Istilah belanja dan konsumsi dapat dipandang memiliki

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Merebaknya fenomena laki-laki metroseksual adalah tema menarik
mengenai gaya hidup. Fenomena ini mengkonfirmasi eksistensi „penampakan
luar‟ dan ”kedangkalan” sekaligus menjungkirbalikkan makna konotatif bahwa
laki-laki pesolek adalah kurang „macho‟ menurut pandangan-pandangan
tradisional tentang maskulinitas. Metroseksual adalah a man who turns himself
into a project in the seeming pursuit of the body beautiful (Barber, 2008:455).
Gambaran tentang metroseksual adalah sosok laki-laki muda berpenampilan
dandy, senang memanjakan diri, sangat peduli terhadap penampilan, senang
menjadi pusat perhatian (bahkan menikmatinya), sangat tertarik dengan fashion
dan berani menampilkan sisi feminin. Mereka diidentifikasi memiliki sifat
narsisistik, jatuh cinta terhadap diri sendiri dan bergaya hidup urban. Mereka
cenderung merasa senang jika orang lain bisa membicarakan hal-hal yang baik
tentang dirinya.
Para peneliti tertarik pada fenomena David Beckham, bintang sepakbola
Inggris yang sering berekperimen diri di depan publik. Sadar memiliki posisi
sebagai pusat perhatian publik, Beckham tak segan mengecat kuku-kuku jari,
berganti-ganti gaya rambut bahkan menggunakan celana dalam istrinya dan
berpose bugil di sebuah majalah khusus gay. Beckham selama beberapa tahun lalu
1
2
telah menjadi maskot penampilan laki-laki. Padahal dulu tidak ada euphoria lakilaki rajin berbelanja parfum, mengunjungi salon-salon kecantikan, membaca
majalah-majalah mode, mengkonsumsi produk-produk kosmetika dan fashion.
Perilaku-perilaku tersebut sebelumnya identik dengan konsumsi perempuan saja.
Sepanjang Euro 2004 di Portugal perhatian pasar laki-laki berpindah dari
Hollywood ke lapangan sepakbola (Coad, 2005: 124). Bersamaan dengan
penyelenggaraan Euro 2004 Beckham menandatangani kontrak sponsorship tiga
tahun dengan Gillette dimana dia menjadi bintang iklan di Eropa dan Amerika
Serikat, juga turut dalam kampanye promosi Gillete. Selain itu, Beckham juga
menjadi model D&G, Michiko Koshino, Theo Fennell, Richard James, Rokit,
Tom Ford (YSL dan Gucci), H. Samuel, Lock & Co., James Bootmaker dan
Calvin Klein. Pemain sepakbola yang fashionable dan diskusi tentang gender dan
identitas seksual adalah wujud nyata peristiwa metroseksual (Coad, 2005: 126).
Erving Goffman (1959) dalam The Presentation of Self in Everyday Life
mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal
yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal sebagai pendekatan dramaturgi
(Chaney, 2009:15). Individu bertindak seolah-olah di atas sebuah panggung. Bagi
Goffman, berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual
interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari. Chaney
mengatakan bahwa cara-cara mengatur bentuk-bentuk identitas akan menjadi
semakin sentral sebagai cara-cara menggambarkan pembedaan-pembedaan di
antara gaya-gaya hidup. Ide pengaturan bentuk identitas ini menerjemahkan
pengaturan dan pendisiplinan tubuh seseorang sebagai sarana kedirian (the vehicle
3
of self-hood) sehingga manajemen tubuh menjadi hal utama dalam gaya hidup.
Penampilan kelompok metroseksual yang rapi dan wangi merupakan bentuk
manajemen tubuh ini. Manajemen tubuh ini merupakan bentuk proses
aestheticization (estetisisasi).
Fenomena metroseksual dapat dipandang sebagai suatu konteks dari
estetisisasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu ciri-ciri
modernitas. Salah satu hal penting pada masyarakat kontemporer adalah fakta
bahwa kemungkinan menjadikan tubuh/diri sebagai sebuah proyek saat ini terbuka
bagi khalayak massa, tidak lagi menjadi tujuan kelompok bangsawan elite atau
budaya borjuis. Turner (dalam Chaney, 2009:191) memberi istilah proyek
terhadap
tubuh/diri.
Ini
merupakan proyek
estetisisasi tubuh laki-laki.
Perkembangan kontemporer terkait merebaknya estetisisasi tubuh laki-laki ini
mengundang pertanyaan besar tentang bagaimana hal ini bisa terjadi. Diperlukan
analisis mendalam tentang fenomena perkembangan estetisisasi tubuh laki-laki
yang semakin massif. Beberapa perspektif tentang estetisisasi tubuh laki-laki akan
digunakan sebagai pisau analisis terhadap fenomena tersebut.
Bagi Jameson (1984), dalam era kapitalisme lanjut terjadi ledakan
kebudayaan di segala aspek kehidupan yang diistilahkan sebagai cultural
dominance. Konsep modern mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam
ruang-ruang sosial (ruang ekonomi, budaya, politik) telah runtuh: ruang budaya
menjadi ruang ekonomi, sedangkan ruang ekonomi dan politik berubah menjadi
bentuk-bentuk kebudayaan. Batasan-batasan produksi budaya era sebelumnya,
yaitu batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular
4
culture) ditiadakan sehingga estetika posmodern bersifat lebih populis. Dalam
pandangan Jameson (dalam Ritzer & Goodman, 2009: 672) , cultural dominance
dalam era posmodern ini terjadi karena hampir semua produksi estetis telah
terintegrasi ke dalam produksi komoditas pada umumnya. Hasilnya adalah
gelombang baru produksi massal barang-barang yang senantiasa terkesan baru
karena banyak dilakukan inovasi dan eksperimentasi estetis.
Strategi baru kapitalisme berusaha mengaburkan konsep temporalitas
sejarah dan mengangkat konsep spasial. “Kita telah bergeser dari dunia yang
didefinisikan secara temporal menuju ke dunia yang didefinisikan secara spasial”
(Jameson via Ritzer & Goodman, 2009: 676). Manusia disibukkan dengan masa
kini tanpa memikirkan masa depan serta masa lalu. Manusia hidup dalam dunia
citra dan pastiche, yaitu meniru masa lalu tanpa motif apapun. Evolusi kapitalisme
telah menciptakan masyarakat konsumtif. Masyarakat konsumen posmodern,
menurut Jameson, telah kehilangan kemampuan untuk memposisikan diri di
dalam hyperspace dan memetakannya secara kognitif. Ciri khas masyarakat baru
ini adalah masyarakat yang tidak memiliki kepribadian yang utuh dan hidup
dalam dunia yang tidak real. Budaya ini ditandai dengan budaya euforia yang
dangkal. Masyarakat larut dalam godaan budaya pop dan tenggelam dalam
perayaan gaya hidup secara semu yang diciptakan logika kapitalisme lanjut dan
didukung perkembangan teknologi. Hal ini relevan dalam konteks masyarakat
Indonesia kontemporer terutama laki-laki dewasa awal seperti para eksekutif
muda yang lebih banyak menghabiskan waktu di diskotik, pusat hiburan,
berbelanja di mal atau pergi ke salon dan tempat fitness. Aktivitas-aktivitas para
5
laki-laki tersebut dapat dibaca sebagai: melakukan estetisisasi tubuh dan
menampilkan hasil estetisisasi.
Estetisisasi tubuh laki-laki terkait erat dengan transformasi makna
maskulinitas. Pada era akhir abad ke-20 bintang-bintang seperti Sylvester
Stallone, Arnold Schwarzenegger dan Jean-Claude Van Damme menjadi idola
laki-laki. Bintang-bintang tersebut dapat diasosiasikan dengan citra maskulin yang
kuat, perkasa dan berotot. Namun era tersebut telah digantikan dengan citra
maskulin yang lain seperti contoh David Beckham. Mazhab orientasi kultur
berargumen bahwa pembentukan sikap maskulin dan feminin bukan oleh
perbedaan biologis tetapi sosialisasi dan kulturasi. Sifat maskulin ataupun feminin
dikonstruksikan oleh budaya melalui proses sosialisasi (nurture). Pada
maskulinitas tradisional estetisisasi tubuh diasosiasikan sebagai area domestik
perempuan. Sosialisasi dan kulturasi secara massif yang mendorong fenomena
estetisisasi tubuh laki-laki baru terjadi pada awal abad ke-21. Sehingga wajar bila
studi tentang maskulinitas sangat jarang mengeksplorasi estetisisasi tubuh lakilaki. Fenomena ini menjadi menarik diobservasi karena mengindikasikan adanya
transformasi dari makna konservatif maskulin. Perilaku yang tadinya dipandang
sebagai feminin tidak lagi dihindari oleh laki-laki. Dari kondisi awal laki-laki
relatif malu melakukan, sekarang pada sebagian masyarakat malah menjadi
tuntutan bagi laki-laki untuk melakukan. Bahkan tidak sedikit laki-laki melakukan
estetisisasi tubuhnya secara maksimal seperti pada konteks fenomena laki-laki
metroseksual. Revolusi makna maskulinitas ini tentu ada penyebabnya. Menarik
untuk mencari jawaban atas pertanyaan transformasi makna maskulinitas
6
sekaligus estetisisasi tubuh laki-laki dalam masyarakat kontemporer, yang
merupakan konsekuensi logis dari kapitalisme lanjut.
Penyokong utama gaya hidup adalah kelas menengah. Penggunaan barangbarang konsumen yang menonjol oleh kelas menengah berperan dalam pergeseran
masyarakat fordisme menuju post-fordisme. Lahirlah kelas menengah baru,
sebuah kelas yang ditemukan dalam pekerjaan-pekerjaan dan jasa kerah putih
yang peduli terhadap produksi barang-barang dan jasa-jasa simbolis (Lury,
1998:132). Mereka memiliki komitmen kuat terhadap transformasi gaya hidup.
Sehingga kemudian meniadakan perbedaan-perbedaan antara budaya tinggi dan
pop, lama dan baru, alamiah dan buatan. Menurut Raymond Williams (dalam
Lury, 1998: 141), kelas menengah inilah yang pertama mengalami kekuatan
mobile privatization (reorganisasi kehidupan domestik melalui televisi dan bentuk
konsumsi lain) yang menawarkan akses tak terbatas pada ruang dan waktu.
Televisi dan media sosial berperan sebagai sebuah pendidikan alternatif bagi
generasi ini. Menurut Featherstone (dalam Lury, 1998: 142) media dan institusiinstitusi pendidikan tinggi yang relatif demokratis melatih kelas menengah baru
untuk mengenal cara-cara penciptaan makna yang mendorong perkembangan
gaya hidup dan mempercepat pergeseran menuju masyarakat post-fordisme.
Identitas kelas yang menonjol pada kelas menengah ini dikembangkan dan
dipromosikan melalui pengadopsian gaya hidup kelas tinggi (Lury, 1998:136).
Dandy-isme yang dipelopori Brummel, seorang teman bangsawan (kelas atas)
Inggris pada abad ke-18 merupakan pelopor dari tren yang lebih umum budaya
kelas menengah (Chaney, 2009: 239).
7
Adapun
kelas
bawah
memiliki
keterbatasan
dalam
mengikuti
perkembangan gaya hidup dan berpartisipasi pada budaya konsumen. Kemiskinan
membatasi kemampuan memilih, sehingga merupakan indeks fundamental
kemampuan berpartisipasi dalam konsumsi (Lury, 1998:7). Namun demikian,
pada kenyataannya terdapat indikasi bahwa kelas bawah pun ikut ambil bagian
dalam perilaku estetisisasi. Hal ini dengan mudah dapat ditemukan di pusat
perbelanjaan maupun perkantoran di Indonesia dimana laki-laki petugas
kebersihan atau pelayan toko pun terlihat sangat memperhatikan penampilan
rambut, misalnya. Keberadaan produk-produk tiruan atau produk dengan harga
terjangkau memungkinkan terjadinya partisipasi kelas bawah dalam konsumsi.
Tidak hanya di Indonesia, dalam observasi lapangan di beberapa kota
besar di negara lain, peneliti juga menjumpai praktik estetisisasi di kalangan
pekerja lapis bawah, misalnya seorang penjual tiket/pramuniaga paket wisata di
Roma dan seorang pelayan rumah makan di Singapura.
Gambar 1. Penampilan Pekerja Lapis Bawah di Negara Lain
Pramuniaga Ticket di Roma:
Pelayan Restaurant di Singapura:
Sumber : Doc Pribadi
8
Seperti dijumpai oleh peneliti, pramuniaga tersebut mengekspresikan identitas
penampilannya melalui gaya rambut dan aksesori anting di telinga kiri. Sedangkan
pelayan restoran berpenampilan berbeda dengan gaya rambut yang mencolok.
Fakta lapangan di kota-kota Indonesia dan negara lain tersebut memperkuat alasan
mengapa estetisisasi tubuh laki-laki kelas bawah perlu mendapat perhatian
penelitian. Merebaknya fenomena estetisisasi tubuh laki-laki hingga menjangkau
kelas bawah ini menarik untuk dikaji.
Fenomena estetisisasi semakin mudah dijumpai di perkotaan termasuk
Yogyakarta. Hal ini wajar karena kemudahan akses terhadap produk-produk
pendukung gaya hidup tersebut. Keberadaan minimarket waralaba, mal, salonsalon dan spa khusus laki-laki, distribusi majalah-majalah khusus laki-laki, dan
tuntutan untuk tampil rapi dan wangi disertai kepemilikan daya beli yang tinggi
identik dengan kehidupan metropolis di kota. Pada awalnya penelitian
pendahuluan telah mulai dilakukan sejak tahun 2010 dengan melibatkan 12
informan dari 4 kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Jakarta, Bandung dan
Denpasar. Dari masing-masing kota tersebut dilakukan indepth interview terhadap
masing-masing 3 informan berasal dari kelas bawah, kelas menengah dan kelas
atas. Pemilihan komposisi informan tersebut bertujuan untuk mendapatkan
informasi pendahuluan menyeluruh yang menggambarkani kelas-kelas dan latar
belakang budaya dalam masyarakat. Penelitian pendahuluan ini antara lain
mengindikasikan sedikitnya pengaruh faktor perbedaan latar belakang budaya
yang melatarbelakangi praktik estetisisasi tubuh laki-laki di kota-kota besar di
Indonesia. Estetisisasi tersebut cenderung tidak terkait dengan sejarah penampilan
9
laki-laki Jawa, Sunda ataupun Bali di masa lalu. Oleh karena itu kemudian
penelitian difokuskan di kota Yogyakarta yang merupakan kota dengan banyak
pendatang dari beragam latar belakang budaya.
Adapun dalam perkembangannya peneliti lebih memilih untuk menggali
lebih dalam fenomena estetisisasi tubuh laki-laki tersebut pada kelas bawah.
Meskipun memiliki sisi-sisi menarik tersendiri, fenomena pada kelas atas dan
kelas menengah lebih mudah dipahami mengingat kelas tersebut merupakan
penyokong utama gaya hidup. Fenomena estetisisasi pada kelas bawah lebih
menarik karena praktik tersebut dilakukan dalam kondisi keterbatasan ekonomi.
Praktik dalam kondisi keterbatasan ini menunjukkan kesungguhan pelakunya
sehingga menarik untuk dieksplorasi proses konstruksinya.
Secara khusus dipilih pekerja lapis bawah dari perusahaan swasta di
Yogyakarta sebagai representasi kelas bawah yang dimaksud. Pekerja lapis bawah
dipilih mengacu pada struktur perusahaan dimana pekerja tersebut berada pada
lapisan terbawah. Ini penting untuk menghindari kesalahan pemilihan informan
apabila mengacu pada konsepsi kelas. Di kalangan pekerja lapis bawah
perusahaan itu fenomena estetisisasi terkesan lebih mudah dijumpai dibandingkan
pada kelas bawah lainnya. Di lingkungan pekerja lapis bawah perusahaan
dimungkinkan terdapat kepentingan banyak pihak, termasuk perusahaan
berkelindan mengkonstruksi praktik estetisisasi ini sebagai konsekuensi interaksi
sehari-hari pekerja. Jenis pekerjaan para pekerja lapis bawah yang dimaksud itu
antara lain: office boy, satpam, sopir dan pramuniaga toko. Pekerjaan-pekerjaan
tersebut tidak menuntut keahlian yang rumit, sehinga tidak menuntut tingkat
10
pendidikan yang tinggi. Fenomena estetisisasi tersebut didekati dan dianalisis
dengan menggunakan pendekatan fenomenologi atas hasil wawancara terhadap
para informan.
1.2.
Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah mengenai perubahan penampilan laki-
laki seperti diuraikan di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah :
”Bagaimana proses estetisisasi tubuh laki-laki terjadi, wacana-wacana apa yang
membentuknya demikian?”
Estetisisasi tubuh di sini sebagai salah satu bagian dari estetisisasi kehidupan
sehari-hari yang merupakan wujud dari modernitas. Untuk mengkaji makna,
proses konstruksi dan kepentingan-kepentingan di balik fenomena tersebut
disusun pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana estesisasi tubuh laki-laki dipraktikkan di kalangan pekerja di
Yogyakarta? Mengapa mereka melakukan hal ini? Bagaimana praktik
estetisisasi tubuh itu terkait dengan pekerjaan/karir mereka? Bagaimana
mereka memandang praktik itu sebagai kapital dalam arena pekerjaan dan
pergaulan?
2. Wacana-wacana apa yang membentuk praktik-praktik estetisisasi itu?
Bagaimana mereka menegosiasikan wacana-wacana tersebut?
11
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis secara komprehensif konstruksi proses dan bentuk-bentuk
estetisisasi tubuh laki-laki di kalangan pekerja kelas bawah di Yogyakarta
dan apa maknanya.
2. Mengetahui bagaimana peran individu dalam menentukan pilihan tersebut
dan wacana-wacana apa yang membentuk praktik itu.
3. Mengetahui lebih jauh bagaimana praktik-praktik estetisisasi tubuh
berpengaruh terhadap eksistensi pekerja baik di lingkungan kerja maupun
pergaulan sehari-harinya.
1.4.
Manfaat Penelitian
Selain manfaat yang akan diperoleh atas terjawabnya tujuan-tujuan
penelitian, penelitian ini juga akan bermanfaat untuk :
1. Memperkaya kajian dan penelitian tentang gaya hidup kontemporer
2. Meningkatkan kesadaran kritis laki-laki sebagai konsumen dan pelaku
gaya hidup
3. Menegaskan bahwa selera-selera termasuk untuk tampil estetis bukanlah
monopoli kelas menengah-atas
4. Menjadi acuan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk memahami
gaya hidup laki-laki.
12
1.5.
Tinjauan Pustaka
Sebagai pijakan bagi penelitian estetisisasi tubuh laki-laki kelas bawah,
tinjauan pustaka difokuskan pada penelitian-penelitian tentang gaya hidup kelas
bawah , maskulinitas dan praktik estetisisasi tubuh laki-laki
Studi tentang gaya hidup kelas bawah cenderung dikaitkan dengan
keterbatasan ekonomi dalam praktik gaya hidup. Penelitian Puspitasari (2012) dan
penelitian Wati (2012) memperlihatkan bahwa lifestyling menjadi suatu strategi
untuk mensiasati keterbatasan ekonomi tersebut. Konsep lifestyling dipinjam dari
Solvay Gerke (2000) dipahami sebagai perilaku yang ingin mempertunjukkan
suatu gaya hidup tertentu, tanpa didukung oleh kemampuan ekonomi yang
merupakan dasar konsumsi sesungguhnya. Namun penelitian yang dilakukan
Puspitasari (2012) masih terbatas pada komunitas tertentu (klub fitness) dan
meneliti praktik estetisisasi dengan perspektif maskulinitas tradisional. Sedangkan
penelitian Wati (2012) meneliti praktik estetisisasi pada perempuan kelas bawah.
Kedua penelitian tersebut masih melihat lifestyling sebagai penggerak praktik
estetisisasi kelas bawah dan belum meneliti lebih jauh hal-hal lain yang turut
menjadi agen konstruksi estetisisasi.
Studi-studi tentang maskulinitas secara umum dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu penelitian menggunakan perspektif maskulinitas tradisional
(Lilleas, 2007; Mellstrom, 2004; Elliot & Elliot, 2005; Rohlinger, 2002) dan
penelitian menggunakan perspektif maskulinitas baru (Clarkson, 2005; Lewis,
2007; Papacharissi & Fernback, 2008; Wibowo , 2006; Deddy Suprapto, 2010;
Zahida, 2012). Dalam perspektif maskulinitas tradisional, laki-laki antara lain
13
lebih berorientasi keluar dari dirinya bukan terhadap perasaannya, mereka keras,
takut akan keintiman dan rasional (Schmale dalam Hekma, 2005: 328).
Pada dekade terakhir ini, penelitian-penelitian tentang maskulinitas dengan
perspektif maskulinitas baru seperti metroseksual dan new man telah banyak
dilakukan (Clarkson, 2005; Lewis, 2007; Papacharissi & Fernback, 2008;
Wibowo, 2006; Deddy Suprapto, 2010; Zahida, 2012). Penelitian-penelitian
tersebut lebih menonjolkan sisi program televisi sebagai agen perubahan dan
popularitas metroseksual. Penelitian tidak dilanjutkan dengan bagaimana subyek
pelaku metroseksual merespons lebih lanjut perubahan tersebut, bagaimana
subyek menjalani gaya hidup metroseksual dan bagaimana audiens merespons
acara tersebut. Penelitian-penelitian tersebut baru merupakan analisis wacana
yang perlu dilengkapi penelitian lapangan untuk mengetahui konstruksi gaya
hidup metroseksual secara lebih komprehensif.
Penelitian tentang praktik keseharian metroseksual atau yang mendekati
itu sudah mulai dilakukan meskipun masih relatif jarang (Gill ; Barber 2008).
Namun kajian penelitian menyangkut estetisisasi tubuh laki-laki tersebut kurang
menyeluruh dan belum ada penelitian yang khusus memperhatikan estetisisasi
tubuh laki-laki di kalangan pekerja kelas bawah.
Penelitian tentang representasi tubuh laki-laki di media (Elliot & Elliot,
2005; Rohlinger, 2002) tidak menyentuh hingga praktik keseharian dan hanya
berfokus pada kajian media. Citra ideal laki-laki yang direpresentasikan dalam
majalah menjadi kajian penelitian Elliot (2005). Di majalah-majalah gaya hidup,
laki-laki ditampilkan dengan lekuk-lekuk tubuh dan berotot. Laki-laki kurus dan
14
tidak berotot jarang tampil. Kalaupun ditampilkan menjadi bahan olok-olok. Sama
seperti pada perempuan, tubuh laki-laki mengalami eksploitasi dan obyektifikasi.
Penampilan laki-laki di majalah yang menonjolkan lekuk-lekuk otot bagian
tubuhnya itu menunjukkan laki-laki sebagai obyek seks (Kimmel & TissierDesbordes via Elliot 2005). Dalam kajian khalayak terhadap iklan-iklan yang
menampilkan laki-laki setengah telanjang, Elliot menemukan adanya homophobia
terhadap gambar tampilan laki-laki feminin dan menunjukkan sisi seksualitasnya.
Mereka berpendapat iklan tersebut tidak ditujukan untuk pria.
Penelitian sejenis dilakukan oleh Rohlinger (2002) dalam “Eroticizing
Men: Cultural Influences on Advertising & Male Objectification”. Rohlinger
berusaha melakukan analisa lebih mendalam dengan mengungkap bagaimana
perubahan nilai-nilai gender di Amerika berpengaruh terhadap pencitraan lakilaki dalam iklan. Analisis dilakukan terhadap iklan di lima majalah gaya hidup
tahun 1987 s.d. 1992. Majalah tersebut memiliki target usia 18-49 tahun. Hasilnya
terlihat gambar-gambar laki-laki erotis sangat menonjol dalam iklan. Temuan
bahwa menonjolnya laki-laki erotis di iklan itu merefleksikan hasrat untuk
mematahkan definisi seksualitas yang sangat sempit. Gerakan pembebasan gay
menentang definisi seksualitas tradisional dan mendorong selebrasi tubuh.
Terdapat paradoks bahwa menonjolnya gambar laki-laki tersebut dapat diartikan
bahwa gerakan pembebasan gay mulai berpengaruh, namun para pembuat iklan
tidak terlalu peduli terhadap adanya gerakan tersebut. Fokus mereka hanyalah
bagaimana bias menjual produk kepada target konsumen. Ini dapat diartikan
15
bahwa gerakan pembebasan gay mengalami komodifikasi sama seperti halnya
gerakan feminism.
Dalam studi Lilleas (2007) terhadap 16 olahragawan, pendapat tentang
tubuh ideal adalah slim dan terlatih baik dengan otot-otot yang kuat. Berlatih
adalah suatu hal penting bagi mereka dan aktivitas fisik tersebut merupakan suatu
cara untuk mengendalikan perasaan-perasaan. Pada saat mereka berkumpul,
mereka menutupi perasaan yang memalukan dengan bercanda. Lebih mudah bagi
mereka untuk menyampaikan persoalan pribadi kepada perempuan daripada lakilaki. Mereka takut dianggap kurang laki-laki. Melalui penelitian cross-cultural
terhadap dua kelompok teknisi mesin Malaysia dan insinyur di Swedia, Mellstrom
(2004) menjumpai bahwa laki-laki yang bekerja dekat dengan mesin terutama
mesin kendaraan merasa sangat cocok dengan pekerjaannya. Mesin adalah obyek
minat laki-laki karena mereka sering bersimbiosis dengannya. Mesin adalah kunci
bagi identitas mereka.
Sebuah acara televisi Amerika pada tahun 2003 dapat dikatakan
merupakan momentum bagi penelitian-penelitian tentang maskulinitas dengan
perspektif berbeda. Queer Eye For The Straight Guy (selanjutnya disingkat Queer
Eye) adalah sebuah acara televisi dimana lima orang laki-laki homoseksual
mendandani satu orang laki-laki heteroseksual yang kemudian disebut sebagai
metroseksual setelah didandani. Sejak acara tersebut terkenal istilah metroseksual
kemudian menjadi buzzword yang dibicarakan di mana-mana. Acara Queer Eye
menjadi kajian menarik oleh beberapa peneliti (misalnya: Clarkson, 2005; Lewis,
2007; Papacharissi & Fernback, 2008). Dalam Queer Eye atribut-atribut
16
maskulinitas tradisional mengalami perubahan yang disponsori kapitalisme.
Penelitian tentang maskulinitas secara umum berpendapat bahwa hegemoni
maskulinitas tradisional dapat ditandai dengan lima cara: (1) kontrol dan kekuatan
fisik
(2)
pencapaian pekerjaan (3)
sistem
kekeluargaan patriarki (4)
kefrontieran/penonjolan diri (5) heteroseksualitas (Trujillo via Clarkson 2005:
239). Kekuatan fisik diganti oleh kesempurnaan penampilan tubuh yang dibentuk
dengan tujuan untuk dilihat oleh perempuan dan gay. Pencapaian pekerjaan tidak
dihilangkan namun dibuat lebih berarti dengan cara menonjolkan penampilan
dengan cita rasa kelas tinggi yang menuntut biaya lebih. Sifat patriarki diharapkan
berubah menjadi lebih perhatian dan memahami pasangan perempuannya secara
sejajar. Frontiermanship diganti menjadi kemampuan bagaimana membawa diri
sebagai warga kelas atas di kota-kota metropolis. Heteroseksualitas sedikit
memperoleh tambahan agar tidak homophobia, laki-laki heteroseksual harus
menjadi nyaman terhadap homoseksualitas tanpa meragukan heteroseksualitasnya
kecuali sekedar bercanda saja. (Clarkson, 2005: 239-241). Penelitian tersebut
lebih menonjolkan sisi program televisi sebagai agen perubahan dan popularitas
metroseksual. Penelitian tidak dilanjutkan dengan bagaimana subyek pelaku
metroseksual merespons lebih lanjut perubahan tersebut, bagaimana subyek
menjalani gaya hidup metroseksual dan bagaimana audien merespons acara itu.
Wibowo (2006) melakukan analisis tentang munculnya fenomena
metroseksual. Secara historis dibahas mulai dari kemunculan istilah metroseksual
pertama kali oleh Mark Simpson, iklan Calvin Klein pemicu kelahiran fenomena
tersebut, fenomena David Beckham yang membumikan istilah dan menjadi
17
contoh laki-laki metroseksual, program acara televisi Queer Eye di Amerika
pemicu popularitas istilah, sampai pergeseran makna istilah metroseksual. Tulisan
tersebut baru merupakan analisis wacana yang perlu dilengkapi penelitian
lapangan untuk mengkonstruksi gaya hidup
metroseksual secara
lebih
komprehensif.
Penelitian yang juga mulai menyinggung permasalahan metroseksual
dilakukan oleh Suprapto (2010) dengan melakukan analisis terhadap iklan-iklan
rokok Gudang Garam di televisi. Penelitian terutama difokuskan pada citra
penampilan pria yang menjadi bintang iklan. Terdapat empat thematic iklan yang
diteliti, yaitu: Survivor, Capoera, The Plane & The Bag. Iklan tersebut
ditayangkan antara tahun 2006 s.d. 2010. Periode ini sangat krusial bila ditinjau
dari perspektif merebaknya fenomena metroseksual yang kemudian ternyata
nampak pula representasinya dalam dinamika iklan tersebut. Pada iklan Survivor
nuansa maskulinitas tradisional masih kentara melalui profil pria bertubuh besar
dan kekar serta berkepribadian keras. Kemudian pada iklan Capoera, citra
maskulin relatif sama dengan iklan sebelumnya, namun ditampilkan laki-laki
dengan tubuh tidak sebesar sebelumnya. Selanjutnya iklan The Plane
menampilkan figure laki-laki metroseksual dengan kepribadian lebih feminin.
Sedangkan di iklan The Bag laki-laki metroseksual kembali ditampilkan namun
memiliki karakter pribadi sama seperti pada iklan Survivor dan Capoera.
Disimpulkan bahwa ada pergeseran bentuk-bentuk maskulinitas hegemonik dari
macho ke metroseksual, yang dipengaruhi oleh kapitalisme dan konsumerisme.
Perubahan tersebut ternyata hanya pada tampilan fisiknya saja, tetapi esensinya
18
tidak berubah karena masih adanya dominasi budaya patriarki dalam masyarakat.
Ditemukan pula bahwa bentuk maskulinitas dominan di Indonesia cenderung
memenuhi tiga unsur: mapan, matang dan menarik.
Zahida (2012) melakukan penelitian berjudul Representasi Maskulinitas
New Man Boyband Indonesia dalam Video Musik. Pada penelitian tersebut
digunakan istilah Maskulinitas New Man yang merupakan istilah ciptaan para
teoritis dalam memotret jenis maskulinitas yang terfeminisasi. Dari penelitian
terhadap video musik penampilan tiga Boyband terkenal Indonesia itu
disimpulkan adanya multiplisitas maskulinitas dimana penampilan boyband
merepresentasikan wacana maskulinitas dalam wacana yang tidak identik. Namun
ketiganya dihubungkan oleh aspek perlakuan khusus terhadap tubuh agar
memenuhi definisi ketampanan standard modern melalui fashion dan proses
pembentukan tubuh.
Menurut Barber hanya sedikit peneliti telah menggali pemaknaan dari
partisipasi laki-laki dalam kultur kecantikan (Barber, 2008: 456). Oleh karenanya
dia melakukan penelitian tentang perilaku laki-laki yang berkunjung ke salon di
California Laki-laki heteroseksual di salon rambut adalah suatu anomali karena
melewati batas gender dengan memasuki ruang perempuan dan berpartisipasi
dalam praktik kecantikan yang secara tradisional diasosiasikan dengan
perempuan. Melalui studi kasus pada salon di pinggiran California tentang latar
belakang motivasi para pelanggan laki-laki, disimpulkan bahwa terdapat tiga hal
mengapa laki-laki ke salon: (1) karena mereka menikmati salon sebagai tempat
mengisi waktu luang, kemewahan dan memanjakan diri (2) untuk hubungan
19
pribadi yang mereka rasakan dengan penata rambut perempuan (3) untuk
memperoleh gaya potongan rambut yang mereka sesuai dengan estetis kelas
profesional kulit putih (Barber, 2008: 464).
Penelitian dengan perspektif maskulinitas baru lainnya yang juga meneliti
sampai ke praktik sehari-hari dilakukan oleh Rosalind Gill dalam “Rethinking
Masculinity: Men and Their Bodies”. Gill meneliti pandangan 140 pria muda di
Inggris berusia 15-35. Mereka berasal dari kota maupun desa, dengan kombinasi
latar belakang ras, etnisitas, orientasi seksual berbeda-beda. Gill berusaha
menjawab permasalahan apakah maskulinitas sedang mengalami krisis setelah
melihat fenomena laki-laki yang disibukkan dengan masalah tubuh dan
penampilan yang sebelumnya identik dengan urusan perempuan. Permasalahan
tersebut dijawab dengan dua bagian penelitian. Bagian pertama adalah tentang
pandangan terhadap tubuh dan praktik-praktik terhadap tubuh. Benarkah mereka
menggunakan tubuh untuk menunjukkan dirinya, seperti anggapan yang ada
sekarang ini bahwa laki-laki yang berlebihan memperhatikan tubuhnya sendiri
adalah karena tidak eksis di pekerjaan? Bagian kedua menggali respons tentang
citra laki-laki ideal (sekaligus erotis) seperti yang dicitrakan majalah. Dari
wawancara dan focus group discussion yang dilakukan Gill menemukan bahwa
laki-laki memperhatikan penampilan untuk menunjukkan perbedaan dari laki-laki
lainnya. Mungkin ada orang yang tidak mau menggunakan barang bermerek
karena semua orang menggunakannya. Sebaliknya ada juga orang yang
menyatakan hanya akan membeli brand karena ingin sepenuhnya berbeda. Kedua
pernyataan tersebut bertentangan, namun menggarisbawahi motif psikologi yang
20
sama. Tubuh digunakan untuk mengekspresikan perbedaan. Selain itu ternyata
penelitian membuktikan bahwa mereka tidak sedang dalam krisis seperti
anggapan kalangan media dan akademisi sebelumnya.
Dari studi pustaka yang telah dilakukan ini, terlihat bahwa fokus penelitian
tentang gaya hidup estetisisasi laki-laki kelas bawah dengan perspektif
maskulinitas baru memang sulit ditemukan. Penelitian tentang lifestyling pekerja
kelas bawah yang ada (Puspitasari, 2012) masih menggunakan perspektif
maskulinitas “kekar dan berotot”. Apa yang dihasilkan dari penelitian tersebut
juga masih belum terbuka terhadap kemungkinan bila laki-laki memperhatikan
penampilannya karena adanya regulasi dan tuntutan dari pihak luar seperti
perusahaan. Penelitian yang sedikit bersinggungan dengan kemungkinan selain
lifestyling tersebut dilakukan oleh Wati (2012) namun subyek penelitian adalah
perempuan.
Fenomena laki-laki yang semakin memperhatikan penampilan telah
semakin berkembang dalam satu dekade terakhir, sejalan dengan fenomena David
Becham pada sepak bola Piala Dunia 2002 dan Piala Eropa 2004. Namun apa
yang menjadi catatan Barber (2008) bahwa hanya sedikit peneliti telah menggali
pemaknaan dari partisipasi laki-laki dalam kultur kecantikan masih relevan
terlebih bila laki-laki yang dimaksud adalah laki-laki kelas bawah. Penyebab
utamanya adalah paradigma bahwa pelaku-pelaku gaya hidup seolah hanyalah
kelas menengah-atas. Kelas menengah adalah pelaku utama transformasi gaya
hidup yang kemudian meniadakan perbedaan-perbedaan antara budaya tinggi dan
pop, lama dan baru, alamiah dan buatan. Identitas kelas menengah ini
21
dikembangkan dan dipromosikan melalui pengadopsian gaya hidup kelas tinggi
(Lury, 1998:136) dengan tren mengikuti apa yang dipelopori dandy-isme
(Chaney, 2009: 239).
Meneliti tentang fenomena estetisisasi tubuh laki-laki kelas bawah yang
juga terindikasi meniru gaya metroseksual, dapat diharapkan membuka
pemahaman bahwa kelas bawah punya cara tersendiri dalam mereproduksi gaya
hidup. Kuat dugaan bahwa laki-laki kelas bawah melakukan itu bukan sekedar
permasalahan identitas, selera dan distingsi seperti halnya apa yang mendasari
laki-laki kelas menengah – atas dalam mempraktikkan estetisisasi penampilannya.
Dimungkinkan pula bahwa pembentukan kapital simbolis merupakan alasan
penggerak mereka.
1.6.
Landasan Teori
1.6.1.
Habitus dan Gaya Hidup
Kondisi struktur masyarakat tertentu sering tidak memungkinkan
seseorang
untuk
mempraktikkan
suatu
gaya
hidup
meskipun
dia
menginginkannya. Praktik estetisisasi tubuh laki-laki mudah dijumpai di kota-kota
besar karena struktur masyarakat memungkinkan itu terjadi. Dibutuhkan titik
temu antara struktur sosial masyarakat dan individu sebagai bagian dari
masyarakat. Titik temu tersebut dapat dijelaskan melalui konsep habitus. Bourdieu
(dalam Ritzer & Goodman, 2009 : 578) menekankan konsepnya pada praktik yang
dilihatnya sebagai akibat dari hubungan dialektis antara struktur dan agensi.
22
Habitus dihasilkan dan menghasilkan dunia sosial. Di satu sisi habitus
”menstrukturkan struktur”, di sisi lain
habitus adalah ”struktur yang
terstrukturkan”. Dengan kerangka pemikiran habitus, gaya hidup dipahami
sebagai hasil interaksi individu sebagai subyek sekaligus obyek di dalam
masyarakat. Konsep habitus menjamin koherensi hubungan konsepsi masyarakat
dan pelaku (Haryatmoko, 2010 : 4). Habitus merupakan faktor penjelasan logika
berfungsinya masyarakat. Perbedaan gaya hidup dalam masyarakat didasarkan
pada keberagaman habitus dalam kelompok-kelompok masyarakat. Gaya hidup
dipahami sebagai keseluruhan selera, kepercayaan dan praktik sistematis yang
menjadi ciri suatu kelas.
Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai suatu sistem-sistem disposisi
yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk yang
dimaksudkan agar
berfungsi
sebagai
struktur-struktur
yang
membentuk
(Haryatmoko, 2010: 4). Habitus menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktikpraktik serta representasi-representasi yang dapat disesuaikan dengan tujuantujuan meskipun tanpa ada pengarahan tujuan dan cara mencapainya secara sadar.
Habitus secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari
kepatuhan pada aturan-aturan. Secara kolektif habitus diselaraskan meskipun
tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen.
Konsep habitus tidak bisa dipisahkan dari konsep arena (champ). Kedua
konsep tersebut sangat mendasar karena memiliki hubungan dua arah, yaitu
struktur-struktur obyektif (struktur-struktur bidang sosial) dan struktur-struktur
yang telah terintegrasi pada pelaku (struktur-struktur habitus). Konsep arena
23
penting karena dalam masyarakat ada pihak yang menguasai dan ada pihak yang
dikuasai. Dominasi yang terjadi tergantung pada situasi, sumber daya dan strategi
pelaku. Bourdieu memetakan dunia sosial dalam ruang dimana posisi para agen
ditentukan dimensi besarnya kepemilikan modal dan dimensi bobot komposisi
keseluruhan modal (Haryatmoko, 2010: 6; Bourdieu, 1998: 4-10).
Pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapitalkapital dan komposisi kapital tersebut. Konsep kapital meskipun khasanah ilmu
ekonomi digunakan Bourdieu karena dipandang mampu menjelaskan hubunganhubungan kekuasaan, yaitu: 1) terakumulasi melalui investasi 2) dapat
diberikan/diwariskan 3) dapat memberikan keuntungan sesuai kesempatan
pemiliknya untuk mengoperasikan penempatanya (Bonnewitz dalam Haryatmoko,
2010: 6). Kapital ekonomi merupakan sumber daya yang bisa menjadi sarana
poduksi dan sarana finansial. Kapital ini paling mudah dikonversikan menjadi
kapital-kapital lainnya. Kemudian kapital budaya dapat berbentuk ijazah,
pengetahuan, cara berbicara, cara menulis, cara bergaul yang berperan dalam
kedudukan sosial. Kapital sosial adalah jaringan hubungan sebagai sumber daya
untuk penentuan kedudukan sosial. Sedangkan kapital simbolik adalah semua
bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional ataupun tidak, seperti:
jabatan, mobil mewah, kantor bergengsi, gelar, status terhormat, nama keluarga
ternama (Haryatmoko, 2010: 6-7, Bourdieu, 1998: 4-10).
Masyarakat dapat dianalogikan sebagai sistem arena, medan atau lapangan
yang memiliki berbagai daya yang saling tarik-menarik. Di dalam suatu arena
terjadi pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal
24
ataupun tidak memiliki modal. Modal adalah kekuatan spesifik yang beroperasi di
dalam arena. Di dalam arena terjadi proses sosial dimana dengan habitus yang
sama kepemilikan modal berpengaruh terhadap eksistensi dan praktik. Hal ini
dinyatakan oleh Bourdieu (1984: 95) dengan rumus :
(Habitus x Modal) + Arena = Praktik
Apa yang terwujud dalam gaya hidup adalah hasil operasi habitus pada arena
dengan modal-modal tertentu. Habitus merupakan perlengkapan dari gaya hidup
yang ditampilkan dalam ruang sosial. Habitus memetakan individu dalam ruang
sosial yang dipenuhi dengan arena.
Gaya hidup bersifat kompleks sehingga untuk mengkaji gaya hidup
diperlukan pemahaman tentang habitus yang akan mampu menangkap
kompleksitasnya. Gaya hidup dapat menjadi cara untuk individu menyesuaikan
diri terhadap ruang sosial berdasarkan habitus dan posisinya dalam arena.
Berdasarkan pengalaman sendiri dan refleksi terhadap realitas sosial, individu
dapat menentukan pilihan-pilihan. Proses ini menghasilkan perubahan pada
disposisi/cara pandang individu dan kemudian akan mengubah praktik dan gaya
hidup. Suatu pilihan gaya hidup merupakan sebuah opsi yang merupakan
perbendaharaan habitus. Ketika habitus tersebut berkelindan dengan kapitalkapital yang dimiliki seseorang dalam menjaga eksistensinya dalam ruang sosial
kemudian membentuk gaya hidup.
Bagi Bourdieu (1984: 172) gaya hidup dipahami sebagai produk
sistematik dari habitus. Gaya hidup dalam skema habitus menjadi sistem tanda
yang harus memenuhi persyaratan sosial. Hubungan dialektis antara kondisi dan
25
habitus merupakan sebuah ikatan yang mengubah distribusi modal dan
keseimbangan relasi kuasa ke dalam sebuah sistem perbedaan dan kepemilikan
khusus. Perbedaan gaya hidup dalam suatu masyarakat merupakan hasil
keanekaragaman dari habitus setiap individu. Menurut Richard Jenkins (2002:
82), habitus merupakan sumber praktik-praktik obyektif sekaligus sebuah
kumpulan prinsip-prinsip generatif yang subyektif, yang dihasilkan oleh pola-pola
obyektif kehidupan sosial.
Cara pandang individu terhadap konsumsi sangat menentukan pilihan gaya
hidup. Konsumsi merupakan sumber sistem makna bagi pembentukan identitas
dan status sosial, juga memberi peluang terciptanya makna sebagai ekspresi diri
dan gaya hidup (Featherstone, 2008). Gaya hidup dan identitas seseorang atau
sekelompok orang diwujudkan dalam praktik konsumsi. Gaya hidup adalah suatu
cara terpola dalam penggunaan, pemahaman, atau penghargaan artefak-artefak
budaya material untuk menegosiasikan permainan status dalam konteks sosial
(Chaney, 2009 : 91). Gaya hidup berkaitan dengan kompetensi simbolik, yaitu
melakukan transformasi nilai guna suatu komoditas menjadi obyek material yang
simbolik sesuai dengan konteks penggunaannya dan kompetensi kultural
pelakunya (Lee, 1993: 25). Gaya hidup juga dipahami sebagai cara hidup,
termasuk kebiasaan, pandangan, dan pola dalam merespons peristiwa-peristiwa
hidup. Pemahaman akan gaya hidup membantu memahami perilaku orang,
mengapa mereka melakukannya, dan apakah perilaku mereka lakukan bermakna
bagi dirinya dan orang lain (Chaney, 2009 : 40).
26
Terminologi gaya hidup terkait erat dengan terminologi konsumsi.
Konsumsi merupakan terjemahan dari consumption yang artinya „the act of
consuming‟ tindakan untuk mengkonsumsi, yaitu memanfaatkan, menggunakan,
atau menikmati sesuatu yang bersifat material maupun non material. Menurut
Mary Douglas & Baron Isherwood ( via Rohana, 2003:126) konsumsi merupakan
proses sosial, sebagai bagian integral dari sistem sosial yang dipakai untuk
bertindak dan menjadi bagian dari kebutuhan sosial untuk berhubungan dengan
orang lain melalui perantaraan benda-benda. Menurutnya ada 3 alasan membeli:
1. memenuhi kebutuhan materi 2. untuk memenuhi kebutuhan psikis 3. untuk
penampilan (display).
Proses berbelanja pada dasarnya memiliki dua sifat. Sifat pertama, yaitu
konsumsi berdasarkan kegunaan. Konsumsi ini dilakukan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup seseorang merupakan konsumsi barang yang bernilai
guna. Konsumsi kegunaan dilakukan dengan maksud agar kebutuhan hidupnya
terpenuhi. Kedua, konsumsi simbolik yang dilakukan di luar tujuan pemenuhan
kebutuhan hidup. Ini biasanya terkait dengan refreshing atau untuk kesenangan
dan untuk menunjukkan prestise seseorang. Kegiatan belanja ini dilakukan bukan
karena membutuhkan suatu barang tetapi cenderung rekreasi, menunjukkan status
dirinya dengan berbelanja dan menghabiskan waktu luang. Seorang konsumen
memiliki kesadaran bahwa satu dari tujuan untuk kelangsungan hidup dan imaji
bukan ciptaannya sendiri (Miller via Hatta, 2005:141). Belanja semestinya tidak
sekedar dilihat sebagai pembelian atas nilai guna, namun penting untuk melihat
konsepsi-makna terhadap sesuatu yang dibeli. Cara analisis ini bisa didekati
27
dengan tiga cara Featherstone (1991), yaitu dengan 1. melihat dominasi nilai
simbolik dalam proses konsumsi 2. melihat pergeseran nilai dari etika ke estetika
3. melihat pada sistem acuan, seperti kebudayaan (Tomlinson via Hatta 2005:14)
Terdapat beragam proses dan model belanja atas berbagai kebutuhan.
Proses tersebut dapat dilakukan dengan datang langsung sampai dengan pesan.
Dari pihak pemasar proses ini didukung model pemasaran jarak jauh
(telemarketing) maupun direct selling. Cara pembayarannya pun dapat secara
langsung ataupun credit card misalnya. Proses belanja dengan sistem saji atau
siap pakai ini berimplikasi menegasikan proses pembuatan dan siapa yang
membuat atau dikenal sebagai fethisisme komoditas (Marx dalam Lury.1998:61).
Dalam masyarakat modern fethisisme komoditas dimanipulasi secara strategis
melalui kemasan promosi dan iklan. Adorno (dalam Lury, 1998: 63)
mengemukakan bagaimana komoditas muncul dengan nilai guna sekunder begitu
dominasi nilai tukar telah diatur untuk menghapus ingatan tentang nilai guna
murni benda-benda. Belanja tidak melulu dideterminasi oleh nilai guna dari suatu
barang. Konsumen tidak selalu membutuhkan dan menencanakan untuk membeli
suatu benda. Terdapat kekuatan ekonomi sangat berpengaruh terhadap partisipasi
belanja. Kemiskinan membatasi kemampuan memilih. Dengan demikian hal
tersebut merupakan indeks fundamental kemampuan untuk berpartisipasi dalam
berbelanja (Lury, 1998:7).
Baudrillard menggambarkan masyarakat yang berperilaku konsumtif di
jaman ini merupakan hegemoni modernisme sehingga di berbagai tempat
bermunculan industri, mal, supermal, supermarket menawarkan produk benda-
28
benda untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Komoditas itu sesungguhnya
mengungkapkan gaya hidup masyarakat yang sedang mengkonsumsi produk
budaya modern. Barker (2004) menyinggung mengenai masyarakat konsumen. Ia
memperkuat argumen/pemikiran Baudrillard bahwa gaya hidup manusia amat
digeneralisasikan ketika masyarakat berperilaku konsumtif terhadap budaya dan
komoditas modern. Apa yang dikonsumsi masyarakat dewasa ini adalah hasil
kebudayaan modern atau globalisasi.
Baudrillard berpendapat situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh
kenyataan bahwa manusia masa sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi yang
sangat mencolok dengan ditandai oleh multiplikasi obyek dan barang-barang
material. Konsep manusia yang berkecukupan tidak lagi dikelilingi oleh manusiamanusia lain seperti pada masa lampau, melainkan dikelilingi oleh obyek-obyek.
Baudrillard juga menunjukkan bahwa ide mengenai manusia yang memiliki
kebutuhan dan harus selalu dipenuhi melalui konsumsi adalah sekedar mitos.
Manusia
tidak
pernah
terpuaskan
secara
aktual,
sehingga
kebutuhan-
kebutuhannya pun tak pernah pula terpuaskan. Dalam pemahaman ini suatu benda
konsumsi mengambil makna suatu tanda. Sebagai obyek konsumsi suatu benda
tidak lagi mengarah pada fungsi kebutuhan melainkan terlebih pada logika hasrat
(a logic of desire). Konsumsi tidak lagi berhubungan dengan kesenangan. Bahkan
kesenangan itu menjadi terbatasi dan terinstitusionalisasi sebagai kewajiban, yaitu
sebagai bagian dari individu di dalam negara atau konsumen. Dalam arti ini,
penanda-penanda nilai ekonomi, misalnya uang telah terpisahkan dari relasi
dengan penanda nilai yang real. Atau, uang tidak lagi berakar pada sistem sosial
29
yang bercirikan simulasi dan hiperrealitas. Konsumsi menjadi penting sejauh
memenuhi ekspresi makna representasi serupa mimpi. Di sini media massa
berperan fundamental bagi representasi-representasi tersebut.
Menurut
Featherstone
(dalam
Chaney,
2009:
67)
konsumerisme
merupakan persoalan yang lebih bersifat sosiologis mengenai hubungan antara
penggunaan benda-benda dan cara-cara melukiskan status, dengan fokus
mengenai cara-cara yang berbeda ketika orang menggunakan benda-benda untuk
menciptakan ikatan ataupun pembedaan sosial. Cara-cara penggunaan tersebut
mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup merupakan representasi dan apresiasi dari
budaya konsumen masyarakat dewasa ini. Perilaku dan kebiasaan bagi orang yang
mengkonsumsi produk-produk budaya modern disebabkan karena benda-benda
produk itu mempunyai kehidupan sosial sehingga mempengaruhi manusia untuk
mengkonsumsinya (Lury, 1998:25). Chaney dan Featherstone menjelaskan bahwa
indikator gaya hidup seseorang muncul ketika mengonsumsi produk-produk
kapitalis dengan industri McDonald, KFC di mal atau supermal, industri
kosmetik, sepatu, telpon seluler dan sebagainya. Gaya hidup tersebut berawal dari
perilaku manusia yang lebih mengutamakan komoditas realistis. Jadi gaya hidup
merupakan representasi dan ciri-ciri masyarakat urban yang hidupnya didominasi
oleh tuntutan realitas dan kebutuhan hidup modern dimana pilihan-pilihan atas
gagasan dan perilaku hidupnya lebih tertarik pada aneka bentuk, cara dan pola
komoditas yang menyenangkan. Dominasi tuntutan komoditas modern tersebut
merupakan peran dan konstruksi kapitalisme-industri yang begitu hegemonik dan
mengglobal sehingga masyarakat modern saat inipun telah dan sedang tergiring
30
untuk diharuskan menciptakan kehuidupan sosial budaya melalui pola hidup
budaya konsumtif kapitalisme, yang oleh Baudrillard disebut masyarakat
konsumsi kontemporer.
1.6.2. Maskulinitas, Identitas, dan Tubuh Laki-laki
Adanya fenomena metroseksual sebagai konteks estetisisasi tubuh lakilaki melatarbelakangi perlunya perhatian lebih pada estetisisasi dalam studi
tentang maskulinitas. Fenomena ini merupakan perkembangan baru sebagai bukti
adanya transformasi makna maskulinitas saat ini. Maskulinitas berasal dari kata
dasar masculine yang dalam kamus Webster‟s New World Dictionary
didefinisikan sebagai ”designating of, or belonging to the gender of words
denotating or reffering to males, as well as may other words to which no
distinction of sex is attributed” (Umar, 2006 : 72). Istilah ini menunjukkan sifat
gender dan diartikan memiliki kualitas yang diakui sebagai karakteristik laki-laki
seperti kekuatan, keberanian, semangat, jantan dan sebagainya.
Studi tentang maskulinitas menginduk pada studi tentang gender dimana
istilah ini berkaitan erat dengan istilah jenis kelamin (seks) dan seksualitas,
meskipun masing-masing memiliki pengertian berbeda. Seks dilihat sebagai
keadaan anatomis dan biologis, yaitu jantan (male) atau betina (female). Gender
dan seksualitas, keduanya memiliki basis pada seks, namun basis sosialnya
berbeda. Seksualitas berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual. Adapun
konsep maskulin atau kelaki-lakian adalah bagian dari gender yang lebih
menunjuk pada sifat-sifat yang dimiliki manusia. Sifat keras, agresif, kekuatan
31
secara tradisonal diakui sebagai sifat laki-laki. Sebaliknya sifat kepekaan,
kelembutan, kesetiaaan biasanya diidentikkan dengan feminin. Sebenarnya sifatsifat tersebut bisa dimiliki laki-laki maupun perempuan. Apa yang dianggap
maskulin dalam suatu budaya, dapat dipandang feminin dalam kaca mata budaya
lain. Meskipun terdapat kecenderungan suatu perilaku untuk diasosiasikan dengan
sifat maskulin atau feminin, ciri-ciri maskulin atau feminin dapat dikatakan
bersifat relatif.
Pakar maskulinitas, R.W. Connell memaparkan bahwa maskulinitas
merupakan suatu sistem tindakan yang terbentuk oleh relasi gender (Connell,
2005: 23). Konsep maskulinitas bersifat historis, cair dan dapat berubah dari
waktu ke waktu. Dengan demikian maskulinitas tidak mengacu pada ciri-ciri fisik
seorang pria. Namun, konsep maskulinitas berkaitan erat dengan relasi kuasa yang
berlaku di masyarakat. Kaitan antara berbagai lapisan maskulinitas di masyarakat
dijelaskan melalui konsep maskulinitas hegemonik. Dengan mengembangkan
konsep hegemoni pada analisis kelas Gramski, Connel (2005: 77) menjelaskan,
The concept of ' hegemony' , deriving from Antonio Gramsci's analysis of
class relations, refers to the cultural dynamic by which a group claims and
sustains a leading position in social life . At any given time, one form of
masculinity rather than others is culturally exalted. Hegemonic
masculinity can be defined as the configuration of gender practice which
embodies the currently accepted answer to the problem of the legitimacy
of patriarchy, which guarantees (or is taken to guarantee) the dominant
position of men and the subordination of women.
Definisi maskulinitas hegemonik bersifat situasional dan terkait dengan
konteks sosial masyarakat. Dinamika gender dunia bergerak mengikuti arus utama
32
dominasi budaya Eropa/Amerika sebagai akibat kolonialisme dan imperalisme.
Standar-standar maskulin adalah mendominasi, menyukai kekerasan, unggul
dalam berbagai cabang olah raga, rasional, tidak emosional, dan sejenisnya.
Maskulinitas diukur berdasarkan kekuasaan , kesuksesan, kekayaan dan status.
Kajian feminisme antara lain memperjuangkan kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki. Kritik diberikan terhadap hegemoni maskulinitas. Ada
dua kelompok memberikan respons berbeda terhadap adanya kritik terhadap
wacana hegemoni maskulinitas (Umar, 2006: 73). Gerakan yang menentang yaitu
”men movement” yang disebut maskulinisme pada awal 1970-an. Gerakan ini
menganggap feminisme sebagai perjuangan sia-sia dan hanya membawa hasil
kerusakan hubungan laki-laki dan perempuan. Mereka memandang rendah kaum
yang melunturkan identitas maskulin. Sedangkan kelompok pro-feminisme
melihat kembali identitas dan perannya. Hal ini diperkuat argumentasi bahwa
maskulin-feminin bukanlah perbedaan sifat laki-laki dan perempuan tetapi suatu
identitas yang dapat melekat pada keduanya. Sehingga idealnya laki-laki tidak
mendominasi tetapi beradaptasi, memahami dan bekerja sama. Ini melahirkan
istilah ”new man”.
Relasi kuasa yang berlaku dalam masyarakat mengalami perkembangan.
Dengan demikian konsep maskulinitas pun mengalami perkembangan dan turut
berhadapan dengan konsekuensi modernitas. Lahirnya modernitas mengacu
kepada bentuk kehidupan sosial atau organisasi yang muncul pada abad ke-17 di
Eropa yang kemudian menancapkan pengaruhnya ke seluruh dunia (Giddens,
2009:1). Dalam modernitas terkandung suatu kontras dengan tradisi. Akibatnya
33
terjadi polarisasi antara kutub kondisi lokal dan global. Tradisi tidak sepenuhnya
statis, karena tradisi harus ditemukan ulang oleh generasi baru ketika ia
mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya. Rutinitas kehidupan seharihari sama sekali tidak memiliki hubungan intrinsik dengan masa lalu, kecuali bila
apa yang telah menjadi kebiasaan secara prinsip dapat dipertahankan menurut
sudut pandang pengetahuan yang ada. Tradisi masih berperan, namun peran ini
kurang signifikan karena tradisi yang dijustifikasi adalah tradisi dengan pakaian
palsu dan mendapatkan identitasnya dari refleksivitas kehidupan modern
(Giddens, 2009:49-51).
Dengan percepatan globalisasi dalam 50 tahun terakhir, terjadi apa yang
disebut sebagai trasformasi keakraban yang meliputi (Giddens, 2009: 163):
1. Suatu relasi intrinsik antara kecenderungan global modernitas dengan
peristiwa-peristiwa lokal dalam kehidupan sehari-hari.
2. Konstruksi diri sebagai proyek refleksif, seorang individu harus
menemukan identitasnya sendiri di antara sejumlah strategi dan pilihan
yang disediakan oleh sistem abstrak.
4. Suatu dorongan kepada aktualisasi diri, yang didasarkan atas kepercayaan
dasar, yang dalam konteks personal hanya dapat dilakukan dengan
„membuka‟ diri terhadap orang lain
5. Pembentukan ikatan personal dan ikatan erotis sebagai ‟hubungan‟ yang
diarahkan oleh mutualitas dari keterbukaan diri
6. Orientasi kepada kepuasan diri, yang bukan hanya satu pertahanan
narsistik melawan ancaman dunia luar, namun juga penyesuaian positif
34
sejumlah situasi dimana pengaruh global masuk dalam kehidupan seharihari.
Menurut Giddens dunia modern adalah dunia refleksi. Refleksivitas
kehidupan modern terdiri dari fakta bahwa berbagai praktik sosial secara konstan
ditelaah dan direformasi dari sudut pandang informasi yang masuk tentang praktik
yang mereka lakukan, sehingga secara konstitutif mengubah karakter mereka
(Giddens, 2009:51). Terjadi transformasi pada identitas diri maupun identitas
sosial. Pencarian identitas terjadi sejalan dengan semakin lunturnya komunitas,
dimana diri sering dikaitkan. Identitas diri tidak bersifat statis dan tidak
diwariskan, melainkan suatu proyek refleksif. Dalam pengertian ini identitas diri
adalah sesuatu yang direfleksikan, direnungkan, diubah dan dibentuk. Diri
merupakan produk dari proses eksplorasi dan produk perkembangan hubungan
sosial.
Tubuh merupakan situs penting bagi konsep maskulinitas. Tubuh dan
penampilan berhubungan sangat erat dengan identitas diri. Perawatan tubuh dan
penampilan dalam budaya konsumen dapat ditekankan pada dua kategori, yaitu
tubuh dalam dan tubuh luar (Featherstone, 2008). Tubuh dalam tertuju pada
kesehatan dan optimalisasi fungsi tubuh yang membutuhkan perawatan dan
perhatian untuk mencegah penyakit, kesalahan pemakaian dan penurunan kualitas
tubuh yang mengiringi proses penuaan. Sedangkan tubuh luar mengarah pada
penampilan serta gerak dan kontrol tubuh dalam ruang sosial. Hal tersebut
termasuk pengaturan dan pengawasan pada tubuh yang jinak dan terdisiplinkan
dan dimensi estetika tubuh dimana dalam budaya konsumen „tubuh dalam‟ dan
35
„tubuh luar‟ saling berhubungan sehingga tujuan utama perawatan „tubuh dalam‟
menjadi persyaratan mutu penampilan ‟tubuh luar‟.
Identitas diri terkait dengan bagaimana individu menerima dan
menampilkan diri. Citra tubuh adalah bagaimana perasaan seseorang tentang
tubuhnya dan tindakan-tindakan yang diambil kemudian (Thompson via Reilly et
all, 2008: 313). Ini merupakan konstruksi mental tentang tubuh seseorang dan
perilakuya secara fisik terhadap tubuh. Konstruksi tersebut terkait bagaimana
orang melihat tubuhnya dan apa yang dia kerjakan sebagai hasil. Menurut
Thompson ketidakpuasan citra tubuh terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara
apa yang dirasakan seseorang tentang tubuhnya dengan tubuh yang ideal (Reilly et
all, 2008: 315). Ketidakpuasan pada penampilan tubuh dapat berakibat negatif
pada kesehatan mental seseorang seperti rasa harga diri yang rendah dan merasa
kurang berarti (Grogan, 2002: 220). Orang kemudian berlomba-lomba
memperhatikan tubuh. Tubuh menjadi proyek untuk memenuhi hasrat dan
bertujuan untuk mencapai citra tubuh ideal yaitu muda, sehat, bugar dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam budaya konsumen banyak dipengaruhi oleh
perkembangan citra visual iklan. Citra membuat konsumen semakin sadar akan
penampilan luar dan presentasi tubuh.
Tubuh laki-laki dan bagian-bagiannya telah berkembang menjadi fokus
perhatian di masyarakat
Barat. Perkembangan tersebut
sejalan dengan
pertumbuhan gerakan laki-laki, gerakan kebebasan kaum gay dan peningkatan
nilai komersial laki-laki (Martins et al, 2007:634). Di Inggris dan Amerika
perubahan perilaku dimana laki-laki lebih memperhatikan citra tubuh terjadi sejak
36
tahun 1980-an (Pope dalam Grogan, 2002: 220). Tubuh laki-laki sering digunakan
dalam iklan dimana sebelumnya didominasi tubuh perempuan.
”With all the money modern man has begun to spend on pampering and
coiffing himself...we might be forgiven for thinking that traditional
masculinity has entirely given away.” (Salzman& O‟Reilly dalam Barber,
2008:455).
Kemudian
maskulinitas
mengalami
pergeseran
dari
makna
tradisional
sebelumnya. Schmale merangkum sejumlah pendapat sosiolog bahwa aspek-aspek
utama maskulinitas tradisional adalah sebagai berikut: laki-laki lebih berorientasi
keluar dari dirinya bukan terhadap perasaannya,
mereka
keras,
lebih
menginginkan fungsional, kurang refleksi diri, menyukai otonomi, takut akan
keintiman, rasional dan memiliki keinginan kuat untuk mengendalikan diri dan
orang lain (Hekma, 2005:328).
Pergeseran makna maskulinitas ini sejalan dengan tesis mascularization of
consumption, yang mulai berkembang pada dekade 1970-an dan 1980-an di
negara Barat. Sebelumnya secara tradisional konsumsi dipandang sebagai area
feminin. Pemahaman ini berawal dari pandangan pemasar bahwa belanja adalah
aktivitas perempuan. Sehingga iklan pun ditujukan untuk perempuan, meskipun
laki-laki juga dipandang memiliki minat pada alkohol, rokok, kondom dan
terbatas beberapa produk lain (Simpson via Galilee, 2002:35). Kemudian karena
pengaruh postmodernisme, perkembangan feminisme, transisi Fordisme ke postFordisme
dan
pengenalan
teknologi-teknologi
baru
maskularisasi tersebut (Murray & Lee via Galilee, 2002:34).
terjadi
perubahan
37
Mitos kecantikan dalam budaya konsumerisme menempatkan perempuan
dan laki-laki menjadi lepas kendali atas dirinya. Saat ini laki-laki telah menjadi
pasar utama produk kosmetik. Ini membuktikan bahwa mitos kecantikan telah
mengalami pergeseran tidak hanya menjadikan perempuan sebagai target, namun
juga laki-laki dari berbagai usia, berbagai latar belakang ekonomi maupun
orientasi seksual dimana lebih dikendalikan oleh kesempatan pasar daripada
pengaruh kultural (Wolf, 2002:19)
1.6.3. Estetisisasi Tubuh Laki-laki
1.6.3.1. Proliferasi Nilai Tanda Menjangkau Tubuh
Estetisisasi tubuh adalah suatu bentuk pilihan gaya hidup yang ada di
tengah masyarakat. Chaney menyampaikan bahwa persoalan gaya hidup adalah
persoalan yang kompleks dan memerlukan penjelasan dari berbagai disiplin ilmu.
Dari kajian terhadap para pemikir poststrukturalis dan postmodernis dengan
membandingkan dan memberi contoh-contoh yang kaya mengenai pergeseran cita
rasa dan gaya hidup di Eropa sejak revolusi industri. Sampai abad ke-20
kapitalisme konsumsi telah ikut berperan penting dalam memoles gaya hidup dan
membentuk masyarakat konsumen (Chaney, 2009: 14). Kegunaan gaya hidup
rumusan Chaney menggambarkan gaya hidup pertama-tama menampilkan pribadi
yang mengalami estetisisasi, pribadi yang memiliki seni dan prestise. Gaya hidup
yang demikian dalam konteks kehidupan sosial masyarakat adalah untuk
38
menunjukkan, meningkatkan, dan membedakan status dan kelas sosial terhadap
orang lain.
Konsumsi dianggap memiliki peran penting dalam kebangkitan budaya
postmodernisme. Pandangan postnodernisme tentang konsumsi terkait dengan
kesadaran bahwa konsumsi tampak lebih signifikan pada nilai tanda (sign-value)
atau kualitas-kualitas simbolik daripada nilai guna (use-value). Menurut
Featherstone konsumsi secara alami telah memberi identitas yang tidak melulu
terbatas bagi kaum muda dan kaum kaya, melainkan secara potensial berdampak
pada kehidupan setiap orang. Seseorang dapat menjadi siapapun yang diinginkan
sejauh orang tersebut mampu untuk mengkonsumsi. Sehingga terjadi estetisisasi
hidup sehari-hari, yaitu proses dimana standar-standar kualitas good style, good
taste, good design menjadi dasar tiap aspek dari hidup sehari-hari.
Menurut Baudrillard, efek nyata konsumsi kontemporer terlihat pada “the
passage from use value to sign value”. Konsumsi berpijak pada suatu dinamika
konstruksi sign/imaji dan interpretasinya di
luar
dorongan kebutuhan.
Featherstone (2008) melihat gambaran masyarakat konsumsi dari Baudrillard
tersebut ditandai tiga hal:
1. dominasi comodity-sign sebagai pusat kebudayaan dan masyarakatnya.
2. citra kebudayaan konsumen modern meruntuhkan referensi tradisional
3. dalam definisi Featherstone dunia keseharian menawarkan kepada
konsumen potensi bagi ruang ekspresi yang menghasilkan “greater
aestheticization of reality” komoditas menjadi sarana untuk menampilkan
diri dalam suatu gaya hidup.
39
Postmodernisme telah memunculkan berbagai permasalahan estetis. Rorty
(1988) berpendapat bahwa kriteria kehidupan yang baik meliputi keinginan untuk
memperluas diri sendiri, pencarian selera dan sensasi baru, sampai pencarian
berbagai kemungkinan lain lagi. Menurutnya estetisisasi kehidupan terkait dengan
keinginan pengembangan diri, keinginan untuk memiliki banyak kemungkinan,
untuk selalu belajar dan mengatasi keingintahuan. Hal ini merupakan pencarian
pengalaman-pengalaman estetis baru termasuk bahasa baru.
The aesthetic aim is not to „see things steadily and see them whole‟ but to
see them and ourselves through ever new ‟alternative narratives and
alternative vocabularies‟ designed „to produce radical change (Rorty
dalam Shusterman, 1988:435).
Dengan perubahan radikal tersebut kemudian seseorang dapat menjadikan
hidupnya sebagai karya seni.
Perspektif estetisisasi kehidupan sehari-hari juga mengacu pada gerak
cepat (aliran) penanda-penanda dan imaji-imaji yang memenuhi struktur
sepanjang hari dalam masyarakat kontemporer (Featherstone, 2008:161). Hal ini
antara lain nampak dalam konsep Baudrillard tentang nilai tanda (sign value)
sebuah barang. Menurut Adorno peningkatan dominasi nilai tukar (exchange
value) tidak sekedar menghapus nilai manfaat (use value) primer dari bendabenda dan menggantikannya dengan nilai tukar abstrak, tetapi juga membebaskan
komoditas untuk mengambil nilai manfaat pengganti/sekunder, yaitu nilai tanda
(sign value).
40
Imaji memainkan peran baru dan penting dalam masyarakat konsumen.
Menurut Baudrillard arah masyarakat baru dicirikan dengan perbedaan yang kabur
antara realitas dan imaji, dan kehidupan sehari-hari mengalami estetisisasi yang
merupakan dunia simulasional atau budaya postmodern. Banyaknya informasi
melalui televisi dan media lain mengkonfrontasikan orang dengan arus image dan
simulasi yang mempesona dan tak pernah berakhir. Beberapa ahli berpendapat
akan adanya integrasi lebih progresif antara seni dengan kehidupan sehari-hari.
Marcuse mengemukakannya dalam Essay on Liberation. Sedangkan Henry
Lefebvre (dalam Featherstone, 2008: 162-163) menyampaikan gagasan tentang
revolusi budaya yang juga berujung menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai
suatu karya seni.
Fenomena estetisisasi pada tubuh perempuan telah mendahului terjadinya
fenomena estetisiasi tubuh laki-laki. Fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan
tahap perubahan dalam masyarakat yang disebut sebagai ekspansi pasar, yaitu
suatu perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan sistem sosial
(Abdullah, 2015: 18). Perawatan tubuh bukanlah konsep baru dalam kehidupan
perempuan, namun intensitas dan kompleksitasnya menjadi gejala penting sejak
akhir 1980-an. Ekspansi pasar telah memperluas pengaruhnya dalam kehidupan
perempuan. Tubuh yang sesungguhnya bagian paling pribadi telah digunakan oleh
agen-agen kapitalisme sebagai arena untuk pembentukan perilaku. Perempuan di
satu sisi menjadi alat dalam proses distribusi produk dan gaya hidup. Perempuan
diekploitasi dengan cara menampilkan bagian-bagian menarik tubuhnya untuk
membangun imaji yang sesuai dengan produk yang dipasarkan. Di sisi lain
41
perempuan menjadi objek pasar sebagai konsumen utama atau pada akhirnya
menjadi saluran bagi masuknya produk-produk baru dan gaya hidup modern. Bagi
perempuan tubuh menjadi alat untuk melakukan identifikasi sosial sehingga
perawatan tubuh adalah cara untuk memperbaiki posisi yang didambakan dalam
masyarakat. Materi dan praktik perawatan tubuh dikonsumsi perempuan sebagai
bagian dari proses estetisasi dalam kehidupan, yaitu sebuah gaya konsumsi yang
dibangun di atas nilai-nilai simbolik produk-produk tertentu (Abdullah, 2002 : 67,
74-76).
Proses pengorganisasian tubuh yang dilakukan seseorang berkaitan erat
dengan kontrol sosial. Secara sosial tubuh tidak pernah lepas dari kontrol,
pengawasan ketat, prosedur dan bentuk pengawasan lain bagaikan dalam penjara
atau akademi militer ( Lupton dalam Abdullah, 2002 : 71). Kontrol atas tubuh ini
terikat pada ukuran-ukuran atau nilai standar dalam masyarakat. Karakteristik
tubuh dapat menjadi alat yang penting dalam menerangkan eksistensi seseorang.
Terhadap tubuh terjadi kontrol sekaligus konstruksi sosial dan ekonomi dalam hal
cara-cara konsumsi dan berekspresi.
1.6.3.2. Dandy-isme dan Metroseksual
Pendekatan estetika pada kehidupan juga menjadi perhatian dalam karya
Foucault (dalam Featherstone, 2008: 161) yang mengacu pada konsepsi
modernitas Baudelaire. Pada pertengahan abad kesembilan belas, Baudelaire
terpesona pada dandy-isme, mengenakan warna hitam sebagai protes terhadap
gaya berpakaian di lingkungan bohemian Perancis. Dia melihat dandy-isme
42
sebagai pencarian kesempurnaan, sebuah cara berdisiplin dan juga tanggapan
sosial masa transisi ketika demokrasi belum kuat, namun pengaruh aristokrasi
baru berkurang sebagian. Baudelaire memahami dandy sebagai gerakan
pemberontakan, yang mencoba untuk membuat aristokrasi baru yang cerdas.
Namun Baudelaire juga melihat dandy sebagai kobaran api terakhir dalam situasi
dekadensi kepahlawanan. Kaum dandy baik yang berasal dari golongan
bangsawan, artis atau mana pun asalnya adalah anti borjuis (Wilson, 2003: 183).
Dalam konsep tersebut kelompok pesolek (the dandy) menjadi figur
sentral. Pesolek menjadikan tubuh, tingkah laku, perasaan dan keinginan, serta
keberadaan dirinya yang paling dalam sebagai suatu karya seni. Dandy-isme
menekankan pada superioritas dan orisionalitas dalam berpakaian, bersikap,
kebiasaan pribadi, bahkan perabotan. Ini kemudian disebut sebagai gaya hidup.
Desain merupakan contoh estetika yang menjadi fokus utama dalam gaya hidup.
Masyarakat pesolek (dandy) adalah contoh penting dalam sejarah modernitas yang
telah menjalani dan menghidupkan prinsip-prinsip estetika desain personal.
Dandy-isme dirintis pada akhir abad ke-18 oleh Beau Brummel, seorang teman
Pangeran Regent dari Inggris (Chaney, 2009: 238). Pada masa itu laki-laki mulai
memperhatikan busana berbahan linen putih bersih dipadukan dengan warna gelap
(Wilson, 2003: 33).
Sebelum tahun 1960, hanya kaum homoseksual mengenakan pakaian yang
mencerminkan identitas mereka – identitas seksual tentunya. Dandy-isme yang
menerapkan standar lebih kaku tentang maskulinitas, dan yang membentuk
“seragam” baru dan modern laki-laki perkotaan, juga membawa ke arah identitas
43
pemberontakan. Sejak abad ke-19 pemberontakan sosial telah sering dikaitkan
dengan perilaku dan identitas seksual, diekspresikan melalui pakaian, sebagai cara
yang dianggap tepat (Wilson, 2003: 179). Gaya awal dandy terdiri dari dua
karakteristik umum dalam berbagai penerapan gaya hidup, yaitu upaya keras
mengangkat kemapanan hirarki sosial dan menjaga eksklusivitas sehingga
memungkinkan kekaguman masyarakat luas, misalnya terhadap cara berbusana
dan berdandan.
Pakaian pria abad ke-19 adalah adaptasi negara abad ke-18 dan pakaian
olahraga. Gaya tersebut menjadi dominan karena kaum dandy. Dandy-isme
kadang-kadang disalahpahami untuk merujuk gaya berpakaian berlebihan
layaknya banci (Wilson, 2003: 180). Eksistensi dandy menyiratkan suatu
keasyikan penuh terhadap diri dan presentasi diri; citra adalah segalanya, dan
kaum dandy tersebut yang sering merupakan laki-laki tak berkeluarga, tidak
terikat tanggung jawab, tampaknya tidak memiliki kehidupan seksual, dan tidak
didukung keuangan memadai. Mereka sangat merepresentasikan orang kota baru
yang datang entah dari mana dan penampilannya ditujukan untuk siapa. Bagi
mereka pakaian harus dipotong dan sangat sesuai ukurannya. Celana kulit ketat
kaum dandy terlihat sangat erotis; sehingga menonjolkan maskulinitasnya. Kaum
dandy adalah seorang narsisis. Dia tetaplah mengejar keindahan; namun dia
mengubah jenis keindahan yang dikagumi (Wilson, 2003 : 180). Meskipun citra
dandy dekat dengan kemalasan, mereka merupakan pelopor dari tren yang lebih
umum di dalam budaya kelas menengah. Mereka memainkan peranan penting
dalam kesadaran modern. Dandy-isme merupakan salah satu episode dalam
44
perkembangan cita rasa kelas menengah (Bayley dalam Chaney, 2009:239).
Perhatian pada kehidupan konsumsi estetik dan perlunya membentuk kehidupan
menyeluruh yang menyenangkan secara estetik, harus dihubungkan dengan
perkembangan konsumsi massa secara umum dan pencarian selera serta sensasi
baru serta pembentukan gaya hidup karena merupakan hal terpenting dalam
budaya konsumen (Featherstone, 2008: 161).
Sebagai catatan, perkembangan dandy-isme di Indonesia pun tidak luput
dari relasi kekuasaan pada masa kolonial. Seperti asal mulanya, jalur dandy-isme
memiliki keterkaitan politis dan gerakan. Semangat modernitas ditangkap oleh
tubuh aktor politik nasionalis sebagai pelaku utamanya. Menurut Rudolf Mrazek
(dalam Nordholt, 2001: 195) mesin kolonialis Belanda memproduksi standar
kerapian dalam skala besar. Untuk menghadapi kekuatan ini, dibutuhkan standar
bahasa dan etika tersendiri, standar kerapian Indonesia.
Perhatian terhadap penampilan laki-laki terus mengalami peningkatan
sebagai konsekuensi modernitas. Peningkatan intensitas perhatian terhadap tubuh
berkaitan dengan kemudahan-kemudahan yang tersedia, sehingga memungkinkan
terjadinya proses penampilan diri. Perubahan tersebut menurut Schilling (dalam
Abdullah, 2002: 72) berkaitan dengan pembentukan budaya konsumen:
“ ... tubuh dalam budaya konsumen menjadi pusat perkembangan dan
membantu memajukan penampilan diri yang memperlakukan tubuh
sebagai sebuah mesin yang harus dipelihara dengan baik, dirawat,
direkonstruksi, dan dipresentasikan/ditampilkan dengan hati-hati melalui
pembatasan-pembatasan tertentu seperti latihan fisik yang teratur, program
pemeliharaan kesehatan pribadi, diet ketat, dan pemakaian busana yang
penuh warna”.
45
Konsep perawatan tubuh awalnya merupakan monopoli kelas atas yang
mengontrol peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat,
bahkan ekspansi pasar pun awalnya hanya tertuju pada kelas yang sama.
Sedangkan tubuh dalam konteks masyarakat kelas bawah hanya dipahami sebagai
instrumen produksi sehingga tidak berkaitan dengan penampilan estetik. Namun
kemudian perawatan tubuh tidak lagi dimonopoli kelas atas karena produk-produk
dengan harga terjangkau terus bermunculan. Oleh karena itu, semua orang dari
kelas sosial manapun mempunyai kesempatan untuk mengkonsumsi produk dan
praktik estetisisasi (Abdullah, 2002: 69).
Fenomena David Beckham yang membumikan konsep metroseksual
kemudian menjadi tahapan khusus dari estetisisasi tubuh laki-laki. Kata
metroseksual pernah terpilih sebagai Word of The Year 2003 versi American
Dialect Society, sebuah lembaga di Amerika yang bergerak di bidang akademis
dengan fokus studi perkembangan bahasa Inggris. Namun istilah tersebut telah
mulai diperkenalkan oleh Mark Simpson satu dekade sebelumnya (Wibowo,
2006: 189). Proses berkembangnya gaya hidup metroseksual dapat digambarkan
dengan bagan sebagai berikut :
Gambar 2. Perkembangan Gaya Hidup Metroseksual
(dikembangkan untuk penelitian ini)
Fenomena :
IklanCalvin
Klein versi Mark
Wahlberg, 1993
Istilah
Metroseksual
Mark Simpson
Fenomena :
Hasil Riset RSCG
tentang laki-laki
Amerika, 2003
Istilah :
Metroseksual
Euro RSCG
Perkembangan komoditas khusus untuk laki-laki
Wacana Media :
- Publikasi media
- Iklan produsen
Gaya hidup
Metroseksual
46
Awalnya pada tahun 1994 Mark Simpson menulis artikel di surat kabar
Independent untuk mengkritik fenomena iklan Calvin Klein. Pada tahun 1993
Calvin Klein menampilkan iklan produk pakaian dalam laki-laki menggunakan
model Mark Wahlberg, mantan rapper yang terjun ke dunia film. Iklan sensual
dengan pose setengah telanjang itu cukup kontroversial. Pada masa itu citra
maskulin masih identik dengan macho dan fenomena metroseksual belum
populer, sehingga produk pakaian dalam laki-laki Klein tersebut hanya berani
membidik target pasar kaum gay. Namun selain menarik perhatian kaum gay,
iklan tersebut juga diperhatikan oleh para laki-laki heteroseksual maupun para
perempuan. Kemudian untuk pertama kalinya Simpson menggunakan istilah
metroseksual, yaitu a dandyish narcissist in love not only himself but also his
urban lifestyle (Simpson dalam Wibowo, 2006: 189). Respons terhadap istilah ini
relatif lambat sampai pada momentum Piala Dunia 2002, popularitas David
Beckham sebagai maskot seolah membumikan definisi metroseksual. Pada tahun
2002 tersebut Mark Simpson (dalam Wibowo, 2006: 193) kembali menulis dan
mengemukakan:
The typical of metrosexual is a young man with money to spend, living in
within easy reach of a metropolis – because that‟s where all the best
shops, clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay,
straight or bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly
taken himself as his own love object and pleasure as his sexual preference.
Particular professions, such as modeling, waiting tables, media, pop
music and nowadays, sport, seem to attract them but, truth be told, like
male vanity products and herpes, they‟re pretty much everywhere.
47
Kemudian hasil riset Euro RSCG memunculkan klaim istilah metroseksual
untuk gambaran laki-laki masa depan. Di sini terdapat pergeseran makna dimana
golongan ini didefinisikan sebagai laki-laki, berbeda dengan definisi Mark
Simpson yang mencakup gay, heteroseksual maupun biseksual (Wibowo, 2006:
195). Perlu dicatat bahwa Mark Simpson sendiri adalah seorang gay. Istilah
metroseksual kemudian menjadi pembicaraan di media dengan berbagai
kontoversi, bahkan pada tahun 2003 menjadi istilah paling populer versi American
Dialect Society. Wacana tersebut kemudian berpengaruh terhadap cara pandang
produsen terhadap segmen pasar yang dipandang baru itu. Produsen melakukan
perubahan dalam produk maupun cara beriklan. Sehingga kemudian pengaruh
media ini memperkuat perkembangan metroseksual menjadi gaya hidup tersendiri.
Fenomena ini berkembang pesat sejalan dengan agresivitas produsen
produk-produk konsumtif kapitalis dan dunia periklanan dalam menangkap
peluang dari gejala fenomena metroseksual. Menurut pandangan kaum feminis,
seperti Marian Salzman dari Euro RSCG fenomena metroseksual adalah
keberhasilan gerakan feminis dimana makin banyak perempuan bekerja (Wibowo,
2006: 208). Laki-laki tidak lagi malu untuk menunjukkan sisi emosional dan
sensitivitas tanpa merasa kehilangan citra sebagai laki-laki. Kehadiran perempuan
di tempat kerja yang sebelumnya lebih banyak didominasi laki-laki semakin
menuntut laki-laki untuk juga menjaga penampilan, misalnya dengan berbusana
rapi, bertubuh bugar, dan beraroma wangi. Peran perempuan sebagai pasangan
laki-laki metroseksual juga perlu dipandang penting. Peran Victoria „Posh Spice'
Adams bagi David Beckham adalah contoh. Sebelum menikah, David Beckham
48
masih berpenampilan sederhana. Namun penampilan David Beckham semakin
fashionable setelah menikah. Istri David Beckham terus berekperimen terhadap
penampilan suaminya. Kemampuan mempercantik diri yang dimilikinya
diterapkan pada sang suami.
Sejak 2002 fenomena laki-laki metroseksual baru mulai menggejala pada
masyarakat Indonesia (Hermawan, 2004). Gejala metroseksual ini dimulai ketika
bermunculan toko atau gerai kebutuhan laki-laki di mal-mal. Dulu, kebanyakan
tempat fashion laki-laki itu berdiri sendiri (misalnya butik-butik pakaian), karena
laki-laki tidak suka ke mal. Munculnya gerai-gerai laki-laki dan produk-produk
kosmetik untuk laki-laki di mal-mal yang terbuka merupakan penanda terjadinya
pergeseran sikap dan pandangan para laki-laki terhadap kebutuhannya. Banyak
produsen kemudian berkompetisi masuk ke pasar metroseksual di Indonesia. PT
Mandom Indonesia yang memiliki merek-merek khusus laki-laki seperti Gatsby,
Mandom, dan Spalding; PT Kinocare Era Kosmetindo dengan merek Ovale
Maskulin dan Master Cologne for Men; PT Unilever Indonesia dengan Rexona
Men dan Axe; PT Kao Indonesia dengan Biore for Men, adalah nama-nama
produsen yang menggarap segmen konsumen baru. Menurut data MarkPlus & Co
populasi laki-laki metroseksual mencapai 15% dari populasi laki-laki dewasa di
Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi dan Depok), dengan tren
meningkat (Hermawan, 2004).
49
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Pendekatan Penelitian
Fenomenologi dipilih sebagai pendekatan untuk penelitian tentang
fenomena estetisisasi tubuh laki-laki ini karena dipandang sesuai untuk menggali
makna dari pengalaman praktik estetisisi para informan. Fenomenologi
mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “Fenomen”
merupakan realitas yang tampak dan tidak terpisahkan dari kita. Realitas terkait
erat dengan kesadaran akan realitas. Menurut Husserl, dalam fenomenologi
pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas
itu sendiri. Fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut
pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini melihat pengalaman manusia
sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan
logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti
menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya
sinar atau cahaya. Pengalaman dibangun oleh dua asumsi (Smith, etc., 2009: 12).
Pertama, setiap pengalaman manusia adalah satu ekspresi dari kesadaran.
Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang bersifat
subyektif. fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas
di luar pikiran. Kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan
sesuatu. Melihat adalah melihat sesuatu, mengingat adalah mengingat sesuatu,
menilai adalah menilai sesuatu. Sesuatu itu adalah obyek dari kesadaran yang
50
telah distimulasi oleh persepsi dari sebuah obyek yang “real” atau melalui
tindakan mengingat atau daya cipta.
Pendekatan fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama
pada pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna.
Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia.
Makna membedakan pengalaman yang satu dan pengalaman lainnya. Untuk
memahami
pengalaman-pengalaman
hidup
manusia
prosedur
metode
fenomenologi mengharuskan peneliti untuk mengkaji subyek dengan terlibat
secara langsung dan relatif lama untuk mengembangkan pola-pola dan relasirelasi makna. Pengalaman-pengalaman pribadi harus dikesampingkan terlebih
dahulu untuk memahami pengalaman-pengalaman informan. Penelitian pertama
dalam fenomenologi belum mengungkapkan makna dari gejala yang ada.
Pengamatan kedua yang disebut
pengamatan intuitif diperlukan untuk
menggalinya. Prasangka yang berdasar keyakinan dan pandangan sebelumnya
perlu dikesampingkan. Proses pengujian ini untuk menyingkirkan subyektivitas
yang merupakan penghambat dalam mengungkap makna. Peneliti berusaha
menemukan makna dengan menyisihkan hal-hal empiris. Pendekatan yang disebut
transendental oleh Husserl tersebut dilakukan dengan cara :
1. Intentionality/kesengajaan.
Kesengajaan adalah orientasi pikiran terhadap sesuatu (bisa nyata seperti benda
atau tidak nyata seperti konsep-konsep). Menurut Husserl kesengajaan sangat
terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau
pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor minat, penilaian awal, dan harapan
51
terhadap obyek. Intentionality penelitian ini dibangun sejak penelitian
pendahuluan pada tahun 2010. Peneliti mengarahkan perhatian secara terusmenerus pada fenomena estetisisasi. Informasi dari para informan menjadi fokus
perhatian penelitian. Mendengarkan rekaman wawancara dilakukan tidak sekali
saja namun diulang-ulang untuk lebih memahami lebih dalam dan detail informasi
yang didapat. Hubungan baik dan komunikasi dengan informan penelitian dengan
demikian menjadi hal yang terus dibina. Selain itu, eksplorasi mengenai fenomena
estetisisasi terus dilakukan pada saat travelling sambil memperhatikan penampilan
laki-laki di berbagai tempat; pada saat mengunjungi mal, bank, bandara dan pusatpusat pelayanan publik dimana praktik estetisisasi bisa dijumpai; menggali
informasi melalui media massa dan internet; juga menyusuri jalan-jalan di kota
Yogyakarta untuk memperhatikan perkembangan prasarana estetisisasi seperti
barbershop, toko bibit parfum dan minimarket.
2. Noema dan noesis
Untuk memahami sesuatu sisi obyektif maupun sisi subyektif fenomena perlu
dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) adalah sesuatu yang bisa dilihat,
didengar, dirasakan, dipikirkan. Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan
seperti mendengar, merasa, memikirkan dan menilai. Noema akan membawa
pemikiran kepada noesis. Pada penelitian ini noema-noema yang didapatkan
terutama adalah pernyataan-pernyataan penting informan selama proses
wawancara. Untuk mendapatkan noesis dari pernyataan-pernyataan tersebut
diperlukan pemikiran, perenungan dan refleksi.
52
3. Intuisi
Intuisi mampu membedakan makna dengan alasannya. Intuisi membimbing
manusia mendapatkan pengetahuan. Reduksi tahap awal pada penelitian ini belum
menghasilkan makna. Pada proses reduksi berikutnya pemikiran yang intuitif
dituntut agar makna dapat diperoleh dari pernyataan-pernyataan informan ataupun
fakta lainnya. Menurut Husserl, intuisi menghubungkan noema dan noesis.
4. Intersubyektif
Makna intersubyektif ini berawal dari konsep „sosial‟ dan konsep „tindakan‟.
Konsep sosial adalah hubungan antara dua atau lebih orang. Sedangkan konsep
tindakan adalah perilaku yang membentuk makna subyektif. Akan tetapi, makna
subyektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai
secara sama dan bersama dengan individu lain. Maka, sebuah makna subyektif
adalah intersubyektif bila memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common
and shared).
Kesadaran dan realitas merupakan dua hal yang berbeda, namun dengan
meminjam istilah intensionalitas dari Husserl, menurut Merleau-Ponty, integrasi
kesadaran dan realitas dapat berlangsung dalam intensionalitas yang kemudian
mewujud dalam bentuk pemikiran (Merleau-Ponty, 2002: 44). Realitas sebaiknya
dipahami tanpa prasangka. Persepsi adalah hal yang sangat penting dalam proses
pengenalan realitas. Melalui fenomenologi persepsi, Merleau-Ponty antara lain
53
menambahkan perlunya pemahaman konsep sensasi dan asosiasi dalam
pendekatan fenomenologi.
Sensasi adalah suatu situasi dan pengalaman ketika diri terkena sesuatu,
suatu kualitas yang mampu membangkitkan kesadaran manusia terhadap situasi
tertentu yang ada di dalam ruang. Sensasi merupakan kesan yang murni, objek
pemicu kesadaran, bukan elemen yang ada karena kesadaran. Sehingga
pembahasan mengenai sensasi selalu melibatkan indera yang merupakan agen
penerima sensasi (Merleau-Ponty, 2002: 1-5). Untuk menganalisisnya, sensasi
dibawa masuk ke dalam kesadaran. Pemahamannya diperoleh hanya melalui
persepsi. Analisis bisa keliru bila persepsi yang merupakan objek dari kesadaran
kurang disadari ataupun bila memiliki prasangka sebelumnya.
Suatu imaji dengan pola tertentu dapat diasosiasikan pada persepsi
tertentu. Jika kita membatasi diri terhadap fenomena, keutuhan suatu hal dalam
persepsi tidak datang tiba-tiba karena asosiasi, tetapi terkondisikan oleh asosiasi
karena
melewati
keterbatasan
yang
ada,
lalu
kita
menyusun
dan
memverifikasinya. Kesan tidak pernah mengasosiasikan diri terhadap kesan
lainnya. Asosiasi tidak pernah bermain sebagai kekuatan otonom, tidak pernah
meminta jawaban secara cepat. Ia bertindak hanya dengan mereproduksi intensi
yang mungkin atau menarik. Ia beroperasi hanya dalam makna yang diperoleh
berdasarkan pengalaman sebelumnya, sejauh mana mengenali dan menangkapnya
sesuai pengalaman masa lalu. Asosiasi bisa berdasarkan kemiripan dimana kita
mengingat suatu imaji yang menampilkan persepsi menyerupai. Di sini asosiasi
berpola sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan kemiripan (Merleau-
54
Ponty, 2002: 21). Pemahaman akan asosiasi dan sensasi ini diperlukan dalam
analisis fenomenologi agar peneliti berhati-hati sehingga analisis tidak terdistorsi
oleh sensasi ataupun asosiasi.
Pendekatan fenomenologi persepsi Merleau-Ponty juga dapat diharapkan
untuk memahami bagaimana tubuh menjadi “expression and speech”. Pendekatan
tersebut membantu untuk “trying to describe the phenomenon of speech and the
specific act of meaning”(Merleau-Ponty, 2002: 202). Artinya Merleau-Ponty
menggarisbawahi speech sebagai suatu fenomena dan meaning sebagi suatu
aktivitas. Sudut pandang fenomenologi adalah tentang subyek yang berbicara
yang menggunakan bahasa tertentu menjadi bermakna dalam berkomunikasi
dalam ruang sosial. Bahasa estetisisasi tubuh dapat dipandang sebagai proses
pengkonstitusian obyek estetsisisasi dalam aktivitas pelakunya sebagai suatu
realitas sehingga menjadi sebuah fenomena. Maka proses pengkonstitusian itulah
yang sebenarnya menjadi analisis dalam penelitian ini.
1.7.2. Lokasi Penelitian, Informan dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan di kota Yogyakarta, karena fenomena estetisisasi
tubuh laki-laki mudah dijumpai di kota-kota besar seperti Yogyakarta. Perkotaan
adalah lokasi keberadaan pusat hiburan, mal, pusat-pusat belanja yang
menyediakan
komoditas-komoditas
untuk
memenuhi
selera
golongan
metroseksual seperti parfum berkelas, pakaian dan aksesori bermerek. Munculnya
kota memiliki implikasi signifikan dalam pembentukan hidup sosial dan
peningkatan konsumsi sehingga mampu memenuhi, memuaskan kebutuhan sosial
55
dan psikologis penduduk kota (Simmel via Soejatmiko, 2008:24). Yogyakarta
dikenal sebagai kota dengan komunitas mahasiswa yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia. Interaksi antara berbagai latar belakang budaya tentu turut
berpengaruh terhadap pembentukan identitas. Sehingga kompleksitas fenomena
estetisisasi tubuh laki-laki di tengah masyarakat Yogyakarta semakin menarik
untuk dikaji.
Informan penelitian ini adalah laki-laki pelaku praktik estetisisasi tubuh
dengan profesi yang dapat dikategorikan pekerja lapis bawah di perusahaanperusahaan di kota Yogyakarta. Jenis perusahaan yang dipilih adalah perusahaan
yang dekat dengan bidang pelayanan konsumen. Kriteria pekerjaan lapis bawah
yang dimaksud seperti: office boy, satpam, sopir dan pramuniaga. Pemilihan ini
didasari pertimbangan:
- mereka melakukan praktik estetisisasi dalam kondisi keterbatasan ekonomi
sehingga praktik yang dilakukan dengan kesungguhan tersebut menarik untuk
dieksplorasi
- di lingkungan pekerja lapis bawah perusahaan dimungkinkan terdapat banyak
pihak, termasuk perusahaan terkait dengan fenomena tersebut karena menjadi
bagian dari interaksi sehari-hari pekerja.
- arena dimana informan bekerja terdapat interaksi juga dengan kelas menengah
atas sehingga dapat diperoleh informasi tentang kelompok penyokong gaya hidup
tersebut dari kaca mata kelas bawah.
Usia menjadi kriteria penting dalam pemilihan informan. Usia informan
dipilih sesuai dengan fokus penelitian ini, yaitu pekerja laki-laki lapis bawah yang
56
mempraktikkan estetisisasi penampilannya. Maka usia informan ditentukan sesuai
usia produktif dan masih relatif muda yaitu 18 s.d. 40 tahun.
Tabel 1.
Informan Penelitian
Gambar 3. Contoh Informan:
Widodo, Pramuniaga
Jumlah
Office boy
Satpam
Sopir
Pramuniaga
Total
2
1
2
2
7
Sumber : doc pribadi
Adapun penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2014 dengan
menggunakan indepth interview kepada informan untuk mendapatkan jawabanjawaban atas permasalahan penelitian.
Tabel 2.
Permasalahan Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Yang Digunakan
untuk Menjawab Masalah Estetisisasi Tubuh Laki-laki
Permasalahan Penelitian
Metode
Obyek Penelitian
Pengumpulan Data
Bagaimana bentuk-bentuk praktik Observasi
Praktik penampilan
estesisasi tubuh laki-laki di kalangan Wawancara (indepth Makna penampilan
pekerja di Yogyakarta? Mengapa interview)
Pengalaman di dalam dan
mereka melakukannya? Bagaimana
luar arena kerja.
estetisisasi terkait dengan pekerjaan?
Manfaat penampilan
Bagaimana
cara
mereka
memandangnya sebagai kapital dalam
arena pekerjaan dan pergaulan?
Wacana-wacana apa yang membentuk Observasi
Interaksi-interaksi
praktik-praktik
estetisisasi
itu? Wawancara (indepth Agen-agen
Bagaimana mereka menegosiasikan interview)
Pengalaman mensiasati
wacana tersebut?
penampilan
57
1.7.3. Analisis Data
Dengan pendekatan fenomenologi ini analisis dilakukan untuk mencoba
menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman praktik
estetisisasi tubuh yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada informan
penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada
batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut
Creswell (1998:54), pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang
sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut
epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek)
dengan interpretasi peneliti. Dugaan awal tentang fenomena disusun dan
dikelompokkan untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh informan.
Indepth interview bermakna mencari sesuatu yang mendalam untuk
mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena yang diteliti.
Kedalaman pemahaman ini diharapkan mampu memunculkan knowledge dam
insight tentang estetisisasi tubuh laki-laki. Alfred Schults menurut Smith et al
(2009: 15) mengadopsi dan mengembangkan fenomenologi dengan pendekatan
interpretatif praktis. Interpretative Phenomenological Analysis (IPA), pendekatan
tersebut bertujuan untuk mengungkap secara detail bagaimana subyek penelitian
memaknai dunia personal dan sosialnya (Smith et al, 2009: 97-99). Analisis
terhadap hasil wawancara dilakukan dengan IPA sebagaimana ditulis oleh Smith
et al (2009: 79-107) dengan tahap-tahap sebagai berikut :
58
1. Reading and re-reading
Pada tahap ini peneliti menuliskan transkrip wawancara dari rekaman
audio ke bentuk tulisan. Langkah pertama ini memerlukan ketelitian dan
membutuhkan waktu dalam menyalin rekaman dari setiap informan untuk setiap
jawaban pertanyaan yang diajukan. Rekaman asli dipandang lebih utama namun
tahap ini dapat memudahkan dalam pengorganisasian dan analisis data. Membaca
ulang data memberikan kesempatan pada peneliti untuk memperoleh pemahaman
mengenai bagaimana narasi-narasi setiap informan.
2. Initial noting
Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan perlu waktu. Peneliti
mencatat kata, kalimat, bahasa dan segala sesuatu yang menarik dalam transkrip
dan berusaha semain mengenali informan dalam mengatakan sesuatu, memahami
dan memikirkan praktik estetisisasinya. Analisis ini ber tujuan untuk mendapatkan
seperangkat catatan yang komprehensif dan mendetail mengenai informan.
Asosiasi terhadap pernyataan-pernyataan dilakukan agar dapat ditemukan polapola habitus dan dinamikanya sehingga memungkinkan untuk mendapatkan
makna.
3. Developing emergent themes
Transkrip wawancara merupakan tempat pusat noema-noema yang
didapatkan dari penelitian. Untuk memunculkan tema-tema peneliti menganalisis
noesis-noesis dari pernyataan-pernyataan dan mencari hubungan dan pola-pola
59
yang muncul. Peneliti melakukan reorganisasi data pengalaman partisipan.
Transkrip hasil wawancara menjadi fokus dari analisis, namun membayangkan
kembali proses wawancara dan mendengarkan rekaman wawancara dilakukan
untuk mencermati keseluruhan informasi agar dapat melukiskan fenomena pada
setiap informan dengan terperinci. Pada tahap ini jawaban-jawaban sejenis yang
diperoleh dikelompokkan agar tidak tumpang tindih pada saat dilakukan analisis.
Hasil inventarisasi pada tahap ini menjadi kerangka dalam menyusun bab dan sub
bab tulisan ini. Konsep-konsep yang bisa menjelaskan tema-tema tersebut
kemudian dibahas, baik yang telah ada pada landasan teori maupun konsepkonsep lain yang relevan untuk menganalisis.
4. Searching for connection across emergent themes
Tahap mencari hubungan antar tema-tema yang muncul dilakukan setelah
peneliti menetapkan tema-tema dalam transkrip. Hubungan antar tema-tema ini
dikembangkan dalam bentuk catatan-catatan untuk direfleksikan lebih lanjut.
Menemukan makna dan pola dari tema-tema yang muncul dan saling bersesuaian
dan menghasilkan struktur yang memberikan hal-hal penting dan menarik
berdasarkan wawancara informan. Peneliti mencoba melakukan eksplorasi tentang
hal baru berdasarkan hasil pengorganisasian analisis. Tema penting dan relevan
yang muncul digabungkan sedangkan tema yang tidak relevan dan tidak
signifikan tidak diikutsertakan. Penting tidaknya pernyataan didasarkan pada
apakah noema-noema tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian.
60
5. Moving the next cases
Tahap analisis 1- 4 dilakukan pada setiap satu kasus/partisipan. Jika satu
kasus selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah
pada kasus atau partisipan berikutnya hingga selesai semua kasus. Langkah ini
dilakukan pada semua transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang
sama.
6. Looking for patterns across cases
Tahap akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari
pola-pola yang muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang terjadi
antar kasus, dan bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang
lain memandu peneliti melakukan penggambaran dan pelabelan kembali pada
tema-tema. Pada tahap ini dibuat master table dari tema-tema untuk satu kasus
atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/organisasi. Pemahaman dan
kesadaran akan sensasi dan asosiasi dalam fenomenologi persepsi Merleau-Ponty
bermanfaat dalam analisis termasuk ketika mencari wacana-wacana penting apa
yang melandasi praktik estetisisasi pada penelitian ini. Tidak semua analisis
merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Tidak tertutup kemungkinan
apabila diperoleh noesis khusus menarik yang perlu dibahas secara khusus, maka
tema tersebut dibahas tersendiri, seperti halnya persoalan distingsi.
61
Gambar 4. Pendekatan Fenomenologi untuk Analisis
Seperti apa habitus awal si A
Bagaimana praktik estetisisasi si A
Pendekatan
fenomenologi
berdasarkan
pernyataan –
pernyataan para
informan
Wacana apa yang membentuknya
Negosiasi seperti apa yang terjadi
Bagaimana itu menjadi hexis si A
Bagaimana praktik di pekerjaan
Bagaimana di luar arena pekerjaaan
Langkah-langkah seperti dijelaskan di atas merupakan tahapan pendekatan
fenomenologi yang dilakukan pada penelitian yang kemudian dikelompokkan
untuk mendapatkan pemahaman-pemahaman tentang habitus, bentuk praktik,
wacana, negosiasi, proses menjadi ethos/hexis/habitus baru dan perbedaan praktik
di arena pekerjaan dengan di luar arena. Insight-insight penelitian kemudian
diharapkan bisa diperoleh dari analisis terhadap makna-makna tersebut.
1.8. Sistematika Disertasi
Bab I. Pendahuluan
Bab ini memaparkan apa yang melatarbelakangi penelitian ini. Fenomena
metroseksual dan merebaknya praktik estetisisasi tubuh laki-laki hingga ke kelas
62
bawah terutama menjadi pertanyaan penting untuk dikaji. Kemudian pertanyaanpertanyaan tersebut dirumuskan pada permasalahan penelitian, dilengkapi
penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian. Tinjauan pustaka untuk
menelaah penelitian-penelitian lain yang relevan dengan disertasi dideskripsikan
pada bab ini. Kemudian landasan teori dibangun dengan mendasarkan pada teoriteori gaya hidup, konsep estetisisasi Featherstone, maskulinitas, identitas, tubuh
dan konsep habitus Bourdieu. Pendekatan fenomenologi dalam analisis data hasil
indepth interview dipaparkan pada bab ini
Bab II. Estetisisasi Sebagai Praktik Sosial
Pada bab ini diulas awal mula praktik estetisisasi tubuh dalam konteks
modernitas oleh laki-laki terutama kelas bawah di Yogyakarta. Logika industri
yang menuntut penampilan dan interaksi pelaku dalam komunitas diuraikan
sebagai titik awal praktik tersebut di kalangan pekerja lapis bawah tersebut.
Kemudian bentuk-bentuk praktik estesisasi tubuh akan dideskripsikan berikut
analisis tentang mengapa mereka melakukan hal ini.
Bab III. Wacana Estetisisasi Tubuh dan Negosiasi oleh Pekerja
Wacana-wacana apa yang membentuk praktik-praktik estetisisasi itu
dibahas di bab ini. Wacana meliputi apropriasi penampilan selebritas, perusahaan
yang mengatur penampilan dan persoalan habitus di dalam diri para pelaku itu
sendiri. Kemudian bagaimana mereka menegosiasikan wacana-wacana tersebut
menjadi praktik dijabarkan dari sisi negosiasi keterbatasan ekonomi para pekerja
63
tersebut, negosiasi dalam melakukan konsumsi simbolik produk dan sarana
estetisisasi serta negosiasi terhadap pemaknaan maskulinitas
Bab IV. Estetisisasi Tubuh Sebagai Kapital Simbolik
Bab ini membahas bagaimana penampilan estetis menjadi kapital simolik
yang kemudian diperjuangkan oleh pekerja lapis bawah. Bagaimana kemudian
kapital simbolik ini bisa dikonversi menjadi keuntungan finansial melalui
serangkaian strategi penempatan kapital dipaparkan di sini. Konversi menjadi
kapital sosial juga diperlihatkan melalui bab ini. Terakhir secara khusus dibahas
tentang praktik distingsi yang berbeda dari distingsi seperti dijelaskan oleh
Bourdieu
Bab V. Kesimpulan
Seluruh pertanyaan yang dirumuskan akan disimpulkan pada bab ini. Gaya
hidup ternyata juga merupakan hak dari pekerja lapis bawah. Sebagian dari
mereka melakukan lifestyling atas gaya hidup kelas menengah atas seperti yang
mereka jumpai di arena pekerjaan mereka dan melalui media. Namun terungkap
juga bahwa perusahaan tempat mereka bekerja juga menerapkan aturan-aturan
yang harus mereka ikuti dalam hal penampilan. Meskipun akhirnya pekerja pun
menikmati bentuk-bentuk penampilan yang dikonstruksikan tersebut. Bahkan
penampilan estetis tersebut dapat dikatakan merupakan kapital simbolik yang
berusaha diraih oleh pekerja lapis bawah. Kapital simbolik tersebut turut
berpengaruh terhadap keuntungan material yang diraih terkait profesi mereka.
64
Pada saatnya kapital simbolik itu menjadi kapital ekonomi. Selain itu, kapital
simbolik itu juga bisa terkonversi menjadi kapital sosial ketika pekerja lapis
bawah menampilkan habitus estetisisasi mereka dalam pergaulan, baik pergaulan
informal di arena kerja maupun di luar arena kerja.
Download