5 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban) Botani Tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban) mempunyai sinonim Hydrocotyle asiatica L. Pes, yang berasal dari Asia Tropik dan dikelompokkan kedalam golongan tanaman Dicotyledonae, famili Umbelliferae atau Apiaceae (Heyne 1987). Pegagan berdasarkan klasifikasi taksonomi (Lembaga Biologi Nasional 1980) termasuk kedalam: Divisi : Spermatophyta sub-divisi : Angiospermae kelas : Dicotyledonae ordo : Umbillales famili : genus : Centella spesies : Centella asiatica (L). Urban, Hidrocotyle asiatica Linn Umbilliferae (Apiaceae) Nama daerah atau lokalnya adalah pegagan (Jakarta), antanan (Sunda), daun kaki kuda (Sumatra), tikusan (Madura), taiduh (Bali), kori-kori (Halmahera), gagan-gagan atau panigowang (Jawa), pegaga (Aceh), pegago (Minaokabau), dogauke atau sandanan (Irian), gogauke (Papua), kalotidi manora (Maluku), bebile (lombok) (Depertemen Kesehatan Republik Indonesia 1989, Santa dan Bambang 1992; Lasmadiwati et al. 2004). Selain di Indonesia pegagan juga dikenal di India dan Sri Lanka dengan nama Gotu Kola dan di Cina dikenal dengan nama Ji Xue Cao yang digunakan untuk memperpanjang umur menurut kepercayaan masyarakat di Cina. Di negara Perancis dikenal dengan nama Bevilaque, Hydrocote d’Asie, Cotyiole Asiatique dan sudah ditetapkan sebagai tanaman obat sejak tahun 1884. Di berbagai negara pegagan sudah secara turun temurun digunakan sebagai obat tradisional untuk berbagai jenis penyakit (Winarto dan Surbakti 2005). 6 Tanaman pegagan merupakan herba menahun tidak berbatang dengan akar rimpang pendek serta akar merayap (menjalar) stolon panjang bisa mencapai 2.5 m (Van Steenis 1997, De Padua et al. 1999). Akar terdapat pada buku yang menyentuh tanah akarnya tunggal bercabang-cabang sedangkan akar serabut tumbuh pada buku-buku stolon (geragih). Daun tunggal letak basalis atau roset dengan 2-10 daun. Bentuk daun seperti ginjal (reniformis) ukuran 2-5 x 3-7 cm tangkai dan daun tegak panjang 9 - 17 cm bagian tangkai daun berlubang. Tepi daun bergerigi 1 - 7 cm dan kadang-kadang berambut (Wijayakusuma et al. 1994). Pangkal tangkai daun melengkuk ke dalam dan melebar seperti pelepah. Tulang daun menjari (palmitus). Daun berwarna hijau dan hijau muda. Bunga putih atau merah muda berbentuk payung tunggal atau 3-5 bunga secara bersama keluar dari ketiak daun (Wijayakusuma et al. 1994), buah bertipe schyzorcapium, berwarna kuning coklat atau merah muda kuning, berbelah - berbeluk dua (Van Steenis 1997; Santa dan Bambang 1992; De Padua et al. 1999). Manfaat Pegagan merupakan sayuran yang disukai di beberapa negara-negara di Asia Tenggara (kecuali Philipina) dan juga di Sri Langka. Daunnya; rasanya agak pahit bisa dimakan mentah atau dimasak. Di Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos daun-daun pegagan banyak dikonsumsi dalam bentuk jus sebagai minuman. Namun pegagan lebih terkenal sebagai sayuran dan bahan minuman karena berkaitan dengan kandungan senyawa obat didalamnya (De Padua et al. 1999). Tanaman pegagan termasuk herba yang berkhasiat sebagai anti infeksi, anti racun, anti rematik, penghenti pendarahan, peluruh kencing, pembersih darah, memperbanyak pengeluaran empedu, pereda demam, penenang, mempercepat penyembuhan luka dan melebarkan pembuluh darah. Bagian tanaman yang dapat dikonsumsi sebagai sayuran adalah daun, sedangkan yang berfungsi untuk obat adalah seluruh bagian tanaman kecuali akar (Dalimartha 2000). Daun pegagan juga dapat berfungsi sebagai aromatik namun aromanya akan cepat menghilang seiring dengan proses pengeringannya (Wren 1956). Pegagan rasa manis bersifat mendinginkan atau menyejukkan berfungsi membersihkan darah, antilepra, antiradang, antibakteri, antialergi, tonikum, melancarkan peredaran darah, 7 penurunan panas (antipiretika), menghentikan perdarahan (haemostatika), meningkatkan syaraf memori dan hiposensitif (Winarto dan Surbakti 2005). Kandungan asiatikosida membuat pegagan berfungsi sebagai antiinflamasi sehingga dapat diolah menjadi bahan baku salep untuk mengobati luka (Lasmadiwati et al. 2005). Pegagan bermanfaat sebagai tanaman obat karena mengandung komponen fitokimia seperti: triterpenoid, saponin, flavonoid, tanin, steroid dan glikosida. Zat aktif yang terdapat dalam pegagan adalah antara lain asiatikosida, asiatic acid, madekasid dan madekasoid (golongan triterpenoid), sitosterol dan stigmasterol (golongan steroid) dan vallerin, brahmosida (golongan saponin). Kandungan kimia yang terdapat pada pegagan yang lain yaitu asiaticoside, thankuniside, isothankuniside, madecassoside, brahmoside, brahminoside, brahmic acid, madasiatic acid, meso-inositol, centelloside, carotenoids, hydrocotylin, vellarine, tanin serta mempunyai kandungan garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium dan besi mengandung fosfor, minyak atsiri (1%), pektin (17.25%), asam amino dan vitamin (Santa dan Bambang 1992; Kusuma et al. 1994; Lasmadiwati et al. 2004) Adaptasi/Lingkungan Tumbuh Tanaman pegagan beradaptasi cukup luas ini terbukti mudah tumbuh di berbagai tempatnya cocok. Pegagan menyukai lingkungan yang lembab, cukup sinar matahari atau agak terlindung, tumbuh baik di dataran rendah pada ketinggian sekitar 700 m dpl dan dapat tumbuh pada daerah sampai dengan ketinggian 2500 m dpl (Dalimartha 2000). Januwati dan Yusron (2005) melaporkan bahwa ketinggian tempat optimum untuk tanaman pegagan adalah 200 – 800 m dpl, akan tetapi diatas 1000 m dpl produksi biomas rendah, sebaliknya kandungan asiatikosida diduga lebih tinggi. Secara empiris tanaman pegagan mempunyai syarat tumbuh spesifik dalam kebutuhan intensitas cahaya sehingga, yang akan mempengaruhi bentuk morfologi anatomi daun dan kandungan bioaktifnya (Musyarofah 2006). Tanaman pegagan memiliki pertumbuhan roset dimana daun - daunnya tumbuh secara radial sangat rapat 8 dengan sesama daun lainnya, oleh sebab itu tidak memungkinkan pertumbuhan daun di bawahnya lebih baik. Pegagan tidak tahan terhadap tempat terlalu kering, curah hujan tinggi, intensitas cahaya 30 – 40 % dan dapat tumbuh di semua jenis tanah. Pada jenis tanah Latosol dengan kandungan liat sedang dapat tumbuh subur dan kandungan bahan aktifnya cukup tinggi (Januwati dan Yusron (2005). Sedangkan pada jenis tanah Andisols di dataran tinggi belum banyak diketahui respon pertumbuhan dan produksinya. Hara Fosfor (P) dan Tanah Andisols di Dataran Tinggi Pada umumnya, fungsi P pada tanaman dapat digolongkan dalam tiga bagian. Fungsi pertama adalah sebagai penyusun makromolekul. Dua contoh utama atau terpenting dari makromolekul yang melibatkan P adalah senyawa yang berperan dalam pewarisan sifat dan perkembangan tanaman. Pada biomembran P membentuk ikatan atau jembatan antara digliserida dan molekul lainya seperti asam amino, amina, atau alkohol, membentuk fosfatidilikolin (lesitin) yang menjaga intergritas membran. Fungsi Kedua adalah sebagai unsur pembentuk senyawa penyimpan dan perpindahan energi. Dua senyawa kaya energi yang paling umum adalah ATP dan ADP. Energi dalam ATP/ADP terletak pada ikatan pirofosfat yang pemecahan akan melepaskan energi, yang dikenal proses fosforilasi. ATP merupakan sumber energi untuk hampir semua proses biologi membutuhkan energi. Unsur P seperti halnya diperlukan dalam proses fotosintesis yakni pada fotofosforilasi dan pembentukan ribulosa 1.5-bifosfat. Fungsi ketiga P adalah sebagai regulator reaksi biokimia malalui fosforilasi yang dapat mengaktivasi atau inaktivasi protein yang diangap sebagai faktor dalam transduksi sinyal (Marschner 1995). Secara singkat bahwa pengaruh faktor lingkungan (air, suhu dan cahaya) selanjutnya tanah dan hara berpengaruh langsung dan tidak langsung pada produksi bahan kering, rasio tanaman dan kandungan bioaktif terhadap produksi bioaktif. Fosfor termasuk hara makro dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak seperti halnya N, K, Ca, Mg dan S. Kadar P di dalam tanaman 0.1 – 0.4 % lebih rendah dari kadar N dan K (Tisdale et al. 1985). Fosfor merupakan salah satu unsur hara yang memiliki peranan cukup penting dalam pertumbuhan tanaman 9 selain nitrogen dan kalium (Soepardi 1983). Sebagian besar P terdapat pada kerak bumi. Mineral utama yang mempunyai kadar P tinggi adalah apatit. Mineral ini merupakan persenyawaan karbonat, flour, klor atau hidroksi apatit yang mempunyai kadar P2O5 antara 15-30 % dan tidak larut dalam air. Dengan adanya proses pelapukan mineral apatit akan mengalami perubahan yang kemudian akan membebaskan P dalam ikatan Ca-P. Selanjutnya akan diperoleh bentuk Al-P dan Fe-P dalam tanah yang jumlahnya tergantung dari tingkat hancuran iklim (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Fosfor dalam tanah dibedakan atas P-inorganik dan P-organik. Jumlah dari kedua bentuk ini disebut P-total (Leiwakabessy 1988). Pada lapisan olah kadar Porganik untuk tanah mineral lebih tinggi dari lapisan di bawahnya karena adanya penimbunan bahan organik (Tisdale et al. 1985). Fofor dalam tanah ada empat bentuk yaitu: (1) terlarut dalam air (H2PO4-. HPO42-. dan PO43-), (2) terjerap oleh liat (ristensi P), (3) terfiksasi dan/atau termobilisasi dan (4) P-organik (Rosmarkam dan Yuwono 2001) dan Lagreid et al. (1999). Sebaliknya Leiwakabessy (1988) melaporkan bahwa ion fosfat dalam larutan tanah yang berasal dari mineral primer maupun dari bahan organik dan pupuk segera diubah menjadi berbagai bentuk tergantung dari keadaan lingkungan. Pergerakan hara P didalam tanah diserap oleh akar melalui proses difusi yang didasarkan pada perbedaan konsentrasi unsur hara yang berada pada suatu tempat dengan tempat yang lain di dalam bentuk larutan tanah. Penyerapan P oleh tanaman dari tanah adalah penyerapan aktif karena melawan gradien konsentrasi (Clarkson dan Grignon 1991). Pergerakan ion fosfat menuju akar tanaman terdiri dari dua cara yakni aliran massa dan difusi (Tisdale et al. 1985). Kadar P larutan tanah di luar sel akar umumnya hanya 1 µM atau kurang. sedangkan kadar dalam sitoplasma adalah 103 sampai 104 lebih tinggi. Fosfor yang diserap tanaman tidak mengalami reduksi akan tetapi tetap dalam bentuk oksidatif tertinggi (Marschner 1995). Setelah diserap fosfat dapat tetap sebagai P inorganik atau teresterifikasi (melalui gugus hidrosil) dengan rantai karbon (C-OP) sebagai ester sederhana (gula P) atau terikat dengan P lainnya dengan ikatan pirofosfat kaya energi (ATP, ADP) atau diester (C-P-C). 10 Tanaman menyerap unsur hara fosfor dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-) dan ion ortofosfat sekunder (HPO42-) atau fosfor diserap terutama dalam bentuk ion bervalensi tunggal H2PO4- dan kadang dalam bentuk ion bervalensi dua HPO42- (Gardner et al. 1991). Menurut Tisdale et al. (1985) kemungkinan fosfor masih dapat diserap dalam bentuk lain yaitu pirofosfat dan metafosfat. Mekanisme yang terjadi setelah P diserap oleh akar, mula-mula diangkut ke daun muda, kemudian dipindah ke daun yang lebih tua. Sebagian besar ester fosfat merupakan senyawa intermediet dalam mekanisme sebagai biosintesis ataupun pemecah (Morard 1970 dalam Rosmarkan dan Yuwona 2002). Perubahan fosfor di akar tanaman dibedakan menjadi tiga fase; pertama adalah perubahan P anorganik yang baru diserap tanaman menjadi bentuk senyawa organik. Kedua adalah perubahan P dari ATP (Adenosin Trifosfat) menjadi ADP (Adenosin Difosfat). Ketiga adalah pemecahan dari pirofosfat atau fosfat secara hidrolisis (Tisdale 1985). Fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion anorganik cepat berubah menjadi senyawa fosfor organik setelah diserap dalam bentuk H2PO4- umumnya cepat diesterifikasi melalui gugusan hidroksil berantai C menjadi fosfat berenergi tinggi (misalnya ATP). Perubahan P anorganik menjadi P organik hanya memerlukan waktu beberapa menit (Marschner 1986). Walapun P organik ini cepat dilepas menjadi P anorganik lagi ke dalam jaringan xilem tanaman. Unsur hara P yang relatif stabil adalah apabila P berada dalam dua ester (C-P-C). Pada proses glikolisis, respirasi atau fotosintesis energi dilepas dan digunakan untuk menyusun ikatan pirofosfat yang kaya energi. Fosfor merupakan senyawa penyusun jaringan tanaman seperti: asam nukleat, fosfolipida dan fitin. Fosfor ini bersifat mobil atau mudah bergerak antar jaringan tanaman. Kadar optimum fosfor dalam tanaman pada saat pertumbuhan vegetatif berkisar antara 0.3 – 0.5 % dari berat kering tanaman (Rosmarkan dan Yuwona 2002). Sumber pupuk yang digunakan dalam penelitian ini berupa pupuk fosfor (SP-36) yang diproduksi dalam bentuk pupuk anorganik dengan kandungan P2O5 36 %. Walaupun, industri obat cenderung mensyaratkan budidaya tanaman obat menggunakan bahan alami saja, sehingga perlu perimbangan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos. Pupuk anorganik bertujuan supaya akar 11 tanaman lebih mudah menyerap, sehingga mendukung pertumbuhan awal yang baik. diharapkan produksi biomas tinggi dan akhirnya didapatkan kandungan bioaktif tinggi pula. Tanah Andisols merupakan tanah yang berkembang dari bahan vulkanik seperti lahar, abu vulkan, batu apung, sinder dan lava (Tan 1984). Menurut Rachim dan Suwardi (1999) tanah Andisols adalah tanah yang berwarna hitam kelam sangat porous, mengandung bahan organik dan liat amorf terutama alofan. Karakteristik tanah Andisols diantaranya adalah memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, bobot isi rendah, daya menahan air tinggi, mempunyai konsistensi gembur, kurang plastis dan tidak lengket. Selain itu umumnya tanah Andisols dicirikan oleh tektur lempung berpasir sampai dengan lempung dan memiliki reaksi tanah masam sampai dengan agak masam (Tan 1984). Tanah Andisols memiliki kejenuhan basa rendah, kapasitas tukar kation dan kapasitas tukar anion tinggi, serta kadar fosfor rendah. karena terfiksasi kuat (Rachim dan Suwandi 1999). Berdasarkan klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1982), klasifikasinya hampir mirip dengan sistem FAO/UNESCO. Tanah Andisols adalah tanah-tanah yang umumnya berwarna hitam (epipedon mollik atau umbrik) dan mempunyai horison kambik, bulk density kurang dari 0.85 g/cm3 banyak mengandung bahan amorf atau lebih dari 60 % terdiri dari abu vulkanik vitrik cinders atau bahan pyroklastik (Hardjowigeno 2003). Sifat tanahnya merupakan tanah masih muda dengan kadar P, K dan Al tinggi dan banyak ditemukan di daerah gunung berapi dataran tinggi. Kandungan fosfor (P) total tanah Andisols kategori tinggi, namun P kurang tersedia bagi tanaman karena terfiksasi oleh Al-hidroksida tinggi, Al larut sangat reaktif terhadap anion seperti fosfat, sulfat atau silikat. Hal yang sama ditegaskan oleh Swastika et al. (2005) P diikat oleh mineral liat amort dan diikat oleh Al+3. Harborne (1987) menyebutkan bahwa ragam kandungan fitokimia tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain: faktor iklim (suhu, intensitas cahaya, panjang hari, kelembaban dan musim), faktor tanah. bahan polusi yang tidak wajar (ozon, gas gas industri, asap kendaraan maupun pestisida) dan kompetisi dengan tanaman lain. 12 Metabolit Sekunder Tanaman, Pemupukan dan Waktu Panen Metabolit sekunder atau dikatakan sebagai bahan alami merupakan senyawa yang dihasilkan oleh tanaman dalam jumlah relatif besar, namun tidak memiliki fungsi langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman (Taiz and Zeiger 2002). Metabolit sekunder sangat diperlukan bagi tumbuhan beberapa diantaranya bermanfaat sebagai mekanisme pertahanan dalam melawan serangan bakteri, virus, dan jamur sehingga dapat dianalogikan seperti sistem kekebalan tubuh (Vickery dan Vickery 1981). Penyebaran metabolit sekunder terbatas, terdapat terutama pada tumbuhan dan mikroorganisme serta memiliki karakteristik untuk tiap generasi, spesies, dan strain tertentu. Metabolit sekunder dibentuk dari metabolit primer antara lain asam animo, asetil koenzim A, asam mevalonat, dan intermediate dari lintasan shikimat (Herbert 1995). Metabolit sekunder dibagi menjadi kelompok terpenoid, alkaloid, shikimat dan poliketida berdasarkan pentingnya material pembentukannya (Sell 2005). Pembentukan metabolit sekunder dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: suhu, pH, aktivitas air dan intensitas cahaya. Laju reaksi thermal (non foto kimia) peka terhadap suhu dan beberapa laju reaksi akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu 100C. Lahan yang relatif kering, pH dan kelembaban tanah adalah merupakan parameter yang relevan untuk terbentuknya metabolisme sekunder. Metabolit dibentuk melalui lintasan (pathway) yang khusus dari metabolit primer (Gambar 1). carbohydrate pentose phosphate pathway glycolysis carbon dioxide + water aromatic compoound shikimic acid pathway transamintion pyruvic acid ammonia acetyl CoA acetate-malonate pathway fatty acid amino acid tricarboxylic acid cycle acetate mevalonate pathway polyketides terpenoids aromatic compoound steroids protein alkaloids nucleic acids Gambar 1 Lintasan biosintesis metabolit di dalam tanaman (Vickery dan Vickery 1981) 13 Semua reaksi hidrolisis atau kondensasi dan reaksi hidrasi/dehidrasi merupakan katalis asam dan reaksi hidrolisis merupakan katalis basa. Air diperlukan untuk hidrolisis (amida dan ester) dan reaksi hidrasi. Laju reaksi akan menjadi lambat jika aktivitas air rendah. Sedangkan peningkatan intensitas cahaya akan meningkatkan laju dari semua reaksi oksidasi dan dekarboksilasi (Alphastep 2003). Senyawa metabolit sekunder yang paling banyak dikandung tanaman pegagan adalah dari kelompok triterpenoid. Sedangkan geranyl pyrophosphate menjadi prekursor dari diterpenoid dan carotenoid (Vickery dan Vickery 1981). Triterpenoid merupakan senyawa yang memiliki struktur molekuler yang mengandung rangka karbon dan membentuk isoprene (2-methylbuta-1.3-diene). Isoprene mempunyai lima atom karbon, sedangkan jumlah atom karbon pada masing-masing senyawa terpenoid merupakan kelipatan lima karbon (isoprene) (Sell 2005). Secara jelas biosintesis senyawa triterpenoid ditunjukkan pada Gambar 2. H2C-CO~SCOA H2C-CO~SCOA acetyl-CoA COAS~ O CH3 C O CH3 CH2-CO~SCOA HO HOOC CH3 CH2-CH2OH H3C C C H2C mevalonic acids C CH2 H3C acetoacyl- CoA C C CH2O-PP CH dimethyl-allyl-PP H2C Geranyl-PP CH2 hemiterpenes CH2O-PP isopentenyl-PP CH2O-PP monoterpenes sesquiterpene Farnesyl-PP Zx, Tail-to-tail CH2O-PP triterpenes diterpenes Geranylgeranyl-PP CH2O-PP tetraterpenes Zx, Tail-to-tail polyprenyl-PP polyterpenes Gambar 2 Biosintesis senyawa terpenoid (Hess 1986) Faktor yang menentukan tinggi rendahnya kuantitas dan kualitas produksi adalah penentuan waktu panen yang tepat. Banyak komoditas ekonomis seperti bawang merah, kentang dan tanaman pangan mengalami kehilangan hasil akibat 14 waktu panen kurang tepat. Pantastico (1986) dan Wibowo (1990) menyimpulkan bahwa penentuan tingkat kemasakan yang tepat pada saat umur panen merupakan salah satu aspek penting dalam upaya memperoleh produk yang berkualitas tinggi. Mekanisme Fosfor dalam Meningkatkatkan Kandungan Bioaktif Fosfor berfungsi sebagai merangsang pembentukan akar lebih baik untuk penyerapan hara dan air, peningkatan jumlah klorofil daun dapat berfotosintesis baik untuk menghasilkan fotosintat, sehingga senyawa yang kaya energi diserap oleh akar diangkut melalui xilem menuju tajuk di duga dapat meningkatkan kandungan senyawa asiatikosida. Salisbury (1995) yang menyimpulkan bahwa fosfor tak pernah direduksi di dalam tumbuhan dan tetap sebagai fosfat (baik dalam bentuk bebas maupun terikat) pada senyawa organik sebagai ester. Ester fosfat terbentuk dengan gula, alkohol, asam, atau fosfat lain (polifosfat). Senyawa kaya energi itu dapat diduga sebagai intermedete lintasan pentose phosphate (pathway) dari metabolit primer dan diturunkan dari prekursor ke metabalit sekunder. Tanaman pegagan mengandung paling banyak adalah senyawa golongan tirterpenoid. Triterpenoid merupakan senyawa turunan dari prekursor metabolit primer yang dibiosintesis oleh lintasan acetate mevanolate, akan menghasilkan geranyl-geranyl pyrophosphate merupakan metabolit primer yang membentuk monoterpenoid dan turunannya, sedangkan farnesyl pyrophosphate meningkatkan pembentukan sesquiterpenoid dan konversi dari squalene menjadi triterpenoid dan steroid. Sedangkan geranyl pyrophosphate menjadi prekursor dari diterpenoid dan carotenoid (Vickery and Vickery 1981) dan Hess (1986). Proses pertumbuhan dan produksi tanaman adalah pengaruh iklim mikro. Lal (1974) melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman jagung muda berjalan lambat pada suhu permukaan tanah di atas 35 oC, kondisi ini sering terjadi di daerah tropis, khususnya bila permukaan tanah kering. Alvim dalam Lal (1974) menyatakan bahwa temperatur dau kopi kadang-kadang melampaui temperatur udara sampai 20 o C. Berdasarkan hasil analisis ketergantungan, laju suhu seringkali diekspresikan dalam Q10, yaitu laju akan meningkat bila suhu meningkat atau bertambah 10 oC. Di samping itu beberapa proses tanaman Q10 muncul menjadi 2 sampai 3 ketika rata-rata suhu dari percobaan antara 15 – 25 oC. 15 Secara umum jenis, fungsi dan golongan fitokimia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis fitokimia, fungsi dan golongan Jenis fitokimia Alkaloid Saponin Fungsi Golongan Sumber pustaka. Sebagai obat. Zat racun,reaksi detoksifikasi hasil metabolisme, faktor pengatur pertumbuhan dan penyedia unsur nitrogen yang diperlukan bagi tumbuhan. Toksisitas pada hewan berdarah dingin Menimbulkan iritasi yang dapat menyebabkan muntah dan diare. Untuk bactericidal, fungicidal jamur, ameobaccidal dan pembrantas serangga Piridin, tropen, kinolin, isokinolin, indol, imidazol, purin, amin dan steroid. (Mursyidi 1990) (Mursyidi 1990) Brahmoside, brahminoside dan madecassoside (Vickery dan Vickery 1981) Vickery dan Vickery (1981) Vickery dan Vickery (1981) (www.alternativ ehealth com.au 2005), Untuk bahan anaestesi Flavonoid Obat penenang dan pereda kegelisahan (antianxiety) Madecocassoside dapat memacu produksi kolagen. Adapun fungsi kolagen sangat besar peranannya dalam regenerasi sel kulit termasuk sel telur (ovum) pada wanita dan sel sperma pada pria Penyaring cahaya ultraviolet Melindungi sel dari radiasi ultraviolet B (280-320 nm) Melindungi kerusakan jaringan daun Steroid Energi mikroorganisme dan aktivitas hormonal pada hewan. Oestrogenic dan stigmasserol sebagai vitamin atau antistiffness factor. Triterpenoid Anti lepra atau kusta Merangsang pembentukan lemak dan protein penting untuk ksehatan kulit. Merubah alanine dan prolin menjadi stuktur kolagen sebagai perawatan gangguan kulit Mempercepat penyembuhan luka pasca operasi, jerawat, flek hitam pada kulit (www.pioneerhe rbs.com 2005), (www.uspharma cist.com 2005) (www.mediaseh at.com 2006). Kaempferol, quercetin, glikosida (3glucosylquercetin dan 3-glucosylkaemferol (Wren 1956) Flvonoid O-glikosid dan Cglikosid Trtrasiklik triterpenoid, campesterol, sitosterol dan stigmasterol (Vickery dan Vickery (1981). Asiaticoside, asiatic acid, madecassic Vickery dan Vickery (1981) Taiz dan Zeiger (2002) Musyarowah (2007) Vickery dan Vickery (1981) Vickery dan Vickery (1981) Dalimartha (2000) www.iridologyaustralia.com 2005. www.iridologyaustralia.com 2005. www.iridologyaustralia.com 2005. 16 Akan tetapi Q10 hampir selalu berkurang sejalan dengan bertambahnya temperatur akhirnya hubungan antara laju pertumbuhan dengan suhu lebih sering secara linier daripada logaritma. Hubungan yang linier muncul secara signifikan seringkali dapat diamati ketika laju pertumbuhan kurang dari 20 % dari laju maksimum pada suhu optimum, di bawah temperatur optimum laju berkurang sangat cepat seiring meningkatnya suhu. Temperatur optimum seperti halnya untuk proses yang baik di daerah temperate maupun tropik berkisar antara 20 sampai 25 oC, akan tetapi tanaman di daerah suhu rendah atau dataran tinggi pada umumnya tanaman dapat tumbuh kisaran suhu 5 – 30 oC. Sebaliknya kisaran suhu untuk beberapa spesies tropik antara 10 sampai 35oC atau 15 sampai 40oC (James 1953).