TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Karet Budidaya Karet Pembangunan kebun karet diperlukan manajemen dan teknologi budidaya tanaman karet yang memperhatikan syarat tumbuh tanaman karet, klonāklon karet rekomendasi, bahan tanam atau bibit, persiapan tanam dan penanaman, pemeliharaan tanaman meliputi pengendalian gulma; pemupukan; dan pengendalian penyakit, serta penyadapan atau panen (Anwar 2001). Klon Karet Klon unggul baru merupakan syarat utama agar komoditas karet dapat menghasilkan produksi dengan tingkat produktivitas yang tinggi sehingga dapat menguntungkan dalam persaingan global. Klon karet unggul yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Karet Sembawa direkomendasikan untuk periode tahun 2010-2014 yang disesuaikan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang menyebutkan bahwa klon/varietas yang dapat disebarluaskan kepada pengguna harus berupa benih bina. Klon anjuran komersial dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok klon penghasil lateks (IRR 104, IRR 112, IRR 118, IRR 220, BPM 24, PB 260, PB 330, dan PB 340) dan penghasil lateks-kayu (RRIC 100, IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107, dan IRR 119), sedangkan benih anjuran untuk batang bawah (AVROS 2037, GT 1, BPM 24, PB 260, RRIC 100, dan PB 330) (Ditjenbun 2010). Penyakit Jamur Akar Putih pada Karet Patogen Penyebab Jamur Akar Putih Penyakit jamur akar putih disebabkan oleh cendawan Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki atau Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.) van Ov., Polyporus lignosus Klotzsch, meskipun sekarang cendawan tersebut masih sering dikena l 5 dengan nama Fomes lignosus (Klotzsch) Bres. Cendawan ini mempunyai lebih kurang 35 nama lain (sinonim) (Semangun 2000). Sebaran Penyakit Penyakit jamur akar putih menyebar di perkebunan karet daerah tropik terutama Indonesia. Penyakit ini dijumpai di dataran rendah, dataran tinggi, dan di daerah beriklim basah dan kering dengan keparahan penyakit yang berbeda. Daerah yang sering mengalami serangan skala berat adalah Riau, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat; serangan skala sedang adalah Nangro Aceh Dar ussalam, Sumatera Utara, Jambi, sebagian Sumatera Selatan, sebagian Bengkulu, dan sebagian Lampung; dan serangan skala ringan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur (Situmorang et al. 2006). Daur Penyakit Penyakit jamur akar putih R. lignosus tergolong ke dalam tipe epidemik penyakit monosiklik. Penyakit monosiklik adalah penyakit yang untuk menyebabkan kehilangan produksi yang sangat tinggi, atau yang dapat mematikan tanaman hanya dengan satu siklus infeksi per siklus tanaman (Sinaga 2004). Jamur akar putih terutama menular karena adanya kontak antara akar tanaman sehat dengan akar tanaman sakit, atau dengan kayu-kayu yang mengandung cendawan R. lignosus. Cendawan ini dapat menular dengan perantaraan rizomorf. Rizomorf pada jamur akar putih dapat menjalar bebas dalam tanah (Semangun 2000). Gejala Penyakit Jamur Akar Putih Penyakit jamur akar putih dapat mengakibatkan kematian pada tanaman. Tanaman berumur dua sampai enam tahun sangat rentan terhadap penyakit ini. Pada umumnya tanaman umur tiga tahun akan mati dalam waktu enam bulan, dan tanaman enam tahun akan mati dalam waktu 12 bulan setelah terjadinya infeksi 6 pertama, hal ini tergantung kepada banyaknya bibit penyakit (patogen) yang terdapat dalam tanah. Penyakit akar putih sering menimbulkan kerusakan pada areal pertanaman yang terdapat banyak tunggul atau sisa akar kayu, bekas tanaman tua atau bekas hutan primer, atau tanah gembur dan berpasir (Situmorang & Budiman 2003). Serangan patogen R. lignosus menyebabkan akar menjadi busuk dan umumnya ditumbuhi rizomorf cendawan. Rizomorf adalah paduan kompak benang-benang cendawan yang menyerupai akar tanaman. Rizomorf yang muda berwarna putih dan bentuknya pipih, semakin tua umur rizomorf warna putih tersebut berubah menjadi kuning gading, dan bentuknya menyerupai akar rambut. Membusuknya akar diduga karena rusaknya struktur kimia kulit dan kayu akibat enzim yang dihasilkan cendawan. Gejala yang tampak pada daun adalah daundaun yang semula tampak hijau segar berubah menjadi layu, berwarna kusam, dan akhirnya kering. Pada keadaan tersebut menunjukkan bahwa tanaman telah menderita serangan pada tahap lanjut dan tidak mungkin untuk diselamatkan. Selain dapat menyerang secara akut, R. lignosus dapat pula menyerang secara kronis pada tanaman yang telah tua. Gejala serangan secara kronis tersebut tidak tampak jelas, dan baru terlihat apabila tanaman dibongkar, sebagian akar-akarnya telah ditumbuhi rizomorf cendawan (Pawirosoemardjo 2004). Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Berdasarkan konsep segitiga penyakit, perkembangan penyakit akar putih tergantung dari tiga faktor, yaitu karet (inang), R. lignosus (patogen), dan lingkungan (Prasetyo et al. 2009). Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit jamur akar putih adalah umumnya penyakit berjangkit dan dapat mengakibatkan banyak kematian pada pertanaman karet muda yang berumur 2-4 tahun. Masalah tersebut umumnya muncul setelah suatu kebun karet diremajakan atau suatu hutan dikonversi menjadi kebun karet. Timbulnya penyakit akar R. lignosus erat hubungannya dengan kebersihan lahan. Tunggul atau sisa tebangan pohon, perdu, dan semak yang tertinggal dalam tanah merupakan substrat R. lignosus. Potensi R. lignosus 7 sangat ditentukan oleh banyaknya tunggul di lahan yang bersangkutan. Lama bertahan R. lignosus dalam tanah di samping ditentukan oleh hal tersebut juga ditentukan oleh ikut sertanya organisme renik yang melapukkan tunggul. Penularan penyakit terjadi karena adanya kontak akar sakit dan sehat atau adanya miselium yang tumbuh dari food base di sekitar perakaran tanaman sehat (Pawirosoemardjo 2004). Tunggul yang telah terinfeksi jamur akar putih menjadi sumber penularan yang sangat efektif melalui kontak akar menular ke tunggul lain di dekatnya dan menjadi sumber infeksi baru. Pada tunggul tersebut, cendawan membentuk badan buah yang membebaskan banyak spora ke udara dan mendarat ke permukaan tunggul lain, sebagian kecil spora ini akan berkecambah di permukaan tunggul dan berkembang masuk sampai ke perakaran. Hal ini merupakan faktor penyebab bahwa kebun-kebun yang bertunggul akan mengalami serangan berat penyakit jamur akar putih (Situmorang 2004). Menurut Situmorang (2004), kondisi asal pertanaman kare t mempengaruhi perkembangan penyakit akar putih. Kebun bertunggul yang berasal dari bekas kebun karet tua dan hutan primer akan menyebabkan serangan berat. Tunggul sebagai sumber infeksi dan sumber energi cendawan akan membantu perkembangan penyakit akar putih lebih cepat. Rongga-rongga bekas akar tunggul dalam tanah akan membantu pergerakan cendawan dalam tanah sehingga mempercepat terjadinya infeksi dan penyebaran patogen. Perkembangan penyakit akar putih pun dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi, dan kondisi tanah, seperti tekstur/struktur; kejenuhan air; dan kemasaman tanah. Kebun-kebun di daerah dengan curah hujan tinggi lebih dari 4000 mm/tahun, dan bulan musim kemaraunya yang tidak jelas biasanya akan mendapat serangan yang lebih berat. Kelembaban tinggi secara terus menerus sangat disukai oleh jamur akar putih bagi perkembangannya. Sedangkan di daerah dengan curah hujan di bawah 2000 mm/tahun biasanya mengalami serangan ringan. Curah hujan yang rendah mengakibatkan kondisi kelembaban tanah lebih rendah sehingga jamur akar putih kurang berkembang. Penyakit ini sering terjadi pada kebun yang topografinya datar atau landai karena kelembaban tanah yang tinggi yang disukai cendawan dapat dipertahankan lebih lama terutama setelah hujan karena perembesan air berlangsung lama, sedangkan di daerah yang 8 topografinya berbukit serangan penyakit relatif ringan sampai sedang karena perembesan air lebih cepat dan tanahnya lebih cepat kering sehingga mengakibatkan perkembangan jamur akar putih tertekan. Penyakit ini juga dapat berkembang lebih baik pada tanah bertekstur kasar/berpasir atau berstruktur gembur berpasir daripada bertekstur halus/liat atau berstruktur padat. Miselia atau rizomorf cendawan akan lebih mudah bergerak menembus tanah berpori daripada tanah padat sehingga penularan patogen akan berlangsung lebih cepat. Cendawan pun berkembang baik pada tanah bereaksi netral pH 6-7 dan pada tanah dengan kapasitas kejenuhan air tanah 80-90%. Kondisi ini biasanya terjadi pada awal sampai akhir musim hujan sehingga selama musim hujan perkembangan penyakit lebih cepat (Situmorang 2004). Pengendalian Penyakit Strategi pengelolaan penyakit untuk menghadapi penyakit penting tanaman karet di masa mendatang adalah pengendalian penyakit yang berbasis epidemiologis dan ekobiologis penyakit yaitu (1) menurunkan inokulum awal/initial penyakit (Q/Xo), (2) menekan laju infeksi (R/r), dan (3) menekan periode epidemik (t). Strategi tersebut dapat diaplikasikan secara tunggal atau kombinasi yang berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Prinsip pengendalian tradisional yaitu penghindaran, eksklusi, eradikasi, proteksi, resistensi, dan terapi tetap dimanfaatkan untuk digunakan menjadi taktik-taktit pengendalian dalam penyusunan suatu stategi pengendalian yang holistik (Sinaga 2004). Pengendalian Hayati Patogen tular tanah merupakan kelompok mikroba penggangu tanaman yang keberadaan dan hidupnya di dalam tanah. Pengendalian yang sering dilakukan khususnya dengan menggunakan agensia kimia sintetis. Agensia kimia yang digunakan selain tidak khas terhadap spesies patogen tular tanah, juga belum mampu mencapai keberadaan patogen tersebut dan didukung oleh kemampuan patogen di dalam membentuk pertahanan diri (Soesanto 2008), serta mempunyai 9 kisaran inang yang luas. Berdasarkan biologi patogen tersebut, maka pengendalian hayati berpeluang baik untuk berhasil (Susanto 2002). Pengendalian hayati merupakan perlindungan pada tanaman dari patogen tanaman termasuk penyebaran mikroorganisme antagonis pada saat setelah atau sebelum terjadinya infeksi patogen. Mekanisme dari biokontrol organisme yaitu dalam melemahkan atau membunuh patogen tanaman dengan perlawanan yaitu memparasit patogen secara langsung, memproduksi antibiotik (toksin), dan kemampuannnya dalam kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim untuk melawan komponen sel patogen, menginduksi respon ketahanan tanaman, dan produksi metabolisme tanaman dalam menstimulasi perkecambahan spora patogen (Agrios 2005). Pengendalian hayati adalah semua kondisi atau praktik yang berpengaruh terhadap penurunan daya tahan atau kegiatan patogen tanaman melalui interaksi dengan agensia organisme hidup lainnya (selain manusia), yang menghasilkan penurunan keberadaan penyakit yang disebabkan oleh patogen (Soesanto 2008). Sinaga (2006) mengemukakan bahwa introduksi agens antagonis berpotensi mengendalikan patogen-patogen tular tanah. Aplikasi agens antagonis menunjukkan inisiasi langsung dalam menekan inokulum patogen, mencegah kolonisasi patogen, melindungi perkecambahan biji dan akar tanaman dari infeksi, selain itu agens antagonis dapat langsung menghambat patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi terhadap ruang dan atau nutrisi, menginduksi proses ketahanan tanaman, serta interaksi langsung dengan patogen. Interaksi yang terjadi berupa hiperparasit, hiperpatogen, atau predator melalui destruksi unit-unit propagatif (propagul) atau biomassa, sehingga dapat mengurangi kepadatan inokulum dan aktivitas patogen. Menurut Harman (2000) ada tiga komponen dasar dalam sistem pengendalian hayati, yaitu agens memiliki suatu mekanisme yang baik untuk pengendalian hayati, agens dapat bersaing dan bertahan di dalam lingkungan tempat agens antagonis itu digunakan, dan agens dapat berkoloni dan berproliferasi pada tempat aplikasi dan tumbuh pada bagian tanaman secara baik setelah dilakukan aplikasi (bersimbiosis dengan tanaman inang). 10 Trichoderma harzianum Cendawan T. harzianum merupakan cendawan antagonis utama yang efektif digunakan dalam pengendalian penyakit pada pertanian (Amin et al. 2010). T. harzianum merupakan agen biokontrol yang dapat hidup dalam pathosistem berbeda, dapat menyeimbangkan tanah, dan tidak berbahaya bagi organisme bermanfaat lainnya (Monte & Llobell 2003; Ha 2010). Mekanisme antagonis dari Trichoderma adalah (1) mycopasitism yaitu cendawan yang mendapatkan nutrisi dari cendawan lainnya tanpa memberikan manfaat, (2) antibiosis yaitu hubungan antara dua organisme yang dapat merugikan salah satu organisme, biasanya salah satu organisme memproduksi toksik, (3) kompetisi nutrisi atau ruang, (4) toleransi terhadap stres melalui akar ditingkatkan dan perkembangan tanaman, (5) penyerapan nutrisi anorganik, (6) induksi resistensi, (7) inaktivasi enzim patogen (Widyastuti 2006). Morfologi secara mikroskopis untuk cendawan T. harzianum adalah konidiofor hialin, bercabang banyak; fialid tunggal atau dengan kelompok; konidia (phialospora) hialin, sel tunggal, oval, biasanya mudah dikenal dengan pertumbuhannya yang cepat dan konidia hijau; bersifat saprofitik di tanah atau pada kayu, beberapa spesies dilaporkan bersifat parasit pada cendawan lain (Barnett & Hunter 1998). Klamidospora berwarna cokelat kebulatan (Watanabe 2002). Gliocladium virens Gliocladium sp. dapat mengendalikan beberapa patogen tular tanah. Cendawan tersebut dapat mengolonisasi mikroba lain, sehingga mikroba tersebut tidak dapat berkembang. G. virens dapat menghasilkan antibiotik gliotoksin dan viridin yang dapat menekan perkembangan mikroba lain (Cook & Baker 1983). G. virens merupakan cendawan antagonis yang memiliki mekanisme antagonis mycoparasit dan dapat memproduksi bahan antifungi (Paulitz & Linderman 1991). Morfologi secara mikroskopis untuk cendawan G. virens adalah konidiofor hialin, tegak lurus, sederhana atau bercabang berlawanan atau verticillately, 11 terutama pada metula, septat, massa spora fialid pada cabang apikal. Konidia hijau muda, massa hijau tua, elips atau kebulatan, sel tunggal. Klamidospora bulat atau kebulatan (Watanabe 2002). Penicillium resticulosum Penicillium sp. merupakan cendawan yang dapat memproduksi beberapa mycotoxins (Agrios 2005). Koloni Penicillium sp. umumnya tumbuh cepat, berwarna hijau, kadang-kadang putih, dan kebanyakan memiliki konidiofor yang padat (Miftakhurohmah & Noveriza 2009). Morfologi secara mikroskopis untuk cendawan P. resticulosum adalah konidiofor hialin muncul dari miselium tunggal, tegak lurus, bercabang dekat puncak dengan 2-3 metula, penicillate, berakhir dengan kumpulan fialid; konidia (phialospore) hialin atau massa berwarna cerah, satu sel, kebanyakan bulat atau oval (Barnett & Hunter 1998; Watanabe 2002).