PROGRESS JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK Nomor : 31/Th XIII.JunV2008 ISSN:053-6678 1. Skategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Masyarakat Pada Sektor Pelayanan Publik 1 Djoko Lelono 2. Posisi Gubemur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Di Daerah Dalam Perspektif Politik Lokal ( Haruskah dipilih Presiden atau Dipilih Rakyat Anwar ) 3. Peranan Komunikasi Kinesik Dinas . ............. 13 dan Proksemik Dalam Rapat 21 Hasan Basri 4. Konsepsi Birokrasi Antara Idealisme dan 5. Melacak Jejak Di Perlintasan Komunikasi Abdul Firman Ashaf& Ari 6. Realitas 30 Rusdan : Tradisi Biologi Dalam Kajian 40 Junaedi Pemanfaatan Energi Angin Sebagai Energi Terbarukan 48 Samsuar 7. .Membangun Good Corporate Governance di BUMN Hi. Achmad Zahruddin 57 8. Analsis Risk dan Return Pada Saham Biasa (Common Stock) PT. Alfa Retailindo, Tbk. Dengan Menggunakan Capital Asset Princing Model Periode 2004 - 2007 63 Soewito dan Diah Ay'u Ciptaning 9. Ruang Publik Politis Tabhita Carolina FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LINIVERSITAS TULANG BAWANG (UTB) LAMPUNG BANDARLAMPUNG 76 PROGRESS Pelindung / Penasehat Rektor UTB Lampung Pemimpin Umum Drs. Pirhan Ismar, MM. Ketua Penyunting Drs. Rusdan, M.Si Anggota penyunting 1. Drs. Djoko Lelono, MM 2. Drs. Hi. Achmad Zahruddin, MM 3. Drs. Hi. Achmad Mulyono, 4. Drs. Soewito, MM 5. Drs, Hasan Basri, M.Si 6. Drs. Soebandryo 7. Drs. Fachruddin,TA Penyunting Pelaksana 1 Suhaimi, S.Sos 2. Anwar, S.Sos Tata Usaha Rosidah S.Sos. MII 76 RUANG PUBLIK POLITIS Oleh : Thabita Carolina itu di dalam masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia. I. Pendahuluan konsep klasik Dalam demokasi maksimal konsep ruang publik menduduki tempat sentral. Bila demokrasi tidak sekadar diPahami formalistis, ia harus memberikan II. Pembahasan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafor4 melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan Hannah Arend! suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya" di hadapan suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita" menjadi mungkin. Daiam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik Yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modem meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini. Ide tentang ruang publik politis dapat menjelaskan relevansi A. Makna dari ruang putrlik politis Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat" dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menj adi semakin sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi" tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutifi legislatil dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas. Jika interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi baik dan kedaulatan rakyat adalah satu dan sama. Konsep ruang publik politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era globalisasi ini. 17 Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisikondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (1). Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas? Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu. Kedu4 semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka. Ketig4 harus ada aturan bersama yang melindurigi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatny4 ruang publik politis harus "inklusif', "egaliter", dan "bebas tekanan" (2). Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun. Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara. Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar aaupun negara. Kebanyakan seminar. diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis. partai. atau organisasi intemasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif': ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan mang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi. dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya. Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokasi di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPRiMPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktor-aklor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah 78 para aktor dalam ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan; dan menyuarakan keraskeras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat (3). Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal. dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale. Negara Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan rakyat menarik kembali Iegitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun yang Janngan menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya: rakyat. dan "legalitas" (struknu hukum dan hak- Dalam negara hukum demokatis, ruang hak dasar) (4). publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sensor peka yang B. Fungsi ruang publik politis Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik dengan alasan pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis. Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik, sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif. Masih basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden terjadi kor setuju yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda pendapat. Aklamasi menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi problem sosic-politis. Melampaui itu, kedua" ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, lembaga swadaya masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyrban etnis, kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak Iainnya dalam ruang publik memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara. Ruang publik berfungsi baik secara politis secara "transparan" memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena. Transparansi itu hanya jika 7g mungkin jika ruang p'rblik tersebut otonom di hadapan kuasa birokatis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di masyarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di hadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Tanpa memenuhi tr.mtutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi "ekstensi" pasar dan negara belaka. Tentu sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk mengancam hak-hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang setiap upaya merepresi kelompokkelompok minoritas dan marjinal. Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh civic courage dut civic friendship yang tumbuh di antara \{arga negara. Ini tampak, misalnya, dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan, atau menayangkan berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya, tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun birokrasi: dalam gerakan pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga yang memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang publik autentik. Tipe kedua-"ruang publik tak autentik"- ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan adalah kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk kebunrhannya. Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita (s). memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertam4 para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang Tipe pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horizontal, inklusii dan diskursif. Para alrtor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong reformasi adalah contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahimya ruang publik politis di negeri kita. Para aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menj alankan kesehariannya. Setelah gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun 1998, ruang publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan birokrasi. Menumbuhkan ruang publik berarti tidak hanya multiplikasi ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol kiprah para pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari budaya bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke 80 partisipasi politis, dari watak massa ke komunitas. Di dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat berfungsi secara benar dalam ruang publik politis jika otonom tidak hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan yang dapat memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin lepas sama sekali dari para aktor tipe kedua, tetapi ia dapat dan seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang mencermilkan kepublikan seluas-luasnya. C. Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan sistem politik. Model diskursivitas antara ruang publik dan sistem politik dapat menjelaskan itu. Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalarn berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sarna lain, dari yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan pubiik tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacarn itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tak ada. Sudah dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka kanal- kanal komunikasi politis dalam masyarakat majemuk, Sementara dalam revolusi bisa saja sistem negara berubah, dalam reformasi sistem negara hukum yang telah ada diradikalkan secara komunikatif. Reformasi tak lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara sistem politik (eksekutif, legislatil dan ludikatif) dan ruang publik politis. Menurut Habermas, negara hukum modem berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intensif antara luang publik dan sistem politik (6). Habermas, menurut hemat saya, berhasii menjelaskan suatu persoalan besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam rnasyarakat kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban, minoritas, dan Di sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur demokratis: filter dalam ruang publik politis itu sendiri dan filter sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini publik jika lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja dimanipu)asi ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi opini macam itu tetap akan dipersoalkan autentisitasnya selama publik tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya. Segala yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intim jdasi-jika pcnguj ian publik dibuka-tidak dapat dihilung sebagai opini publik. Tentu saja manipulasi dan intimidasi bisa sangat teranoang secara sistemis, seperti misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang selama rezim teror itu dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan terbukti sebagai manipulasi. Tidak dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis ikut bermain menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik politis itu. Tidak hanya ada figur-figur berpengaruh, melainkan juga lembagalembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun, sekali lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini yang dipengaruhi oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik. Kita menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa dibasmi jika publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan rahasia-menyembunyikan diri dari sorotan publik. Rapat atau longgamya fi1ter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik itu sendiri. Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam masyarakat itu mengembangkan filtemya. Koran-koran yang provokatif memang dibiarkan, tetapi jika provokasi politis dikenali sebagai provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah mencari sensasi berimigrasi ke bidang-bidang mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri. Perjuangan mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu opini publik masuk ke dalam filter sistem politik. Daiam sistem politik terdapat juga suatu publik. Publik di sini memiliki kualitas berbeda daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang terakhir ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses mereka dalam pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden, kabinet, lembaga ludikatif, dan seterusnya. Filter sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan produk perundang-undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari hasil komunikasi politis sebelumnya antara ruang publik politis dan sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga tidak boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang masuk ke dalam filter itu dan meraih mayoritas di dalam sistem legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik: produk hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang bersifat resmi. akan lain, misalnya seni. gal a hidup. atau erotisme. IIL Penutup Jika publik itu cerdas, akan terj adi seleksi rasional di anlata argumen-argumen dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan Suatu masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat kita sebut sebagai masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat juga. Suatu masyarakat yang memiliki gairah demokatisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya lemah, tak akan sanggup 82 menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk memaksakan kehendaknya. Ini te{adi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu sistem politik yang otonom dari masyarakatnya dan cenderung berjalan menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang publik politis itu. Ini terj adi dalam totalitarianisme. Sebuah negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih sumber loyalitas dan legitimitasnyaPemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan yang Daftar Pustaka Habermas, J, Strukturwandel der Oeffenlichkeit, STW, Frankfufi aM, 1990 Budi Hardiman, F, Demokratie als Diskurs, Munich, 1996 mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakal sipil dalam ruang publik politis. Ide tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat merekonstruksi konsep klasik tentang kedauiatan rakyat. Kedaulatan ralfat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi massa untuk memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum demokratis batas-batas antata negata dan masyarakat harus dihormati, tetapi batas-batas itu tidak boleh dijaga terlalu kaku. Respek terhadap batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai upaya-upaya untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya. Pemahaman tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokasi langsung. Jika kita menerima ide ruang publik politis, kita harus menerima suatu demokrasi rePresentatif sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam negara-negara hukum modem. Namun, model demokrasi representatif itu berada dalam kontrol publik dengan j aringan-j aringan kerjanya. Kontrol publik lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan sistem politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat majemuk. J, Faktizitaet und Geltung, Shurkamp, Frankfrt aM, 1992 Habermas, Habermas, J, Strukturwandel der Oeffentlichkeit, STW Frankfuft aM, 1990