representasi nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya jawa

advertisement
REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN
SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN
(Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat
di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Strata 1 (S-1) Komunikasi
Bidang Studi Advertising & Marketing Communications
Disusun oleh :
ANTONIUS HARMOKO
44305110001
Bidang Studi Advertising & Marketing Communications
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana
Jakarta
2009
Bidang Studi Advertisng & Marketing Communication
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana
Lembar Persetujuan Sidang Skripsi
Judul
Nama
NIM
Bidang Studi
Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN
DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN
(Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di
Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007)
: Antonius Harmoko
: 44305110001
: Advertising & Marketing Communications
: Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Mengetahui,
Pembimbing Skripsi
Dr. Endah Murwani, M.Si
ii
Bidang Studi Advertisng & Marketing Communication
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana
Lembar Kelulusan Sidang Skripsi
Judul
Nama
NIM
Bidang Studi
Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN
DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN
(Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di
Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007)
: Antonius Harmoko
: 44305110001
: Advertising & Marketing Communications
: Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Menyetujui,
1. Ketua Sidang
(Drs. Juwono Tri Atmojo, M.Si)
(______________________)
2. Penguji Ahli
(Farid Hamid, S.Sos; M.Si)
(______________________)
3. Pembimbing Skripsi
(Dr. Endah Murwani, M.Si)
(______________________)
iii
Bidang Studi Advertisng & Marketing Communication
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana
Lembar Persetujuan Perbaikan Skripsi
Judul
Nama
NIM
Bidang Studi
Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN
DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN
(Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di
Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007)
: Antonius Harmoko
: 44305110001
: Advertising & Marketing Communications
: Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Menyetujui,
1. Ketua Sidang
(Drs. Juwono Tri Atmojo, M.Si)
(______________________)
2. Penguji Ahli
(Farid Hamid, S.Sos; M.Si)
(______________________)
3. Pembimbing Skripsi
(Dr. Endah Murwani, M.Si)
(______________________)
iv
Lembar Pengesahan Skripsi
Judul
Nama
NIM
Bidang Studi
Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN
DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN
(Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di
Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007)
: Antonius Harmoko
: 44305110001
: Advertising & Marketing Communications
: Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Mengetahui,
Pembimbing Skripsi
(Dr. Endah Murwani, M.Si)
Dekan FIKOM UMB
Kabid Studi Periklanan
FIKOM UMB
Dra. Diah Wardhani M.Si
Dra. Tri Diah Cahyowati, M.Si
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Bapa di Surga, karena hanya karena kemurahanNYA,
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul REPRESENTASI NILAI
KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN
(Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram
Komunikasi Tahun 2007), sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
Ilmu Komunikasi dari Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Pemilihan judul REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI
BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap
Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007) ini
berdasarkan keinginan penulis untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai kebersamaan
yang merupakan bagian dari budaya Jawa bisa direpresentasikan dalam iklan, dan
mampu menghasilkan pesan yang komunikatif kepada pembaca.
Dalam proses pengerjaannya, terdapat keterlibatan banyak pihak yang turut
membantu hingga skripsi ini tersusun dengan baik, sekalipun masih didapati banyak
kekurangan. Karenanya dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu :
1. Ibu Endah Muwarni, Dra MS. selaku pembimbing skripsi, yang dengan sabar
meluangkan waktu untuk berdiskusi di antara kesibukan kerja-nya.
2. Bapak Farid Hamid, S.Sos, MSi selaku dosen penguji ahli, untuk segala masukan
yang diberikan.
3. Ibu Tri Diah Cahyowati, Dra. selaku Ketua Bidang Studi Periklanan, Fakultas
Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana.
vi
4. Dra. Diah Wardhani M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas
Mercu Buana.
5. Bapak, Ibu, dik Vera, Bude dan seluruh keluarga besar yang menjadi sumber
energi yang tak kunjung habis selama menempuh studi di Jakarta.
6. Teman-teman kelas Advertising & Marketing Communications, FIKOM,
Program Kuliah Karyawan, UMB D-III angkatan 7, untuk persahabatan dan
proses yang kita lalui bersama.
7. Keluarga besar karyawan TU FIKOM UMB yang turut membantu keperluan
surat-menyurat untuk penyelesaian skripsi.
8. Semua pihak yang telah berbaik hati membantu penulis sejak awal hingga akhir
studi di Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang
didapati dalam penulisan skripsi ini, karenanya penulis membuka diri untuk berbagai
saran dan kritik yang akan memperkaya tulisan sederhana ini. Akhir kata penulis
berharap semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi mereka yang
membacanya.
Jakarta, Agustus 2009
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul...............................................................................................................i
Lembar Persetujuan Sidang Skripsi ..............................................................................ii
Lembar Kelulusan Sidang Skripsi................................................................................iii
Lembar Persetujuan Perbaikan Skripsi.........................................................................iv
Lembar Pengesahan Skripsi.......................................................................................... v
Kata Pengantar ............................................................................................................vi
Daftar Isi ……………………………………………………………..........................viii
Daftar Gambar ................................................................................................................ x
Abstraksi ……………………………………………………………............................. xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah ……………………………………………………… 1
1.2
Perumusan Masalah ………………………………………………………….. 12
1.3
Tujuan Penelitian …………………………………………………………….. 12
1.4
Signifikasi Penelitian ………………………………………………………… 12
1.4.1 Signifikasi Akademis ………………………………………………… 12
1.4.2 Signifikasi Praktis ………….………………………………………… 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Nilai Kebersamaan sebagai Bagian dari Budaya Jawa
………...…..……..... 14
2.2
Iklan sebagai susunan tanda-tanda ………...……………................................. 20
2.2.1 Tanda-tanda dalam Iklan Cetak ……...……………................................. 22
2.2.2 Nilai Budaya Jawa dalam iklan ……...……………............................... 24
2.3
Semiotika sebagai Kajian untuk Memahami Sistem Tanda……….…....…… 31
2.4
Representasi dalam Semiotika ......................................................................... 36
BAB III METODOLOGI
3.1
Paradigma Penelitian ……………………………………………………….. 40
3.2
Tipe Penelitian ……………………………………………………………… 41
viii
3.3
Metode Penelitian …………………………………………………………… 42
3.4
Unit Analisa ………………………………………………………………… 43
3.5
Definisi Konsep …………………………………………………………….. 44
3.6
Tehnik Pengumpulan Data ………………………………………………….. 44
3.7
Analisa Data ……………………………………………………………........ 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1 Analisa Sintagmantik Iklan Maajalah Harian Kedaulatan Rakyat versi
”Menyapu Jalan”……....………….…………………………......................... 48
4.1.1.1 Headline ……………………………...……………............... 49
4.1.1.2 Ilustrasi ….……………………………….......……............... 51
4.1.1.3 Teks Iklan ……………………...…………………............... 57
4.1.1.4 Identitas …………………...………………………............... 59
4.1.2 Analisa Sintagmantik Iklan Majalah Harian Kedaulatan Rakyat versi
”Menarik Becak”……....………….…………………………......................... 60
4.1.1.1 Headline ……………………………...……………................ 61
4.1.1.2 Ilustrasi ….……………………………….......……................ 63
4.1.1.3 Teks Iklan ……………………...…………………................ 68
4.1.1.4 Identitas …………………...………………………................ 70
4.1.3 Analisa Paradigmatik …………………...…………………................... 71
4.2
Pembahasan …...............…....….......………………....................................... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan..................................................................................................... 87
5.2. Saran............................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.2
Tokoh Utama Punakawan ........................................................ 29
Gambar 4.1.1
Iklan harian Kedaulatan Rakyat versi ’Menyapu Jalan’ ............ 48
Gambar 4.1.2
Iklan harian Kedaulatan Rakyat versi ’Menarik Becak ............. 60
x
”Segala sesuatu indah pada waktunya…”
…teruntuk Bapak dan Ibu
yang tak pernah lelah
menemani dan memberikan doa...
xi
Bidang Studi Advertising & Marketing Communications
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana
ABSTRAK
ANTONIUS HARMOKO
44305110001
REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA
JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan
Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007)
xiii halaman + 87 halaman
Bibliografi : 21 buku (1974-2008); 9 artikel majalah, 6 artikel web site
Pesan dalam sebuah iklan merupakan faktor utama yang menentukan berhasil
atau tidaknya sebuah proses komunikasi komersial ataupun sosial yang disampaikan ke
benak permirsa. Salah satunya adalah harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta yang
mengemas iklan cetak mereka melalui pendekatan yang mengangkat simbol-simbol
budaya Jawa dan bercerita mengenai nilai kebersamaan yang dianut oleh masyarakatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat representasi nilai
budaya Jawa yang terdapat dalam eksekusi iklan cetak dengan meneliti tanda-tanda yang
terdapat pada iklan, sekaligus untuk memahami makna dari tanda-tanda tersebut.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Semiotika
Signifikasi yang didasari oleh pemikiran dari Ferdinand de Saussure dimana akan dilihat
ke dalam tiga area penting dalam kajian akan tanda; yaitu tanda itu sendiri, sistem
dimana tanda itu tersusun, dan kebudayaan di mana tanda itu beroperasi. Relasi
pertandaan ini didasarkan kepada bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ’bentuk’
atau ’ekspresi’; dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan ’konsep’ atau
’makna’. Sedangkan data-data yang terdapat dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat
diolah secara kualitatif untuk kemudian coba dianalisa menggunakan metode analisis
sintagmantik dan paradigmatik.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bermaksud
untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.
Penelitian deskriptif juga tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan,
menguji coba hipotesa, membuat ramalan, atau mendapatkan makna atau simplikasi,
walaupun penelitian yang bertujuan untuk menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup
juga metode-metode deskriptif. Dari definisi di atas, maka tipe penelitian deskriptif
dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan makna
dalam struktur teks iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat dilihat dari setiap aspek
konsep tanda yang digunakan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai budaya Jawa direpresentasikan
dalam semua aspek tanda yang terdapat dalam iklan baik pada headline, ilustrasi,
maupun teks dari iklan, dimana pemaknaan yang terbentuk dari susunan tanda tersebut
menghasilkan sebuah bentuk representasi nilai-nilai kebersamaan dalam budaya Jawa
yang dijadikan sebagai pesan utama dari iklan.
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Iklan dewasa ini telah menjadi medium yang banyak digunakan untuk
menyampaikan pesan-pesan komersial ataupun non komersial. Kemunculan
berbagai bentuk media interaktif dan media iklan luar ruang yang berintegrasi
dengan lingkungan membuat bentuk eksekusi iklan semakin beragam,
sehingga pesan dapat disampaikan kepada masyarakat dengan cara dan
pendekatan yang kreatif. Dari segi pesan, kreativitas iklan juga mampu
menjangkau sasaran hingga ke dalam lingkup segmentasi terkecil, karena
pesan iklan kini telah hadir dalam muatan yang lebih personal dan dekat
dengan keseharian kehidupan masyarakatnya. Iklan telah menjadi sebuah
solusi yang efektif dalam mendukung upaya pemasaran karena ditujukan
langsung kepada target konsumennya yang sangat tersegmentasi dan spesifik
(niche market).
Dari segi fungsinya, iklan secara umum dibagi menjadi dua jenis yaitu
iklan komersial dan non komersial. Kedua jenis iklan ini secara umum
memiliki beberapa tujuan seperti untuk membujuk target khalayak,
memberikan informasi, serta untuk meningkatkan citra sebuah merek di
masyarakat.
Iklan komersial merupakan bentuk iklan yang berisi pesan-pesan
penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada calon pembeli yang
paling potensial atas produk barang atau jasa tertentu.1 Fungsi utama dari iklan
1
Frank Jefkins, Periklanan (Jakarta: Erlangga 1997), 5
2
komersial adalah untuk mendukung proses pemasaran sebuah produk.
Sedangkan iklan non komersial adalah bentuk iklan yang tidak bertujuan
untuk menjual produk secara langsung melalui pesan-pesannya.
Dalam sebuah iklan, komoditas yang paling utama sekaligus berharga
adalah pesan dengan ’ide yang tetap segar’.2 Pencarian ide dari pesan yang
kreatif dan mampu bertahan lama dalam sebuah kampanye periklanan sangat
dibutuhkan agar
merek dapat ’muncul’ dan ’terlihat’ diantara banyaknya
pesaing.
Secara umum, ide kreatif harus mampu:
1. Menciptakan kesadaran yang tinggi.
2. Mengubah sikap khalayak sasaran menuju arah yang telah ditetapkan
dalam tujuan.
3. Bersifat fleksibel terhadap kondisi pasar yang beragam.
4. Dapat dilaksanakan ke dalam berbagai media.
5. Dapat menyesuaikan dengan strategi pemasaran lain seperti promosi
penjualan, program penjualan, dan pemasaran hubungan pelanggan.3
Apapun media yang digunakan, iklan harus muncul dengan ide-ide
baru yang mampu menarik perhatian konsumen. Dan ini bisa dihasilkan
melalui pesan yang kreatif, komunikatif, informatif sekaligus persuasif,
sehingga diharapkan pesan iklan dapat tertanam dalam waktu yang lama di
benak konsumen.
Dalam perkembangannya, dari segi bentuk eksekusi, penggunaan
media, dan yang terutama dari bentuk pesan yang disampaikan iklan sudah
sangat mengalami banyak perubahan.
Dari segi eksekusi dan media, peranan teknologi turut membuat dunia
periklanan semakin inovatif dan kreatif dalam berkomunikasi dengan
2
May Lwin & Jim Aitchison, Clueless in Marketing Communications (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
2005), 128
3
Ibid
3
konsumen. Sedangkan dalam bentuk pesan iklan, kita bisa melihat bahwa
iklan sudah mampu berkomunikasi sacara lebih personal dengan impact yang
dihasilkan cukup bertahan lama. Pesan-pesan iklan yang ada saat ini sudah
mengalami
kemajuan
yang
berarti
dalam
kaitannya
sebagai upaya
mengkomunikasikan sebuah merek dalam benak masyarakat yang semakin
modern, kritis, dan berpikiran lebih terbuka.
Dalam strategi penciptaan sebuah pesan iklan, terdapat dua buah
pendekatan strategi yang seringkali digunakan dalam upaya penyampaian
pesan ke benak konsumen.
Kita mengenalnya sebagai sumber kreatif dalam penciptaan sebuah
iklan yaitu:
1. Sumber Faktual–produk, yakni strategi kreatif iklan yang berdasarkan
data-data baku yang tidak akan berubah. Sumber ini mengedepankan
aspek keunggulan data produk yang bersifat teknis.
2. Sumber Imajinatif – image/citra, yakni upaya mengeksplorasi aspek
emosional dan image yang melekat pada produk dan jasa yang
ditawarkan kepada target audience, sehingga diharapkan pemirsa
bidikan mendapatkan kebanggaan dan prestisius.4
Ian Batey dalam bukunya Asian Branding mengungkapkan bahwa
setiap merek memiliki dua nilai daya tarik yang sangat penting dimana
keduanya digambarkan dalam sebuah gambaran yin –yang; saling terkait satu
sama lain.
Nilai daya tarik tersebut adalah:
1. Nilai-nilai merek rasional, meliputi sifat dan manfaat berwujud.
a. Sifat: apakah definisi produk (bukan merek)? Apa
keistimewaan produk fungsionalnya dan ciri khas secara fisik?
b. Manfaat berwujud: apakah produk itu cocok dengan saya? Apa
konsekuensi fungsional dari sifat produk yang membuat merek
disenangi?
2. Nilai-nilai emosional merek, meliputi kepribadian dan keuntungan
yang tidak berwujud.
a. Kepribadian: seandainya merek itu manusia, manusia macam
apakah dia?
4
Agustrijanto (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2001), 60
4
b. Manfaat yang tidak berwujud: perasaaan apa yang dibangkitkan
oleh merek? Apa imbalan emosional dapat saya harapkan
dengan menggunakan merek?5
Fenomena yang terjadi saat ini, iklan tidak lagi dan tidak hanya
berfungsi sebagai sarana untuk ’berbicara’ mengenai ’nilai guna’ suatu
produk, tetapi iklan sudah menjadi media untuk melakukan pendekatan
emosional secara personal kepada konsumen. Hal ini bisa kita cermati dari
bentuk-bentuk pesan dalam iklan baik itu media eletronik maupun media
cetak. Iklan-iklan dari berbagai produk sudah tidak banyak berbicara
mengenai keunggulan teknis masing-masing produk dibandingkan pesaing,
tetapi sudah berbicara mengenai kedekatan emosional yang bisa dimunculkan
apabila konsumen menggunakan produk tersebut. Salah satu faktor yang
mempengaruhi hal ini karena adanya standar mutu tinggi yang telah dimiliki
oleh banyak produk sejenis, sehingga perbedaan-perbedaan kualitas tidak lagi
terlihat secara nyata atau semakin berkurang.6
John Hegarty dari biro iklan Bartle Hegarty dalam buku Clueless in
Advertising mengatakan bahwa iklan dewasa ini lebih menekankan pada
perbedaan-perbedaan yang dirasakan dan tidak berwujud. ”Unique Selling
Proposition (U.S.P.) telah digantikan oleh E.S.P. atau Emotional selling
Proposition.”7
Media cetak maupun audiovisual kini dipenuhi oleh iklan yang tampil
dengan pesan yang lebih sederhana, menyentuh, membanggakan, dan dapat
menarik simpati dari konsumen sehingga mampu membangun awareness yang
5
Ian Batey, Asian Branding (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer 2002), 86
May Lwin & Jim Aitchison, Clueless in Advertising (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer 2005), 21
7
Ibid
6
5
baik di benak masyarakat pada umumnya, khususnya kepada target sasaran
dari produk tersebut.
Para perusahaan yang beriklan tersebut kini makin menyadari bahwa
dengan sedemikian besarnya arus informasi yang diterima masyarakat yang
semakin modern, konsumen kini tidak hanya mencari keunggulan manfaat dan
fungsi semata dari sebuah produk yang dipilihnya, melainkan juga kenyaman
dan kepuasan pribadi yang bisa membuatnya yakin bahwa pilihannya untuk
menggunakan produk tertentu adalah pilihan yang benar dan masuk akal,
menjadi sebuah kebutuhan, dan mampu meningkatkan prestise atau
kebanggaan. Hal ini yang menyebabkan beragamnya bentuk eksekusi sebuah
iklan pada media massa dimana saat ini, media dan periklanan telah menjadi
sebuah industri ekonomi yang semakin berkembang.
Media massa baik media eletronik (stasiun TV, stasiun radio, pengelola
situs berita di
internet) atau media cetak (penerbit surat kabar, majalah,
tabloid, dll) tumbuh menjadi sebuah pelaku industri dimana salah satu core
business utama yang dimiliki selain ’menjual’ berita melalui media terbitannya
juga dengan menyediakan ruang bagi para pengiklan untuk menempatkan
iklannya. Dan dalam hal penyedian ruang iklan, media massa seperti televisi,
surat kabar dan majalah sampai saat ini masih menjadi pilihan utama para
perusahaan untuk berkomunikasi melalui iklan.
Semakin besar sebuah industri maka konsekuensi yang harus dihadapi
adalah hadirnya pesaing. Untuk mengantisipasi persaingan bisnis ini, maka
media massa juga merasa perlu untuk melakukan sebuah kampanye promosi
dan periklanan untuk semakin memperkuat merek agar mampu meningkatkan
6
loyalitas pembaca atau penonton dan berujung kepada meningkatnya
kepercayaan dari para pengiklan.
Di media surat kabar, persaingan merebut pasar melalui iklan juga
menjadi hal yang penting untuk dicermati. Di tengah maraknya persaingan dan
jumlah surat kabar yang terbit, maka iklan diharapkan mampu menjadi alat
untuk meningkatkan loyalitas pembaca. Kepercayaan pembaca itu sendiri
dianggap penting bagi brand personality surat kabar itu sendiri.8 Iklan-iklan
ini biasanya muncul dalam format iklan cetak, walau iklan televisi pun bisa
ditemui seperti iklan Sinar Harapan dengan model Komisaris Utama Aristides
Katoppo, iklan televisi Kompas versi ”Lintas Generasi”, dan iklan harian
Seputar Indonesia ketika baru muncul di persaingan surat kabar nasional.
Muatan pesan-pesan pada iklan cetak surat kabar seringkali berisi
sosialisasi program-program dan isi dari media tersebut, ataupun untuk
menonjolkan penghargaan dan keunggulan yang dimiliki baik itu dari jumlah
pembaca ataupun teknologi yang menunjang kegiatan media tersebut. Muatan
pesan ini cenderung ingin memperkuat awareness di benak konsumen,
sehingga pesan-pesannya pun cukup menjual.9
Namun di luar iklan dengan pesan-pesan faktual yang menjual, surat
kabar juga banyak melakukan pendekatan yang lebih kreatif melalui pesanpesan iklan yang imajinatif dan emosional. Di sini media mencoba
meningkatkan awareness dan loyalitas pembaca dengan lebih memfungsikan
diri mereka sebagai sebuah jembatan komunikasi antara masyarakat, media
dengan sistem kehidupan yang ada di dalamnya.
8
9
Artikel: Ketika Koran Harus Beriklan, Majalah Cakram Fokus, April 2006, 46
Ibid
7
Salah satunya contohnya adalah Kompas yang pada tahun 1989
meluncurkan kampanye iklan cetak surat kabar dengan tema ”Mata Hati Kata
Hati”, dan dilanjutkan pada 2002 dengan tagline ”Buka Mata dengan
Kompas”. Namun, kampanye periklanan yang cukup mengundang perhatian
adalah ketika Kompas meluncurkan kampanye iklan cetak ”Lintas Generasi”
yang mengusung ikon tokoh nasional dimana kehadiran kampanye periklanan
ini bersamaan dengan perubahan format Kompas yang cukup revolusioner.
Iklan Kompas ini terbagi atas dua versi, dimana versi pertama menggunakan
ikon tokoh-tokoh seperti Harry Roesli, Soe Hok Gie, dan Chairil Anwar,
dengan tagline ’Berjuang untuk Perubahan’. Melalui iklan ini Kompas ingin
menekankan bahwa Kompas selalu memperjuangkan perubahan (termasuk
dalam format Kompas yang baru) sambil tetap menjaga kepercayaan
pembacanya.10 Versi kedua ”Lintas Generasi” mengambarkan bayang-bayang
seorang direktur yang teringat masa lalunya sebagai seorang loper koran
setelah mendengar dering bel sepeda dari sebuah handphone profesional muda
yang sedang mempresentasikan perubahan logo perusahaannya. Iklan ini
menekankan sisi emosional yang kuat, karena pesan utamanya adalah, walau
perubahan itu terjadi, kepercayaan harus tetap dijaga. Kepercayaan ini
digambarkan oleh sosok loper yang setia bersepeda dalam melayani tugasnya
walaupun dalam hujan deras sekalipun.11
Tidak hanya surat kabar nasional, surat kabar lokal pun bergeliat
dengan mengeluarkan dana periklanan yang tidak sedikit untuk kampanye
periklanan mereka. Dan pesan-pesan yang dibawa pun sangat beragam dan
10
11
Artikel: Ketika Koran Harus Beriklan, Majalah Cakram Fokus, April 2006, 46
Ibid
8
kreatif, tidak hanya melalui pesan yang menjual namun juga yang memiliki
aspek emosional yang kuat.
Kedaulatan Rakyat, sebagai salah satu merek media cetak yang telah
berkembang menjadi surat kabar harian daerah terbesar di Yogyakarta
meluncurkan kampanye periklanan yang sangat bernuansa Jogja dan
mengangkat nilai budaya Jawa secara umum. Sebagai sebuah industri,
Kedaulatan Rakyat merasa perlu untuk meningkatkan posisinya di pasar koran
lokal agar mampu bersaing dengan surat kabar sejenis, dan ini coba
dimunculkan dengan mengangkat tema-tema lokal yang juga dekat dengan
pembacanya.
Sebagai surat kabar yang lahir, bermarkas dan dibesarkan di
Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat sendiri memiliki muatan melalui berbagai
rubrik unggulan dengan warna yang sangat lokal. Rubrik tersebut diantaranya:
Penanggalan, Cerbung SH Mintareja, MekarSari, Kanda Raharja, Guyon
Maton, dan Adiluhung.12 Karena itulah, melalui tampilan iklan-iklannya,
Kedaulatan Rakyat juga berusaha untuk mempertahankan identitasnya serta
untuk mengkomunikasikan nilai-nilai dan semangat perusahaan yang dimiliki
sebagai bagian dari masyarakat Jogja secara luas.13
Sebagai koran daerah, Kedaulatan Rakyat tidak berjalan sendirian
sebagai media yang beriklan. Surat kabar daerah lainnya seperti Pikiran
Rakyat – Bandung dan Suara Merdeka – Semarang juga mengangkat tematema lokal dalam pesan-pesan iklannya walaupun dalam pendekatan yang
berbeda.14
12
Artikel: Kedaulatan Rakyat, Koran dari Kraton, Majalah Cakram Komunikasi, Maret 2005, 50
Artikel: Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri, Majalah AdDiction, September 2006, 8
14
Majalah Cakram, Mei 2007
13
9
Muatan nilai budaya lokal dalam eksekusi sebuah iklan itu dianggap
memiliki kekuatan dalam menyampaikan pesan, karena dekat dengan
kehidupan sehari-hari masyarakatnya.15 Hal ini bisa dilihat dalam kampanye
periklanan dari biro-biro iklan di Thailand yang menampilkan nilai budaya
masyarakat Gajah Putih dan mampu meraih penghargaan di berbagai festival
kreatif periklanan sekaligus juga berhasil mendukung upaya pemasaran
produk yang diiklankan secara luas.
Pada artikel majalah Cakram tentang Eksplorasi Muatan Lokal, Piyush
Pandey, tokoh periklanan dari India, mengungkapkan bahwa hal ini
memungkinkan karena para pengiklan melihat pasar sebagai individu, melihat
pada core value suatu merek, lalu menyampaikan pesan-pesannya ke dalam
bentuk yang paling relevan dengan khalayak sasarannya. Untuk itulah
mengapa iklan-iklan dengan muatan budaya setempat seringkali dikatakan
sebagai upaya untuk berkomunikasi membangun sebuah merek dengan cara
yang efisien.16
Sebagai sebuah kota dan sebuah komunitas, Jogja dan kehidupan
masyarakat Jawa yang ada di dalamnya memiliki nilai-nilai budaya yang khas
dan terus dijaga kelestariannya hingga saat ini dan hal ini bisa digali dalam
proses penciptaan ide sebuah iklan. Iklan-iklan harian Kedaulatan Rakyat
tampak dekat keseharian masyarakat dengan latar belakang budaya Jawa yang
kuat sehingga pembaca terkadang langsung dapat mengkonotasikan harian
Kedaulatan Rakyat dengan Jogja dan budaya Jawa secara umum.
Masyarakat Jogja dan kehidupannya yang diangkat sebagai ide utama
dari iklan majalah ini secara psikografis telah dikenal lama sebagai masyarakat
yang memelihara kebudayaannya dalam setiap sisi kehidupan dan bentuk
perilaku mereka. Apapun yang dilakukan dan setiap pemikiran masyarakat
15
16
Artikel: Eksplorasi Muatan Lokal, Majalah Cakram Fokus, September 2006, 36
Piyush Pandey dalam artikel: Terorisme Global, Majalah Cakram, Agustus 2004, 56
10
Jogja dalam kehidupan selalu dilandasi oleh falsafah dan nilai-nilai
kebudayaan Jawa yang mereka pegang teguh.
Orang Jawa memiliki nilai budaya yang dianut dan didalamnya
terkandung kepercayaan kepada Sang Pencipta, kesadaran sebagai bagian dari
kodrat alam, dan upaya untuk selalu menjaga ketertiban pada lahirnya dan
kedamaian pada batinnya.17
Nilai-nilai budaya tersebut dipertahankan lewat semangat kebersamaan
atau gotong royong. Kebersamaan menjadi salah satu bentuk bentuk tradisi
dalam berperilaku yang secara tidak langsung berakar pada kehidupan
masyarakat Jawa. Nilai-nilai kebersaamaan, gotong royong, hormatmenghormati dengan yang lainnya, tenggang rasa, budi luhur, rukun damai
dan mawas diri selalu diupayakan masyarakat Jawa untuk menuju selamat
sejahtera dan bahagia lahir batin.18
Nilai-nilai inilah yang coba dituangkan ke dalam bentuk eksekusi iklan
majalah harian Kedaulatan Rakyat, dan dimunculkan ke dalam beberapa seri
iklan cetak yang cukup menarik secara visualisasi maupun teks iklan.
Hadirnya iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat menarik perhatian
peneliti karena muncul dengan konsep kreatif melalui penggunaan tanda-tanda
dengan muatan nilai budaya Jawa dimana terkandung semangat dan falsafah
hidup kebersamaan masyarakat Jogja yang mampu menggugah secara
emosional sekaligus mampu mendukung upaya komunikasi pemasaran
Kedaulatan Rakyat untuk memantapkan posisinya sebagai surat kabar utama
di Yogyakarta.
17
H. Katono K. Partokusumo dalam artikel: Manusia Jawa dan Kebudayaanya dalam Negara
Kesatuan RI, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 84.
18
Ibid.
11
Iklan cetak Kedaulatan Rakyat ini muncul dengan ikon-ikon budaya
Jawa yang baik secara visual maupun teks iklan. Iklan versi ’membersihkan
jalan’ secara menarik memunculkan ikon tokoh pewayangan Punakawan yang
terdiri atas Semar, Gareng, Petruk dan Bagong dalam sebuah mural (lukisan
pada ruang publik) dan digambarkan seolah-olah sedang bergotong royong
dengan tokoh penyapu jalan di dunia nyata, khususnya di sebuah jalan di sudut
kota Yogyakarta. Begitu juga dengan iklan versi ’menarik becak’ dimana
mural menggambarkan masyarakat yogyakarta dari segala lapisan dan profesi
(lewat pakaian yang dikenakan) ’bekerja sama’ dengan penarik becak dimana
becak itu sendiri telah menjadi salah satu ikon budaya Yogyakarta yang
dikenal secara luas. Kedua versi iklan ini diperkuat oleh tagline ’Bebarengan
Mrantasi Gawe’ yang sarat akan nilai falsafah budaya Jawa dan didukung oleh
body copy iklan yang bergaya testimoni untuk memperkuat asas kebersamaan
masyarakat Yogyakarta dengan nilai budaya yang dianutnya.
Kedaulatan Rakyat muncul dengan konsep pesan iklan yang menarik,
karena hadir melalui pesan iklan yang sarat akan pesan moral melalui
pendekatan yang mengangkat nilai kelokalan budaya setempat, walaupun iklan
ini berjenis iklan komersial yang biasanya iklan komersial muncul dengan
pesan-pesan yang menjual.
Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melihat
bagaimana nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa dituangkan ke
dalam konsep kreatif iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat sehingga pesan
utama iklan dapat disampaikan secara baik ke dalam benak khalayak.
12
1.2
Perumusan Masalah
Iklan berfungsi untuk menyampaikan pesan melalui penggunaan tandatanda periklanan yang dianggap mampu mewakili pesan yang ingin
disampaikan. Begitu juga dengan iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat
yang memiliki tanda-tanda periklanan dengan makna tertentu yang coba untuk
disampaikan kepada masyarakat.
Karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji secara mendalam makna
dari tanda-tanda yang ada di dalam iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat
serta pesan apa yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut.
Dari latar belakang tersebut, pokok permasalahan yang akan diteliti
adalah: Bagaimana representasi nilai kebersamaan sebagai bagian dari
budaya Jawa dalam iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat?
1.3
Tujuan Penelitian
a. Ingin mengetahui tanda-tanda yang merepresentasikan nilai kebersamaan
sebagai bagian dari budaya Jawa yang digunakan dalam iklan majalah
harian Kedaulatan Rakyat.
b. Ingin mengetahui makna dari tanda-tanda yang merepresentasikan nilai
kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa dalam iklan cetak harian
Kedaulatan Rakyat.
1.4
Signifikasi Penelitian
1.4.1 Signifikasi Akademis
Mengupayakan pengembangan akademis, khususnya dalam mata
kuliah periklanan dan komunikasi pemasaran yang mencakup ke dalam ranah
13
kajian baru mengenai iklan yang mengangkat budaya lokal (Jawa) dan
diharapkan bisa berguna bagi jajaran akademis, mahasiswa pada khususnya.
Wacana ini diharapkan dapat memperkaya bentuk kajian yang digunakan
untuk memaknai penggunaan tanda dalam iklan, sehingga jajaran akademis
dapat memiliki referensi tambahan tantang bagaimana tanda-tanda dalam
sebuah iklan dibongkar dan dianalisa untuk mendapatkan sebuah kekuatan
makna, khususnya pada iklan-iklan di media cetak yang mengangkat budaya
lokal (Jawa) dalam muatan pesannya.
1.4.2 Signifikasi Praktis
Memberi sumbangan pikiran untuk pengiklan, biro iklan dan media,
khususnya mengenai penggunaan tanda atau lambang di dalam visualisasi
sebuah iklan khususnya yang mengangkat budaya lokal (Jawa) dalam muatan
pesannya. Dalam kasus analisa ini, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan sumbangan referensi akan sebuah analisa iklan-iklan yang
mengangkat simbol-simbol budaya dalam eksekusinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Nilai Kebersamaan sebagai Bagian dari Budaya Jawa
Kebudayaan secara tata bahasa berasal dari kata ’budaya’ yang
merupakan bentuk jamak dari kata ’budi’ dan ’daya’ yang berarti cinta, karsa
dan rasa.1 Kata budaya itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta budhayah
yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.2
Dalam buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar karangan Eli. M Setiadi,
EB Taylor, salah seorang ahli kebudayaan, mengungkapkan bahwa’budaya
adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.’
Sedangkan Koentjaraningrat, ahli budaya lainnya mengemukakan
bahwa ”kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, milik diri
manusia dan diperoleh dengan cara belajar.” Hal ini juga diperkuat oleh
pendapat dari Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi yang mengatakan
bahwa ”kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.” 3
Berdasarkan berbagai sudut tinjauan mengenai pengertian budaya dan
kebudayaan, terdapat hubungan yang erat antara manusia dengan sejarah
kebudayaannya, sehingga manusia pada hakekatnya disebut sebagai mahluk
budaya.4
Kebudayaan Jawa itu sendiri merupakan salah satu dari bentuk
kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa ada sejak dahulu dan
berperan dalam mewariskan berbagai hasil kebudayaan yang masih dapat
dinikmati keberadaanya hingga saat ini.
1
Elly M Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2006), 27
Ibid
3
Ibid
4
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 15
2
15
Berdasarkan pengertian kebudayaan secara umum, maka budaya Jawa
dapat diartikan sebagai pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa
yang merangkum: kemauan, cita-citanya, idenya maupun semangatnya dalam
mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.5
Kebudayaan Jawa memiliki banyak keragaman. Keanekaragaman
budaya Jawa ini tampak dari logat daerah bahasa jawa yang memiliki ciri khas
antara daerah satu dengan lainnya (misalnya ciri yang berbeda antara daerah
Jawa Tengah, Jawa Timur, atau daerah pesisir pantai utara). Unsur-unsur yang
memebedakan juga terdapat dalam makanan, upacara-upacara daerah,
kesenian rakyat maupun seni suara.6
Pada perkembangannya, perwujudan kebudayaan dalam aspek
kehidupan masyarakat secara tidak langsung membentuk sebuah indentitas
masyarakat yang berada dalam lingkungan tertentu.
Kebudayaan Jawa dikenal memiliki dasar-dasar seperti:
1. Orang Jawa berlindung kepada Sang Pencipta, dan penyebab dari
segala kehidupan.
2. Orang Jawa yakin manusia adalah bagian dari kodrat alam, yang
saling memengaruhi sekaligus untuk melawan kodratnya agar dapat
mewujudkan kehendak dan cita-citanya.
3. Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya,
sekaligus membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan.
Semboyan yang dipegang adalah ’Memayu ayuning bawana’
(memelihara kesejahteraan dunia).7
Secara lebih jelas, Budiono dalam bukunya Simbolisme Jawa
menjabarkan bahwa di dalam tradisi atau tindakannya, orang Jawa selelu
berpegang kepada dua hal, yaitu pertama, kepada pandangan hidupnya yang
5
H. Katono K. Partokusumo dalam artikel: Manusia Jawa dan Kebudayaanya dalam Negara Kesatuan
RI, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 84.
6
Ibid, 85.
7
Ibid
16
religius dan mistis, dan kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung
tinggi moral atau derajat hidupnya.8
Pandangan dan sikap hidup masyarakat jawa ini disimbolkan lewat
berbagai segi kehidupan, dimana nilai-nilai itu dipegang dan dipelihara
sebagai suatu warisan leluhur yang tetap dijaga kelestarian dengan cara
’menularkannya’ kepada generas-generasi yang lebih muda.
Menurut Budiono, terdapat tiga simbol nilai utama dalam setiap tradisi
dan tindakan orang jawa, yaitu simbol yang berhubungan dengan kesatuan roh
leluhur seperti menyediakan sesaji, simbol yang berhubungan dengan
kekuatan seperti memakai keris, tombak, dan yang terakhir adalah simbol
yang berhubungan dengan keluhuran yang erat dengan pedoman-pedoman
bertingkah laku.9
Selain simbol dalam bertingkah laku, orang Jawa juga memiiki tiga
pedoman utama yang dijadikan pegangan dalam bertingkah laku, bertindak
tanduk, dan bertutur kata dalam lingkungan sosialnya yaitu Hasta-Sila, AstaBrata, dan Panca-Kreti.10
Hasta-Sila, yang terdiri atas dua ajaran yaitu Panca-Sila dan Tri-Sila,
merupakan ajaran etika, estetika, dan mistis dalam Serat Sasangka Jati, yang
merupakan salah satu peninggalana karya tulis/sastra budaya Jawa.
Ajaran pertama Hasta-Sila yaitu Panca-Sila merupakan watak dan
tingkah laku dasar yang terpuji, yaitu rilo yang berarti keikhlasan hati,
narimoyaitu sikap mencari ketentraman di hati, temen yang berarti menepati
perkataan sendiri, watak atau sifat sabar yang merupakan tingkah laku terbaik,
serta budi luhur yang berarti upaya untuk selalu menjalani kehidupannya
sesuai dengan sifat yang dimiliki Tuhan YME.
Sedangkan ajaran kedua dari Hasta-Sila yaitu Tri-Sila merupakan
pokok yang harus dilaksanakan oleh manusia setiap hari, yaitu eling atau sadar
8
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 139
Ibid
10
Ibid
9
17
kepada Tuhan, pracoyo atau percaya kepada Sukma Sejati atau jiwa
pribadinya, serta mituhu yang berarti setia dan selalu melaksanakan segala
perintahNya.11
Pedoman utama yang kedua yaitu Asta-Brata atau Delapan Macam
Tindakan. Pedoman ini diambil dari wasiat Cupu Manik Asta Gina dalam
cerita pewayangan.
Simbol dari Asta Brata yaitu: wanita atau wanodya kangpuspita,
simbol dalam hal ini wanita/istri yang cantik dan sempurna untuk
melambangkan cita-cita yang sempurna yang harus diraih, garwa atau
sigarining nyawa, yaitu belahan jiwa, dalam artian harus bersatu dengan
lingkungan, wisma atau rumah, yang berarti agar setiap manusia bisa menjadi
tempat perlindungan,terbuka dan bijaksana, turangga atau tunggangan,
perlambang kuda tunggangan agar manusia dapat mengendalikan panca indra
dan nafsu, dan ini dilakukan oleh joki, yaitu oleh jiwa dan budi manusia itu
sendiri, curiga atau keris, yang menggambarkan pikiran manusia yang tajam
dan diapat dengan cara belajar, dan mengolah rasa agar mampu menanggapi
situasi dengan tepat, kukila atau burung perkutut, manjadi simbol suara
manusia agar dalam berbicara kepada sesama harus selalu enak didengar
sesamnya, warnggana atau ronggeng, yang merupakan penari wanita dalam
area terbuka dan seringkali menggoda penari pria, hal ini melambangkan
godaan dalam setiap perjalanan manusia yang harus dilalui, pradangga,
praptaning kendang lan gangsa atau suara gamelan,melambangkan fungsi
yang dimiliki masing-masing manusia dalam kehidupan dan hanya bisa selaras
bila dijalankan bersama-sama. 12
Sedangkan pedoman utama yang ketiga yaitu Panca Kreti atau lima
perbuatan, yang terdiri atas: Trapsila atau patrap susila-nya, seperti gerakgerik, polah-tingkah, cara menghormati orang tua dan sesamanya, ukara, atau
bicaranya, runtut, jelas dan jujur, sastranya, kepandaian dalam bekerja,
susilanya, bagaimana moralnya, karyanya, hasilnya dalam bekerja.13
Pedoman-pedoman dalam bertingkah laku inilah yang menuntun setiap
pribadi manusia jawa berinteraksi dan bersosialisasi dalam setiap ruang
kehidupan. Dimanapun mereka berada, orang Jawa selelu berupaya menjaga
nilai-nilai budaya, dan diimplementasikan secara nyata kepada setiap
11
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 127
Ibid, 140
13
Ibid, 139
12
18
perbuatan dan tindakan di masyarakat demi terciptanya sebuah keselarasan
dan keharmonisan dalam setiap interaksi dan hubungan, baik dengan Sang
Pencipta, sesama sekitar maupun alam dimana mereka berpijak.
Bentuk kemasyarakatan Jawa itu sendiri secara historis-sosiologis
terdiri dari masyarakat kekeluargaan, masyarakat gotong royong, dan
masyarakat berketuhanan.14 Orang Jawa identik dengan pribadi sosial yang
toleran kepada lingkungan sekitar. Memegang nilai-nilai kebersamaan menjadi
kepribadian orang Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa bukanlah
persekutuan individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk ’satu untuk
semua, dan semua untuk satu’.15
Menurut Budiono, pada masa lalu, sistem hidup kekeluargaan di Jawa
tergambar dalam hukum adatnya. Adat istiadat dimana setiap orang laki-laki
bekerja membantu keluarga yang lain dalam hal-hal tertentu seperti
mengerjakan sawah, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan
kompleks makam, dan kepentingan bersama lainnya. Hal ini merupakan
landasan masyarakat gotong royong. Semboyan saiyeg saekopraya merupakan
gambaran hidup tolong menolong sesama warga.16
Semboyan ’saiyeg saeko proyo’ yang artinya ’bergerak bersama’
diwujudkan ke banyak bentuk dalam kehidupan sehari-hari. Saling membantu,
melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama, menanggung akibat dari
suatu persoalan bersama-sama, hingga ke dalam upaya mempererat hubungan
kekeluargaan. Kebersamaan sudah menjadi semangat kehidupan, dan menjadi
kesadaran dari masing-masing pribadi.
Semboyan lain yang cukup dikenal adalah adalah’mangan ora mangan
asal ngumpul’ yang berarti ’makan tidak makan asal berkumpul’. Semboyan
ini menggambarkan betapa kuat perasaan senasib sepenanggungan terhadap
14
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 66
Ibid.
16
Ibid.
15
19
sesama, dengan pengertian yang lebih luas adalah bahwa susah senang harus
dilalui bersama-sama. Menurut orang Jawa, kebutuhan manusia untuk
diperhatikan, dijaga, dan untuk mendapatkan perhatian dari sesamanya jauh
lebih penting dari kebutuhan manusia akan hal-hal material seperti makanan,
misalnya. Walau begitu semboyan ini secara gamblang ingin menyampaikan
bahwa keadaan sesulit apapun (termasuk kekurangan pangan) dapat diatasi
jika kita menjalaninya secara bersama-sama.
Nilai-nilai kebersamaan yang dipegang oleh masyarakat Jawa juga
memunculkan istilah ojo dumeh. Istilah yang menjadi dasar dipegangnya nilai
kehidupan
yang semuanya diimplementasikan dalam tindakan sehari-hari
dalam bersosialisasi.
Ojo dumeh merupakan peringatan agar seseorang selalu ingat kepada
sesamanya. Saat memiliki kebahagian, harus diingat bahwa itu merupakan
hasil bantuan dan dukungan dari masyarakat sekitarnya.17 Pedoman ini yang
menjadi dasar orang Jawa untuk peduli kepada sesama, dan memberikan
bantuan yang dapat diartikan sebagai tindakan ’berbagi kebahagiaan’ dan
pencerminan sikap rendah hati bahwa keberhasilan dan kebahagiaan yang
mereka raih juga merupakan atas peran serta orang-orang sekitar.
Nilai kebersamaan yang merupakan wujud kepedulian nyata kepada
lingkungannya
tetap
dihargai
sebagai
warisan
nenek
moyang
dan
keberadaanya terus dipelihara secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa.
Generasi tua masyarakat Jawa berusaha untuk tetap terus secara dinamis
menghidupkan tradisi ini dalam sistem kehidupan yang modern, seperti dalam
organisasi usaha, perkumpulan arisan, perkumpulan sosial, perkumpulan
17
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 131
20
olahraga, kesenian tradisional, kepemudaan (karang taruna), maupun sistem
penjagaan lingkungan secara bersama (ronda).18 Semua ini diupayakan agar
tercipta lingkungan masyarakat yang harmonis. Karena dengan keadaan
harmonis yang tercipta diantara para pribadi (sebagai sesama pelaku sistem
sosial), maupun dengan alam (sebagai tempat berpijak), diharapkan tujuantujuan yang ingin diraih oleh setiap orang dalam perjalanan hidupnya dapat
tercapai.
2.2
Iklan sebagai susunan tanda-tanda
Iklan merupakan salah satu bentuk upaya komunikasi dimana hadir
sebagai salah satu bentuk upaya promosi, disamping bentuk promosi lainnya
yang dikenal seperti penjualan personal, promosi penjualan, dan kehumasan.
Keempatnya merupakan komponen utama dari bauran promosi (promotion
mix).19
Secara semiotis, ada dimensi-dimensi yang membedakan antara iklan
dengan objek seni lainnya. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, iklan selalu
berisi tanda berupa obyek yang diiklankan, konteks berupa lingkungan, orang
atau mahluk lain yang memberi makna pada obyek, serta teks berupa tulisan
yang memperkuat makna, meskipun dimensi yang terakhir tidak selalu muncul
dalam iklan.20
Sebuah proses perencanaan kreatif iklan melalui penggunaan tandatanda pada akhirnya akan berhubungan secara langsung dengan berbagai
pendekatan dalam eksekusi sebuah iklan, baik secara tema maupun isi. Dari
18
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 70
May Lwin and Jim Atchison, Clueless in Advertising (Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2005), 5
20
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), xii
19
21
segi isi, setiap elemen yang digunakan dalam iklan masing-masing memiliki
fungsi yang saling mendukung. Sedangkan berbagai sistem budaya dan sistem
sosial yang dianut di masyarakat juga bisa melatar belakangi hadirnya iklan
dengan tema-tema tertentu.
Pengunaan tanda atau simbol dalam iklan ini secara tepat
memungkinkan terjadinya pertukaran makna pesan iklan dapat terjadi.
Budiman Hakim, seorang tokoh periklanan mengungkapkan bahwa iklan yang
baik harus simple, unexpected, persuasive, entertaining, relevant dan
acceptable21 dan kesemuanya bisa dihasilkan dari banyak proses penciptaan
iklan yang salah satunya adalah penggunaan tanda yang tepat.
Iklan-iklan yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi dalam menjual
produk memiliki pendekatan eksekusi yang berbeda-beda dan tidak harus
terpaku kepada teori komposisi penggunaan elemen-elemen iklan yang baku.
Iklan seringkali tampil bersih tanpa tulisan dan menonjolkan visualisasi
dengan pesan sederhana. Pemahaman yang baik akan fungsi dari setiap tandatanda membuat setiap elemen tanda dari iklan saling bersinergi dengan baik
dalam menyampaikan ide secara kreatif. Pemakaian ilustrasi dan headline
yang tepat akan membuat pesan iklan dapat dimaknai dengan tepat oleh
pembaca. Sebaliknya, pemilihan kalimat iklan yang tidak tepat akan membuat
pesan yang disampaikan mengalami pergeseran makna, sehingga tujuan utama
yang ingin dicapai dalam sebuah kampanye periklanan dapat menemui
kegagalan.
21
Budiman Hakim, Lanturan tapi Relevan (Yogyakarta: Galang Press 2005), 49-63
22
2.2.1 Tanda-tanda dalam Iklan Cetak
Menurut Frank Jefkins, tanda yang dapat ditemukan dalam sebuah
iklan; khususnya pada sebuah bentuk karya iklan cetak diantaranya adalah
ilustrasi, headline/judul, subjudul, teks iklan, strapline, dan identitas.22
Ilustrasi, yang biasanya berupa gambar atau foto yang dipergunakan
sebagai elemen visual utama dan dapat berupa foto-foto berwarna (tonal
photographs), gambar kuas (wash drawing), atau gambar garis (line drawing),
atau gabungan ketiga disesuaikan dengan konsep kreatif yang ada,
Headline/Judul, merupakan kalimat utama pada iklan, dan biasanya
berupa pernyataan dalam satu atau dua kalimat. Headline tampil secara
dominan pada iklan sehingga mudah dilihat. Headline memiliki beberapa
bentuk dilihat dari jenis kalimat yang dipergunakan, seperti jenis kalimat
pertanyaan, perintah, tantangan, kesaksian, penawaran, keunikan, kutipan,
larangan, dan lain-lain.
Subjudul, merupakan kalimat pendukung headline yang berfungsi
untuk lebih menekankan pada nilai jual sebuah pesan iklan yang dibawa,
mengarahkan pembaca agar tetap memperhatikan teks iklan, dan menjadikan
iklan lebih menarik, lebih mudah dibaca, serta lebih jelas.
Teks Iklan, merupakan isi iklan atau naskah iklan yang dicetak dengan
huruf yang lebih kecil dari judul dan subjudul. Pendekatan yang seringkali
digunakan dalam penulisan naskah iklan diantaranya melalui pendekatan
emosional, hard-selling, edukasi, narasi, monolog atau dialog, maupun melalui
pendekatan testimonial (kesaksian).
22
Frank Jefkins, Periklanan (Jakarta: Penerbit Erlangga 1997), 233-247
23
Strapline, merupakan slogan yang seringkali berfungsi sebagai kalimat
enutup dalam sebuah iklan. Slogan digunakan untuk menciptakan sebuah citra
perusahaan yang akan ditanamkan ke dalam benak konsumen.
Identitas, iklan seringkali hanya memunculkan nama produk atau
perusahaan yang didukung dengan logo. Namun pencantuman nama
perusahaan dan alamat dengan jelas sering pula dilakukan oleh pengiklan agar
pembaca dapat mengenali perusahaan dengan jelas dan dapat memperoleh
informasi lebih lanjut yang dibutuhkan.
Iklan cetak sebagsi sebuah media komunikasi dua dimensi sangat
berkaitan erat dengan desain komunikasi visual yang menurut Sumbo
Tinarbuko dalam bukunya Semiotika Komunikasi Visual, merupakan salah
satu bagian dari seni terap yang mempelajari tentang perencanaan dan
perancangan berbagai bentuk informasi komunikasi visual.23 Desain
komunikasi visual memiliki beberapa elemen dan prinsip yang dijadikan dasar
kreatif dalam penciptaan sistem tanda-tanda yang menarik sekaligus efektif
dalam sebuah iklan cetak.
M. Suyanto dalam bukunya Perencanaan Desain komunikasi Visual
dalam Iklan menjabarkan beberapa elemen dan prinsip desain komunikasi
visual yang penting untuk diketahui dalam perancangan sebuah iklan. 24
Elemen desain komunikasi visual itu terdiri atas: Garis yang
merupakan suatu tanda visual yang dibuat dari kumpulan titik-titik dan
melewati permukaan. Bentuk, yang merupakan gambaran umum sesuatu yang
tertutup, dan dapat dilukiskan dengan garis. Warna, yaitu elemen grafis yang
sangat kuat dan provokatif. Warna terdiri atas warna primer, sekunder dan
23
24
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Viusual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 31.
M. Suyanto, Aplikasi Desain Grafis untuk Periklanan, (Yogyakarta: Andi, 2004), 57.
24
tertier. Kontras nilai yang merupakan penggambaran rentang kecerahan dan
kegelapan sebuah elemen visual. Tekstur, yang merupakan kualitas permukaan
kertas yang terbagi atas tekstur tactile yang nyata dan dapat dirasakan dengan
menyentuhnya, serta tekstur ilusi visual yang diciptakan menggunakan garis,
bentuk, kontras nilai, atau warna, dan dirasakan secara visual oleh indera
penglihatan. Format, yang merupakan penataan ulang dari elemen-elemen
desain sehingga menjadi sebuah komposisi desain dengan spesisikasi yang
diinginkan.
Sedangkan prinsip desain komunikasi visual terdiri atas: Prinsip
keseimbangan yang merupakan kesamaan distribusi dalam bobot. Prinsip titik
fokus yang merupakan upaya pemfokusan perhatian audiense dalam sebuah
susunan elemen desain yang kompleks. Prinsip hirarki visual yaitu prinsip
yang mengatur elemen-elemen mengikuti perhatian yang berhubungan secara
langsung dengan titik fokus. Prinsip irama yang merupakan pola yang
diciptakan dengan mengulang atau membuat variasi elemen dengan
pertimbangan yang diberikan terhadap ruang yang ada di antaranya dan
dengan membangun perasaan berpindah dari satu elemen ke elemen lainnya.
Dan yang terakhir adalah prinsip kesatuan yaitu bagaimana mengorganisasi
seluruh elemen desain dalam sebuah tampilan.
2.2.2 Nilai Budaya Jawa dalam Iklan
Berbagai jenis iklan kini dapat kita temukan dalam keseharian dan
iklan-iklan tersebut muncul dalam berbagai media yang sangat beragam. Iklan
baik itu komersial maupun non komersial merupakan salah satu bentuk media
komunikasi efektif dalam menyampaikan sebuah pesan karena iklan langsung
25
berbicara kepada audience yang dituju. Setiap iklan memiliki tanda yang
berbeda dalam upaya memvisualkan pesan agar mampu sampai ke khalayak
dengan baik lewat sebuah tingkat ketertarikan yang tinggi akan iklan tersebut.
Penggunaan tanda pada iklan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
karakter konsumen (baik dari segi demografi, psikografi, geografi, dan
behaviouristik) maupun dari tujuan yang ingin dicapai melalui iklan tersebut
(menumbuhkan kesadaran, menggugah, membujuk, dan sebagainya).
Salah satu upaya perencanaan kreatif sebuah kampanye periklanan
adalah dengan memunculkan simbol-simbol budaya ke dalam bentuk eksekusi
iklan. Pengangkatan nilai budaya seringkali menjadi pilihan para kreator iklan
dalam menghasilkan karya iklan agar mampu meraih perhatian konsumen.
Pengangkatan nilai budaya dianggap efektif karena mampu berbicara secara
lebih dekat kepada audience. Simbol-simbol budaya dihadirkan dalam sebuah
bentuk eksekusi iklan dimana di dalamnya terdapat kesatuan antar simbol
dalam benak konsumen.
Nilai budaya yang dianut oleh sebuah komunitas masyarakat itu
sendiri, baik dalam ruang lingkup kedaerahan maupun dalam ruang lingkup
yang lebih luas memiliki karakteristik yang berbeda. Nilai-nilai budaya yang
dianut oleh masyarakat Thailand berbeda dengan nilai yang dianut masyarakat
Inggris. Begitu juga di Indonesia; karakteristik penduduk yang terdiri atas
ratusan suku yang berbeda menghasilkan ratusan sistem budaya, sistem sosial
dan sistem kebendaan yang sangat beragam. Bagaimana orang Jawa
melakukan upacara pernikahan tidak akan sama dengan cara orang Nias
menikahkan anaknya. Begitu pula dengan barang-barang kerajinan tangan
26
yang memiliki keunikan tersendiri di tiap daerah merupakan cermin dari
keragaman budaya yang ada di Indonesia.
Karena itu, pengangkatan nilai budaya yang beragam juga ditemukan
dalam banyak bentuk eksekusi iklan. Iklan-iklan global akan menggunakan
simbol-simbol budaya yang universal atau setidaknya telah dikenal luas
walaupun simbol budaya ini diangkat dari budaya lokal. Kebudayaan lokal ini
menjadi ikon yang mengglobal karena ’disebarkan’ oleh berbagai media
seperti film-film Holywood, iklan televisi maupun program-program acara
televisi di seluruh dunia. Sehingga budaya lokal ini pada akhirnya menjadi
sebuah ikon yang mendunia sekaligus melegenda. Contohnya adalah iklaniklan rokok Marlboro dengan simbol-simbol budaya western khas Amerika
yang identik dengan visualisasi cowboy (penunggang kuda), kuda, ataupun
padang rumput dan pemandangan landscape yang indah. Iklan-iklan produk
rorok ini muncul dengan pendekatan eksekusi maupun ide kreatif yang
konsisten selama bertahun-tahun. Iklan yang menggambarkan kebudayaan
masyarakat yang bebas, penuh petualangan, sekaligus menghargai nilai-nilai
dan tradisi lokal yang menjadi kebanggaan; dalam hal ini digambarkan melalui
cita rasa rokok khas Amerika.
Penggunaan simbol budaya dalam iklan itu sendiri merupakan bentuk
dari sebuah akulturasi budaya. Iklan sebagai media global yang identik dengan
dunia modern menyatu dengan muatan dan nilai tradisi lokal yang terdapat di
dalamnya. Hal ini yang sering disebut sebagai glokalisasi, suatu proses
adaptasi dunia modern dalam konteks lokal.25
25
Mendiola B. Wiryawan dalam artikel: Desain Etnik, Desain Grafis Khas Indonesia, Majalah
Concept, Juni 2006 73.
27
Akulturasi budaya ini dapat kita lihat dalam eksekusi iklan-iklan cetak
maupun televisi yang mengangkat nilai budaya sebagai konsep kreatifnya.
Harian Suara Merdeka Semarang seringkali mengangkat kebudayaan yang
berakar cirikhas kelokalan seperti kesenian tradisional, makanan khas daerah,
hingga ’jargon’ atau istilah yang akrab di lingkungan budaya setempat yang
semua pendekatan ini dikombinasikan dengan pesan-pesan penjualan yang
kreatif. Simbol budaya lokal juga bisa kita lihat pada iklan televisi Indomie
yang sering muncul pada periode juni 2008, dimana pada iklan ini jingle iklan
Indomie dinyanyikan oleh banyak talent dalam bahasa daerah yang berbedabeda, namun di dalam sebuah kemasan iklan televisi yang modern sekaligus
dengan pesan penjualan yang sangat kuat.
Eksekusi dari iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat juga
menggambarkan bahwa nilai-nilai kelokalan bisa menjadi konsep kreatif yang
kuat dalam proses penciptaan iklan untuk mendukung kampanye pemasaran
modern yang lebih luas. Hal ini bisa dilihat dari ilustrasi maupun teks iklan
yang menggambarkan keseharian masyarakat dan budaya Jawa khususnya
dalam hal ini adalah masyarakat Yogyakarta dalam sebuah pesan iklan yang
menarik, dimana iklan ini muncul dalam berbagai media cetak nasional
sehingga iklan lokal ini meraih jangkauan pembaca yang lebih luas.
Bentuk kreativitas Iklan-iklan dari Jogja muncul dari sebuah keadaan
dimana terdapat dominasi kebudayaan tunggal dalam semua lapisan
masyarakat. Kebudayaan Jawa menjadi sebuah bentuk kebudayaan yang telah
28
menjadi keseharian masyarakat. Hal ini membuat idiom-idiom etnik
dengan mudahnya diangkat ke dalam karya iklan modern secara alamiah. 26
Kreator iklan dari Yogyakarta memiliki kecenderungan untuk
menggali simbol-simbol budaya sendiri di dalam proses berpikir kreatif
mereka. Iklan-iklan lokal Jogja seringkali mengemas pesan melalui potret
kejadian sehari-hari. Upaya ini dilakukan dengan harapan untuk menyentuh
khalayak sasaran sekaligus memuat nilai-nilai luhur budaya yang dianut oleh
masyarakat Jogja secara umum.27
Penggunaan tanda berupa simbol budaya Jawa dalam iklan ini menjadi
sebuah alat penghantar yang dapat berbentuk bahasa, benda, atau barang,
warna, suara maupun tindakan atau perbuatan.
28
Simbol ini dimunculkan
dalam bentuk visualisasi khas budaya Jawa seperti rumah joglo, alat
transportasi tradisional seperti delman atau becak, makanan tradisional,
kesenian tradisional, bentuk kerajinan daerah, hingga ke penggunaan karakter
dari tokoh pewayangan, maupun melalui pengakatan realitas masyarakat Jawa
dalam kesehariannya.
Dalam dunia pewayangan salah satu karakter penokohan yang paling
dikenal adalah Punakawan dan sering diangkat sebagai sumber ide kreatif dari
eksekusi sebuah media, baik itu poster, flyer, cover buku, maupun iklan.
Tokoh Punakawan terdiri atas empat tokoh utama (Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong) dimana seringkali kisah kehidupan mereka lekat dengan nilai dan
pesan moral yang hanya dapat tercipta jika masing-masing individu dalam
sebuah sistem sosial mengerti peranannya dan memadukannya dengan
26
Mendiola B. Wiryawan dalam artikel: Desain Etnik, Desain Grafis Khas Indonesia, Majalah
Concept, Juni 2006 73
27
Artikel: Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri, Majalah AdDiction, September 2006, 8
28
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 137
29
individu lain untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan tokoh Bilung dan
Togog, seringkali digambarkan sebagai tokoh antagonis, yang berlawanan
dengan keempat tokoh utama dari Punakawan. 29
Secara umum seringkali tokoh utama Punakawan. secara visual
digambarkan sbb:
Gambar 2.1.2 Tokoh Utama Punakawan
Tokoh-tokoh dalam Punakawan memiliki karakter yang unik seperti:
Semar, aslinya tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Tokoh ini
dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai
Advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Paku disini dapat
juga difungsikan sebagai pedoman hidup, pengokoh hidup manusia.
30
Sosok
Semar juga merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan
kearifan jiwa yang luar biasa.31
Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal
dari sebuah wejangan Tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwallahi,
29
prabuwayang.wordpress.com
Sudarjanto, Wayang dan Wayang Kulit, www.sudarjanto.multiply.com
31
Punakawan: Simbol Kerendahhatian dan penebar Hikmah, www.setiabudi.name.com
30
30
yang artinya : tinggalkan semua apapun yang selain Allah.32 Petruk anak
Semar yang bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, pandai
berbicara, dan juga sangat lucu.33 Ia suka menyindir ketidakbenaran dengan
lawakan-lawakannya. Petruk dikenal sebagai seorang pribadi yang cenderung
asal bicara tapi sedikit bodoh.34
Gareng, juga diadaptasi dari kata Arab Naala Qariin. Kata Naala
Qariin, artinya memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para wali
sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat)
untuk kembali kejalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.35
Gareng adalah anak Semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan
memuja. Nalagareng adalah seorang yang tak pandai bicara, apa yang
dikatakannya kadang- kadang serba salah. 36Sekalipun cerdas dan hati-hati tapi
sulit menyampaikan sesuatu melalui kalimat.37
Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu
berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Dalam versi lain kata
Bagong berasal dari Baqa' yang berarti kekal atau langgeng, artinya semua
manusia hanya akan hidup kekal setelah di akhirat nantinya. Dunia hanya
diibaratkan Mampir Ngombe (Sekedar Mampir untuk Minum).38 Bagong
selain memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh, juga memiliki sifat
sangat lucu.
32
Sudarjanto, Wayang dan Wayang Kulit, www.sudarjanto.multiply.com
www.semarasanta.wordpress.com
34
Punakawan: Simbol Kerendahhatian dan penebar Hikmah, www.setiabudi.name.com
35
www.sudarjanto.multiply.com, loc cit.
36
www.semarasanta.wordpress.com
37
www.setiabudi.name.com, loc it.
38
www.sudarjanto.multiply.com, loc cit.
33
31
Bilung adalah rival abadi Petruk. Dari sosok Bilung kita mendapatkan
pelajaran untuk selalu menghargai masukan dari siapapun. Dalam cerita
wayang disebutkan bahwa karakter ini adalah sahabat Togog dan sering
memberikan masukan kepada tuannya. Karena kemunculannya dalam cerita
pewayangan yang tidak sesering dari keempat tokoh Punawakan yang disebut
diatas, maka secara visual Bilung pun muncul tidak dominan, namun walau
begitu, kehadirannya dengan peran yang dimilikinya dapat melengkapi
cerita.39
Pengunaan simbol budaya akan melahirkan kedekatan visual, dan hal
inilah yang ingin diraih dari khalayak. Kedekatan ini semakin diperkuat oleh
pesan iklan yang juga sarat akan nilai-nilai kehidupan yang bersandar pada
nilai-nilai budaya tersebut. Dengan kata lain, pengangkatan nilai budaya dan
penggunaan simbol budaya dalam iklan dimaksudkan untuk mengangkat halhal kecil dan biasa dalam keseharian menjadi sesuatu yang bernilai. Dan hal
tersebut dapat diperoleh melalui kepekaan, kedekatan, dan pengenalan yang
baik dari para pencipta iklan akan kebudayaan secara luas.40
2.3
Semiotika sebagai Kajian untuk Memahami Sistem Tanda
Komunikasi dalam upaya menyampaikan sebuah pesan memungkinkan
terjadinya
transaksi
pertukaran
informasi
oleh
kedua
pihak
yang
berkomunikasi. Proses transaksi ini menggunakan tanda-tanda komunikasi
baik verbal maupun non verbal sehingga mampu menjadi penghubung agar
terjadi kesepakatan akan makna.
39
40
Punakawan: Simbol Kerendahhatian dan penebar Hikmah, www.setiabudi.name.com
Artikel: Mengangkat Hal Biasa Jadi Luar Biasa, Majalah AdDiction, September 2006
32
Dalam buku Semiotika Komunikasi Visual karya Sumbo Tinarbuko,
diungkapkan bahwa menurut Zoest tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang
berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat
diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu , tanda tidaklah
terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang
ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda.
Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan,
suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa
memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu
sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara
cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam,
kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu
dianggap sebagai tanda.41
Saat terjadi transaksi, baik komunikator maupun komunikan berusaha
untuk memiliki pemaknaan yang sama terhadap isi pesan. Karena itu
komunikasi secara luas dapat diartikan sebagai upaya ’berbagi pengalaman’,
yang didalam prosesnya sangat memungkinkan terjadinya pertukaran makna
dan tanda.42 Hal ini diperkuat oleh pendapat Bernard Berelson dan Gary A.
Steiner, dalam buku Edy Mulyana bahwa ”komunikasi merupakan transmisi
informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya melalui simbolsimbol – kata-kata, gambar, figur, dan grafik” dalam buku Alex Sobur yang
berjudul Semiotika Komunikasi.43
Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi44. Manusia melalui
perantaraan tanda-tanda dapat berkomunikasi dan beriteraksi dalam sebuah
sistem sosial.
Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas
berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non verbal, teori
41
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 12
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung:Remaja Rosdakarya 2000), 42
43
Ibid, 62
44
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 15
42
33
yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan
bagaimana sebuah tanda disusun.45
Charles Sanders Pierce dalam buku Semiotika Komunikasi Visual
menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia
juga hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.46 Dan dalam sebuah
proses komunikasi, esensi dari pembongkaran makna hanya dapat dilihat dari
adanya hubungan antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan
gejala yang ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat diketahui dan
dilihat bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi dalam sebuah proses
komunikasi.47
Komunikasi
memerlukan dan bahkan bertumpu kepada ’pekerja
tanda’ yang memilih tanda dan mengkombinasikannya dalam rangka
memproduksi sebuah ekspresi bentuk baik kata ataupun gambar.48 Tandatanda inilah yang nantinya akan diterima oleh pihak lain dan akan coba
dimengerti, sehingga terjadi proses pertukaran tanda yang membuka peluang
terjadinya proses pembentukan makna.49
Dalam sebauah proses komunikasi, sistem tanda menjadi sebuah sarana
yang penting.50 Dan untuk melihat bagaimana sistem penaandaan ini berfungsi
dalam sebuah proses komunikasi digunakan suatu kajian dalam ilmu
komunikasi yang dikenal dengan kajian semiotika atau semiologi.
45
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 15
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 16
47
Ibid, op.cit
48
Ibid, xii
49
Ibid
50
Ibid, 16
46
34
Semiotika merupakan ilmu atau metode analisa untuk mengkaji
tanda.51 Kajian tersebut tidak terbatas pada bahasa dan sistem komunikasi
yang tersusun oleh tanda melainkan juga dunia itu sendiri yang terdiri atas
tanda.52
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion
yang berarti ”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain.53
Alex Sobur mengungkapkan teori dari Umberto Eco yang secara
terminologis mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai
tanda54
Alex Sobur juga mengungkapkan, bahwa menurut John Fiske, terdapat
tiga area penting dalam kajian semiotika yang memiliki pusat perhatian pada
tanda; yaitu:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda,
seperti cara menghantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan
orang yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang itu disusun. Kajian ini
meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk
mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.
3. Kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi.55
Pengetahuan akan semiotika sudah muncul pada zaman pertengahan
khususnya di bidang filsafat melalui pemikiran John Locke. Akan tetapi
semiotika modern lebih mengacu kepada dua pemikir, yaitu: Ahli bahasa dari
Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan filsof Amerika
51
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 15
Ibid, 13
53
Ibid, 95
54
Ibid
55
Ibid, 94
52
35
bernama Charles Saunders Pierce (1839-1914). 56 Dari kedua pemikir tersebut
lahirlah sebuah gerakan yang mengembangkan analisis semiotik dan
diteruskan oleh ahli lain seperti Roland Barthes (Perancis) dan Umberto Eco
(Italia).
Dalam buku Semiotika Komunikasi karangan Alex Sobur, Ferdinand
De Saussure mengemukakan teori bahwa tanda memiliki dua aspek penting
dalam proses komunikasi yaitu sound image/penanda (signifier) dan
konsep/petanda (signified). Penanda (signifier) adalah bunyi yang bermakna,
atau coretan yang bermakna, yakni apa yang dikatakan dan dibaca (aspek
material). Sedangkan petanda (signified) adalah gambaran mental, yakni
pikiran atau konsep dari bahasa (aspek mental). Hubungan antara signifier dan
signified disebut signification.57
Sedangkan, menurut Charles Sanders Pierce, tanda berkaitan dengan
objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat
dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda
tersebut.58 Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaanya, indeks untuk
hubungan sebab akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.59
Kedua jenis hubungan tanda inilah yang terjadi dalam setiap proses
komunikasi dan bagaimana keberadaan tanda serta bagaimana tanda-tanda itu
berperan dalam sebuah sistem tanda menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
Salah satu teori yang seringkali digunakan untuk mengkaji tanda sebagai
sebuah sistem/struktur adalah teori ’semiotika signifikasi’ dari Saussure.
Saussure mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin ilmu yang
56
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 110
Ibid, 46
58
Ibid, 34
59
Ibid
57
36
mengkaji peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.60 Implisit dalam
definisi tersebut adalah bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial,
maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan yang berlaku.61
Dengan melihat kepada dua bidang penanda (signifier) dan petanda
(signified) Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social
convention) yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya. Sehingga
teori semiotika signifikasi dari Saussure merupakan semiotika yang
mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan
aturan main dan konvensi tertentu.62 Dengan begitu teori semiotika diharapkan
dapat membantu untuk memahami bagaimana sebuah sistem tanda bekerja
dalam setiap proses komunikasi baik dalam bentuk komunikasi lisan, tulisan
ataupun visual.
2.4
Representasi dalam Semiotika
Representasi kehidupan merupakan suatu realitas sosial. Iklan dengan
bahasa yang digunakannya pun menjadi representasi dari aspek yang
melambangkan dan yang dilambangkan. Representasi dapat dilihat melalui
sistem tanda-tanda yang terdapat didalamnya.
Dan dalam hal ini, semiotika menjadi bentuk kajian yang mengkaji
tentang watak tanda-tanda yang digunakan oleh pikiran dalam mencapai
pemahaman
terhadap
sesuatu
atau
dalam
menyampaikan
ketahuannya kepada orang lain.63
60
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), vii
Ibid
62
Ibid, viii
63
Essay Concerning Human Understanding, 1986, hal. 32
61
ketahuan-
37
Bahasa iklan juga merupakan suatu sistem tanda yang menjadi bagian
dari semiotika. Semiotika dan bahasa iklan menjadi upaya yang dapat
merepresentasikan kondisi sosial dan kultural. Oleh karena itu, semiotika
digunakan sebagai salah satu model rujukan untuk membantu mengetahui
makna di balik bahasa iklan. Salah satu konsep yang relevan dalam
memaparkan pemahaman iklan dapat dilakukan melalui representasi.
Konsep mengenai representasi hadir dalam kajian mengenai kebudayaan dan
menekankan pada pentingnya makna yang terbentuk dalam kehidupan dan
sistem sosial. Hal ini sering tampak pada penyampaian pesan sebuah iklan.
Dalam konteks ini budaya digambarkan sebagai proses produksi dan
pertukaran makna yang terus menerus. Dalam kaitannya dengan dunia
komunikasi, Alan O. Connor menyatakan bahwa budaya sebagai proses
komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.64 Dari pengertian
ini, pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada
pemahaman subyek di dalam lingkungan kebudayaannya. Dalam kaitannya
melihat iklan sebagai produk kebudayaan, maka penting untuk melihat
bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui bentuk
eksekusi iklan baik itu ilustrasi maupun bahasa yang ditampilkan..
Media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya ke ruang
publik, dan salah satunya bisa merupa media iklan. Representasi dapat
dikatakan sebagai cerminan dari realitas yang ditampilkan media, di samping
realitas yang sebenarnya. Media berperan sebagai bagian yang sekadar
menghadirkan fakta atau peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat.
64
Alan O.Connor. Culture and Communication-Questioning The Media: A Critical Introdustion. (Sage
Publication: California, 1990), 29.
38
Representasi merupakan gambaran dari realitas yang ditampilkan
sebagai hasil pemaknaan pesan yang disampaikan. Sedangkaian bagian-bagian
yang (seringkali) tak terlihat dalam pengungkapan realitas itu disebut sebagai
upaya pemaknaan. Peran pemaknaan terletak pada diri pembaca/audiens.
Peran bahasa menjadi penting sebagai medium untuk mencapai makna.
Bahasa akan membantu upaya untuk mengartikan atau merepresentasikan
makna yang ingin dikomunikasikan oleh si pemberi pesan. Stuart Hall
menyatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai tanda, yang bersifat
mengartikan atau merepresentasikan konsep-konsep, gagasan atau perasaan
yang memungkinkan terjadinya interpretasi.65
Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa
yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari
suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia
atau peristiwa. Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian
utama, yakni mental representations dan bahasa.66 Representasi bersifat
subyektif;
masing-masing
orang
memiliki
perbedaan
dalam
menginterpresentasikan konsep pesan yang dihadirkan.
Dalam relasi antara media dan pembaca, harus dipahami bahwa media
mempunyai bentuk representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan
pembacanya. Media menyampaikan pesan melalui iklan dan itu memberi
gambaran ideologis dari pelaku representasi media, terhadap keadaan sosial
dan budaya yang digambarkan.
65
Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices. (Sage
Publications: London, 1997), 56.
66
Ibid, 56.
39
Kaitannya dengan semiotika, ilmu ini dapat didefinisikan sebagai
representasi terhadap sesuatu yang mampu menyampaikan pesan dan makna
kepada orang lain dalam sebuah sistem tanda. Semuanya menghasilkan upaya
pemaknaan pada sebuah keadaan dimana semua mencacu pada Tanda itu
sendiri, kode atau sistem di mana lambang-lambang itu disusun, serta
kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi.67
67
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 200294
BAB III
METODOLOGI
3.1
Paradigma Penelitian
Di dalam sebuah peneltian, sebuah paradigma dibutuhkan oleh penulis
dalam menentukan sebuah cara pandang terhadap suatu masalah. Paradigma
dapat membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan
yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya serta aturan-aturan
yang harus diikuti dalam menginterprestasikan informasi yang dikumpulkan
dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut.1
Paradigma penelitian digunakan dalam penelitian sebagai acuan
konsep untuk melakukan rancangan penelitian. Paradigma dalam penelitian ini
berorientasi pada paradigma konstruktivis dengan mengedepankan telaah
secara objektif dan kritis dari materi iklan yang diteliti. Paradigma
konstruktivis secara objektif dan kritis berupaya mengungkapkan suatu teks
atau wacana berdasarkan isi yang disajikan, dengan menganalisis maksudmaksud dan makna-makna tertentu.2 Wacana itu sendiri merupakan suatu
upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek yang mengemukakan
suatu pertanyaan.3
Wacana dalam penelitian ini merupakan bentuk eksekusi dari iklan
majalah harian Kedaulatan Rakyat dimana akan berusaha diungkapkan
1
Manase Malo & R. Sulastiawaaan, Permasalahan dan Preposisi Penelitian, Metodologi Penelitian
Sosial (Jakarta: Penerbit Karunia, Universitas Terbuka, 1986), 32
2
website: www.garis-cakrawala.blogsppot.com
3
Ibid
41
maksud tersembunyi dari subyek pembuat iklan yang merupakan kreator iklan
tersebut tersebut dengan melakukan beberapa upaya penafsiran.
Paradigma Konstruktivis menekankan pada upaya menyusun kembali
pemaknaan terhadap realitas tanpa perlu adanya konsekuensi aksi perubahan
struktur sosial. Selain itu, paradigma konstruktivis mengatakan kebenaran
bersifat relatif, dan ditentukan oleh konteks masyarakatnya.4
3.2
Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang
bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi
atau kejadian-kejadian.5
Penelitian deskriptif tidak perlu mencari atau menerangkan saling
hubungan, menguji coba hipotesa, membuat ramalan, atau mendapatkan
makna atau simplikasi, walaupun penelitian yang bertujuan untuk menemukan
hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.6
Dari definisi di atas, maka tipe penelitian deskriptif dalam penelitian
ini bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan makna dalam
struktur teks iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat dilihat dari setiap aspek
konsep tanda yang digunakan.
Berdasarkan acuan paradigma konstruktivis yang digunakan, maka
penelitian deskriptif ini akan bersifat interpretatif menyebabkan pandangan
yang menyatakan kebenaran bersifat relatif juga terbawa dalam kajian
4
Litbang Kompas, www.kompas.com
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 76
6
Ibid
5
42
semiotika ini.7 Cara pandang ini yang menyebabkan terbukanya peluang yang
besar dalam penelitian ini untuk dibuatnya interprestasi-interprestasi baru serta
berbagai bentuk penafsiran lain yang mungkin tidak sejalan dengan hasil
analisa yang dilakukan oleh penulis.
3.3
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
semiotika.8 Dengan metode semiotika tanda-tanda iklan diinterprestasikan
secara mendalam sehingga diharapkan dapat memberi penjelasan yang lebih
terperinci mengenai kandungan dari tanda yang terdapat dalam iklan cetak
harian Kedaulatan Rakyat.
Secara luas, penulis akan menggunakan teori Semiotika Signifikasi
yang didasari oleh pemikiran dari Ferdinand de Saussure dimana penulis akan
melihat ke dalam tiga area penting dalam kajian akan tanda; yaitu tanda itu
sendiri, sistem dimana tanda itu tersusun, dan kebudayaan di mana tanda itu
beroperasi.9
Mengacu pada sebuah analisa tanda pada sebuah iklan cetak yang
mengangkat nilai budaya Jawa, penulis akan melakukan suatu kajian yang
menempatkan peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, serta menjadi
bagian dari struktur sosial 10 Penulis akan melihat relasi pertandaan ini dengan
melihat kepada bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ’bentuk’ atau
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2002), 147
Ibid
9
Ibid, 94
10
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), vii
8
43
’ekspresi’; dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan ’konsep’ atau
’makna’.11
Dengan metode semiotika ini tanda-tanda akan iklan diinterprestasikan
secara mendalam sehingga diharapkan dapat memberi penjelasan yang lebih
terperinci mengenai kandungan dari tanda yang terdapat dalam iklan cetak
harian Kedaulatan Rakyat.
3.4
Unit Analisa
Sebagai unit analisa dalam penelitian ini adalah tanda-tanda termasuk
satuan tanda (signeme) yaitu elemen-elemen visual yang digunakan dalam
ilustrasi dalam ketiga iklan serta teks iklan yang terdiri atas headline,
subheadline, dan naskah iklan. Unit analisa lainnya yaitu elemen pendukung,
komposisi lay out dan warna yang melengkapi kesatuan desain iklan secara
menyeluruh.
Unit analisa ini akan mencakup dua versi iklan cetak harian
Kedaulatan Rakyat dengan versi yang berbeda, yaitu versi ”Membersihkan
Jalan” dengan visualisasi seorang petugas penyapu jalan dengan latar
belakang lukisan di tembok (mural) yang menggambarkan para tokoh
punakawan dalam pewayangan, dan versi ”Menarik Becak” dengan visualisasi
seorang penarik becak dengan latar belakang mural yang menggambarkan
beberapa karakter dari anggota masyarakat.
11
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), viii
44
3.5
Definisi Konsep
Dalam penelitian ini akan dilihat mengenai :
a.
Muatan nilai budaya Jawa yang terdapat dalam semua aspek
tanda yang terdapat dalam kedua iklan cetak harian Kedaulatan
Rakyat.
b.
Nilai-nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa yang
tampak/direpresentasikan dalam kedua iklan.
c.
Nilai kebersamaan yang tercermin pada berbagai falsafah dan
pandangan hidup masyarakat Jawa, khususnya pada semboyan
’saiyeg saeko proyo’ yang artinya ’bergerak bersama’ untuk
meraih kebahagiaan bersama.
Oleh karena itu penelitian ini mencoba melihat nilai-nilai kebersamaan
sebagai bagian budaya Jawa dimana hal ini dimunculkan dalam eksekusi iklan
majalah harian Kedaulatan Rakyat lewat pengambaran aktivitas sehari-hari
masyarakat yang lekat dengan upaya menjalin keselarasan dengan lingkungan
dimana di dalamnya banyak diangkat hal-hal kecil dalam kehidupan.
3.6
Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini yang disebut sebagai data adalah semua aspek
tanda dan satuan tanda yang terdapat di dalam ketiga iklan cetak harian
Kedaulatan Rakyat pada tahun 2007 yang dimuat di majalah bulanan Cakram
untuk kemudian dioservasi dan didokumentasikan untuk kemudian diteliti dan
dianalisa berdasarkan kategori penanda dan petandanya.
45
3.7
Analisa Data
Data-data yang terdapat dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat
diolah secara kualitatif untuk kemudian coba dianalisa agar dapat diketahui
maknanya. Untuk menemukan makna dalam penelitian ini digunakan metode
analisis sintagmantik dan paradigmatik.
Melalui analisis sintagmantik, teks (gambar iklan) akan diperiksa dan
diuji sebagai rangkaian yang membentuk sebuah narasi. Inti dari analisis
sintagmantik adalah untuk melihat secara mendalam bagaimana teks-teks iklan
tersebut terbentuk oleh serangkaian peristiwa berupa visualisasi tanda yang
tersusun secara beraturan. Selain itu, melalui analisa sintagmantik akan dilihat
kombinasi tanda-tanda berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan
ungkapan bermakna.12
a. Definisi Konseptual
Aspek sintagmatik dalam penelitian ini mengacu pada keberlakuan
sistem tanda dalam materi iklan cetak harian Kedaulatan Rayat yang terdiri
dari signified dan sifnifier. Seluruh gambar dan bahasa dalam materi iklan
akan dikaji berdasarkan unsur penanda (signified) dan petanda (signifier)
sebagai representasi atau simbolisasi dari nilai-nilai kebersamaan dalam
budaya Jawa.
b. Definisi Operasional
Seluruh gambar dan bahasa yang disajikan dalam materi iklan harian
Kedaulatan Rakyat akan diklasifikasikan ke dalam bentuk sistem tanda yang
mencakup siginified dan signifier.
12
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), ix
46
Sementara analisis paradigmatik adalah analisis yang berhubungan
dengan prosedur yang memungkinkan dilakukannya ”pembongkaran” serta
pencarian ideologi yang terkandung dalam makna tanda-tanda dimana hanya
ada satu pilihan makna yang akan dipilih.13
a. Definisi Konseptual
Aspek paradigmatik mengacu pada makna tunggal yang diperoleh
berdasarkan telaah secara sintagmatik dalam materi iklan harian Kedaulatan
Rakyat. Pemaknaan iklan dalam penelitian ini menjadi acuan untuk memahami
nilai-nilai repersentasi kebersamaan budaya Jawa.
b. Definisi Operasional
Seluruh gambar dan bahasa yang disajikan dalam materi iklan pada
dasarnya merepresentasikan tata nilai dan kehidupan yang terjadi pada
masyarakat Jawa. Nilai-nilai tersebut diimplementasikan ke dalam bentuk
gambar dan bahasa yang disajikan dalam materi iklan. Dengan demikian, akan
diketahui makna tunggal sebagai indikator aspek paradigmatik yang
dikandung materi iklan tersebut dari segi representasi kebersamaan budaya
Jawa.
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), ix
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan terhadap iklan majalah harian Kedaulatan
Rakyat bertujuan untuk membongkar makna di balik sistem tanda yang
berhubungan, baik visual dan verbal agar didapatkan sebuah hasil bagaimana nilai
kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa direpresentasikan ke dalam kedua
iklan tersebut. Dua versi iklan yang akan diteliti adalah iklan versi ’membersihkan
jalan’ dengan tokoh penyapu jalan dan lukisan mural tokoh pewayangan
Punakawan serta iklan versi ’menarik becak’ dengan tokoh penarik becak dan
lukisan mural yang menggambarkan berbagai lapisan masyarakat Yogyakarta.
Perangkat tanda dalam kedua iklan akan dianalisa menggunakan aksis
bahasa sintagmantik dan paradigmatik. Melalui kajian sintagmantik akan dikaji
secara mendalam dua unsur tanda yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified)
sebagai sebuah sistem perangkat tanda dimana kedua bidang tanda ini berfungsi
di dalam sebuah aturan yang menghasilkan ungkapan bermakna. Sedangkan
analisa paradigmatik akan melihat makna yang diciptakan dari upaya
pembongkaran sistem dan cara kombinasi perangkat tanda-tanda yang ada.
48
4.1.1
Analisa Sintagmantik Iklan Majalah Harian Kedaulatan Rakyat versi
”Menyapu Jalan”
Gambar 4.1.1 Iklan harian Kedulatan Rakyat versi ’Menyapu Jalan’
49
Melalui kajian sintagmantik, pada iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat
versi ”Menyapu Jalan” akan dikaji secara mendalam dua unsur tanda yaitu
penanda (signifier) dan petanda (signified) sebagai sebuah sistem perangkat tanda
dimana tanda-tanda yang akan dikaji adalah Headline, Ilustrasi, Teks Iklan, dan
Identitas dimana keempat tanda tersebut berfungsi di dalam sebuah aturan yang
menghasilkan ungkapan bermakna.
4.1.1.1 Headline
Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat kalimat ’Bebarengan Mrantasi
Gawe’, dimana tulisan berjenis roman berwarna putih dengan latar belakang
elemen dekoratif. Tulisan divisualisasikan sekaligus sebagai ilustrasi dimana
letaknya terdapat pada lukisan mural di tembok yang menjadi latar belakang
ilustrasi utama.
Untuk aspek Petanda (signified), ’Bebarengan Mrantasi Gawe’ dalam
bahasa Indonesia berarti ’bersama menyelesaikan pekerjaan’. Headline ini muncul
menyatu dengan ilustrasi iklan, digambarkan sebagai bagian dari lukisan mural di
tembok pinggir jalan. Headline menggambarkan pesan utama dari iklan dimana
kehadiran headline akan ’menuntun’ pembaca ke dalam sistem perangkat lain
yang mendukungnya (ilustrasi dan teks iklan).
Pemunculan headline dalam bahasa Jawa merupakan bentuk pengangkatan
nilai budaya Jawa yang khas, dekat dengan keseharian masyarakat, dan mampu
menarik perhatian. Headline ini menggambarkan semangat kebersamaan yang
dimiliki oleh masyarakat Jogja, dimana karakternya diwakili oleh tokoh-tokoh
50
Punakawan yang dengan semangat turut serta dalam pekerjaan seorang penyapu
jalan yang seringkali dianggap sepele. Ungkapan headline yang merupakan
ungkapan keseharian masyarakat Jawa ini pun coba dihadirkan dalam eksekusi
iklan sehingga nilai-nilai budaya dan falsafah yang terkandung di dalamnya dapat
kembali diingat dan kembali dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemilihan jenis huruf Roman selain agar memiliki tingkat keterbacaan
yang baik, sekaligus menampilkan kesan informal, dinamis, sekaligus tampak
solid. Kesan solid dimaksudkan agar headline mampu ’muncul’, ’berbicara’ dan
tertanam dalam benak konsumen, sehingga diharapkan mampu menggugah
pembaca untuk melakukan suatu perubahan positif baik dalam sikap dan tindakan.
Warna putih digunakan untuk mempertimbangkan faktor clarity /kejelasan serta
’kebersihan’ area desain, sehingga tulisan dengan background gelap/hitam dapat
terlihat dan terbaca dengan baik.
Elemen dekoratif yang dihadirkan sebagai dasar headline memiliki
beberapa pengertian, diantaranya berfungsi sebagai elemen visual yang
memperkuat tampilan headline, karena dengan begitu headline memiliki tingkat
keterbacaan yang lebih jelas. Elemen ini muncul secara estetika dekat dengan
bentuk-bentuk ornamen khas Jawa dimana bentuk ornamen itu dapat kita temui di
berbagai lukisan batik, atau pada ukiran barang-barang kerajinan khas
Yogyakarta.
Elemen dasar ini juga ingin menggambarkan visualisasi ’baloon’, dimana
dalam cerita bergambar (komik), baloon berfungsi untuk menempatkan kata-kata,
dialog, dan tulisan lainnya, sebagai sarana agar gambar dapat ’berbicara’ kepada
51
audiens. Headline iklan dalam hal ini diposisikan sebagai sebuah pesan penting
yang ingin disampaikan dan diharapkan mampu mendukung penggambaran
ilustrasi secara umum.
4.1.1.2 Ilustrasi
Untuk aspek Penanda (signifier), digambarkan sosok penyapu dengan
identitas yang dikenakannya sedang melaksanakan tugasnya menyapu jalan di
sebuah lingkungan jalan di sudut kota Yogyakarta, dengan latar belakang lukisan
mural tokoh punakawan yang terlukis pada tembok jalan. Lukisan mural secara
visual dibuat sekan-akan menyatu dengan aktivitas yang sedang dilakukan oleh si
penyapu jalan (membantu menyelesaikan pekerjaan).
Untuk aspek Petanda (signified), penulis membagi ilustrasi iklan ini ke
dalam 3 bagian elemen pendukung visual. Yang pertama adalah mengenai
penyapu jalan dan identitas yang dikenakannya. Dari identitas yang dikenakan,
seragam yang dikenakan oleh si penyapu jalan berfungsi sebagai identitas profesi
dari petugas kebersihan yang dipekerjakan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini
adalah Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta. Topi camping selain
bermakna sebagai alat pelindung dari terik matahari, juga mempunyai makna
kesederhanaan, serta menjadi ciri khas atau identitas ’kaum kecil’ saat sedang
bekerja, khususnya pada pekerja-pekerja kasar seperti buruh bangunan, penarik
becak, buruh angkut di pasar, maupun para petani. Sapu lidi merupakan alat bantu
utama yang digunakan, sekaligus sebagai lambang dari ’teman setia’ yang
menemani kesehariannya dalam beraktivitas. Ketiga identitas ini yang
52
menggambarkan semangat yang dimiliki oleh para pekerja penyapu jalan, yang
dalam kesehariannya merasa bangga pada apa yang dikerjakan, karena mereka
merasa memiliki peran masing-masing dalam sebuah sistem kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Yang kedua adalah mengenai ingkungan dimana ia berada (sudut trotoar
jalan kota Yogyakarta). Trotoar pinggir jalan merupakan gambaran dari tempat
dimana sebagian besar penyapu jalan menghabiskan waktunya seharian. Di
tempat-tempat umum ini mereka biasa ditemukan, tempat dimana mereka
bertanggungjawab atas tugas mereka sehari-hari, dan sampah yang berserakan
berbicara lebih mengenai pentingnya tugas utama mereka menjadikan ruas jalan
lebih bersih, indah dan asri. Trotoar dan pinggir jalan seakan menjadi sebuah
bentuk ’panggung kehidupan’ bagi para penyapu jalan dimana eksistensinya
’muncul’ di dalam masyarakat melalui tindakan yang sederhana, namun memiliki
dampak yang besar.
Tanaman hias dengan pot yang terletak di pinggir-pinggir jalan merupakan
upaya untuk membuat ruang publik menjadi lebih hijau dan asri, selain dapat
berfungsi sebagai paru-paru kota. Pot tanaman ini
secara tidak langsung
perawatannya juga menjadi tanggung petugas penyapu jalan. Sehingga pot
tanaman ini memiliki makna bahwa selain tugas utamanya, penyapu jalan juga
memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan dengan hal-hal yang ada di
sekitarnya.
Gerobak sampah merupakan alat bantu yang ’menemani’ keseharian,
selain tentunya sapu lidi yang menjadi alat bantu utamanya. Gerobak sampah
53
yang penuh menandai cukup beratnya pekerjaan yang menjadi tugas sehari-hari.
Setiap sampah yang ada di gerobak itu menandai setiap cucuran keringat dan
tanggungjawab yang harus diemban oleh si penyapu jalan.
Lampu jalan yang terletak di pinggir jalan merupakan lampu yang menjadi
ciri khas kota Jogja. Selain bentuknya yang unik dengan tiga buah lampu dalam
satu tiang, lampu jalan Jogja ini dihiasi oleh ornamen yang khas. Lampu jalan ini
menjadi salah satu ikon budaya kota Jogja, dimana dapat ditemukan hampir di
seluruh sudut jalan-jalan di kota Jogja,1 dan kehadirannya berintegrasi dengan
baik dengan lingkungan sehingga mampu menjadikan kota Jogja menjadi lebih
’cantik’. Pemunculan lampu jalan ini menjadi suatu simbol budaya yang juga
diharapkan mampu membawa nuansa kelokalan budaya Jawa di dalam eksekusi
iklan majalah ini.
Yang ketiga adalah mengenai lukisan mural tokoh Punakawan pada
tembok yang menjadi latar belakang. Mural merupakan bagian dari ’urban art’
yang merupakan ekspresi kreativitas masyarakat kota yang erat kaitannya dengan
freedom of expression atau kebebasan berekspresi. Mural berbentuk lukisan
dimana mereka menjadikan ruang publik untuk berkekspresi.2 Teknik yang
digunkan bisa menggunakan cat tembok atau cat semprot, dimana penggayaan
dan teknik melukis yang ada pada sebuah mural sangat tergantung pada
kreativitas si pelukis.
Penggunaan mural sebagai salah satu ilustrasi dalam iklan mencerminkan
kebebasan berekpresi masyarakat Jogja; yang dikenal sebagai kota budaya dimana
1
www.kratonjogja.com
Ary Sutedja dalam artikel: Menikmati Seni dalam Hiruk Pikuk Kota, Majalah Concept, Volume 4, Edisi
20, 2007, hal 11
2
54
masyarakatnya memiliki apresiasi yang tinggi akan karya seni. Kehadiran mural
di ruang-ruang publik di kota Jogja mampu menciptakan sebuah keindahan
dimana kehadirannya bersinergi dengan tata letak serta karakter dari tata ruang
Jogja itu sendiri yang memiliki ciri khas dibanding kota lainnya di Indonesia.
Hitam dan putih memiliki kekuatan secara visual, terutama sebagai latar
belakang dari sebuah visual. Warna hitam dan putih biasa digunakan untuk
menimbulkan efek kontras yang baik, serta untuk mendramatisasi suasana. Dari
segi dekoratif, lukisan mural tersebut yang bermain dengan intensitas ’gelap
terang’ menjadi daya tarik visual yang cukup baik, walaupun hadir dalam warna
yang sederhana. Penggunaan warna hitam dan putih yang sederhana namun
memiliki impact kuat diharapkan dapat mewakili semangat falsafah dan
kebudayaan jawa itu sendiri yang dalam segala kesederhanaannya tetap mampu
relevan dan memberikan pengaruh kuat dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Melalui visualisasi iklan, digambarkan tokoh Punakawan berintegrasi
secara langsung dengan para pembaca dimana masing-masing tokoh dilukiskan
melakukan tugasnya masing-masing dimana melalui lukisan ini digambarkan
suatu keadaan sosial dimana setiap orang memiliki peranan masing-masing dan
bila disatukan di dalam suatu bentuk kerjasama dan kebersamaan akan
menghasilkan hasil karya yang manfaatnya yang dapat dirasakan oleh masyarakat
luas.
Masing-masing tokoh Punakawan memiliki karakter berbeda-beda dan
memiliki filosofi sebagai panduan untuk menjalani hidup yang terkandung di
dalamnya. Jika keseluruhan filosofi itu disatukan dan dilaksanakan secara utuh,
55
maka diharapkan kehidupan akan menjadi lebih mudah untuk dilalui. Hal ini
sangat berhubungan dengan nilai kebersamaan yang hanya dapat tercipta jika
masing-masing individu dalam sebuah sistem sosial mengerti peranannya dan
memadukannya dengan individu lain untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan
tokoh Bilung dan Togog, seringkali digambarkan sebagai tokoh antagonis, yang
berlawanan dengan keempat tokoh utama dari Punakawan.3
Tokoh Punakawan sendiri dipilih karena tradisi yang terdapat dalam
masyarakat Jawa, dimana tokoh-tokoh ini ’diciptakan’ oleh para Wali untuk
menyebarkan agama Islam. Para Wali berusaha melakukan pendekatan
komunikasi yang lebih efektif bagi para masyarakat Jawa dengan memunculkan
para tokoh dengan kisah yang sarat akan nilai kehidupan sekaligus dekat dengan
kehidupan keseharian di masyarakat.
Sosok Semar yang sedang membersihkan menggunakan kemoceng ingin
menggambarkan suatu keadaan dimana Semar sebagai pribadi yang arif dan
bijaksana selalu menjaga kebersihan hati dan pikiran dari berbagai hal yang tidak
baik, dan dalam hal ini disimbolkan dari kotoran/debu (melambangkan hal yang
tidak baik) yang melekat pada dinding putih (melambangkan kebersihan hati).
Tokoh lainnya, Petruk ’membantu’ si penyapu jalann memasang lampu.
Ini bermakna bahwa sosok Petruk seringkali memberikan ’pencerahan’ kepada
kondisi sosial di masyarakat dan ini dilakukan melalui lampu yang bisa diartikan
sebagai ’alat penerang’ berupa lelucon dan lawakan yang menyindir yang menjadi
ciri khas Petruk.
3
prabuwayang.wordpress.com
56
Gareng digambarkan ’membantu’ menyapu bagian lain dari jalan.
Sikapnya yang cenderung tidak banyak bicara ditunjukkan dengan tindakan yang
nyata. Tindakan menyapu di sini bisa diartikan bahwa Gareng memilah-milah
mana yang baik dan buruk dalam bersikap, sehingga ia memiliki banyak teman
karena ia tahu bagaimana bersikap arif dalam keseharian sehingga hubungan
sosial dapat dijalaninya dengan baik.
Bagong yang tampak membawa wadah atau tempat untuk sampah bagi si
penyapu jalan bisa berarti bahwa ia memiliki sikap pelayanan. Makna hidup
sementara dapat diartikan sebagai waktu untuk melayani sesama, agar pada waktu
perjalanan hidup kita selesai, kita telah melakukannya banyak hal baik sebagai
modal kita di kehidupan selanjutnya.
Karena kemunculannya dalam cerita pewayangan yang tidak sesering dari
keempat tokoh Punawakan yang disebut diatas, maka secara visual Bilung pun
muncul tidak dominan, namun walau begitu, kehadirannya dengan peran yang
dimilikinya dapat melengkapi cerita. Kegiatan menyiram tanaman yang dilakukan
Bilung dapat diartikan sebagai tindakan ‘memberi’ kepada lingkungannya. Jika
dalam cerita pewayangan Bilung selalu memberi masukan kepada tuannya, maka
dalam ilustrasi ini, Bilung ‘memberikan’ kesegaran pada tanaman yang ada di
pinggir jalan, dan bisa berdampak nyata kepada lingkungan.
Ornamen dekoratif yang dimunculkan dalam ilustrasi merupakan elemen
pendukung estetika yang mendukung lukisan-lukisan tokoh Punakawan secara
visual. Bentuknya yang menyerupai gelombang atau aliran air mengibaratkan
irama kehidupan yang harus dilalui oleh para tokoh sekaligus menggambarkan
57
situasi dan kondisi yang kita hadapi dalam hidup sehari beserta tantangan dan
kesulitan di dalamnya.
4.1.1.3 Teks Iklan
Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat teks iklan berbunyi: ’Yang
nyapu jalan bukan hanya saya, tapi bareng yang lain juga. Hanya tempatnya
berbeda-beda. Saya cuman nyapu bagian sini, tapi bisa menikmati bersihnya
jalan seluruh kota. Tukimin. Depan Galeria Sagan.’ Tulisan teks iklan berjenis
roman dan berwarna biru dimana dituliskan di sebuah lembaran kardus.
Untuk aspek Petanda (signified), teks ini menggambarkan secara jelas
semangat kebersamaan di dalam kehidupan masyarakat jawa yang dituangkan ke
dalam tema iklan versi ’Menyapu Jalan’. Melalui iklan ini kita mengenal sosok si
penyapu jalan bernama Tukimin. Sebagai orang Jawa, Tukimin selalu merasa
bahwa ia hanya bagian kecil dari sebuah lingkungan dimana ia hidup. Ia hidup di
dalam suatu budaya yang meyakini bahwa baik buruknya suatu lingkungan sangat
tergantung dari keadaan ketika orang-orang yang tinggal di dalamnya mampu
hidup berdampingan dan saling melengkapi baik dengan sesama maupun alam.
Penggayaan testimoni dalam teks iklan ini dimaksudkan agar pesan iklan
sampai ke benak pembaca lewat pendekatan yang lebih personal dan manusiawi.
Pendekatan testimoni yang biasa mempergunakan ’public figure’ diharapkan
dapat membentuk persepsi di kalangan konsumen. Namun, dengan menampilkan
Tukimin yang ’bukan siapa-siapa’ diharapkan masyarakat dapat tergugah, bahwa
di tengah-tengah kehidupan yang serba dinamis, masih ada pribadi-pribadi biasa -
58
bahkan bisa dibilang ’orang kecil’- yang memegang teguh falsafah nilai
kehidupan dalam kesehariannya.
Tukimin, sebagai pemberi testimoni, namanya tercetak tebal agar
memberikan penekanan, bahwa ia hanyalah orang biasa, tanpa title atau gelar baik
itu pendidikan maupun gelar kebangsawanan dalam penulisan namanya.
Kalimat ’depan Galeria Sagan’ merujuk ke suatu daerah dimana Tukimin
biasa menjalankan tugasnya membersihkan jalan yaitu di depan pusat
perbelanjaan Galeria yang terletak di daerah Sagan kota Yogyakarta. Kemunculan
kalimat ini semakin memperkuat kalimat testimoni yang dibangun, bahwa tokoh
Tukimin sungguh nyata, bukan tokoh rekaan, dan dirinya dapat ditemui seharihari di lokasi dimana ia bekerja.
Tulisan berjenis roman dipilih untuk menselaraskan dengan headline
iklan, selain memiliki kesan yang dinamis, non formal, dengan tingkat
keterbacaan yang baik. Sedangkan warna biru dipilih agar terjadi keselarasan
dengan bidang kotak yang memuat identitas perusahaan di bagian bawah iklan.
Hal ini penting, karena dengan penggunaan warna-warna yang senada, membuat
iklan secara estetika muncul menarik.
Lembaran
kardus
yang
menjadi
media
penulisan
teks
iklan
menggambarkan kesederhanaan dan keterbasan yang mewakili sosok Tukimin
yang ’berbicara’. Selain itu kardus juga menjadi lambang dari barang-barang
’terbuang’ yang menggambarkan profesi Tukimin sebagai penyapu jalan sebagai
kelompok marjinal atau terpinggirkan dalam kehidupan kota yang hiruk pikuk.
59
4.1.1.4 Identitas
Untuk aspek Penanda (signifier), Identitas dalam iklan ini ditandai
dengan kehadiran: (1) Logo Kedaulatan Rakyat dan Tagline yang berbunyi
’Korannya Rakyat’, (2) Alamat: Jl. P. Mangkubumi 40 -46 Yogyakarta 55232
Telp. +62-274-565685, Fax.+62-274-562229, email: pemasaran@ kr.co.id,
www.kr.co.id. dan (3) Tulisan berwarna putih dengan dasar kotak biru.
Untuk aspek Petanda (signified), Logo dan tagline muncul sebagai
corporate identity dari harian Kedaulatan rakyat, dimana bentuknya sudah cukup
akrab di mata masyarakat Jogja. Alamat sangat berkaitan dengan identitas
perusahaan yang penting untuk dimunculkan dalam iklan, khususnya untuk
mendukung upaya pemasaran bagi para pengiklan, maupun untuk kepentingan
pembaca baik pelanggan ataupun calon pelanggan harian tersebut. Selain itu
kemunculan alamat website juga diperlukan dalam upaya Kedaulatan Rakyat
untuk meraih segmen yang lebih besar di kalangan pembaca, serta untuk
meningkatkan citra positif dari suatu perusahaan media yang hadir up date dalam
memberikan informasi kepada masyarakat.
Identitas perusahaan muncul dengan warna putih agar mudah terbaca
pada bidang gelap yang berwarna biru, selain itu efek positif negatif yang muncul
dapat lebih menarik perhatian mata pembaca secara visual.
Warna kotak biru, selain untuk lebih menarik perhatian secara visual, juga
melambangkan keharmonisan, dan memberikan kesan lapang. Warna ini juga
diasosiasikan dengan kesan etnik, antik, country style.4
4
Harry Gon, E Mayariani, Andrianto Budiarsa, Robertus Pawang, Kombinasi Warna (Jakarta: PT Prima
Infosarana Media, 2005), 28
60
4.1.2
Analisa Sintagmantik Iklan Majalah Harian Kedaulatan Rakyat versi
Menarik Becak
Gambar 4.1.1 Iklan harian Kedulatan Rakyat versi ’Menarik Becak’
61
Melalui kajian sintagmantik, pada iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat
versi ”Menarik Becak” akan dikaji secara mendalam dua unsur tanda yaitu
penanda (signifier) dan petanda (signified) sebagai sebuah sistem perangkat tanda
dimana tanda-tanda yang akan dikaji adalah Headline, Ilustrasi, Teks Iklan, dan
Identitas dimana keempat tanda tersebut berfungsi di dalam sebuah aturan yang
menghasilkan ungkapan bermakna.
4.1.2.1 Headline
Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat kalimat ’Bebarengan Mrantasi
Gawe’ dimana tulisan berjenis roman berwarna putih dengan latar belakang
elemen dekoratif. Tulisan divisualisasikan sekaligus sebagai ilustrasi dimana
letaknya terdapat pada lukisan mural di tembok yang menjadi latar belakang
ilustrasi utama.
Untuk aspek Petanda (signified),’Bebarengan Mrantasi Gawe’ dalam
bahasa Indonesia berarti ’bersama menyelesaikan pekerjaan’. Headline ini muncul
menyatu dengan ilustrasi iklan, digambarkan sebagai bagian dari lukisan mural di
tembok pinggir jalan. Headline menggambarkan pesan utama dari iklan dimana
kehadiran headline akan ’menuntun’ pembaca ke dalam sistem perangkat lain
yang mendukungnya (ilustrasi dan teks iklan). Pemunculan headline dalam bahasa
Jawa merupakan bentuk pengangkatan nilai budaya Jawa
yang khas, dekat
dengan keseharian masyarakat, dan mampu menarik perhatian. Headline ini
menggambarkan semangat kebersamaan yang dimiliki oleh masyarakat Jogja,
dimana karakternya diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dengan semangat
62
turut serta dalam pekerjaan seorang tukang becak yang seringkali dianggap
sepele. Ungkapan headline yang merupakan ungkapan keseharian masyarakat
Jawa ini pun coba dihadirkan dalam eksekusi iklan sehingga nilai-nilai budaya
dan falsafah yang terkandung di dalamnya dapat kembali diingat dan kembali
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemilihan jenis huruf Roman selain agar memiliki tingkat keterbacaan
yang baik, sekaligus menampilkan kesan informal, dinamis, sekaligus tampak
solid. Kesan solid dimaksudkan agar headline mampu ’muncul’, ’berbicara’ dan
tertanam dalam benak konsumen, sehingga diharapkan mampu menggugah
pembaca untuk melakukan suatu perubahan positif baik dalam sikap dan tindakan.
Warna putih digunakan untuk mempertimbangkan faktor clarity /kejelasan serta
’kebersihan’ area desain, sehingga tulisan dengan background gelap/hitam dapat
terlihat dan terbaca dengan baik.
Elemen dekoratif yang dihadirkan sebagai dasar headline memiliki
beberapa pengertian, diantaranya berfungsi sebagai elemen visual yang
memperkuat tampilan headline, karena dengan begitu headline memiliki tingkat
keterbacaan yang lebih jelas. Elemen ini muncul secara estetika dekat dengan
bentuk-bentuk ornamen khas Jawa dimana bentuk ornamen itu dapat kita temui di
berbagai lukisan batik, atau pada ukiran barang-barang kerajinan khas
Yogyakarta. Elemen dasar ini juga ingin menggambarkan visualisasi ’baloon’,
dimana dalam cerita bergambar (komik), baloon berfungsi untuk menempatkan
kata-kata, dialog, dan tulisan lainnya, sebagai sarana agar gambar dapat
’berbicara’ kepada audiens. Headline iklan dalam hal ini diposisikan sebagai
63
sebuah pesan penting yang ingin disampaikan dan diharapkan mampu mendukung
penggambaran ilustrasi secara umum.
4.1.2.2 Ilustrasi
Untuk aspek Penanda (signifier), sosok penarik becak digambarkan
dalam iklan dengan identitas yang dikenakannya sedang melaksanakan tugasnya
menarik becak di sebuah lingkungan jalan di sudut kota Yogyakarta, dengan latar
belakang lukisan mural
tokoh masyarakat yang terlukis pada tembok jalan.
Lukisan mural secara visual dibuat sekan-akan menyatu dengan aktivitas yang
sedang dilakukan oleh si penarik becak (membantu menarik becak menggunakan
tali).
Untuk aspek Petanda (signified), penulis membagi ilustrasi iklan ini ke
dalam 3 bagian elemen pendukung visual. Yang pertama adalah mengenai
Penarik becak dan identitas yang dikenakannya. Si penarik becak menggunakan
kaos biru, celana pendek hitam, dan bersendal jepit yang merupakan pakaian
sehari-hari yang biasa digunakan oleh ’masyarakat biasa’ dalam beraktivitas. Topi
camping selain untuk melindungi dari panas terik matahari juga merupakan
simbol kesederhanaan. Handuk yang melilit di bahu lehernya merupakan ’ikon’
dari penarik becak ataupun pekerja kasar lainnya, karena handuk menjadi bagian
tak terpisahkan sekaligus menjadi teman setia bagi yang kesehariannya selalu
bersimbah peluh.
Becak sebagai kendaraan transportasi dan angkutan sudah sangat familiar
di telinga kita. Becak dapat dengan mudah kita jumpai di kota Jogja karena itu
64
Jogja seringkali disebut dengan kota becak karena jumlahnya yang sangat
banyak.5 Becak telah menjadi sarana transportasi yang memasyarakat. Bagi para
wisatawan, baik asing maupun lokal, menaiki becak mempunyai kesan tersendiri.
Tarif yang murah dan rasa nyaman ketika menaiki becak menjadi kendaraan
favorit.6 Pada ilustrasi iklan, becak yang dikendarai digambarkan terbuka bagian
atapnya, untuk memuat muatan yang lebih banyak. Dengan begitu, becak juga
menjadi kendaraan yag fleksibel, tidak hanya dipergunakan untuk mengangkut
penumpang, tapi juga dapat digunakan untuk mengangkut berbagai barang yang
akan dipindahkan ke tempat lain.
Berbagai barang-barang yang diangkut dalam becak merupakan barangbarang rumah tangga yang seringkali ditemukan pada masyarakat bawah. Barangbarang ini merupakan gambaran dari banyaknya kebutuhan pokok ataupun
kebutuhan hidup dari masyarakat kebanyakan. Dengan membawa seluruh barang
itu ke dalam satu muatan, menandakan si penarik becak harus menanggung semua
kebutuhan tersebut dalam ’becaknya’ yang berarti juga lewat satu-satunya ’mata
pencaharian’ yang dimilikinya.
Yang kedua adalah mengenai lingkungan dimana ia berada (sudut trotoar
jalan kota Yogyakarta) Sebagai sebuah lingkungan, trotoar pinggir jalan
merupakan gambaran dari tempat dimana sebagian besar penarik becak
menghabiskan waktunya seharian. Di tempat-tempat umum ini mereka biasa
ditemukan, mengantar setiap penumpang maupun wisatawan yang berkunjung di
Jogja. Trotoar dan pinggir jalan seakan menjadi sebuah bentuk ’panggung
5
6
www.kratonjogja.com
ibid
65
kehidupan’ bagi penarik becak dimana eksistensinya ’muncul’ di dalam
masyarakat
melalui
tindakan
yang
sederhana,
namun
kehangatan
dan
ketulusannya membuat para penumpang mempercayakan keselamatan diri mereka
untuk diantar ke tempat tujuan.
Yang ketiga adalah menganai lukisan mural tokoh masyarakat pada
tembok yang menjadi latar belakang. Mural merupakan bagian dari ’urban art’
yang merupakan ekspresi kreativitas masyarakat kota yang erat kaitannya dengan
freedom of expression atau kebebasan berekspresi. Mural berbentuk lukisan
dimana mereka menjadikan ruang publik untuk berkekspresi.7 Teknik yang
digunkan bisa menggunakan cat tembok atau cat semprot, dimana penggayaan
dan teknik melukis yang ada pada sebuah mural sangat tergantung pada
kreativitas si pelukis.
Penggunaan mural sebagai salah satu ilustrasi dalam iklan mencerminkan
kebebasan berekpresi masyarakat Jogja; yang dikenal sebagai kota budaya dimana
masyarakatnya memiliki apresiasi yang tinggi akan karya seni. Kehadiran mural
di ruang-ruang publik di kota Jogja mamapu menciptakan sebuah keindahan
dimana kehadirannya bersinergi dengan tata letak serta karakter dari tata ruang
Jogja itu sendiri yang memiliki ciri khas dibanding kota lainnya di Indonesia.
Hitam dan putih memiliki kekuatan secara visual, terutama sebagai latar
belakang dari sebuah visual. Warna hitam dan putih biasa digunakan untuk
menimbulkan efek kontras yang baik, serta untuk mendramatisasi suasana. Dari
segi dekoratif, lukisan mural tersebut yang bermain dengan intensitas ’gelap
7
Ary Sutedja dalam artikel: Menikmati Seni dalam Hiruk Pikuk Kota, Majalah Concept, Volume 4, Edisi
20, 2007, hal 11
66
terang’ menjadi daya tarik visual yang cukup baik, walaupun hadir dalam warna
yang sederhana. Penggunaan warna hitam dan putih yang sederhana namun
memiliki impact kuat diharapkan dapat mewakili semangat falsafah dan
kebudayaan jawa itu sendiri yang dalam segala kesederhanaannya tetap mampu
relevan dan memberikan pengaruh kuat dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Masyarakat umum dalam lukisan mural menggambarkan kondisi dari
masyarakat Jogja yang beragam baik dari tingkat ekonomi, sosial, maupun
statusnya. Mereka semua merupakan wakil-wakil dari masyarakat yang seringkali
bersinggungan langsung dan merupakan gambaran dari ’rekan seperjalanan’ para
penarik becak di dalam kesehariannya. Lewat penggambaran ini diharapkan
interaksi yang terjalin secara visual dalam ilustrasi iklan juga dapat terlihat secara
nyata di dalam kehidupan.
Tokoh-tokoh masyarakat yang terdapat dalam ilustrasi iklan adalah ibu
rumah tangga, anak kecil, petani, petugas polisi, pegawai kantor.
Seorang ibu rumah tangga kerap menggunakan jasa becak untuk
berbelanja atau mengantar anak sekolah. Ibu rumah tangga bisa jadi merupakan
tokoh yang paling dekat dengan keseharian tukang becak. Sosok ibu juga ingin
menggambarkan bahwa nilai kebersamaan dan niat saling membantu juga
menyentuh hati seorang perempuan yang merasa ikut tergerak untuk mengurangi
beban dari si penarik becak.
Anak kecil seringkali merasa aman jika berada di dekat tukang becak,
karena tukang becak seringkali menggantikan peran orang tua yang mengantar
dan menjaga mereka terutama saat menuju sekolah. Anak kecil menggambarkan
67
sosok yang melakukan hal baik karena merasa berterima kasih atas perlakuan baik
orang lain. Pamrih yang diberikan tulus kepada orang-orang yang dalam hidupnya
juga melakukan hal-hal baik, walaupun itu dilakukan sebagai bagian dari
kewajiban profesinya.
Petani
merupakan
anggota
masyarakat
yang
merasa
senasib
sepenanggungan dengan tukang becak. Para petani yang juga terbiasa bekerja
keras sehari-harinya merasakan beban para penarik becak saat harus mengangkut
beban yang banyak dalam becaknya.
Petugas Polisi mengambarkan tokoh yang mengayomi masyarakat,
terutama masyarakat kecil. Polisi menjadi cerminan seorang tokoh masyarakat
yang sadar akan tugasnya di masyarakat dan itu dibuktikan pada pelayanan yang
dilakukan kepada seluruh anggota masyarakat, termasuk kepada tukang becak
sekalipun.
Pegawai kantor yang dimunculkan dalam lukisan mural dan ditandai
dengan kemeja dan dasi yang dikenakannya merupakan penggambaran bentuk
kepedulian dari kalangan terpelajar dan mapan. Dengan turut terlibat membantu,
ingin digambarkan bahwa nilai kebersamaan selalu dijaga oleh berbagai elemen
masyarakat, dan diimplemantasikan dalam kehidupan sehari-hari, apapun status
sosial yang dimilikinya.
Ornamen dekoratif yang dimunculkan dalam ilustrasi merupakan elemen
pendukung estetika yang mendukung lukisan-lukisan tokoh masyarakat secara
visual. Bentuknya yang menyerupai gelombang atau aliran air mengibaratkan
irama kehidupan yang harus dilalui oleh para tokoh dan menggambarkan situasi
68
dan kondisi yang kita hadapi dalam hidup sehari beserta tantangan dan kesulitan
di dalamnya. Sedangkan awan melambangkan kerendahan hati dari para tokoh
yang ada di lukisan itu, karena bagaimanapun mereka merasa masih ’ada hal yang
lebih tinggi’ dari tempat dimana mereka berpijak.
4.1.2.3 Teks Iklan
Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat teks iklan yang berbunyi:
’Hidup bebarengan itu ndak boleh iri dan emosi, nanti rejekinya bakal jauh. Kalo
ndak rukun dengan tetangga, hidup bakal sumpek sendiri. Pak Kasno. Dalem
Benteng Kraton.’ Tulisan teks iklan berjenis roman dan berwarna biru dimana
dituliskan di sebuah lembaran kardus.
Untuk aspek Petanda (signified), lewat Teks iklan ini kita mengetahui
bahwa sosok penarik becak dalam ilustrasi iklan ini bernama Pak Kasno. Teks ini
menggambarkan secara jelas semangat kebersamaan di dalam kehidupan
masyarakat jawa dan dituangkan ke dalam tema iklan versi ’Menarik Becak’.
Sebagai bagian dari masyarakat Pak Kasno berpendapat bahwa kerukunan dan
kebersamaan merupakan syarat utama mencapai kebahagiaan. Karena dengan
nilai ’tepa selira’ yang dijunjung tinggi, maka orang-orang yang ada di sekitar kita
akan siap membantu setiap kesulitan yang sedang kita hadapi.
Penggayaan testimoni dalam teks iklan ini dimaksudkan agar pesan iklan
sampai ke benak pembaca lewat pendekatan yang lebih personal dan manusiawi.
Pendekatan testimoni yang biasa mempergunakan public figure diharapkan dapat
membentuk persepsi di kalangan konsumen. Namun, dengan menampilkan Pak
69
Kasno yang ’bukan siapa-siapa’ diharapkan masyarakat dapat tergugah, bahwa di
tengah-tengah kehidupan yang serba dinamis, masih ada pribadi-pribadi yang
memegang nilai kehidupan dalam aktivitasnya sehari-hari.
Pak Kasno, sebagai pemberi testimoni, namanya tercetak tebal agar
memberikan penekanan, bahwa ia hanyalah orang biasa, tanpa title atau gelar baik
itu pendidikan maupun gelar kebangsawanan dalam penulisan namanya.
Kalimat ’Dalem Benteng Kraton’ merujuk ke suatu daerah dimana
Tukimin saat itu melintas dan mungkin menjadi daerah dimana ia sering
mengoperasikan becaknya, yaitu di daerah Benteng Dalem Kraton Yogyakarta.
Tulisan berjenis roman dipilih untuk menselaraskan dengan headline
iklan, karena selain memiliki kesan yang dinamis, tulisan Roman bersifat non
formal, dengan tingkat keterbacaan yang baik. Sedangkan warna biru dipilih agar
terjadi keselarasan dengan bidang kotak yang memuat identitas perusahaan di
bagian bawah iklan. Hal ini penting, karena dengan penggunaan warna-warna
yang senada, membuat iklan secara estetika muncul menarik.
Lembaran
kardus
yang
menjadi
media
penulisan
teks
iklan
menggambarkan kesederhanaan dan keterbasan yang mewakili sosok Pak Kasno
yang ’berbicara’. Selain itu kardus juga menjadi lambang dari barang-barang
’terbuang’ yang menggambarkan profesi Pak Kasno sebagai penarik becak
sebagai kelompok marjinal atau terpinggirkan dalam kehidupan kota yang hiruk
pikuk.
70
4.1.2.4 Identitas
Untuk aspek Penanda (signifier), Identitas dalam iklan ini ditandai
dengan kehadiran: (1) Logo Kedaulatan Rakyat dan Tagline yang berbunyi
’Korannya Rakyat’, (2) Alamat: Jl. P. Mangkubumi 40 -46 Yogyakarta 55232
Telp. +62-274-565685, Fax.+62-274-562229, email: pemasaran@ kr.co.id,
www.kr.co.id. dan (3) Tulisan berwarna putih dengan dasar kotak biru.
Untuk aspek Petanda (signified), Logo dan tagline muncul sebagai
corporate identity dari harian Kedaulatan rakyat, dimana bentuknya sudah cukup
akrab di mata masyarakat Jogja. Alamat sangat berkaitan dengan identitas
perusahaan yang penting untuk dimunculkan dalam iklan, khususnya untuk
mendukung upaya pemasaran bagi para pengiklan, maupun untuk kepentingan
pembaca baik pelanggan ataupun calon pelanggan harian tersebut. Selain itu
kemunculan alamat website juga diperlukan dalam upaya Kedaulatan Rakyat
untuk meraih segmen yang lebih besar di kalangan pembaca, serta untuk
meningkatkan citra positif dari suatu perusahaan media yang hadir up date dalam
memberikan informasi kepada masyarakat.
Identitas perusahaan muncul dengan warna putih agar mudah terbaca
pada bidang gelap yang berwarna biru, selain itu efek positif negatif yang muncul
dapat lebih menarik perhatian mata pembaca secara visual. Warna kotak biru,
selain untuk lebih menarik perhatian secara visual, juga melambangkan
keharmonisan, dan memberikan kesan lapang. Warna ini juga diasosiasikan
dengan kesan etnik, antik, country style.8
8
Harry Gon, E Mayariani, Andrianto Budiarsa, Robertus Pawang, Kombinasi Warna (Jakarta: PT Prima
Infosarana Media, 2005), 28
71
4.1.3 Analisa Paradigmatik
Setelah tanda-tanda dalam kedua iklan majalah harian Keadulatan Rakyat
tersebut dianalisa secara sintagmantik dimana teks (gambar iklan) diperiksa dan
diuji sebagai rangkaian yang membentuk sebuah narasi dan dikategorikan
menjadi penanda (sifnifier) dan petanda (signified) untuk kemudian dimaknai,
maka tahapan selanjutnya tanda-tanda dalam kedua iklan akan dianalisa secara
paradigmatik.
Analisis paradigmatik adalah analisis yang berhubungan dengan prosedur
yang memungkinkan dilakukannya ”pembongkaran” serta pencarian ideologi
yang terkandung dalam makna tanda-tanda dimana hanya ada satu pilihan makna
yang akan dipilih.9
Secara paradigmatik, berdasarkan proses analisa yang telah dilakukan
terhadap kedua iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat, dapat dilihat kesamaan
ide kreatif dalam iklan dalam membawakan pesan utama.
Persamaan ide kreatif yang pertama dari kedua iklan adalah penggunaan
sosok masyarakat kecil yang memiliki posisi marjinal/terpinggirkan dalam sebuah
sistem sosial sebagai tokoh utama dalam iklan.
Melalui kedua teks iklan dapat diketahui bahwa kedua tokoh ini bernama
Tukimin dan Pak Kasno dan digambarkan berdomisili dan menjalankan aktivitas
sehari-harinya sebagai penyapu jalan dan penarik becak di kota Yogyakarta.
Pengunaan endorser dalam sebuah iklan kerap kali menjadi sebuah kekuatan dari
pesan iklan, karena endorser iklan dihadirkan mewakili pesan itu sendiri.
9
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), ix
72
Pemilihan kedua tokoh ini pada eksekusi iklan harian Kedaulatan Rakyat, menjadi
bukti kedekatan harian kedaulatan rakyat dengan para pembacanya, karena dari
muatan pesan iklan itu sendiri, Kedaulatan Rakyat berbicara mengenai pesanpesan moral yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya bagi
masyarakat Jawa dimana pesan iklan ini bersumber, nilai-nilai kehidupan dan
pesan moral yang disampaikan akan lebih mengena jika disampaikan oleh sosok
yang mewakili masyarakat kebanyakan yang juga menjalani kehidupannya di
lingkungan yang sama, dan dalam hal ini diwakili oleh sosok penarik becak dan
penyapu jalan yang menjalani kesehariannya di kota Yogyakarta.
Kedua tokoh dalam iklan ini menggambarkan suatu kesederhanaan yang
mewakili keadaan sosial masyarakat Jawa pada umumnya. Kesederhanaan ini
juga yang membuat pesan iklan dapat bermain-main dalam berbagai pendekatan
baik itu secara emosional, melalui pendekatan humor, maupun dengan pendekatan
moral yang kesemuanya dapat disampaikan dalam satu pesan utuh (one single
message). Kedua tokoh ini diharapkan mampu mewakili suatu keadaan
masyarakat yang melakukan sesuatu apa adanya, dimana terdapat suatu bentuk
penerimaan, kelegaan hati, dan tidak memilih-milih dalam setiap keseharian
hidupnya. Sikap keterbukaan ini disampaikan secara jenaka lewat eksekusi dari
kedua iklan, dimana keduanya diperlihatkan bisa saja ’bekerjasama’ dengan sosok
yang bahkan tidak nyata, yang dalam hal ini adalah bentuk lukisan yang terdapat
di tembok yang digambarkan seakan-akan sedang berinteraksi secara langsung.
Pengangkatan kedua tokoh marjinal dalam menyampaikan nilai kebersamaan
dalam budaya Jawa juga menjadi pilihan yang tepat karena mampu berbicara
73
secara emosional kepada khalayak dimana penyampaiannya pun dilakukan
dengan cara-cara yang tidak menggurui. Keteladanan dari sikap hidup kedua
tokoh inilah yang menjadi kekuatan utama dari pesan yang ingin disampaikan
dalam ekseskusi kedua iklan ini.
Persamaan ide kreatif yang kedua, adalah digunakannya tanda-tanda
kelokalan budaya Jawa dalam eksekusi kedua iklan yang merepresentasikan
sebuah nilai kebersamaan. Nilai budaya Jawa diangkat untuk kemudian
dimunculkan dalam bentuk ide-ide segar yang komunikatif, menggugah, sekaligus
menghibur. Tanda-tanda kelokalan budaya Jawa ini dapat kita lihat dalam
beberapa bagian pada iklan, dan yang pertama yang bisa kita lihat adalah pada
kedua ilustrasi iklan.
Pada iklan versi ”Menyapu Jalan” simbol budaya Jawa muncul melalui
pemunculan tokoh Punakawan dalam pewayangan, yaitu Semar, Petruk, gareng,
bagong, dan Bilung dalam sebuah mural yang menjadi latar belakang tokoh utama
yaitu Tukimin sebagai penyapu jalan. Sedangkan pada iklan versi ”Menarik
Becak” simbol budaya Jawa muncul melalui kendaraan becak yang digunakan
Pak Kasno, yang walaupun keberadaanya dapat ditemui di kota-kota lainnya di
pulau Jawa, namun becak telah menjadi ikon yang identik dengan Yogjakarta dan
hal ini dimungkinkan, selain karena jumlah becak yang cukup banyak di
Yogyakarta, becak juga diposisikan sebagai alat transportasi massal dan sebagai
salah satu ikon budaya untuk menarik wisatawan yang berkunjung ke
Yogyakarta.10
10
www.kratonjogja.com
74
Penggunaaan tokoh punakawan maupun lambang budaya Jawa lainnya
memiliki tujuan agar pesan iklan dapat disampaikan secara lebih sederhana
sekaligus efektif karena dekat dengan keseharian masyarakat. Dalam konteks nilai
budaya Jawa, lambang-lambang ini pun telah sangat membumi dan dikenal luas,
baik itu oleh warga Yogyakarta pada khususnya maupun masyarakat pada
umumnya. Lambang-lambang budaya ini menjadi ’alat bantu’ pertama yang
digunakan dalam menyampaikan pesan nilai kebersamaan dalam budaya Jawa,
dan pada eksekusi akhir dimunculkan secara sinergis dengan elemen lain dalam
iklan baik itu headline, teks iklan, dan ilustrasi pendukung lainnya dalam iklan.
Kesamaan eksekusi kedua iklan ini dalam mengangkat nilai budaya Jawa
juga bisa dilihat dari headline dari iklan yang menggunakan bahasa Jawa dan
berbunyi ’Bebarengan Mrantasi Gawe’, yang sarat akan pesan kehidupan yang
biasa dipegang oleh masyarakat jawa. Selain itu, komposisi desain dan
pendekatan visual kedua iklan yang hadir lewat gaya dekoratif dengan pesan iklan
yang dibawakan secara jenaka (menggabungkan tokoh nyata dengan tokoh dalam
lukisan) juga berusaha memunculkan ’wajah’ lain karakter budaya Jawa, karena
setiap hal dalam kehidupan yang disampaikan secara kreatif dan jenaka menjadi
ciri khas pembawaan pribadi dari masyarakat Jawa pada umumnya.
Digunakannya ikon dari dunia pewayangan sebagai salah satu sumber
kreatif dari iklan juga merupakan upaya agar pesan dapat dibawa secara mudah ke
masyarakat. Latar belakang cerita pewayangan yang berasal dari India dan
digunakan pada awalnya oleh para wali dalam menyebarkan agama Islam lewat
bentuk penanaman nilai-nilai dan falsafah kehidupan dalam setiap alur ceritanya,
75
dianggap dekat dengan keseharian masyarakat. Para wali menciptakan
Punakawan sebagai suatu tokoh yang sekiranya mampu berkomunikasi dengan
penonton,lebih fleksibel, mampu menampung aspirasi penonton, lucu dan yang
terpenting, dalam memainkan para tokoh punakawan ini sang dalang dapat lebih
bebas dalam menyampaikan misinya karena tidak harus terlalu terikat pada pakem
yang ada. Punakawan menjadi salah satu tokoh yang seringkali ditunggu
kehadirannya, karena mampu membawakan pesan-pesan kehidupan secara jenaka
dan santai.11
Kehadiran tokoh Punakawan yang dekat dengan keseharian masyarakat
Jawa di dalam sebuah iklan merupakan upaya dari kreator iklan menyampaikan
pesan-pesan kebersamaan yang sederhana dan jauh dari kesan hiperbola. Beragam
karakter yang dimiliki oleh para tokoh punakawan seperti Semar, Petruk, Gareng,
Bagong dan Bilung merupakan gambaran dari masyarakat Jogja yang beragam.
Pada iklan versi ”Menarik Becak”, penggambaran keberagaman masyarakat ini
muncul tidak melalui analogi, melainkan langsung lewat visualisasi anggota
masyarakat dengan beragam tingkat ekonomi dan sosial dan diwakili oleh sosok
ibu rumah tangga, anak kecil, petani, petugas polisi dan eksekutif muda.
Nilai-nilai budaya Jawa yang digunakan sebagai pendekatan untuk
mengangkat nilai kebersamaan dalam pesan iklan juga dapat kita temui dari teks
(body copy) kedua iklan tersebut. Kedua teks iklan menggunakan penggayaan
testimoni dari kedua tokoh iklan. Teks iklan dari versi ”Menyapu Jalan” yang
berbunyi ’Yang nyapu jalan bukan hanya saya, tapi bareng yang lain juga. Hanya
tempatnya berbeda-beda. Saya cuman nyapu bagian sini, tapi bisa menikmati
11
www.kratonjogja.com
76
bersihnya jalan seluruh kota. Tukimin. Depan Galeria Sagan.’ Dan pada versi
”Menarik Becak” yang berbunyi ’Hidup bebarengan itu ndak boleh iri dan emosi,
nanti rejekinya bakal jauh. Kalo ndak rukun dengan tetangga, hidup bakal
sumpek sendiri. Pak Kasno. Dalem Benteng Kraton.’ Merupakan implementasi
nyata dari kedua tokoh yang memgang nilai-nilai kebersamaan dari budaya Jawa
sebagai pedoman hidupnya.
Kehadiran dua kalimat testimoni ini seakan menjadi teladan bagi audiens
mengenai bagaimana nilai kebersamaan itu diterapkan dalam kehidupan seharihari dimana kita bisa memulainya dari hati, sebagai pandangan hidup yang
merupakan ruang lingkup terkecil, sebelum kita mengimplementasikannya pada
ruang lingkup sosial/dunia nyata yang lebih luas. Kedua ’pernyatan sikap’ dari
kedua tokoh iklan ini merupakan bentuk kesadaran akan pentingnya usaha untuk
menempatkan diri dalam sebuah lingkungan.
Sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Budiono Herusatoto bahwa
bentuk kemasyarakatan Jawa itu sendiri secara historis-sosiologis terdiri dari
masyarakat
kekeluargaan,
masyarakat
gotong
royong,
dan
masyarakat
berketuhanan.12 Bahwa orang Jawa identik dengan pribadi sosial yang toleran
kepada lingkungan sekitar. Memegang nilai-nilai kebersamaan menjadi
kepribadian orang Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa bukanlah persekutuan
individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk ’satu untuk semua, dan
semua untuk satu’.13
12
13
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 66
Ibid.
77
Lewat testimoni pada kedua teks iklan ini, audiens coba diingatkan
kembali peranannya dalam masyarakat dan bagaimana harus bersikap serta
bertingkah laku dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yang semua ini bisa
diwujudkan dengan memelihara nilai-nilai kebersamaan yang telah ada dalam
budaya masyarakat.
4.2
Pembahasan
Untuk melihat bagaimana representasi nilai kebersamaan sebagai bagian
dari budaya Jawa dalam kedua iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat, maka
penting untuk menganalisa konteks yang terdapat pada kedua iklan.
Yang pertama dilihat dari sudut pandang masyarakat Yogyakarta pada
khususnya dan pembaca pada umumnya sebagai target sasaran dari harian
Kedaulatan Rakyat.
Dalam iklan ini, strategi penciptaan sebuah pesan iklan menggunakan
sumber imajinatif – image/citra, dan bukan menggunakan sumber faktual, dimana
dilakukan upaya eksplorasi aspek emosional dan image yang melekat pada produk
dan jasa yang ditawarkan kepada target audience, sehingga diharapkan pemirsa
bidikan mendapatkan kebanggaan dan prestisius.14.
Pembaca harian Kedaulatan Rakyat yang sebagian besar adalah
masyarakat Yogyakarta, memiliki demografis dan keadaan masyarakat yang
cukup dapat dibedakan dari masyarakat-masyarakat kota besar di Indonesia. Kota
Yogyakarta sendiri, yang identik dengan kebudayaan dan pendidikan,
menghasilkan stereotip bahwa masyarakat Yogyakarta cukup kritis, terpelajar,
14
Agustrijanto (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2001), 60
78
dan berbudaya. Untuk itulah isu-isu kebudayaan dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat menjadi sesuatu yang menarik bagi masyarakat Yogyakarta dan
pembaca harian Kedaulatan Rakyat pada umumnya.
Melalui iklan ini, secara emosional masyarakat juga merasa terikat baik
sebagai bagian dari sebuah masyarakat dengan sistem sosial yang berlaku di
dalamnya, maupun sebagai pembaca dari sebuah harian lokal surat kabar yang
memiliki kepekaan terhadap kehidupan yang terjadi di sekitarnya.
Sedangkan dari sudut pandang pengiklan, dalam hal ini adalah harian
Kedaulatan Rakyat, tema kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa diangkat
dalam konsep kreatif sebagai bukti eksistensi bahwa harian ini merupakan bagian
dari masyarakat Jogja pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya. Di
sisi lain, pada 2007, hasil survey yang dilakukan oleh Tim Peneliti Jurusan Ilmu
Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta, menempatkan harian Kedaulatan Rakyat
sebagai surat kabar yang paling banyak dipilih oleh masyarakat Yogyakarta yaitu
sebesar 63,6%. Hal ini membuktikan bahwa harian Kedaulatan Rakyat identik
dengan korannya Jogja yang dekat dengan keseharian masyarakat Jogja. Nilai
budaya Jawa menjadi pesan yang utama dalam iklan-iklan Kedaulatan Rakyat
karena sebagai surat kabar yang lahir, bermarkas dan dibesarkan di Yogyakarta,
Kedaulatan Rakyat berusaha untuk mempertahankan identitasnya serta untuk
mengkomunikasikan nilai-nilai dan semangat perusahaan yang dimiliki sebagai
bagian dari masyarakat Jogja secara luas.15 Citra inilah yang coba dipertahankan
oleh Kedaulatan rakyat melalui kemunculan iklan-iklan cetaknya pada berbagai
media.
15
Artikel: Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri, Majalah AdDiction, September 2006, 8
79
Sebagai sebuah media penyampaian pesan sosial, nilai kebersamaan coba
diangkat sebagai bentuk kepedulian Kedaulatan Rakyat terhadap keadaaan sosial
masyarakat Jogja yang modern, dinamis, namun tetap menjaga nilai-nilai dan
falsafah budaya Jawa dalam setiap sendi kehidupan. Keberadaan dan status Jogja
sebagai kota budaya, secara sendirinya juga harus dicerminkan oleh semangat
hidup masyarakatnya dalam sebuah tatanan budaya yang kuat, di dalam sebuah
perkembangan jaman yang semakin berubah. Kebanggaan sebagai orang Jawa
yang kuat dalam falsafah hidup coba dihadirkan melalui sentuhan eksekusi iklan
yang menarik sekaligus menggugah. Dan dalam hal ini, Kedaulatan Rakyat juga
ingin semakin memantapkan posisinya sebagai media yang memiliki kontrol
sosial kuat dan menjadi satu-satunya media pilihan dan dianggap berpengaruh di
Yogyakarta.
Konsep nilai kebersamaan dalam budaya Jawa yang muncul dalam iklan
cetak harian Kedaulatan Rakyat hadir sebagai perwujudan sebuah surat kabar
lokal yang ingin mengangkat kembali semangat dan falsafah hidup yang dimiliki
oleh sebagian besar pembacanya melalui pendekatan budaya lokal yang sederhana
dengan pesan utama diharapkan mampu meningkatkan kesadaran akan hadirnya
sebuah surat kabar yang ’peduli’ akan konsep realitas sosial yang berkembang di
masyarakat Jawa, dalam hal ini adalah penduduk kota Yogyakarta.
Lewat ilustrasi iklan, pesan dengan nilai falsafah budaya Jawa itu
disampaikan secara menarik dengan menggunakan efek ’ilusi optik’ yang kuat.
Efek ilusi yang dimaksud disini adalah dengan menggabungkan secara visual
antara fokus utama dalam ilustrasi dengan latar belakang yang mendukungnya
80
sehingga seakan-akan terlihat sebagai sebuah kesatuan visual. Pada iklan versi
”Menyapu Jalan”, para tokoh Punakawan dalam mural, seakan-akan tampak
sedang bekerja membantu Tukimin pada saat yang bersamaan. Begitu juga pada
versi kedua, Pak Kasno yang sedang menarik becaknya seakan-akan dibantu
ditarik menggunakan tali oleh para tokoh masyarakat yang tampak pada mural.
Kedua bentuk ilustrasi ini juga coba menghadirkan pesan mengenai
kebersamaan itu sendiri agar tidak hanya menjadi wacana, hanya berada pada
tataran yang semu, tidak nyata, yang digambarkan lewat sebuah bentuk lukisan.
Nilai kebersamaan haruslah hadir secara nyata dalam keseharian, sehingga dalam
kedua iklan tokoh mural yang seakan-akan ’bergerak’ dan ’berinteraksi’ secara
nyata dengan tokoh utama Tukimin dan Pak Kasno. Tukimin dan Pak Kasno yang
banyak dijumpai di susut-sudut kota Yogyakarta. Melalui penggambaran tokohtokoh ini masyarakat Jogja diharapkan mampu menangkap pesan iklan yang dekat
dengan keseharian. Sebagai salah satu kota besar dan kota tujuan wisatawan di
Indonesia, kedua tokoh ini seakan-akan menjadi simbol yang paling dekat dalam
kesibukan dan hiruk pikuk aktivitas masyarakat, sehingga pesan iklan mampu
hadir dan tertanam dalam benak audiens karena simbol-simbol yang digunakan
sudah familiar dan mudah dipahami.
Baik Tukimin maupun Pak Kasno yang digambarkan dalam kedua iklan
cetak ini merupakan pribadi yang menganggap dirinya sebagai bagian dari
penduduk kota Yogyakarta dan sebagai bagian dari orang Jawa yang harus
memegang nilai-nilai kebersamaan, karena masyarakat Jawa dari dahulu mereka
81
kenal sebagai masyarakat yang hidup dalam kekeluargaan, dan bukan sebagai
masyarakat individu yang berjalan sendiri-sendiri.
Profesi tukang becak dan penyapu jalan itu sendiri seringkali digambarkan
sebagai profesi yang ’tidak menjadi pilihan hidup’ karena sebagian orang masih
berpendapat bahwa profesi ini merupakan profesi pekerja ’kasar’, identik dengan
tingkat pendidikan yang rendah, dan yang terutama memiliki sumber penghasilan
yang kecil. Stereotip yang berkembang di masyarakat menjadikan posisi tukang
becak dan penyapu jalan menjadi golongan yang semakin terpinggirkan.
Di tengah kondisi kota Yogyakarta sebagai kota budaya, kota pelajar,
sekaligus kota tujuan wisata yang sedang berkembang, memang menjadikan derap
laju pembangunan di kota Yogyakarta semakin cepat dan dinamis. Keadaan
demografis masyarakat Yogyakarta yang berbeda dibandingkan dengan kota-kota
besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, ataupun Medan, menjadikan
Yogyakarta tumbuh menjadi kota yang tumbuh dan berkembang dengan cara
yang berbeda pula. Inkulturisasi budaya tampak menjadi bagian yang tidak
terpisahkan pada proses perkembangan Yogyakarta dan masyarakatnya. Budaya
modern yang praktis berjalan beriringan dengan nilai-nilai budaya yang sakral.
Hal ini pula yang menjadikan sistem sosial di Yogyakarta dibentuk berdasarkan
faktor kebersamaan dan kekeluargaan sehingga masing-masing komponen
masyarakat merasa menjadi bagian dan memiliki tanggung jawab terhadap
perkembangan kota Yogyakarta.
Dalam iklan ini, sosok kedua tokoh dimunculkan sebagai sebuah
kekuatan. Kekuatan di sini, karena dibalik kesederhanaan dan hal-hal biasa yang
82
mereka punya, ternyata mereka mampu muncul sebagai pribadi-pribadi yang
memegang nilai dan falsafah kehidupan khususnya sebagai pribadi masyarakat
Jawa yang hidup di dalam sebuah komunitas sosial. Mereka dicitrakan dalam
iklan sebagai sosok-sosok yang mewakili pribadi-pribadi manusia Jawa yang
selalu memegang teguh nilai –nilai kehidupan, selalu bekerja keras dalam hidup,
sederhana dalam bertingkah laku, dan menjaga keharmonisan.
’Kesungguhan’ yang dimiliki oleh kedua tokoh iklan ini dalam menjalani
hidup sesuai dengan apa yang dikatakan Budiono dalam bukunya Simbolisme
Jawa yang menjabarkan bahwa di dalam tradisi atau tindakannya, orang Jawa
selelu berpegang kepada dua hal, yaitu pertama, kepada pandangan hidupnya
yang religius dan mistis, dan kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan
menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.16 Pak Kasno dan Tukimin selalu
menghargai dirinya sebagai bagian masyarakat yang juga memiliki peran penting,
sekaligus menyadari panggilan hidupnya dalam setiap tugas keseharian yang
dijalankannya.
Dalam budaya Jawa sendiri dikenal sebuah semboyan bahasa Jawa ’saiyeg
saeko proyo’ yang artinya ’bergerak bersama’ dalam kehidupan sehari-hari.
Semboyan ini sendiri seringkali dimunculkan dalam keseharian lewat upaya
saling membantu, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama, menanggung
akibat dari suatu persoalan bersama-sama, hingga ke dalam upaya mempererat
hubungan kekeluargaan17.
16
17
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 139
Ibid, 66
83
Headline pada kedua iklan tersebut baik pada iklan cetak versi ”Menyapu
Jalan”, maupun pada versi ”Menarik Becak” sama-sama berbunyi ’Bebarengan
Mrantasi Gawe’. Kalimat dalam bahasa Jawa ini bisa diartikan sebagai bersama
menyelesaikan pekerjaan. Kalimat sederhana ini menjadi pesan utama dalam
iklan karena merepresentasikan salah satu nilai kehidupan yang dianut masyarakat
Jawa dalam lingkungan sosialnya, baik itu di daerah dengan kebudayaan tunggal
yang berperan seperti di kota Jogja itu sendiri maupun di daerah yang lebih
multikultural seperti Jakarta. Dimanapun mereka berada, orang Jogja selalu
memegang falsafah ’saiyeg saeko proyo’ yang artinya bergerak bersama dalam
setiap sendi-sendi kehidupan, apapun peran yang dimiliki oleh setiap pribadi.
Lewat kedua iklan ini, headline memunculkan nilai-nilai kebersamaan lewat
dalam dua aktivitas masyarakat yang berbeda, yaitu penyapu jalan dan penarik
becak, dimana kedua aktivitas ini membawa pesan tunggal, yaitu pentingnya nilai
kebersamaan itu sendiri.
Kemunculan headline kedua iklan ini yang berbentuk kalimat semboyan
juga mengingatkan kepada banyaknya ragam kalimat semboyan yang dikenal
dalam bahasa Jawa yang berisi ajakan, maupun tuntunan dan memiliki nilai
falsafah kehidupan yang dalam. Semboyan-semboyan orang Jawa ini bahkan
sudah menjadi istilah umum, yang penggunaannya seringkali menjadi tidak
terbatas pada komunitas Jawa melainkan juga pada struktur masyarakat yang
lebih kompleks. Semboyan seperti ’mangan ora mangan asal ngumpul’, ’aja
dumeh’, ’memayu ayuning bawana’, ’rawe-rawe rantas, malang-malang putung’,
’Ho lopis kuntul baris’ merupakan contoh dari berbagai semboyan yang muncul
84
dari budaya Jawa sebagai bentuk tuntunan bersikap dan bertingkah laku bagi
masyarakatnya.
Nilai-nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa secara jelas
dapat kita lihat dari penggambaran ilustrasi kedua iklan tersebut. Iklan versi
”Menyapu Jalan” menampilkan tokoh Tukimin sebagai penyapu jalan
’bekerjasama’ dengan para tokoh Punakawan yang tergambar pada mural.
Sebagai sebuah cara untuk menyampaikan pesan moral dalam iklan, kehadiran
tokoh Punakawan dianggap sebagai cara yang efektif.
Ilustrasi dari kedua iklan ini merepresentasikan semboyan ’saiyeg saeko
proyo’ dan istilah ’aja dumeh’ yang menekankan kepada kebersamaan dan ajakan
untuk peduli kepada sesama, serta memberikan bantuan yang dapat diartikan
sebagai tindakan ’berbagi kebahagiaan’.
Jika kita analisa, terdapat dua konsep ide kebersamaan yang ditawarkan
dalam eksekusi dari kedua iklan. Pada iklan versi ’Menyapu Jalan’ tokoh ilusi
Punakawan digambarkan bekerja bersama-sama Tukimin dalam membersihkan
lingkungan jalan. Mereka melakukan tugas masing-masing sesuai kemampuan
dalam menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan pada iklan versi ’Menarik Becak’
para tokoh ilusi masyarakat umum yang terlukis di tembok, terlihat bersatu
membantu menarik becak Pak Kasno. Mereka melakukan satu pekerjaan bersamasama, tanpa melihat lagi perbedaan latar belakang dari masing-masing pribadi.
Kedua konsep kebersamaan ini merupakan pengejawantahan dari nilainilai gotong royong dan prinsip ’berjalan bersama’ untuk menyelesaikan
pekerjaan di dalam masyarakat Jawa. Bagaimanapun bentuk dan caranya, nilai
85
kebersamaan mereka terapkan dalam menyelesaikan suatu persoalan yang ada,
entah itu persoalan bersama (kebersihan lingkunagn- seperti tampak pada iklan
versi ’Menyapu Jalan’) ataupun persoalan pribadi (beban berat yang dirasakan
seseorang- seperti tampak pada iklan versi ’Menarik Becak’). Mengenai nilai
kebersamaan sebagai bentuk kepedulian bisa dikaitkan dengan semboyan yang
berlaku di masyarakat Jawa yaitu Aja dumeh. Aja dumeh itu sendiri merupakan
peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya. Saat memiliki
kebahagian, harus diingat bahwa itu merupakan hasil bantuan dan dukungan dari
masyarakat sekitarnya.18 Pedoman ini yang menjadi dasar orang Jawa untuk
selalu rendah hati dan ingat bahwa keberhasilan dan kebahagiaan yang mereka
raih juga merupakan atas peran serta orang-orang sekitar.
Penggunaan ilustrasi dengan idiom Tokoh Punakawan maupun tokoh
masyarakat disajikan melalui pendekatan masa lampau dengan kemasan yang
baru/modern. Iklan itu sendiri sebagai bentuk komunikasi media modern, muncul
dengan konsep kreatif nilai kebersamaan yang diyakini telah ada sejak dahulu.
Hal ini menjadi sebuah konsep pendekatan pesan yang memadukan unsur-unsur
masa lampau bersama nilai dan muatan sejarah yang terkandung di dalamnya, dan
dikemas melalui pendekatan eksekusi iklan dengan kemasan kekinian. Itulah
alasan mengapa ilustrasi dimunculkan dalam bentuk lukisan tembok/mural yang
merupakan salah satu produk dari masyarakat urban.
Konsep kreatif dari kedua iklan ini pada akhirnya berusaha menjembatani
kepentingan dari harian Kedaulatan Rakyat untuk berbicara langsung pada
pembacanya, dimana nilai kebersamaan digunakan sebagai ide utama, dan
18
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 131
86
dikembangkan menjadi sebuah pesan iklan yang kuat untuk memancing
kesadaran audience akan eksistensi dari harian ini dan dihadirkan bersama realitas
kekinian dalam bentuk yang lebih nyata yang disesuaikan dengan konteks
masyarakat yang terjadi di Yogyakarta saat ini.
Tanda-tanda yang dihadirkan dalam iklan coba merepresentasikan
ideologi sebuah media lokal yang ingin menghadirkan nilai kebersamaan sebagai
pesan kreatif sebuah media komunikasi iklan, dan diharapkan para pembaca dapat
menghadirkan interprestasi yang tepat akan tanda-tanda pada iklan tersebut,
sehingga pada akhirnya pesan komunikasi yang merepresentasikan nilai budaya
Jawa dapat dalam iklan dapat dimaknai dan sampai ke dalam benak pembaca.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dari penelitian yaitu: 1) Ingin mengetahui tanda-tanda yang
berkaitan dengan nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa yang digunakan
dalam iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat, dan 2) Ingin mengetahui makna dari
tanda-tanda yang berkaitan dengan nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa
dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat, penulis dapat menyimpulkan:
1. Tanda-tanda yang digunakan pada iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat
memunculkan suatu gambaran dari sistem kehidupan dan sosial dari masyarakat
Yogyakarta, dimana dalam visualisasi kedua iklan tersebut, terdapat pengunaan
tanda yang berisi berbagai informasi mengenai kebudayaan Jawa dalam berbagai
bentuk.
Latar belakang cerita dalam iklan ini coba digambarkan melalui ilustrasi iklan
yang memunculkan gambaran lokasi di sudut kota Jogjakarta (Sagan & Benteng
Kraton), dan bagaimana iklan bercerita mengenai aktivitas sebagian masyarakat
dengan nilai budaya Jawa yang terdapat di dalamnya, nilai budaya Jawa di sini
tidak hanya sebatas pada tempelan identitas, melainkan juga dihadirkan sebagai
filosofi kehidupan keseharian yang dipegang oleh sebagian masyarakat tersebut.
Informasi lainnya adalah penggunaan simbol-simbol yang identik dengan budaya
Jawa, seperti penokohan tokoh pewayangan Punakawan yang sarat dengan nilai
budaya dan kehidupan yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Tokoh pewayangan
88
dengan beragam karakter dipercya mewakili masyarakat Jawa secara umum dan
dalam iklan ini dimunculkan untuk memperkuat pesan utama yang berbicara
mengenai nilai kebersamaan sebagai salah satu nilai kehidupan keseharian
masyarakat Jawa.
Informasi lain yang juga terdapat dalam eksekusi iklan ini adalah penggunaan
simbol-simbol dalam bentuk ‘benda/barang’ sebagai pengantar dalam penggunaan
tanda yang juga dekat dan diharapkan mampu mewakili nilai budaya Jawa, seperti
becak sebagai alat transportasi sehari-hari masyarakat Yogyakarta, lampu jalan
yang menjadi ciri khas kota Yogya dan seringkali dijadikan ikon budaya, ataupun
kemunculan headline pada iklan yang menggunakan bahasa Jawa dan semuanya
dimunculkan sebagai sebuah satu kesatuan pesan iklan yang saling mendukung.
2. Nilai kebersamaan pada budaya Jawa pada kedua iklan tersebut secara khusus
diangkat sebagai konsep kreatif dan pesan utama dari iklan yang bersumber pada
gambaran aktivitas keseharian masyarakat Yogyakarta dan diwakili oleh dua
tokoh utama dalam iklan melalui penggambaran sosok masyarakat kecil atau
marjinal sebagai tokoh utama penyampaian pesan yaitu Pak Kasno yang
berprofesi sebagai penarik becak dan Tukimin yang berprofesi sebagai petugas
penyapu jalan. Keduanya adalah gambaran dari masyarakat Jawa yang hidup di
dalam sebuah system kehidupan di Yogyakarta.
Kisah yang mengangkat sosok-sosok marjinal atau terpinggirkan dalam sebuah
sistem sosial selalu menarik untuk dijadikan tema cerita, tanpa bermaksud untuk
mengekspolitasi keadaan mereka yang jauh dari kemapanan. Kisah kehidupan
para tokoh ini dijadikan sumber inspirasi untuk mengangkat kembali nilai
89
kebersamaan yang sudah mulai ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat
Yogyakarta pada khususnya. Sebagai bagian dari masyarakat Yogyakarta dan
hidup dalam sistem sosial yang berlaku di dalamnya, kedua tokoh utama Pak
Kusno dan Tukimin mencoba dilukiskan dalam iklan sebagai tokoh yang
merepresentasikan nilai kebersamaan secara sederhana dalam keseharian, sebagai
sesuatu yang lumrah dijalankan, dan yang lebih penting adalah dari sudut pandang
mereka sendiri khususnya ketika mereka sedang menjalani aktivitas sehari-hari.
Melalui pemgambaran aktivitas kedua tokoh ini, nilai kebersamaan menjadi suatu
nilai kehidupan yang merakyat, dan menjadi bagian dari seluruh lapisan
masyarakat, apapun pangkat, jabatan, maupun status sosialnya.
Pemunculan teks iklan juga menjadi sebuah pengantar dalam ilustrasi iklan dan
disampaikan secara menarik dan personal. Pengunaan bahasa Jawa memiliki
kekuatan untuk menarik perhatian karena pengunaan bahasa daerah bukan hal
yang biasa dalam sebuah iklan, sehingga pada proses awal, headline kedua iklan
ini cukup mampu menarik perhatian pembaca.
Pendekatan fotografi dan pendekatan ilustrasi mural dalam eksekusi iklan
juga menghadirkan sesuatu yang baru, kreatif, dan menarik perhatian karena
headline tampak menyatu dengan ilustrasi utama sehingga berkesan tidak berdiri
sendiri. Upaya pendekatan ini membuat iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat
memiliki stopping power yang cukup baik, sehingga pesan iklan yang dibawa
pada akhirnya mampu diterjemahkan secara mudah dalam benak pembaca.
Ilustrasi dan teks iklan berhasil merepresentasikan nilai kebersamaan dalam
90
budaya Jawa kepada pembaca secara sederhana, menarik, dan sekaligus mampu
memberikan ‘pencerahan’ melalui pendekatan kreatif yang tidak menggurui.
Secara tidak langsung, upaya dari harian Kedaulatan rakyat untuk
mengangkat pesan utama ini dalam iklan cetak mereka, dapat menggugah
pembaca untuk berani melakukan sesuatu yang baik untuk melestarikan nilai
kebersamaan, siapapun kita, karena kita memiliki peran masing-masing dan kita
hidup dalam sebuah
tatanan
sosial dimana para pelakunya
memiliki
ketergantungan antar individu, yang satu dan yang lain.
5.2 Saran
Bagi para akademisi, diharapkan penelitian-penelitian sejenis dapat dilakukan
khususnya yang melihat representasi sebuah nilai kebudayaan dalam pesan iklan dan
penelitian dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan teori baru yang berkelanjutan,
baik melalui pendekatan kajian semiotika berdasarkan teori-teori dari Umberto Eco,
Barthez, Charles Sanders Peirce dan para tokoh semiotika lainnya.
Bagi para praktisi, penelitian ini diharapkan mampu menghadirkan sebuah
gambaran representasi nilai budaya dalam sebuah eksekusi pesan iklan, dan diharapkan
dalam proses penciptaan iklan-iklan baik itu iklan komersial maupun iklan layanan
masyarakat dapat mengangkat dan menyentuh nilai kelokalan sebuah budaya yang ada
dan dapat dijadikan sumber ide kreatif sebuah perancangan pesan iklan. Hal ini tentunya
sangat berkaitan dengan keadaan dan struktur masyarakat yang menjadi target sasaran
dari media komunikasi iklan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agustrijanto. Copywriting, Seni Mengasah Kreativitas dan Memahami Bahasa Iklan,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Batey, Ian. Asian Branding, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2003.
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Komunikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006.
Eco, Umberto. Theory of Semiotic, Bloomington: Indiana University Press, 1974.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2006.
Hakim, Budiman. Lanturan tapi Relevan, Yogyakarta: Galang Press, 2005.
Hall (Ed.), Stuart. Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices,
London: Sage Publications, 1997
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008.
Jefkins, Frank. Periklanan, Jakarta: Erlangga, 1997.
Lwin, May and Atchison, Jim. Clueless in Advertising, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2005.
Malo, Manase & R. Sulastiawan. Permasalahan dan Preposisi Penelitian, Metodologi
Penelitian Sosial, Jakarta: Penerbit Karunia, Universitas Terbuka, 1986.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000.
O.Connor, Alan. Culture and cummunication-Questioning The Media: A Critical
Introduction, California: Sage Publication, 1990.
Partokusumo, Katono K. ”Manusia Jawa dan Kebudayaanya dalam Negara Kesatuan
RI.” dalam Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Rakhmat, Jallaludin. Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985.
Setiadi, Elly. M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2006
Sobur, Alex. Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Syam, Nur. Madzhab-madzhab Antropologi, Yogyakarta: LkiS, 2007.
Wignjosoebroto, Soetandyo. “Budaya Daerah dan Budaya Nasional.” dalam Menggali
Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Zoest, Aart van. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya. Penerjemah Ani Soekawati. Jakarta: Yayasan Sumber
Agung, buku asli diterbitkan tahun 1978.
MAJALAH
CakramFokus Edisi Khusus 100% Indonesia, September 2007
“Eksplorasi Muatan Lokal.” CakramFokus Edisi Khusus Citra Pariwara, September
2006, hal 36
“ Kedaulatan Rakyat, Koran dari Kraton,” Cakram Komunikasi, Maret 2005, hal 50
“ Ketika Koran Harus Beriklan,” Cakram Fokus, April 2006, hal 46
“Mengangkat Hal Biasa Jadi Luar Biasa.” AdDiction, September 2006, hal c
Pandey, Piyush. ”Terorisme Global”. Cakram Komunikasi, Agustus 2004, hal 56.
“Pemenang Pinasthika Siap Bertanding.” CakramFokus Edisi Khusus Citra
Pariwara, September 2006, hal 32
“Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri.” AdDiction, September 2006, hal 8
Wiryawan, Mendiola B. “Desain Etnik, Desain Grafis Khas Indonesia.” Concept,
Juni 2006, hal 73
WEB SITE
www.aber.ac.uk, Chandler, Daniel. Streng this of Semiotic Analysis in Semiotics for
Beginner
www.ekawenats.blogspot.com, Eka Wenats Wuryananta, Teori Kritis dan Varian
Paradigmatis dalam Ilmu Komuniasi.
www.garis-cakrawala.blogsppot.com, Analisis Wacana.
www.wikipedia.com, Semiotika dan Strukturalism.
www.kompas.com, Azmi, Happy. Image Iklan televisi dalam Mengkonstruksi Pola
Pikir dan gaya Hidup Masyarakat (Analisis Semiotik Iklan Televisi di
Indonesia)
www.kompas.com, Litbang Kompas.
www.kratonjogja.com.
ESSAI
Concerning Human Understanding, 1996
Antonius Harmoko, lahir di Jakarta, pada
tanggal
30
Juni
1980.
Pendidikan
dasar
diselesaikan di SD Strada Slamet Riyadi
Tangerang
pada
tahun
1992.
Pendidikan
menengah pertama ditempuh di SMP Strada
Slamet
Riyadi
Tangerang,
hingga
tahun
1995. Penulis lulus dari sekolah menengah
atas di SMA Negeri 1 Tangerang pada tahun
1998. Selanjutnya penulis menempuh kuliah di Program Diploma
(D-III) Jurusan Desain Komunikasi Visual, Akademi Desain Visi
Yogyakarta hingga tahun 2002.
Selepas
kuliah,
penulis
bekerja
di
Bellisima
Communication
selama 6 bulan sebagai Creative Designer. Pada tahun 2003,
penulis bekerja di AIA Financial (dahulu AIG LIFE) hingga saat
ini di divisi Brand & Communications sebagai seorang Creative
Designer.
Wedding
Pada
&
tahun
Event
2004
Organizer
penulis
sempat
bernama
mendirikan
Fireworks
dan
usaha
berjalan
selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa portfolio yang sudah
dihasilkan
penulis
diantaranya
adalah
dalam
bidang
perancangan
desain
identity
komunikasi
Pertemuan
visual
Nasional
Mahasiswa HI Indonesia XIII di Yogyakarta (2000), perancangan
corporate identity dan marketing kit WEPRO-school of selling &
distribution
marketing
(2003),
perancangan
collaterals
Fireworks,
(2004),
perancangan
corporate
Mandiri
(2006),
perancangan
dan
corporate
identity
wedding&Event
identity
katalog
and
Organizer
PT
Sarana
Tehnik
dan
marketing
kit
EPITECH-Industrial Flooring (2009).
Berbekal pengalaman di bidang desain grafis, serta kebutuhan
untuk memperdalam bidang komunikasi pemasaran dan periklanan
menjadi alasan kuat penulis memilih jurusan periklanan. Sejak
September 2005 penulis menempuh studi pada jurusan Advertising
& Marketing Communications, Program Kuliah Karyawan, FIKOM,
Universitas
Mercu
bulan Agustus 2009.
Buana,
Jakarta
dan
menyelesaikannya
pada
Download