8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian lansia

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lansia
2.1.1 Pengertian lansia
Usia lanjut merupakan usia emas dari tahap perkembangan manusia.
Menurut pasal 1 ayat (2),(3),(4) UU no.13 tahun 1998 tentang kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari
60 tahun (Maryam, 2012). lansia bukan merupakan suatu penyakit melainkan
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia merupakan
suatu keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan tersebut dikaitkan
dengan penurunan daya kemampuan hidup dan peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009). Menurut Depkes RI, 2001 penuaan adalah suatu proses
alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan
berkesinambungan.
Selanjutnya
akan
menyebabkan
perubahan
anatomis,
fisiologis, dan biokimia pada tubuh. Sehingga akan memperngaruhi fungsi dan
kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2012)
Usia lanjut dapat dikatakan usia emas karena tidak semua orang dapat
mencapai usia tersebut. Orang yang berusia lanjut (lansia) memerlukan tindakan
keperawatan, baik promotif maupun preventif, agar dapat menikmati masa usia
emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia. Istilah untuk manusia
8
9
yang berusia lanjut belum ada yang baku. Orang memiliki sebutan yang
berbeda0beda terhadap keberadaan usia lanjut. Ada yang menyebut manusia usia
lanjut (manula), manusia lanjut usia (lansia), golongan lanjut umur (glamur), usia
lanjut (usila), bahkan di Inggris orang menyebutnya warga Negara senior. Untuk
menyeragamkannya, maka penelitian ini menggunakan istilah manusia lanjut usia
(lansia) (Maryam, 2012).
2.1.2 Batasan lanjut usia.
Lansia dapat ditentukan dari batasan-batasan umur seseorang. Dari
beberapa pendapat para ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang
mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60
(enam puluh) tahun ke atas”.
b.
Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90
tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
c.
Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 4055 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia.
d.
Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric
age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri
10
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (7580 tahun), dan very old (> 80 tahun) (Efendi, 2009).
2.1.3 Klasifikasi lansia
Lansia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan. Berdasarkan
Depkes RI dalam Maryam (2012), ada lima klasifikasi pada lansia yang terdiri
dari:
a.
Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun,
b.
Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih,
c.
Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan,
d.
Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa,
e.
Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
2.1.4 Karakteristik lansia
Lansia memiliki beberapa karakteristik.
Menurut Budi Anna Keliat,
karakteristik lansia adalah sebagai berikut:
a.
Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13
tentang kesehatan),
11
b.
Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif,
c.
Lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam, 2012).
2.1.5 Perubahan –perubahan yang terjadi pada lansia
Lansia mengalami penurunan fungsi beberapa organ sehingga menyebabkan
perubahan di organ-organ tersebut. Menurut Maryam,2008, perubahan-perubahan
yang terjadi pada lansia dapat dijabarkan sebagai berikut;
1) Perubahan fisik
a. Sel : jumlahnya berkurang , ukurannya membesar, cairan tubuh menururn,
dan cairan intraseluler menurun.
b. Kardiovaskular : katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa
darah menurun ( menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh
darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
sehingga tekanan darah meningkat.
c. Respirasi : otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku,
elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik
napas lebih berat , alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan
batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.
d. Persarafan : saraf pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun serta
lambat dalam merespons dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan
dengan stres. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson , sehingga
menyebabkan berkurangnya respon motorik ddan reflex.
12
e. Muskuloskletal : cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh
(osteoporosis) bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku
(atrofi otot) kram , tremor , tendon mengerut dan mengalami
sklerosis.osteoatritis juga merupakan penyakit sendi yang sering dialami
lansia.
f. Gastrointestinal : esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar
menurun, dan peristaltic menurun sehingga daya absopsi juga ikut
menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun
sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim
pencernaan.
g. Genitourinaria : ginjal mengecil , aliran darah ke ginjal menurun,
penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga
kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.
h. Vesika urinaria : otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi
urin. Prostat : hipertrofi pada 75% lansia.
i. Vagina : selaput lendir mengering dan sekresi menurun.
j. Pendengaran : membrane timpani atrofi sehingga terjadi gangguan
pendengaran. Tulang tulang pendengaran mengalami kekakuan.
k. Penglihatan : respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap
menurun , akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan katarak.
l. Endokrin : produksi hormone menurun
m. Kulit : keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam
hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun , vaskularisasi menurun,
13
rambut memutih (uban), kelenjar keringat menurun, kaku keras dan rapuh,
serta kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk.
2)
Perubahan social
a. Peran : single woman, single parent
b. Keluarga : emptiness : kesendirian , kehampaan
c. Abuse : kekerasan berbentuk verbal(dibentak) dan nonverbal (dicubit,
tidak diberi makan).
d. Teman : ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan
akan meninggal, berada di rumah terus-menerus akan cepat pikun ( tidak
berkembang
e. Keamanan : jatuh, terpleset.
f. Ekonomi : kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi
lansia dan income security
3)
Perubahan psikologis
Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory¸frustasi ,
kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut mengahadapi kematian, perubahan
keinginan, depresi, dan kecemasan.
2.2 Osteoatritis
Osteoatritis merupakan bentuk umum dari atritis yang dapat menimbulkan
ketidakmampuan. Kejadian osteoatritis meningkat seiring dengan pertambahan
umur. Osteoatritis sering ditemukan pada orang yang sudah memasuki umur 45
tahun ke atas dan lebih sering mengenai wanita daripada pria. Keluhan dari
14
osteoatritis yang dirasa paling menganggu adalah nyeri. Nyeri yang ditimbulkan
dapat menjadi beban bagi lansia dengan osteoatritis (Rosa, 2008).
2.2.1 Definisi Osteoatritis
Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif. Penyakit ini bersifat
kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya
deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada
perukaan permukaan persendian. Osteoatritis adalah bentuk atritis yang paling
umum dengan jumlah pasiennya sedikit melapaui julah pasien atritis (Price &
Wilson, 2005). Menurut Smeltzer & Bare (2003) mengatakan bahwa osteoatritis
dapat dibagi menjadi dua yaitu osteoatritis primer dan sekunder. Osteoatritis
primer yang bersifat idiopatik tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya.
Osteoatritis prier dapat bersifat general atau local. Osteoatritis sekunder terjadi
akibat adanya factor resiko yang teridentifikasi atau adanya penyebab seperti traua
sendi, abnoralis anatois, infeksi, neuropati, hemofilia, perubahanm etabolik pada
kartilago (hemokromatosis), atau perubahan tulang subkondoral (akremegali,
penyakit paget).
Sendi yang paling sering terserang osteoatritis adalah sendi yang memikul
beban tubuh seperti sendi lutut, panggul, vertebra lumbal dan servikal, dan sendisendi pada jari. Osteoatritis terutama menyebabkan perubahan-perubahan
biomekanika dan biokimia di dalam sendi , penyakit ini bukan suatu peradangan .
Namun , seringkali perubahan- perubahan di dalam sendi ini disertai oleh sinovitis
, menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman.( Price & Wilson, 2005)
15
2.2.2 Gejala Osteoathritis
Manifestasi klinis dari osteoarthritis yang primer atau yang paling sering
dikeluhkan adalah rasa nyeri, kaku dan gangguan fungsional (Smeltzer & Bare,
2002).
Menurut Price&Wilson (2005) Manifestasi klinis dapat terlihat dari
adanya;
a. Nyeri pada osteoarthritis disebabkan oleh inflamasi sinovia, peregangan
kapsula atau ligamentum sendi, iritasi ujung-ujung saraf dalam periosteum
akibat pertumbuhan osteofit, mikrofraktur trabekulum , hipertensi intraoseus,
bursitis, tendinitis dan spasme otot(Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri tumpul
yang terjadi pada osteoarthritis akan berkurang apabila pasien diistirahatkan
dan bertambah bila sendi digerakkan atau bila memikul tubuh. Namun latihan
ringan atau low impact exercise perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri .
b. Kekakuan sendi yang muncul di pagi hari dapat bertahan selama beberapa
menit tidak selama pasien dengan RA.
c. Spasme otot atau tekanan pada saraf didaerah sendi yang terganggu adalah
sumber nyeri. low impact exercise dilakukan untuk mengurangi spasme otot
sehingga nyeri yang dirasakan juga akan berkurang.
d. Perubahan yang khas juga terlihat pada tulang belakang yang akan menjadi
nyeri, kaku, dan mengalami keterbatasan dalam bergerak. low impact exercise
dilakukan untuk mengurangi spasme otot sehingga nyeri yang dirasakan juga
akan berkurang.
16
e. Pertumbuhan tulang yang berlebih atau spur dapat mengiritasi radiks yang
keluar dari tulang vertebra. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan
neuromuskular, seperti nyeri, kekakuan dan keterbatasan gerak.
f. Perubahan khas yang terjadi pada tangan adalah Nodus herbenden atau
pembesaran tulang sendi interfalang distal sering dijumpai. Nodus Bauchard,
yaitu pembesaran tulang sendi interfalang proksimal. lebih jarang ditemukan
2.3 Konsep Nyeri
2.3.1 Definisi Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Potter & Perry, 2005). Menurut International Association for Study of Pain
(IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan
akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Menurut Smeltzer & Bare(2002), nyeri merupakan suatu pengalaman
sensori dan emosional yang tidak menyenangkan karena kerusakan jaringan yang
actual atau potensial. Nyeri juga merupakan alasan utama seseorang untuk
mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses
penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaaan diagnostik atau
pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyusahkan lebih banyak orang
dibandingkan penyakit manapun yang ada. Definisi keperawatan tentang nyeri
adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang
17
mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya. Peraturan utama
dalam merawat pasien nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun
penyebabnya tidak diketahui (Basbaum, dkk, 2009).
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini
sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang
baik (Kidd, 2011).
a. Usia
Menurut Potter & Perry (2005) usia merupakan variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak-anak dan lansia . Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Nyeri bukan
merupakan bagian dari proses penuaan yang tidak dapat dihindari. Pada lansia
yang
mengalami
nyeri,
perlu
dilakukan
pengkajian,
diagnosis,
dan
penatalaksanaan secara agresif. Namun individu yang berusia lanjut memiliki
risiko yang tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat mereka mengalami
nyeri , karena lansia telah hidup lebih lama, mereka kemungkinan lebih tinggi
untuk mengalami kondisi patologis yang menyertai nyeri(Potter & Perry, 2005)
b. Jenis kelamin
Menurut
Gill
(1990)
yang
dikutip
dari
Potter
&
Perry,2005
mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara
18
signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis
kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter &
Perry, 2005).Mengenali nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang dan memahami
mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu
untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai
budaya seseorang. (Smeltzer& Bare, 2003).
d. Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara
dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman, dan tantangan. (Potter &
Perry, 2005)
e. Ansietas
Hubungan antara Nyeri dan Ansietas bersifat kompleks. Meskipun pada
umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak
seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu
hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan
bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat
19
pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan
dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan
persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah
dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare,
2003).
f. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat
menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam
jangka lama. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur , maka persepsi nyeri
bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah
individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari
yang melelahkan. (Potter & Perry, 2005)
g. Pengalaman Sebelumnya
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang
akan diakibatkan. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari
banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri
masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri
berkepanjangan atau kronis dan persisten (Smeltzer & Bare, 2002).
h. Keluarga dan Support Sosial
20
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri
semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting
untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2005).
i. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit
adalah hal yang tidak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol
dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering
menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis.
Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber
koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat
digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien
(Potter & Perry, 2005).
2.3.3 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika
kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya
menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri
yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner & Suddarth, 2005).
Smeltzer & Bare (2003) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan
mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara
21
fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran
darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran
pupil.
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu
periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan
sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering
didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih
(Smeltzer & Bare, 2001).
Menurut Rospond (2008) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai
macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya,
dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau
menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terusmenerus atau intermitten.
2.3.4 Mekanisme Nyeri
a. Persepsi nyeri
Terdapat sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri yaitu
sistem nosiseptif. Nosiseptor merupakan serabut saraf yang mentransmisikan
nyeri sedangkan non-nosiseptor merupakan serabut saraf yang biasanya tidak
mentransmisikan nyeri. Sensitivitas dari dari komponen sistem nosiseptif dapat
dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua
orang yang terpajan dengan stimulus yang sama memiliki intensitas nyeri yang
sama juga (Smeltzer & Bare, 2001).
22
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa nosiseptor adalah serabut saraf bebas
dalam kulit yang berespon terhadap stimuli yang kuat, yang secara potensial dapat
merusakstimuli tersebut bisa berasal dari kimia, mekanik, termal. Sendi, otot
skelet, fasia, tendon dan kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang mempunyai
potensi untuk mentransmit stimuli yang mengakibatkan nyeri. Namun demikian
organ-organ internal yang besar tidak mengandung ujung saraf yang berespon
hanya pada stimuli nyeri. Nyeri yang berasal dari organ ini diakibatkan dari
stimuli resptor yang kuat yang mempunyai tujuan lain contohnya inflamasi,
regangan, iskemia, dilatasi, dan spasme organ-organ internal semua menyebabkan
respon yang kuat pada serabut multi tujuan inidan secara potensial menyebabkan
nyeri hebat (Potter & Perry, 2005).
Saat stimulan-stimulan tersebut menstimulasi serabut saraf nyeri atau
nosiseptif maka akan merangsang nosiseptor untuk mengeluarkan mediatormediator nyeri yaitu histamin , bradikinin, asetilkolin dan untuk nyeri neurogenik,
nosiseptor akan mensekresikan mediator nyeri substansi P (Potter & Perry, 2005).
prostaglandin juga merupakan suatu zat kimiawi yang diduga dapat meningkatkan
sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri
dari bradikinin.
Substansi lain dari tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor
transmisi nyeri adalah endorphin dan enkefalin. Substansi ini bekerja seperti
morfin yang diproduksi oleh tubuh yang dapat menghambat transmisi nyeri.
Endorphin dan enkefalin diduga dapat menghambat transmisi nyeri dengan
memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula spinalis (Smeltzer &
Bare, 2001).
23
Saat nosiseptor mensekresikan mediator-mediator nyeri kemudian
ditransmikan ke otak dan medula spinalis dan diproses di kornu dorsalis sehingga
seseorang dapat mempersepsikan nyeri tersebut. Menurut Smeltmer & Bare
(2001) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat
memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori
asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden
dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah
dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri.
Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus
diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak
dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis
yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang
menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area
ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua
input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan
mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa
perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari
neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan
mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2001).
b.
Teori Gerbang Kendali Nyeri
Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi
antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi
tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat.
24
Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung enkafalin
yang menghambat transmisi nyeri. teori ini menjelaskan bagaimana aktivitas
tertentu dapat menurunkan persepsi nyeri seseorang (Potter & Perry, 2005).
Dalam teori ini dijlaskan bahwa jika seorang melakukan aksi yang menstimulasi
serabut tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam tempat reseptor yang sama dengan
serabut perasa nyeri (nosiseptor) diaktifkan maka stimulasi sejumlah besar serabut
non-nosiseptor, yang bersinaps pada serabut inhibitor dalam kornu dorsalis, akan
menghambat transmisi sensasi nyeri dalam jaras asenden sampai suatu tingkat
tertentu (Smeltzer & Bare, 2001).
c. Sistem Kontrol Desenden
Sistem control desending adalah suatu sistem serabut berasal dalam otak
bagian bawah dan bagian tengah dan berakhir pada serabut interneuronal inhibitor
dalam kornu dorsalis dari medula spinalis. Sistem ini kemungkinan selalu aktif,
keadaan aktif ini mencegah transmisi terus menerus stimulus nyeri sebagian
melalui aksi dari endorphin. Proses kognitif dapat menstimulasi produksi
endorphine dalam sistem control desenden. Begitu pula aktivitas fisik
diperkirakan meningkatkan produksi endorphin dalam sistem control desenden.
Sehingga endorphin yang diekskresikan melalui kegiatan dari sistem ini mampu
menghambat transmisi nyeri sehingga persepsi nyeri seseorang berkurang
(Smeltzer & Bare, 2001).
2.3.5 Pengukuran Nyeri
Skala nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu. Pengukuran skala nyeri sangat subjektif dan individual. Menurut Gordon
25
and Dahl, 2004, alat ukur satu dimensi baik digunakan untuk mengukur skala
nyeri. Alat ukur satu dimensi yang sering digunakan untuk mengukur skala nyeri
adalah Visual Analog Scale (VAS), Numerical Rating Scale (NRS), Verbal Rating
Scale(VRS), Faces Pain Rating Scale (FPRS).
a. Visual Analog Scale
Skala analog visual (visual analog scale/VAS) merupakan suatu
metode pengukuran nyeri yang paling sering digunakan. Skala linier ini
menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dirasakan
pasien. Rentang nyeri yang dirasakan diwakili sebagai garis sepanjang 10-cm,
dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter pada alat ukur ini. Tanda pada
kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau peryataan deskriptif. Di satu
ujungnya dapat mewakili rasa tidak nyeri sedangkan diujung yang satunya
dapat mewakili rasa nyeri yang hebat yang dirasakan pasien. skala ini dapat
ditampilkan dalam bentuk horizontal maupun vertical. Alat ukur ini dapat
menggunakan gradient warna dari warna putih yang berarti tidak nyeri sampai
warna merah cerah yang berarti nyeri hebat(Rospond,2008).
Manfaat utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan
sederhana. Selain itu keuntungan lainnya adalah VAS tidak tergantung bahasa
dan mudah dimengerti. Kelemahan dari VAS adalah memerlukan koordinasi
visual dan motorik dari pasien( Rospond, 2008). Beberapa pasienkhususnya
orang tua, akan mengalami kesulitan dengan adanya representasi grafik dari
VAS sehingga hasil yang didapatkan bisa tidak akurat jika tiddak diterapkan
dengan teliti. VAS tidak dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kritis,
26
gangguan penglihatan, gangguan kognitif, pasien dengan gangguan kesadaran
dan kesulitan berbahasa (Gordon and Dahl,2004).
Gambar 1. Alat ukur VAS (Sumber : Rospond, 2008)
b. Numerical Rating Scale (NRS)
Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk
menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala
numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “tidak nyeri” , angka 1-3
berarti “nyeri ringan”, angka 4-6 berarti “nyeri sedang” angka 7-9 berarti
“nyeri hebat”, angka 10 berarti “ nyeri sangat hebat”(Potter & perry,2005).
Skala ini juga dapat dibuat horizontal maupun vertical dapat pula
dikombinasikan dengan gradient warna. Keuntungan dari skala ini yaitu skala
ini mudah digunakan, tidak memerlukan koordinasi visual dan motorik serta
lebih mudah digunakan daripada VAS (Rospond,2008). Study dari Auburn et
al,2003 dalam
Gordon and Dahl(2004) mengatakan bahwa NRS dapat
digunakan pada pasien post operatif , penyakit kritis, pasien dengan gangguan
penglihatan , dan pasien dengan penurunan koordinasi motorik, serta efektif
untuk pasien lanjut usia.
Gambar 2. Alat ukur nyeri NRS (Sumber : Rospond, 2008)
27
c. Verbal Rating Scale
Verbal rating Scale (VRS) adalah alat ukur nyeri yang menggunakan
kata sifat untuk menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda. Alat ukur
ini menggunakan rentang dari
“tidak nyeri ” sampai “nyeri hebat” . VRS
merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri.
VRS biasanya diskore dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai
dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan
skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore “0”, mild (kurang
nyeri) dengan skore “1”, moderate (nyeri yang sedang) dengan skore “2”,
severe (nyeri keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras)
dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS,
kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien.
Terdapat juga metode yang hanya mengkategorikannya dalam None, Mild,
Moderete, severe(Rospond, 2008).
Keuntungan dari alat ukur ini adalah mudah dan cepat digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri pasien. Namun, VRS ini mempunyai keterbatasan
didalam mengaplikasikannya. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya
ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok untuk
level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk
memahami kata sifat yang digunakan(Rospond,2008) .
Gambar 3. Alat ukur nyeri VRS (Sumber : Rospond, 2008)
28
d. Faces Pain rating scale
Alat ukur ini menggunakan gambar wajah untuk mengukur intensitas
nyeri pasien. metode ini dikembangkan oleh Barker-Wong untuk mengetahui
skala nyeri pada anak-anak. Alat ukur ini dikatakan belum sempurna.
Kemudian skala wajah ini direvisi oleh Bieri. Skala yang dikembangkan oleh
Bieri dan kawan-kawan dianggap ideal memberikan gambaran jarak yang
sama antar berbagai tingkat nyeri. wajah 1 menunjukan tidak nyeri, wajah2-3
berarti nyeri ringan, wajah 4-5 berarti nyeri sedang, wajah 6-7 berarti nyeri
berat. Alat ukur ini sederhana dan memerlukan sedikit instruksi dalam
penggunaannya. Namun, Salah satu keterbatasan skala ini adalah belum diuji
untuk
populasi
budaya
yang
berbeda
(Rospond,
2008).
Menurut
Flaherty,2011, validitas dari FPRS ini merupakan yang terendah dari ketiga
lainnya diatas.
Gambar 4. Alat ukur nyeri Faces Pain Rating Scale (Sumber : Rospond, 2008)
Berdasarkan dari penjabaran kekurangan dan kelebihan masing-masing
alat ukur tersebut, maka peneliti memilih Numerical Rating Scale (NRS) dalam
penelitian ini. Alat ukur ini mudah digunakan pada lansia dan mempunyai
29
validitas yang baik untuk digunakan mengukur nyeri pada orang dewasa dan
lansia pada khususnya (Flaherty, 2011).
2.3.6 Manajemen Nyeri Farmakologis
Gejala nyeri yang dirasakan lansia dengan osteoatritis sangat mengganggu
kualitas hidup dari lansia itu sendiri. Terapi farmakologis dan non farmakologis
dapat digunakan untuk mengatasi rasa nyeri tersebut. Beberapa agen farmakologis
digunakan untuk menangani nyeri. Terapi farmakologi dilaksanakan berdasarkan
pemahaman yang baru terhadap kerusakan akibat osteoatritis yang disebabkan
oleh proses remodeling metabolic aktif. Bentuk terapi ini dimaksudkan untuk
menyempurnakan perbaikan kartilago serta menunda penghancuran sendi (Potter
& Perry,2005).
Menurut Cavalieri (2007), analgesik merupakan metode yang paling umum
untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgesik, yakni : (1) non narkotik dan obat
anti inflamasi non steroid (NSAID) , (2) analgesic narkotik atau opiate, (3) obat
tambahan (adjuvant) atau koanalgesik. NSAID non narkotik umumnya
menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang , seperti nyeri yang terkait dengan
rematik, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomi, dan
masalah pada punggung bagian bawah. Analgesic opiate atau narkotik umumnya
diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat. Seperti nyeri pasca operasi dan
nyeri maligna (Smeltzer & Bare, 2001).
Sejumlah penelitian telah memperbesar kemungkinan bahwa salisilat dan
preparat NSAID dapat mempercepat progresivitas penghancuran kartilago pada
osteoatritis(Smeltzer & Bare, 2001). Jika pengendalian gejala sendi tidak tercapai
30
dalam periode yang semestinya, maka pemakaian preparat NSAID harus
dilakukan. Penilaian ulang yang terus dilakukan bertujuan untuk mengurangi
takaran obat atau untuk menggunakan NSAID hanya pada saat-saat nyeri sendi
kambuh kembali. Penyuntikan intra-artikuler kortikosteroid harus dikerjakan
dengan sangat hati-hati untuk mendapatkan efek yang segera dan berjangka waktu
pendek ketika sendi mengalami inflamasi akut (Price&Wilson, 2005).
2.3.7 Manajemen Nyeri Nonfarmakologis
Selain terapi farmakologis seperti yang sudah dipaparkan diatas, terdapat
beberapa terapi nonfarmakologis yang lebih aman untuk digunakan mengontrol
nyeri. Sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan persepsi
nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan perawatan tersier
sama seperti di rumah dan pada keadaan perawatan restorasi. Dengan cara yang
sama, terapi –terapi ini digunakan dalam kombinasi dengan tindakan
nonfarmakologis. Tindakan nonfarmakologis mencakup intervensi perilaku
kognitif dan penggunaan agen-agen fisik (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut Potter
& Perry (2005), beberapa terapi nonfarmakologis untuk mengontrol nyeri sebagai
berikut;
a.
Bimbingan antisipasi.
Memodifikasi secara langsung cemas yang
berhubungan dengan nyeri menghilangkan nyeri dan menambah efek
tindakan untuk menghilangkan nyeri yang lain. Pengetahuan tentang nyeri
membantu klien mengontrol rasa cemas dan secara kognitif memperoleh
penanganan nyeri dalam tingkatan tertentu. Suatu contoh bimbingan
31
antisipasi adalah penyuluhan praoperasi. Bimbingan antisipasi memberikan
penjelasan yang jujur tentang pengalaman nyeri.
b.
Distraksi.
Sistem
aktivasi
menyakitkan jika seseorang
retikular
menghambat
stimulus
yang
menerima masukan sensori yang cukup
ataupun berlebihan. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan
pelepasan endorfin. Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain
dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan
meningkatkan toleransi terhadap nyeri
c.
Biofeedback.
Merupakan
terapi
perilaku
yang
dilakukan
dengan
memberikan individu informasi tentang respon fisiologis dan cara untuk
meraih kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini digunakan
untuk menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif untuk mengatasi
ketegangan otot dan nyeri kepala migren.
d.
Hipnosis diri dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh
sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistiik, hipnosis diri
menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan
damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai
ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respon
tertentu untuk mereka. Hipnosis diri sama dengan melamun. Konsentrasi
yang
intensif
mengurangi
ketakutan
dan
stres
karena
individu
berkosentrasi hanya pada satu pikiran.
e.
Mengurangi persepsi nyeri. Salah satu cara sederhana untuk meningkatkan
rasa nyaman ialah membuang atau mencegah stimulus nyeri. Hal ini
32
terutama penting bagi klien yang imobilisasi atau tidak mampu merasakan
sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga dapat dicegah dengan mengantisipasi
kejadian yang menyakitkan.
f.
Stimulasi kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah stimuli kulit yang dilakukan
untuk menghilangkan nyeri. Massase, mandi air hangat, kompres
menggunakan kantong es, dan stimulasi saraf elektrik trans kutan (TENS)
merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya menurunkan persepsi
nyeri. Cara kerja khusus stimulasi kutaneus masih belum jelas . Salah satu
pemikiran adalah
bahwa cara ini menyebabkan pelepasan endorfin,
sehingga memblok tranmisi stimulus nyeri (Potter & Perry, 2005).
2.4. Hatha Yoga
2.4.1 Definisi Hatha Yoga
Yoga adalah suatu praktek kuno yang bertujuan untuk membuat suatu
keharmonisan antara pikiran dan tubuh. Yoga adalah sebuah kata Sansekerta
kuno. Kata ini mempunyai dua arti yang berbeda, yaitu arti umum dan arti teknis.
Dalam arti umum, kata ‘yoga’ berasal dari asal kata Yujiryoge, yang berarti
bergabung, bersatu, atau persatuan dari dua benda atau lebih. Arti teknik dari
istilah yoga diperoleh dari Yuj yang lain. Di sini kata itu bukan “persatuan”,
melainkan “keadaan stabil, diam, dan damai”. Kata yoga di sini menunjukkan
keadaan diam dan cara atau praktik yang membawa pada keadaan itu (Kaminoff,
2007). Yoga memiliki akar spiritual, dengan tujuan utama membantuindividu untu
k mewujudkan kebahagiaan sejati , kebebasan, atau pencerahan. Selain tujuan ters
33
ebut, yoga memiliki beberapa tujuan sekunder, seperti meningkatkan kesehatan
fisik dan meningkatkan kesejahteraan mental dan keseimbangan emosional (Sani,
2012).
Menurut Carson dkk, 2011 mengatakan bahwa yoga adalah sistem latihan
low
impact
meditasi. Yoga
lembut
yang
berasal dari
berfokus
pada
praktik India
postur tubuh, pernapasan, dan
kuno dan
telah menjadi
teknik
terapi terkemuka di dunia. Dengan mengadopsi postur yang sangat mendasar dan
kadang-kadang sangat kompleks dan teknik pernapasan, tujuan yoga adalah
memberikan sejumlah manfaat fisik dan mental.yoga dapat membantu meredakan
sakit otot dan tulang dengan merehabilitasi cedera otot dan tulang serta
mencegahnya kembalinya cedera melalui peregangan, penguatan tubuh.Yoga juga
dapat meningkatkan oksigen ke otak dan menyebabkan respon relaksasi yang
mengurangi ketegangan otot dan stres (Mishra dkk, 2010).
Istilah “hatha” terdiri atas dua bagian, yakni kata “Ha” yang berarti
matahari dalam bahasa sansekerta dan kata “Tha” yang berarti rembulan. Melalui
latihan hatha yoga inilah kedua bagian tubuh anda akan memperoleh
keharmonisan dan keseimbangan akan karakteristiknya. Selanjutnya dengan
adanya keseimbangan diantara unsure-unsur tersebut, akhirnya akan tercapai suatu
kesehatan jasmani dan rohani yang sempurna. Tujuan utama hatha yoga adalah
mengarahkan badan ke tingkat kesehatan dan kesempurnaan sehingga kekuatankekuatan akan berada dalam keadaaan keseimbangan yang harmonis dan
kesehatan jasmani dan rohani (Sani, 2012).
34
2.4.2 Teknik Latihan Hatha Yoga
Menurut Sani (2012), secara umum latihan-latihan dalam Yoga
menggunakan tenik Asana, Pranayama, Meditasi, dan Relaksasi napas dalam. :
a. Asana
Asana adalah gerakan yoga yang berhubungan dengan posisi tubuh.
Gabungan antara gerakan kelenturan, gerakan memutar dan keseimbangan ini
membantu Anda untuk membedakannya dengan jenis yoga lainnya. Yoga
asana mengutamakan postur tubuh, fokus pada pernapasan (breathing) dan
konsentrasi pada jalannya pikiran (mind). Menurut Sani (2012), latihan-latihan
asana yang efektif untuk lansia dengan osteoatritis adalah surya namaskar,
jathara parivartasana, janushirasana, dan unta.
b. Pranayama
Pranayama adalah jenis latihan yoga yang berkaitan dengan fungsi
pernafasan. Kata “prana” berarti nafas dan “ayama” yang artinya pengaturan.
Jadi, apabila digabungkan pranayama berarti pengaturan nafas. Bernafas
merupakan kebutuhan yang penting bagi tubuh. Apabila Anda mampu
mengatur irama pernafasan, hal ini tentu dapat membantu Anda memperoleh
tubuh dan pikiran yang lebih sehat (Kaminoff, 2007).
c. Meditasi
Tujuan utama dari yoga adalah menenangkan proyeksi pikiran kita
seperti khayalan dan pemikiran kita. Pada dasarnya, jenis yoga asana dan
pranayama diciptakan untuk membantu mempersiapkan tubuh dan pikiran kita
35
masuk dalam sebuah keheningan dan meditasi. Inilah alasan mengapa banyak
kelas yoga yang mengajarkan beberapa cara meditasi (Sani, 2012).
d. Relaksasi Napas Dalam
Menururt Sani (2012), seni relaksasi yang dalam dilakukan selama
beberapa menit. Selama mempraktikkan relaksasi, energy yang digunakan
hanya sedikit, karena itu sisa energy yang terus menerus diproduksi oleh selsel tubuh akan akan menumpuk sebagai cadangan. Pose yang biasa digunakan
adalah pose shavasana atau posisi mayat. Posisi dalam pose ini adalah tidur
terlentang lalu tariklah napas beberapa kali (Kaminoff, 2007).
2.4.3 Manfaat Hatha Yoga
Melakukan hatha yoga dapat memberikan beberapa manfaat yang penting untuk
tubuh. Menurut Suparyanto (2011), beberapa manfaat dari hatha yoga sebagai
berikut:
a. Menjadi Tetap Bugar
Yoga merupakan cara yang baik untuk membentuk postur tubuh. Berbagai
posisi yoga dapat menyehatkan berbagai organ dan membentuk otot-otot yang
panjang dan langsing. Latihan menekuk tubuh kedepan, kebelakang, dan
berbagai posisi menyamping atau berpilin dan posisi terbalik dapat
menyeimbangkan dan melatih setiap otot, tulang, sendi-sendi, dan organ-organ
tubuh.
b. Perbaikan Sirkulasi
Sikap-sikap latihan asana dalam yoga memberikan perbaikan sirkulasi darah
dan kelenjar getah bening diseluruh tubuh. Tekanan dari ruang abdomen
36
terdapat diafragma yang dapat melatih otot-otot diafragma dan jantung. Posisiposisi terbalik dapat meningkatkan kualitas tidur karena posisi tersebut
membantu proses relaksasi sistem saraf simpatik, memampukan respon
relaksasi untuk masuk.
c. Memberikan Relaksasi
Teknik pernapasan dalam latihan hatha yoga dapat mengendalikan pernafasan
dan pikiran. Teknik pernafasan dapat membuat tubuh terasa lebih sehat.
System pernafasan dan system saraf menjadi tenang dan kuat, dan seluruh sel
menerima kekuatan hidup dan makanan dari pernafasan. Teknik pernafasan
yang baik dapat membuat energy vital dari tubuh dapat menjadi seimbang,
kelelahan dapat berkurang. Teknik relaksasi alam sadar secara sistematis
membimbing kedalam keadaan rileks yang mendalam. Begitu suara-suara
dalam pikiran menghilang, tubuh akan mampu melepaskan tegangan otot.
d. Tulang Belakang dan Persendian Tubuh
Setiap gerakan dari asana melatih tulang belakang, menarik, memutar, dan
menekan dalam tingkat yang bermacam-macam. Latihan ini akan membantu
memperbaiki tulang belakang dan melatih fleksibilitas
persendian (Sani,
2012)
e.
Mengurangi Kecemasan dan Stres
Menurut studi yang dilakukan Mahaning (2011), dengan melakukan Yoga
maka akan merangsang pengeluaran hormon kortisol. Kortisol akan
memberikan perasaan yang damai dan tenang sehingga tingkat kecemasan dan
stress seseorang dapat berkurang.
37
2.5
Pengaruh Hatha Yoga terhadap Skala Nyeri Pada Lansia dengan
Osteoarthritis
Latihan senam yoga dapat bermanfaat bagi seseorang dengan keterbatasan
range of motion atau fleksibilitas yang rendah karena arthritis. Hal ini dikarenakan
latihan yoga dapat meningkatkan fleksibilitas, kekuatan sendi, dan keseimbangan.
Berbagai modifikasi gerakan yoga telah dikembangkan sehingga sesuai bagi
lansia atau penderita osteoatritis (Haaz, 2009). Praktek senam yoga adalah untuk
menghubungkan tubuh dan pikiran melalui pernafasan. Aturan umum untuk
pasien dengan arthritis dan orang-orang pada umumnya adalah apabila gerakan
terasa menyakitkan, maka segera berhenti. Umumnya, pasien arthritis akan
merasakan nyeri apabila melakukan pose yang terlalu extreme. Pasien arthritis
dapat melakukan yoga dengan aman dan melakukan gerakan-gerakan yang lembut
(Evans, 2010).
Gerakan-gerakan yoga merupakan latihan low impact yang dapat
digunakan untuk penderita arthritis dalam mengurangi nyeri dan kekakuan
(Kaminoff, 2007). Berdasarkan dari teori gerbang kendali nyeri dan teori sistem
control desenden yaitu dengan proses kognitif saat kita melakukan gerakangerakan yoga maka kelenjar di hipotalamus akan mensekresikan hormon
endorphin yang berfungsi sebagai inhibitor transmisi nyeri. Endorphin merupakan
neuromodulator alami dari tubuh yang dapat menghambat pelepasan substansi p
yang merupakan salah satu transmisi nyeri. Sehingga hormon yang diekskresikan
ini mampu mengurangi nyeri (Potter & Perry, 2005).
38
Selain itu gerakan yoga juga dapat melemaskan otot-otot sehingga spasme
otot berkurang dan nyeri yang dirasakan dipersendian pun berkurang. Latihan
yoga dapat merileksasikan otot-otot yang mengalami spasme sehingga dapat
mengurangi pemicu nyeri. latihan asana dalam yoga melibatkan kontraksi setiap
otot-otot tertentu, dipertahankan dalam jangka waktu tertentu dan diikuti oleh
pernapasan yang dalam. Setelah melakukan gerakan asana, maka otot-otot akan
melemas (Mishra dkk, 2010). Relaksasi yang dalam dan sempurna setelah
melakukan gerakan asana, menyangkut penghematan energy yang dapat diarahkan
ke dalam untuk meningkatkan dan kesadaran mental pada tingkatan yang lebih
tinggi( Sani, 2012).
Gerakan asana dalam yoga yang menekuk dan meregangkan pembuluh
darah, menjadikannya lebih elastis dan mencegah pengerasan, dan menghilangkan
sekatan-sekatan yang ditimbulkan oleh racun-racun yang membahayakan . Proses
ini berhubungan dengan proses inflamasi sendi pada osteoarthritis yang
menimbulkan menumpuknya sekresi prostaglandin, bradikinin dan susbtansi p
yang dapat mentransmisikan nyeri. Latihan hatha yoga akan memeperlancar
sirkulasi darah sehingga oksigen dapat dialirkan dengan lebih baik dan zat-zat
berguna seperti mediator-mediator nyeri juga ikut terbuang. Hal tersebut
mengakibatkan nyeri yang dirasakan lansia dengan osteoatritis juga berkurang
(Mishra, dkk, 2010).
Salah satu faktor predisposisi dari persepsi nyeri adalah kecemasan.
Latihan hatha yoga dapat meningkatkan asupan oksigen sehingga terjadi
peningkatan kelenjar pineal yang mensekresikan hormone serotonin dan
39
melatonin.
Hormon-hormon
tersebut
akan
memberikan
perasaan
damai
meningkatkan perasaan rileks sehingga perasaan cemas berkurang yang akhirnya
juga dapat membantu mengurangi perasaan nyeri (Mahaning, 2011). Penelitian
yang dilakukan kolasinski (2005), yoga yang dilakukan selama delapan kali
latihan dengan durasi 60 menit dapat mengurangi gejala osteoarthritis seperti
nyeri.
Download