BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Merebaknya fenomena laki-laki metroseksual adalah tema menarik mengenai gaya hidup. Fenomena ini mengkonfirmasi eksistensi „penampakan luar‟ dan ”kedangkalan” sekaligus menjungkirbalikkan makna konotatif bahwa laki-laki pesolek adalah kurang „macho‟ menurut pandangan-pandangan tradisional tentang maskulinitas. Metroseksual adalah a man who turns himself into a project in the seeming pursuit of the body beautiful (Barber, 2008:455). Gambaran tentang metroseksual adalah sosok laki-laki muda berpenampilan dandy, senang memanjakan diri, sangat peduli terhadap penampilan, senang menjadi pusat perhatian (bahkan menikmatinya), sangat tertarik dengan fashion dan berani menampilkan sisi feminin. Mereka diidentifikasi memiliki sifat narsisistik, jatuh cinta terhadap diri sendiri dan bergaya hidup urban. Mereka cenderung merasa senang jika orang lain bisa membicarakan hal-hal yang baik tentang dirinya. Para peneliti tertarik pada fenomena David Beckham, bintang sepakbola Inggris yang sering berekperimen diri di depan publik. Sadar memiliki posisi sebagai pusat perhatian publik, Beckham tak segan mengecat kuku-kuku jari, berganti-ganti gaya rambut bahkan menggunakan celana dalam istrinya dan berpose bugil di sebuah majalah khusus gay. Beckham selama beberapa tahun lalu 1 2 telah menjadi maskot penampilan laki-laki. Padahal dulu tidak ada euphoria lakilaki rajin berbelanja parfum, mengunjungi salon-salon kecantikan, membaca majalah-majalah mode, mengkonsumsi produk-produk kosmetika dan fashion. Perilaku-perilaku tersebut sebelumnya identik dengan konsumsi perempuan saja. Sepanjang Euro 2004 di Portugal perhatian pasar laki-laki berpindah dari Hollywood ke lapangan sepakbola (Coad, 2005: 124). Bersamaan dengan penyelenggaraan Euro 2004 Beckham menandatangani kontrak sponsorship tiga tahun dengan Gillette dimana dia menjadi bintang iklan di Eropa dan Amerika Serikat, juga turut dalam kampanye promosi Gillete. Selain itu, Beckham juga menjadi model D&G, Michiko Koshino, Theo Fennell, Richard James, Rokit, Tom Ford (YSL dan Gucci), H. Samuel, Lock & Co., James Bootmaker dan Calvin Klein. Pemain sepakbola yang fashionable dan diskusi tentang gender dan identitas seksual adalah wujud nyata peristiwa metroseksual (Coad, 2005: 126). Erving Goffman (1959) dalam The Presentation of Self in Everyday Life mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal sebagai pendekatan dramaturgi (Chaney, 2009:15). Individu bertindak seolah-olah di atas sebuah panggung. Bagi Goffman, berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari. Chaney mengatakan bahwa cara-cara mengatur bentuk-bentuk identitas akan menjadi semakin sentral sebagai cara-cara menggambarkan pembedaan-pembedaan di antara gaya-gaya hidup. Ide pengaturan bentuk identitas ini menerjemahkan pengaturan dan pendisiplinan tubuh seseorang sebagai sarana kedirian (the vehicle 3 of self-hood) sehingga manajemen tubuh menjadi hal utama dalam gaya hidup. Penampilan kelompok metroseksual yang rapi dan wangi merupakan bentuk manajemen tubuh ini. Manajemen tubuh ini merupakan bentuk proses aestheticization (estetisisasi). Fenomena metroseksual dapat dipandang sebagai suatu konteks dari estetisisasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu ciri-ciri modernitas. Salah satu hal penting pada masyarakat kontemporer adalah fakta bahwa kemungkinan menjadikan tubuh/diri sebagai sebuah proyek saat ini terbuka bagi khalayak massa, tidak lagi menjadi tujuan kelompok bangsawan elite atau budaya borjuis. Turner (dalam Chaney, 2009:191) memberi istilah proyek terhadap tubuh/diri. Ini merupakan proyek estetisisasi tubuh laki-laki. Perkembangan kontemporer terkait merebaknya estetisisasi tubuh laki-laki ini mengundang pertanyaan besar tentang bagaimana hal ini bisa terjadi. Diperlukan analisis mendalam tentang fenomena perkembangan estetisisasi tubuh laki-laki yang semakin massif. Beberapa perspektif tentang estetisisasi tubuh laki-laki akan digunakan sebagai pisau analisis terhadap fenomena tersebut. Bagi Jameson (1984), dalam era kapitalisme lanjut terjadi ledakan kebudayaan di segala aspek kehidupan yang diistilahkan sebagai cultural dominance. Konsep modern mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam ruang-ruang sosial (ruang ekonomi, budaya, politik) telah runtuh: ruang budaya menjadi ruang ekonomi, sedangkan ruang ekonomi dan politik berubah menjadi bentuk-bentuk kebudayaan. Batasan-batasan produksi budaya era sebelumnya, yaitu batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular 4 culture) ditiadakan sehingga estetika posmodern bersifat lebih populis. Dalam pandangan Jameson (dalam Ritzer & Goodman, 2009: 672) , cultural dominance dalam era posmodern ini terjadi karena hampir semua produksi estetis telah terintegrasi ke dalam produksi komoditas pada umumnya. Hasilnya adalah gelombang baru produksi massal barang-barang yang senantiasa terkesan baru karena banyak dilakukan inovasi dan eksperimentasi estetis. Strategi baru kapitalisme berusaha mengaburkan konsep temporalitas sejarah dan mengangkat konsep spasial. “Kita telah bergeser dari dunia yang didefinisikan secara temporal menuju ke dunia yang didefinisikan secara spasial” (Jameson via Ritzer & Goodman, 2009: 676). Manusia disibukkan dengan masa kini tanpa memikirkan masa depan serta masa lalu. Manusia hidup dalam dunia citra dan pastiche, yaitu meniru masa lalu tanpa motif apapun. Evolusi kapitalisme telah menciptakan masyarakat konsumtif. Masyarakat konsumen posmodern, menurut Jameson, telah kehilangan kemampuan untuk memposisikan diri di dalam hyperspace dan memetakannya secara kognitif. Ciri khas masyarakat baru ini adalah masyarakat yang tidak memiliki kepribadian yang utuh dan hidup dalam dunia yang tidak real. Budaya ini ditandai dengan budaya euforia yang dangkal. Masyarakat larut dalam godaan budaya pop dan tenggelam dalam perayaan gaya hidup secara semu yang diciptakan logika kapitalisme lanjut dan didukung perkembangan teknologi. Hal ini relevan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer terutama laki-laki dewasa awal seperti para eksekutif muda yang lebih banyak menghabiskan waktu di diskotik, pusat hiburan, berbelanja di mal atau pergi ke salon dan tempat fitness. Aktivitas-aktivitas para 5 laki-laki tersebut dapat dibaca sebagai: melakukan estetisisasi tubuh dan menampilkan hasil estetisisasi. Estetisisasi tubuh laki-laki terkait erat dengan transformasi makna maskulinitas. Pada era akhir abad ke-20 bintang-bintang seperti Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger dan Jean-Claude Van Damme menjadi idola laki-laki. Bintang-bintang tersebut dapat diasosiasikan dengan citra maskulin yang kuat, perkasa dan berotot. Namun era tersebut telah digantikan dengan citra maskulin yang lain seperti contoh David Beckham. Mazhab orientasi kultur berargumen bahwa pembentukan sikap maskulin dan feminin bukan oleh perbedaan biologis tetapi sosialisasi dan kulturasi. Sifat maskulin ataupun feminin dikonstruksikan oleh budaya melalui proses sosialisasi (nurture). Pada maskulinitas tradisional estetisisasi tubuh diasosiasikan sebagai area domestik perempuan. Sosialisasi dan kulturasi secara massif yang mendorong fenomena estetisisasi tubuh laki-laki baru terjadi pada awal abad ke-21. Sehingga wajar bila studi tentang maskulinitas sangat jarang mengeksplorasi estetisisasi tubuh lakilaki. Fenomena ini menjadi menarik diobservasi karena mengindikasikan adanya transformasi dari makna konservatif maskulin. Perilaku yang tadinya dipandang sebagai feminin tidak lagi dihindari oleh laki-laki. Dari kondisi awal laki-laki relatif malu melakukan, sekarang pada sebagian masyarakat malah menjadi tuntutan bagi laki-laki untuk melakukan. Bahkan tidak sedikit laki-laki melakukan estetisisasi tubuhnya secara maksimal seperti pada konteks fenomena laki-laki metroseksual. Revolusi makna maskulinitas ini tentu ada penyebabnya. Menarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan transformasi makna maskulinitas 6 sekaligus estetisisasi tubuh laki-laki dalam masyarakat kontemporer, yang merupakan konsekuensi logis dari kapitalisme lanjut. Penyokong utama gaya hidup adalah kelas menengah. Penggunaan barangbarang konsumen yang menonjol oleh kelas menengah berperan dalam pergeseran masyarakat fordisme menuju post-fordisme. Lahirlah kelas menengah baru, sebuah kelas yang ditemukan dalam pekerjaan-pekerjaan dan jasa kerah putih yang peduli terhadap produksi barang-barang dan jasa-jasa simbolis (Lury, 1998:132). Mereka memiliki komitmen kuat terhadap transformasi gaya hidup. Sehingga kemudian meniadakan perbedaan-perbedaan antara budaya tinggi dan pop, lama dan baru, alamiah dan buatan. Menurut Raymond Williams (dalam Lury, 1998: 141), kelas menengah inilah yang pertama mengalami kekuatan mobile privatization (reorganisasi kehidupan domestik melalui televisi dan bentuk konsumsi lain) yang menawarkan akses tak terbatas pada ruang dan waktu. Televisi dan media sosial berperan sebagai sebuah pendidikan alternatif bagi generasi ini. Menurut Featherstone (dalam Lury, 1998: 142) media dan institusiinstitusi pendidikan tinggi yang relatif demokratis melatih kelas menengah baru untuk mengenal cara-cara penciptaan makna yang mendorong perkembangan gaya hidup dan mempercepat pergeseran menuju masyarakat post-fordisme. Identitas kelas yang menonjol pada kelas menengah ini dikembangkan dan dipromosikan melalui pengadopsian gaya hidup kelas tinggi (Lury, 1998:136). Dandy-isme yang dipelopori Brummel, seorang teman bangsawan (kelas atas) Inggris pada abad ke-18 merupakan pelopor dari tren yang lebih umum budaya kelas menengah (Chaney, 2009: 239). 7 Adapun kelas bawah memiliki keterbatasan dalam mengikuti perkembangan gaya hidup dan berpartisipasi pada budaya konsumen. Kemiskinan membatasi kemampuan memilih, sehingga merupakan indeks fundamental kemampuan berpartisipasi dalam konsumsi (Lury, 1998:7). Namun demikian, pada kenyataannya terdapat indikasi bahwa kelas bawah pun ikut ambil bagian dalam perilaku estetisisasi. Hal ini dengan mudah dapat ditemukan di pusat perbelanjaan maupun perkantoran di Indonesia dimana laki-laki petugas kebersihan atau pelayan toko pun terlihat sangat memperhatikan penampilan rambut, misalnya. Keberadaan produk-produk tiruan atau produk dengan harga terjangkau memungkinkan terjadinya partisipasi kelas bawah dalam konsumsi. Tidak hanya di Indonesia, dalam observasi lapangan di beberapa kota besar di negara lain, peneliti juga menjumpai praktik estetisisasi di kalangan pekerja lapis bawah, misalnya seorang penjual tiket/pramuniaga paket wisata di Roma dan seorang pelayan rumah makan di Singapura. Gambar 1. Penampilan Pekerja Lapis Bawah di Negara Lain Pramuniaga Ticket di Roma: Pelayan Restaurant di Singapura: Sumber : Doc Pribadi 8 Seperti dijumpai oleh peneliti, pramuniaga tersebut mengekspresikan identitas penampilannya melalui gaya rambut dan aksesori anting di telinga kiri. Sedangkan pelayan restoran berpenampilan berbeda dengan gaya rambut yang mencolok. Fakta lapangan di kota-kota Indonesia dan negara lain tersebut memperkuat alasan mengapa estetisisasi tubuh laki-laki kelas bawah perlu mendapat perhatian penelitian. Merebaknya fenomena estetisisasi tubuh laki-laki hingga menjangkau kelas bawah ini menarik untuk dikaji. Fenomena estetisisasi semakin mudah dijumpai di perkotaan termasuk Yogyakarta. Hal ini wajar karena kemudahan akses terhadap produk-produk pendukung gaya hidup tersebut. Keberadaan minimarket waralaba, mal, salonsalon dan spa khusus laki-laki, distribusi majalah-majalah khusus laki-laki, dan tuntutan untuk tampil rapi dan wangi disertai kepemilikan daya beli yang tinggi identik dengan kehidupan metropolis di kota. Pada awalnya penelitian pendahuluan telah mulai dilakukan sejak tahun 2010 dengan melibatkan 12 informan dari 4 kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Jakarta, Bandung dan Denpasar. Dari masing-masing kota tersebut dilakukan indepth interview terhadap masing-masing 3 informan berasal dari kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Pemilihan komposisi informan tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi pendahuluan menyeluruh yang menggambarkani kelas-kelas dan latar belakang budaya dalam masyarakat. Penelitian pendahuluan ini antara lain mengindikasikan sedikitnya pengaruh faktor perbedaan latar belakang budaya yang melatarbelakangi praktik estetisisasi tubuh laki-laki di kota-kota besar di Indonesia. Estetisisasi tersebut cenderung tidak terkait dengan sejarah penampilan 9 laki-laki Jawa, Sunda ataupun Bali di masa lalu. Oleh karena itu kemudian penelitian difokuskan di kota Yogyakarta yang merupakan kota dengan banyak pendatang dari beragam latar belakang budaya. Adapun dalam perkembangannya peneliti lebih memilih untuk menggali lebih dalam fenomena estetisisasi tubuh laki-laki tersebut pada kelas bawah. Meskipun memiliki sisi-sisi menarik tersendiri, fenomena pada kelas atas dan kelas menengah lebih mudah dipahami mengingat kelas tersebut merupakan penyokong utama gaya hidup. Fenomena estetisisasi pada kelas bawah lebih menarik karena praktik tersebut dilakukan dalam kondisi keterbatasan ekonomi. Praktik dalam kondisi keterbatasan ini menunjukkan kesungguhan pelakunya sehingga menarik untuk dieksplorasi proses konstruksinya. Secara khusus dipilih pekerja lapis bawah dari perusahaan swasta di Yogyakarta sebagai representasi kelas bawah yang dimaksud. Pekerja lapis bawah dipilih mengacu pada struktur perusahaan dimana pekerja tersebut berada pada lapisan terbawah. Ini penting untuk menghindari kesalahan pemilihan informan apabila mengacu pada konsepsi kelas. Di kalangan pekerja lapis bawah perusahaan itu fenomena estetisisasi terkesan lebih mudah dijumpai dibandingkan pada kelas bawah lainnya. Di lingkungan pekerja lapis bawah perusahaan dimungkinkan terdapat kepentingan banyak pihak, termasuk perusahaan berkelindan mengkonstruksi praktik estetisisasi ini sebagai konsekuensi interaksi sehari-hari pekerja. Jenis pekerjaan para pekerja lapis bawah yang dimaksud itu antara lain: office boy, satpam, sopir dan pramuniaga toko. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak menuntut keahlian yang rumit, sehinga tidak menuntut tingkat 10 pendidikan yang tinggi. Fenomena estetisisasi tersebut didekati dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan fenomenologi atas hasil wawancara terhadap para informan. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah mengenai perubahan penampilan laki- laki seperti diuraikan di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah : ”Bagaimana proses estetisisasi tubuh laki-laki terjadi, wacana-wacana apa yang membentuknya demikian?” Estetisisasi tubuh di sini sebagai salah satu bagian dari estetisisasi kehidupan sehari-hari yang merupakan wujud dari modernitas. Untuk mengkaji makna, proses konstruksi dan kepentingan-kepentingan di balik fenomena tersebut disusun pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana estesisasi tubuh laki-laki dipraktikkan di kalangan pekerja di Yogyakarta? Mengapa mereka melakukan hal ini? Bagaimana praktik estetisisasi tubuh itu terkait dengan pekerjaan/karir mereka? Bagaimana mereka memandang praktik itu sebagai kapital dalam arena pekerjaan dan pergaulan? 2. Wacana-wacana apa yang membentuk praktik-praktik estetisisasi itu? Bagaimana mereka menegosiasikan wacana-wacana tersebut? 11 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis secara komprehensif konstruksi proses dan bentuk-bentuk estetisisasi tubuh laki-laki di kalangan pekerja kelas bawah di Yogyakarta dan apa maknanya. 2. Mengetahui bagaimana peran individu dalam menentukan pilihan tersebut dan wacana-wacana apa yang membentuk praktik itu. 3. Mengetahui lebih jauh bagaimana praktik-praktik estetisisasi tubuh berpengaruh terhadap eksistensi pekerja baik di lingkungan kerja maupun pergaulan sehari-harinya. 1.4. Manfaat Penelitian Selain manfaat yang akan diperoleh atas terjawabnya tujuan-tujuan penelitian, penelitian ini juga akan bermanfaat untuk : 1. Memperkaya kajian dan penelitian tentang gaya hidup kontemporer 2. Meningkatkan kesadaran kritis laki-laki sebagai konsumen dan pelaku gaya hidup 3. Menegaskan bahwa selera-selera termasuk untuk tampil estetis bukanlah monopoli kelas menengah-atas 4. Menjadi acuan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk memahami gaya hidup laki-laki. 12 1.5. Tinjauan Pustaka Sebagai pijakan bagi penelitian estetisisasi tubuh laki-laki kelas bawah, tinjauan pustaka difokuskan pada penelitian-penelitian tentang gaya hidup kelas bawah , maskulinitas dan praktik estetisisasi tubuh laki-laki Studi tentang gaya hidup kelas bawah cenderung dikaitkan dengan keterbatasan ekonomi dalam praktik gaya hidup. Penelitian Puspitasari (2012) dan penelitian Wati (2012) memperlihatkan bahwa lifestyling menjadi suatu strategi untuk mensiasati keterbatasan ekonomi tersebut. Konsep lifestyling dipinjam dari Solvay Gerke (2000) dipahami sebagai perilaku yang ingin mempertunjukkan suatu gaya hidup tertentu, tanpa didukung oleh kemampuan ekonomi yang merupakan dasar konsumsi sesungguhnya. Namun penelitian yang dilakukan Puspitasari (2012) masih terbatas pada komunitas tertentu (klub fitness) dan meneliti praktik estetisisasi dengan perspektif maskulinitas tradisional. Sedangkan penelitian Wati (2012) meneliti praktik estetisisasi pada perempuan kelas bawah. Kedua penelitian tersebut masih melihat lifestyling sebagai penggerak praktik estetisisasi kelas bawah dan belum meneliti lebih jauh hal-hal lain yang turut menjadi agen konstruksi estetisisasi. Studi-studi tentang maskulinitas secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penelitian menggunakan perspektif maskulinitas tradisional (Lilleas, 2007; Mellstrom, 2004; Elliot & Elliot, 2005; Rohlinger, 2002) dan penelitian menggunakan perspektif maskulinitas baru (Clarkson, 2005; Lewis, 2007; Papacharissi & Fernback, 2008; Wibowo , 2006; Deddy Suprapto, 2010; Zahida, 2012). Dalam perspektif maskulinitas tradisional, laki-laki antara lain 13 lebih berorientasi keluar dari dirinya bukan terhadap perasaannya, mereka keras, takut akan keintiman dan rasional (Schmale dalam Hekma, 2005: 328). Pada dekade terakhir ini, penelitian-penelitian tentang maskulinitas dengan perspektif maskulinitas baru seperti metroseksual dan new man telah banyak dilakukan (Clarkson, 2005; Lewis, 2007; Papacharissi & Fernback, 2008; Wibowo, 2006; Deddy Suprapto, 2010; Zahida, 2012). Penelitian-penelitian tersebut lebih menonjolkan sisi program televisi sebagai agen perubahan dan popularitas metroseksual. Penelitian tidak dilanjutkan dengan bagaimana subyek pelaku metroseksual merespons lebih lanjut perubahan tersebut, bagaimana subyek menjalani gaya hidup metroseksual dan bagaimana audiens merespons acara tersebut. Penelitian-penelitian tersebut baru merupakan analisis wacana yang perlu dilengkapi penelitian lapangan untuk mengetahui konstruksi gaya hidup metroseksual secara lebih komprehensif. Penelitian tentang praktik keseharian metroseksual atau yang mendekati itu sudah mulai dilakukan meskipun masih relatif jarang (Gill ; Barber 2008). Namun kajian penelitian menyangkut estetisisasi tubuh laki-laki tersebut kurang menyeluruh dan belum ada penelitian yang khusus memperhatikan estetisisasi tubuh laki-laki di kalangan pekerja kelas bawah. Penelitian tentang representasi tubuh laki-laki di media (Elliot & Elliot, 2005; Rohlinger, 2002) tidak menyentuh hingga praktik keseharian dan hanya berfokus pada kajian media. Citra ideal laki-laki yang direpresentasikan dalam majalah menjadi kajian penelitian Elliot (2005). Di majalah-majalah gaya hidup, laki-laki ditampilkan dengan lekuk-lekuk tubuh dan berotot. Laki-laki kurus dan 14 tidak berotot jarang tampil. Kalaupun ditampilkan menjadi bahan olok-olok. Sama seperti pada perempuan, tubuh laki-laki mengalami eksploitasi dan obyektifikasi. Penampilan laki-laki di majalah yang menonjolkan lekuk-lekuk otot bagian tubuhnya itu menunjukkan laki-laki sebagai obyek seks (Kimmel & TissierDesbordes via Elliot 2005). Dalam kajian khalayak terhadap iklan-iklan yang menampilkan laki-laki setengah telanjang, Elliot menemukan adanya homophobia terhadap gambar tampilan laki-laki feminin dan menunjukkan sisi seksualitasnya. Mereka berpendapat iklan tersebut tidak ditujukan untuk pria. Penelitian sejenis dilakukan oleh Rohlinger (2002) dalam “Eroticizing Men: Cultural Influences on Advertising & Male Objectification”. Rohlinger berusaha melakukan analisa lebih mendalam dengan mengungkap bagaimana perubahan nilai-nilai gender di Amerika berpengaruh terhadap pencitraan lakilaki dalam iklan. Analisis dilakukan terhadap iklan di lima majalah gaya hidup tahun 1987 s.d. 1992. Majalah tersebut memiliki target usia 18-49 tahun. Hasilnya terlihat gambar-gambar laki-laki erotis sangat menonjol dalam iklan. Temuan bahwa menonjolnya laki-laki erotis di iklan itu merefleksikan hasrat untuk mematahkan definisi seksualitas yang sangat sempit. Gerakan pembebasan gay menentang definisi seksualitas tradisional dan mendorong selebrasi tubuh. Terdapat paradoks bahwa menonjolnya gambar laki-laki tersebut dapat diartikan bahwa gerakan pembebasan gay mulai berpengaruh, namun para pembuat iklan tidak terlalu peduli terhadap adanya gerakan tersebut. Fokus mereka hanyalah bagaimana bias menjual produk kepada target konsumen. Ini dapat diartikan 15 bahwa gerakan pembebasan gay mengalami komodifikasi sama seperti halnya gerakan feminism. Dalam studi Lilleas (2007) terhadap 16 olahragawan, pendapat tentang tubuh ideal adalah slim dan terlatih baik dengan otot-otot yang kuat. Berlatih adalah suatu hal penting bagi mereka dan aktivitas fisik tersebut merupakan suatu cara untuk mengendalikan perasaan-perasaan. Pada saat mereka berkumpul, mereka menutupi perasaan yang memalukan dengan bercanda. Lebih mudah bagi mereka untuk menyampaikan persoalan pribadi kepada perempuan daripada lakilaki. Mereka takut dianggap kurang laki-laki. Melalui penelitian cross-cultural terhadap dua kelompok teknisi mesin Malaysia dan insinyur di Swedia, Mellstrom (2004) menjumpai bahwa laki-laki yang bekerja dekat dengan mesin terutama mesin kendaraan merasa sangat cocok dengan pekerjaannya. Mesin adalah obyek minat laki-laki karena mereka sering bersimbiosis dengannya. Mesin adalah kunci bagi identitas mereka. Sebuah acara televisi Amerika pada tahun 2003 dapat dikatakan merupakan momentum bagi penelitian-penelitian tentang maskulinitas dengan perspektif berbeda. Queer Eye For The Straight Guy (selanjutnya disingkat Queer Eye) adalah sebuah acara televisi dimana lima orang laki-laki homoseksual mendandani satu orang laki-laki heteroseksual yang kemudian disebut sebagai metroseksual setelah didandani. Sejak acara tersebut terkenal istilah metroseksual kemudian menjadi buzzword yang dibicarakan di mana-mana. Acara Queer Eye menjadi kajian menarik oleh beberapa peneliti (misalnya: Clarkson, 2005; Lewis, 2007; Papacharissi & Fernback, 2008). Dalam Queer Eye atribut-atribut 16 maskulinitas tradisional mengalami perubahan yang disponsori kapitalisme. Penelitian tentang maskulinitas secara umum berpendapat bahwa hegemoni maskulinitas tradisional dapat ditandai dengan lima cara: (1) kontrol dan kekuatan fisik (2) pencapaian pekerjaan (3) sistem kekeluargaan patriarki (4) kefrontieran/penonjolan diri (5) heteroseksualitas (Trujillo via Clarkson 2005: 239). Kekuatan fisik diganti oleh kesempurnaan penampilan tubuh yang dibentuk dengan tujuan untuk dilihat oleh perempuan dan gay. Pencapaian pekerjaan tidak dihilangkan namun dibuat lebih berarti dengan cara menonjolkan penampilan dengan cita rasa kelas tinggi yang menuntut biaya lebih. Sifat patriarki diharapkan berubah menjadi lebih perhatian dan memahami pasangan perempuannya secara sejajar. Frontiermanship diganti menjadi kemampuan bagaimana membawa diri sebagai warga kelas atas di kota-kota metropolis. Heteroseksualitas sedikit memperoleh tambahan agar tidak homophobia, laki-laki heteroseksual harus menjadi nyaman terhadap homoseksualitas tanpa meragukan heteroseksualitasnya kecuali sekedar bercanda saja. (Clarkson, 2005: 239-241). Penelitian tersebut lebih menonjolkan sisi program televisi sebagai agen perubahan dan popularitas metroseksual. Penelitian tidak dilanjutkan dengan bagaimana subyek pelaku metroseksual merespons lebih lanjut perubahan tersebut, bagaimana subyek menjalani gaya hidup metroseksual dan bagaimana audien merespons acara itu. Wibowo (2006) melakukan analisis tentang munculnya fenomena metroseksual. Secara historis dibahas mulai dari kemunculan istilah metroseksual pertama kali oleh Mark Simpson, iklan Calvin Klein pemicu kelahiran fenomena tersebut, fenomena David Beckham yang membumikan istilah dan menjadi 17 contoh laki-laki metroseksual, program acara televisi Queer Eye di Amerika pemicu popularitas istilah, sampai pergeseran makna istilah metroseksual. Tulisan tersebut baru merupakan analisis wacana yang perlu dilengkapi penelitian lapangan untuk mengkonstruksi gaya hidup metroseksual secara lebih komprehensif. Penelitian yang juga mulai menyinggung permasalahan metroseksual dilakukan oleh Suprapto (2010) dengan melakukan analisis terhadap iklan-iklan rokok Gudang Garam di televisi. Penelitian terutama difokuskan pada citra penampilan pria yang menjadi bintang iklan. Terdapat empat thematic iklan yang diteliti, yaitu: Survivor, Capoera, The Plane & The Bag. Iklan tersebut ditayangkan antara tahun 2006 s.d. 2010. Periode ini sangat krusial bila ditinjau dari perspektif merebaknya fenomena metroseksual yang kemudian ternyata nampak pula representasinya dalam dinamika iklan tersebut. Pada iklan Survivor nuansa maskulinitas tradisional masih kentara melalui profil pria bertubuh besar dan kekar serta berkepribadian keras. Kemudian pada iklan Capoera, citra maskulin relatif sama dengan iklan sebelumnya, namun ditampilkan laki-laki dengan tubuh tidak sebesar sebelumnya. Selanjutnya iklan The Plane menampilkan figure laki-laki metroseksual dengan kepribadian lebih feminin. Sedangkan di iklan The Bag laki-laki metroseksual kembali ditampilkan namun memiliki karakter pribadi sama seperti pada iklan Survivor dan Capoera. Disimpulkan bahwa ada pergeseran bentuk-bentuk maskulinitas hegemonik dari macho ke metroseksual, yang dipengaruhi oleh kapitalisme dan konsumerisme. Perubahan tersebut ternyata hanya pada tampilan fisiknya saja, tetapi esensinya 18 tidak berubah karena masih adanya dominasi budaya patriarki dalam masyarakat. Ditemukan pula bahwa bentuk maskulinitas dominan di Indonesia cenderung memenuhi tiga unsur: mapan, matang dan menarik. Zahida (2012) melakukan penelitian berjudul Representasi Maskulinitas New Man Boyband Indonesia dalam Video Musik. Pada penelitian tersebut digunakan istilah Maskulinitas New Man yang merupakan istilah ciptaan para teoritis dalam memotret jenis maskulinitas yang terfeminisasi. Dari penelitian terhadap video musik penampilan tiga Boyband terkenal Indonesia itu disimpulkan adanya multiplisitas maskulinitas dimana penampilan boyband merepresentasikan wacana maskulinitas dalam wacana yang tidak identik. Namun ketiganya dihubungkan oleh aspek perlakuan khusus terhadap tubuh agar memenuhi definisi ketampanan standard modern melalui fashion dan proses pembentukan tubuh. Menurut Barber hanya sedikit peneliti telah menggali pemaknaan dari partisipasi laki-laki dalam kultur kecantikan (Barber, 2008: 456). Oleh karenanya dia melakukan penelitian tentang perilaku laki-laki yang berkunjung ke salon di California Laki-laki heteroseksual di salon rambut adalah suatu anomali karena melewati batas gender dengan memasuki ruang perempuan dan berpartisipasi dalam praktik kecantikan yang secara tradisional diasosiasikan dengan perempuan. Melalui studi kasus pada salon di pinggiran California tentang latar belakang motivasi para pelanggan laki-laki, disimpulkan bahwa terdapat tiga hal mengapa laki-laki ke salon: (1) karena mereka menikmati salon sebagai tempat mengisi waktu luang, kemewahan dan memanjakan diri (2) untuk hubungan 19 pribadi yang mereka rasakan dengan penata rambut perempuan (3) untuk memperoleh gaya potongan rambut yang mereka sesuai dengan estetis kelas profesional kulit putih (Barber, 2008: 464). Penelitian dengan perspektif maskulinitas baru lainnya yang juga meneliti sampai ke praktik sehari-hari dilakukan oleh Rosalind Gill dalam “Rethinking Masculinity: Men and Their Bodies”. Gill meneliti pandangan 140 pria muda di Inggris berusia 15-35. Mereka berasal dari kota maupun desa, dengan kombinasi latar belakang ras, etnisitas, orientasi seksual berbeda-beda. Gill berusaha menjawab permasalahan apakah maskulinitas sedang mengalami krisis setelah melihat fenomena laki-laki yang disibukkan dengan masalah tubuh dan penampilan yang sebelumnya identik dengan urusan perempuan. Permasalahan tersebut dijawab dengan dua bagian penelitian. Bagian pertama adalah tentang pandangan terhadap tubuh dan praktik-praktik terhadap tubuh. Benarkah mereka menggunakan tubuh untuk menunjukkan dirinya, seperti anggapan yang ada sekarang ini bahwa laki-laki yang berlebihan memperhatikan tubuhnya sendiri adalah karena tidak eksis di pekerjaan? Bagian kedua menggali respons tentang citra laki-laki ideal (sekaligus erotis) seperti yang dicitrakan majalah. Dari wawancara dan focus group discussion yang dilakukan Gill menemukan bahwa laki-laki memperhatikan penampilan untuk menunjukkan perbedaan dari laki-laki lainnya. Mungkin ada orang yang tidak mau menggunakan barang bermerek karena semua orang menggunakannya. Sebaliknya ada juga orang yang menyatakan hanya akan membeli brand karena ingin sepenuhnya berbeda. Kedua pernyataan tersebut bertentangan, namun menggarisbawahi motif psikologi yang 20 sama. Tubuh digunakan untuk mengekspresikan perbedaan. Selain itu ternyata penelitian membuktikan bahwa mereka tidak sedang dalam krisis seperti anggapan kalangan media dan akademisi sebelumnya. Dari studi pustaka yang telah dilakukan ini, terlihat bahwa fokus penelitian tentang gaya hidup estetisisasi laki-laki kelas bawah dengan perspektif maskulinitas baru memang sulit ditemukan. Penelitian tentang lifestyling pekerja kelas bawah yang ada (Puspitasari, 2012) masih menggunakan perspektif maskulinitas “kekar dan berotot”. Apa yang dihasilkan dari penelitian tersebut juga masih belum terbuka terhadap kemungkinan bila laki-laki memperhatikan penampilannya karena adanya regulasi dan tuntutan dari pihak luar seperti perusahaan. Penelitian yang sedikit bersinggungan dengan kemungkinan selain lifestyling tersebut dilakukan oleh Wati (2012) namun subyek penelitian adalah perempuan. Fenomena laki-laki yang semakin memperhatikan penampilan telah semakin berkembang dalam satu dekade terakhir, sejalan dengan fenomena David Becham pada sepak bola Piala Dunia 2002 dan Piala Eropa 2004. Namun apa yang menjadi catatan Barber (2008) bahwa hanya sedikit peneliti telah menggali pemaknaan dari partisipasi laki-laki dalam kultur kecantikan masih relevan terlebih bila laki-laki yang dimaksud adalah laki-laki kelas bawah. Penyebab utamanya adalah paradigma bahwa pelaku-pelaku gaya hidup seolah hanyalah kelas menengah-atas. Kelas menengah adalah pelaku utama transformasi gaya hidup yang kemudian meniadakan perbedaan-perbedaan antara budaya tinggi dan pop, lama dan baru, alamiah dan buatan. Identitas kelas menengah ini 21 dikembangkan dan dipromosikan melalui pengadopsian gaya hidup kelas tinggi (Lury, 1998:136) dengan tren mengikuti apa yang dipelopori dandy-isme (Chaney, 2009: 239). Meneliti tentang fenomena estetisisasi tubuh laki-laki kelas bawah yang juga terindikasi meniru gaya metroseksual, dapat diharapkan membuka pemahaman bahwa kelas bawah punya cara tersendiri dalam mereproduksi gaya hidup. Kuat dugaan bahwa laki-laki kelas bawah melakukan itu bukan sekedar permasalahan identitas, selera dan distingsi seperti halnya apa yang mendasari laki-laki kelas menengah – atas dalam mempraktikkan estetisisasi penampilannya. Dimungkinkan pula bahwa pembentukan kapital simbolis merupakan alasan penggerak mereka. 1.6. Landasan Teori 1.6.1. Habitus dan Gaya Hidup Kondisi struktur masyarakat tertentu sering tidak memungkinkan seseorang untuk mempraktikkan suatu gaya hidup meskipun dia menginginkannya. Praktik estetisisasi tubuh laki-laki mudah dijumpai di kota-kota besar karena struktur masyarakat memungkinkan itu terjadi. Dibutuhkan titik temu antara struktur sosial masyarakat dan individu sebagai bagian dari masyarakat. Titik temu tersebut dapat dijelaskan melalui konsep habitus. Bourdieu (dalam Ritzer & Goodman, 2009 : 578) menekankan konsepnya pada praktik yang dilihatnya sebagai akibat dari hubungan dialektis antara struktur dan agensi. 22 Habitus dihasilkan dan menghasilkan dunia sosial. Di satu sisi habitus ”menstrukturkan struktur”, di sisi lain habitus adalah ”struktur yang terstrukturkan”. Dengan kerangka pemikiran habitus, gaya hidup dipahami sebagai hasil interaksi individu sebagai subyek sekaligus obyek di dalam masyarakat. Konsep habitus menjamin koherensi hubungan konsepsi masyarakat dan pelaku (Haryatmoko, 2010 : 4). Habitus merupakan faktor penjelasan logika berfungsinya masyarakat. Perbedaan gaya hidup dalam masyarakat didasarkan pada keberagaman habitus dalam kelompok-kelompok masyarakat. Gaya hidup dipahami sebagai keseluruhan selera, kepercayaan dan praktik sistematis yang menjadi ciri suatu kelas. Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai suatu sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk yang dimaksudkan agar berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk (Haryatmoko, 2010: 4). Habitus menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktikpraktik serta representasi-representasi yang dapat disesuaikan dengan tujuantujuan meskipun tanpa ada pengarahan tujuan dan cara mencapainya secara sadar. Habitus secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan pada aturan-aturan. Secara kolektif habitus diselaraskan meskipun tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen. Konsep habitus tidak bisa dipisahkan dari konsep arena (champ). Kedua konsep tersebut sangat mendasar karena memiliki hubungan dua arah, yaitu struktur-struktur obyektif (struktur-struktur bidang sosial) dan struktur-struktur yang telah terintegrasi pada pelaku (struktur-struktur habitus). Konsep arena 23 penting karena dalam masyarakat ada pihak yang menguasai dan ada pihak yang dikuasai. Dominasi yang terjadi tergantung pada situasi, sumber daya dan strategi pelaku. Bourdieu memetakan dunia sosial dalam ruang dimana posisi para agen ditentukan dimensi besarnya kepemilikan modal dan dimensi bobot komposisi keseluruhan modal (Haryatmoko, 2010: 6; Bourdieu, 1998: 4-10). Pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapitalkapital dan komposisi kapital tersebut. Konsep kapital meskipun khasanah ilmu ekonomi digunakan Bourdieu karena dipandang mampu menjelaskan hubunganhubungan kekuasaan, yaitu: 1) terakumulasi melalui investasi 2) dapat diberikan/diwariskan 3) dapat memberikan keuntungan sesuai kesempatan pemiliknya untuk mengoperasikan penempatanya (Bonnewitz dalam Haryatmoko, 2010: 6). Kapital ekonomi merupakan sumber daya yang bisa menjadi sarana poduksi dan sarana finansial. Kapital ini paling mudah dikonversikan menjadi kapital-kapital lainnya. Kemudian kapital budaya dapat berbentuk ijazah, pengetahuan, cara berbicara, cara menulis, cara bergaul yang berperan dalam kedudukan sosial. Kapital sosial adalah jaringan hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial. Sedangkan kapital simbolik adalah semua bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional ataupun tidak, seperti: jabatan, mobil mewah, kantor bergengsi, gelar, status terhormat, nama keluarga ternama (Haryatmoko, 2010: 6-7, Bourdieu, 1998: 4-10). Masyarakat dapat dianalogikan sebagai sistem arena, medan atau lapangan yang memiliki berbagai daya yang saling tarik-menarik. Di dalam suatu arena terjadi pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal 24 ataupun tidak memiliki modal. Modal adalah kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam arena. Di dalam arena terjadi proses sosial dimana dengan habitus yang sama kepemilikan modal berpengaruh terhadap eksistensi dan praktik. Hal ini dinyatakan oleh Bourdieu (1984: 95) dengan rumus : (Habitus x Modal) + Arena = Praktik Apa yang terwujud dalam gaya hidup adalah hasil operasi habitus pada arena dengan modal-modal tertentu. Habitus merupakan perlengkapan dari gaya hidup yang ditampilkan dalam ruang sosial. Habitus memetakan individu dalam ruang sosial yang dipenuhi dengan arena. Gaya hidup bersifat kompleks sehingga untuk mengkaji gaya hidup diperlukan pemahaman tentang habitus yang akan mampu menangkap kompleksitasnya. Gaya hidup dapat menjadi cara untuk individu menyesuaikan diri terhadap ruang sosial berdasarkan habitus dan posisinya dalam arena. Berdasarkan pengalaman sendiri dan refleksi terhadap realitas sosial, individu dapat menentukan pilihan-pilihan. Proses ini menghasilkan perubahan pada disposisi/cara pandang individu dan kemudian akan mengubah praktik dan gaya hidup. Suatu pilihan gaya hidup merupakan sebuah opsi yang merupakan perbendaharaan habitus. Ketika habitus tersebut berkelindan dengan kapitalkapital yang dimiliki seseorang dalam menjaga eksistensinya dalam ruang sosial kemudian membentuk gaya hidup. Bagi Bourdieu (1984: 172) gaya hidup dipahami sebagai produk sistematik dari habitus. Gaya hidup dalam skema habitus menjadi sistem tanda yang harus memenuhi persyaratan sosial. Hubungan dialektis antara kondisi dan 25 habitus merupakan sebuah ikatan yang mengubah distribusi modal dan keseimbangan relasi kuasa ke dalam sebuah sistem perbedaan dan kepemilikan khusus. Perbedaan gaya hidup dalam suatu masyarakat merupakan hasil keanekaragaman dari habitus setiap individu. Menurut Richard Jenkins (2002: 82), habitus merupakan sumber praktik-praktik obyektif sekaligus sebuah kumpulan prinsip-prinsip generatif yang subyektif, yang dihasilkan oleh pola-pola obyektif kehidupan sosial. Cara pandang individu terhadap konsumsi sangat menentukan pilihan gaya hidup. Konsumsi merupakan sumber sistem makna bagi pembentukan identitas dan status sosial, juga memberi peluang terciptanya makna sebagai ekspresi diri dan gaya hidup (Featherstone, 2008). Gaya hidup dan identitas seseorang atau sekelompok orang diwujudkan dalam praktik konsumsi. Gaya hidup adalah suatu cara terpola dalam penggunaan, pemahaman, atau penghargaan artefak-artefak budaya material untuk menegosiasikan permainan status dalam konteks sosial (Chaney, 2009 : 91). Gaya hidup berkaitan dengan kompetensi simbolik, yaitu melakukan transformasi nilai guna suatu komoditas menjadi obyek material yang simbolik sesuai dengan konteks penggunaannya dan kompetensi kultural pelakunya (Lee, 1993: 25). Gaya hidup juga dipahami sebagai cara hidup, termasuk kebiasaan, pandangan, dan pola dalam merespons peristiwa-peristiwa hidup. Pemahaman akan gaya hidup membantu memahami perilaku orang, mengapa mereka melakukannya, dan apakah perilaku mereka lakukan bermakna bagi dirinya dan orang lain (Chaney, 2009 : 40). 26 Terminologi gaya hidup terkait erat dengan terminologi konsumsi. Konsumsi merupakan terjemahan dari consumption yang artinya „the act of consuming‟ tindakan untuk mengkonsumsi, yaitu memanfaatkan, menggunakan, atau menikmati sesuatu yang bersifat material maupun non material. Menurut Mary Douglas & Baron Isherwood ( via Rohana, 2003:126) konsumsi merupakan proses sosial, sebagai bagian integral dari sistem sosial yang dipakai untuk bertindak dan menjadi bagian dari kebutuhan sosial untuk berhubungan dengan orang lain melalui perantaraan benda-benda. Menurutnya ada 3 alasan membeli: 1. memenuhi kebutuhan materi 2. untuk memenuhi kebutuhan psikis 3. untuk penampilan (display). Proses berbelanja pada dasarnya memiliki dua sifat. Sifat pertama, yaitu konsumsi berdasarkan kegunaan. Konsumsi ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang merupakan konsumsi barang yang bernilai guna. Konsumsi kegunaan dilakukan dengan maksud agar kebutuhan hidupnya terpenuhi. Kedua, konsumsi simbolik yang dilakukan di luar tujuan pemenuhan kebutuhan hidup. Ini biasanya terkait dengan refreshing atau untuk kesenangan dan untuk menunjukkan prestise seseorang. Kegiatan belanja ini dilakukan bukan karena membutuhkan suatu barang tetapi cenderung rekreasi, menunjukkan status dirinya dengan berbelanja dan menghabiskan waktu luang. Seorang konsumen memiliki kesadaran bahwa satu dari tujuan untuk kelangsungan hidup dan imaji bukan ciptaannya sendiri (Miller via Hatta, 2005:141). Belanja semestinya tidak sekedar dilihat sebagai pembelian atas nilai guna, namun penting untuk melihat konsepsi-makna terhadap sesuatu yang dibeli. Cara analisis ini bisa didekati 27 dengan tiga cara Featherstone (1991), yaitu dengan 1. melihat dominasi nilai simbolik dalam proses konsumsi 2. melihat pergeseran nilai dari etika ke estetika 3. melihat pada sistem acuan, seperti kebudayaan (Tomlinson via Hatta 2005:14) Terdapat beragam proses dan model belanja atas berbagai kebutuhan. Proses tersebut dapat dilakukan dengan datang langsung sampai dengan pesan. Dari pihak pemasar proses ini didukung model pemasaran jarak jauh (telemarketing) maupun direct selling. Cara pembayarannya pun dapat secara langsung ataupun credit card misalnya. Proses belanja dengan sistem saji atau siap pakai ini berimplikasi menegasikan proses pembuatan dan siapa yang membuat atau dikenal sebagai fethisisme komoditas (Marx dalam Lury.1998:61). Dalam masyarakat modern fethisisme komoditas dimanipulasi secara strategis melalui kemasan promosi dan iklan. Adorno (dalam Lury, 1998: 63) mengemukakan bagaimana komoditas muncul dengan nilai guna sekunder begitu dominasi nilai tukar telah diatur untuk menghapus ingatan tentang nilai guna murni benda-benda. Belanja tidak melulu dideterminasi oleh nilai guna dari suatu barang. Konsumen tidak selalu membutuhkan dan menencanakan untuk membeli suatu benda. Terdapat kekuatan ekonomi sangat berpengaruh terhadap partisipasi belanja. Kemiskinan membatasi kemampuan memilih. Dengan demikian hal tersebut merupakan indeks fundamental kemampuan untuk berpartisipasi dalam berbelanja (Lury, 1998:7). Baudrillard menggambarkan masyarakat yang berperilaku konsumtif di jaman ini merupakan hegemoni modernisme sehingga di berbagai tempat bermunculan industri, mal, supermal, supermarket menawarkan produk benda- 28 benda untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Komoditas itu sesungguhnya mengungkapkan gaya hidup masyarakat yang sedang mengkonsumsi produk budaya modern. Barker (2004) menyinggung mengenai masyarakat konsumen. Ia memperkuat argumen/pemikiran Baudrillard bahwa gaya hidup manusia amat digeneralisasikan ketika masyarakat berperilaku konsumtif terhadap budaya dan komoditas modern. Apa yang dikonsumsi masyarakat dewasa ini adalah hasil kebudayaan modern atau globalisasi. Baudrillard berpendapat situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia masa sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi yang sangat mencolok dengan ditandai oleh multiplikasi obyek dan barang-barang material. Konsep manusia yang berkecukupan tidak lagi dikelilingi oleh manusiamanusia lain seperti pada masa lampau, melainkan dikelilingi oleh obyek-obyek. Baudrillard juga menunjukkan bahwa ide mengenai manusia yang memiliki kebutuhan dan harus selalu dipenuhi melalui konsumsi adalah sekedar mitos. Manusia tidak pernah terpuaskan secara aktual, sehingga kebutuhan- kebutuhannya pun tak pernah pula terpuaskan. Dalam pemahaman ini suatu benda konsumsi mengambil makna suatu tanda. Sebagai obyek konsumsi suatu benda tidak lagi mengarah pada fungsi kebutuhan melainkan terlebih pada logika hasrat (a logic of desire). Konsumsi tidak lagi berhubungan dengan kesenangan. Bahkan kesenangan itu menjadi terbatasi dan terinstitusionalisasi sebagai kewajiban, yaitu sebagai bagian dari individu di dalam negara atau konsumen. Dalam arti ini, penanda-penanda nilai ekonomi, misalnya uang telah terpisahkan dari relasi dengan penanda nilai yang real. Atau, uang tidak lagi berakar pada sistem sosial 29 yang bercirikan simulasi dan hiperrealitas. Konsumsi menjadi penting sejauh memenuhi ekspresi makna representasi serupa mimpi. Di sini media massa berperan fundamental bagi representasi-representasi tersebut. Menurut Featherstone (dalam Chaney, 2009: 67) konsumerisme merupakan persoalan yang lebih bersifat sosiologis mengenai hubungan antara penggunaan benda-benda dan cara-cara melukiskan status, dengan fokus mengenai cara-cara yang berbeda ketika orang menggunakan benda-benda untuk menciptakan ikatan ataupun pembedaan sosial. Cara-cara penggunaan tersebut mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup merupakan representasi dan apresiasi dari budaya konsumen masyarakat dewasa ini. Perilaku dan kebiasaan bagi orang yang mengkonsumsi produk-produk budaya modern disebabkan karena benda-benda produk itu mempunyai kehidupan sosial sehingga mempengaruhi manusia untuk mengkonsumsinya (Lury, 1998:25). Chaney dan Featherstone menjelaskan bahwa indikator gaya hidup seseorang muncul ketika mengonsumsi produk-produk kapitalis dengan industri McDonald, KFC di mal atau supermal, industri kosmetik, sepatu, telpon seluler dan sebagainya. Gaya hidup tersebut berawal dari perilaku manusia yang lebih mengutamakan komoditas realistis. Jadi gaya hidup merupakan representasi dan ciri-ciri masyarakat urban yang hidupnya didominasi oleh tuntutan realitas dan kebutuhan hidup modern dimana pilihan-pilihan atas gagasan dan perilaku hidupnya lebih tertarik pada aneka bentuk, cara dan pola komoditas yang menyenangkan. Dominasi tuntutan komoditas modern tersebut merupakan peran dan konstruksi kapitalisme-industri yang begitu hegemonik dan mengglobal sehingga masyarakat modern saat inipun telah dan sedang tergiring 30 untuk diharuskan menciptakan kehuidupan sosial budaya melalui pola hidup budaya konsumtif kapitalisme, yang oleh Baudrillard disebut masyarakat konsumsi kontemporer. 1.6.2. Maskulinitas, Identitas, dan Tubuh Laki-laki Adanya fenomena metroseksual sebagai konteks estetisisasi tubuh lakilaki melatarbelakangi perlunya perhatian lebih pada estetisisasi dalam studi tentang maskulinitas. Fenomena ini merupakan perkembangan baru sebagai bukti adanya transformasi makna maskulinitas saat ini. Maskulinitas berasal dari kata dasar masculine yang dalam kamus Webster‟s New World Dictionary didefinisikan sebagai ”designating of, or belonging to the gender of words denotating or reffering to males, as well as may other words to which no distinction of sex is attributed” (Umar, 2006 : 72). Istilah ini menunjukkan sifat gender dan diartikan memiliki kualitas yang diakui sebagai karakteristik laki-laki seperti kekuatan, keberanian, semangat, jantan dan sebagainya. Studi tentang maskulinitas menginduk pada studi tentang gender dimana istilah ini berkaitan erat dengan istilah jenis kelamin (seks) dan seksualitas, meskipun masing-masing memiliki pengertian berbeda. Seks dilihat sebagai keadaan anatomis dan biologis, yaitu jantan (male) atau betina (female). Gender dan seksualitas, keduanya memiliki basis pada seks, namun basis sosialnya berbeda. Seksualitas berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual. Adapun konsep maskulin atau kelaki-lakian adalah bagian dari gender yang lebih menunjuk pada sifat-sifat yang dimiliki manusia. Sifat keras, agresif, kekuatan 31 secara tradisonal diakui sebagai sifat laki-laki. Sebaliknya sifat kepekaan, kelembutan, kesetiaaan biasanya diidentikkan dengan feminin. Sebenarnya sifatsifat tersebut bisa dimiliki laki-laki maupun perempuan. Apa yang dianggap maskulin dalam suatu budaya, dapat dipandang feminin dalam kaca mata budaya lain. Meskipun terdapat kecenderungan suatu perilaku untuk diasosiasikan dengan sifat maskulin atau feminin, ciri-ciri maskulin atau feminin dapat dikatakan bersifat relatif. Pakar maskulinitas, R.W. Connell memaparkan bahwa maskulinitas merupakan suatu sistem tindakan yang terbentuk oleh relasi gender (Connell, 2005: 23). Konsep maskulinitas bersifat historis, cair dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian maskulinitas tidak mengacu pada ciri-ciri fisik seorang pria. Namun, konsep maskulinitas berkaitan erat dengan relasi kuasa yang berlaku di masyarakat. Kaitan antara berbagai lapisan maskulinitas di masyarakat dijelaskan melalui konsep maskulinitas hegemonik. Dengan mengembangkan konsep hegemoni pada analisis kelas Gramski, Connel (2005: 77) menjelaskan, The concept of ' hegemony' , deriving from Antonio Gramsci's analysis of class relations, refers to the cultural dynamic by which a group claims and sustains a leading position in social life . At any given time, one form of masculinity rather than others is culturally exalted. Hegemonic masculinity can be defined as the configuration of gender practice which embodies the currently accepted answer to the problem of the legitimacy of patriarchy, which guarantees (or is taken to guarantee) the dominant position of men and the subordination of women. Definisi maskulinitas hegemonik bersifat situasional dan terkait dengan konteks sosial masyarakat. Dinamika gender dunia bergerak mengikuti arus utama 32 dominasi budaya Eropa/Amerika sebagai akibat kolonialisme dan imperalisme. Standar-standar maskulin adalah mendominasi, menyukai kekerasan, unggul dalam berbagai cabang olah raga, rasional, tidak emosional, dan sejenisnya. Maskulinitas diukur berdasarkan kekuasaan , kesuksesan, kekayaan dan status. Kajian feminisme antara lain memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kritik diberikan terhadap hegemoni maskulinitas. Ada dua kelompok memberikan respons berbeda terhadap adanya kritik terhadap wacana hegemoni maskulinitas (Umar, 2006: 73). Gerakan yang menentang yaitu ”men movement” yang disebut maskulinisme pada awal 1970-an. Gerakan ini menganggap feminisme sebagai perjuangan sia-sia dan hanya membawa hasil kerusakan hubungan laki-laki dan perempuan. Mereka memandang rendah kaum yang melunturkan identitas maskulin. Sedangkan kelompok pro-feminisme melihat kembali identitas dan perannya. Hal ini diperkuat argumentasi bahwa maskulin-feminin bukanlah perbedaan sifat laki-laki dan perempuan tetapi suatu identitas yang dapat melekat pada keduanya. Sehingga idealnya laki-laki tidak mendominasi tetapi beradaptasi, memahami dan bekerja sama. Ini melahirkan istilah ”new man”. Relasi kuasa yang berlaku dalam masyarakat mengalami perkembangan. Dengan demikian konsep maskulinitas pun mengalami perkembangan dan turut berhadapan dengan konsekuensi modernitas. Lahirnya modernitas mengacu kepada bentuk kehidupan sosial atau organisasi yang muncul pada abad ke-17 di Eropa yang kemudian menancapkan pengaruhnya ke seluruh dunia (Giddens, 2009:1). Dalam modernitas terkandung suatu kontras dengan tradisi. Akibatnya 33 terjadi polarisasi antara kutub kondisi lokal dan global. Tradisi tidak sepenuhnya statis, karena tradisi harus ditemukan ulang oleh generasi baru ketika ia mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya. Rutinitas kehidupan seharihari sama sekali tidak memiliki hubungan intrinsik dengan masa lalu, kecuali bila apa yang telah menjadi kebiasaan secara prinsip dapat dipertahankan menurut sudut pandang pengetahuan yang ada. Tradisi masih berperan, namun peran ini kurang signifikan karena tradisi yang dijustifikasi adalah tradisi dengan pakaian palsu dan mendapatkan identitasnya dari refleksivitas kehidupan modern (Giddens, 2009:49-51). Dengan percepatan globalisasi dalam 50 tahun terakhir, terjadi apa yang disebut sebagai trasformasi keakraban yang meliputi (Giddens, 2009: 163): 1. Suatu relasi intrinsik antara kecenderungan global modernitas dengan peristiwa-peristiwa lokal dalam kehidupan sehari-hari. 2. Konstruksi diri sebagai proyek refleksif, seorang individu harus menemukan identitasnya sendiri di antara sejumlah strategi dan pilihan yang disediakan oleh sistem abstrak. 4. Suatu dorongan kepada aktualisasi diri, yang didasarkan atas kepercayaan dasar, yang dalam konteks personal hanya dapat dilakukan dengan „membuka‟ diri terhadap orang lain 5. Pembentukan ikatan personal dan ikatan erotis sebagai ‟hubungan‟ yang diarahkan oleh mutualitas dari keterbukaan diri 6. Orientasi kepada kepuasan diri, yang bukan hanya satu pertahanan narsistik melawan ancaman dunia luar, namun juga penyesuaian positif 34 sejumlah situasi dimana pengaruh global masuk dalam kehidupan seharihari. Menurut Giddens dunia modern adalah dunia refleksi. Refleksivitas kehidupan modern terdiri dari fakta bahwa berbagai praktik sosial secara konstan ditelaah dan direformasi dari sudut pandang informasi yang masuk tentang praktik yang mereka lakukan, sehingga secara konstitutif mengubah karakter mereka (Giddens, 2009:51). Terjadi transformasi pada identitas diri maupun identitas sosial. Pencarian identitas terjadi sejalan dengan semakin lunturnya komunitas, dimana diri sering dikaitkan. Identitas diri tidak bersifat statis dan tidak diwariskan, melainkan suatu proyek refleksif. Dalam pengertian ini identitas diri adalah sesuatu yang direfleksikan, direnungkan, diubah dan dibentuk. Diri merupakan produk dari proses eksplorasi dan produk perkembangan hubungan sosial. Tubuh merupakan situs penting bagi konsep maskulinitas. Tubuh dan penampilan berhubungan sangat erat dengan identitas diri. Perawatan tubuh dan penampilan dalam budaya konsumen dapat ditekankan pada dua kategori, yaitu tubuh dalam dan tubuh luar (Featherstone, 2008). Tubuh dalam tertuju pada kesehatan dan optimalisasi fungsi tubuh yang membutuhkan perawatan dan perhatian untuk mencegah penyakit, kesalahan pemakaian dan penurunan kualitas tubuh yang mengiringi proses penuaan. Sedangkan tubuh luar mengarah pada penampilan serta gerak dan kontrol tubuh dalam ruang sosial. Hal tersebut termasuk pengaturan dan pengawasan pada tubuh yang jinak dan terdisiplinkan dan dimensi estetika tubuh dimana dalam budaya konsumen „tubuh dalam‟ dan 35 „tubuh luar‟ saling berhubungan sehingga tujuan utama perawatan „tubuh dalam‟ menjadi persyaratan mutu penampilan ‟tubuh luar‟. Identitas diri terkait dengan bagaimana individu menerima dan menampilkan diri. Citra tubuh adalah bagaimana perasaan seseorang tentang tubuhnya dan tindakan-tindakan yang diambil kemudian (Thompson via Reilly et all, 2008: 313). Ini merupakan konstruksi mental tentang tubuh seseorang dan perilakuya secara fisik terhadap tubuh. Konstruksi tersebut terkait bagaimana orang melihat tubuhnya dan apa yang dia kerjakan sebagai hasil. Menurut Thompson ketidakpuasan citra tubuh terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara apa yang dirasakan seseorang tentang tubuhnya dengan tubuh yang ideal (Reilly et all, 2008: 315). Ketidakpuasan pada penampilan tubuh dapat berakibat negatif pada kesehatan mental seseorang seperti rasa harga diri yang rendah dan merasa kurang berarti (Grogan, 2002: 220). Orang kemudian berlomba-lomba memperhatikan tubuh. Tubuh menjadi proyek untuk memenuhi hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra tubuh ideal yaitu muda, sehat, bugar dan menarik. Persepsi tentang tubuh dalam budaya konsumen banyak dipengaruhi oleh perkembangan citra visual iklan. Citra membuat konsumen semakin sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Tubuh laki-laki dan bagian-bagiannya telah berkembang menjadi fokus perhatian di masyarakat Barat. Perkembangan tersebut sejalan dengan pertumbuhan gerakan laki-laki, gerakan kebebasan kaum gay dan peningkatan nilai komersial laki-laki (Martins et al, 2007:634). Di Inggris dan Amerika perubahan perilaku dimana laki-laki lebih memperhatikan citra tubuh terjadi sejak 36 tahun 1980-an (Pope dalam Grogan, 2002: 220). Tubuh laki-laki sering digunakan dalam iklan dimana sebelumnya didominasi tubuh perempuan. ”With all the money modern man has begun to spend on pampering and coiffing himself...we might be forgiven for thinking that traditional masculinity has entirely given away.” (Salzman& O‟Reilly dalam Barber, 2008:455). Kemudian maskulinitas mengalami pergeseran dari makna tradisional sebelumnya. Schmale merangkum sejumlah pendapat sosiolog bahwa aspek-aspek utama maskulinitas tradisional adalah sebagai berikut: laki-laki lebih berorientasi keluar dari dirinya bukan terhadap perasaannya, mereka keras, lebih menginginkan fungsional, kurang refleksi diri, menyukai otonomi, takut akan keintiman, rasional dan memiliki keinginan kuat untuk mengendalikan diri dan orang lain (Hekma, 2005:328). Pergeseran makna maskulinitas ini sejalan dengan tesis mascularization of consumption, yang mulai berkembang pada dekade 1970-an dan 1980-an di negara Barat. Sebelumnya secara tradisional konsumsi dipandang sebagai area feminin. Pemahaman ini berawal dari pandangan pemasar bahwa belanja adalah aktivitas perempuan. Sehingga iklan pun ditujukan untuk perempuan, meskipun laki-laki juga dipandang memiliki minat pada alkohol, rokok, kondom dan terbatas beberapa produk lain (Simpson via Galilee, 2002:35). Kemudian karena pengaruh postmodernisme, perkembangan feminisme, transisi Fordisme ke postFordisme dan pengenalan teknologi-teknologi baru maskularisasi tersebut (Murray & Lee via Galilee, 2002:34). terjadi perubahan 37 Mitos kecantikan dalam budaya konsumerisme menempatkan perempuan dan laki-laki menjadi lepas kendali atas dirinya. Saat ini laki-laki telah menjadi pasar utama produk kosmetik. Ini membuktikan bahwa mitos kecantikan telah mengalami pergeseran tidak hanya menjadikan perempuan sebagai target, namun juga laki-laki dari berbagai usia, berbagai latar belakang ekonomi maupun orientasi seksual dimana lebih dikendalikan oleh kesempatan pasar daripada pengaruh kultural (Wolf, 2002:19) 1.6.3. Estetisisasi Tubuh Laki-laki 1.6.3.1. Proliferasi Nilai Tanda Menjangkau Tubuh Estetisisasi tubuh adalah suatu bentuk pilihan gaya hidup yang ada di tengah masyarakat. Chaney menyampaikan bahwa persoalan gaya hidup adalah persoalan yang kompleks dan memerlukan penjelasan dari berbagai disiplin ilmu. Dari kajian terhadap para pemikir poststrukturalis dan postmodernis dengan membandingkan dan memberi contoh-contoh yang kaya mengenai pergeseran cita rasa dan gaya hidup di Eropa sejak revolusi industri. Sampai abad ke-20 kapitalisme konsumsi telah ikut berperan penting dalam memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen (Chaney, 2009: 14). Kegunaan gaya hidup rumusan Chaney menggambarkan gaya hidup pertama-tama menampilkan pribadi yang mengalami estetisisasi, pribadi yang memiliki seni dan prestise. Gaya hidup yang demikian dalam konteks kehidupan sosial masyarakat adalah untuk 38 menunjukkan, meningkatkan, dan membedakan status dan kelas sosial terhadap orang lain. Konsumsi dianggap memiliki peran penting dalam kebangkitan budaya postmodernisme. Pandangan postnodernisme tentang konsumsi terkait dengan kesadaran bahwa konsumsi tampak lebih signifikan pada nilai tanda (sign-value) atau kualitas-kualitas simbolik daripada nilai guna (use-value). Menurut Featherstone konsumsi secara alami telah memberi identitas yang tidak melulu terbatas bagi kaum muda dan kaum kaya, melainkan secara potensial berdampak pada kehidupan setiap orang. Seseorang dapat menjadi siapapun yang diinginkan sejauh orang tersebut mampu untuk mengkonsumsi. Sehingga terjadi estetisisasi hidup sehari-hari, yaitu proses dimana standar-standar kualitas good style, good taste, good design menjadi dasar tiap aspek dari hidup sehari-hari. Menurut Baudrillard, efek nyata konsumsi kontemporer terlihat pada “the passage from use value to sign value”. Konsumsi berpijak pada suatu dinamika konstruksi sign/imaji dan interpretasinya di luar dorongan kebutuhan. Featherstone (2008) melihat gambaran masyarakat konsumsi dari Baudrillard tersebut ditandai tiga hal: 1. dominasi comodity-sign sebagai pusat kebudayaan dan masyarakatnya. 2. citra kebudayaan konsumen modern meruntuhkan referensi tradisional 3. dalam definisi Featherstone dunia keseharian menawarkan kepada konsumen potensi bagi ruang ekspresi yang menghasilkan “greater aestheticization of reality” komoditas menjadi sarana untuk menampilkan diri dalam suatu gaya hidup. 39 Postmodernisme telah memunculkan berbagai permasalahan estetis. Rorty (1988) berpendapat bahwa kriteria kehidupan yang baik meliputi keinginan untuk memperluas diri sendiri, pencarian selera dan sensasi baru, sampai pencarian berbagai kemungkinan lain lagi. Menurutnya estetisisasi kehidupan terkait dengan keinginan pengembangan diri, keinginan untuk memiliki banyak kemungkinan, untuk selalu belajar dan mengatasi keingintahuan. Hal ini merupakan pencarian pengalaman-pengalaman estetis baru termasuk bahasa baru. The aesthetic aim is not to „see things steadily and see them whole‟ but to see them and ourselves through ever new ‟alternative narratives and alternative vocabularies‟ designed „to produce radical change (Rorty dalam Shusterman, 1988:435). Dengan perubahan radikal tersebut kemudian seseorang dapat menjadikan hidupnya sebagai karya seni. Perspektif estetisisasi kehidupan sehari-hari juga mengacu pada gerak cepat (aliran) penanda-penanda dan imaji-imaji yang memenuhi struktur sepanjang hari dalam masyarakat kontemporer (Featherstone, 2008:161). Hal ini antara lain nampak dalam konsep Baudrillard tentang nilai tanda (sign value) sebuah barang. Menurut Adorno peningkatan dominasi nilai tukar (exchange value) tidak sekedar menghapus nilai manfaat (use value) primer dari bendabenda dan menggantikannya dengan nilai tukar abstrak, tetapi juga membebaskan komoditas untuk mengambil nilai manfaat pengganti/sekunder, yaitu nilai tanda (sign value). 40 Imaji memainkan peran baru dan penting dalam masyarakat konsumen. Menurut Baudrillard arah masyarakat baru dicirikan dengan perbedaan yang kabur antara realitas dan imaji, dan kehidupan sehari-hari mengalami estetisisasi yang merupakan dunia simulasional atau budaya postmodern. Banyaknya informasi melalui televisi dan media lain mengkonfrontasikan orang dengan arus image dan simulasi yang mempesona dan tak pernah berakhir. Beberapa ahli berpendapat akan adanya integrasi lebih progresif antara seni dengan kehidupan sehari-hari. Marcuse mengemukakannya dalam Essay on Liberation. Sedangkan Henry Lefebvre (dalam Featherstone, 2008: 162-163) menyampaikan gagasan tentang revolusi budaya yang juga berujung menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai suatu karya seni. Fenomena estetisisasi pada tubuh perempuan telah mendahului terjadinya fenomena estetisiasi tubuh laki-laki. Fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan tahap perubahan dalam masyarakat yang disebut sebagai ekspansi pasar, yaitu suatu perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan sistem sosial (Abdullah, 2015: 18). Perawatan tubuh bukanlah konsep baru dalam kehidupan perempuan, namun intensitas dan kompleksitasnya menjadi gejala penting sejak akhir 1980-an. Ekspansi pasar telah memperluas pengaruhnya dalam kehidupan perempuan. Tubuh yang sesungguhnya bagian paling pribadi telah digunakan oleh agen-agen kapitalisme sebagai arena untuk pembentukan perilaku. Perempuan di satu sisi menjadi alat dalam proses distribusi produk dan gaya hidup. Perempuan diekploitasi dengan cara menampilkan bagian-bagian menarik tubuhnya untuk membangun imaji yang sesuai dengan produk yang dipasarkan. Di sisi lain 41 perempuan menjadi objek pasar sebagai konsumen utama atau pada akhirnya menjadi saluran bagi masuknya produk-produk baru dan gaya hidup modern. Bagi perempuan tubuh menjadi alat untuk melakukan identifikasi sosial sehingga perawatan tubuh adalah cara untuk memperbaiki posisi yang didambakan dalam masyarakat. Materi dan praktik perawatan tubuh dikonsumsi perempuan sebagai bagian dari proses estetisasi dalam kehidupan, yaitu sebuah gaya konsumsi yang dibangun di atas nilai-nilai simbolik produk-produk tertentu (Abdullah, 2002 : 67, 74-76). Proses pengorganisasian tubuh yang dilakukan seseorang berkaitan erat dengan kontrol sosial. Secara sosial tubuh tidak pernah lepas dari kontrol, pengawasan ketat, prosedur dan bentuk pengawasan lain bagaikan dalam penjara atau akademi militer ( Lupton dalam Abdullah, 2002 : 71). Kontrol atas tubuh ini terikat pada ukuran-ukuran atau nilai standar dalam masyarakat. Karakteristik tubuh dapat menjadi alat yang penting dalam menerangkan eksistensi seseorang. Terhadap tubuh terjadi kontrol sekaligus konstruksi sosial dan ekonomi dalam hal cara-cara konsumsi dan berekspresi. 1.6.3.2. Dandy-isme dan Metroseksual Pendekatan estetika pada kehidupan juga menjadi perhatian dalam karya Foucault (dalam Featherstone, 2008: 161) yang mengacu pada konsepsi modernitas Baudelaire. Pada pertengahan abad kesembilan belas, Baudelaire terpesona pada dandy-isme, mengenakan warna hitam sebagai protes terhadap gaya berpakaian di lingkungan bohemian Perancis. Dia melihat dandy-isme 42 sebagai pencarian kesempurnaan, sebuah cara berdisiplin dan juga tanggapan sosial masa transisi ketika demokrasi belum kuat, namun pengaruh aristokrasi baru berkurang sebagian. Baudelaire memahami dandy sebagai gerakan pemberontakan, yang mencoba untuk membuat aristokrasi baru yang cerdas. Namun Baudelaire juga melihat dandy sebagai kobaran api terakhir dalam situasi dekadensi kepahlawanan. Kaum dandy baik yang berasal dari golongan bangsawan, artis atau mana pun asalnya adalah anti borjuis (Wilson, 2003: 183). Dalam konsep tersebut kelompok pesolek (the dandy) menjadi figur sentral. Pesolek menjadikan tubuh, tingkah laku, perasaan dan keinginan, serta keberadaan dirinya yang paling dalam sebagai suatu karya seni. Dandy-isme menekankan pada superioritas dan orisionalitas dalam berpakaian, bersikap, kebiasaan pribadi, bahkan perabotan. Ini kemudian disebut sebagai gaya hidup. Desain merupakan contoh estetika yang menjadi fokus utama dalam gaya hidup. Masyarakat pesolek (dandy) adalah contoh penting dalam sejarah modernitas yang telah menjalani dan menghidupkan prinsip-prinsip estetika desain personal. Dandy-isme dirintis pada akhir abad ke-18 oleh Beau Brummel, seorang teman Pangeran Regent dari Inggris (Chaney, 2009: 238). Pada masa itu laki-laki mulai memperhatikan busana berbahan linen putih bersih dipadukan dengan warna gelap (Wilson, 2003: 33). Sebelum tahun 1960, hanya kaum homoseksual mengenakan pakaian yang mencerminkan identitas mereka – identitas seksual tentunya. Dandy-isme yang menerapkan standar lebih kaku tentang maskulinitas, dan yang membentuk “seragam” baru dan modern laki-laki perkotaan, juga membawa ke arah identitas 43 pemberontakan. Sejak abad ke-19 pemberontakan sosial telah sering dikaitkan dengan perilaku dan identitas seksual, diekspresikan melalui pakaian, sebagai cara yang dianggap tepat (Wilson, 2003: 179). Gaya awal dandy terdiri dari dua karakteristik umum dalam berbagai penerapan gaya hidup, yaitu upaya keras mengangkat kemapanan hirarki sosial dan menjaga eksklusivitas sehingga memungkinkan kekaguman masyarakat luas, misalnya terhadap cara berbusana dan berdandan. Pakaian pria abad ke-19 adalah adaptasi negara abad ke-18 dan pakaian olahraga. Gaya tersebut menjadi dominan karena kaum dandy. Dandy-isme kadang-kadang disalahpahami untuk merujuk gaya berpakaian berlebihan layaknya banci (Wilson, 2003: 180). Eksistensi dandy menyiratkan suatu keasyikan penuh terhadap diri dan presentasi diri; citra adalah segalanya, dan kaum dandy tersebut yang sering merupakan laki-laki tak berkeluarga, tidak terikat tanggung jawab, tampaknya tidak memiliki kehidupan seksual, dan tidak didukung keuangan memadai. Mereka sangat merepresentasikan orang kota baru yang datang entah dari mana dan penampilannya ditujukan untuk siapa. Bagi mereka pakaian harus dipotong dan sangat sesuai ukurannya. Celana kulit ketat kaum dandy terlihat sangat erotis; sehingga menonjolkan maskulinitasnya. Kaum dandy adalah seorang narsisis. Dia tetaplah mengejar keindahan; namun dia mengubah jenis keindahan yang dikagumi (Wilson, 2003 : 180). Meskipun citra dandy dekat dengan kemalasan, mereka merupakan pelopor dari tren yang lebih umum di dalam budaya kelas menengah. Mereka memainkan peranan penting dalam kesadaran modern. Dandy-isme merupakan salah satu episode dalam 44 perkembangan cita rasa kelas menengah (Bayley dalam Chaney, 2009:239). Perhatian pada kehidupan konsumsi estetik dan perlunya membentuk kehidupan menyeluruh yang menyenangkan secara estetik, harus dihubungkan dengan perkembangan konsumsi massa secara umum dan pencarian selera serta sensasi baru serta pembentukan gaya hidup karena merupakan hal terpenting dalam budaya konsumen (Featherstone, 2008: 161). Sebagai catatan, perkembangan dandy-isme di Indonesia pun tidak luput dari relasi kekuasaan pada masa kolonial. Seperti asal mulanya, jalur dandy-isme memiliki keterkaitan politis dan gerakan. Semangat modernitas ditangkap oleh tubuh aktor politik nasionalis sebagai pelaku utamanya. Menurut Rudolf Mrazek (dalam Nordholt, 2001: 195) mesin kolonialis Belanda memproduksi standar kerapian dalam skala besar. Untuk menghadapi kekuatan ini, dibutuhkan standar bahasa dan etika tersendiri, standar kerapian Indonesia. Perhatian terhadap penampilan laki-laki terus mengalami peningkatan sebagai konsekuensi modernitas. Peningkatan intensitas perhatian terhadap tubuh berkaitan dengan kemudahan-kemudahan yang tersedia, sehingga memungkinkan terjadinya proses penampilan diri. Perubahan tersebut menurut Schilling (dalam Abdullah, 2002: 72) berkaitan dengan pembentukan budaya konsumen: “ ... tubuh dalam budaya konsumen menjadi pusat perkembangan dan membantu memajukan penampilan diri yang memperlakukan tubuh sebagai sebuah mesin yang harus dipelihara dengan baik, dirawat, direkonstruksi, dan dipresentasikan/ditampilkan dengan hati-hati melalui pembatasan-pembatasan tertentu seperti latihan fisik yang teratur, program pemeliharaan kesehatan pribadi, diet ketat, dan pemakaian busana yang penuh warna”. 45 Konsep perawatan tubuh awalnya merupakan monopoli kelas atas yang mengontrol peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan ekspansi pasar pun awalnya hanya tertuju pada kelas yang sama. Sedangkan tubuh dalam konteks masyarakat kelas bawah hanya dipahami sebagai instrumen produksi sehingga tidak berkaitan dengan penampilan estetik. Namun kemudian perawatan tubuh tidak lagi dimonopoli kelas atas karena produk-produk dengan harga terjangkau terus bermunculan. Oleh karena itu, semua orang dari kelas sosial manapun mempunyai kesempatan untuk mengkonsumsi produk dan praktik estetisisasi (Abdullah, 2002: 69). Fenomena David Beckham yang membumikan konsep metroseksual kemudian menjadi tahapan khusus dari estetisisasi tubuh laki-laki. Kata metroseksual pernah terpilih sebagai Word of The Year 2003 versi American Dialect Society, sebuah lembaga di Amerika yang bergerak di bidang akademis dengan fokus studi perkembangan bahasa Inggris. Namun istilah tersebut telah mulai diperkenalkan oleh Mark Simpson satu dekade sebelumnya (Wibowo, 2006: 189). Proses berkembangnya gaya hidup metroseksual dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut : Gambar 2. Perkembangan Gaya Hidup Metroseksual (dikembangkan untuk penelitian ini) Fenomena : IklanCalvin Klein versi Mark Wahlberg, 1993 Istilah Metroseksual Mark Simpson Fenomena : Hasil Riset RSCG tentang laki-laki Amerika, 2003 Istilah : Metroseksual Euro RSCG Perkembangan komoditas khusus untuk laki-laki Wacana Media : - Publikasi media - Iklan produsen Gaya hidup Metroseksual 46 Awalnya pada tahun 1994 Mark Simpson menulis artikel di surat kabar Independent untuk mengkritik fenomena iklan Calvin Klein. Pada tahun 1993 Calvin Klein menampilkan iklan produk pakaian dalam laki-laki menggunakan model Mark Wahlberg, mantan rapper yang terjun ke dunia film. Iklan sensual dengan pose setengah telanjang itu cukup kontroversial. Pada masa itu citra maskulin masih identik dengan macho dan fenomena metroseksual belum populer, sehingga produk pakaian dalam laki-laki Klein tersebut hanya berani membidik target pasar kaum gay. Namun selain menarik perhatian kaum gay, iklan tersebut juga diperhatikan oleh para laki-laki heteroseksual maupun para perempuan. Kemudian untuk pertama kalinya Simpson menggunakan istilah metroseksual, yaitu a dandyish narcissist in love not only himself but also his urban lifestyle (Simpson dalam Wibowo, 2006: 189). Respons terhadap istilah ini relatif lambat sampai pada momentum Piala Dunia 2002, popularitas David Beckham sebagai maskot seolah membumikan definisi metroseksual. Pada tahun 2002 tersebut Mark Simpson (dalam Wibowo, 2006: 193) kembali menulis dan mengemukakan: The typical of metrosexual is a young man with money to spend, living in within easy reach of a metropolis – because that‟s where all the best shops, clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight or bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as his own love object and pleasure as his sexual preference. Particular professions, such as modeling, waiting tables, media, pop music and nowadays, sport, seem to attract them but, truth be told, like male vanity products and herpes, they‟re pretty much everywhere. 47 Kemudian hasil riset Euro RSCG memunculkan klaim istilah metroseksual untuk gambaran laki-laki masa depan. Di sini terdapat pergeseran makna dimana golongan ini didefinisikan sebagai laki-laki, berbeda dengan definisi Mark Simpson yang mencakup gay, heteroseksual maupun biseksual (Wibowo, 2006: 195). Perlu dicatat bahwa Mark Simpson sendiri adalah seorang gay. Istilah metroseksual kemudian menjadi pembicaraan di media dengan berbagai kontoversi, bahkan pada tahun 2003 menjadi istilah paling populer versi American Dialect Society. Wacana tersebut kemudian berpengaruh terhadap cara pandang produsen terhadap segmen pasar yang dipandang baru itu. Produsen melakukan perubahan dalam produk maupun cara beriklan. Sehingga kemudian pengaruh media ini memperkuat perkembangan metroseksual menjadi gaya hidup tersendiri. Fenomena ini berkembang pesat sejalan dengan agresivitas produsen produk-produk konsumtif kapitalis dan dunia periklanan dalam menangkap peluang dari gejala fenomena metroseksual. Menurut pandangan kaum feminis, seperti Marian Salzman dari Euro RSCG fenomena metroseksual adalah keberhasilan gerakan feminis dimana makin banyak perempuan bekerja (Wibowo, 2006: 208). Laki-laki tidak lagi malu untuk menunjukkan sisi emosional dan sensitivitas tanpa merasa kehilangan citra sebagai laki-laki. Kehadiran perempuan di tempat kerja yang sebelumnya lebih banyak didominasi laki-laki semakin menuntut laki-laki untuk juga menjaga penampilan, misalnya dengan berbusana rapi, bertubuh bugar, dan beraroma wangi. Peran perempuan sebagai pasangan laki-laki metroseksual juga perlu dipandang penting. Peran Victoria „Posh Spice' Adams bagi David Beckham adalah contoh. Sebelum menikah, David Beckham 48 masih berpenampilan sederhana. Namun penampilan David Beckham semakin fashionable setelah menikah. Istri David Beckham terus berekperimen terhadap penampilan suaminya. Kemampuan mempercantik diri yang dimilikinya diterapkan pada sang suami. Sejak 2002 fenomena laki-laki metroseksual baru mulai menggejala pada masyarakat Indonesia (Hermawan, 2004). Gejala metroseksual ini dimulai ketika bermunculan toko atau gerai kebutuhan laki-laki di mal-mal. Dulu, kebanyakan tempat fashion laki-laki itu berdiri sendiri (misalnya butik-butik pakaian), karena laki-laki tidak suka ke mal. Munculnya gerai-gerai laki-laki dan produk-produk kosmetik untuk laki-laki di mal-mal yang terbuka merupakan penanda terjadinya pergeseran sikap dan pandangan para laki-laki terhadap kebutuhannya. Banyak produsen kemudian berkompetisi masuk ke pasar metroseksual di Indonesia. PT Mandom Indonesia yang memiliki merek-merek khusus laki-laki seperti Gatsby, Mandom, dan Spalding; PT Kinocare Era Kosmetindo dengan merek Ovale Maskulin dan Master Cologne for Men; PT Unilever Indonesia dengan Rexona Men dan Axe; PT Kao Indonesia dengan Biore for Men, adalah nama-nama produsen yang menggarap segmen konsumen baru. Menurut data MarkPlus & Co populasi laki-laki metroseksual mencapai 15% dari populasi laki-laki dewasa di Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi dan Depok), dengan tren meningkat (Hermawan, 2004). 49 1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Pendekatan Penelitian Fenomenologi dipilih sebagai pendekatan untuk penelitian tentang fenomena estetisisasi tubuh laki-laki ini karena dipandang sesuai untuk menggali makna dari pengalaman praktik estetisisi para informan. Fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “Fenomen” merupakan realitas yang tampak dan tidak terpisahkan dari kita. Realitas terkait erat dengan kesadaran akan realitas. Menurut Husserl, dalam fenomenologi pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri. Fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini melihat pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama. Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Pengalaman dibangun oleh dua asumsi (Smith, etc., 2009: 12). Pertama, setiap pengalaman manusia adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang bersifat subyektif. fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Melihat adalah melihat sesuatu, mengingat adalah mengingat sesuatu, menilai adalah menilai sesuatu. Sesuatu itu adalah obyek dari kesadaran yang 50 telah distimulasi oleh persepsi dari sebuah obyek yang “real” atau melalui tindakan mengingat atau daya cipta. Pendekatan fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Makna membedakan pengalaman yang satu dan pengalaman lainnya. Untuk memahami pengalaman-pengalaman hidup manusia prosedur metode fenomenologi mengharuskan peneliti untuk mengkaji subyek dengan terlibat secara langsung dan relatif lama untuk mengembangkan pola-pola dan relasirelasi makna. Pengalaman-pengalaman pribadi harus dikesampingkan terlebih dahulu untuk memahami pengalaman-pengalaman informan. Penelitian pertama dalam fenomenologi belum mengungkapkan makna dari gejala yang ada. Pengamatan kedua yang disebut pengamatan intuitif diperlukan untuk menggalinya. Prasangka yang berdasar keyakinan dan pandangan sebelumnya perlu dikesampingkan. Proses pengujian ini untuk menyingkirkan subyektivitas yang merupakan penghambat dalam mengungkap makna. Peneliti berusaha menemukan makna dengan menyisihkan hal-hal empiris. Pendekatan yang disebut transendental oleh Husserl tersebut dilakukan dengan cara : 1. Intentionality/kesengajaan. Kesengajaan adalah orientasi pikiran terhadap sesuatu (bisa nyata seperti benda atau tidak nyata seperti konsep-konsep). Menurut Husserl kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor minat, penilaian awal, dan harapan 51 terhadap obyek. Intentionality penelitian ini dibangun sejak penelitian pendahuluan pada tahun 2010. Peneliti mengarahkan perhatian secara terusmenerus pada fenomena estetisisasi. Informasi dari para informan menjadi fokus perhatian penelitian. Mendengarkan rekaman wawancara dilakukan tidak sekali saja namun diulang-ulang untuk lebih memahami lebih dalam dan detail informasi yang didapat. Hubungan baik dan komunikasi dengan informan penelitian dengan demikian menjadi hal yang terus dibina. Selain itu, eksplorasi mengenai fenomena estetisisasi terus dilakukan pada saat travelling sambil memperhatikan penampilan laki-laki di berbagai tempat; pada saat mengunjungi mal, bank, bandara dan pusatpusat pelayanan publik dimana praktik estetisisasi bisa dijumpai; menggali informasi melalui media massa dan internet; juga menyusuri jalan-jalan di kota Yogyakarta untuk memperhatikan perkembangan prasarana estetisisasi seperti barbershop, toko bibit parfum dan minimarket. 2. Noema dan noesis Untuk memahami sesuatu sisi obyektif maupun sisi subyektif fenomena perlu dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) adalah sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan. Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan seperti mendengar, merasa, memikirkan dan menilai. Noema akan membawa pemikiran kepada noesis. Pada penelitian ini noema-noema yang didapatkan terutama adalah pernyataan-pernyataan penting informan selama proses wawancara. Untuk mendapatkan noesis dari pernyataan-pernyataan tersebut diperlukan pemikiran, perenungan dan refleksi. 52 3. Intuisi Intuisi mampu membedakan makna dengan alasannya. Intuisi membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Reduksi tahap awal pada penelitian ini belum menghasilkan makna. Pada proses reduksi berikutnya pemikiran yang intuitif dituntut agar makna dapat diperoleh dari pernyataan-pernyataan informan ataupun fakta lainnya. Menurut Husserl, intuisi menghubungkan noema dan noesis. 4. Intersubyektif Makna intersubyektif ini berawal dari konsep „sosial‟ dan konsep „tindakan‟. Konsep sosial adalah hubungan antara dua atau lebih orang. Sedangkan konsep tindakan adalah perilaku yang membentuk makna subyektif. Akan tetapi, makna subyektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Maka, sebuah makna subyektif adalah intersubyektif bila memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared). Kesadaran dan realitas merupakan dua hal yang berbeda, namun dengan meminjam istilah intensionalitas dari Husserl, menurut Merleau-Ponty, integrasi kesadaran dan realitas dapat berlangsung dalam intensionalitas yang kemudian mewujud dalam bentuk pemikiran (Merleau-Ponty, 2002: 44). Realitas sebaiknya dipahami tanpa prasangka. Persepsi adalah hal yang sangat penting dalam proses pengenalan realitas. Melalui fenomenologi persepsi, Merleau-Ponty antara lain 53 menambahkan perlunya pemahaman konsep sensasi dan asosiasi dalam pendekatan fenomenologi. Sensasi adalah suatu situasi dan pengalaman ketika diri terkena sesuatu, suatu kualitas yang mampu membangkitkan kesadaran manusia terhadap situasi tertentu yang ada di dalam ruang. Sensasi merupakan kesan yang murni, objek pemicu kesadaran, bukan elemen yang ada karena kesadaran. Sehingga pembahasan mengenai sensasi selalu melibatkan indera yang merupakan agen penerima sensasi (Merleau-Ponty, 2002: 1-5). Untuk menganalisisnya, sensasi dibawa masuk ke dalam kesadaran. Pemahamannya diperoleh hanya melalui persepsi. Analisis bisa keliru bila persepsi yang merupakan objek dari kesadaran kurang disadari ataupun bila memiliki prasangka sebelumnya. Suatu imaji dengan pola tertentu dapat diasosiasikan pada persepsi tertentu. Jika kita membatasi diri terhadap fenomena, keutuhan suatu hal dalam persepsi tidak datang tiba-tiba karena asosiasi, tetapi terkondisikan oleh asosiasi karena melewati keterbatasan yang ada, lalu kita menyusun dan memverifikasinya. Kesan tidak pernah mengasosiasikan diri terhadap kesan lainnya. Asosiasi tidak pernah bermain sebagai kekuatan otonom, tidak pernah meminta jawaban secara cepat. Ia bertindak hanya dengan mereproduksi intensi yang mungkin atau menarik. Ia beroperasi hanya dalam makna yang diperoleh berdasarkan pengalaman sebelumnya, sejauh mana mengenali dan menangkapnya sesuai pengalaman masa lalu. Asosiasi bisa berdasarkan kemiripan dimana kita mengingat suatu imaji yang menampilkan persepsi menyerupai. Di sini asosiasi berpola sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan kemiripan (Merleau- 54 Ponty, 2002: 21). Pemahaman akan asosiasi dan sensasi ini diperlukan dalam analisis fenomenologi agar peneliti berhati-hati sehingga analisis tidak terdistorsi oleh sensasi ataupun asosiasi. Pendekatan fenomenologi persepsi Merleau-Ponty juga dapat diharapkan untuk memahami bagaimana tubuh menjadi “expression and speech”. Pendekatan tersebut membantu untuk “trying to describe the phenomenon of speech and the specific act of meaning”(Merleau-Ponty, 2002: 202). Artinya Merleau-Ponty menggarisbawahi speech sebagai suatu fenomena dan meaning sebagi suatu aktivitas. Sudut pandang fenomenologi adalah tentang subyek yang berbicara yang menggunakan bahasa tertentu menjadi bermakna dalam berkomunikasi dalam ruang sosial. Bahasa estetisisasi tubuh dapat dipandang sebagai proses pengkonstitusian obyek estetsisisasi dalam aktivitas pelakunya sebagai suatu realitas sehingga menjadi sebuah fenomena. Maka proses pengkonstitusian itulah yang sebenarnya menjadi analisis dalam penelitian ini. 1.7.2. Lokasi Penelitian, Informan dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan di kota Yogyakarta, karena fenomena estetisisasi tubuh laki-laki mudah dijumpai di kota-kota besar seperti Yogyakarta. Perkotaan adalah lokasi keberadaan pusat hiburan, mal, pusat-pusat belanja yang menyediakan komoditas-komoditas untuk memenuhi selera golongan metroseksual seperti parfum berkelas, pakaian dan aksesori bermerek. Munculnya kota memiliki implikasi signifikan dalam pembentukan hidup sosial dan peningkatan konsumsi sehingga mampu memenuhi, memuaskan kebutuhan sosial 55 dan psikologis penduduk kota (Simmel via Soejatmiko, 2008:24). Yogyakarta dikenal sebagai kota dengan komunitas mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Interaksi antara berbagai latar belakang budaya tentu turut berpengaruh terhadap pembentukan identitas. Sehingga kompleksitas fenomena estetisisasi tubuh laki-laki di tengah masyarakat Yogyakarta semakin menarik untuk dikaji. Informan penelitian ini adalah laki-laki pelaku praktik estetisisasi tubuh dengan profesi yang dapat dikategorikan pekerja lapis bawah di perusahaanperusahaan di kota Yogyakarta. Jenis perusahaan yang dipilih adalah perusahaan yang dekat dengan bidang pelayanan konsumen. Kriteria pekerjaan lapis bawah yang dimaksud seperti: office boy, satpam, sopir dan pramuniaga. Pemilihan ini didasari pertimbangan: - mereka melakukan praktik estetisisasi dalam kondisi keterbatasan ekonomi sehingga praktik yang dilakukan dengan kesungguhan tersebut menarik untuk dieksplorasi - di lingkungan pekerja lapis bawah perusahaan dimungkinkan terdapat banyak pihak, termasuk perusahaan terkait dengan fenomena tersebut karena menjadi bagian dari interaksi sehari-hari pekerja. - arena dimana informan bekerja terdapat interaksi juga dengan kelas menengah atas sehingga dapat diperoleh informasi tentang kelompok penyokong gaya hidup tersebut dari kaca mata kelas bawah. Usia menjadi kriteria penting dalam pemilihan informan. Usia informan dipilih sesuai dengan fokus penelitian ini, yaitu pekerja laki-laki lapis bawah yang 56 mempraktikkan estetisisasi penampilannya. Maka usia informan ditentukan sesuai usia produktif dan masih relatif muda yaitu 18 s.d. 40 tahun. Tabel 1. Informan Penelitian Gambar 3. Contoh Informan: Widodo, Pramuniaga Jumlah Office boy Satpam Sopir Pramuniaga Total 2 1 2 2 7 Sumber : doc pribadi Adapun penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2014 dengan menggunakan indepth interview kepada informan untuk mendapatkan jawabanjawaban atas permasalahan penelitian. Tabel 2. Permasalahan Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Yang Digunakan untuk Menjawab Masalah Estetisisasi Tubuh Laki-laki Permasalahan Penelitian Metode Obyek Penelitian Pengumpulan Data Bagaimana bentuk-bentuk praktik Observasi Praktik penampilan estesisasi tubuh laki-laki di kalangan Wawancara (indepth Makna penampilan pekerja di Yogyakarta? Mengapa interview) Pengalaman di dalam dan mereka melakukannya? Bagaimana luar arena kerja. estetisisasi terkait dengan pekerjaan? Manfaat penampilan Bagaimana cara mereka memandangnya sebagai kapital dalam arena pekerjaan dan pergaulan? Wacana-wacana apa yang membentuk Observasi Interaksi-interaksi praktik-praktik estetisisasi itu? Wawancara (indepth Agen-agen Bagaimana mereka menegosiasikan interview) Pengalaman mensiasati wacana tersebut? penampilan 57 1.7.3. Analisis Data Dengan pendekatan fenomenologi ini analisis dilakukan untuk mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman praktik estetisisasi tubuh yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada informan penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Dugaan awal tentang fenomena disusun dan dikelompokkan untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh informan. Indepth interview bermakna mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena yang diteliti. Kedalaman pemahaman ini diharapkan mampu memunculkan knowledge dam insight tentang estetisisasi tubuh laki-laki. Alfred Schults menurut Smith et al (2009: 15) mengadopsi dan mengembangkan fenomenologi dengan pendekatan interpretatif praktis. Interpretative Phenomenological Analysis (IPA), pendekatan tersebut bertujuan untuk mengungkap secara detail bagaimana subyek penelitian memaknai dunia personal dan sosialnya (Smith et al, 2009: 97-99). Analisis terhadap hasil wawancara dilakukan dengan IPA sebagaimana ditulis oleh Smith et al (2009: 79-107) dengan tahap-tahap sebagai berikut : 58 1. Reading and re-reading Pada tahap ini peneliti menuliskan transkrip wawancara dari rekaman audio ke bentuk tulisan. Langkah pertama ini memerlukan ketelitian dan membutuhkan waktu dalam menyalin rekaman dari setiap informan untuk setiap jawaban pertanyaan yang diajukan. Rekaman asli dipandang lebih utama namun tahap ini dapat memudahkan dalam pengorganisasian dan analisis data. Membaca ulang data memberikan kesempatan pada peneliti untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana narasi-narasi setiap informan. 2. Initial noting Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan perlu waktu. Peneliti mencatat kata, kalimat, bahasa dan segala sesuatu yang menarik dalam transkrip dan berusaha semain mengenali informan dalam mengatakan sesuatu, memahami dan memikirkan praktik estetisisasinya. Analisis ini ber tujuan untuk mendapatkan seperangkat catatan yang komprehensif dan mendetail mengenai informan. Asosiasi terhadap pernyataan-pernyataan dilakukan agar dapat ditemukan polapola habitus dan dinamikanya sehingga memungkinkan untuk mendapatkan makna. 3. Developing emergent themes Transkrip wawancara merupakan tempat pusat noema-noema yang didapatkan dari penelitian. Untuk memunculkan tema-tema peneliti menganalisis noesis-noesis dari pernyataan-pernyataan dan mencari hubungan dan pola-pola 59 yang muncul. Peneliti melakukan reorganisasi data pengalaman partisipan. Transkrip hasil wawancara menjadi fokus dari analisis, namun membayangkan kembali proses wawancara dan mendengarkan rekaman wawancara dilakukan untuk mencermati keseluruhan informasi agar dapat melukiskan fenomena pada setiap informan dengan terperinci. Pada tahap ini jawaban-jawaban sejenis yang diperoleh dikelompokkan agar tidak tumpang tindih pada saat dilakukan analisis. Hasil inventarisasi pada tahap ini menjadi kerangka dalam menyusun bab dan sub bab tulisan ini. Konsep-konsep yang bisa menjelaskan tema-tema tersebut kemudian dibahas, baik yang telah ada pada landasan teori maupun konsepkonsep lain yang relevan untuk menganalisis. 4. Searching for connection across emergent themes Tahap mencari hubungan antar tema-tema yang muncul dilakukan setelah peneliti menetapkan tema-tema dalam transkrip. Hubungan antar tema-tema ini dikembangkan dalam bentuk catatan-catatan untuk direfleksikan lebih lanjut. Menemukan makna dan pola dari tema-tema yang muncul dan saling bersesuaian dan menghasilkan struktur yang memberikan hal-hal penting dan menarik berdasarkan wawancara informan. Peneliti mencoba melakukan eksplorasi tentang hal baru berdasarkan hasil pengorganisasian analisis. Tema penting dan relevan yang muncul digabungkan sedangkan tema yang tidak relevan dan tidak signifikan tidak diikutsertakan. Penting tidaknya pernyataan didasarkan pada apakah noema-noema tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. 60 5. Moving the next cases Tahap analisis 1- 4 dilakukan pada setiap satu kasus/partisipan. Jika satu kasus selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah pada kasus atau partisipan berikutnya hingga selesai semua kasus. Langkah ini dilakukan pada semua transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang sama. 6. Looking for patterns across cases Tahap akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari pola-pola yang muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang terjadi antar kasus, dan bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang lain memandu peneliti melakukan penggambaran dan pelabelan kembali pada tema-tema. Pada tahap ini dibuat master table dari tema-tema untuk satu kasus atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/organisasi. Pemahaman dan kesadaran akan sensasi dan asosiasi dalam fenomenologi persepsi Merleau-Ponty bermanfaat dalam analisis termasuk ketika mencari wacana-wacana penting apa yang melandasi praktik estetisisasi pada penelitian ini. Tidak semua analisis merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Tidak tertutup kemungkinan apabila diperoleh noesis khusus menarik yang perlu dibahas secara khusus, maka tema tersebut dibahas tersendiri, seperti halnya persoalan distingsi. 61 Gambar 4. Pendekatan Fenomenologi untuk Analisis Seperti apa habitus awal si A Bagaimana praktik estetisisasi si A Pendekatan fenomenologi berdasarkan pernyataan – pernyataan para informan Wacana apa yang membentuknya Negosiasi seperti apa yang terjadi Bagaimana itu menjadi hexis si A Bagaimana praktik di pekerjaan Bagaimana di luar arena pekerjaaan Langkah-langkah seperti dijelaskan di atas merupakan tahapan pendekatan fenomenologi yang dilakukan pada penelitian yang kemudian dikelompokkan untuk mendapatkan pemahaman-pemahaman tentang habitus, bentuk praktik, wacana, negosiasi, proses menjadi ethos/hexis/habitus baru dan perbedaan praktik di arena pekerjaan dengan di luar arena. Insight-insight penelitian kemudian diharapkan bisa diperoleh dari analisis terhadap makna-makna tersebut. 1.8. Sistematika Disertasi Bab I. Pendahuluan Bab ini memaparkan apa yang melatarbelakangi penelitian ini. Fenomena metroseksual dan merebaknya praktik estetisisasi tubuh laki-laki hingga ke kelas 62 bawah terutama menjadi pertanyaan penting untuk dikaji. Kemudian pertanyaanpertanyaan tersebut dirumuskan pada permasalahan penelitian, dilengkapi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian. Tinjauan pustaka untuk menelaah penelitian-penelitian lain yang relevan dengan disertasi dideskripsikan pada bab ini. Kemudian landasan teori dibangun dengan mendasarkan pada teoriteori gaya hidup, konsep estetisisasi Featherstone, maskulinitas, identitas, tubuh dan konsep habitus Bourdieu. Pendekatan fenomenologi dalam analisis data hasil indepth interview dipaparkan pada bab ini Bab II. Estetisisasi Sebagai Praktik Sosial Pada bab ini diulas awal mula praktik estetisisasi tubuh dalam konteks modernitas oleh laki-laki terutama kelas bawah di Yogyakarta. Logika industri yang menuntut penampilan dan interaksi pelaku dalam komunitas diuraikan sebagai titik awal praktik tersebut di kalangan pekerja lapis bawah tersebut. Kemudian bentuk-bentuk praktik estesisasi tubuh akan dideskripsikan berikut analisis tentang mengapa mereka melakukan hal ini. Bab III. Wacana Estetisisasi Tubuh dan Negosiasi oleh Pekerja Wacana-wacana apa yang membentuk praktik-praktik estetisisasi itu dibahas di bab ini. Wacana meliputi apropriasi penampilan selebritas, perusahaan yang mengatur penampilan dan persoalan habitus di dalam diri para pelaku itu sendiri. Kemudian bagaimana mereka menegosiasikan wacana-wacana tersebut menjadi praktik dijabarkan dari sisi negosiasi keterbatasan ekonomi para pekerja 63 tersebut, negosiasi dalam melakukan konsumsi simbolik produk dan sarana estetisisasi serta negosiasi terhadap pemaknaan maskulinitas Bab IV. Estetisisasi Tubuh Sebagai Kapital Simbolik Bab ini membahas bagaimana penampilan estetis menjadi kapital simolik yang kemudian diperjuangkan oleh pekerja lapis bawah. Bagaimana kemudian kapital simbolik ini bisa dikonversi menjadi keuntungan finansial melalui serangkaian strategi penempatan kapital dipaparkan di sini. Konversi menjadi kapital sosial juga diperlihatkan melalui bab ini. Terakhir secara khusus dibahas tentang praktik distingsi yang berbeda dari distingsi seperti dijelaskan oleh Bourdieu Bab V. Kesimpulan Seluruh pertanyaan yang dirumuskan akan disimpulkan pada bab ini. Gaya hidup ternyata juga merupakan hak dari pekerja lapis bawah. Sebagian dari mereka melakukan lifestyling atas gaya hidup kelas menengah atas seperti yang mereka jumpai di arena pekerjaan mereka dan melalui media. Namun terungkap juga bahwa perusahaan tempat mereka bekerja juga menerapkan aturan-aturan yang harus mereka ikuti dalam hal penampilan. Meskipun akhirnya pekerja pun menikmati bentuk-bentuk penampilan yang dikonstruksikan tersebut. Bahkan penampilan estetis tersebut dapat dikatakan merupakan kapital simbolik yang berusaha diraih oleh pekerja lapis bawah. Kapital simbolik tersebut turut berpengaruh terhadap keuntungan material yang diraih terkait profesi mereka. 64 Pada saatnya kapital simbolik itu menjadi kapital ekonomi. Selain itu, kapital simbolik itu juga bisa terkonversi menjadi kapital sosial ketika pekerja lapis bawah menampilkan habitus estetisisasi mereka dalam pergaulan, baik pergaulan informal di arena kerja maupun di luar arena kerja.