BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi 2.1.1 Konsep dan Definisi Konsumsi Pengeluaran konsumsi masyarakat/rumah tangga merupakan salah satu variabel makro ekonomi. Dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran, variabel ini lazim dilambangkan dengan huruf C, inisial dari kata Consumption. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat negara yang bersangkutan. Secara makro agregat, pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan nasional. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pula pengeluaran konsumsi. Perbandingan besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap pendapatan disebut hasrat marginal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume : MPC). Pada masyarakat yang kehidupan ekonominya relatif belum mapan biasanaya angka MPC mereka relatif besar, sementara angka MPS mereka relatif kecil, artinya jika memperoleh tambahan pendapatan maka sebagian besar tambahan pendapatan tersebut akan teralokasi untuk konsumsi. Hal ini sebaliknya berlaku pada masyarakat yang kehidupan ekonominya relatif lebih mapan. Menurut Rahardja (2001:45), pengeluaran konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi masyarakat atau rumah tangga ( household consumption). Alasan yang mendasarinya : Universitas Sumatera Utara 1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga memiliki posisi terbesar dalam total pengeluaran agregat. 2. Konsumsi rumah tangga bersifat endogenous dalam arti besarnya konsumsi rumah tangga berkaitan dengan faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhinya. Karena itu kita dapat menyusun model dan teori ekonomi yang menghasilkan pemahaman tentang hubungan tingkat konsumsi dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Teori dan model tersebut dikenal dengan teori model konsumsi yang telah terbukti bermanfaat bagi pengelola perekonomian makro. 3. Perkembangan masyarakat yang begitu cepat mengakibatkan perilaku-perilaku konsumsi juga berubah cepat. Hal ini merupakan alasan lain yang memuat studi tentang konsumsi rumah tangga tetap relevan. 2.1.2 Teori Konsumsi Apabila dilihat kembali, variabel-variabel yang mempengaruhi konsumsi sebenarnya tidak hanya pendapatan saja, akan tetapi ada variabel lain yang mempengaruhi konsumsi masyarakat (seseorang) diantaranya adalah variabel sosial ekonomi, tingkat harga, selera, tingkat bunga, dan sebagainya. Pendapatan seseorang dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan nominal dan pendapatan rill. Pendapatan nominal merupakan pendapatan yang diterima oleh seseorang dalam jumlah nominal. Sedangkan pendapatan rill merupakan pendapatan yang jumlahnya telah dideflasikan dengan perubahan harga barang dan jasa. Pendapatan rill merupakan indikator yang paling realistis digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan seseorang. Dibawah ini dapat dijelaskan teori konsumsi, dimana dalam Universitas Sumatera Utara bahasan ini besar kecilnya konsumsi ditentukan oleh variabel-variabel lain selain pendapatan (Bakti dkk, 2010: 45-52). 1. Teori Konsumsi Menurut Keynes (Absolute Income Hypothesis) Teori konsumsi konsumsi agregatif ini mulanya dikemukan oleh Jhon Maynard Keynes dalam bukunya “The General Theory Of Employment” dan ‘Interest and Money’ yang diterbitkan pada tahun 1936. Tentunya teori konsumsi J.M Keynes ini sebagai pencetus ide pertama sangat sederhana dibandingkan dengan teori konsumsi setelahnya yang terus mengalami perkembangan. Melalui teori konsumsi ini J.M Keynes mengungkapkan bahwa besar kecilnya konsumsi pada suatu waktu ditentukan oleh nilai absolute dari pendapatan masyarakat yang siap untuk dibelanjakan (disposable income) pada waktu berlangsung. Pola tingkah laku konsumsi masyarakat meningkat sejalan dengan pertambahan nilai pendapatan dan sebaliknya. Dengan demikian fungsi konsumsi agregatif secara sederhana dapat ditulis sebagai: C = f(Yd) ; dC/dY>0 Dimana: C = Nilai konsumsi agregatif Yd= Dissposable income Kemudian dengan perkembangannya, hubungan diantara konsumsi dengan pendapatan sebagai hubungan linier maka fungsi konsumsi menjadi: C = a + bYd Melalui fungsi konsumsi ini konstanta (a) dinyatakan sebagai tingkat konsumsi subsistence yang harus dipenuhi meskipun tingkat pendapatan nol. Adapun b disebut sebagai “Marginal Propensity to Consume” (MPC), yaitu besarnya perubahan konsumsi dapat diakibatkan oleh perubahan pendapatan atau lazim ditulis dengan: Universitas Sumatera Utara b = dC/dY; dengan batasan : 0 <b <1. Dengan demikian diperoleh MPS (Marginal Propensity to Save) atau s = dS/dY dan dengan ketentuan bahwa : MPC + MPS = 1 Selanjutnya rata-rata hasrat untuk konsumsi atau disebut dengan Average Propensity to Consume (APC) diperoleh sebagai : APC =C/Y dan Average Propensity to Save (APS) diperoleh sebagai APS = S/Y. Persyaratan yang ditentukan bahwa APC + APS = 1. Analisis keynes dalam perekonomian tertutup mengasumsikan bahwa : Yd = C + S, dimana S adalah tabungan (saving). Persamaan ini sekaligus mengungkapkan teori saving agregatif. Dari model diatas, bila digambar dalam bentuk kurvanya adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Gambar 1.1 Kurva Teori Konsumsi Keynes 2.Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hypothesis). Teori konsumsi ini dikemukakan oleh James Dusenberry dimana dalam bukunya Income, Saving and The Theory of Consumer Behavior pada tahun 1949. Teori konsumsi yang diajukan oleh James Dussenbery didasarkan kepada anggapan utama atau asumsi sebagai berikut: • Tingkat konsumsi adalah interdependent terhadap tingkat pendapatan tinggi atau kebiasaan yang terjadi sebelumnya. Disamping itu unsur status sosial seseorang juga turut menentukan tingkat konsumsinya. Dengan demikian tingkat pendapatan Universitas Sumatera Utara yang akan mempengaruhi konsumsi adalah nilai pendapatan relatif terhadap tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dimiliki sebelumnya. • Tingkat konsumsi bersifat irreversible yang bermakna bahwa apa yang terjadi pada waktu pendapatan naik, tidak akan selalu merupakan kebalikan bila terjadi penurunan pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa bila tingkat konsumsi sebelumnya pernah tinggi akibat kenaikan pendapatan maka pada waktu pendapatan turun, penurunan konsumsi tidak akan proposional. Berdasarkan kedua asumsi ini maka fungsi konsumsi dinyatakan sebagai: C/Y = a+b (C/Y0) : 0 < b < 1 : Dimana: C = Konsumsi agregatif Y = Pendapatan Y0 = Pendapatan tertinggi sebelumnya a = Tingkat konsumsi pada pendapatan nol (subsistence) b = Marginal propensity to consume (MPC) Dalam jangka panjang Y0 = Yt-1 sehingga Y/Y0 menjadi 1 + r , dimana r = laju pertumbuhan pendapatan untuk setiap unit waktu. Selanjutnya C/Y nilainya akan menjadi konstan dalam jangka panjang. Apabila menggunakan grafik berikut terlihat bahwa tingkat konsumsi agregatif pada mulanya pada garis C1 pada titik E, akan tetapi apabila terjadi kenaikan pendapatan konsumen (0Y1 menjadi 0Y 2) maka jumlah konsumsi akan meningkat relatif tinggi sehingga terjadi pergeseran garis konsumsi menjadi C2 pada titik F. Sedangkan bila pendapatan turun maka jumlah konsumsi tidak akan turun relatif kecil, yaitu pada garis konsumsi yang sama yaitu C2 di titik A pada tingkat 0Yt. Teori konsumsi Universitas Sumatera Utara ynag diajukan oleh James Duessenbery ini memberikan pengembangan baru dengan memperhitungkan unsur-unsur baru yang relevan dengan keadaan sebenarnya. Gambar 1.2 Kurva Teori Konsumsi Dusenberry 3. Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income Hyphotesis). Teori Konsumsi permanent income hypotesis ini dikembangkan oleh Milton Friedman pada tahun 1957. Menurut beliau perlu dibedakan dalam pembahasan konsumsi antara mesured income dengan permanent income. Measured income adalah pendapatan yang diterima pada suatu waktu tertentu, sedangkan permanent income adalah pendapatan yang diramalkan oleh konsumen akan dapat diterima pada masa yang akan datang (expexted income). Kemudian transitory income merupakan pendapatan yang Universitas Sumatera Utara dapat mengurangi atau meningkatkan permanent income. Formulasi disajikan sebagai berikut: Ym = Yp + Yt Dimana : Ym = Measured Income Yp = Permanent Income Yt = Transitory Income 4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup (Life Cycle Hypothesis) Perkembangan pada teori konsumsi berikutnya dikemukakan oleh A. Ando dan Franco Modigliani pada tahun 1963 yang lazim disebut sebagai Life Cycle Hypothesis. Melalui teori ini sumberdaya yang dimiliki oleh si konsumen dalam hidupnya (life time resources) dipandang sebagai faktor penentu tingkat konsumsi agregatif adalah sumberdaya yang dimiliki oleh konsumen, tingkat pengembalian modal (rate of return on capital) dan umur si konsumen itu sendiri. Sumberdaya yang dimiliki oleh konsumen diwakili oleh jumlah kekayaan (wealth) ditambah dengan nilai sekarang dari seluruh upah yang akan diterima selama hidunya. Konsumen dalam menentukan konsumsinya dengan memperhitungkan seluruh sumberdaya yang dimiliki sehingga tingkat konsumsi agregatif bukan hanya ditentukan oleh jumlah pendapatan yang diterima suatu waktu, akan tetapi nilai kekayaan yang dimiliki. Dengan menggunakan grafik sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Gambar 1.3 Kurva Teori konsumsi Hipotesis Siklus Hidup Hipotesis siklus hidup ini mengungkapkan bagaimana pola konsumsi masyarakat sepanjang usia (tahun) agar pendapatan yang diperoleh sebagai tingkat upah dihadapkan dengan pengeluaran konsumsi terhadap barang atau jasa yang diperlukan. Terlihat pada grafik, bahwa seorang masyarakat yang disebut konsumen pada tingkat usia produktif (15 tahun) memperoleh pendapatan sebesar 0Yo dengan pengeluaran konsumsi sebesar 0C o. Hal ini berarti bahwa konsumen dimaksud mula-mula melakukan disaving (meminjam) sebesar YoCo agar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Selanjutnya pada titik E dengan tingkat usia NE menunjukkan keseimbangan bahwa pendapatan yang digunakan untuk konsumsi. Demikian pula pada tingkat usia Nf , bahwa usia lanjut dengan tingkat pendapatan menurun tetapi tidak dengan konsumsi yang masih meningkat tercapai keseimbangan. Hal ini berarti bahwa sepanjang bidang areal E menuju F bahwa konsumen melakukan tabungan (saving). Universitas Sumatera Utara Keterangan : Yo = Pendapatan mula-mula pada usia produktif Co = Konsumsi mula-mula pada usia produktif 0 = Sumbu original yang mengungkapkan usia produktif bekerja dan memperoleh pendapatan. Yt = Pendapatan pada periode tahun ke t Ct = Konsumsi pada periode tahun ke t N = Usia (tahun) 5. Wealth Hypothesis Hypotesis ini pada prinsipnya merupakan modifikasi dan pengembangan hipotesis siklus hidup. Hubungan diantara tingkat pendapatan (kekayaan) dengan konsumsi di formulasikan sebagai : Ct = a + b t-1 Ydt Ydt Hipotesis kekayaan ini kemudian dikembangkan oleh Ball dan Drake (1964) dengan menggunakan formulasi sebagai berikut: C = k At Dengan asumsi kekayaan (A) tumbuh secara tetap dengan tingkat pertumbuhan tertentu ( ¶ ) , maka At = (1+ ¶) At -1 Dimana : A = wealth (kekayaan) k = konstanta. 2.2 Inflasi 2.2.1 Pengertian dan Definisi Inflasi Universitas Sumatera Utara Yang dimaksud dengan inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang secara terus menerus. Ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu naik dengan persentase yang sama.mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan. Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi. (Waluyo, 2003: 167). Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan index harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi antara lain: • Indeks biaya hidup (consumer price index) • Indeks harga perdagangan besar (wholesale price index) • GNP deflator 2.2.2 Sebab-sebab inflasi Ada beberapa sebab yang dapat menimbulkan inflasi menurut Sukirno (2000 : 177-178) antara lain : a) Berbagai golongan ekonomi dalam masyarakat berusaha memperoleh pendapatan relatif lebih besar daripada kenaikan produktivitas mereka. b) Adanya harapan yang berlebihan dari masyarakat sehingga permintaan barang-barang dan jasa naik lebih cepat daripada tambahan keluarnya (output) yang mungkin dicapai oleh perekonomian yang bersangkutan. c) Adanya kebijakan pemerintah baik yang bersifat ekonomi atau non-ekonomi yang mendorong kenaikan harga. Universitas Sumatera Utara d) Pengaruh alam yang dapat mempengaruhi produksi dan kenaikan harga. e) Pengaruh inflasi luar negeri apabila negara yang mempunyai sistem perekonomian terbuka pengaruh inflasi ini terlihat melalui pengaruh terhadap harga-harga barang impor. 2.2.3 Pengaruh Inflasi Menurut Sukirno (2000:339) dalam suatu negara inflasi sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian negara tersebut karena : 1. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi tingkat produksi dalam negeri, melemahkan produksi barang ekspor. Tingkat inflasi yang tinggi menurunkan produksi karena harga menjadi tinggi dan permintaan akan barang menurun sehingga produksi menurun. 2. Inflasi menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan kenaikan harga upah buruh, maka kalkulasi harga pokok meninggikan harga jual produk lokal. Dilain pihak turunnya daya beli masyarakat terutama berpenghasilan tetap akan mengakibatkan tidak semua bahan habis terjual. Inflasi menyebabkan naiknya harga jual produksi barang ekspor, dan berpengaruh terhadap neraca pembayaran. 2.2.4 Cara Mengukur Inflasi Menurut Waluyo (2003 :120) ada beberapa cara yang dipakai untuk mengukur inflasi diantaranya : 1. Cara umum yang dipakai untuk menghitung inflasi adalah dengan angka harga umum (general price). Formulasi umum yang dipakai adalah sebagai berikut : L It = H U t - H U t- H U t- Universitas Sumatera Utara Dimana: LI t : Laju inflasi pada periode t. HUt : Harga umum pada periode t HUt-1 : Harga umum pada periode t-1 Dalam banyak penelitian empiris, khususnya di negara sedang berkembang, pengamat atau peneliti ekonomi sering dihadapkan pada suatu kesulitan untuk mendapatkan angka-angka harga umum. 2. Angka deflator produk nasional bruto (GNP deflator) besaran ini dapat diformulasikan sebagai berikut : AD = Yb Yk Dimana : AD = Angka deflator Produk Nasional Bruto (PNB) Yb = Produk Nasional Bruto menurut harga berlaku Yk = Produk Nasional Bruto menurut harga konstan Kemudian laju inflasi dihitung dengan cara : LIt = ADt – AD t- AD t- Dimana : LIt = laju inflasi pada periode t ADt = angka deflator PNB pada periode t AD t- = angka deflator PNB pada periode t- Universitas Sumatera Utara Kelemahan dari cara ini adalah sulitnya diperoleh angka deflator PNB bulanan, triwulan atau semester sehingga kita hanya mempunyai angka deflator dari laju inflasi tahunan. 3. Indeks harga konsumen Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam menghitung inflasi, hal ini disebabkan data indeks harga konsumen dapat diperoleh dalam bentuk bulanan, triwulan ataupun tahunan. Model dari bentuk indeks harga konsumen adalah : LIt = IHKt - IHK t- x 100 IHK t- Dimana : LIt = laju inflasi pada periode t IHKt = indeks harga konsumen periode t IHK t- = indeks harga konsumen periode t- Kelemahan dari indeks ini karena sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga barangbarang yang mempengaruhi indeks biaya hidup konsumen, terutama harga kebutuhan barang-barang pokok. 4. Atas harga yang diharapkan Sejak berkembangnya teori rational ekspectation cara ini sering ditunjukkan cara itu menitikberatkan pada perhitungan harga dan laju inflasi pada periode yang berlaku, dan yang ditonjolkan adalah peranan harga yang diharapkan pada periode yang akan datang untuk menghitung laju inflasi. LIt = He t+1– Ht Universitas Sumatera Utara Ht Dimana : LIt = laju inflasi yang diharapkan pada tahun t He t+ = atas harga pengharapan pada tahun t +1 Ht = atas harga yang berlaku pada tahun t 5. Indeks harga dalam negeri dan luar negeri Untuk negara-negara dengan sistem perekonomian terbuka, pengaruh harga luar negeri (sebagai cerminan dari inflasi luar negeri) akan nampak pula pada angka indeks harga umum. Sehingga dapat dirumuskan besaran tersebut dengan : IHU = a IHDN + (1-a) IHLN Dimana : IHU = indeks harga umum IHDN = indeks harga dalam negeri IHLN = indeks harga luar negeri a = besarnya sumbangan pengaruh indeks harga dalam negeri terhadap indeks harga umum. Kesulitan yang dihadapi dalam hal ini adalah menentukan indeks harga dalam negeri dan proporsinya terhadap indeks harga umum. Sejauh ini biasanya indeks harga Universitas Sumatera Utara ekspor dipakai sebagai pendekatan terhadap indeks harga luar negeri, akan tetapi kita pun tidak mengetahui proporsinya terhadap indeks harga umum. 2.2.5 Macam-macam Inflasi Ada beberapa macam inflasi yang dapat terjadi dalam perekonomian, tergantung pada tujuan apa yang ingin dicapai. Macam-macam inflasi tersebut antara lain (Waluyo, 2003 : 172-176). 1. Ditinjau dari parah tidaknya suatu inflasi Dalam pengelompokan ini yang diperhatikan adalah berapa besarnya inflasi dalam suatu periode (Bakti, dkk 2003: 98). • Creeping Inflation Pada inflasi ini, pertumbuhan paling tinggi hanya 5% maka hal ini sangat baik bagi perekonomian. Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga yang lambat jalannya. Yang digolongkan kepada inflasi ini adalah kenaikan harga-harga yang tingkatnya tidak melebihi dua atau tiga persen setahun. Segolongan ahli ekonomi berpendapat bahwa inflasi merayap adalah diperlukan untuk menggalakkan perkembangan ekonomi. Menurut mereka harga barang pada umumnya naik dengan tingkat yang lebih tinggi dari kenaikan upah. Maka dalam inflasi merayap upah tidak akan berubah atau naik dengan tingkat yang lebih rendah dari inflasi. • Inflasi ringan : Inflasi yang besarnya < 10 %/ tahun • Inflasi sedang : Inflasi yang besarnya 10-30%/ tahun • Inflasi berat • Hiperinflation : Inflasi yang besarnya > 100%/ tahun : Inflasi yang besarnya 30-100%/ tahun Universitas Sumatera Utara 2. Ditinjau dari Sumber atau sebab awal inflasi • Demand Pull Inflation Inflasi ini timbul karena permintaan dalam negeri (baik masyarakat maupun pemerintah) akan berbagai barang sangat kuat dan besar serta melebihi keluaran (output) yang ada dalam perekonomian tersebut. Adapun bentuk kurva dari Demand Pull Inflation terdapat gambar berikut: Gambar 1.4 Kurva Demand Pull Inflation • Cost Push Inflation Pada jenis inflasi ini, kenaikan harga terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi (cost push inflation), atau dapat pula terjadi karena buruh menuntut kenaikan upah (wage push inflation). Naiknya biaya (cost) dalam penggunaan input produksi, menyebabkan Universitas Sumatera Utara naiknya harga jual produksi, ini dikarenakan kebanyakan seorang pengusaha tidak mau menanggung kenaikan biaya input, sehingga konsumen yang menanggungnya. Seperti kenaikan harga BBM yang cenderung manaikkan harga barang secara umum. Cost push inflation terlihat pada grafik berikut, bahwa harga barang cenderung menunjukkan kenaikan P o menjadi P1 yang ditandai oleh tekanan kenaikan agregate supply (supply curve) disebabkan oleh kenaikan biaya produksi yang memenuhi kenaikan agregate demand. Gambar 1.5 Kurva Cosh Push Inflation Universitas Sumatera Utara 3. Ditinjau dari Asal inflasi • Domestic inflation Inflasi terjadi karena kenaikan harga akibat adanya kondisi “shock” (kejutan) dari dalam negeri baik karena perilaku masyarakat maupun pemerintah yang mengakibatkan kenaikan harga. • Imported inflation Kenaikan harga-harga umum tidak saja dipengaruhi oleh harga dalam negeri, tetapi juga oleh harga-harga luar negeri yang tercermin pada harga barang-barang import. Dengan demikian kenaikan indeks harga luar negeri akan mengakibatkan kenaikan indeks harga umum dan dengan sendirinya akan mempengaruhi laju inflasi. 2.2.6 Berbagai Model Teori Inflasi Teori inflasi mencoba mengetengahkan dan memusatkan perhatiannya pada perkembangan ilmu yang diharapkan dapat berlaku secara umum. Beberapa model teori inflasi menurut Waluyo (2003: 176) adalah : a. Teori Kuantitas Teori ini dikembangkan oleh sekelompok ekonom dari Chicago University yang juga dikenal sebagai kelompok moneteris. Menurut pendapat mereka bahwa inflasi hanya dapat terjadi bila ada kenaikan jumlah uang yang beredar. Harga-harga akan naik karena adanya kelebihan uang yang diciptakan atau diproduksi oleh bank sentral. Meningkatnya jumlah uang yang beredar berarti meningkatnya saldo kas yang dimiliki oleh rumah tangga konsumen dan akibatnya akan mengakibatkan pengeluaran konsumsi masyarakat. Peningkatan konsumsi masyarakat akan Universitas Sumatera Utara mengakibatkan kenaikan tingkat harga, sehingga berakibat terjadinya inflasi. Inflasi akan berhenti dengan sendirinya jika tidak adanya penambahan uang yang beredar. Disamping penambahan uang beredar, mereka percaya bahwa sebab dasar adanya tekanan inflasi adalah keadaan sosial dan politik masyarakat. Faktor ini berkaitan erat dengan harga yang diharapkan (price expectation) terjadi disaat yang akan datang. Dengan sendirinya perilaku masyarakat mengenai perubahan harga dan ekonomi akan besar pengaruhnya terhadap laju inflasi. b. Teori Keynes dan Teori Tekanan Biaya (Cost Push Theory) Teori inflasi menurut pendekatan ini mengatakan bahwa inflasi terjadi karena suatu kelompok masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya, sehingga proses inflasi merupakan proses tarik menarik antar golongan masyarakat untuk memperoleh bagian masyarakat yang lebih besar daripada yang mampu disediakan oleh masyarakat sendiri. Golongan yang berhasil dengan aspirasinya akan mencerminkan keberhasilannya dalam suatu permintaan yang efektif. Kalau hal ini selalu terjadi maka akan timbul suatu kesenjangan inflasi (inflationary gap), tekanan dari golongan ini akan mengakibatkan kenaikan biaya (cost-push). Menurut aliran teori ini untuk mengetahui proses inflasi perkiraan diamati faktor kelembagaan yang dapat mempengaruhi upah dan harga. Adanya suatu kesenjangan diatas akan menaikkan harga-harga dan laju inflasi. Proses inflasi akan berlangsung terus menerus selama masih terjadi kesenjangan inflasi. Kesenjangan inflasi ini dapat diatasi tergantung pada perilaku masyarakat terhadap apa yang disebut sebagai ilusi uang, dan apabila masyarakat terkena ilusi uang mereka akan mempertahankan pengeluaran nominal bukan pengeluaran riilnya, maka kesenjangan inflasi dapat Universitas Sumatera Utara dihilangkan. Perlu ditambahkan bahwa kondisi adanya ilusi uang hanya terjadi menurut anggapan atau teori Keynes, sedangkan dalam teori klasik kita tidak menjumpai adanya kondisi tersebut. c. Teori Strukturalis Teori ini merupakan teori inflasi yang didasarkan pada pengalaman dinegara-negara Amerika Latin dan mengkaitkan timbulnya inflasi. Karenanya sering pula disebut teori inflasi jangka panjang. Pada umumnya negara-negara berkembang adalah eksportir bahan baku mentah yang merupakan masukan industri negara-negara maju secara teoritis mereka berharap bahwa ekspor mereka dapat meningkat bila mereka mengadakan perdagangan internasional. Kenaikan ekspor ini dengan sendirinya dapat dipakai untuk membiayai program pembangunan dan juga impor barang-barang yang mereka butuhkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : harga barang ekspor dipasar dunia yang tidak menguntungkan, elastisitas kurva penawaran barangbarang ekspor yang pada umumnya tidak elastis, dan batasan yang dibutuhkan oleh negara-negara industri. Akibatnya ekspor mereka tidak cukup kuat untuk mendukung program pembangunan yang terlalu ditargetkan dan juga impor. Permasalahannya adalah bahwa komponen barang-barang substitusi impor tersebut masih juga di impor dan ongkos produksinya relatif lebih tinggi. Jelaslah bahwa dengan tingginya ongkos akan mengakibatkan harga barang-barang tersebut menjadi lebih mahal. Dengan sendirinya proses ini akan saling kait mengkait dengan sektor lain yang menggunakan barang-barang subsitusi import tersebut, sehingga harga terpengaruh untuk naik. Disamping faktor diatas, kenaikan harga juga terjadi dikarenakan adanya Universitas Sumatera Utara ketidakselarasan antara produksi barang-barang kebutuhan pokok pangan dengan pertumbuhan penduduk. Jika pertumbuhan produksi pangan tersebut lebih kecil daripada pertumbuhan penduduk, berarti penawaran pangan lebih kecil dari permintaan pangan, akibatnya cenderung naik dan inflasi terjadi. Berikut bentuk kurvanya : Gambar 1.6 Kurva Model Konsumsi Teori Strukturalis Pada gambar diatas terlihat bahwa pergeseran kurva permintaan agregat pangan jauh lebih besar dari peregeseran kurva penawaran agregat pangan (AS) akibatnya harga terus naik dari Po ke P hingga P2. d. Teori Inflasi Model Kurva Philips Penelitian lain yang terkenal mengenai inflasi adalah dari teorinya A.W Philips yang menghasilkan hubungan dalam suatu kurva yang dikenal dengan kurva Philips. Universitas Sumatera Utara Penelitian yang berjudul “ The relation between unemployment and there are change of money wages rates in the United Kingdom” (1861-1957). Dalam hal ini Philips ingin mengetahui hubungan antara tingkat inflasi dan pengangguran (unemployment). Full employment adalah suatu keadaan dimana setiap orang mau bekerja pada tingkat upah yang berlaku untuk memperoleh pekerjaan. Pada kenyataannya, keadaan full employment sebagaimana dikatakan diatas tidak mungkin terjadi, sebab adanya ketidaksempurnaan dalam perekonomian, sebagai contoh ketidaksempurnaan informasi mengenai tersedianya lapangan kerja, ketidaksempurnaan dalam pasar barang dan pasar tenaga kerja, dan adanya pengangguran friksional. Didalam penelitiannya Philips menemukan bahwa periode dimana tingkat pengangguran rendah, saat itu pula terdapat perubahan yang drastis atas tingkat upah. 2.2.7 Kebijakan Moneter dan Inflasi Kebijakan moneter dilakukan oleh bank sentral sebagai otoritas moneter untuk menjaga stabilitas moneter yang operasionalnya dilakukan oleh bank umum dan lembaga keuangan non bank. Untuk itu bank sentral perlu mengawasi aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank umum dan non bank sehingga tujuan kebijakan ekonomi makro dapat tercapai. Tujuan kebijakan moneter pada prinsipnya sebagai upaya memecahkan isu pokok ekonomi makro dalam kerangka memacu pertumbuhan ekonomi, Pengendalian inflasi, dan Mengatasi pengangguran (Bakti dkk, 2010: 95-96). Untuk mencapai tujuan tersebut maka bank sentral akan menggunakan beberapa instrument utama (discount policy, open market policy, and cash ratio reserve requirent policy) dan bentuk instrument lainnya terdiri dari: Universitas Sumatera Utara • Discount policy, kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk menetapkan suku bunga bank yang berlaku umum dan kemudian operasionalnya dilakukan oleh bank umum. Untuk mengatasi inflasi maka bank sentral akan menaikkan suku bunga dalam kerangka mengurangi jumlah uang yang beredar dan sebaliknya untuk meradakan deflasi maka bank sentral menurunkan suku bunga yang berpengaruh kepada kenaikan jumlah uang yang beredar. • Open market policy, bank sentral mengeluarkan obligasi dan surat-surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah untuk diperjual belikan kepada masyarakat. Dalam kerangka menuju laju inflasi maka bank sentral menjual obligasi dan surat-surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah kepada masyarakat sekaligus sebagai upaya mengurangi jumlah uang beredar. Sebaliknya untuk meredakan deflasi maka pemerintah membeli obligasi dan surat-surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah. • Cash ratio reserve requirement policy (CRR), yaitu kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk menetapkan rasio uang kas dan cadangan yang akan digunakan oleh bank umum sebagai dana pinjaman. Persentase CDR dinaikkan dengan tujuan agar bank umum mengurangi penyaluran dana pinjaman sebagai upaya mengurangi jumlah uang beredar dan sebaliknya. • Pengaturan sistem pembelian angsuran, dilakukan untuk mengawasi aliran pinjaman terhadap pembelian barang oleh perusahaan-perusahaan kepada para Universitas Sumatera Utara konsumen. Tindakan ini dilakukan oleh bank sentral untuk mengatur sistem pembayaran secara angsuran sebagai upaya pencegah inflasi. • Selective Credit Control, dilakukan oleh bank sentral untuk mencegah inflasi terhadap kredit untuk membiayai proyek-proyek yang dilakukan oleh masyarakat sekaligus sebagai upaya untuk mencagah kegiatan spekulasi yang dilakukan oleh para pedagang. 2.3 Pendapatan Perkapita 2.3.1 Pengertian Pendapatan Perkapita Untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi suatu negara dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakatnya, perlu diketahui tingkat pertambahan pendapatan nasional dan besarnya pendapatan perkapita. Besarnya pendapatan nasuional akan menentukan besarnya pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita sering dianggap sebagai gambaran tingkat kesejahteraan, sedangkan besarnya pendapatan perkapita sangat erat kaitannya dengan pertambahan penduduk. Sehingga apabila pertambahan pendapatan nasional lebih besar dari pada tingkat pertambahan penduduk, maka tingkat pendapatan penduduk meningkat. Sebaliknya apabila tingkat pertambahan pendapatan nasional lebih kecil dari pertambahan penduduk, maka pendapatan perkapita mengalami penurunan (Suryana, 2001: 8). Hal ini berarti bahwa untuk mempertahankan tingkat pendapatan perkapita atau tingkat kesejahteraan relatif perlu dicapai tingkat pertambahan pendapatan nasional yang sama dengan tingkat pertambahan penduduk. Pendapatan nasional dan pendapatan perkapita itu sendiri akan naik apabila produktivitas perkapita mengalami kenaikan. Universitas Sumatera Utara Untuk menaikkan produksi perkapita berarti pula harus adanya perubahan struktur ekonomi, struktur produksi, serta masyarakat statis berkembang menjadi masyarakat dinamis. Pembangunan ekonomi baru dikatan ada kemajuan apabila pendapatan nasional atau pendapatan perkapita naik diikuti perubahan struktur ekonomi, teknik produksi, adanya modernisasi, dan masyarakat tradisional berkembang menjadi masyarakat dinamis yang berpikir rasional ekonomi dalam tindakan-tindakannya. Pendapatan regional, hanya dipakai untuk konsep domestik. Berarti seluruh nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor/ lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya disuatu wilayah / region (dalam hal ini propinsi) dimasukkan, tanpa memperhatikan faktor produksi. Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/ balas jasa kepada faktorfaktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi daerah tersebut. Dengan kata lain PDRB menunjukkan gambaran Production Orginated. Pendapatan perkapita sering kali digunakan sebagai indikator pembangunan selain untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi antar negara-negara maju dengan negara sedang berkembang. Dengan kata lain, pendapatan perkapita selain bisa memberikan gambaran tentang laju perrtumbuhan kesejahteraan mayarakat di berbagai negara juga dapat menggambarkan perubahan corak tingkat kesejahteraan masyarakat yang sudah terjadi diantara berbagai negara. Tolak ukur yang paling banyak untuk mengukur keberhasilan sebuah perekonomian, antara lain adalah pendapatan nasional, produk nasional, tingkat kesampatan kerja, tingkat harga dan posisi neraca pembayaran luar negri. Salah satu Universitas Sumatera Utara indikator telah terjadinya alokasi yang efisien secara makro adalah nilai output nasional yang dihasilkan sebuah perekonomian pada suatu periode tertentu. 2.3.2 Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Pertahun Dalam perhitungan / pengukuran pertumbuhan pendapatan nasional, namun pendapatan nasional rill yang digunakan adalah pendapatan nasional rill yang sudah dibagi dengan jumlah penduduk suatu negara (Suryana, 2004:5). Berkaitan dengan kenaikan pendapatan nyata perkapita dalam jangka panjang, para ekonom berpendapat sama dalam mendefinisikan pembangunan ekonomi dalam arti kenaikan pendapatan atau output nyata perkapita. Bahwa perkembangan ekonomi sebagai proses kenaikan pendapatan nyata perkapita dalam satuan jangka waktu yang panjang, perkembangan berarti mengembangkan potensi pendapatan nyata negara-negara terbelakang dengan menggunakan investasi yang akan melahirkan perubahan dan memperbesar sumbersumber produktif yang pada gilirannya menaikkan pendapatan nyata/orang. Definisi diatas bermaksud menenkankan bahwa bagi perkembangan ekonomi, tingkat kenaikan pendapatan nyata seharusnya lebih tinggi dari pada tingkat pertumbuhan penduduk. Kenaikan pendapatan perkapita mungkin tidak menaikkan standar hidup rill masyarakat. Bisa terjadi bahwa sementara pendapatan nyata perkapita meningkat akan tetapi konsumsi perkapita merosot. Masyarakat mungkin meningkatkan tingkat tabungan mereka atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu untuk keperluan militer atau keperluan lain. Universitas Sumatera Utara Ada kemungkinan lain yang menyebabkan masyarakat tetap miskin walaupun ada kenaikan dalam pendapatan masyarakat nyata, jika pendapatan itu hanya dinikmati oleh beberapa orang kaya dan tidak boleh dinikmati oleh banyak orang miskin. 2.4 Teori Kependudukan 2.4.1 Teori Thomas Robert Malthus Menurut Thomas Robert Malthus (Dwiyanto, 2001:45) bahwa penduduk cenderung meningkat secara deret ukur sedangkan penyediaan kebutuhan hidup riil dapat meningkat secara deret hitung. Artinya pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan kebutuhan hidup riil. Hal ini kemudian menciptakan suatu kegoncangan dan kepincangan antara jumlah penduduk dan kemampuan untuk menyediakan kebutuhan hidup seperti bahan pangan. Perubahan yang tak sebanding ini memberikan berbagai permasalahan kompleks yang memaksa otoritas kebijakan memaksimalkan strategi dalam menghadapinya. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat adalah dengan melakukan pemantauan harga kebutuhan pokok. 2.4.2 Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal Berdasarkan teori Malthus diatas, penduduk yang meningkat secara deret ukur tak sebanding dengan peningkatan ketersediaan kebutuhan hidup secara deret hitung. Hal ini tentu mengindikasikan persaingan yang ketat antar penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan akan bahan pangan. Universitas Sumatera Utara Menurut Dwiyanto (2001:55) negara tentu harus mengatur persaingan tersebut sehingga tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian diperlukan serangkaian kebijakan dan strategi dalam mengatur penduduk dalam mengakses kebutuhan akan pangan. Bukanlah hal yang mudah dalam mengatur dan mencukupi kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Perlunya kerjasama dan kesinergisan antara pemerintah pusat dan daerah. Apalagi dengan kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan permasalahan ketidakmerataan penyebaran penduduk. Salah satu kebijakan pangan yang diterapkan adalah dengan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden Nomor 22/2009. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh beragamnya potensi daerah yang memiliki prospek cerah untuk dikembangkan. Salah satu permasalahan yang dihadapi masyarakat dunia pada saat ini adalah perebutan lahan untuk pengembangan energi dan budidaya tanaman pangan. Dalam upaya memaksimalkan ketersediaan pangan maka penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal perlu segera diterapkan. Selain itu, kebijakan pangan seringkali hanya dilihat dari aspek produksi, ketersediaan, dan pasokan. Sementara sisi konsumsi dan permintaan justru diabaikkan. Padahal terdapat pola pengerucutan konsumsi penduduk Indonesia menuju kepada komoditi beras. Ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok perlu dikurangi secara perlahan-lahan dan tergantikan dengan jagung, sagu dan umbi-umbian. Konsumsi beras masyarakat Indonesia tercatat masih yang tertinggi di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 139 kilogram (kg) per kapita per tahun. Sementara itu, konsumsi beras negara lain di Asia, seperti Jepang 60 kg, dan Malaysia 80 kg per kapita per tahun. Universitas Sumatera Utara Saat ini implementasi strategi kebijakan pangan nasional memang belum optimal. Lemahnya kerja sama pusat dan daerah menjadi salah satu alasannya. Padahal untuk kebijakan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal diperlukan kampanye, sosialisasi, dan edukasi di tiap daerah sehingga terbentuklah gerakan massal pengembangan konsumsi pangan lokal. Suksesnya penganekaragaman pangan sangat berpengaruh terhadap kemandirian pangan nasional karena akan mengurangi impor bahan pangan. Dengan demikian peningkatan komunikasi antara pusat dan daerah perlu terus ditingkatkan. Selain itu, perlu juga dilakukan revitalisasi fungsi koordinasi, perencanaan, dan implementasi kebijakan pangan Dewan Ketahanan Pangan Nasional agar kemandirian pangan dapat tercipta dan target swasembada lima komoditas pangan (beras, gula, jagung, kedelai, dan daging sapi) di tahun 2014 dapat terwujud. Universitas Sumatera Utara