SIARAN PERS Nomor : 03/4/2015, Tanggal 6 April 2015 Nata de Coco, Produksi Dan Keamanan Pangannya Nata de coco merupakan produk pangan yang sangat populer di masyarakat. Produk yang secara fisik terlihat seperti gel, berwarna putih atau bening dan bertekstur kenyal ini diproduksi dengan memanfaatkan kerja bakteri Acetobacter xylinum pada air kelapa sebagai bahan baku dan dalam proses produksinya menggunakan sejumlah bahan tambahan pangan sebagai bahan penolong, seperti gula (sukrosa) dan amonium sulfat. Penggunaan amonium sulfat ini menjadi ramai didiskusikan belakangan ini oleh konsumen, pengrajin maupun pengambil kebijakan, dan mendapat perhatian yang cukup kuat dari media massa. Isu itu menguat karena amonium sulfat diartikan sebagai pupuk ZA, singkatan dari Bahasa Belanda Zwavelzure Ammoniak. Dilaporkan pula bahwa banyak pengrajin telah menggunakan pupuk ini dalam praktik produksi Nata de Coco, sehingga muncul beragam pertanyaan terkait dengan kelaziman dan keamanan pangannya. Amonium sulfat sendiri dalam jumlah kecil yaitu sebanyak 0,2% atau 2 gr/liter digunakan sebagai sumber nitrogen bagi bakteri A.xylinum dan senyawa tersebut akan habis dikonsumsi bakteri untuk pertumbuhan. Pencucian berulang-ulang, pengecilan ukuran, dan perendaman merupakan tahapan proses bertujuan untuk menghilangkan sisa substrat fermentasi, menghilangkan asam, menghilangkan sisa mikroba dan komponen lain yang tidak dikehendaki, dan menghasilkan aroma khas Nata. Nata de Coco selanjutnya direbus mendidih minimal selama 10 menit untuk menghilangkan rasa asam maupun sisa mikroba hidup, sehingga dihasilkan produk Nata dengan rasa tawar, kenyal, tidak berbau, bebas residu, dan aman untuk dikonsumsi. Salah satu standar yang digunakan untuk bahan baku makanan adalah standar FCC (Food Chemical Codex). FCC menyebutkan bahwa ammonium sulfat yang boleh digunakan sebagai bahan pangan disyaratkan tidak boleh mengandung logam berat arsenik (lebih dari 0.5 ppm), besi (15 ppm), dan selenium (5 ppm). Secara komersial, ammonium sulfat tersebut tersedia dalam dua kategori: untuk makanan (food grade) dan bukan untuk makanan (non food grade). Yang food grade berstatus Generally Recognized As Safe (GRAS) dalam batasan tertentu, sedangkan yang non food grade tentu saja tidak boleh dipakai dalam makanan. Permasalahannya adalah amonium sulfat dalam bentuk pupuk ini murah dan banyak tersedia. Ancaman penggunaan urea atau ZA yang berkualifikasi bukan untuk makanan (nonfood grade) tetap ada. Jika dikonsumsi, pupuk urea memiliki tingkat toksisitas yang cukup tinggi. Efek dari terkonsumsinya urea adalah mual-mual, muntah-muntah, dan iritasi. Akan tetapi, keberadaan urea di produk akhir Nata de Coco adalah sangat debatable. Secara logika, urea semestinya tidak akan terdapat dalam produk nata de coco, karena urea dimanfaatkan bakteria sebagai sumber nitrogen. Kalaupun bersisa, ZA/urea akan sangat mungkin terbuang melalui proses pemanasan maupun pencucian berulang. Berkaitan dengan kasus penggunaan pupuk ZA pada produksi nata de coco, beberapa langkah perbaikan yang perlu dilakukan antara lain: (1) Penggalakan penggunaan amonium sulfat murni (Food Grade) perlu dilakukan. Diakui bahwa bahan ini merupakan produk impor dengan harga yang relatif lebih mahal. Namun demikian, aspek ketersediaan nampaknya merupakan titik kritis penggunaan bahan tersebut. (2) Agar sedapat mungkin dihindari penggunaan bahan non food grade, mengingat kadar ketidak-murnian yang tinggi pada amonium sulfat non food grade, misalnya pada kandungan logam berat yang jauh lebih tinggi; (3) pencucian berulang dalam proses produksi nata de coco adalah titik kritis keamanan pangan, dimana boleh jadi komponen-komponen berbahaya seperti logam berat akan larut ke dalam air pencuci; (4) sebaiknya dilakukan pengukuran kadar logam berat pada produk nata de coco yang saat ini beredar. Kasus pupuk ZA pada produksi nata de coco sangat mungkin berimplikasi pada ekonomi rakyat. Regulasi yang pasti dan solusi yang ditawarkan perlu segera disiapkan dan disosialisasikan agar pelarangan penggunaan bahan berbahaya dapat dihindari tanpa menimbulkan gejolak. Secara teknis, pemenuhan sumber N untuk bakteri pada produksi nata de coco juga perlu diantisipasi. Badan Litbang Pertanian juga telah mengembangkan potensi bahan lain pengganti amonium sulfat seperti air sisa pengolahan tahu atau sari kecambah kacang hijau. Informasi lebih lanjut : Humas Badan Litbang Pertanian Telp. (021) 7806202 ext. 121/122/123 Email : [email protected]