BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian lansia Usia lanjut merupakan usia emas dari tahap perkembangan manusia. Menurut pasal 1 ayat (2),(3),(4) UU no.13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2012). lansia bukan merupakan suatu penyakit melainkan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan tersebut dikaitkan dengan penurunan daya kemampuan hidup dan peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009). Menurut Depkes RI, 2001 penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh. Sehingga akan memperngaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2012) Usia lanjut dapat dikatakan usia emas karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut. Orang yang berusia lanjut (lansia) memerlukan tindakan keperawatan, baik promotif maupun preventif, agar dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia. Istilah untuk manusia 8 9 yang berusia lanjut belum ada yang baku. Orang memiliki sebutan yang berbeda0beda terhadap keberadaan usia lanjut. Ada yang menyebut manusia usia lanjut (manula), manusia lanjut usia (lansia), golongan lanjut umur (glamur), usia lanjut (usila), bahkan di Inggris orang menyebutnya warga Negara senior. Untuk menyeragamkannya, maka penelitian ini menggunakan istilah manusia lanjut usia (lansia) (Maryam, 2012). 2.1.2 Batasan lanjut usia. Lansia dapat ditentukan dari batasan-batasan umur seseorang. Dari beberapa pendapat para ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut: a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”. b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun. c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 4055 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia. d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri 10 dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (7580 tahun), dan very old (> 80 tahun) (Efendi, 2009). 2.1.3 Klasifikasi lansia Lansia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan. Berdasarkan Depkes RI dalam Maryam (2012), ada lima klasifikasi pada lansia yang terdiri dari: a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, b. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, c. Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, d. Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. 2.1.4 Karakteristik lansia Lansia memiliki beberapa karakteristik. Menurut Budi Anna Keliat, karakteristik lansia adalah sebagai berikut: a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), 11 b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, c. Lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam, 2012). 2.1.5 Perubahan –perubahan yang terjadi pada lansia Lansia mengalami penurunan fungsi beberapa organ sehingga menyebabkan perubahan di organ-organ tersebut. Menurut Maryam,2008, perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia dapat dijabarkan sebagai berikut; 1) Perubahan fisik a. Sel : jumlahnya berkurang , ukurannya membesar, cairan tubuh menururn, dan cairan intraseluler menurun. b. Kardiovaskular : katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun ( menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat. c. Respirasi : otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat , alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus. d. Persarafan : saraf pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespons dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stres. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson , sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik ddan reflex. 12 e. Muskuloskletal : cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis) bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot) kram , tremor , tendon mengerut dan mengalami sklerosis.osteoatritis juga merupakan penyakit sendi yang sering dialami lansia. f. Gastrointestinal : esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltic menurun sehingga daya absopsi juga ikut menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim pencernaan. g. Genitourinaria : ginjal mengecil , aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun. h. Vesika urinaria : otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urin. Prostat : hipertrofi pada 75% lansia. i. Vagina : selaput lendir mengering dan sekresi menurun. j. Pendengaran : membrane timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang tulang pendengaran mengalami kekakuan. k. Penglihatan : respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun , akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan katarak. l. Endokrin : produksi hormone menurun m. Kulit : keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun , vaskularisasi menurun, 13 rambut memutih (uban), kelenjar keringat menurun, kaku keras dan rapuh, serta kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk. 2) Perubahan social a. Peran : single woman, single parent b. Keluarga : emptiness : kesendirian , kehampaan c. Abuse : kekerasan berbentuk verbal(dibentak) dan nonverbal (dicubit, tidak diberi makan). d. Teman : ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan meninggal, berada di rumah terus-menerus akan cepat pikun ( tidak berkembang e. Keamanan : jatuh, terpleset. f. Ekonomi : kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi lansia dan income security 3) Perubahan psikologis Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory¸frustasi , kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut mengahadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan. 2.2 Osteoatritis Osteoatritis merupakan bentuk umum dari atritis yang dapat menimbulkan ketidakmampuan. Kejadian osteoatritis meningkat seiring dengan pertambahan umur. Osteoatritis sering ditemukan pada orang yang sudah memasuki umur 45 tahun ke atas dan lebih sering mengenai wanita daripada pria. Keluhan dari 14 osteoatritis yang dirasa paling menganggu adalah nyeri. Nyeri yang ditimbulkan dapat menjadi beban bagi lansia dengan osteoatritis (Rosa, 2008). 2.2.1 Definisi Osteoatritis Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada perukaan permukaan persendian. Osteoatritis adalah bentuk atritis yang paling umum dengan jumlah pasiennya sedikit melapaui julah pasien atritis (Price & Wilson, 2005). Menurut Smeltzer & Bare (2003) mengatakan bahwa osteoatritis dapat dibagi menjadi dua yaitu osteoatritis primer dan sekunder. Osteoatritis primer yang bersifat idiopatik tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya. Osteoatritis prier dapat bersifat general atau local. Osteoatritis sekunder terjadi akibat adanya factor resiko yang teridentifikasi atau adanya penyebab seperti traua sendi, abnoralis anatois, infeksi, neuropati, hemofilia, perubahanm etabolik pada kartilago (hemokromatosis), atau perubahan tulang subkondoral (akremegali, penyakit paget). Sendi yang paling sering terserang osteoatritis adalah sendi yang memikul beban tubuh seperti sendi lutut, panggul, vertebra lumbal dan servikal, dan sendisendi pada jari. Osteoatritis terutama menyebabkan perubahan-perubahan biomekanika dan biokimia di dalam sendi , penyakit ini bukan suatu peradangan . Namun , seringkali perubahan- perubahan di dalam sendi ini disertai oleh sinovitis , menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman.( Price & Wilson, 2005) 15 2.2.2 Gejala Osteoathritis Manifestasi klinis dari osteoarthritis yang primer atau yang paling sering dikeluhkan adalah rasa nyeri, kaku dan gangguan fungsional (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Price&Wilson (2005) Manifestasi klinis dapat terlihat dari adanya; a. Nyeri pada osteoarthritis disebabkan oleh inflamasi sinovia, peregangan kapsula atau ligamentum sendi, iritasi ujung-ujung saraf dalam periosteum akibat pertumbuhan osteofit, mikrofraktur trabekulum , hipertensi intraoseus, bursitis, tendinitis dan spasme otot(Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri tumpul yang terjadi pada osteoarthritis akan berkurang apabila pasien diistirahatkan dan bertambah bila sendi digerakkan atau bila memikul tubuh. Namun latihan ringan atau low impact exercise perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri . b. Kekakuan sendi yang muncul di pagi hari dapat bertahan selama beberapa menit tidak selama pasien dengan RA. c. Spasme otot atau tekanan pada saraf didaerah sendi yang terganggu adalah sumber nyeri. low impact exercise dilakukan untuk mengurangi spasme otot sehingga nyeri yang dirasakan juga akan berkurang. d. Perubahan yang khas juga terlihat pada tulang belakang yang akan menjadi nyeri, kaku, dan mengalami keterbatasan dalam bergerak. low impact exercise dilakukan untuk mengurangi spasme otot sehingga nyeri yang dirasakan juga akan berkurang. 16 e. Pertumbuhan tulang yang berlebih atau spur dapat mengiritasi radiks yang keluar dari tulang vertebra. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan neuromuskular, seperti nyeri, kekakuan dan keterbatasan gerak. f. Perubahan khas yang terjadi pada tangan adalah Nodus herbenden atau pembesaran tulang sendi interfalang distal sering dijumpai. Nodus Bauchard, yaitu pembesaran tulang sendi interfalang proksimal. lebih jarang ditemukan 2.3 Konsep Nyeri 2.3.1 Definisi Nyeri Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Potter & Perry, 2005). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut Smeltzer & Bare(2002), nyeri merupakan suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan karena kerusakan jaringan yang actual atau potensial. Nyeri juga merupakan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyusahkan lebih banyak orang dibandingkan penyakit manapun yang ada. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang 17 mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya. Peraturan utama dalam merawat pasien nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui (Basbaum, dkk, 2009). 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik (Kidd, 2011). a. Usia Menurut Potter & Perry (2005) usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak-anak dan lansia . Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Nyeri bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang tidak dapat dihindari. Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dilakukan pengkajian, diagnosis, dan penatalaksanaan secara agresif. Namun individu yang berusia lanjut memiliki risiko yang tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat mereka mengalami nyeri , karena lansia telah hidup lebih lama, mereka kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami kondisi patologis yang menyertai nyeri(Potter & Perry, 2005) b. Jenis kelamin Menurut Gill (1990) yang dikutip dari Potter & Perry,2005 mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara 18 signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. c. Budaya Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005).Mengenali nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. (Smeltzer& Bare, 2003). d. Makna Nyeri Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman, dan tantangan. (Potter & Perry, 2005) e. Ansietas Hubungan antara Nyeri dan Ansietas bersifat kompleks. Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat 19 pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2003). f. Keletihan Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur , maka persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan. (Potter & Perry, 2005) g. Pengalaman Sebelumnya Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten (Smeltzer & Bare, 2002). h. Keluarga dan Support Sosial 20 Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2005). i. Pola koping Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah hal yang tidak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien (Potter & Perry, 2005). 2.3.3 Klasifikasi Nyeri Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner & Suddarth, 2005). Smeltzer & Bare (2003) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara 21 fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil. Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut Rospond (2008) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terusmenerus atau intermitten. 2.3.4 Mekanisme Nyeri a. Persepsi nyeri Terdapat sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri yaitu sistem nosiseptif. Nosiseptor merupakan serabut saraf yang mentransmisikan nyeri sedangkan non-nosiseptor merupakan serabut saraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri. Sensitivitas dari dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan dengan stimulus yang sama memiliki intensitas nyeri yang sama juga (Smeltzer & Bare, 2001). 22 Seperti yang telah dijelaskan, bahwa nosiseptor adalah serabut saraf bebas dalam kulit yang berespon terhadap stimuli yang kuat, yang secara potensial dapat merusakstimuli tersebut bisa berasal dari kimia, mekanik, termal. Sendi, otot skelet, fasia, tendon dan kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang mempunyai potensi untuk mentransmit stimuli yang mengakibatkan nyeri. Namun demikian organ-organ internal yang besar tidak mengandung ujung saraf yang berespon hanya pada stimuli nyeri. Nyeri yang berasal dari organ ini diakibatkan dari stimuli resptor yang kuat yang mempunyai tujuan lain contohnya inflamasi, regangan, iskemia, dilatasi, dan spasme organ-organ internal semua menyebabkan respon yang kuat pada serabut multi tujuan inidan secara potensial menyebabkan nyeri hebat (Potter & Perry, 2005). Saat stimulan-stimulan tersebut menstimulasi serabut saraf nyeri atau nosiseptif maka akan merangsang nosiseptor untuk mengeluarkan mediatormediator nyeri yaitu histamin , bradikinin, asetilkolin dan untuk nyeri neurogenik, nosiseptor akan mensekresikan mediator nyeri substansi P (Potter & Perry, 2005). prostaglandin juga merupakan suatu zat kimiawi yang diduga dapat meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin. Substansi lain dari tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor transmisi nyeri adalah endorphin dan enkefalin. Substansi ini bekerja seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh yang dapat menghambat transmisi nyeri. Endorphin dan enkefalin diduga dapat menghambat transmisi nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula spinalis (Smeltzer & Bare, 2001). 23 Saat nosiseptor mensekresikan mediator-mediator nyeri kemudian ditransmikan ke otak dan medula spinalis dan diproses di kornu dorsalis sehingga seseorang dapat mempersepsikan nyeri tersebut. Menurut Smeltmer & Bare (2001) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2001). b. Teori Gerbang Kendali Nyeri Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat. 24 Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung enkafalin yang menghambat transmisi nyeri. teori ini menjelaskan bagaimana aktivitas tertentu dapat menurunkan persepsi nyeri seseorang (Potter & Perry, 2005). Dalam teori ini dijlaskan bahwa jika seorang melakukan aksi yang menstimulasi serabut tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam tempat reseptor yang sama dengan serabut perasa nyeri (nosiseptor) diaktifkan maka stimulasi sejumlah besar serabut non-nosiseptor, yang bersinaps pada serabut inhibitor dalam kornu dorsalis, akan menghambat transmisi sensasi nyeri dalam jaras asenden sampai suatu tingkat tertentu (Smeltzer & Bare, 2001). c. Sistem Kontrol Desenden Sistem control desending adalah suatu sistem serabut berasal dalam otak bagian bawah dan bagian tengah dan berakhir pada serabut interneuronal inhibitor dalam kornu dorsalis dari medula spinalis. Sistem ini kemungkinan selalu aktif, keadaan aktif ini mencegah transmisi terus menerus stimulus nyeri sebagian melalui aksi dari endorphin. Proses kognitif dapat menstimulasi produksi endorphine dalam sistem control desenden. Begitu pula aktivitas fisik diperkirakan meningkatkan produksi endorphin dalam sistem control desenden. Sehingga endorphin yang diekskresikan melalui kegiatan dari sistem ini mampu menghambat transmisi nyeri sehingga persepsi nyeri seseorang berkurang (Smeltzer & Bare, 2001). 2.3.5 Pengukuran Nyeri Skala nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran skala nyeri sangat subjektif dan individual. Menurut Gordon 25 and Dahl, 2004, alat ukur satu dimensi baik digunakan untuk mengukur skala nyeri. Alat ukur satu dimensi yang sering digunakan untuk mengukur skala nyeri adalah Visual Analog Scale (VAS), Numerical Rating Scale (NRS), Verbal Rating Scale(VRS), Faces Pain Rating Scale (FPRS). a. Visual Analog Scale Skala analog visual (visual analog scale/VAS) merupakan suatu metode pengukuran nyeri yang paling sering digunakan. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dirasakan pasien. Rentang nyeri yang dirasakan diwakili sebagai garis sepanjang 10-cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter pada alat ukur ini. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau peryataan deskriptif. Di satu ujungnya dapat mewakili rasa tidak nyeri sedangkan diujung yang satunya dapat mewakili rasa nyeri yang hebat yang dirasakan pasien. skala ini dapat ditampilkan dalam bentuk horizontal maupun vertical. Alat ukur ini dapat menggunakan gradient warna dari warna putih yang berarti tidak nyeri sampai warna merah cerah yang berarti nyeri hebat(Rospond,2008). Manfaat utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana. Selain itu keuntungan lainnya adalah VAS tidak tergantung bahasa dan mudah dimengerti. Kelemahan dari VAS adalah memerlukan koordinasi visual dan motorik dari pasien( Rospond, 2008). Beberapa pasienkhususnya orang tua, akan mengalami kesulitan dengan adanya representasi grafik dari VAS sehingga hasil yang didapatkan bisa tidak akurat jika tiddak diterapkan dengan teliti. VAS tidak dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kritis, 26 gangguan penglihatan, gangguan kognitif, pasien dengan gangguan kesadaran dan kesulitan berbahasa (Gordon and Dahl,2004). Gambar 1. Alat ukur VAS (Sumber : Rospond, 2008) b. Numerical Rating Scale (NRS) Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “tidak nyeri” , angka 1-3 berarti “nyeri ringan”, angka 4-6 berarti “nyeri sedang” angka 7-9 berarti “nyeri hebat”, angka 10 berarti “ nyeri sangat hebat”(Potter & perry,2005). Skala ini juga dapat dibuat horizontal maupun vertical dapat pula dikombinasikan dengan gradient warna. Keuntungan dari skala ini yaitu skala ini mudah digunakan, tidak memerlukan koordinasi visual dan motorik serta lebih mudah digunakan daripada VAS (Rospond,2008). Study dari Auburn et al,2003 dalam Gordon and Dahl(2004) mengatakan bahwa NRS dapat digunakan pada pasien post operatif , penyakit kritis, pasien dengan gangguan penglihatan , dan pasien dengan penurunan koordinasi motorik, serta efektif untuk pasien lanjut usia. Gambar 2. Alat ukur nyeri NRS (Sumber : Rospond, 2008) 27 c. Verbal Rating Scale Verbal rating Scale (VRS) adalah alat ukur nyeri yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda. Alat ukur ini menggunakan rentang dari “tidak nyeri ” sampai “nyeri hebat” . VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya diskore dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore “0”, mild (kurang nyeri) dengan skore “1”, moderate (nyeri yang sedang) dengan skore “2”, severe (nyeri keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras) dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien. Terdapat juga metode yang hanya mengkategorikannya dalam None, Mild, Moderete, severe(Rospond, 2008). Keuntungan dari alat ukur ini adalah mudah dan cepat digunakan untuk mengukur intensitas nyeri pasien. Namun, VRS ini mempunyai keterbatasan didalam mengaplikasikannya. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan(Rospond,2008) . Gambar 3. Alat ukur nyeri VRS (Sumber : Rospond, 2008) 28 d. Faces Pain rating scale Alat ukur ini menggunakan gambar wajah untuk mengukur intensitas nyeri pasien. metode ini dikembangkan oleh Barker-Wong untuk mengetahui skala nyeri pada anak-anak. Alat ukur ini dikatakan belum sempurna. Kemudian skala wajah ini direvisi oleh Bieri. Skala yang dikembangkan oleh Bieri dan kawan-kawan dianggap ideal memberikan gambaran jarak yang sama antar berbagai tingkat nyeri. wajah 1 menunjukan tidak nyeri, wajah2-3 berarti nyeri ringan, wajah 4-5 berarti nyeri sedang, wajah 6-7 berarti nyeri berat. Alat ukur ini sederhana dan memerlukan sedikit instruksi dalam penggunaannya. Namun, Salah satu keterbatasan skala ini adalah belum diuji untuk populasi budaya yang berbeda (Rospond, 2008). Menurut Flaherty,2011, validitas dari FPRS ini merupakan yang terendah dari ketiga lainnya diatas. Gambar 4. Alat ukur nyeri Faces Pain Rating Scale (Sumber : Rospond, 2008) Berdasarkan dari penjabaran kekurangan dan kelebihan masing-masing alat ukur tersebut, maka peneliti memilih Numerical Rating Scale (NRS) dalam penelitian ini. Alat ukur ini mudah digunakan pada lansia dan mempunyai 29 validitas yang baik untuk digunakan mengukur nyeri pada orang dewasa dan lansia pada khususnya (Flaherty, 2011). 2.3.6 Manajemen Nyeri Farmakologis Gejala nyeri yang dirasakan lansia dengan osteoatritis sangat mengganggu kualitas hidup dari lansia itu sendiri. Terapi farmakologis dan non farmakologis dapat digunakan untuk mengatasi rasa nyeri tersebut. Beberapa agen farmakologis digunakan untuk menangani nyeri. Terapi farmakologi dilaksanakan berdasarkan pemahaman yang baru terhadap kerusakan akibat osteoatritis yang disebabkan oleh proses remodeling metabolic aktif. Bentuk terapi ini dimaksudkan untuk menyempurnakan perbaikan kartilago serta menunda penghancuran sendi (Potter & Perry,2005). Menurut Cavalieri (2007), analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgesik, yakni : (1) non narkotik dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) , (2) analgesic narkotik atau opiate, (3) obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik. NSAID non narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang , seperti nyeri yang terkait dengan rematik, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah pada punggung bagian bawah. Analgesic opiate atau narkotik umumnya diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat. Seperti nyeri pasca operasi dan nyeri maligna (Smeltzer & Bare, 2001). Sejumlah penelitian telah memperbesar kemungkinan bahwa salisilat dan preparat NSAID dapat mempercepat progresivitas penghancuran kartilago pada osteoatritis(Smeltzer & Bare, 2001). Jika pengendalian gejala sendi tidak tercapai 30 dalam periode yang semestinya, maka pemakaian preparat NSAID harus dilakukan. Penilaian ulang yang terus dilakukan bertujuan untuk mengurangi takaran obat atau untuk menggunakan NSAID hanya pada saat-saat nyeri sendi kambuh kembali. Penyuntikan intra-artikuler kortikosteroid harus dikerjakan dengan sangat hati-hati untuk mendapatkan efek yang segera dan berjangka waktu pendek ketika sendi mengalami inflamasi akut (Price&Wilson, 2005). 2.3.7 Manajemen Nyeri Nonfarmakologis Selain terapi farmakologis seperti yang sudah dipaparkan diatas, terdapat beberapa terapi nonfarmakologis yang lebih aman untuk digunakan mengontrol nyeri. Sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan perawatan tersier sama seperti di rumah dan pada keadaan perawatan restorasi. Dengan cara yang sama, terapi –terapi ini digunakan dalam kombinasi dengan tindakan nonfarmakologis. Tindakan nonfarmakologis mencakup intervensi perilaku kognitif dan penggunaan agen-agen fisik (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut Potter & Perry (2005), beberapa terapi nonfarmakologis untuk mengontrol nyeri sebagai berikut; a. Bimbingan antisipasi. Memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan dengan nyeri menghilangkan nyeri dan menambah efek tindakan untuk menghilangkan nyeri yang lain. Pengetahuan tentang nyeri membantu klien mengontrol rasa cemas dan secara kognitif memperoleh penanganan nyeri dalam tingkatan tertentu. Suatu contoh bimbingan 31 antisipasi adalah penyuluhan praoperasi. Bimbingan antisipasi memberikan penjelasan yang jujur tentang pengalaman nyeri. b. Distraksi. Sistem aktivasi menyakitkan jika seseorang retikular menghambat stimulus yang menerima masukan sensori yang cukup ataupun berlebihan. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin. Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri c. Biofeedback. Merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon fisiologis dan cara untuk meraih kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini digunakan untuk menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala migren. d. Hipnosis diri dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistiik, hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respon tertentu untuk mereka. Hipnosis diri sama dengan melamun. Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stres karena individu berkosentrasi hanya pada satu pikiran. e. Mengurangi persepsi nyeri. Salah satu cara sederhana untuk meningkatkan rasa nyaman ialah membuang atau mencegah stimulus nyeri. Hal ini 32 terutama penting bagi klien yang imobilisasi atau tidak mampu merasakan sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga dapat dicegah dengan mengantisipasi kejadian yang menyakitkan. f. Stimulasi kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah stimuli kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Massase, mandi air hangat, kompres menggunakan kantong es, dan stimulasi saraf elektrik trans kutan (TENS) merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Cara kerja khusus stimulasi kutaneus masih belum jelas . Salah satu pemikiran adalah bahwa cara ini menyebabkan pelepasan endorfin, sehingga memblok tranmisi stimulus nyeri (Potter & Perry, 2005). 2.4. Hatha Yoga 2.4.1 Definisi Hatha Yoga Yoga adalah suatu praktek kuno yang bertujuan untuk membuat suatu keharmonisan antara pikiran dan tubuh. Yoga adalah sebuah kata Sansekerta kuno. Kata ini mempunyai dua arti yang berbeda, yaitu arti umum dan arti teknis. Dalam arti umum, kata ‘yoga’ berasal dari asal kata Yujiryoge, yang berarti bergabung, bersatu, atau persatuan dari dua benda atau lebih. Arti teknik dari istilah yoga diperoleh dari Yuj yang lain. Di sini kata itu bukan “persatuan”, melainkan “keadaan stabil, diam, dan damai”. Kata yoga di sini menunjukkan keadaan diam dan cara atau praktik yang membawa pada keadaan itu (Kaminoff, 2007). Yoga memiliki akar spiritual, dengan tujuan utama membantuindividu untu k mewujudkan kebahagiaan sejati , kebebasan, atau pencerahan. Selain tujuan ters 33 ebut, yoga memiliki beberapa tujuan sekunder, seperti meningkatkan kesehatan fisik dan meningkatkan kesejahteraan mental dan keseimbangan emosional (Sani, 2012). Menurut Carson dkk, 2011 mengatakan bahwa yoga adalah sistem latihan low impact meditasi. Yoga lembut yang berasal dari berfokus pada praktik India postur tubuh, pernapasan, dan kuno dan telah menjadi teknik terapi terkemuka di dunia. Dengan mengadopsi postur yang sangat mendasar dan kadang-kadang sangat kompleks dan teknik pernapasan, tujuan yoga adalah memberikan sejumlah manfaat fisik dan mental.yoga dapat membantu meredakan sakit otot dan tulang dengan merehabilitasi cedera otot dan tulang serta mencegahnya kembalinya cedera melalui peregangan, penguatan tubuh.Yoga juga dapat meningkatkan oksigen ke otak dan menyebabkan respon relaksasi yang mengurangi ketegangan otot dan stres (Mishra dkk, 2010). Istilah “hatha” terdiri atas dua bagian, yakni kata “Ha” yang berarti matahari dalam bahasa sansekerta dan kata “Tha” yang berarti rembulan. Melalui latihan hatha yoga inilah kedua bagian tubuh anda akan memperoleh keharmonisan dan keseimbangan akan karakteristiknya. Selanjutnya dengan adanya keseimbangan diantara unsure-unsur tersebut, akhirnya akan tercapai suatu kesehatan jasmani dan rohani yang sempurna. Tujuan utama hatha yoga adalah mengarahkan badan ke tingkat kesehatan dan kesempurnaan sehingga kekuatankekuatan akan berada dalam keadaaan keseimbangan yang harmonis dan kesehatan jasmani dan rohani (Sani, 2012). 34 2.4.2 Teknik Latihan Hatha Yoga Menurut Sani (2012), secara umum latihan-latihan dalam Yoga menggunakan tenik Asana, Pranayama, Meditasi, dan Relaksasi napas dalam. : a. Asana Asana adalah gerakan yoga yang berhubungan dengan posisi tubuh. Gabungan antara gerakan kelenturan, gerakan memutar dan keseimbangan ini membantu Anda untuk membedakannya dengan jenis yoga lainnya. Yoga asana mengutamakan postur tubuh, fokus pada pernapasan (breathing) dan konsentrasi pada jalannya pikiran (mind). Menurut Sani (2012), latihan-latihan asana yang efektif untuk lansia dengan osteoatritis adalah surya namaskar, jathara parivartasana, janushirasana, dan unta. b. Pranayama Pranayama adalah jenis latihan yoga yang berkaitan dengan fungsi pernafasan. Kata “prana” berarti nafas dan “ayama” yang artinya pengaturan. Jadi, apabila digabungkan pranayama berarti pengaturan nafas. Bernafas merupakan kebutuhan yang penting bagi tubuh. Apabila Anda mampu mengatur irama pernafasan, hal ini tentu dapat membantu Anda memperoleh tubuh dan pikiran yang lebih sehat (Kaminoff, 2007). c. Meditasi Tujuan utama dari yoga adalah menenangkan proyeksi pikiran kita seperti khayalan dan pemikiran kita. Pada dasarnya, jenis yoga asana dan pranayama diciptakan untuk membantu mempersiapkan tubuh dan pikiran kita 35 masuk dalam sebuah keheningan dan meditasi. Inilah alasan mengapa banyak kelas yoga yang mengajarkan beberapa cara meditasi (Sani, 2012). d. Relaksasi Napas Dalam Menururt Sani (2012), seni relaksasi yang dalam dilakukan selama beberapa menit. Selama mempraktikkan relaksasi, energy yang digunakan hanya sedikit, karena itu sisa energy yang terus menerus diproduksi oleh selsel tubuh akan akan menumpuk sebagai cadangan. Pose yang biasa digunakan adalah pose shavasana atau posisi mayat. Posisi dalam pose ini adalah tidur terlentang lalu tariklah napas beberapa kali (Kaminoff, 2007). 2.4.3 Manfaat Hatha Yoga Melakukan hatha yoga dapat memberikan beberapa manfaat yang penting untuk tubuh. Menurut Suparyanto (2011), beberapa manfaat dari hatha yoga sebagai berikut: a. Menjadi Tetap Bugar Yoga merupakan cara yang baik untuk membentuk postur tubuh. Berbagai posisi yoga dapat menyehatkan berbagai organ dan membentuk otot-otot yang panjang dan langsing. Latihan menekuk tubuh kedepan, kebelakang, dan berbagai posisi menyamping atau berpilin dan posisi terbalik dapat menyeimbangkan dan melatih setiap otot, tulang, sendi-sendi, dan organ-organ tubuh. b. Perbaikan Sirkulasi Sikap-sikap latihan asana dalam yoga memberikan perbaikan sirkulasi darah dan kelenjar getah bening diseluruh tubuh. Tekanan dari ruang abdomen 36 terdapat diafragma yang dapat melatih otot-otot diafragma dan jantung. Posisiposisi terbalik dapat meningkatkan kualitas tidur karena posisi tersebut membantu proses relaksasi sistem saraf simpatik, memampukan respon relaksasi untuk masuk. c. Memberikan Relaksasi Teknik pernapasan dalam latihan hatha yoga dapat mengendalikan pernafasan dan pikiran. Teknik pernafasan dapat membuat tubuh terasa lebih sehat. System pernafasan dan system saraf menjadi tenang dan kuat, dan seluruh sel menerima kekuatan hidup dan makanan dari pernafasan. Teknik pernafasan yang baik dapat membuat energy vital dari tubuh dapat menjadi seimbang, kelelahan dapat berkurang. Teknik relaksasi alam sadar secara sistematis membimbing kedalam keadaan rileks yang mendalam. Begitu suara-suara dalam pikiran menghilang, tubuh akan mampu melepaskan tegangan otot. d. Tulang Belakang dan Persendian Tubuh Setiap gerakan dari asana melatih tulang belakang, menarik, memutar, dan menekan dalam tingkat yang bermacam-macam. Latihan ini akan membantu memperbaiki tulang belakang dan melatih fleksibilitas persendian (Sani, 2012) e. Mengurangi Kecemasan dan Stres Menurut studi yang dilakukan Mahaning (2011), dengan melakukan Yoga maka akan merangsang pengeluaran hormon kortisol. Kortisol akan memberikan perasaan yang damai dan tenang sehingga tingkat kecemasan dan stress seseorang dapat berkurang. 37 2.5 Pengaruh Hatha Yoga terhadap Skala Nyeri Pada Lansia dengan Osteoarthritis Latihan senam yoga dapat bermanfaat bagi seseorang dengan keterbatasan range of motion atau fleksibilitas yang rendah karena arthritis. Hal ini dikarenakan latihan yoga dapat meningkatkan fleksibilitas, kekuatan sendi, dan keseimbangan. Berbagai modifikasi gerakan yoga telah dikembangkan sehingga sesuai bagi lansia atau penderita osteoatritis (Haaz, 2009). Praktek senam yoga adalah untuk menghubungkan tubuh dan pikiran melalui pernafasan. Aturan umum untuk pasien dengan arthritis dan orang-orang pada umumnya adalah apabila gerakan terasa menyakitkan, maka segera berhenti. Umumnya, pasien arthritis akan merasakan nyeri apabila melakukan pose yang terlalu extreme. Pasien arthritis dapat melakukan yoga dengan aman dan melakukan gerakan-gerakan yang lembut (Evans, 2010). Gerakan-gerakan yoga merupakan latihan low impact yang dapat digunakan untuk penderita arthritis dalam mengurangi nyeri dan kekakuan (Kaminoff, 2007). Berdasarkan dari teori gerbang kendali nyeri dan teori sistem control desenden yaitu dengan proses kognitif saat kita melakukan gerakangerakan yoga maka kelenjar di hipotalamus akan mensekresikan hormon endorphin yang berfungsi sebagai inhibitor transmisi nyeri. Endorphin merupakan neuromodulator alami dari tubuh yang dapat menghambat pelepasan substansi p yang merupakan salah satu transmisi nyeri. Sehingga hormon yang diekskresikan ini mampu mengurangi nyeri (Potter & Perry, 2005). 38 Selain itu gerakan yoga juga dapat melemaskan otot-otot sehingga spasme otot berkurang dan nyeri yang dirasakan dipersendian pun berkurang. Latihan yoga dapat merileksasikan otot-otot yang mengalami spasme sehingga dapat mengurangi pemicu nyeri. latihan asana dalam yoga melibatkan kontraksi setiap otot-otot tertentu, dipertahankan dalam jangka waktu tertentu dan diikuti oleh pernapasan yang dalam. Setelah melakukan gerakan asana, maka otot-otot akan melemas (Mishra dkk, 2010). Relaksasi yang dalam dan sempurna setelah melakukan gerakan asana, menyangkut penghematan energy yang dapat diarahkan ke dalam untuk meningkatkan dan kesadaran mental pada tingkatan yang lebih tinggi( Sani, 2012). Gerakan asana dalam yoga yang menekuk dan meregangkan pembuluh darah, menjadikannya lebih elastis dan mencegah pengerasan, dan menghilangkan sekatan-sekatan yang ditimbulkan oleh racun-racun yang membahayakan . Proses ini berhubungan dengan proses inflamasi sendi pada osteoarthritis yang menimbulkan menumpuknya sekresi prostaglandin, bradikinin dan susbtansi p yang dapat mentransmisikan nyeri. Latihan hatha yoga akan memeperlancar sirkulasi darah sehingga oksigen dapat dialirkan dengan lebih baik dan zat-zat berguna seperti mediator-mediator nyeri juga ikut terbuang. Hal tersebut mengakibatkan nyeri yang dirasakan lansia dengan osteoatritis juga berkurang (Mishra, dkk, 2010). Salah satu faktor predisposisi dari persepsi nyeri adalah kecemasan. Latihan hatha yoga dapat meningkatkan asupan oksigen sehingga terjadi peningkatan kelenjar pineal yang mensekresikan hormone serotonin dan 39 melatonin. Hormon-hormon tersebut akan memberikan perasaan damai meningkatkan perasaan rileks sehingga perasaan cemas berkurang yang akhirnya juga dapat membantu mengurangi perasaan nyeri (Mahaning, 2011). Penelitian yang dilakukan kolasinski (2005), yoga yang dilakukan selama delapan kali latihan dengan durasi 60 menit dapat mengurangi gejala osteoarthritis seperti nyeri.