
No
Jumlah cairan yang
No Jumlah cairan yang
masuk:
keluar:
1 Kristaloid
5.000 ml
1
Perdarahan 5.100 ml
2 Koloid
7.000 ml 2 Urine
4.000 ml
3 Laktat hipertonik
250 ml
4 PC
535 ml
5 FFP
534 ml
6 Mannitol
300 ml
Jumlah total
13.619 ml Jumlah total
9.100 ml
(Keterangan : Cairan yang masuk berupa cairan isotonik,
koloid, darah, FFP dan diuretik. Cairan yang keluar dari
perdarahan dan urine).
C. Perawatan post operasi (di ICU dengan
ventilasi kontrol).
Hari 1 : Hemodinamik labil, tekanan darah 84/46 142/72
mmHg
dengan
dopamin,
norepinefrin. Hb post operasi 2 g%
kemudian diberi Transfusi WB 1000 ml,
FFP 356 ml. Hb post transfusi Hb 11g%.
MSCT Head Non Contrast. Kesan: ICH difrontal
kiri dan pneumosefalus disertai edema serebri berat.
DD: global hipoksik dengan midline shift ke kanan
sekitar 16 mm. IVH: disertai hidrosefalus
obstruktif. SAH : mengisi fissura interhemisfer.
Defek post kraniotomi ditemporal kiri sekitar 7 – 8
cm disertai hematom ekstrakranial disekitarnya.
Hari 2 : Tekanan darah 124/78 – 142/78 mmHg,
dopamin, norepinefrin dihentikan, pupil
mulai dilatasi, refleks cahaya negatif ( - ).
Pemeriksaan pre operasi: Menentukan strategi
anestesi untuk operasi bedah saraf, berdasar pada
pengetahuan secara menyeluruh dalam neurologi,
bedah saraf dan anestesi. Menilai status pisik pasien
keadaan umum pasien dan rencana anestesi
(mempersiapkan obat, alat dan teknik anestesi yang
akan dipergunakan
pada
kasus tersebut,
pencegahan dan penanganan terhadap risiko
maupun komplikasi anestesi-pembedahan yang
mungkin terjadi, serta inform consent2 mengingat
pasien geriatrik dengan residif meningioma
beresiko besar terjadinya perdarahan perioperatif.
Status neurologi pasien: Pemeriksaan minimal
meliputi penilaian status mental dibandingkan
dengan kemampuan pasien untuk mengikuti
perintah, derajat orientasi ada tidaknya gangguan
bicara dan glasgow coma scale score. Medikasi
yang didapat pasien dan sudah diberikan berapa
lama ini penting, karena medikasi dapat
mempengaruhi elastisitas intrakranial, perfusi dan
cadangan, akibat farmakokinetik dan farmadinamik
obat-obat anestesi. Dengan CT scan atau MRI
dapat diketahui ukuran dan lokasi dari tumor.
Kenaikan tekanan intrakranial dapat diketahui dari
gejala-gejala misalnya yaitu sakit kepala (khas
postural headache, pasien bangun pada malam
hari), mual, muntah, pandangan kabur, somnolen,
edema papil, sampai penurunan kesadaran dan
depresi nafas. Dengan CT scan dan MRI dapat
dilihat adanya midline shift lebih dari 5 mm,
obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus,
hilangnya ventrikel (pembesaran dalam kasus
hidrosefalus) dan edema (adanya daerah
hipodensitas)2.
Tulang tengkorak merupakan bagian yang keras,
sedangkan rongganya berisi 3 komponen yaitu :
jaringan otak (80% /1400ml), darah (10% /150ml)
dan cairan serebrospinal (10% /150ml). Dalam
keadaan normal komponen komponen ini dalam
keseimbangan yang dinamis jika kenaikan volume
dari salah satu komponen maka akan dikompensasi
dengan penurunan volume komponen yang lain
supaya tidak terjadi kenaikan tekanan intrakranial
(hipotesis Monro-Kellie) mekanisme kompensasi
berupa perpindahan cairan serebrospinalis kearah
rongga spinal, peningkatan reabsorbsi cairan
serebrospinal, dan kompresi sinusvenosus. Mekanisme ini akan menurunkan volume cairan
intrakranial2.
Auto regulasi aliran darah otak: untuk tekanan
perfusi serebral nilainya antara 50-150mmHg.
Aliran darah otak dipelihara pada 50ml/100g/menit
(MAP). Ada hubungan linear antara PaCO2 (2080mmHg), dan aliran darah otak (....PaCO2).
hipoksemia akan meningkatkan aliran darah otak
dan hiperoksia akan menurunkan aliran darah otak
(...PaO2). Jika tekanan arteri tetap konstan, aliran
darah otak akan menurun ketika tekanan
intrakranial meningkat (-.- ICP)3.
Tekanan
intrakranial
(mmHg)
Kenaikan masa/volume
Gambar 2. Kurva hubungan tekanan intrakranial
dan volume.
Derajat 1-2 : fase kompensasi. Bila ada kenaikan
volume salah satu komponen maka volume komponen yang lain akan menurun sehingga tekanan
intrakranial tetap konstan. Derajat 3-4 : fase
dekompensasi. Ketika fase kompensasi terlampaui
dengan sedikit kenaikan volume komponen
intrakranial akan menyebabkan kenaikan yang
tinggi dari tekanan intrakranial. Kemiringan kurva
tergantung pada komponen yang volumenya
meningkat. Peningkatan volume darah, cairan
serebrospinalis atau keduanya maka daya
kompresinya kurang bagus dan kemiringannya
lebih tajam. Peningkatan volume jaringan otak,
misal tumor, kemiringannya kurve lebih landai dan
lebih dapat dikompresi2. Kenaikan volume
intrakranial menyebabkan hipertensi intrakranial
kenaikan tekanan intrakranial dan edema otak.
Adanya hipertensi intrakranial perioperatif beresiko
terjadinya
kenaikan
tekanan
intrakranial3.
Pengobatan pre operasi untuk edema otak dengan
steroid, tujuannya mengurangi hipertensi intrakranial perioperatif dan menurunkan TIK.
Pada
pasien ini GCS 15, pemeriksaan MSCT; masa
ditemporal kiri 49x42x47 mm disertai perifokal
edema serebri dengan midline shift 12 mm ke
kanan menunjukan adanya kenaikan TIK sesuai
kurva tersebut.
Gambar 3. Hubungan antara tekanan perfusi
serebral dan aliran darah otak.
Keadaan umum pasien: Kardiovaskular dan
fungsi respirasi penting sebab perfusi otak dan
oksigenasi tergantung fungsi kardio-respirasi yang
harus optimalkan pada pre operasi. Patologi intrakranial sendiri akan mengganggu fungsi kardiovaskular (misal efek dari kenaikan tekanan intrakranial pada konduksi jantung). Operasi pada
meningioma residif, metastasis, dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan, pencetus hipovolemik, hipotensi, anemia akut yang menurunkan
CDO2 (Cerebral Delivery Oxygen).
Proteksi otak dilakukan dengan metode dasar
termasuk pengendalian jalan nafas, adekuat
oksigenasi, pencegahan hiperkarbia, pengendalian
tekanan darah, pengendalian tekanan intrakranial,
pemeliharaan tekanan perfusi otak, dan pengendalian kejang, serta farmakologik dengan obat-obat
yang diperkirakan mempunyai efek proteksi otak
(propofol, Deksmedetomidin). Cara lain dengan
hipotermi, kombinasi farmakologik dan hipotermi
tidak dilakukan. Dilakukan hiperventilasi ringan
untuk mengontrol tekanan intrakranial, aliran darah
otak, volume darah otak, dan tekanan otak. Kepala
ditinggikan atau posisi duduk akan membantu
fungsi respirasi dan sistem kardiovaskular 3.
Rencana Anestesi: Meningioma dapat tumbuh
besar tanpa gejala neurologik (silent area). Ukuran,
lokasi, tipe tumor menentukan dalam pemilihan
tehnik anestesi bedah saraf. Atipikal tumor merupakan 10-20% dari meningioma, terdiri dari
proliferasi sel yang tumbuhnya lebih cepat dan
kemungkinan untuk tumbuh kembali sesudah
pengobatan bahkan sesudah reseksi yang komplit4.
Operasi pada meningioma residif, eksisi menyeluruh beresiko terjadinya perdarahan signifikan dari
struktur sekitar dan meningiomanya sendiri karena
peningkatan vaskularisasi yang meningkatkan
aliran darah otak serta menyulitkan pelaksanaan
operasi. Kenaikan TIK membutuhkan penurunan
maksimal untuk memudahkan operasi. 3 Pemilihan
tehnik anestesi TIVA bertujuan menurunkan ADO,
menurunkan TIK, CMRO2 serta mengurangi
perdarahan akibat vasodilatasi.
Penentuan dan teknik anestesi:
Akses vaskular: dengan pertimbangan risiko
perdarahan dan emboli udara pada vena, diperlukan
untuk monitor hemodinamik dan metabolik, juga
infusi zat vasoaktif atau zat lainnya. Antisipasi
terhadap perdarahan: persiapan CVP, IV line 2-3
jalur, three way, arteri line, persiapan darah.
Resusitasi cairan: dengan tujuan normovolemia dan
normotensi hindari cairan hipoosmolar (misal
cairan ringer laktat), cairan yang berisi glukosa
untuk mencegah hiperglikemia yang akan
memperburuk iskemia serebri.
Ventilasi: Ventilasi kendali dengan tujuan
hipokapnia ringan, hiperoksia ringan, dan tekanan
intratorakal yang rendah (untuk memperbaiki
Cerebral venous return)3.
Persiapan pre operasi:
Premedikasi: Pada pasien tumor serebri tanpa
gejala kenaikan tekanan intrakranial (tidak ada
shift, dll) dapat diberikan dosis kecil dari
benzodiazepine dengan tujuan sedasi tanpa depresi
untuk mengurangi kecemasan. Sedasi diperlukan
untuk menghindari stres (kenaikan kecepatan
metabolisme otak, aliran darah otak), hipertensi
(kenaikan aliran darah otak), edema vasogenik dan
autoregulasi yang memburuk.
Sedasi dalam
berisiko terjadinya hiperkapnia, hipoksemia,
obstruksi parsial saluran nafas bagian atas,
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial.
Analgesi dan sedasi pasien geriatric (midazolam
0,5-2 mg dan atau fentanyl 50-100 mcg atau
sufentanil 5-20 mcg) diberikan dosis kecil, titrasi
dan pengawasan dokter anestesi membantu
menurunkan tingkat kecemasan dan bila diperlukan
bisa diberikan bantuan pernafasan 3.
Steroid diberikan sampai pagi hari waktu operasi
(metylprednisolon atau deksametason). Pemberian
histamin (H2) blockers dan zat gastrik prokinetik
diperlukan untuk mengantisipasi penurunan pengosongan lambung dan sekresi asam yang meningkat
oleh karena kenaikan tekanan intrakranial dan
terapi steroid, terutama pada pasien dengan
kelumpuhan saraf (IX, X) yaitu “Gag Reflex’s”
yang menurun. Obat-obatan lain: antikonvulsan,
antihipertnesi, dan obat-obat jantung diteruskan
pemberiannya walau dapat terjadi interaksi dengan
fenytoin. Antikonvulsan terapi dengan fenytoin
dosis 15 mg/kg BB diberikan lebih dari 30 menit,
ini membantu kontrol hemodinamik pada akhir
operasi3.
Mekanisme kortikosteroid pada edema serebri
yaitu: inhibisi fosfolipase A2 merupakan enzim dari
kaskade asam arakhidonat, stabilisasi membran
lisosom dan memperbaiki mikrosirkulasi peritumor.
Efek kortikosteroid untuk menurunkan edema
serebri berlangsung cepat : penurunan pada
permeabel kapiler yang akan terlihat satu jam
sesudah dosis single kortikosteroid. Ukuran tumor
dapat menurun 15% sesudah pengobatan
kortikosteroid. Umumnya digunakan deksametason
dan 6 kali lebih kuat dibanding prednison (20 mg
deksametason sama dengan 130 mg prednison)5.
Monitoring:
Monitoring hemodinamik untuk menilai CDO2 dan
adanya iskemia serebral yang ketat merupakan
dasar pada operasi bedah saraf dapat berupa
tekanan darah arteri, elektrokardiogram (EKG)
untuk mendiagnosis iskemia miokard dan aritmia.
Pulse oximetry untuk mendeteksi hipoksia sistemik,
ETCO2 untuk memonitor PaCO2 dan membantu
deteksi emboli udara pada vena. Monitoring temperatur pada esofagus atau vesika urinaria. Pemasangan kateter urine untuk monitor pengeluaran
urine. Bila terjadi emboli udara deteksi paling baik
dengan precordial doppler utrasonography, bila
bersama dengan transesophageal echocardiography paling sensitif untuk monitor gelembung udara pada sirkulasi vena.
Glukosa darah dimonitor secara reguler karena
hiperglikemia akan memperburuk kerusakan saraf
selama iskemia. Monitoring elektrolit plasma
terutama kalium dan osmolalitas terutama jika
menggunakan mannitol. Monitoring hemoglobin
dan hematokrit pada perdarahan. Monitoring SjVO2
akan memberikan informasi global tentang
adekuasi perfusi serebral dan oksigenasi. Monitoring EEG memberikan informasi tentang
kecepatan metabolisme serebral, iskemia serebral
dan dalamnya anestesia3.
Perubahan Fisiologi pada usia lanjut:
Kardiovaskular:
Pada pasien usia lanjut terjadi penurunan respon β
adrenergik dan gangguan konduksi berupa
bradiaritmi dan hipertensi. Infiltrasi fibrotik menyebabkan lambatnya konduksi ektopik atrial dan
ventrikular. Curah jantung pada orang tua tergantung mekanisme Frank-Starling. Oleh karena
itu, hati-hati pada pemberian cairan. Pada jantung
orang tua yang non compliant perubahan kecil
aliran balik akan menyebabkan perubahan besar
pada pengisian ventrikel dan curah jantung.
Cardiomegali menggambarkan adanya keterbatasan
compliant kardial. Oleh karena adanya gangguan
fungsi diastolik dan penurunan compliance
vaskular, maka pada orang tua kompensasi terhadap
hipovolemik kurang baik. Sama pada transfusi
yang berlebihan toleransinya juga kurang baik6.
Ginjal:
Terjadi penurunan aliran darah ginjal dan masa
nefron pada geriatric yang meningkatkan risiko
gagal ginjal akut post operasi6. Tingkat serum
kreatinin tetap stabil disebabkan karena penurunan
jaringan otot meskipun terjadi penurunan aliran
darah ginjal dan masa nefron. Perburukan dalam
mengatur sodium, kemampuan mengonsentrasikan
dan kapasitas pengenceran merupakan predisposisi
terjadinya dehidrasi dan kelebihan cairan serta
terjadinya perubahan nilai plasma elektrolit.
Endokrin
Keuntungan TIVA yaitu hemodinamik lebih stabil,
dalamnya anestesia juga lebih stabil, lebih dapat
diprediksi dan pemulihannya cepat, nausea dan
vomitus post operasi menurun, tidak ada polusi di
kamar operasi. Tidak toksis terhadap organ, tidak
iritasi pada jalan nafas, tidak delirium pada pasca
bedah8,9. Laju jantung lebih rendah, menurunkan
tingkat stres hormon, memelihara reaktifitas
serebro vaskular, melindungi tekanan pada telinga
tengah. Pada dosis rendah propofol dapat juga
digunakan sebagai sedasi pada pemeriksaan
radiologik atau pemeriksaan endoskopi10.
Propofol:
Perubahan endokren dapat terjadi karena proses
geriatik serta oleh proses penyakit intrakranial.
(misalnya adenoma pituitari atau oleh karena obatobatan misalnya efek glukokortikoid pada hiperglikemia dan iskemi serebral). Pada traktus
gastrointestinal (misal efek pada mukosa karena
steroid, efek pada motilitas oleh karena tekanan
intrakranial)3.
Mekanisme kerja propofol yaitu memfasilitasi
inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh GABA.
Propofol (2,6 diisopropilfenol) terdiri dari cincin
fenol dengan dua grup isopropil yang menempel.
Farmakologi:
Pada orang tua lebih sensitif terhadap zat-zat
anestesi dan umumnya membutuhkan dosis yang
lebih kecil untuk mendapatkan efek klinik yang
sama dan durasi biasanya lebih lama6.
Tabel 3. Pengaruh Anestetika Intravena pada CBF,
CMRO2 dan ICP
Obat
anestesi
Pentotal
Etomidat
Propofol
Fentanyl
Alfentanil
CBF
Menurun
Menurun
Menurun
0/ menurun
0/ menurun/
meningkat
Sufentanil 0/ menurun/
meningkat
Ketamin
Meningkat
Midazolam Menurun
CMRO2
ICP
Menurun
Menurun
Menurun
0/ menurun
0/ menurun
Menurun
Menurun
Menurun
0/ menurun
0/ menurun/
meningkat
0/ menurun 0/ menurun/
meningkat
0/ meningkat meningkat
menurun
0/ menurun
Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan
critical care: Cedera otak traumatik, hal 90.
Definisi TIVA yaitu teknik anestesi umum baik
induksi maupun pemeliharaan, zat-zat anestesi
hanya diberikan secara intravena. TIVA menjadi
lebih populer pada akhir-akhir ini karena
farmakokinetik dan farmakodinamik propofol dan
tersedianya opioid sintetik dengan lama kerja
pendek, dan juga konsep baru berdasarkan
farmakokinetik dan kemajuan teknologi komputer
sehingga kontrol anestesi secara intravena mudah
digunakan seperti teknik inhalasi7.
Gambar 4. Rumus kimia.
Efek pada serebral:
Pada pasien dengan ICP normal, propofol akan
menurunkan CMR 36%, ICP 30% dan CPP 10%.
Reaktifitas serebral terhadap CO2 dan autoregulasi
dipelihara selama infusi propofol. Sesudah injeksi
bolus propofol dapat menurunkan tekanan darah
sehingga CPP menurun. Propofol sebagai proteksi
otak terbatas pada iskemik ringan. Untuk iskemik
sedang dan berat propofol tidak sebaik barbiturat
dalam hal proteksi otak1,11.
Propofol akan menurunkan CBF dan ICP. Pada
pasien dengan ICP yang meningkat, propofol dapat
menyebabkan penurunan CPP sampai kurang dari
50 mmHg jika tidak dibantu dengan perbaikan
MAP. Propofol dan tiopental mempunyai sifat yang
sama dalam hal proteksi otak selama iskemia fokal.
Propofol juga mempunyai sifat anti pruritus. Efek
antiemetik (konsentrasi propofol dalam darah 200
ng/ml), maka lebih disukai untuk pasien
ambulatori. Pada waktu induksi kadang-kadang
disertai dengan fenomena eksitasi misal twicing
otot, pergerakan spontan, epistotonus, hikap oleh
karena antagonis glisin subkortikal. Walaupun
reaksi ini kadang-kadang menyerupai kejang tonikklonik, propofol lebih menonjol sebagai antikonvulsan, digunakan untuk terminasi status
epileptikus, aman diberikan pada pasien epilepsi.
Propofol menurunkan tekanan intraokular11.
Deksmedetomidin:
Mekanisme kerja:
Deksmedetomidin adalah selektif 2 agonis, sedatif
lebih selektif terhadap reseptor 2 daripada
klonidin. Pada dosis yang lebih tinggi akan hilang
selektifitasnya dan stimulasinya pada reseptor 
adrenergik11,12.
Penggunaan klinik:
Tergantung dosis deksmedetomidin menyebabkan
sedasi ansiolisis dan analgesia dan kurangnya
respon simpatik terhadap pembedahan dan stres.
Yang utama adalah menurunkan kebutuhan opioid,
tidak menyebabkan depresi respirasi secara
signifikan, sedasi, tetapi dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas. Digunakan untuk waktu yang
pendek (<24 jam) sedasi intravena pada pasien
dengan ventilasi mekanik. Pada penghentian
sesudah pemakaian lama, potensial menyebabkan
fenomena with drawal sama seperti klonidin,
manifestasinya dapat terjadi krisis hipertensi.
Deksmedetomidin juga digunakan sebagai sedasi
untuk tambahan pada anestesi umum11,12.
Efek samping:
Pada prinsipnya efek samping berupa bradikardi,
blok jantung dan hipotensi11.
Dosis:
Untuk dosis permulaan 1 µ/kg intravena diberikan
lebih dari 10 menit, kecepatan infus untuk
pemeliharaan 0,2 – 0,7 µ/kg/jam. Mula kerja cepat,
waktu paruh terminal 2 jam. Metabolisme di hepar,
metabolit akan dieliminasi lewat urine. Dosis
diturunkan pada gangguan fungsi ginjal atau
perburukan hepar11.
Interaksi obat:
Hati-hati pada pasien yang memakai vasodilator,
obat-obat depresi jantung dan yang menurunkan
laju jantung. Diperlukan penurunan obat-obat
hipnotik/zat anestesi untuk mencegah hipotensi
berat11.
Narkotik:
Efek narkotik pada CBF sulit untuk digolongkan
secara akurat karena laporan penelitian eksperimental yang bertentangan. Dosis kecil narkotik
mempunyai efek kecil pada CBF dan CMRO2,
sedangkan dosis besar secara progresif menurunkan
CBF dan CMRO2. Autoregulasi dan reaktivitas
terhadap CO2 tetap dipertahankan 13.
Pada umumnya sedikit sekali efeknya pada CBF
dan CMRO2, tetapi opioid sintetis termasuk
fentanyl, sufentanil dan alfentanil dapat menyebabkan kenaikkan ICP pada pasien tumor otak dan
cedera kepala13.
Pengaruh pada dinamika CSF terlihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 4. Pengaruh narkotik pada Laju Pembentukan
CSF, Resistensi Reabsorpsi CSF, dan ICP
Narkotik
Fentanyl, alfentanil, dan
sufentanil (dosis rendah)
Fentanyl (dosis tinggi)
Alfentanil (dosis tinggi)
Sufentanil (dosis tinggi)
Vf
Ra
0
-
Prediksi
efek pada
ICP
-
0
0
0,+*
0
+,0*
-,?*
0
+,0*
Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan
critical care: Cedera otak traumatik, hal 93.
Keterangan: Vf = kecepatan pembentukan CSF; Ra =
resistensi terhadap absorpsi CSF;ICP = intracranial
pressure/tekanan intrakranial 0= tidak ada perubahan, - =
menurun, * = efek tergantung dari dosis, ?= tidak tentu.
Pada dosis kecil, fentanyl, alfentanil, dan sufentanil
menyebabkan tidak ada perubahan pada Vf dan ada
penurunan pada Ra dengan prediksi terjadi penurunan ICP. Pada dosis tinggi, fentanyl menurunkan Vf,
tidak ada perubahan atau ada peningkatan dari Ra
dengan prediksi akan menurunkan ICP atau efeknya pada ICP tidak menentu. Pada dosis besar,
alfentanil tidak menimbulkan perubahan pada Vf
dan Ra dengan efek pada ICP yang tidak dapat
diprediksi. Dosis besar sufentanil tidak menimbulkan perubahan pada Vf dan tidak ada perubahan
atau peningkatan pada Ra, dan diprediksi pengaruhnya pada ICP tidak berubah atau meningkat13.
Pada kebanyakan keadaan, narkotik tidak menimbulkan perubahan atau sedikit menurunkan ICP.
Akan tetapi, pada keadaan tertentu narkotik dapat
meningkatkan ICP, misalnya pemberian bolus
sufentanil dapat menimbulkan peningkatan ICP
yang selintas tapi besar pada pasien dengan cedera
kepala berat. Demikian juga, pemberian bolus
sufentanil dan alfentanil meningkatkan tekanan
CSF pada pasien dengan tumor supratentorial, hal
ini karena autoregulasi yang menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serebral akibat penurunan
MAP. Jadi, bila narkotik diberikan pada pasien
bedah saraf, harus diberikan dengan syarat jangan
terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba13.
Antagonis narkotik yaitu naloxon, bila diberikan
secara titrasi, mempunyai efek yang kecil pada
CBF dan ICP. Bila diberikan dengan dosis besar
untuk me-reserve efek narkotik, pemberian naloxon
dapat menimbulkan hipertensi, aritmia jantung, dan
perdarahan intrakranial13.
Penderita usia 68 tahun maka dalam pembiusan
harus hati-hati, dimana dosis obat-obat yang
digunakan lebih kecil dari dosis normal.
Pre operasi:
Pasien geriatrik, foto torak kardiomegali, kongesti
paru. Ekokardiografi menunjukkan hipertrofi,
hipertropi eksentrik mengarah pada fungsi jantung
yang tidak baik. Adanya kongesti paru mempengaruhi fungsi ventilasi paru. Gangguan fungsi
paru dan jantung ini tentunya akan mempengaruhi
luaran operasi. Inform consent pada keluarga,
menerangkan bahwa ini merupakan operasi
meningioma residif dengan resiko besar terjadinya
perdarahan. Dipasang IV line 3 jalur dengan jarum
no.18, three way untuk pemberian cairan secara
cepat. Darah tersedia PC 535 ml, FFP 534 ml. CVP
dan arteri line tidak dipersiapkan karena keterbatasan sarana.
Persiapan optimal yang sudah dilakukan: obat-obat
yang akan digunakan untuk TIVA yaitu propofol,
fentanyl, deksmedetomidin, vekuronium. Alat-alat:
syring pump, serta pemasangan monitoring NIBP,
saturasi, stetoskop prekordial.
Durante operasi:
Selama operasai dipergunakan teknik TIVA pada
pasien ini yaitu dengan propofol, dexmedetomidine,
dan fentanyl, dimana sifat dari propofol yaitu
menurunkan aliran darah otak, tekanan intrakranial
dan kecepatan metabolisme otak, waktu paruhnya
sekitar 2-8 menit sehingga bangunnya cepat.
Sedangkan dexmedetomidine sifatnya yaitu sedatif,
analgesik dan menurunkan kebutuhan opioid.
Fentanyl sifatnya menurunkan konsumsi oksigen
serebral, aliran darah serebral dan tekanan
intrakranial. Jadi bila diberikan secara bersamaan
akan menghasilkan anestesi yang adekuat dan
kondisi operasi yang optimal (misal rendahnya
aliran darah otak, laju metabolisme otak, tekanan
intrakranial, dan minimal brain bulk), proteksi
neurologis dan cepat bangun dari anestesia
sehingga dapat lebih cepat dalam pemeriksaan
neurologis. Hemodinamik stabil selama 10 jam
operasi, (MAP), diakir operasi relative terjadi
penurunan TDS, MAP serta peningkatanan laju
nadi.
Komplikasi:
Beberapa saat setelah induksi tekanan darah
meningkat, kemungkinan karena dosis obat yang
belum mencukupi sehingga kemungkinan akan
menyebabkan kenaikan
penurunan perfusi otak.
tekanan
intrakranial,
Selama operasi terjadi perdarahan dimulai kurang
lebih 5 jam dari awal operasi. Ketika perdarahan
mulai meningkat dosis obat-obatan ini diturunkan,
deksmedetomidin dihentikan, transfusi dimulai
ketika perdarahan lebih dari 500 ml. Persediaan
darah PC 535 ml, FFP 534 ml, dengan perkiraan
cukup untuk mengatasi perdarahan.
Perdarahan tidak terkontrol, diputuskan untuk
mengakiri operasi dengan menutup kembali medan
operasi. Pada jam-jam akir operasi menunjukkan
gejala yang khas penurunan tekanan darah diikuti
dengan kenaikan laju jantung yang merupakan
karakteristik hipovolemia pencetus hipoksemia/
iskemia serebri.
Pada keadaan ini sebaiknya dipergunakan CVP,
periksa rasio Hb:Ht dan terpasang arteri line untuk
penilaian yang lebih akurat sebagai pedoman
resusitasi cairan mengingat keterbatasan fungsi
jantung dan paru. Pada kasus hipovolemia untuk
meningkatkan CDO2 perlu perbaikan volume
intravaskular terlebih dahulu sebelum mempergunakan inotropik.
Post operasi:
Hemodinamik yang tidak stabil dengan kenaikan
laju nadi, penurunan MAP dan tekanan darah
sistolik menunjukan keadaan hipovolemia yang
belum terkoreksi, support dopamine, norepinephrin
akan memberi perbaikan ketika status intravaskuler
tercukupi dan adanya masalah kontraktilitasnya
yang memadai. Nilai Hb post operasi 2 g%
(transfusi darah PC 535 ml, FFP 534 ml) dari 15.2
gr% menunjukan perdarahan yang hebat.
Pemberian Transfusi WB 1000 ml, FFP 356 ml (Hb
post transfusi 11g%) post operasi hanya memperbaiki intravascular volume, tidak langsung memperbaiki CDO2 secara maksimal. (Hb transfusi
akan mengikat oksigen 24 jam post transfusi). Hal
ini yang mendukung dengan Hb 2gr% iskemia otak
telah terjadi selama durante operasi. Kejadian
iskemia otak durante operasi berlanjut post operasi
hari pertama yang ditandai dengan ketidakstabilan
hemodinamik serta terapi yang tidak berorientasi
dengan optimalisasi CDO2 = CBF x CaO2 .
Penyulit lain dalam memelihara CDO2 (Cerebral
delivery oxygen): tetap terjadinya perdarahan
sampai akir operasi, pasien tua, keterbatasan fungsi
jantung dan paru, pengembalian tulang kepalapenutupan operasi sebelum teratasinya sumber
perdarahan mempengaruhi komplient intracranial
pencetus edema serebri dan kenaikan tekanan
intracranial serta pengaturan ventilasi mekanik
yang tidak dilakukan dengan mengacu parameter
ventilasi (PaO2 , PaCO2 , pH, AaDO2), dan
parameter perfusi (tekanan darah sistolik/diastolik,
laju nadi, MAP), kesemuanya tersebut akan memperburuk keadaan. Ini terbukti dari pemeriksaan
MSCT post operasi; adanya edema berat, perdarahan intraserebral kontralateral serta pneumosefalus,
obstruksi hidrosefalus, SAH, serta midline shift 16
mm.
Tidak teratasinya masalah perdarahan, keterbatasan
tatalaksana post operasi, keterbatasan sarana
monitoring di ICU mempunyai peran terjadinya
cedera sekunder mengikuti cedera primer yang
terjadi menyebabkan resusitasi otak ataupun
proteksi otak dengan basic methode, farmakologi
tidak bermanfaat, iskemia otak selama akir operasi
berlanjut dengan ditandai adanya dilatasi pupil,
refleks cahaya negatif menunjukkan adanya
iskemia batang otak awal kematian batang otak
pada hari ke-2.
3.
Bruder N, Ravussin PA.Supratentorial masses:
Anesthetic considerations. Dalam: Cottrell and
Young’s NEUROANESTHESIA 5th ed;
Philadelphia: Mosby Ersevier, Inc: 2010,18896.
4.
Colombaris S, Imhoff E, Donald. Meningioma.
NOMOS Radiation Oncology 2006.
5.
Kaal ECA, Vecht CJ. The management of
brain edema in brain tumors. Current Opinion
in Oncology 2004;593-9.
6.
Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for
the elderly. Hippokratia 2007;11(4):175-177.
7.
Mani V, Morton NS. Overview of Total
Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric
Anesthesia 2009;20:2011-22.
8.
Joshi S, Yadau R, Malla G. Initial Experience
with Total Intravenous Anesthesia with
Proposal for Elective Craniotomy.
Nepal
Journal of Neuroscience 2007;4:67-9.
9.
Lerman J. TIVA, TCI and paediatrics-Where
are and where are we going? Pediatric
Anesthesia 2009;1-6.
IV. Simpulan
Perubahan fisiologi pada pasien geriatrik umumnya
karena kemunduran fungsi organ. Adanya,
kardiomegali, kongesti paru pada pasien geriatric
tersebut berkaitan dengan keterbatasan ventilasi,
perfusi serta CaDO2. yang meningkatkan resiko
Resiko perdarahan pada meningioma sering terjadi.
Operasi residif meningioma meningkatkan resiko
perdarahan dibanding operasi pertama. Antisipasi
terjadinya perdarahan dengan melakukan pemasangan : IV line 3 jalur, three way. Karena
keterbatasan monitoring perioperatif: AGD, CVP,
arteri line tidak dilakukan. Dilakukan teknik Total
Intra Venous Anestesi, selama operasi menunjukan
kestabilan hemodinamik terpeliharanya MAP 90 100 mmHg untuk memelihara CPP. Tidak
terangkatnya masa tumor serta perdarahan yang
tidak terkontrol mendasari diakirinya operasi.
Penanganan post operasi dengan tetap terjadinya
perdarahan, brain proteksi resusitasi dalam
keterbatasan menyebabkan injury yang terjadi akir
operasi berlanjut post operasi dengan ditandainya
iskemia batang otak yang berakir dengan kematian.
Daftar Pustaka
1.
Cole CD dkk. Total Intravenous Anesthesia:
Advantages
For
Intrakranial
Surgery
Neurosurgery 2007;61:369-78.
2.
Hill L, Gwinnutt C. Cerebral Blood Flow And
Interacticranial Preassure.
10. McCormack JG. Total Intravenous Anaesthesia
in Children. Current Anaesthesia & Critical
Care 2008;1-6.
11. Morgan GE, Jr, Mikhail MS, Murray MJ.
Nonvolatile Anesthetic Agents. Dalam:
Clinical Anesthesiology. 4th ed; New York:
The Mc Grow Hill Companies: 2006,192-202.
12. Mani V, Morton NS. Overview of Total
Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric
Anesthesia 2009;1-11.
13. Bisri T. Anestesi Pada Pasien dengan Cedera
Kepala Akut. Dalam: Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak
Traumatik. Cetakan 1; Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran 2006,8894.
Download