BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori merupakan serangkaian asumsi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antara konsep (Singarimbun, 2006:37). Kerangka teori
adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang halhal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah
yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2000:92). Sebagai landasan berfikir dalam
menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman
teoritis yang dapat membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian.
Kerangka teori ini diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi
peneliti dalam memahami masalah yang di teliti.
II.1 Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing defenisi
tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan itu timbul karena
masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang beragam.
Menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan 2003 berpendapat bahwa
kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.
Dalam kenyataannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana
pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan
masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik
merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh
pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan
secara luas.
Menurut Heglo dalam Abidin (2004:21) kebijakan adalah suatu tindakan
yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan tujuan tertentu. Sedangkan
Anderson dalam Abidin (2004:21) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah
tertentu.
Sedangkan menurut Woll dalam Tangkilisan (2003:2) kebijakan publik
adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat,
baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh
sebagai implikasi dari tindakan pemerintah yaitu:
a. Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi,
pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan
kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini
menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran,
pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang
akan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
c. Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli tersebut bahwa
dapat diperoleh gambaran awal mengenai konsep kebijakan publik yakni
merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk
memecahkan suatu masalah yang terjadi di masyarakat dengan memanfaatkan
berbagai sumber daya-sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan tertentu yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Konsep kebijkan publik ternyata juga dimaknai dan dirumuskan secara
beragam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar defenisi yang
dikemukakan dipengaruhi oleh masalah-masalah tertentu yang ingin dilihat.
Pandangan pertama, ialah pendapat para ahli yang mengidentikkan kebijakan
publik dengan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Beranggapan bahwa
semua tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya disebut sebagai
kebijakan publik. Parker dalam Wahab (2004:51), menyatakan bahwa kebijakan
publik adalah suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu, atau tindakan
yang dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya
dengan suatu subjek atau sebagai respon terhadap keadaan yang kritis. Sedangkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
R.Dye merumuskan kebijakan publik sebagai semua pilihan atau tindakan yang
dilakukan pemerintah. Dalam hal ini Dye beranggapan bahwa kebijakan publik itu
menyangkut pilihan-pilihan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, baik untuk
melakukan sesuatu ataupun untuk tidak berbuat sesuatu.
Pandangan yang kedua, ialah pendapat para ahli yang memusatkan
perhatian pada implementasi kebijakan (policy implementation). Mereka melihat
kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai tujuan-tujuan
atau sasaran-sasaran tertentu dan mempunyai dampak dan akibat-akibat yang
diramalkan (predictable), atau dapat diantisipasikan sebelumnya. Seperti apa yang
dikemukakan Nakamura dan Smal Wood dalam Wahab (2004:52), bahwa
kebijakan publik adalah serentetan instruksi/ perintah dari para pembuat kebijakan
yang ditujukan kepada para pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan
serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Namun pada hakekatnya, bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus
mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa
yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal ini
dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap
implementasi dan evaluasi sehingga defenisi kebijakan yang hanya menekankan
pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.
Seperti yang dikemukakan oleh Anderson dalam Tangkilisan (2003:2)
bahwa kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
atau persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa
implikasi, yakni:
1. Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan
merupakan perilaku yang dilakukan secara serampangan .
2. Kebijakan publik merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang
tersendiri.
3. Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah,
dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah.
4. Kebijakan pemerintah tersebut didasarkan pada peraturan perundangan
yang bersifat mengikat dan memaksa.
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu
beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik
membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap.
Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji
kebijakan publik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Berdasarkan beberapa literatur yang dibaca adapun tahap-tahap kebijakan
publik adalah :
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Pembuatan Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Proses pembuatan suatu kebijakan diawali dengan penyusunan agenda
yang menempatkan berbagai masalah ke dalam sebuah agenda kebijakan yang
selanjutnya akan dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk menghasilkan
alternatif pemecahan masalah yang akan dibahas pada tahap formulasi kebijakan.
Setelah memperoleh alternatif terbaik, maka alternatif tersebut dirumuskan ke
dalam bentuk kebijakan yang selanjutnya akan diimplementasikan oleh para
pelaksana kebijakan. Kebijakan yang telah dilaksanakan tersebut selanjutnya akan
dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu
memcahkan masalah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dari semua proses tersebut, menurut penulis, implementasi kebijakan
merupakan tahap yang paling penting dan krusial sehingga harus mendapat
perhatian lebih dari para pembuat maupun pelaksana suatu kebijakan. Tahap ini
merupakan kunci keberhasilan proses pembuatan suatu kebijakan akan mencapai
tujuannya atau tidak. Jika sebuah kebijakan sudah diformulasikan dan dibuat
secara tepat kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi jika proses
implementasi tidak berjalan dengan tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang sangat
brilliant sekalipun jika diimplementasikan dengan buruk, maka kebijakan tersebut
bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya.
II.2 Implementasi
Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2004:68) yang
dimaksud dengan implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan
dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan
badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang
ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan
berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini
berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan
tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam
bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan
dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran,
dampak nyata, baik yang dikehendaki atau yang tidak, dari output tersebut,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil
keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk
melakukan
perbaikan-perbaikan)
terhadap
undang-undang/peraturan
yang
bersangkutan.
Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan,
2003:17), implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan
dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan
untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan
cara untuk mencapainya. Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang
diinginkan.
Definisi lain tentang implementasi diberikan oleh Lineberry (dalam Putra
2003:81) yakni tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta
baik secara individu dan kelompok yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan
sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.
Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi menurut
Tangkilisan (2003 : 18) adalah :
1. Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna
program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2. Organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan
program ke dalam tujuan kebijakan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi
pelayanan, upah, dan lain-lainnya.
II.2.1 Implementasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat tercapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
(Riant Nugroho. 2003:158).
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Safi’i, 2007:144) mengatakan bahwa
mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan,
yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses
pengesahan
kebijakan,
baik
yang
menyangkut
usaha-usaha
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada
masyarakat atau pada kejadian-kejadian tertentu. Pendapat kedua tokoh ini
menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada hakekatnya tidak hanya
terbatas pada tindakan-tindakan atau perilaku badan-badan administratif atau unit
birokrasi
yang
bertanggung
jawab
untuk
melaksanakan
program
dan
menimbulkan kepatuhan dari kelompok sasaran (target group). Namun demikian
hal itu juga memperhatikan secara cermat berbagai jaringan kekuatan politik,
ekonomi, dan sosial yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun yang tidak
diharapkan.
Dalam setiap perumusan kebijakan apakah menyangkut program maupun
kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau
implementasi. Betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak
akan banyak berarti. Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut
dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur
rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperolehapa dari suatu kebijakan
(Wahab, 2004:59). Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi
kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini
menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan
implementasi kebijakan dalam arti walaupun perumusan dilakukan dengan
sempurna namun apabila proses implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan,
maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek begitu pula sebaliknya.
Dalam kaitan ini, seperti dikemukakan oleh Wahab (2004:51),
menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan
jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya
sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak
mampu diimplementasikan.
Dari beberapa pemahaman tersebut maka terlihat dengan jelas bahwa
implementasi kebijakan merupakan rangkaian aktifitas dalam rangka membawa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut membawa hasil
sebagaimana yang diharapkan. Membicarakan masalah implementasi berarti
melihat sejauh mana kebijakan berjalan setelah dirumuskan dan diberlakukan.
Dan dapat dirumuskan bahwa fungsi implementasi ialah untuk membentuk suatu
hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan
publik diwujudkan sebgai outcome atau hasil akhir kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah.
Menurut
Wibawa
(1994),
implementasi
kebijakan
merupakan
pengejahwantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya
tertuang dalam suatu Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi
instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan. Idealnya keputusankeputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani,
menentukan
tujuan
yang
hendak
dicapai
dan
dalam
berbagai
cara
“menggambarkan struktur” proses implementasi tersebut. Tujuan implementasi
kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat
direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.
II.2.2 Model-model Implementasi Kebijakan
Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program
menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan
tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu
berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi
kebijakan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sekalipun banyak dikembangkan model-model yang membahas tentang
implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa
model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi
berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli.
Berikut beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli :
1. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn.
Model mereka ini kerap kali oleh para ahli disebut sebagai ”The top
dwon approach”. Menurut Hogwood dan Gunn dalam, untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa
persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut (Wahab, 2004:71-78)
:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali
berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu
memang di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana.
Hambatan-hambatan tersebut tersebut diantaranya mungki bersifat fisik.
Adapula kemungkinan hambatan tersebut bersifat politis, dalam artian
bahwa baik kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
melaksanakannya tidak diterima/tidak disepakati oleh berbagai pihak yang
kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam itu cukup jelas dan
mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh para
administrator guna mengatasinya. Dalam hubungan ini yang mungkin
dapat dilakukan para administrator ialah mengingatkan bahwa
kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan matang-matang
sewaktu merumuskan kebijakan.
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang
cukup memadai.
Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam
pengertian bahwa kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang
bersifat eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik
dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang
diinginkan. Alasan yang biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak
berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya
menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya ialah bahwa para politis
kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli
dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan
upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak
memadai.
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratam kedua, dalam
artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kandala-kendala
pada semua sumber-sumber yang diperelukan dan di lain pihak pada setiap
tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber
tersebut harus benar-benar dapat disediakan.
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal.
Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan
lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan,
melainkan karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya.
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya.
Pada kenyataannya program Pemerintah, sesungguhnya teori yang
mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X
dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai kualitas hubungannya hanya
sekedar jika X, maka terjadi Y, dan Jika Y terjadi maka akan diikuti oleh
Z. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa
kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada
mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami
keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar
hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin
menjadi kompleks implementasinya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil
Implementasi yang sempurna menurut adanya persyaratan bahwa hanya
terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang
diembannya, tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain kalaupun
dalam pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi
lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini
haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun
kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program tenyata tidak
hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu
meleinkan juga kesepakatan terhadap setiap tahapan diantara sejumlah
besar pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi
program bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin
berkurang.
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Persyaratan ini menharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh
mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai
dan yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses
omplementasi. Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik
dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami,serta
disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat
saling melengkapi dan mendukung serta mampu berperan selaku pedoman
dengan mana pelaksanaan program dapat dimonitor
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengfayunkan langkah
menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih
dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang
tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang
terlibat. Kesukaran-kesukaran untuk mencapai kondisi implementasi yang
sempurna ini tidak dapat kita sngsikan lagi. Disamping itu juga
duiperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat dihindarkan keharusan
adanya ruangan yang cukup bagi kebebasab bertindak dan melakukan
improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat.
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
Persyatratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan
koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat
dalam program. Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna
mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan suatu sistem
administrasi tunggal.
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Persyaratan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi
loyalitas penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari
siapapun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi
penolakan terhadap perintah itu maka iya harus dapat diidentifikasikan
oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin oleh
sistem pengendalian yang handal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Model yang dikembangkan oleh George C. Edwards III
Sementara menurut George Edwards III ada empat faktor yang
mempengaruhi proses implementasi kebijakan, antara lain (Winarno, 2002:125) :
a. Komunikasi
Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam komunikasi,
yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Transmisi adalah keputusankeputusan kebijakan dan perintah-perintah telah diteruskan kepada personil yang
tepat. Kejelasan adalah perintah-perintah yang akan dilaksanakan tersebut
haruslah jelas misalkan melalui petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Konsistensi
adalah perintah-perintah tersebut harus jelas dan tidak bertentangan dengan para
pelaksana kebijakan agar proses implementasi dapat berjalan lebih efektif.
b. Sumber-sumber
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas
dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun
cenderung tidak efektif. Adapun sumber-sumber yang penting meliputi :
1.
Staf
Jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi
yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh
para pegawai pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain kekurangan staf
juga akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi
kebijakan yang efektif. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya dengan jumlah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pelaksanaan yang memadai untuk melaksanakan suatu kebijakan. Para pelaksana
harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan.
2.
Wewenang
Setiap wewenang mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Jika para
pejabat/badan pelaksana kebijakan mempunyai keterbatasan wewenang untuk
melaksanakan kebijakan maka diperlukan kerjasama dengan pelaksana/badan lain
agar program berhasil.
3.
Fasilitas
Fasilitas fisik merupakan sumber yang penting pula dalam proses
implementasi. Tanpa bangunan sebagai kantor untuk melaksanakan koordinasi,
tanpa perlengkapa, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi
yang direncanakan tidak akan berhasil.
c. Kecenderungan
Yaitu dimana para pelaksana memiliki kecenderungan tidak sepakat
dengan suatu kebijakan sehingga mengabaikan beberapa persyaratan yang tidak
sesuai pandangan mereka. Oleh karena para pelaksana memegang peran penting
dalam implementasi kebijakan publik, maka usaha-usaha untuk memperbaiki
kecenderungan-kecenderungan mereka menjadi penting. Salah satu hal yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan insentif.
d. Struktur Birokrasi
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Operating Procedure (SOP) berkembang sebagai tanggapan internal terhadap
waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk
keseragaman dalam bekerjasamanya organisasi-organisasi yang kompleks dan
tersebar luas. Fragmentasi adalah tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi,
seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabatpejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.
3. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut
sebagai model proses implementasi kebijakan.
Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa
perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat
kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu
pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan
prestasi kerja. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan,
kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam
prosedur-prosedur implementasi.
Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99) ada enam variabel
yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:
a. Standar dan sasaran kebijakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisasikan. Apabila standar dan kebijakan kabur, maka akan terjadi
misi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen
implementasi.
b. Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya non manusia.
c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain. Untuk itu perlu koordinasi dan kerja sama antara instansi
bagi keberhasilan suatu program.
d. Karakteristik Agen Pelaksana
Agen pelaksana mancakup struktur birokrasi, Standard Operating
Procedure (SOP), norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi
dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu
program.
e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompokkelompok kepentingan daoat memberikan dukungan bagi implementasi
kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak,
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit
politik mendukung implementasi kebijakan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
f. Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal, yakni: a) respon
implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan kebijakan, b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap
kebijakan, dan c) intensitas disposisi implementor, yakni prefansi nilai
yang dimiliki oleh implementor.
Variabel-variabel kebijakan bersangkutan paut dengan tujuan-tujuan
yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada
badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal,
sedangkan komunikasi antara organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan
pelaksanaannya mencakup antara hubungan di dalam lingkungan sistem politik
dan dengan para pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai
orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan ( Subarsono,
2005:99).
Model implementasi inilah yang akan digunakan penulis di lapangan
untuk menganalisis proses implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor
11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame. Alasan penulis menggunakan model ini
karena variabel ataupun indikator yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van
Horn merupakan variabel yang bisa menjelaskan secara komprehensif tentang
kinerja implementasi dan dapat lebih kongkret dalam menjelaskan proses
implementasi yang sebenarnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
II.3 Defenisi Konsep
Konsep
adalah
istilah
dan
defenisi
yang
digunakan
untuk
menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, kelompok, atau individu yang
menjadi perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:37).
1. Implementasi Kebijakan adalah serangkaian proses penerapan ataupun
pelaksanaan suatu kebijakan yang telah dipahami secara mendalam
melalui proses pembahasan bersama yang diinterpretasikan ke dalam
bentuk perintah, program ataupun perundang-undangan.
2. Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun tentang
Pajak Reklame adalah pelaksanaan keputusan mengenai peraturanperaturan yang mendasar, yang telah dipahami dan diperoleh berdasarkan
keputusan bersama, guna mencapai suatu tujuan guna kepentingan daerah
dalam bidang reklame. Adapun Implementasi Peraturan Daerah Kota
Medan Nomor 11 Tahun tentang Pajak Reklame diukur dengan lima
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan menurut Van
Meter dan Van Horn, yaitu:
a. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan yang tercakup dalam Implementasi
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun tentang Pajak
Reklame dapat dilihat dari beberapa hal yaitu :
b. Sumberdaya
Sumberdaya merupakan faktor utama dalam melaksanakan dan
merealisasikan jalannya suatu kebijakan. Sumber daya manusia,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sumber daya dana, dan fasilitas yang akan digunakan sangat
mempengaruhi pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut.
c. Komunikasi
Komunikasi
mencakup
hubungan
antar
organisasi
pelaksana
implementasi. Komunikasi yang baik meliputi proses penyampaian
informasi yang akurat, jelas, konsisten, menyeluruh serta koordinasi
antar instansi-instansi yang terkait dalam proses implementasi dan
bentuk koordinasi yang dilakukan, apakah koordinasi horizontal,
vertikal.
d. Karakteristik agen pelaksana
Karakteristik
agen
pelaksana
terdiri
dari
struktur
organisasi,
pembagian tugas dan wewenang serta, ketepatan atau kesesuaian
pelakasanaan Implementasi Peraturan Daerah tersebut dengan berbagai
ketentuan yang telah diatur.
e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Kondisi sosial, ekonomi dan politik merupakan faktor yang
mempengaruhi penerapan implementasi peraturan daerah tersebut.
Sikap masyarakat dalam sebuah implementasi kebijakan dapat dilihat
dari respon masyarakat terhadap keberadaan kebijakan tersebut.
f. Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yaitu respon pelaksana
kebijakan terhadap Peraturan Daerah
yang akan dipengaruhi
kemauannya untuk melaksanakan Peraturan Daerah itu, pemahaman
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
para agen pelaksana terhadap peraturan daerah itu, dan prefensi nilai
yang dimiliki oleh pelaksana peraturan daerah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Download