tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]
Nama Botanis dan Vernakular
Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze tergolong dalam famili Fabaceae,
subfamily Caesalpinioideae (Thaman et al. 2004; UNEP 2005). Di Indonesia
dalam perdagangan dikenal sebagai merbau, namun secara lokal di Papua lebih
banyak dikenal dengan sebutan kayu besi karena kayunya yang keras. Nama
merbau ataupun kayu besi meliputi pula kerabat dekatnya Intsia palembanica
Miq. Jenis ini dikenal pula dengan sebutan kwila (PNG dan daerah Pasifik), ipil
dan ipil laut (Philipina), ipil, ipil tandok, ipeh, malapari, merbau ayer, merbau
changkat dan merbau laut (Malaysia), praduu thale dan lumpho-thale (Thailand)
(PROSEA 1994; Dinas Kehutanan Irian Jaya 1976).
Penyebaran Geografi dan Ekologi
Jenis ini memiliki daerah penyebaran secara alami meliputi Pulau
Madagaskar, India, Burma, Kamboja, Malaysia, Thailand, Vietnam, Philipina,
Indonesia, PNG dan Pulau-pulau Pasifik. Daerah ekologi utama di Indonesia
meliputi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku, NTT dan Papua
(Departemen Kehutanan 2006). Di Papua, merbau dijumpai di seluruh daerah
dataran rendah seperti di Holtekamp, Sekoli, Tanussa Borowai, Bahongko, dan
Sentani (Jayapura), Ernia, Asmat (Merauke), Oransbari, Side, Prafi, Namber
(Manokwari). Jenis ini merupakan jenis pohon dominan di hutan hujan tropis
dataran rendah Papua yang umumnya tumbuh berasosiasi dengan jenis-jenis lain
seperti Intsia palembanica, Pometia pinnata, Calophyllum inophyllum, dan
Palaquium amboinensis (Untarto 1977).
Merbau memiliki habitat dataran rendah hutan tropika basah yang kering
dan berdrainase baik terutama di daerah bertanah kapur, juga dapat dijumpai pula
tumbuh di daerah pantai, di daerah berbatasan di belakang hutan mangrove
ataupun di daerah sepanjang sungai, dataran genangan banjir dan rawa. Jenis ini
sering pula dijumpai pada daerah-daerah yang mengalami suksesi, hadir bersama
jenis-jenis pionir seperti Macaranga spp dan Piper sp. yang tumbuh pada
10
ketinggian 0-450 m dengan curah hujan tahunan 1500-2300 mm. Pada beberapa
tempat dijumpai jenis ini tumbuh hingga ketinggian 600 m dpl bercampur dengan
tegakan Intsia palembanica (PROSEA 1994; Thaman et al. 2004; UNEP 2005).
Ciri Botanis
Merbau saat dewasa di daerah Pasifik umumnya memiliki tinggi bebas
cabang 7-25 m dengan diameter 0,5 – 1 m (Thaman et al. 2004). Di hutan alam
Papua, merbau merupakan pohon dominan, dapat mencapai ukuran raksasa, tinggi
bebas cabang mencapai lebih dari 30 m dengan diameter batang dapat berukuran
>200 cm (Untarto 1998). Sebaliknya di daerah semenanjung Malaysia tegakan
merbau tidak pernah dijumpai dominan demikian pula ukurannya jauh lebih kecil
(UNEP 2005). Secara umum merbau memiliki batang tidak tegak, tidak silindris
sempurna dan memiliki akar papan dapat mencapai tinggi 2 m (Dinas Kehutanan
Irian Jaya 1976)
Batang merbau halus berwarna agak merah jambu hingga coklat kemerahan
dan sedikit keabuan. Kulit kayu sering terkelupas berupa sisik dengan ukuran
tidak terlalu besar. Bagian kulit batang yang mati tebalnya 0,51 mm, sedangkan
bagian kulit batang yang mati ketebalannya dapat mencapai 5-10 mm. Kayu gubal
dan kayu teras sangat mudah dibedakan karena sangat kontras. Kayu gubal
berwarna putih sedangkan kayu teras berwarna coklat merah dan saat dipotong
batang mengeluarkan cairan berwana coklat kehitaman (Dinas Kehutanan Irian
Jaya 1976).
Daun merbau berwarna hijau muda mengkilat, berbentuk daun majemuk
berpasangan (pinata) dengan anak daun biasanya berjumlah 2-6 dengan ukuran
panjang 8-15 cm, berbentuk elip lebar, asimetrik dan anak daun terminal
mengantung. Bunga merbau
merupakan bunga biseksual dalam satu bunga
terdapat bagian bunga jantan maupun betina. Individu bunga berukuran agak besar
dengan 4 sepal berwarna kehijauan, korola tereduksi menjadi satu petal yang
besar, memiliki 3 stamen dengan 7 staminod. Petal berwarna putih atau merah
jambu hingga ungu atau merah, dengan bagian tengahnya berwarna merah.
Bunga-bunga tumbuh dari bagian aksilar atau terminal corymbose panicle. Jenis
11
ini berbunga sepanjang tahun walaupun memiliki musim berbunga puncak pada
bulan tertentu yang berbeda pada setiap daerah. Buah merbau merupakan buah
polong yang tebal dan kaku, panjang  10 cm dengan lebar mencapai 30 cm.
Setiap polong buah berisi 2-8 biji berwarna coklat gelap, pipih bulat dengan lebar
2-4 cm dan berkulit keras (Thaman et al. 2004).
Gambar 1 Ciri morfologi merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. (a) daun
majemuk merbau; (b) bunga biseksual merbau, (c) buah polong
merbau dengan (d) biji yang berkulit keras.
Penggunaan
Merbau banyak digunakan untuk bahan konstruksi umum, papan flooring
dan furniture dan secara tradisional merupakan salah satu jenis kayu yang paling
sering digunakan untuk bahan ukiran, tombak, anak panah, peralatan rumah
tangga dan bahan bangunan rumah tradisional (PROSEA 1994; Tokede et al.
2006).
Status Konservasi
Status merbau saat ini menurut the International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) dikategorikan sebagai jenis yang berisiko
punah karena eksploitasi komersial; menurut The Convention of International
12
Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) sebagai jenis yang
rawan (vulnerable) (CITES Appendix III); dan menurut The World Conservation
Monitoring Centre (WCMC) sebagai jenis yang terancam (threatened) (UNEP
2005). Banyak pihak saat ini mengusulkan merbau untuk dimasukkan ke dalam
CITES Appendix II dengan status langka (Endagered).
Ektomikoriza
Mikoriza adalah istilah yang diberikan oleh Frank (1885) yang berasal dari
kata fungi dan akar untuk mengambarkan adanya hubungan simbiotik antara fungi
dan akar tanaman dalam memperoleh makanan. Pada perkembangannya mikoriza
selanjutnya didefinisikan sebagai asosiasi antara hifa fungi dengan akar tanaman
tingkat tinggi yang berhubungan dengan penyerapan unsur hara dan substansi
lainnya dari dalam tanah (Smith & Read 2008).
Terdapat tujuh tipe mikoriza yang sampai saat ini dikenal di alam, namun
dari ke tujuh tipe tersebut, dua tipe mikoriza yaitu Asbucular Mycorrhiza (AM)
dan ektomikoriza (EcM) yang paling dikenal (Smith & Read 2008). Asosiasi
Asbucular Mycorrhiza (AM), sering disebut pula sebagai Vesicular-Asbucular
Mycorrhiza (VAM) atau glomeromycotan mycorrhiza, merupakan bentuk asosiasi
akar tanaman-fungi yang paling luas dan umum dijumpai (Brundrett 2004). Tipe
mikoriza ini mengkolonisasi lebih dari 90% dari semua famili tanaman vaskular
yang menyebar pada hampir semua gradien lingkungan (Kimmins 1987). Di lain
pihak EcM merupakan bentuk asosiasi akar tanaman-fungi yang berperan penting
pada banyak habitat walau bentuk hubungan ini hanya terbatas pada beberapa
famili tanaman berkayu. Selanjutnya bentuk keragaman mikoriza oleh Brundrett
(2004) lebih diperluas lagi didasarkan atas pemahaman seluruh spektrum variasi
asosiasi yang dijumpai yaitu meliputi (1) adanya aktivitas endopitik
(endopitisme); (2) Balanced mycorrhiza; (3) Exploitative mycorrhizal association.
Ciri Umum Ektomikoriza
EcM merupakan bentuk asosiasi antara fungi dengan tanaman yang
dicirikan dengan berkembangnya jamur membentuk selubung (mantel) pada
13
permukaan akar sehingga akar-akar lateral tampak seperti membengkak yang
sangat mudah terlihat dengan mata telanjang (Gambar 2). Hifa fungi memasuki
jaringan akar hingga pada beberapa jenis dapat mencapai ruang antar sel kortek,
yang selanjutnya membentuk semacam struktur jaringan yang disebut sebagai
Hartig net. Akar bermikoriza berciri pendek dan dapat berbentuk dichotomous
(bercabang dua) atau dalam bentuk percabangan yang lebih komplek (highly
branched). Jaringan hifa yang dihasilkan fungi EcM dalam tanah juga dapat
membentuk sporokarp (fruit body) untuk reproduksi (Smith & Read 2008).
Gambar 2 Ciri anatomi ektomikoriza. M = mantel (sheath), HN=Hartig net dan
C=sel kortek (Brundrett et al. 1994).
Tanaman inang dari fungi EcM tidak sebanyak fungi endomikoriza. Di
daerah tropis asosiasi EcM banyak dijumpai baik pada tanaman Angiospermae
maupun Gymnospermae. Pada tanaman Angiospermae banyak dijumpai pada
famili Dipterocarpaceae walaupun dijumpai pula pada lain tanaman seperti
tanaman legum terutama dari subfamily Caesalpinioideae, yaitu golongan
tanaman legum yang jarang membentuk bintil akar. Tanaman Angiospermae yang
menunjukkan adanya simbiosis EcM antara lain seperti jenis-jenis Eucalyptus,
Betula, Populus, Fagus, dan Shorea, sedangkan tanaman Gymnospermae seperti
Pinus dan Gnetum, dan lain-lain. Beberapa tanaman inang seperti umumnya pada
14
tanaman Pinus dalam berasosiasi dengan fungi EcM ada yang menunjukkan
asosiasi yang obligat (Smith & Read 2008).
Fungi Ektomikoriza
Fungi yang membentuk EcM merupakan fungi tingkat tinggi terutama dari
golongan Basidiomycetes, walaupun terdapat pula beberapa dari golongan
Ascomycetes. Golongan fungi ini mampu membentuk struktur badan buah
(sporokarp) sebagai alat reproduksi. Fungi ektomikoriza untuk kemudahan
biasanya dikategorikan menjadi (1) yang membentuk sporokarp atau tumbuh di
atas tanah (epigeous) dan (2) yang membentuk sporokarp atau tumbuh di bawah
tanah (hypogeous). Sebagian besar fungi ektomikoriza bercirikan epigeous
(Brundrett et al. 1994; Giovani 1995). Jenis fungi Basidiomycetes yang
membentuk ektomikoriza contohnya, antara lain adalah: jenis-jenis dari Russula,
Lactarius, Suillus, Scleroderma, Chroogamphus, Paxillus, Laccaria, Cortinarius,
Amanita, Rhizopogon, Pisolithus dan Boletus (Brundrett et al. 1994; Giovani
1995).
Jenis fungi ektomikoriza dalam phylum Basidiomycetes terutama termasuk
dalam Agaricales, Boletales dan Gasteromycetes sedangkan yang tergolong dalam
phylum Ascomycetes termasuk dalam Tuberales. Jenis fungi ektomikoriza yang
memiliki potensial tanaman inang (host potensial) lebar contohnya Amanita
muscaria, Boletus edulis, Laccaria leccata, Lactarius deliciosus, Pisolithus
tinctorius, Thelephora terrestris, Hebeloma crustuliniforme, dan Cenococcum
geophilum (Caris 1999; Smith & Read 2008), sedangkan yang berasosiasi secara
sempit adalah seperti Rhizopogon cokerii dan Cortinarius pistorius yang hanya
dijumpai pada tanaman Pinus spp. (Caris 1999). Di Indonesia beberapa jenis fungi
ektomikoriza seperti Scleroderma sinnamariense Mont. dijumpai berasosiasi
dengan tanaman mlinjo (Gnetum gnemon), S. dictyosporum ditemukan pada
tanaman Pinus merkusii, dan S. columnare Berk. & Br. berasosiasi pada tanaman
dipterorocarp (Wulandari 2002; Turjaman 2006), Pisolithus sp. pada tanaman
15
Acacia mangium (Mansur 2008, komunikasi pribadi). Lebih lanjut, Pisolithus dan
Scleroderma merupakan jenis yang paling umum digunakan untuk menginokulasi
tanaman kehutanan (Turjaman et al. 2006; Watling 2006) (Gambar 3)
Gambar 3
Beberapa jenis fungi ektomikoriza yang mudah dijumpai pada
beberapa tanaman di Indonesia. Scleroderma columnare (A),
Scleroderma sinamariensis (B), Scleroderma dictyosporum (C) dan
Pisolithus sp.(D).
Manfaat Mikoriza
Kehadiran fungi EcM memberikan keuntungan bagi tanaman melalui
beberapa cara diantaranya: (1) membantu penyerapan unsur hara tanaman melalui
peningkatan luas permukaan penyerapan (Molina & Trappe 1984; Pedersen &
Sylvia 1996); (2) fungi mikoriza menghasilkan hormon tanaman yang mendorong
pembentukan akar lateral dan percabangannya (Molina & Trappe 1984; Niemi et
al. 2002); (3) merubah P dalam bentuk tidak tersedia yang terikat dengan senyawa
komplek Al maupun Fe menjadi bentuk tersedia melalui kemampuannya
menghasilkan agen kelat seperti oksalat. Kelat Al tidak hanya melepaskan P
hingga menjadi bentuk tersedia, namun juga sekaligus mengurangi pengaruh
toksisitas Al pada tanaman. P dalam bentuk tidak tersedia juga dapat dirubah oleh
16
enzim fosfatase yang dihasilkan mikoriza menjadi bentuk tersedia dengan
mendorong laju pelapukan (Pedersen & Sylvia 1996; Smith & Read 2008); (4)
Kolonisasi fungi ektomikoriza memberikan perlindungan bagi tanaman terhadap
fungi parasit dan nematoda, kemungkinan melalui perlindungan fisik oleh
selubung miselium, maupun secara kimia dengan dihasilkan senyawa antibiotik
ataupun inhibitor oleh fungi (Jalani & Jalal 1991; Brundrett et al. 1996). Karena
peran mikoriza bagi tanaman inangnya, maka pemanfaatan fungi EcM untuk
produksi bibit tanaman baik dari hasil regenerasi secara generatif maupun
vegetatif telah umum diaplikasikan pada tanaman kehutanan.
Karakterisasi dan Identifikasi Fungi Ektomikoriza
Fungi EcM pada umumnya merupakan fungi Basidiomycetes yang dicirikan
dengan adanya struktur badan buah (sporokarp) sebagai alat reproduksi dan dalam
pekerjaan determinasi dan identifikasi fungi ektomikoriza yang selama ini
digunakan hampir sebagian besar dilakukan berdasarkan sifat morfologi dan
anatomi sporokarp (Setiadi et al. 1992; Brundrett et al. 1994). Gambar struktur
morfologi Basidiomycetes disajikan pada Gambar 4.
Basidiomycetes adalah fungi yang memproduksi sporanya di luar basidium
dan basidia dihasilkan di dalam badan buah (basidiocarp) dengan ukuran dan
kekomplekan struktur yang bervariasi. Tiga ciri utama dari basidiomycetes adalah
adanya basidium, miselium yang tipikal dikaryotik dan adanya sambungan apit
(clamp connection). Sambungan apit adalah struktur khusus pada hifa berukuran
kecil berbentuk semi sirkular yang menghubungkan dua sel hyphae yang
terbentuk saat pembelahan inti sel. Struktur ini dipercaya berfungsi untuk
menjamin agar setiap sel memiliki sepasang inti yang kompatibel (Alexopoulos
1960; Wong 2005).
Sporokarp digunakan sebagai bahan utama karakter diagnostik dalam
mengidentifikasi fungi Basidiomycetes, kemudian diikuti dengan struktur yang
dihasilkan saat dalam kultur (Ainsworth 1993). Penggunaan sporokarp dalam
identifikasi walau jauh lebih mudah dilakukan, namun sering menghadapi kendala
akibat tidak dijumpainya sporocarp di lapangan. Disamping itu, walaupun
17
kehadiran sporocarp di sekitar akar tanaman dapat dijadikan indikasi adanya
ektomikoriza, namun dugaan inipun belum terlalu menyakinkan untuk
memastikan bahwa fungi tersebut yang mengkolonisasi perakaran tanaman. Oleh
karena itu telaah morfologi dan studi histologi ujung akar bermikoriza perlu turut
disertakan sebagai alat untuk identifikasi taxa fungi ektomikoriza (Wurzburger et
al. 2001).
Gambar 4 Struktur morfologi fungi Basidiomycetes. 1-3 epigeous fungi, A= cap
(pileus), B=hymenium/gill/lammeliae, C=stipe/stalk/stem, D=partial
veil/annulus/cortina, E=base, F=universal veil remains, G=fleshl. 4.
hypogeous fungi, H=peridium, I=gleba (internal fertile tissue),
J=locules, K=columella (steril tissue); dan pada semua tipe fungi,
L=attached hyphae, M=bruising exudates (Brundrett et al. 1994).
Pembuatan deskripsi karakteristik sporocarp fungi ektomikoriza diperlukan
untuk dijadikan dasar bagi pekerjaan determinasi jenis fungi. Dengan melakukan
karakterisasi morfotipe secara langsung dari akar berektomikoriza, determinasi
dapat dilakukan dengan lebih efektif karena tidak bergantung pada struktur
seksual (sporocarp) tetapi dengan menggunakan struktur vegetatif ektomikoriza.
Dengan cara ini, determinasi juga dapat dilakukan relatif cepat. Keterbatasannya,
morfotipe dari taksa fungi tertentu dapat berubah saat berasosiasi dengan tanaman
yang berbeda atau hidup pada lingkungan yang berbeda (Wurzburger et al. 2001).
18
Karakterisasi morfotipe ujung akar bermikoriza secara detail meliputi
parameter karakter berupa warna, bentuk akar bermikoriza, ada tidaknya rizomorp
atau strands dan hifa yang berasosisasi, sklerotia (jika ada), pola dinding mantel
(bagian dalam dan luar), kehadiran laticiferous hyphae dalam mantel,
penampakan permukaan mantel (sistidia, hifa yang ke luar, ketebalan dinding hifa
dan lapisan karang, kristal), adanya septa dan sambungan apit (clamp connection)
pada hifa, bentuk dan distribusinya, tipe sambungan hifa, konfigurasi, reaksi
terhadap pereaksi terseleksi, Hartig net (ketebalan, organisasi dan struktur hifa),
dan habitatnya (Setiadi et al. 1992; Brundrett et al. 1996)).
Isolasi Fungi Ektomikoriza
Keberhasilan isolasi dan pembiakan fungi EcM akan menyediakan fasilitas
bagi penyediaan inokulum dalam bentuk agregat miselia yang sangat berguna bagi
penelitian-penelitian eksperimental untuk pemahaman biologi, fisiologi dan
ekologi fungi ektomikoriza (Setiadi et al. 1992). Fungi ektomikoriza yang
sebagian besar berupa fungi Basidiomycetes dapat diisolasi dengan menggunakan
jaringan basidiocarp (mycelial aggregation), spora tunggal (spore print), hifa
(rhizomorph), permukaan EcM (mycorrhizal root) dan sklerotia bagi fungi yang
menghasilkan sklerotia seperti Cenococcum geophilum (Setiadi et al. 1992;
Ainsworth 1993; Brundrett et al. 1994; Carris 2005). Walaupun keseluruhan
bagian dari basidiocarp dapat digunakan karena terdiri dari agregat miselia,
namun kultur terbaik dapat diperoleh dengan menggunakan bagian tudung (cap),
daerah teratas dari batang (stalk) tempat gill menyambung, karena dari struktur
inilah dapat diperoleh jaringan yang bebas kontaminasi (Carris 2005). Secara
umum dapat dikatakan bahwa kultur akan lebih mudah dilakukan dengan
sporokarp daripada struktur yang lebih kecil seperti stromata ataupun mikoriza
(Ainsworth 1993).
Dalam pekerjaan isolasi sterilisasi dan pemilihan kultur media sangat
penting bagi keberhasilan untuk memperoleh biakan isolasi. Sterilisasi permukaan
sporokarp sering menggunakan alkohol 90%, larutan NaOCl 5% atau lebih
19
disukai menggunakan larutan H2O2 5-10%. Pada saat dijumpai adanya
kontaminasi bakteri, isolasi sering dilakukan dengan menggunakan media
mengandung bakterisida seperti novobiocin (Sigma) 0,1 g/l atau benomyl
(Benlate, DuPont) 2 mg/l (Ainsworth 1993).
Media isolasi fungi ektomikoriza, seperti pada media kultur untuk
mikroorganisme lain setidaknya harus memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan
optimum fungi ektomikoriza yang bersangkutan. Media kultur setidaknya
mendekati kondisi persyaratan hidup alaminya sehingga seluruh kegiatan
metabolisme organisme yang bersangkutan dapat berjalan baik. Secara umum
Setiadi et al. (1992) memberikan persyaratan bagi media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme yaitu: (1) mempunyai semua nutrisi yang mudah
digunakan oleh mikroorganisme; (2) mempunyai tekanan osmosa, tegangan
permukaan dan derajat kemasaman (pH) yang sesuai; (3) tidak mengandung zatzat yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dikehendaki; (4) steril
dan terlindung dari kontaminasi.
Terdapat beberapa macam media yang sering digunakan untuk isolasi
Basidiomycetes seperti media Malt Extract Agar (2% MEA), Raper & Thom
MEA (RTMEA), Fries Agar dan Potato Dextrose Agar (PDA), walaupun untuk
fungi ektomikoriza lebih sering menggunakan media Modified Melin-Norkrans
Agar (MMN) dengan beberapa variasinya (Setiadi et al. 1992; Ainsworth 1993;
Brundrett et al. 1994; Carris 2005).
Cripps (2001) menggunakan media Hagem yang dimodifikasi oleh Van
Corner (1987) dalam melakukan isolasi dan kultur fungi ektomikoriza. Komposisi
media terdiri atas 4 g malt extract, 1 g yeast extract, 5 g d-glucose, 0,5 g NH4Cl,
0,5 g KH2PO4, 0,5 g MgSO4.7H2O, 0,5 ml FeCl3 (1% aqueous), 100 ml biotin (0,5
mg biotin/ml aqueous) dan 100 ml thiamine-HCl (1 mg thiamine/ml aqueous)
dijadikan 1000 ml air distilasi. Sebagai pemadat digunakan 11 g/L agar. Dari 54
jenis fungi yang diisolasi hanya 20 jenis yang berhasil ditumbuhkan dalam media
in vitro.
20
Kjøller dan Bruns (2003) menggunakan eksplan berupa ujung akar
bermikoriza dalam mengisolasi Rhizopogon sp. Ujung akar bermikoriza yang
telah disterilisasi permukaannya dengan 30% hidrogen peroksida selama 30 menit
selanjutnya diinkubasi dalam media pra kondisi berupa media MMN yang
mengandung 12 mg chloramphenol, streptomisin, ampicillin dan 1 mg benomyl.
Disamping itu pada media MMN ini kandungan glukosa, malt extract, nitrogen
dan fosfor relatif rendah yaitu dengan komposisi 1 g glukosa, 2,5 g Malt ekstract,
50 mg CaCl22H2O, 25 mg NaCl, 150 mg MgSO4.7H2O, 25 mg (NH4)2HPO4, 50
mg KH2PO4, 12 mg Ferro-citrate, 1 mg thiamin-HCl, dan 20 g agar. Media
prakondisi dimaksudkan untuk mendapatkan kultur yang bersih yang selanjutnya
dapat diinkubasikan ke media MMN dengan konsentrasi penuh dengan komposisi
2,5 g glukosa, 10 g Malt ekstract, 50 mg CaCl2.2H2O, 25 mg NaCl, 150 mg
MgSO4.7H2O, 250 mg (NH4)2HPO4, 500 mg KH2PO4, 12 mg Ferro-citrate, 1 mg
thiamin-HCl, dan 20 g agar untuk pembuatan 1 L media.
Niemi et al. (2002) dalam penelitiannya melakukan perbanyakan fungi
ektomikoriza Pisolithus tinctorius dan Paxillus involutus dengan menggunakan
micelia asal biakan murni hasil koleksi in vitro yang ditumbuhkan pada media
Melin-Norkrans (MMN) sesuai petunjuk Marx (1969) yang dimodifikasi oleh
Tanskin dan Holopainen (1991) dengan komposisi 3,7 mM KH2PO4, 4,7 mM
NH4Cl, 0,45 mM CaCl2, 0,43 mM NaCl, 0,61 mM MgSO4.7H2O, 0,2 μM
thiamine-HCl, 30,8 μM FeCl3.6H2O dan 55,5 mM glukosa dengan pH 5,8 dan
dipadatkan menggunakan 1,5% agar.
Asosiasi dan Spesifisitas Ektomikoriza
Simbiosis antara fungi ektomikoriza dengan akar tanaman telah terbentuk
bila menampakkan tiga ciri utama, yaitu bila telah terbentuk (1) hartig net, (2)
mantel dan (3) terbentuknya hifa eksternal dan internal pada akar tanaman (Smith
dan Read 2008). Simbiosis ektomikoriza memperlihatkan beberapa variasi yang
unik. Interaksi beberapa tanaman dengan fungi ektomikoriza menunjukkan
asosiasi yang obligat. Seperti pada tanaman pinus yang tidak dapat tumbuh
dengan baik tanpa kehadiran fungi ektomikoriza, demikian pula sebaliknya
21
terdapat fungi EcM yang tidak dapat tumbuh di alam tanpa adanya hubungan
dengan tanaman inangnya (Bruns et al. 2002), Beberapa fungi EcM memiliki
rentang tanaman inang yang sangat terbatas disebut sebagai memiliki spesifisitas
tinggi, sedangkan lainnya memiliki rentang tanaman inang yang lebar, disebut
sebagai memiliki spesifisitas rendah. Tanaman dengan spesifitas yang tinggi
dengan seluruh kebutuhan C diperoleh dari fungi EcM jarang dijumpai. Kejadian
seperti ini disebut sebagai epiparasit atau mycorrhizal cheater dan lebih umum
dijumpai pada tanaman non-fotosintetik (Bruns et al. 2002; Smith & Read 2008).
Regenerasi Tanaman Berkayu
Regenerasi ataupun perbanyakan tanaman berkayu dapat ditempuh dengan
cara (1) seksual dengan menggunakan biji baik dengan metode perbanyakan
melalui biji secara konvensional maupun secara kultur in vitro, (2) aseksual
dengan menggunakan biji apomistik dan vegetatif (aseksual) diantaranya seperti
perbanyakan dengan cara stek (cutting) dan sambung (grafting), maupun
perbanyakan secara in vitro seperti stek mikro dan embriogenesis somatik.
Perbanyakan Tanaman Melalui Biji
Perbanyakan melalui biji merupakan cara perbanyakan utama bagi tanaman
di alam dalam melakukan reproduksi dan beregenerasi. Cara ini merupakan cara
yang paling banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman budidaya (Harmant et
al. 2002) terutama apabila dalam perbanyakan tersebut diinginkan untuk
mendapatkan keturunan yang memiliki keragaman yaitu gabungan sifat dari
tetuanya yang muncul akibat adanya persilangan.
Pengetahuan tentang biologi biji sangat penting untuk dapat menangani
benih secara tepat, mulai saat penyimpanan, perlakuan awal benih (pre-sowing
treatment), hingga perkecambahan (germination). Ciri morfologi biji dan kulit biji
berkaitan erat dengan sifat-sifat dari biji tersebut seperti kemampuan untuk
dikeringkan dan disimpan dalam jangka waktu tertentu, sifat dormansi benih dan
kemungkinan penanganannya dalam pemecahan dormansi.
22
Dari sifat kemampuan penyimpanannya benih dapat dikategorikan menjadi
(1) benih ortodoks yaitu benih yang toleran terhadap pengeringan (desikasi)
hingga kadar air benih 5-7% tanpa kehilangan viabilitasnya. Benih seperti ini
dapat disimpan dalam jangka waktu lama. (2) benih rekalsitran yaitu biji yang
akan rusak bila dilakukan pengeringan, sehingga tidak penyimpanan benih tidak
dapat dilakukan dalam jangka waktu lama (Schmidt 2000; Theilade & Petri 2003).
Pada jenis orthodox dormansi sering terjadi sebaliknya pada jenis rekalsitran tidak
memiliki
masa
dormansi
atau
lemah
dan
seringkali
kemasakan
dan
perkecambahan terjadi dalam selang waktu yang singkat (Schmidt 2000).
Aktivasi proses metabolisme dari embrio yang menyebabkan munculnya
anakan tanaman baru disebut sebagai perkecambahan (germination). Tiga kondisi
harus dipenuhi dalam perkecambahan, yakni (1) benih harus viabel yaitu embrio
harus dalam kondisi hidup dan mampu berkecambah; (2) benih harus memperoleh
kondisi lingkungan yang mendukung untuk terjadinya perkecambahan, seperti
ketersediaan air, rejim temperatur yang sesuai, suplai oksigen, dan terkadang
cahaya yang sesuai; dan (3) Kondisi dormansi primer benih bila ada harus dapat
diatasi (Harmant et al. 2002).
Benih tetap dalam kondisi tidak aktif dengan laju metabolisme dalam benih
yang rendah sampai saat benih tersebut menerima kondisi lingkungan yang
mendukung untuk memicu terjadinya pertumbuhan embrio. Tanggap benih
terhadap kondisi lingkungan berbeda satu sama lainnya. Beberapa jenis tanaman
mempunyai benih yang mampu berkecambah hanya beberapa hari setelah
terjadinya fertilisasi dan jauh sebelum waktu panen, sedangkan jenis lainnya
memerlukan masa perkembangan tambahan sebelum perkecambahan terjadi
(Harmant et al. 2002; Copeland & McDonald 1995).
Perkecambahan dibagi dalam beberapa tahapan yang dapat saling tumpang
tindis kejadiannya, yaitu: (1) Tahap aktivasi, dimulai dari peristiwa imbibisi air,
sintesis enzim, diakhiri dengan perpanjangan sel dan munculnya radikel; (2)
Lemak, protein dan karbohidrat dalam organ penyimpanan (endosperma,
kotiledon, perisperm atau gametophyte pada tanaman daun jarum) dipecah
23
menjadi lebih sederhana dan kemudian ditranslokasikan ke titik tumbuh dari
embryo axis; dan (3) Pertumbuhan kecambah. Embrio terdiri atas axis untuk
keluarnya satu atau lebih daun benih atau kotiledon, sedangkan titik tumbuh akar
disebut sebagai radikel yang berada pada bagian bawah dari embryo axis dan titik
tumbuh tunas pucuk disebut sebagai plumula yang berada pada bagian ujung atas
dari embrio (Harmant et al. 2002).
Pada tanaman yang memiliki dormansi fisik dicirikan dengan kulit biji yang
keras, perkecambahan dapat dipercepat dengan perlakuan awal benih secara
skarifikasi. Skarifikasi adalah suatu proses yang ditujukan untuk memecahkan,
melukai, merubah sifat mekanis atau melunakkan kulit benih yang keras agar
permiabel terhadap air dan gas. Skarifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain (1) skarifikasi mekanis seperti melukai kulit biji dengan mengamplas
atau mengikir biji, atau memecahkan kulit (2) skarifikasi basah dengan
menggunakan air panas atau hangat; (3) skarifikasi menggunakan larutan masam
seperti asam sulfat, (4) skarifikasi temperatur tinggi, seperti pada kejadian
perkecambahan yang dipacu akibat adanya kebakaran dan skarifikasi dengan
bantuan mikroorganisme pelapuk. Sejumlah bahan kimia alternatif seperti
alkohol, hidrogen peroksida juga pernah dicobakan untuk mematahkan dormansi
fisik (Harmant et al. 2002; Schmidt 2000).
Skarifikasi mekanis dengan cara pengikiran atau pengamplasan benih walau
mudah dilakukan namun sangat tidak efisien bila benih yang akan dikecambahkan
dalam jumlah banyak disamping benih yang dilukai menjadi peka terhadap
patogen selama dalam proses perkecambahan. Skarifikasi dengan asam sulfat
walau efisien namun sering merusak benih disamping pula penggunaan asam
sulfat sering membahayakan bagi pemakai. Demikian pula penggunaan skarifikasi
panas ataupun skarifikasi basah panas sering memberikan akibat terhadap benih
yang mirip dengan perlakuan asam sulfat (Harmant et al. 2002; Schmidt 2000;
Boscagli & Sette 2001).
Untuk mendapatkan perkecambahan yang baik, pemilihan benih sangat
disarankan. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena umumnya memberikan
24
kecepatan perkecambahan dan perkembangan semai lebih baik dibandingkan
benih dengan ukuran yang lebih kecil. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa
perbandingan antar provenan tidak selalu dapat dipercaya, karena variasi genetik
dapat menyamarkan adanya perbedaan vigor (Schmidt 2000).
Perlakuan sterilisasi permukaan benih juga sering disarankan untuk
mengatasi penyakit yang umumnya berasal dari jamur yang menempel pada
permukaan benih. Damping-off adalah istilah yang telah lama digunakan untuk
menggambarkan penyakit fungi yang mengakibatkan matinya tanaman muda saat
diperkecambahan. Fungi penyebab damping-off umumnya adalah Phytium
ultimum dan Rhizoctonia solani walaupun terdapat pula fungi lain seperti Botrytis
cinerea dan Phytophthora spp. Peroksida (H2O2) 30% selama 20 menit, Sodium
hipoklorit (10% NaClO) dan 75% etanol sering digunakan untuk menghilangkan
jamur di permukaan benih yang dapat menyebabkan penyakit londoh (dampingoff),
walaupun
dijumpai
pula
sodium hipoklorit
mampu
menstimulasi
perkecambahan benih padi, yang kemungkinan akibat hilangnya inhibitor larut air
yang terdapat pada sekamnya (Harmant et al. 2002; Schmidt 2000).
Merbau sebagai tanaman dari Leguminosae menghasilkan benih yang
termasuk dalam golongan benih orthodoks dengan masa dormansi yang cukup
lama dengan dormansinya tergolong dalam dormansi fisik. Benih yang telah
mencapai tingkat kematangan memiliki kadar air benih kurang dari 10% dan
mampu disimpan lebih dari 3 tahun tanpa adanya perlakuan penanganan
penyimpanan terhadap benih secara spesifik (PROSEA 1994). Seperti umumnya
tanaman legum, merbau memiliki benih yang dibungkus oleh kulit biji yang keras,
yang menyebabkan impermeabel terhadap air (dormansi fisik) dan tanpa
perlakuan awal benih merbau memerlukan waktu lebih dari 2 tahun untuk
berkecambah. Di alam kulit benih seperti ini dapat menjadi lunak akibat aktivitas
mikroorganisme tanah saat kelembaban memungkinkan.
Untuk mematahkan dormansi seperti yang dimiliki benih merbau dapat
dilakukan skarifikasi terlebih dahulu. Teknik skarifikasi yang umum dilakukan
adalah dengan cara mengikir atau mengamplas sedikit bagian strophile benih.
Dengan teknik ini Intsia palembanica mampu berkecambah 100% (PROSEA
25
1994), sedangkan dengan menggunakan perlakuan awal perendaman dalam asam
sulfat pekat selama 30 menit mampu memperoleh perkecambahan benih merbau
sebesar 100% dengan rata-rata waktu berkecambah 7,4 hari (Murdjoko 2003).
Metode skarifikasi dengan cara mengikir merupakan metode yang kurang praktis
bila dilakukan untuk skala besar, sebaliknya dengan menggunakan asam pekat
seringkali berbahaya dalam pananganannya. Pencarian cara yang lebih efisien
tampaknya masih perlu dilakukan.
Perbanyakan Tanaman Melalui Stek (Cuttings)
Suatu potongan organ tanaman apabila ditempatkan pada kondisi
lingkungan yang sesuai untuk regenerasi akan tumbuh akar dan mampu
berkembang menjadi tanaman yang utuh. Cara perbanyakan demikian disebut
sebagai stek (cutting). Stek merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman
secara vegetatif yang paling banyak dipergunakan. Stek dapat dibuat dari bagian
vegetatif tanaman mana saja seperti, batang, modifikasi batang (rhizome, tuber,
corm dan bulb), daun atau akar. Berdasarkan bagian tanaman yang diambil, stek
dapat diklasifikasikan menjadi (1) Stek batang (harwood, semihardwood,
softwood dan herbaceous), (2) stek daun, (3) stek tunas (mata tunggal atau buku
tunggal) dan (4) stek akar. Pada perbanyakan tanaman melalui stek batang,
bagian-bagian pucuk yang memiliki tunas lateral atau terminal bila ditempatkan
pada kondisi yang sesuai diharapkan akar adventif akan terbentuk dan
berkembang
sehingga
akan
menghasilkan
tanaman
yang
independen.
Perkembangan akar adventif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti asal bahan
stek (posisi pada tanaman asal), ZPT yang berperan terhadap pengakaran, faktor
lingkungan dan fisik (Harmant et al. 2002).
Faktor medium sangat menentukan bagi keberhasilan penyetekan. Medium
berfungsi sebagai penyangga berdirinya stek saat periode pengakaran,
menyediakan air bagi stek, memungkinkan terjadinya pertukaran udara pada
bagian dasar stek dan menciptakan lingkungan gelap yang ideal bagi pengakaran.
Walaupun demikian tidak ada campuran jenis medium yang paling ideal dan
umum digunakan, yang terpenting medium penyetekan harus memiliki porositas
yang baik sehingga aerasi dan draenasi berjalan dengan baik, memiliki kapasitas
26
menahan air yang cukup baik, dan bebas dari penyakit penyebab busuk bagian
bawah stek (Harmant et al. 1990). Pada percobaan yang dilakukan di Filipina stek
merbau yang ditanam pada media dengan tekstur tanah sandy clay-loam setelah 6
minggu memperoleh tingkat mortalitas sebesar 62% (PROSEA 1994). Percobaan
stek merbau dengan menggunakan hormon pengakaran yang tersedia di pasar,
menunjukkan bahwa penggunaan ZPT Hormonik 1000 ppm dengan media
tumbuh pasir dapat menghasilkan persen stek jadi sebesar 76.7% (Pudjiono &
Mahfudz 2007).
Zat pengatur tumbuh yang berperan bagi pengakaran adalah zat pengatur
tumbuh dari golongan auksin. Namun demikian auksin tidak bersifat universal
dalam menstimulasi pengakaran stek, karena terdapat jenis-jenis tumbuhan
tertentu yang memang sulit untuk berakar (difficult-to-root species) yang tidak
responsif terhadap pemberian auksin. IBA (indolebutyric acid) dan NAA
(naphthaleneacetic acid) adalah auksin yang paling sering digunakan dalam
menstimulasi pengakaran stek karena sebagian besar tanaman sangat responsif
terhadap pemberian kedua jenis auksin tersebut (Artheca 1996). Penggunaan IBA
ataupun kombinasi IBA/NAA sangat luas digunakan untuk melakukan
pengakaran pada stek tanaman kehutanan seperti yang dilakukan oleh Landon dan
Banko (2002) pada tanaman Vinca minor, Bryan et al. (2002) pada tanaman
Acacia wrightii dengan menggunakan IBA/NAA dan Conden et al. (2004) pada
tanaman Lindera umbelata dengan menggunakan IBA. Pemberian kombinasi
IBA/NAA seringkali memberikan hasil yang lebih baik.
Metode aplikasi yang paling sering digunakan adalah metode celup cepat
(quick-dip Method) dengan waktu pencelupan umumnya 3 – 5 detik. Konsentrasi
larutan auksin yang digunakan bervariasi dari 500 – 10 000 ppm atau lebih (0,05 –
1,0 persen) tergantung jenis tanaman dan asal/posisi bagian tanaman yang
digunakan untuk bahan stek (hardwood, semihardwood atau softwood) (Harmant
et al. 2002).
Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro
Kultur jaringan merupakan istilah umum meliputi pertumbuhan kultur
secara aseptik dalam suatu wadah yang tembus cahaya, yang sering juga disebut
27
sebagai kultur in vitro (Gunawan 1992). Teknik kultur jaringan didasarkan pada
teori totipotensi sel yang disampaikan oleh Schwan dan Schleiden pada tahun
1938, yang diartikan sebagai kemampuan otonom dari setiap sel hidup yang
diisolasi dari tanaman induknya, tumbuh dan berkembang membentuk tanaman
baru bila ditumbuhkan pada media yang sesuai. Berdasarkan teori ini maka sel-sel
meristematik dapat dipacu untuk memperbanyak diri, memanjangkan diri dan
berdiferensiasi yang dimulai dari perkembangan meristem sampai menjadi organ
baru seperti tunas, daun dan akar untuk selanjutnya membentuk tanaman yang
sempurna (Pierik 1999).
Dengan adanya perkembangan teknik kultur jaringan (in vitro) akhir-akhir
ini, kendala dalam perbanyakan tanaman untuk beberapa jenis tanaman telah
dapat diatasi. Kultur in vitro merupakan salah satu teknologi yang dapat
digunakan untuk membantu pengadaan bibit secara luas pada berbagai tanaman
berkayu untuk mendapatkan bibit dalam jumlah yang besar, bebas hama dan
penyakit dalam rentang waktu yang relatif cepat. Melalui teknik ini multiplikasi
tinggi dapat diperoleh dari bahan tanaman yang kecil (Wattimena et al. 1992).
Dalam produksi tanaman melalui kultur in vitro terdapat dua pola
diferensiasi yang berbeda yaitu pola diferensiasi organogenesis dan embriogenesis
somatik. Organogenesis adalah proses pembentukan organ tanaman secara in
vitro, ataupun in vivo menggunakan jaringan meristematik ataupun non
meristematik. Jaringan tanaman secara in vitro akan menghasilkan banyak tipe
primordia. Primordia berasal dari proses dediferensiasi sel diikuti dengan
serangkaian
kejadian
pembentukan
sel-sel
meristemoid
yang
secara
morfogenetika sangat plastis dan mampu berkembang menjadi sejumlah
primordia (misalnya akar atau tunas). Berdasarkan proses perkembangan hingga
menyebabkan terjadinya organogenesis dapat dipilah menjadi dua kategori yakni
(1) organogenesis tidak langsung yaitu proses perkembangan dengan melalui
pembentukan kalus terlebih dahulu dan (2) organogenesis secara langsung yaitu
tanpa melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (dimulai dari eksplan primer,
kemudian terbentuk meristemoid, dan berakhir pada pembentukan primordium
organ) (Schwarz et al. 2005).
28
Embriogenesis somatik adalah suatu proses pembentukan embrio somatik
melalui diferensiasi sel-sel somatik. Secara morfologi sel embrio somatik
menyerupai embrio zigotik (Gambar 5). Struktur embrio somatik mengandung
meristem pucuk maupun akar (bipolar) (Phillips et al. 1995; von Arnold et al.
2002). Menurut Hipotesis Sharp’s et al. terdapat dua pola embriogenesis. Pertama
embriogenesis
berlangsung
dari
sel
yang
telah
terdeterminasi
untuk
berlangsungnya embriogenesis yang disebut sebagai pre-embryonic-determined
Cells (PEDCs) dan proses ini disebut pula sebagai embriogenesis somatik secara
langsung (direct embriogenesis). Embryogenesis dari PEDCs hanya mensyaratkan
kondisi lingkungan in vitro untuk keperluan terjadinya pembelahan sel sesuai
dengan polanya. Sebaliknya sel-sel yang untuk terdeterminasi embriogenik perlu
adanya induksi (induced embryonic-determined cells=IEDCs) memerlukan
kondisi lingkungan in vitro tidak saja untuk kembali memasuki siklus mitosis
tetapi juga untuk redeterminasi dari sel-sel yang awalnya dalam kondisi quiescent
untuk terpicu menjadi embrionik. Proses yang terakhir disebut pula sebagai
embriogenesis somatik secara tidak langsung (indirect embriogenesis) (Wann
1988). Sumber sel embriogenik, tipe embriogenesis dan perkembangan embrio
menjadi tanaman disajikan pada Gambar 6.
Gambar 5 Perbedaan antara zygotic embryogenesis dan somatic embriogenesis
(Gray 2005).
Perbedaan embriogenesis somatik dengan organogenesis terletak pada asal
sel. Pada organogenesis kejadian berasal dari multiselular sebaliknya pada
29
embriogenesis somatik berasal dari kejadian sel tunggal. Walaupun demikian
organogenesis dan embriogenesis dapat terjadi secara bersamaan pada kultur yang
sama (Wann 1998). Lebih lanjut Phillips et al. (1995) menyatakan bahwa induksi
embriogenesis somatik memerlukan sinyal hormonal tunggal untuk menginduksi
terbentuknya struktur bipolar yang memampukannya untuk membentuk tanaman
secara lengkap. Sebaliknya pada organogenesis akan memerlukan dua sinyal
hormonal yang berbeda untuk menginduksi organ pucuk dan kemudian organ akar
dengan menggunakan dua media yang berbeda. Oleh karena itu tidak
mengherankan penginduksian embriogenesis lebih efisien dalam praktek
perbanyakan tanaman dibandingkan penggunaan alur organogenesis.
Gambar 6
Sumber sel embriogenik, tipe embriogenesis dan perkembangan
embrio menjadi tanaman (Gray 2005).
Embrio somatik yang dihasilkan melalui kalus telah banyak dilakukan.
Kalus adalah sekumpulan sel yang belum terdeferensiasi yang terjadi pada sel-sel
jaringan yang sedang aktif membelah diri. Kultur kalus yang bertujuan untuk
memperoleh kalus embriogenik atau yang lebih tepat disebut sebagai
proembrionic masses (PEM) dari eksplan tertentu yang diisolasi dan ditumbuhkan
pada lingkungan tertentu secara in vitro dapat diinduksi dengan menggunakan
30
auksin seperti 2,4-D atau auksin sintetik lainnya seperti Picloram dan terkadang
juga mengikutkan sitokinin. Dengan induksi ini diharapkan pembentukan kalus
embriogenik dapat terjadi secara terus menerus sedangkan untuk menginduksi
perkembangan embriogenesis sering dilakukan dengan mengurangi jumlah auksin
atau bahkan sama sekali tidak diberikan auksin atau menggunakan absisic acid
(ABA) (Wattimena et al. 1992; Gunawan 1992; Von Arnold et al. 2002).
Embriogenesis somatik memiliki potensial untuk dipraktekkan dalam
perbanyakan secara vegetatif untuk skala besar yang pada beberapa kasus bahkan
dapat digunakan bioreaktor untuk produksi massal. Demikian pula melalui cara
ini, kemungkinan penyimpanan plasma nutfah dengan menggunakan metode cryopreservation sangat mungkin dilakukan (Von Arnold et al. 2002).
Perbedaan utama pada perbanyakan in vitro pada tanaman berkayu
dibandingkan dengan tanaman herba terletak pada tingkat kesulitan pada tanaman
berkayu yang relatif lebih tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan
tersebut di antaranya terkait dengan siklus hidup vegetatif tanaman berkayu yang
komplek seperti adanya dormansi pucuk musiman, dan karakteristik pertumbuhan
yang terus berubah saat tanaman berkembangan hingga mencapai kedewasaan.
Faktor penghambat dari proses regenerasi pada tanaman berkayu antara lain (1)
daya meristematik tanaman yang rendah; (2) tingkat oksidasi fenol yang tinggi;
(3) adanya jaringan sklerenkima; (4) kandungan zat inhibitor yang tinggi; (5)
kurangnya ko-faktor perakaran; (7) gugurnya tunas dan daun yang terjadi lebih
dini dan (7) mempunyai kandungan lignin yang relatif tinggi (Mariska et al.
1997).
Status juvenilitas eksplan yang digunakan sangat menentukan dalam
menentukan keberhasilan kultur in vitro tanaman berkayu, karena dalam kondisi
juvenil eksplan masih memiliki kemampuan regenerasi yang lebih baik
berhubungan dengan daya meristematik yang tinggi, dan tingkat kandungan fenol,
lignin dan zat inhibitor yang masih rendah. Beberapa cara untuk memperoleh
eksplan yang juvenil dapat dilakukan dengan mengambil eksplan dari sumber
seperti bagian basal yang juvenil dari anakan (seedling) atau memanipulasi pucuk
31
tanaman tua yang dijuvenilkan yaitu dengan cara pucuk dari tanaman tua sebagai
tanaman atas (scion) disambung (grafting) pada anakan (seedling) sebagai
tanaman bawah (rootstock). Tunas yang terinduksi dari tanaman sambung tersebut
dapat digunakan sebagai sumber eksplan (Hartman et al. 2002).
Beberapa hasil penelitian metode perbanyak in vitro pada tanaman legum
berkayu yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Dalbergia latifolia Rox b. (Gunawan 1992). Induksi tunas eksplan pucuk
tanaman dilakukan dengan menggunakan media dasar MS cair yang diperkaya
dengan kinetin 0,5 mg/L, BA 1.0 mg/L, Biotin 0,1 mg/L, Casein hydrolysate 500
mg/L, Calcium Panthotenate 0.1 mg/L, Sukrosa 30 g/L dengan pH media 5,8.
Induksi dilakukan selama 20 hari, kemudian dipindahkan pada media
perbanyakan pucuk selama 25 hari dengan menggunakan media yang sama tanpa
casein hydrolysate dengan kandungan kinetin 0,1 mg/L dan BA 0,2 mg/L.
Pengakaran dilakukan secara berturutan pada tiga media yaitu selama 72 jam pada
media dasar White yang mengandung auksin IBA 2 mg/L, IAA 2 mg/L, IPA 2
mg/L, dan NAA 2 mg/L (media 1), kemudian selama 10-15 hari pada media ½
MS cair dengan ditambah arang aktif 0,25%, Sukrosa 30 g/L dengan pH media
5,8 (media 2) dan selama 20-25 hari pada media dengan komposisi sama dengan
media 2, namun tanpa arang aktif (media 3).
Albizia lebbeck (Mamun et al. 2004). Eksplan biji, kotiledon dan segmen
internodal (ruas) dicuci di bawah air mengalir selama 2 jam, selanjutnya direndam
dalam air steril mengandung 2 tetes tween 80 dan disterilisasi dengan merendam
eksplan dalam 0,1% HgCl2 selama 8-11 menit.
Eksplan ditanam dalam media MS yang diperkaya sukrosa 3%, dengan
berbagai kombinasi auksin (NAA, IAA dan 2,4-D), maupun sitokinin (BAP dan
kinetin). Media diatur pada pH 5,6, dan dipadatkan dengan 0,6% agar. Eksplan
yang telah ditanam disimpan pada lingkungan dengan suhu 27±2oC, pencahayaan
2000-3000 lux dengan fotoperiode 16 jam cahaya dan 8 jam gelap. Setelah 28
hari, induksi kalus tertinggi (100%) dijumpai pada eksplan in vitro internodal
dengan media yang diperkaya dengan BA 2,0 mg/L, NAA 0,2 mg/L. Pada media
dengan BA tunggal atau kombinasi dengan NAA dan KIN, induksi kalus terbaik
dijumpai pada eksplan kotiledon pada perlakuan BA 2,0 mg/L (75% eksplan
32
berkalus) dan kombinasi NAA 1,0 mg/L dan KIN 0,1 mg/L (50% eksplan
berkalus).
Hardwickia binata Roxb. (Chand & Singh 2001). Polong H binata yang
masih hijau (60-75 hari setelah anthesis) dicuci dibawah air mengalir selama 30
menit. Polong direndam dalam larutan tween 20 (10 tetes/100 ml, v/v) selama 15
menit dan dicuci kembali dibawah air mengalir, diikuti perendaman dalam larutan
antiseptik Savlon (0,6 ml/100 ml, v/v) selama 15 menit dan dicuci kembali di
bawah air mengalir selama 5 menit. Sterilisasi dilakukan dengan larutan 0,1%
selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air steril, dilanjutkan sterilisasi dalam
70% etanol selama 2 menit dan dicuci kembali dengan air steril. Biji dari dalam
polong dikeluarkan dan embrio zigotik dipisahkan untuk dipergunakan sebagai
eksplan.
Eksplan ditanam dalam media MS semi-solid yang diperkaya dengan 0,4513,57 μM 2,4-D atau 0,53-16,11 μM NAA. pH media diatur pada 5,75 sebelum
ditambah 0,8% (w/v) agar. Induksi somatik embrio dilakukan dengan menyimpan
kultur pada tempat gelap selama 7 minggu. Pada minggu ke 4 kultur dipindahkan
pada media baru dengan komposisi yang sama. Eksplan yang berkembang
menjadi somatik embrio, selanjutnya dipindahkan ke media proliferasi berupa
media MS dengan 0,26 μM NAA, 2,22 μM BAP; MS dengan 0,53 μM NAA atau
½ MS dengan 0,53 μM NAA. Media untuk maturasi dan germinasi terdiri atas
komposisi media MS dengan 0,26 μM NAA dan 2,22 μM BAP atau MS dengan
0,37 – 3,8 μM ABA.
Frekuensi embriogenesis secara langsung tertinggi dicapai pada media MS
dengan 2,26 μM 2,4-D, dengan tahap perkembangan yang bervariasi yaitu
meliputi tahap globular, heart-shape, torpedo dan cotyledonary. Pematangan
embrio dilakukan dengan memindahkan ke media MS dengan 0,26 μM NAA dan
2,22 μM BAP atau MS yang mengandung 1,89 μM ABA.
Acacia mearnsii De Wild (Correia & Graça 1995). Eksplan berupa segmen
nodal (buku) berasal dari percabangan apikal anakan A. mearnsii berumur 9 bulan
dengan panjang 50 mm. Anakan A mearnsii tersebut dipelihara di rumah kaca
dengan diaplikasikan penyemprotan larutan Benomyl 0., g/L untuk mengurangi
kontaminasi. Segmen nodal tanpa daun dicelup dalam larutan Benomyl 0,5 mg/L
33
diikuti dengan perendaman dalam larutan detergen komersial 3% selama 15
menit. Sterilisasi dilanjutkan dengan menggojlok eksplan dalam campuran larutan
NaOCl 1% (v/v) dengan tween 20 0.01% (v/v) selama 15 menit, diteruskan
dengan pembilansan menggunakan air steril sebanyak tiga kali. Induksi
multiplikasi tunas samping dilakukan dengan menggunakan media ½ MS yang
mengandung adenin 80 mg/L, thiamine 1,0 mg/L, piridoxin 0,5 mg/L, nicotinic
acid 0,5 mg/L, glycine 2,0 mg/L, myo-inositol 100 mg/L, sukrosa 30.000 mg/L
dan Difto Bacto agar 60.000 mg/L dan kombinasi BA 3,0 mg/L dan IBA 0,05
mg/L selama 30 hari kultur dengan hasil 3,51 tunas/eksplan.
Telaah terhadap beberapa penelitian yang telah dilakukan pada tanaman
berkayu jenis legum dan juga terhadap tanaman merbau menunjukkan bahwa
media kultur rendah kandungan nutrisinya dikombinasi dengan pemanfaatan
auksin dan sitokinin maupun bahan organik lainnya untuk mencegah defoliasi
daun maupun pencoklatan untuk inisiasi dan pertumbuhan tunas merbau secara in
vitro.
Pemanfaatan Ektomikoriza Dalam Perbanyakan Tanaman
Penggunaan fungi ektomikoriza dalam praktek pembibitan pada tanaman
kehutanan telah lama diterapkan untuk memperoleh bibit yang baik, tahan hidup
di lapangan dan memberikan pertumbuhan yang jauh lebih baik dibandingkan
tanaman yang tidak bermikoriza. Kelebihan bibit bermikoriza ini diduga terkait
dengan
kemampuan
fungi
ektomikoriza
terutama
berhubungan
dengan
kemampuannya dalam menyediakan unsur P. Fungi ektomikoriza mampu
merubah P dalam bentuk tidak tersedia yang terikat dengan senyawa kompleks
menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga tersedia bagi tanaman.
Pertumbuhan tanaman bermikoriza yang lebih baik juga disebabkan kebutuhan
hormon tumbuh bagi tanaman seperti Indole Acetic Acid (IAA) dan sebagainya
dapat terpenuhi melalui asosiasi yang terbentuk antara tanaman dan fungi
ektomikoriza (Pedersen & Sylvia 1996).
34
Pengaruh IAA pada tanaman sangat bervariasi. Secara khusus IAA
meregulasi proses pertumbuhan pada berbagai organ. Hormon dibentuk pada
bagian ujung tajuk tanaman yaitu tunas apex dan daun-daun muda, kemudian
ditransportasi ke berbagai bagian tanaman yang memerlukannya. Pada setiap
tempat (organ) tersebut akan menunjukkan proses pertumbuhan dan diferensiasi
yang spesifik. Beberapa fungsi yang dapat dirinci diantaranya adalah meregulasi
pertumbuhan sel tanaman, berperan dalam diferensiasi, xylem dan phloem,
menstimulasi aktivitas kambium, menstimulasi pembentukan akar adventif,
berperan dalam apikal dominansi, berperan dalam phototropisme, gravitropisme
dan thigmotropisme, mempunyai efek penghambatan tunas aksilar dan
penghambatan pembentukan lapisan absisi (Artheca 1995; Mohr & Schopfer
1995; Taiz & Zeiger 2002).
Peranan IAA yang penting di dalam perbanyakan tanaman yaitu terkait
dengan fungsi menginduksi diferensiasi sel-sel xylem dan phloem yang dimulai
dari titik tertentu di belakang meristem pertumbuhan atau organ dan dilanjutkan
secara basipetally paralel dengan transport IAA. Perlakuan IAA pada stek memicu
pembentukan akar adventif dan ini sering digunakan dalam perbanyakan tanaman
secara vegetatif (Mohr & Schopfer 1995).
Dalam kultur jaringan, auksin eksogen sering merupakan persyaratan bagi
pembentukan akar. Kultur pucuk secara in vitro pada banyak tanaman sering
untuk memicu terjadinya perakaran dilakukan dengan cara memindahkan eksplan
ke media regenerasi tanpa hormon tumbuh. Sitokinin di dalam media regenerasi
akan menghambat terjadinya perakaran dan dengan cara memindahkan ke media
regenerasi tanpa hormon tumbuh akan memberikan kesempatan pada pucuk untuk
mensintesis auksin dan kemudian menstimulasi terjadinya perakaran. Sering
dilakukan pula untuk penyembuhan akibat pengaruh sitokinin yang tinggi
dilakukan dengan memberikan auksin endogen. Konsentrasi yang umum
digunakan untuk menginduksi perakaran IAA berkisar 0,6-60 μM, IBA 2,5-15 μM
dan NAA 0,35-6 μM (Gaba 2005).
Kemampuan fungi ektomikoriza dalam memproduksi hormon tumbuh
memungkinkan pemanfaatan ektomikoriza untuk mendorong terjadinya perakaran
35
dalam operasional pembibitan tanaman. Menurut Slankis (1973) Nielsen adalah
orang pertama yang menunjukkan bahwa auksin yang kemudian diberi nama
“rhizopin” dihasilkan oleh biakan murni fungi pada tahun 1930, yang selanjutnya
oleh Thimann pada tahun 1935 diidentifikasi sebagai IAA. Nielsen pada 1932
menunjukkan kemampuan ekstrak sporokarp fungi ektomikoriza Boletus edulis
untuk menginduksi pembelokan arah pertumbuhan (curvature) koleoptil dari
Avena. Sejak itu metode tersebut bersama dengan metode khromatografi kertas
digunakan untuk membuktikan dihasilkannya auksin pada larutan kultur oleh
sejumlah besar fungi basidiomycetes pembentuk mikoriza. Pada tahun 1959,
Mozer menguji 23 jenis fungi pembentuk mikoriza yang diisolasi dari tanaman
Pinus, Larix, Pice, Betula dan Fagus spp., dengan menambahkan tryptophan
sebanyak 2,041 g/l sebagai sumber nitrogen dan prekursor memperoleh hasil
sebagaimana pada Tabel 1. Pada percobaan lain Gay et al. (1992) memperlihatkan
fungi ektomikoriza Hebeloma hiemale dan Pisolithus tinctorius pada biakan
murni mengakumulai IAA dalam jumlah yang tinggi (8,5 μml per kultur)
sedangkan fungi Paxilus involves mengakumulasi hanya 0,9 μml per kultur dalam
filtrat kulturnya.
Induksi fungi ektomikoriza terhadap perakaran sangat mirip dengan yang
diakibatkan oleh pemberian auksin eksogen, sebagaimana yang ditunjukkan oleh
Slankis (1973) bahwa morphology ektomikoriza pinus yang dichotomous dapat
diinduksi oleh adanya auksin eksogen yang sangat mirip dengan yang terjadi
secara alami. Pentingnya peran fungi ektomikoriza dalam pertumbuhan akar
menyebabkan
banyak
usaha
dilakukan
untuk
menggunakannya
dalam
menstimulasi pembentukan formasi perakaran pada stek pinus yang sulit untuk
berakar.
Beberapa percobaan telah menunjukkan adanya pengaruh positif fungi
ektomikoriza dalam pembentukan akar adventif baik secara in vivo maupun in
vitro. Dalam percobaan yang dilakukan oleh Niemi et al. (2002) dengan
menggunakan stek hipokotil anakan Scots pine yang dikultur secara in vitro
menunjukkan bahwa inokulasi fungi ektomikoriza Pisolithus tinctorius dan
Paxillus involutus meningkatkan persentase dari 40-48 % stek berakar menjadi
36
71-85% stek berakar pada stek yang diinokulasi dengan Pisolithus tinctorius dan
95-100% stek berakar dengan
Paxillus involutus (Niemi et al. 2002).
Penggunaan mikoriza pada usaha kultur in vitro juga ditunjukkan oleh Starrett et
al. (1995) pada anakan tanaman Highbush blueberry yang diinokulasi dengan
ericoid mikoriza memperlihatkan keberhasilan terjadinya kolonisasi pada
perakaran tanaman diikuti dengan perbaikan keragaan planlet. Demikian pula
Quatrini et al. (2003) menggunakan fungi AM Glomus mossae mampu
meningkatkan pertumbuhan dan persen hidup plantlet lemon (Citrus limon (L)
Burn) hasil mikropropagasi saat aklimatisasi.
Tabel 1 Fungi basidiomycetes pembentuk ektomikoriza dan tipe hormon tumbuh
yang dihasilkan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Fungi
Suilus placidus
S. plorans (7 strain)
S. tridentinus
S. greville (3 strain)
Boletinus cavipers
Xerocomus subtomentosus
Lacterius porninsis
Phlegmatium elegantior
Phl. calochroum
Phl. aureopuverulentum
Phl. sulphureum
Phl. caesiocanescens
Phl. varium
Phl. orichalecum
Tipe Hormon Yang Dihasilkan
IAA
IPA
IBA
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
Sumber: Slankis (1973)
Ket: + (ada), - (tidak ada), Indole-3-Acetic Acid (IAA), Indole-3-Pyruvic Acid (IPA) dan Indole-3Butyric Acid (IBA).
Anakan dan planlet umumnya baru mampu untuk membentuk mikoriza
setelah beberapa akar terbentuk yaitu biasanya setelah 1-3 bulan. Kondisi
lingkungan bagi pertumbuhan anakan yang baik sangat menentukan bagi
keberhasilan penularan demikian pula kemasaman dan kondisi tanah harus sesuai
bagi jenis tersebut. Meskipun pupuk dapat menghambat perkembangan mikoriza
37
namun pemberian pupuk minimal untuk mendorong pembentukan awal perakaran
mungkin diperlukan. Pada beberapa kondisi, inokulasi juga dapat dilakukan pada
saat penaburan dengan syarat fungi harus mampu tetap hidup dalam tanah dalam
jangka waktu tertentu dengan tanaman inang sampai akar-akar anakan terbentuk
dan tertulari. Untuk menjamin terbentuknya mikoriza maka diusahakan pula
inokulum diletakkan sedekat mungkin atau menyentuh akar tanaman demikian
pula untuk terjadinya infeksi kelembaban sangat diperlukan (Schmidt 2000).
Perkembangan Penelitian Jenis Merbau
Perkembangan penelitian jenis merbau [Intsia bijuga (Colebr) O. Kuntze]
dan kerabat dekatnya (Intsia palembanica Miq.) sangat lambat kemajuannya dan
tidak ditetapkan secara strategis sasarannya untuk menjawab tantangan ke depan.
Perkembangan penelitian sejak tahun 1938 hingga saat ini tergambar dalam Tabel
2.
Kekhawatiran akan keberadaan jenis ini semakin meningkat sejalan dengan
beralihnya perhatian kegiatan eksploitasi hutan ke hutan alam Papua. Deforestasi
dan fragmentasi hutan akibat kegiatan eksploitasi hutan akan mempengaruhi
keragaman jenis ini, yang pada akhirnya dapat menyebabkan regenerasi tegakan
merbau secara alami tidak berjalan dengan baik dan berujung pada penurunan
kualitas tegakan bahkan kelangkaan akan jenis merbau. Dorongan bagi regenerasi
dan pengembangan hutan tanaman menggunakan jenis merbau perlu dilakukan
untuk mengatasi keterancaman jenis ini, baik dalam bentuk kebijakan maupun
dalam penyediaan data-data penelitian yang berhubungan dengan teknologi
pembudidayaan jenis ini.
Penelitian tentang merbau di bidang ekologi dan silvikultur yang telah
dilakukan masih bersifat umum, belum tepat sasaran menyentuh kebutuhan untuk
menunjang usaha regenerasi dan pengembangan hutan tanaman jenis merbau.
Oleh karena itu penelitian di bidang silvikultur yang diarahkan untuk penyediaan
teknologi pembudidayaan khususnya permasalahan dalam penyediaan bibit yang
efisien dan bermutu bagi pembangunan hutan industri sudah sangat mendesak
untuk segera dilakukan.
38
Tabel 2 Rangkuman Hasil-hasil Penelitian Jenis Merbau [Intsia bijuga (Colebr.)
O. Kuntze] yang mendukung dalam pengembangan penelitian di bidang
silvikultur
No
Peneliti
Bidang
Temuan Penting
1.
Dress (1938)
Taksonomi
dan
Silvikultur
Laporan hasil survey. Deskripsi botanis
untuk membedakan antar Intsia spp dan
Pahudia spp. I. palembanica dianggap
penting nilai ekonominya, sedangkan I.
bijuga
masih
sulit
dikembangkan.
Perkecambahan I. palembanica sangat
lambat perlu adanya perlakuan awal, pada
waktu muda memerlukan naungan, tumbuh
cepat namun kemudian melambat dengan
cepat. Untuk tujuan praktis regenerasi alam
tidak dapat diandalkan karena kurangnya
pohon induk penghasil benih dan
penyebaran benih yang hanya di sekitar
pohon induk akibat biji yang berat
2.
Van Alphen de
Veer EJ dan
Verduyn Lunel
FA (1950)
dikutip dari
PROSEA
(1994) dan
Thaman et al.
(2004)
Silvikultur/
Teknologi
benih
Kandungan air pada biji merbau matang
10% dan mampu tetap hidup hingga 3
tahun, perlakuan skarifikasi yang paling
efektif bila dilakukan pada bagian stropiole
(berlawanan arah dengan hilum). Biji
ditanam dengan bagian hilum ke arah
bawah. Hampir 100% biji yang
diskarifikasi berkecambah setelah 11 hari
3.
Tamba (1992)
Silvikultur/T
eknologi
benih
Kulit biji merbau dikikir dan direndam
selama 18 jam dalam air memberikan
persen kecambah 99,5%
4.
Rizal et al.
(1997)
Silvikultur/
Pembibitan
5.
Nugroho
(1997)
Ekofisiologi/
Merbau termasuk tanaman lambat tumbuh
siklus unsur hara pada umur 32 tahun berdiamater 32,5 cm.
Kecepatan dekomposisi serasah tinggi.
Kebutuhan unsur P tinggi dan siklus P
tanah-tanaman cepat. Merbau mengambil
Ca dalam jumlah tinggi dan diakumulasikan
pada tanah permukaan menyebabkan
peningkatan pH tanah permukaan.
Stum merbau yang disimpan dalam pelepah
pisang selama 1 minggu mempunyai persen
tumbuh 98,33%
39
Lanjutan Tabel 2.
6.
PT. Hatfindo
Prima (1998)
Reklamasi
lahan/Mikoriza
Adanya ektomikoriza pada akar tanaman
merbau (Intsia bijuga) di areal konsesi PT.
Freeport Indonesia, Timika, Provinsi Papua.
7.
Untarto
(1998)
Ekologi
Di hutan alam Papua Intsia bijuga
merupakan jenis dominan yang berasosiasi
dengan jenis Intsia palembanica, Pometia
pinnata, Callophylum inophyllum dan
Palaquium amboinensis. Jenis ini dapat
mencapai diameter hingga 200 cm.
8.
Wattling et
al. (2002)
Mikologi/
Dijumpai adanya fungi dari golongan
Basidiomycetes di antara tegakan Intsia
palembanica di hutan Malaysia dan diduga
memiliki asosiasi ektomikoriza
Murdjoko
(2003)
Silvikultur/
Biji I. bijuga dengan perlakuan awal
Teknologi benih perendaman dalam asam sulfat pekat selama
45 menit memiliki persen perkecambahan
100%.
9.
ektomikoriza
10. Hamzah
(2003)
Silvikultur/
Kultur pucuk merbau hingga minggu ke-8
Kultur Jaringan setelah tanam memiliki persen hidup pada
media WPM 80%, MS 0% dan Anderson
100%. Persen kontaminasi 20-30% dan
pencoklatan 50-80%. Gugur daun 30-20%.
11. Machmud
(2003)
Silvikultur/
Kultur
pucuk
menggunakan
media
Kultur Jaringan Anderson dengan ZPT 0,1 ppm NAA+0,1
ppm Kinetin dan 0,1 ppm NAA+0,5 ppm
Kinetin baru mampu menginduksi kalus
(90% dari eksplan).
12. Telapak dan
EIA (2005)
Konservasi/
Illegal logging
Mengungkapkan jalur, modus operandi,
pemain illegal logging kayu merbau dari
hutan alam Papua.yang diselundupkan ke
Cina dan India.
13. Pujiono dan
Mahfudz
(2007)
Silvikultur
Merbau dapat diperbanyak melalui stek
dengan ZPT komersial hormonik 1000 ppm
stek berakar yang dihasilkan sebesar
76,70%.
14. Tendersoo et
al. (2007)
Ektomikoriza
15 jenis fungi ektomikoriza berasosiasi
dengan merbau dua diantaranya merupakan
jenis Scleroderma spp.
40
Kerangka Pemecahan Masalah
Pembangunan hutan tanaman mensyaratkan dukungan pengetahuan teknis
silvikultur dalam menyediakan bibit yang bermutu secara genetik maupun
penampakan keragaan fisik, dalam jumlah massal dengan kontinyuitas yang
terjamin. Ketersediaan bibit bermutu dalam jumlah besar secara terus menerus,
akan menjamin kontinyuitas kegiatan regenerasi hutan tanaman. Bibit unggul
secara genetis dapat diperoleh melalui perbanyakan tanaman menggunakan benih
berasal dari pohon induk unggul. Namun, untuk mendapatkan benih dalam jumlah
yang cukup, seringkali terkendala dengan produksi benih yang terbatas dan tidak
tersedia setiap saat karena produksi benih sangat tergantung pada musim berbuah.
Oleh karena itu, untuk menjamin kontinyuitas penyediaan bibit diperlukan
alternatif metode perbanyakan tanaman lain agar tidak bergantung pada
perbanyakan melalui biji. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan
menggunakan stek secara in vivo maupun in vitro merupakan cara yang umum
dilakukan pada tanaman kehutanan. Perbanyakan dengan stek berasal dari pohon
induk unggul, mempunyai kelebihan dibandingkan menggunakan biji, karena sifat
keunggulan induknya tetap dapat dipertahankan. Di lain pihak, mutu keragaan
bibit tanaman dapat ditingkatkan selama berada di persemaian yaitu dengan
memanfaatkan peran asosiasi mikoriza. Tanaman yang bermikoriza diketahui
lebih tahan hidup di lapangan dibandingkan tanaman tak bermikoriza. Dengan
demikian, dengan mempergunakan bibit yang secara genetis dan fisik baik, hal ini
berarti pula menjamin keberhasilan regenerasi dan penanaman suatu tanaman.
Penelitian silvikultur jenis merbau telah dimulai oleh Dress (1938).
Walaupun telah lama dilakukan, namun sampai saat ini penguasaan pengetahuan
silvikultur jenis ini masih belum memadai untuk dapat mendukung keinginan
dalam mengembangkan hutan tanaman jenis merbau. Beberapa penelitian yang
telah dilakukan belum menyentuh kebutuhan dasar untuk dapat memproduksi
bibit bermutu dalam jumlah massal dan selalu tersedia setiap saat. Oleh karena itu,
sangat diperlukan suatu penelitian yang mampu merangkum seluruh pengetahuan
tentang teknik regenerasi merbau yang diarahkan untuk mendapatkan suatu paket
41
teknologi regenerasi dalam menghasilkan bibit merbau secara efisien, melalui
teknik regenerasi reproduktif maupun teknik regenerasi vegetatif,. untuk
menghasilkan bibit yang bermutu baik.
Skenario pemecahan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan menggabungkan pengembangan pengetahuan teknik regenerasi merbau
secara efisien dengan pengetahuan pemanfaatan mikoriza untuk memperbaiki
mutu bibit merbau. Pengembangan pengetahuan teknik regenerasi pada merbau
meliputi teknik regenerasi secara reproduktif maupun secara vegetatif
(menggunakan organ vegetatif). Pemikiran pemecahan masalah tersebut disajikan
pada Gambar 7.
Gap pengetahuan teknik regenerasi merbau secara generatif bagi
pengembangan silvikultur jenis ini terletak pada pemahaman biologi dan
perkecambahan biji merbau secara menyeluruh. Pemahaman karakter biji yang
berhubungan dengan pemecahan dormansi biji merbau sangat diperlukan untuk
dapat dijadikan landasan mendapatkan teknik perkecambahan yang efisien.
Melalui telaah ini juga diharapkan akan mampu menghasilkan anakan atau bibit
merbau dengan vigor yang tinggi dan keragaan yang relatif seragam.
Pengetahuan teknik regenerasi merbau melalui stek, walaupun telah
dilakukan oleh beberapa peneliti namun masih perlu pula dilakukan telaah yang
lebih komprehensif, sehingga dapat diperoleh alternatif lain yang lebih baik.
Demikian pula kemungkinan penggunaan teknik regenerasi secara in vitro pada
merbau perlu dilakukan agar dapat melengkapi teknik regenerasi lainnya dalam
mendukung penyediaan bibit secara massal.
Di lain pihak, walaupun telah diketahui bahwa pohon merbau berasosiasi
dengan fungi ektomikoriza, namun pengetahuan berkaitan dengan fungi tersebut
maupun pemanfaatannya sampai saat ini belum berkembang. Padahal peran
mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman sangat signifikan dan telah banyak
diterapkan dalam proses pembibitan untuk meningkatkan mutu bibit. Oleh karena
42
Permudaaan Hutan Dengan Jenis Merbau
Pengembangan
Pengetahuan Silvikultur
Jenis Merbau (Metode
Regenerasi)
Tegakan Alam
Merbau &
Tanaman Merbau
Persemaian Merbau
Survei
Lapangan
Kendala Silvik
Jenis Merbau (M
Regeneras
3. Karakterisasi Morfologi
EcM pada Merbau
4. Pembiakan Fungi EcM
Ketersedian Benih dan Bibit
Mikoriza
Biji
Baiting
Metode
Metode Perkecambahan
yang efisien
1. Biologi dan
Perkecambahan Merbau
Anakan
Merbau
5. Spesifisitas Merbau
Sebagai tanaman inang
fungi EcM
Bibit Bermikoriza
6. Stek Merbau
Menggunakan ZPT &
Mikoriza
7. Perbaikan Mutu
Bibit Sapihan
dengan Mikoriza
Bahan
Stek/Eksplan
2. Stek Mikro Pucuk
Merbau Secara In vitro
Gambar 7 Kerangka Pemecahan Masalah Penelitian. Garis terputus adalah kondisi saat ini, garis tak terputus adala
pemecahan masalah dan angka 1-7 adalah topik penelitian.
43
itu, pengembangan pengetahuan tentang mikoriza pada merbau harus dilakukan,
yang diawali dengan pengenalan EcM pada merbau, kemudian dilanjutkan dengan
usaha untuk mendapatkan isolat fungi EcM secara in vitro. Isolat yang diperoleh
dievaluasi efektivitasnya untuk meningkatkan mutu bibit merbau. Hasil yang
diharapkan dari usaha tersebut adalah (1) dikenalinya fungi EcM yang berasosiasi
dengan merbau; (2) dikenalinya karakter EcM yang terbentuk, dan (3) diperoleh
biakan fungi EcM yang efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman merbau.
Hasil ini merupakan landasan bagi penelitian lanjutan lainnya, dan dapat
digunakan untuk meningkatkan mutu bibit dari hasil regenerasi secara generatif
maupun vegetatif.
Melalui skenario tersebut, maka penelitian ini meliputi 7 topik sub
penelitian yang saling terkait, yaitu (1) Biologi dan perkecambahan biji merbau;
(2) Inisiasi stek mikro pucuk merbau secara in vitro; (3) Karakterisasi morfologi
ektomikoriza pada Merbau; (4) Pembiakan fungi ektomikoriza sp. secara in vitro;
(5) Spesifisitas tanaman merbau sebagai tanaman inang fungi EcM; (6)
Perbanyakan merbau melalui stek dengan menggunakan ZPT dan fungi EcM; (7)
Perbaikan mutu bibit sapih hasil stek merbau dengan menggunakan fungi EcM.
Keseluruhan topik subpenelitian ini akan mengerucut pada tujuan akhir yaitu
untuk mendapatkan bibit merbau yang bermutu (Gambar 7).
Hipotesis
Dari telaah pustaka maupun kerangka pemecahan masalah maka dapat
diajukan beberapa hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Ukuran benih dan perlakuan awal terhadap benih berpengaruh terhadap
perkecambahan benih merbau
2. Pemberian sitokinin BAP, Auksin NAA, IBA pada beberapa tingkat
konsentrasi berpengaruh dalam menginduksi terjadinya tunas secara in vitro
pada tanaman merbau
3. Terdapat lebih dari satu jenis fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau
44
4. Terdapat beberapa jenis fungi ektomikoriza yang mampu mengkolonisasi akar
merbau dan efektif untuk meningkatkan pertumbuhan anakan merbau.
5. Pemberian ZPT IBA/NAA dan inokulasi fungi ektomikoriza berpengaruh
terhadap keberhasilan stek berakar tanaman merbau
6. Inokulasi fungi ektomikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
merbau hasil regenerasi dengan biji maupun dengan stek.
Daftar Pustaka
Ainsworth AM. 1993. Isolation techniques for basidiomycetes. Technical
Information Sheet No.11. UNESCO/WFCC-Education Commintee.
[terhubung berkala]. http://www,wfcc.info/tis/info11.html [23 Apr 2005]
Alexopoulos CJ. 1960. Introductory Mycology. New York: John Willey & Sons,
Inc.
Artheca 1995. Plant growth substances: Principles and applications. New York:
Chapman and Hall.
Boscagli A, Sette B. 2001. Seed germination enhancement in Saturaja Montana
L.Ssp. Seed Sci Tech. 29:347-355.
Brundrett M, Melville L, Peterson L (Eds). 1994. Practical Methods in
Mycorrhiza Research. Guelph, Ontario: Mycologue Publications.
Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajezuk N, 1996. Working with
Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Wembley, WA: Australian
Center for International Agriculture Research (ACIAR).
Brundrett M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal association.
Bul.Rev. 79:473-495.
Bryan DL, Lineberger RD, Watson WT, Hall CR, Arnold MA. 2002. Propagation
of spineless wright acacias. SNA Research Conference 47:306-308.
Carris
L. 2005. Isolating from basidiomycetes. [terhubung berkala].
http:www//classes.plantpath.wsu.edu/plp.521.html.[21 Feb 2005].
Chand S; Singh AK. 2001. Direct somatic embryogenesis from zygotic embryos
of a timber-yielding leguminous tree, Hardwickia binnata. Curent Science
80(7):882-887.
Copeland LO’ McDonald MB. 1994. Seed Science and Technology. 3rd Ed. New
York: Chapman and Hall.
Correia D, Graça MEC. 1995. In vitro propagation of black wattle (Acacia
mearnsii De Wild.). IPEF 48/49:117-125.
45
Cripps CL. 2001. Mycorrhizal fungi of aspen forest: Natural occurrence and
potential application. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-18:265298.
Departemen Kehutanan. 2006. Data Base Jenis-Jenis Prioritas untuk Konservasi
Genetik dan Pemuliaan. Jogjakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan Tanaman.
Dinas Kehutanan Irian Jaya. 1976. Mengenal Beberapa Jenis Kayu Irian Jaya.
Jayapura: Dinas Kehutanan Irian Jaya.
Dress EM. 1938. Kort overzicht der geslachten Intsia en Pahudia. Korte
medeeling van het Boschbouwproefstation No.67.
Gaba VP. 2005. Plant growth regulator in plant tissue culture and development.
Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and
Biotechnology. Washington, DC: CRC Press. Hlm.87-99.
Gay G, Bernillon J, Deboud JC. 1992. Comparative analysis of IAA production in
ectomycorrhyzal, ericoid and saprophytic fungi in pure culture. Di dalam:
Read DJ, Lewis DH, Fitter AH, Alexander IJ, editor. Mycorrhrizas in
Ecosystem. Cambridge:CAB International. Hlm. 356-366.
Giovanni P. 1985. MacDonald Encyclopedia of Mushrooms and Toadstolls.
London: Macdonald & Co (Publisher) Ltd.
Gray DJ. 2005. Propagation from non-meristematic tissue: Nonzygotic
inoculation. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development
and Biotechnology. Washington, DC: CRC Press. Hlm. 187-200.
Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Hartman HT, Kester DE, Davies FT, Geneve R. 2002. Plant Propagation:
Principle and Practices. 7th Ed. New Yersey: Prentice-Hall International,
Inc.
Hamzah T. 2003. Respon pertumbuhan kultur pucuk merbau (Intsia bijuga OK)
pada berbagai media dasar secara in vitro [skripsi]. Manokwari: Fakultas
Kehutanan Universitas Negeri Papua.
Heinonen-Tanski H, Holopainen T. 1991. Maintenance of ectomycorrhizal fungi.
Di dalam: Norris JR, Read DJ, Varna AK, Editor. Methods in
Microbiology. London: Academic Press. Hlm. 413 - 422.
Jalani BL, Jalal I. 1991. Mycorrhiza in plant disease control. Di dalam: Arora DK,
Rai B, Mukerji KG, editor. Handbooks of Applied Mycology. New York:
Marcel Dekker, Inc. Hlm 131-154.
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Harga patokan ekspor kayu
naik [Terhubung berkala]. http://www.dephut.go.id. [6 November 2009]
46
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia
Tahun 2008 [terhubung berkala]. http//www.dephut.go.id/files/
Statistik_Kehutanan_2008_BPK.pdf [9 Mei 2010].
Kjøller R, Bruns TD. 2002. Rhizopogon spore bank community within and among
California pine forest. Mycologia 95(4):603-613.
Kozlowski TT, Pallardy SG. 1996. Physiology of Woody Plants. San Diego,
California: Academic Press.
Landon A, Banko TJ. 2002. Factors affecting rooting of Vinea minor single-node
cuttings. SNA Research Conferences 47:328-330.
Machmud R. 2003. Kultur in vitro pucuk Intsia bijuga O.K. dengan penambahan
zat pengatur tumbuh Naphthelena Acetic Acid (NAA) dan Kinetin
[Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua.
Mamun ANK et al. 2004. Micropropagation of woody legume (Albizzia lebbeck)
through tissue culture. Pakistan J Biol Sci 7(7): 1099-1133.
Mariska I, Hobir, Sukmajaya D. 1977. Penelitian kultur jaringan tanaman
industry. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XVI (2):37-42.
Marx DH. 1969. The influence of ectotropic fungi on the resistance of pine roots
to patogenic infection. I. Antagonisme of mycorrhizal fungi to root
pathogenic fungi and soil bacteria. Phytopathology 59:153-163.
Mohr H, Schopfer P. 1995. Plant Physiology. New York: Springer-Verlag
Molina R, Trappe JM. 1984. Mycorrhiza management in bareroot nurseries. Di
dalam: Duryea ML, Landis TD, editor.Forest Nursery Manual:
Production of Bareroot Seedlings. Lancaster: Martinus Nijhoff/Dr. W.
Junk Publisher. Hlm. 211-223.
Murdjoko A. 2003. Pemecahan dormansi biji merbau (Intsia bijuga OK) pada
berbagai waktu perendaman dalam asam sulfat (H2SO4) [Skripsi].
Manokwari: Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua.
Niemi K, Vuorinen T, Ernstsen A, Hâggman H. 2002. Ectomycorrhizal fungi and
exogenauxin influence root and mycorrhiza formation of scot pine
hipocotyl cuttings in vitro. Tree Physiol 22:1231-1239.
Nugroho 1997. Litterfal and soil characteristics under plantation of five tree
species in Irian Jaya. Science in New Guinea 23(1):17-26.
Nurhasybi, Sudrajat DJ. 2009. Teknik penaburan benih merbau (Intsia bijuga)
secara langsung di hutan penelitian Parung Panjang, Bogor. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman 6(4): 209-217.
Pedersen CT, Sylvia DM. 1996. Mycorrhiza ecological implication of plant
interaction. Di dalam: Mukerji KG, editor. Concepts in Mycorrhizal
Research. Nederland: Kluwer Academic Publisher. Hlm. 92-222.
47
Pierik RLM. 1999. In Vitro Cultur of Higher Plants. Dordrect: Martinus Nijhoff
Publisher.
Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration from callus
and cell suspension cultures by somatic embryo. Di dalam: Gamborg OL,
Phillips GC, editor. Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental
Methods. Berlin: Springer-Verlag. Hlm. 81-90
[PROSEA] Plant Resources of South-East Asia. 1994. Plant Resources of SouthEast Asia 5. Di dalam: Leummans RHMJ, Soerianegara, Editor. (1)
Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: PROSEA
PT. Hatfindo Prima. 1998. Soil and mycorrhiza research for reclamation planning
in the PT. Freeport Indonesia area. Jakarta: PT. Freeport Indonesia.
Pudjiono S, Mahfudz. 2007. Perbanyakan tanaman merbau dan upaya
pengembangannya. Paper dipresentasikan pada Pertemuan Merbau tanggal
31 Juli 2007 di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta.
Quatrine P et al. 2003. Effect of native arbuscular mycorrhizal fungi and Glomus
mosseae on acclimatization and development of micropropagated Citrus
limon (L.) Burm. J Hort Sci and Biotechnol 78(1):39-45.
Rizal A, Suripatty BA, Maai RR, Untarto TM. 1997. Pengaruh wadah dan waktu
penyimpanan terhadap persen tumbuh stump merbau (Intsia bijuga OK)
FORDA 2(2):12-19.
Saeed S, Shaukat SS. 2000. Effect of seed size on germination, emergence,
growth and seedling survival of Seena occidentalis Link. Pakistan J Biol
Sci 3(21):292-295.
Schmidt L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan
Subtropics 2000. Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan.
Schwarz OJ, Sharma AR, Beaty RM. 2005. Propagation from non-meristematic
tissue: organogenesis. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Dev
Biotechnol. New York: CRC Press. Hlm. 159-171.
Setiadi Y, Mansur I, Budi SW, Achmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan:
Petunjuk Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas
Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Slankis V. 1973. Hormonal relationship in mycorrhizal development. Di dalam:
Mark OC, Kozlowski TT, editor. Ectomycorrhizae: Their Ecology and
Physiology. New York : Academic Press. Hlm. 231-298.
Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. 3rd edition. New York:
Academic Press.
48
Starrett MC, Blazich FA, Grand LP, Shafer SR. 1995. Response of seedlings of
Highnush Blueberry to in vitro ericoid mycorrhizal inoculation. SNA
Research Conference 40:266-267
Taiz L dan Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Sunderland, MA: Sinauer
Associates, Inc.
Tamba T. 1992. Pengaruh lama perendaman biji kayu besi (Intsia bijuga OK.)
terhadap perkecambahan pada biji yang telah dikikir. [Skripsi].
Manokwari: Universitas Cenderawasih.
Tedersoo L, Suvi T, Beaver K, Kõljag U. 2007. Ectomycorrhizal fungi of the
Seychelles: diversity patterns and host shifts from the native Vateriopsis
seychellarum (Dipterocarpaceae) and Intsia bijuga (Caesalpiniaceae) to
the introduced Eucalyptus robusta (Myrtaceae) but not Pinus caribeae
(Pinaceae). New Phytol 175:321-333.
Telapak, [EIA] International Investigation Agency. 2005. The Last Frontier:
Illegal Logging in Papua and China’s Massive Timber Thief. Emerson
Press.
Thaman RR, Thomas LAJ, DeMeon R, Areki F, Elevich CR. 2004. Intsia bijuga
(Vesi). Di dalam: Elevich CR, editor. Species Profile for Pacifics Islands
Agroforestry.[Terhubung berkala]. http://www.traditional tree.org [25 Apr
2005].
Theilade I, Petri L. 2003. Conservation of Tropical Tree ex situ Through Storage
and Use. Guidelines and Technical Notes No. 65. Humleback: Danida
Forest Seed Center.
Tokede MJ, Mambai BV, Pangkali LB, Mardiyadi Z. 2006. Persediaan Tegakan
Alam dan Analisis Perdagangan Merbau. Jayapura: WWF Region Sahul
Papua bekerjasama dengan Universitas Papua.
Turjaman et al. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea
seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J Trop For
Sci 18 (4):243-249.
[UNEP] United Nation Environment Programmes. 2005. Intsia bijuga.
[Terhubung berkala]. http://www.Unep-WCMC.org/tress/trade/int-bij.htm.
[22 Feb. 2005].
Untarto TM. 1998. Merbau Jenis Andalan yang Unggul (AYU) Irian Jaya.
Informasi Teknis Balai Penelitian Kehutanan Manokwari No.5.
Upadhaya K, Pandey HN, Law PS. 2007. The effect of seed mas on germination,
seedling survival and growth in Prunus jenkinsii Hook.f.&Thoms. Turk J.
Bot.31:31-36.
Von Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental
pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult
69:233-249.
49
Wann SR. 1988. Somatic embryogenesis in woody species. Hort. Rev. 10:153181.
Watimena GA et al. 1992 Bioteknologi Tanaman. Bogor: PAU-Bioteknologi IPB.
Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The occurrence and distribution of putative
ectomycorrhizal basidiomycetes in regenerating south-east asian rain
forest. Di dalam: Watling R, Frankland AM, Isaac S, Robinson CH, editor.
Tropical Mycology, Volume I: Macromycetes. New York: CABI
Publishing. Hlm 25-53.
Wong G. 2005. Introduction to fungi. [Terhubung berkala]. http:/www.
botany.hawaii.edu/faculty/wong/Bot201/Myxomycota/intro.html.[20 April
2005].
Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada
melinjo. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Wurzburger N, Bidartondo MI, Bledsoe CS. 2001. Characterization of Pinus
ectomycorrhizas from mixes conifer and pygmy forest using
morphotypying and molecular methods. Can J. Bot. 79:1211-1216.
Download