5 TINJAUAN PUSTAKA Prestasi Belajar Belajar adalah segenap rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan pada dirinya, berupa tambahan pengetahuan atau kemahiran. Seorang siswa dikatakan sukses di sekolah apabila ia secara relatif konstan dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah tanpa mengalami kesulitan-kesulitan dalam belajar yang dapat mempengaruhi nilai prestasinya di sekolah. Siswa disini selalu mencapai nilai-nilai yang baik setiap ulangan maupun ujian (Darmokusumo 1972). Lebih lanjut Winkel (1996) menyatakan kecerdasan seseorang akan mempengaruhi kemampuan belajar. Kemampuan belajar merupakan kemampuan untuk berhasil dalam studi di jenjang pendidikan tertentu. Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kecerdasan kognitif atau yang sering disebut IQ secara umum diketahui sebagai prediktor utama keberhasilan siswa di sekolah (Atkinson et al. 2000). Hasil belajar tergantung pada banyak faktor dan tidak semua faktor mempunyai pengaruh yang sama. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar selain keadaan gizi adalah hereditas, keadaan sosial ekonomi keluarga, faktor lingkungan, stimulus, fasilitas belajar dan daya tahan tubuh (Yulian 1994). Disamping itu, Winkel (1996) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar adalah motivasi berprestasi, intelegensi, keadaan sosial ekonomi serta keadaan fisik dan psikis. Faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi seorang anak antara lain faktor keturunan, faktor prenatal yaitu berhubungan dengan faktor gizi dan penyakit yang diderita ibu hamil, kesulitan dalam proses kelahiran yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan seorang anak serta keadaan sosial ekonomi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh penyakit atau cedera otak, serta ketunaan pada alat indra yang mengganggu penerimaan rangsang (sensory input) dari lingkungan sehingga pemrosesan informasi tidak dapat berjalan dengan baik (Atmodiwirjo 1993). 6 Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya karena kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Gizi kurang pada anak dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak. Menurut Stuart dalam Judarwanto (2004) kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal itu mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru atau melinasi sel otak terutama usia di bawah 3 tahun sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto 2004). Lebih lanjut, Judarwanto (2004) menyatakan kurang gizi pada fase cepat tumbuh otak (di bawah usia 18 bulan) akan bersifat irreversible (tidak dapat pulih) dan kecerdasan anak tersebut tidak bisa lagi berkembang secara optimal. Kurang energi dan protein pada masa anak-anak akan menurunkan IQ yang menyebabkan kemampuan geometrik rendah dan anak tidak bisa berkonsentrasi secara maksimal. Menurut penelitian Arnelia et al. (1995) rata-rata nilai IQ anak yang pernah menderita gizi buruk sewaktu balita lebih rendah 13.7 point dibandingkan dengan anak yang tidak pernah menderita KEP. Namun IQ yang tinggi tidak selalu menjadi jaminan untuk meraih prestasi di sekolah, tapi harus dibarengi dengan upaya mengasah ketrampilan, kerajinan, ketekunan dan kemampuan berfikir. Determinan Prestasi Belajar Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Jadi kebiasan orang belajar juga berpengaruh pada hasil yang diinginkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi belajar ada dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan; sedangkan faktor ekstern contohnya faktor keluarga, faktor sekolah serta faktor masyarakat (Rahmawati 2008). Setiap anak mempunyai karakteristik yang beragam. Salah satu anak dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami 7 berbagai kesulitan, sedangkan tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar; dan dapat bersifat psikologis, sosiologis maupun fisiologis sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapai berada di bawah semestinya (Rahmawati 2008). Husin (1980) menjelaskan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam diri anak sendiri (intelegensi, motivasi, minat, sikap dan keadaan gizi); dan faktor dari luar anak (sosiokultural, sosial ekonomi, kurikulum, cara guru mengajar dan faktor fisik seperti buku pelajaran). Hasil penelitian Hanum (1993) menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah hubungan siswa dengan orang tua dan status gizi. Dari kedua faktor tersebut yang lebih besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar adalah status gizi. Sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara status gizi dengan prestasi belajar. Thoha (2006) menyatakan prestasi belajar dipengaruhi oleh oleh aktivitas tidur, aktivitas belajar, pola konsumsi pangan, konsumsi asam folat dan konsumsi protein. Karakteristik Remaja Remaja adalah seseorang yang sedang mengalami perkembangan yang pesat menuju kedewasaan dan berusia antara 12 sampai 19 tahun (Achir 1991). Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan dewasa yaitu berumur antara 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa peralihan tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya secara pasti. O’Dea (1996) mengemukakan bahwa pada masa pubertas remaja mengalami pertumbuhan yang pesat dalam hal tinggi badan, berat badan, lemak tubuh dan otot serta penyempurnaan berbagai sistem organ. Pada anak laki-laki pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak lebih banyak (Husaini 1989). 8 Remaja berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada masa ini, pemenuhan kebutuhan gizi sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini dapat dilakukan oleh orang lain (penyedia makanan di rumah) ataupun dirinya sendiri. Selanjutnya bila terjadi defisiensi zat gizi, akan dapat terlihat pada keadaan fisik, status kesehatan dan status gizi (Sediaoetama 1991). Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja menyebabkan mereka memberi perhatian yang besar terhadap penampilan dirinya. Remaja mengharapkan gambaran tubuh yang ideal (body image), sehingga penyimpangan atau cacat anggota tubuh sangat merisaukan perasaannya terutama pada remaja putri (Monks et al.1992). salah satu upaya remaja untuk mencapai body image tersebut adalah menurunkan berat badan dengan mengubah kebiasaan makan. Perubahan kebiasaan makan yang tidak tepat memungkinkan terjadinya anorexia nervosa dan bulimia sebagai masalah kesehatan remaja (Heald et al. 1998). Karakteristik Keluarga Faktor keluarga adalah faktor yang paling penting dalam proses tumbuh kembang anak sebagai individu. Salah satu faktor yang menyebabkan anak mengalami kemerosotan prestasi yaitu keluarga dengan banyak anggota keluarga. Kondisi ini diperberat dengan tingkat sosial ekonomi keluarga sehingga orang tua tidak mampu menyediakan hunian yang memadai. Kegaduhan yang timbul oleh anggota keluarga dalam suatu rumah menyebabkan anak-anak yang akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sekolah atau mengulang pelajaran di rumah sulit memusatkan konsentrasi belajar. Terlebih lagi jika anak tidak memiliki kamar terpisah dan tidak ada sarana pendukung sederhana apapun, seperti meja kecil untuk baca tulis (Puar 1998). Soekirman (1997) menyatakan bahwa keluarga dengan anak sedikit (kurang dari tiga) akan lebih menunjukkan perilaku mandiri dibandingkan dngan keluarga dengan jumlah anak yang banyak (keluarga besar). Namun menurut Sukadji (1988), orang tua dengan anak tunggal cenderung over protektif, sehingga membuat anak menjadi pusat perhatian dalam keluarga, dan anak-anak seperti ini jarang mendapatkan kesempatan untuk belajar sharing (menikmati maupun menanggung penderitaan bersama orang lain). 9 Tingkat pendidikan orangtua dapat mempengaruhi usaha meningkatkan prestasi belajar anak, semakin tinggi pengetahuan orang tua, maka akan semakin banyak pula pengetahuan orangtua yang diberikan kepada anaknya (Nasution dan Nasution 1986). Suatu penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa adanya pengaruh keadaan keluarga yang terdiri dari pendapatan, jenis pekerjaan dan pendidikan orangtua disamping faktor kemampuan anak dan kualitas sekolah terhadap keberhasilan anak belajar. Nio (1985) dalam Hanum (1993) menyatakan bahwa membiasakan anak untuk belajar di rumah merupakan salah satu faktor yang penting. Ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam membimbing anak dalam belajar yaitu kesabaran dan bijaksana. Ada beberapa kegiatan bimbingan belajar yang dapat dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar anak antara lain : menyediakan fasilitas belajar (alat tulis, buku-buku pelajaran dan tempat untuk belajar), mengawasi kegiatan belajar anak, mengawasi penggunaan waktu belajar anak di rumah, mengenal kesulitan-kesulitan anak dalam belajar dan menolong anak mengatasi kesulitannya dalam belajar. Orangtua sebaiknya memberikan perhatian pada pendidikan anaknya. Perhatian dapat berupa bimbingan kepada anak dalam hal belajar, sehingga anak akan senang menerimanya dan akan menganggap belajar sebagai kewajiban sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut juga dijelaskan bahwa orangtua berkewajiban untuk memberikan semangat dan dorongan kepada anak dalam meningkatkan kegiatan belajar secara efektif untuk mencapai prestasi belajar yang optimal (Nasution dan Nasution 1986). Orangtua yang bisa merangsang perkembangan kecerdasan anak adalah orangtua yang menyadari perannya, orangtua yang bisa mengasihi dan tahu serta mengerti bagaimana cara memenuhi kebutuhan anak, kemudian merangsang perkembangannya. Terbentuknya konsep diri dan motivasi anak untuk berprestasi tidak terlepas reaksi dari lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan orangtua. Orangtua yang selalu memberi dorongan pada saat yang tepat akan menimbulkan konsep diri yang positif untuk berprestasi. 10 Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah, baik tunggal maupun beragam, yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dan pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Sedangkan perilaku konsumsi pangan dapat dirumuskan sebagai cara-cara atau tindakan yang dilakukan oleh individu, keluarga atau masyarakat di dalam pemilihan makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan tersebut (Susanto 1997). Pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, faktor sosial dan alasan kesehatan. Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar atau kenyang, selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, agama, status sosial ekonomi dan pendidikan (Riyadi 1996). Pada dasarnya ada tiga fungsi makanan bagi anak, yaitu menyediakan tenaga (fuel) untuk aktifitas muskular, menyediakan unsur dan senyawa kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh anak dan pemeliharaan jaringan yang rusak, serta memberikan kenyamanan dan kepuasan kepada anak (Villavieja, et al. 1987). Lebih lanjut Villavieja et al (1987) menyatakan bahwa ada lima faktor yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak sekolah, yaitu energi, protein, vitamin larut lemak, vitamin larut air dan mineral. Kebutuhan energi anak sekolah ditentukan oleh usia, metabolisme basal dan aktifitas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan konsumsi makanan anak sekolah, yaitu selera, ukuran tubuh, dan keperluan psikologis. Jenis aktivitasnya sangat beragam, mulai dari aktifitas dalam kelas, olah raga sampai aktifitas sosial, sehingga relatif sedikit waktu yang tersisa untuk istirahat. Anak-anak membutuhkan zat gizi yang bagus agar terpenuhi kebutuhannya untuk pertumbuhan dan perkembangannya serta ketahanannya terhadap infeksi (Villavieja et al. 1987). Makanan bagi anak sekolah tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan zat gizi, tetapi juga harus memperhatikan dalam hal palatabilitas, mengenyangkan serta nilai emosi dan sosialnya. Anak-anak harus dibimbing dalam memilih 11 makanan agar mendapatkan zat gizi yang memadai. Selain itu, usia sekolah merupakan masa yang penting untuk pembentukan perilaku dan kebiasaan makan. Dengan demikian, selain harus memenuhi nilai gizinya, makanan anak sekolah sebaiknya mempertimbangkan variasi agar dapat memenuhi seleranya (Villavieja et al. 1987). Hasil penelitian Kustiyah (2005) menunjukkan faktor selera merupakan faktor terbesar yang digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan menu, selanjutnya diikuti dengan pertimbangan harga/biaya, ketersediaan bahan di warung dan yang paling sedikit pertimbangannya adalah aspek gizi. Hasil penelitian Thoha (2006) menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata antara kebiasaan makan dengan nilai IPK. Dimana contoh dengan frekuensi makan tiga kali sehari, dan yang terbiasa sarapan pagi mempunyai nilai IPK lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang mempunyai frekuensi makan satu atau dua kali sehari dan yang tidak sarapan. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Status gizi merupakan suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang (Harper, et al. 1986). Pada dasarnya, keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi makanan dan kemampuan tubuh menggunakan zat-zat gizi. Konsumsi makanan ditentukan oleh produksi pangan, daya beli dan kebiasaan makan, sementara kemampuan menggunakan zat gizi ditentukan oleh keadaan kesehatan (Khumaidi 1994). Pada masa remaja kebutuhan akan zat gizi mencapai maksimum. Kebutuhan zat gizi yang tinggi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang cepat. Jika kebutuhan zat gizi tersebut tidak terpenuhi maka akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Williams 1980). Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung melalui pengukuran antropometri dan penilaian biokimia. Indikator yang digunakan tergantung pada 12 waktu, biaya, tenaga dan tingkat ketelitian penelitian yang diharapkan serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya (Riyadi 2003). Menurut Blackburn dan Thornton dalam Thuluvath dan Triger (1994), pengukuran antropometri adalah indikator yang reliabel terhadap pengukuran status gizi. Salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran antropometri adalah indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Menurut Riyadi (2003), indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah tersedia. Status gizi remaja diukur dengan menilai indeks massa tubuh (IMT) dengan mengukur bobot tubuh (berat badan) dalam satuan kilogram debagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam satuan meter. Kemudian status gizi remaja dikelompokkan menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT < 17.0), kurus (IMT 17.0 – 18.5), normal (IMT 18.5 – 25.0), gemuk (IMT 25.0 – 27.0) dan obesitas (IMT >27.0) (Depkes 1996). Hasil penelitian Hanum (1993) menunjukkan status gizi berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara status gizi dengan prestasi belajar siswa. Artinya semakin baik status gizi contoh maka prestasi belajar yang diperoleh akan semakin tinggi. Prestasi yang semakin meningkat dapat terjadi karena dengan status gizi yang baik maka anak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam mengikuti pelajaran sehingga semua yang dipelajari dapat diterima dengan baik. Siswa yang kurang sehat atau kurang gizi, daya tangkapnya terhadap pelajaran dan kemampuan belajarnya akan lebih rendah (Grossman 1997 dalam Kusumaningrum 2006). Status Kesehatan Status gizi merupakan bagian penting dari status kesehatan seseorang. Status gizi yang buruk atau kurang dapat menimbulkan hal-hal seperti meningkatnya frekuensi terserang penyakit infeksi, pertumbuhan fisik dan mental 13 yang terganggu, kegiatan fisik menurun dan produktivitas kerja orang dewasa rendah (Muhilal, et al. 2004). Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang sakit akibat penyakit atau akibat kelelahan tidak dapat belajar dengan efektif dan hal tersebut akan mempengaruhi hasil belajar (Soemanto 1990). Suryabrata (1995) mengemukakan bahwa keadaan kesehatan jasmani pada umumnya dapat dikatakan melatarbelakangi aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya kesehatan jasmani yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah, dan sebagainya. Sedangkan beberapa penyakit yang kronis juga sangat mengganggu aktivitas belajar seperti pilek, influensza, sakit gigi dan lain-lain. Keadaan ini akan mempengaruhi proses belajar, yang lebih lanjut akan mengurangi minat dan motivasi belajar di sekolah. Status gizi dan kesehatan anak sekolah penting artinya sebagai gambaran keadaan gizi anak secara keseluruhan (Puar 1998). Hasil penelitian Maryam (2001) menunjukkan status gizi dan kesehatan dapat meningkatkan prestasi beajar. Sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan status kesehatan berhubungan dengan prestasi belajar. Dimana semakin baik status kesehatan maka prestasi belajar juga semakin baik. Hubungan Anemia Gizi Besi dengan Prestasi Belajar Anemia gizi besi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yaitu kurang dari 12 g/dl (INACG 1985) dan berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Soekirman 2000). Dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam hemoglobin pada selsel darah merah, dan bernama mioglobin apabila berada dalam sel-sel otot. Hemoglobin berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Sedangkan mioglobin 14 berperan untuk mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot (Soekirman 2000). Sebagian besar terjadinya anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan zat besi. Penyebab terjadinya anemia gizi besi adalah tidak cukupnya zat-zat gizi terutama yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah sehingga terjadi keseimbangan negatif antara pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh selain itu, zat-zat penyerta yang dapat meningkatkan daya serap seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup jumlahnya. Husaini (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya anemia, yaitu kehilangan darah karena pendarahan, kerusakan sel darah merah dan produksi sel darah merah yang tidak mencukupi. Anemia besi dapat memperlambat perkembangan dan gangguan perilaku seperti aktivitas motorik, interaksi sosial dan perhatian (Idjradinata & Pollit 1993). Anak sekolah yang mengalami anemia akan mempengaruhi aktivitas belajar dan selanjutnya akan berdampak pada rendahnya prestasi belajar (Chwaye et al. 1997). Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami anemia ketika bayi akan memiliki kemampuan kognitif dan prestasi sekolah yang rendah, serta mesalah perilaku ketika memasuki masa pertengahan kanak-kanak (GranthamMc Gregor & Ani 2001). Hasil penelitian Pollit (2000) menunjukkan bahwa defisiensi zat besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) dan prestasi belajar anak di sekolah. Dengan pemberian zat besi, nilai kognitif tersebut akan naik secara nyata. Hasil penelitian terhadap anak balita dan anak sekolah disimpulkan bahwa penderita anemia gizi besi akan mengalami gangguan intelektual, seperti kemampuan verbal, mengingat, konsentrasi, berfikir analog dan sistematis serta prestasi belajar yang rendah. Sedangkan hasil studi intervensi yang dilakukan oleh Rush (1984) menunjukkan bahwa suplementasi gizi dapat meningkatkan aktivitas dan waktu untuk memperhatikan. Namun demikian, suplementasi tersebut hanya sedikit pengaruhnya jika tanpa dibarengi dengan stimulasi kognitif. Penemuan tersebut mengindikasikan bahwa defisit perilaku yang berkaitan dengan malnutrisi bukan merupakan akibat dari kekurangan protein atau energi semata, tetapi 15 merupakan konsekuensi dari kombinasi terganggunya ketersediaan gizi, sosial, intelektual, dan emosional. Pola Aktivitas Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga membentuk suatu pola. Pola aktivitas remaja dapat dilihat dari cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang (Polii 2003). Menurut Soekirman (1999) aktivitas harian anak dikategorikan atas 8 aktivitas utama yaitu : 1) belajar selama jam sekolah, 2) belajar diluar jam sekolah, 3) menonton TV, 4) bermain, 5) olahraga, 6) membantu pekerjaan orang tua, 7) tidur siang, 8) tidur malam. Sehubungan dengan aktivitas remaja, waktu adalah salah satu sumberdaya yang pemanfaatannya perlu dikelola agar seluruh kegiatan dapat dilaksanakan dengan tepat. Hal ini mengingat konsep waktu adalah sumberdaya yang tidak dapat digantikan, bersifat terbatas serta dimiliki oleh semua individu dalam jumlah yang sama yaitu 24 jam dalam sehari (Guharja et al. 1992). Soekanto (1991) menyatakan bahwa penggunaan waktu individu selama satuan waktu tertentu berbeda-beda antara satu individu dengan yang lainnya. Model konseptual alokasi waktu remaja meliputi kegiatan pribadi, kegiatan sekolah, kegiatan perjalanan dan kegiatan waktu luang. Kegiatan pribadi remaja termasuk melakukan aktivitas agama. Aktivitas rutin yang dilakukan oleh remaja adalah kegiatan di sekolah. Sekolah sebagai lembaga yang berpengaruh kepada remaja diharapkan dapat mencerdaskan daya pikir dan menambah pengetahuan umum serta ketrampilan khusus kepada para muridnya. Sekolah dapat memberikan kepuasan hati dan pegangan hidup kepada remaja apabila ada seorang atau beberapa orang guru yang dapat memikat rasa hormatnya atau apabila anak itu merasa bangga karena unggul hasil studinya dibandingkan dengan rekan-rekannya. Apabila terjadi sebaliknya, maka sekolahpun tidak dapat memberikan landasan buat jalan hidupnya. Bersekolah dalam keadaan demikian hanyalah menjadi kegiatan rutin 16 yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat karena merupakan suatu bagian dalam proses kehidupan masyarakat modern (Sumardjan 1991). Aktivitas fisik yang dilakukan anak akan membantu pertumbuhannya. Pencapaian prestasi sekolah anak sangat berhubungan dengan perkembangan fisik dan aktivitasnya. Anak yang mendapat kesempatan untuk melatif fisiknya akan lebih memiliki kemampuan dalam aspek mental intelektual dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan kesempatan untuk melatih fisiknya (Friedman & Clark 1987 dalam Agustina 2003). Hasil penelitian Kusumaningrum (2006) menunjukkan jumlah aktivitas berhubungan dengan prestasi belajar siswa. Dimana semakin tinggi aktivitas siswa maka semakin baik nilai pelajaran yang diperoleh. Hal ini diduga karena aktivitas yang dipilih anak banyak yang menunjang kemampuan akademiknya. Selain itu hasil penelitian Thoha (2006) menunjukkan bahwa aktivitas belajar dan aktivitas tidur mempengaruhi prestasi belajar. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk belajar, maka prestasi belajarnya akan semakin baik. Kelelahan Menurut Fitrihana (2008) kelelahan didefinisikan sebagai respon total terhadap stres psikososial yang dialami dalam satu periode waktu tertentu dan cenderung menurunkan motivasi dan prestasi kerja. Gustiana (2008) mendefinisikan kelelahan sebagai sebuah kondisi klinis yang merupakan rangkaian rangkaian beberapa gejala kelelahan yang sifatnya menetap. Kelelahan merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh faktor biologi pada proses kerja dan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Kelelahan dapat menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh timbulnya rasa lelah, motivasi menurun, dan aktivitas menurun. Saat ini anak bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang dan setelah itu, anak masih harus mengikuti berbagai macam kegiatan les untuk mencapai prestasi akademik yang memuaskan di sekolahnya. Suhaenah (2004) dalam Dermawan (2006) berpendapat bahwa dengan memperpadat kegiatan anak justru dapat membawa hasil yang bertolak belakang dengan harapan orang tua semula, yaitu prestasi yang tinggi. Stainback dan Stainback (1999) dalam 17 Dermawan (2006) mengatakan bahwa jumlah waktu belajar mandiri (di luar jam belajar sekolah) dalam 1 hari yang baik untuk dilakukan oleh anak berusia 7 hingga 12 tahun adalah cukup 1 hingga 2 jam setiap hari, selama 5 hari dalam satu minggunya dan dilakukan secara konsisten. Hal ini tentunya dilakukan agar anak tidak mengalami kelelahan, baik secara fisik maupun rohani (psikis) seperti yang diungkapkan oleh Slamet (1991) dalam Dermawan (2006). Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh, sedangkan kelelahan rohani (psikis) ditandai dengan adanya kelesuan, kebosanan dan sulit berkonsentrasi. Kelelahan jasmani dan rohani (psikis) di atas, salah satunya dapat disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang dialami anak sekolah. Murtisari (2005) dalam Dermawan (2006) mengatakan bahwa tanpa mengikuti pelajaran tambahan, sebetulnya anak sudah lelah dengan aktivitas belajar di sekolah, apalagi bila anak masih harus menjalani berbagai aktivitas les sesudah pulang sekolah. Slamet (1991) dalam Dermawan (2006) menambahkan bahwa kelelahan ini dapat menyebabkan motivasi untuk belajar menurun padahal Theios (dalam Atkinson,1964) mengatakan bahwa motivasi pada individu ini sangat penting dalam proses belajar karena motivasi akan mempengaruhi timbulnya keinginan untuk belajar dan banyaknya materi yang dipelajari. Hasil penelitian Mardapi (2005) mengenai pelaksanaan UAN yang dilakukan di enam propinsi pada siswa SMP/MTS dan SMA/MA/SMK mengungkapkan terdapat 13% guru menyatakan bahwa UAN dapat menimbulkan kelelahan fisik bagi siswa, dan 17% guru menyatakan UAN mengakibatkan stres bagi siswa. Determinan Tingkat kelelahan Siswa Menurut Gustiana (2008) ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi hormon kortisol, tiroid, estrogen dan testosteron turut memberikan kontribusi nyata terhadap terjadinya kelelahan. Mekanisme gangguan yang terjadi bersifat kompleks. Selain itu stres disebut sebagai penyebab utama sindrom kelelahan. Selain stres, faktor kesehatan fisik juga turut mempengaruhi tingkat kelelahan, keduanya sama-sama memiliki keterkaitan. Walaupun stres merupakan gejala psikologis, tetapi tetap berhubungan dengan kesehatan fisik. Ketika kesehatan 18 mental terganggu, menyebabkan organ-organ tubuh juga akan terganggu dan menyebabkan imunitas menurun karena di dalam tubuh tidak ada pertahanan tubuh yang mampu melawan kuman penyakit yang masuk. Fitrihana (2008) mengemukakan ada beberapa faktor penyebab kelelahan diantaranya adalah penyebab medis seperti flu, anemia, gangguan tidur, hypothyroidism, hepatitis, TBC, dan penyakit kronis lainnya; penyebab yang berkaitan dengan gaya hidup seperti kurang tidur, terlalu banyak tidur, alkohol dan minuman keras, diet yang buruk, kurangnya olah raga, gizi, daya tahan tubuh, dan circadian rhythm; serta faktor psikologis seperti depresi, kecemasan dan stres serta kesedihan. Aktivitas belajar sangat memerlukan kondisi kesehatan yang baik karena selama belajar melibatkan kondisi fisik jasmani dan mental spiritual. Otak dituntut untuk bekerja keras yang akan menguras tenaga secara cepat. Terkait dengan belajar, siswa harus menyiapkan dan menyusun kekuatan tenaga secara optimal karena belajar yang mayoritas melibatkan peran otak harus diimbangi dengan kondisi fisik yang sehat pula. Akibat tidak adanya keseimbangan antara kondisi fisik dan mental, biasanya anak akan mudah lelah dan kegiatan belajarnya tidak dapat maksimal. Terkait dengan aktivitas belajar, seharusnya siswa selalu menjaga kesehatan fisik dengan makan makanan yang bergizi dan olahraga cukup. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan. Dan sudah pasti akan berpengaruh dengan kinerja otak siswa yang bersangkutan. Salah satu cara menjaga kesehatan fisik siswa harus mau menjaga tingkat kebugaran tubuhnya setiap hari. Kebugaran atau kesegaran jasmani dimaknai sebagai kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti. Untuk dapat mencapai kondisi kesegaran jasmani yang prima seseorang perlu melakukan latihan fisik yang melibatkan komponen kesegaran jasmani dengan metode latihan yang benar (Depdiknas, 2003). Dari pemahaman ini, kondisi jasmani yang bugar/segar akan mempengaruhi daya tahan seseorang dalam menjalankan aktivitasnya. Bagi siswa, hal ini akan mempengaruhi kondisi psikis siswa dalam belajar. Siswa yang memiliki tingkat kebugaran tinggi, tidak mudah lelah dalam belajarnya. 19 Stres Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) stres diartikan sebagai suatu tekanan, dan ketegangan yang mempengaruhi seseorang dalam kehidupan. Stres dibedakan menjadi dua, yaitu distres dan eustres. Menurut Looker dan Gregson (2004) distres adalah kemampuan seseorang menghadapi tuntutan yang semakin meningkat dan memandang tuntutan tersebut sebagai sesuatu yang sulit dan mengancam, sedangkan eustres adalah kemampuan untuk menghadapi tuntutan yang dirasakan dan dapat menimbulkan rasa percaya diri sehingga mampu menangani dan mengatasi tuntutan-tuntutan tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa setiap orang memiliki kemampuan/cara pandang yang berbeda-beda dalam menghadapi tuntutan dan masalah dalam hidupnya. Menurut Selye (1976) diacu dalam Losyk (2007) respon fisik dan mental stres terjadi melalui tiga tahapan spesifik : reaksi peringatan, pertahanan, dan penghabisan. Dalam tahap peringatan tubuh dihadapkan pada penyebab stres. Seseorang yang mengalami stres akan merasa bingung dan kehilangan arah, sehingga tubuh menyiapkan dirinya melawan stres dengan mengirimkan hormonhormon ke dalam aliran darah, akibatnya detak jantung dan pernafasan bersiapsiap melakukan aksi. Gerakan pertahanan ini akan membantu seseorang bertahan terhadap penyebab stres. Dalam tahap pertahanan, hormon-hormon di dalam darah tetap berada pada tingkat tinggi. Tubuh menyesuaikan diri untuk melawan stres. Penyesuaian ini bisa terjadi di dalam sebuah organ tubuh tersendiri maupun sistem organ secara menyeluruh. Jika stres tingkat tinggi terus berlangsung, akan berakibat pada timbulnya penyakit dalam pada sebuah organ tubuh atau sistem tubuh. Tingginya tingkat stres menyebabkan seseorang menjadi gugup, lelah dan seringkali marah-marah. Tahap terakhir dari stres adalah tahap penghabisan, tahap dimana stres tetap berlangsung, jaringan, dan sistem organ tubuh bisa rusak. Dalam jangka waktu yang panjang, keadaan ini bisa menimbulkan penyakit atau kematian. Seyle menyimpulkan, tiap orang memiliki energi terbatas untuk beradaptasi terhadap 20 stres, setelah energi tersebut habis harus diisi kembali atau kelelahan dan kematian akan segera terjadi. Sumber stres Menurut Hardjana (1994) dalam Asshat (2003) lingkungan kerja juga dapat menjadi sumber stres. Salah satu aspek lingkungan kerja adalah tuntutan kerja yang dapat menyebabkan stres melalui beban pekerjaan yang terlalu besar dan berat, keharusan menyelesaikan banyak pekerjaan dalam waktu terbatas, dan pekerjaan yang menuntut banyak pikiran dan tenaga. Dalam konteks pendidikan, lingkungan pekerjaan dapat dianalogikan dengan lingkungan sekolah, yang di dalamnya kerja dapat berarti belajar. Karenanya, beban pelajaran yang terlalu banyak dan berat serta keharusan untuk menyelesaikan banyak pelajaran atau tugas dalam waktu terbatas dapat menimbulkan stres pada siswa (Asshat 2003). Tingkat Stres Tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber stres, sumberdaya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres. Tingkatan stres yang berbeda-beda tiap individu merupakan salah satu faktor pembeda dalam melakukan koping terhadap stres (Ifada 2004). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) keluhan yang muncul akibat rasa cemas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kemajuan mutakhir diantaranya : 1. Keluhan fisik, yang meliputi : a. Stres sebagai pencetus, sehingga memperberat penyakit kardiovaskuler yang sudah ada b. Gangguan sistem pencernaan : ulkus ventrikuli (tukak lambung) c. Ketegangan pada bagian otot-otot tertentu menyebabkan perasaan pegal di bahu, pinggang, leher dan kepala. d. Stres menyebabkan daya tahan tubuh menurun, melemah sehingga mudah masuk angin, pilek. e. Tics : gerakan-gerakan yang dilakukan diluar kemauan, sebagai kebiasaan, tanpa rangsangan yang jelas merupakan suatu ekspresi dari konflik emosi 21 f. Kebiasaan : menggaruk-garuk kepala, menggigit kuku, menggosok-gosok tangan dan gejala lain sebagai perwujudan adanya ketegangan. g. Sindrom ketegangan pra-menstrual : nyeri di tubuh, mual, sakit kepala, rasa tidak nyaman sebelum haid, disebabkan terganggunya keseimbangan hormon, berkaitan dengan stres seseorang dan haid yang tidak teratur. h. Disfungsi seksual : penderita stres sering mengeluh masalah seksual, impotensi, frigiditas, ejakulasi dini, dan lain-lain. 2. Keluhan Psikologis, yang meliputi : a. Perasaan tidak menentu, cemas dan takut yang tidak jelas dan tidak terikat pada suatu ancaman yang jelas dari luar. Hal ini dapat menyebabkan penderita menjauhkan diri dari lingkungan sosial atau tempat dan keadaan tertentu. b. Merasa putus asa, bingung, apatis, sedih, gangguan tidur (insomnia), kehilangan minat pada aktivitas dan orang lain, pikiran-pikiran negatif mengenai dirinya, pengalaman dan hari depan, pikiran dan dorongan melakukan percobaan bunuh diri. c. Ketidakseimbangan emosi : suasana hati mudah berubah, cepat marah, emosi cepat meluap, menjadi histeris. d. Muncul gejala-gejala proses penuaan dini, seperti : - Mampu mengingat peristiwa lama, tetapi lupa peristiwa baru - Kecemasan akan perubahan tubuh, penyakit dan kematian - Perasaan akan kehilangan kecantikan, rambut beruban, kerut di wajah, otot yang mengendur - Bertingkah laku muda kembali, terlihat dalam penampilan, pakaian dan perilaku. Stres di Bidang Akademis pada Siswa Berbakat Menurut psikolog anak David Elkind, anak masa kini adalah “anak yang diburu-buru” (the hurried child). Tekanan kehidupan modern memaksa anak untuk tumbuh terlalu cepat dan menjadikan masa kanak-kanak mereka penuh stres (Papalia, Olds & Feldman 2001). Siswa yang mengikuti program akselerasi akan mengalami frustasi dengan tingkat tekanan dan tuntutan yang dihadapinya. 22 Dorongan yang terus menerus untuk berprestasi akan menimbulkan tingkat stres yang tidak dapat diterima, dan pada akhirnya siswa akselerasi akan kehabisan energi karena tekanan-tekanan yang ada (Asshat 2003). Program akademis yang menuntut energi atau tenaga yang besar dari siswa berbakat (seperti pelajaran yang secara bertahap menjadi semakin sulit) pada akhirnya akan menyebabkan suatu jenis gangguan. Terlebih lagi apabila tuntutantuntutan akademis yang dihadapi tidak kunjung berkurang. Di sisi lain, siswa berbakat mungkin tidak terbiasa dengan tantangan-tantangan yang memerlukan performa yang “total” (all out). Jika hal ini terjadi, usaha siswa berbakat untuk menghadapi dan mengatasi tantangan kemungkinan menjadi lemah dan tidak memadai, sehingga kegagalan akan terjadi dengan cepat (Khatena 1992 dalam Asshat 2003). Hasil penelitian Asshat (2003) menunjukkan bahwa mayoritas subyek penelitiannya memiliki skor persepsi tergolong sedang terhadap pelaksanaan program akselerasi. Hal ini berarti siswa akselerasi merasa bahwa pelaksanaan program akselerasi yang mereka alami biasa-biasa saja, tidak baik dan juga tidak buruk. Sementara itu, dari tingkat stres ditemukan bahwa mayoritas siswa memiliki stres di bidang akademis yang tergolong sedang. Hasil penelitian Asshat (2003) juga menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi siswa terhadap pelaksanaan program akselerasi dengan stres di bidang akademis. Motivasi Motivasi merupakan salah satu determinan yang terpenting bagi keberhasilan individu dalam mencapai prestasi atau kepuasan tertentu, sehingga motivasi dapat juga diartikan sebagai kemauan untuk berbuat sesuatu sebaikbaiknya sesuai dengan keinginan atau tujuan. Seseorang akan mempunyai kemauan yang efektif jika memperhatikan dengan baik lingkungannya untuk selanjutnya menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan tujuan atau keinginannya. Tanpa adanya motivasi, tujuan yang diharapkan sulit dicapai. Dalam mencapai serangkaian tujuan, biasanya individu atau kelompok memperlihatkan juga serangkaian sikap dan perilakunya (Sofianti 2002). 23 Menurut Suparno (2001) motivasi merupakan keadaan internal seseorang yang mendorong orang tersebut melakukan sesuatu, dan dijelaskan juga sebagai suatu dorongan untuk tumbuh dan berkembang. Motivasi berkaitan dengan keseimbangan atau equilibrium yaitu upaya untuk dapat membuat dirinya memadai dalam menjalani hidup ini. Dengan equilibrium dimaksudkan agar seseorang dapat mengatur dirinya sendiri, relatif tidak terpengaruh oleh orang lain untuk menjadi lebih kompeten. Kartono (1995) mengatakan bahwa motivasi merupakan dorongan yang mendasari dan mempengaruhi sikap, usaha dan kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Anak yang mempunyai dorongan yang kuat untuk belajar, akan belajar lebih berhasil (Suryosubroto 1988). Motivasi berhubungan dengan kebutuhan dan tujuan, sangat mempengaruhi kegiatan dan hasil belajar. Motivasi sangat penting bagi proses belajar karena motivasi dapat menggerakkan organisme, mengarahkan tindakan, serta memilih tujuan belajar yang berguna bagi kehidupan (Soemanto 1990). Belajar dengan motivasi yang kuat merupakan syarat untuk mencapai sukses yang optimal. Akan tetapi tidak selalu dapat terjadi secara spontan. Lebih-lebih pada anak yang masih muda. Kadang kala timbulnya motivasi itu harus sengaja diupayakan oleh guru (Tonthowi 1993). Motivasi akan menimbulkan keinginan, kehendak atau kebutuhan dalam diri siswa untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Siswa akan merasa terpacu karena ada dorongan dari dalam maupun dari luar diri siswa untuk meningkatkan prestasi. Semakin kuat motivasi seseorang untuk mengembangkan kemampuannya, semakin kuat pula proses belajar yang terjadi. Dengan demikian, hasil yang akan dicapai akan semakin tinggi pula (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Ciri-ciri siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi yaitu (1) cenderung mengambil resiko dan memperhitungkan supaya harapan dan tujuan yang realistis untuk dicapai; (2) menyukai situasi kerja yang meminta tanggung jawab pribadi; (3) ingin menambah pengetahuan dengan cara kerja yang baik; (4) menyelidiki lingkungan dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada serta belajar dengan cara yang baik dan inovatif disamping adanya tujuan yang konkrit dalam mencapai pendidikan. 24 Hasil penelitian Maryam (2001) menunjukkan siswa dengan motivasi belajar yang tinggi memiliki prestasi belajar yang baik. Belajar dengan motivasi yang kuat merupakan syarat agar dapat mencapai sukses yang optimal. Pada anak sekolah, motivasi tidak selalu dapat terjadi secara spontan, tetapi juga harus sengaja diupayakan olah orangtua maupun guru. Motivasi belajar anak tersebut mencakup tujuan belajar, motif belajar, frekuensi belajar, cara belajar dan lain-lain (Pitriyani et al. 1999). Kepuasan Kotler dan Susanto (1999) mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Kepuasan konsumen akan terpenuhi apabila proses penyampaian pesan dari si pemberi pesan kepada konsumen sesuai dengan apa yang dipersepsikan konsumen. Hendrick (1988) dalam Purwaningsih (1992) melihat bahwa kepuasan seringkali dipertimbangkan sebagai hasil atau suatu variabel terikat dengan melibatkan banyak variabel lainnya. Kepuasan siswa sangat bergantung pada harapan siswa. Oleh karena itu, untuk mengkaji tingkat kepuasan siswa haruslah diketahui terlebih dahulu harapan siswa terhadap sesuatu. Mengacu pada pendapat Tjiptono (2002), yang mengatakan bahwa harapan merupakan perkiraan atau keyakinan seseorang tentang apa yang akan diterimanya. Hasil penelitian Rahman (2004) yang dilakukan terhadap 317 murid SMU dan SMP yang ada di Tasikmalaya menunjukkan sebanyak 298 siswa mengaku tidak puas dengan pelayanan dan sistem belajar-mengajar yang diberikan sekolah. Faktor-faktor yang membuat tingkat kepuasan siswa Tasikmalaya terhadap sistem pendidikan sangat rendah adalah minimnya fasilitas pendidikan seperti buku perpustakaan dan peralatan laboratorium sampai kualitas guru yang memprihatinkan. Hal ini akan berdampak pada prestasi belajar siswa, karena hal tersebut menjadi salah satu sebab utama rendahnya daya serap siswa terhadap materi pendidikan di sekolah.