BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit gagal ginjal kronis (GGK) adalah masalah klinis yang umumnya menimbulkan risiko pasien mengalami kondisi-kondisi yang mengancam jiwa, termasuk penyakit ginjal tahap akhir dan penyakit kardiovaskular. Pengobatan yang tepat dapat menunda atau mencegah kondisi yang merugikan ini. Pasien GGK sering tidak tertangani dengan optimal karena gejala penyakit ini yang sering tidak dikenali oleh tenaga medis dan pasien sendiri (Lukela dkk., 2014). Penelitian National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 1994 memperkirakan bahwa 26 juta orang di Amerika Serikat (13% dari populasi orang dewasa) terkena GGK. Jumlah ini meningkat secara signifikan sejak tahun 1994, dimana 20 juta orang dewasa mengalami GGK (Lukela dkk., 2014). Di Indonesia, jumlah pasien dengan penyakit ginjal kronismeningkat dengan cepat . Hal ini telah merupakan masalah medis, sosial ,dan ekonomi untuk pasien dan keluarga mereka. Prevalensi GGK tahap akhir di Indonesia pada tahun 2002 - 2006 adalah 10,2%; 11,7%; 13,8%; 18,4%; dan 23,4% per juta populasi penduduk (Prodjosudjadi dan Suhardjono, 2009). Jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hipertensi adalah salah satu penyebab maupun komplikasi kardiovaskuler yang sering terjadi pada individu dengan GGK. Hipertensi dapat 1 2 menyebabkan kerusakan pada jaringan parenkim dan arteri ginjal (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Sekitar 50%-75% pasien GGK mempunyai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (NKF K/DOQI, 2004d). Untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi kardiovaskuler tersebut, maka diperlukan berbagai macam strategi terapi, termasuk penanganan hipertensi (NKF K/DOQI, 2004d). Pengendalian tekanan darah pada pasien GGK harus dilakukan secara agresif. Seringkali menggunakan kombinasi dua atau lebih obat antihipertensi agar target tekanan darah yaitu <130/80 mmHg tercapai (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Selain untuk menurunkan tekanan darah, penggunaan obat antihipertensi pada pasien GGK bertujuan untuk mengurangi risiko komplikasi kardiovaskuler serta memperlambat progresi penyakit ginjal (NKF K/DOQI, 2004b). Penggunaan obat yang irrasional merupakan salah satu masalah dunia. Irasional atau penggunaan obat yang tidak rasional adalah penggunaan obat-obatan dengan cara yang tidak sesuai dengan penggunaan yang rasional. Di seluruh dunia lebih dari 50% penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan dan penjualannya. Sekitar 50% lainnya juga tidak digunakan secara tepat oleh pasien. Selain itu, sekitar sepertiga dari populasi dunia tidak memiliki akses ke obat esensial (WHO, 2002). Dalam penelitian Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta oleh Charina Widhayanti tahun 2014 menunjukkan 66,15% kasus dikatakan tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan tepat dosis dari seluruh populasi tahun 2012. Ketidaktepatan penggunaan antihipertensi masih cukup banyak terjadi. 3 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan salah satu rumah sakit rujukan yang melayani pasien gagal ginjal kronis untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Sejak dilaksanakannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Januari 2014 jumlah pasien rawat jalan GGK meningkat tajam, selain itu mengingat pula begitu pentingnya penggunaan obat antihipertensi pada pasien GGK, maka diperlukan suatu evaluasi terhadap rasionalitas penggunaan obat antihipertensi pada pasien GGK. Penurunan angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit GGK merupakan manfaat dari penelitian mengenai Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari Desember 2014. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah : 1. Bagaimana gambaran karakteristik pada pasien rawat jalan penderita gagal ginjal kronik yang mendapatkan terapi antihipertensi di RSUP Dr. Sardjito? 2. Bagaimana pola penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat jalan penderita gagal ginjal kronik di RSUP Dr. Sardjito? 3. Bagaimana ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat jalan penderita gagal ginjal kronik di RSUP Dr. Sardjito berdasarkan National Kidney Foundation Kidney Dialysis Outcomes and Quality Initiative (NKF K/DOQI) Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004 dan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi tahun 2006? 4 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yaitu : 1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan penderita gagal ginjal kronik yang mendapatkan terapi antihipertensi di RSUP Dr. Sardjito yang meliputi jenis kelamin, usia, dan stage penyakit. 2. Untuk mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat jalan penderita gagal ginjal kronik di RSUP Dr. Sardjito. 3. Untuk mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat jalan penderita gagal ginjal kronik di RSUP Dr. Sardjito berdasarkan standar National Kidney Foundation Kidney Dialysis Outcomes and Quality Initiative (NKF K/DOQI) Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004 dan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi tahun 2006. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan : 1. Dapat memberikan informasi kepada tenaga medis baik dokter maupun apoteker mengenai penggunaan antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di rumah sakit. 2. Dapat digunakan oleh RSUP Dr. Sardjito sebagai salah satu pertimbangan dalam meningkatkan mutu pelayanan pengobatan hipertensi. 3. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi peneliti. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Gagal ginjal kronik a. Definisi gagal ginjal kronik Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Desease/CKD) adalah kehilangan fungsi ginjal progresif, yang terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, yang dikarakterisasi dengan perubahan struktur normal ginjal secara bertahap disertai fibrosis interstisial (Sukandar dkk., 2011). Tabel I. Penanda Kerusakan Ginjal (NKF K/DOQI, 2004c) Penanda (marker) Proteinuria Abnormalitas endapan urin (urin sediment abnormalities) Penemuan yang menindikasikan kerusakan ginjal Meningkatnya ekskresi albumin atau total protein urin Sel darah merah*, sel darah putih*, komponen seluler, komponen granul, dan lemak Abnormalitas ukuran ginjal; asimetri pada ukuran atau fungsi ginjal; ketidakteraturan bentuk (kista, luka, lesi); batu ginjal; Imaging Tests hydronephrosis dan abnormalitas seluruh urin lain; arterial stenosis dan lesi vaskuler lain Nephrotic syndrome; tubular syndromes (renal tubular Abnormalitas komposisi darah acidosis, potassium secretory defects, renal glycosuria, renal atau urin phosphaturia, Fanconi's syndrome) *sel darah merah (hematuria) atau sel darah putih (pyuria) dapat berasal dari tempat mana pun di saluran urin dan tidak secara spesifik mengindikasikan adanya kerusakan ginjal. Pasien dengan hematuria dan pyuria harus dievaluasi kemungkinan adanya penyakit ginjal kronik. Sedangkan menurut NKF K/DOQI tahun 2004a dalam Executive Summaries Guideline on Hypertension and Antihypertensive Agents in CKD menyebutkan definisi dari gagal ginjal kronik memiliki 2 kriteria yaitu : 1) Kerusakan ginjal terjadi lebih atau sama dengan 3 bulan, baik berupa kelainan struktur atau fungsi dari ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR, yang ditunjukkan dengan kelainan patologis dan penanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi dari darah atau urin, atau kelainan imaging test. 6 2) GFR <60 mL/menit/1,73 m2 untuk lebih atau sama dengan 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. b. Etiologi gagal ginjal kronik Didalam buku Pharmacoterapy : A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition tahun 2005 menyebutkan beberapa faktor risiko gagal ginjal kronik yaitu sebagai berikut : 1) Susceptibility Factors Individu dengan susceptibility factors dapat meningkatkan risiko berkembangnya penyakit ginjal, meskipun faktor-faktor risiko belum terbukti secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Susceptibility factors tersebut meliputi : a) Pertambahan usia b) Pengurangan masa ginjal dan bobot lahir rendah c) Status rasial atau etnik minoritas d) Riwayat keluarga menderita gagal ginjal kronik e) Pendapatan atau edukasi yang rendah f) Inflamasi sistemik g) Dislipidemia 2) Initiation Factors Initiation factors menyebabkan kerusakan adalah kondisi yang ginjal, dan farmakologis. Initiation factors meliputi: a) Diabetes mellitus dapat secara langsung dapat dimodifikasi dengan terapi 7 b) Hipertensi c) Penyakit autoimun d) Penyakit ginjal polikistik e) Toksisitas obat 3) Progression Factors Progression factors adalah sesuatu yang menyebabkan memburuknya kerusakan ginjal, dan berkaitan dengan penurunan lebih cepat pada fungsi ginjal setelah inisiasi dari kerusakan ginjal. Progression factors meliputi : a) Glikemia (pada pasien diabetes) b) Peningkatan tekanan darah c) Proteinuria d) Merokok c. Patofisiologi gagal ginjal kronik Didalam buku Pharmacoterapy : A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition tahun 2005 menyebutkan bahwa faktor-faktor etiologi merusak ginjal dengan cara yang berbeda-beda. Sebagai contoh, lesi struktural utama pada diabetik nefropati adalah ekspansi glomerular mesangial. Pada hypertensive nephrosclerosis menyebabkan arteriolar hyalinosis dari arteriol ginjal, dan pada penyakit ginjal polikistik adalah perkembangan dan pertumbuhan kista pada ginjal. Berbagai morfologis perubahan glomerulus telah dicatat untuk terjadi, tergantung pada diagnosis utama glomerulonefritis tersebut. Meskipun demikian, mayoritas progressive nephropathies mempunyai lintasan (pathway) yang mirip dalam menyebabkan kerusakan parenkim ginjal 8 yang bersifat irreversible hingga akhirnya menjadi gagal ginjal terminal. Mekanisme kerusakan pada ginjal tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Elemen-elemen kunci dari jalur ini adalah : (1) hilangnya massa nefron; (2) hipertensi kapiler glomerulus; dan (3) proteinuria. Gambar 1. Mekanisme Kerusakan Pada Penyakit Ginjal (Dipiro dkk., 2005) Pemaparan terhadap salah satu atau beberapa initiation factors dapat mengakibatkan berkurangnya masa nefron. Nefron-nefron yang tersisa akan mengalami hipertrofi untuk mengkompensasi berkurangnya fungsi ginjal dan massa nefron. Pada awalnya hipertrofi ini bersifat adaptif, tetapi lama kelamaan hipertrofi ini dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi intraglomeruler yang dimediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang poten dari arteriola aferen dan eferen. Vasokonstriksi dari arteriola aferen dan eferen ini selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan di dalam kapiler 9 glomerulus dan peningkatakan fraksi filtrasi. Perkembangan hipertensi intraglomeruler biasanya berkorelasi dengan perkembangan hipertensi arterial sistemik. Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa tekanan kapiler intraglomerular yang tinggi dapat merusak fungsi size selective pada penghalang permeabilitas glomerulus, dan dapat menyebabkan albuminuria dan proteinuria. Proteinuria diduga mempercepat hilangnya nefron yang merupakan akibat langsung kerusakan sel. Protein yang disaring terdiri dari albumin, transferin, complement factors, imunoglobulin, sitokin, dan angiotensin II, yang mana memiliki bobot molekul berbeda. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kehadiran protein ini dalam tubulus ginjal mengaktifkan sel tubular yang mengarah ke diproduksinya inflamasi dan vasoaktif sitokin, seperti endotelin, protein monosit chemoattractant (MCP-1), dan RANTES (diatur pada saat aktivasi, diekspresikan dan disekresikan T-sel yang normal). Aktivasi komplemen intratubular merupakan mekanisme kunci kerusakan pada progressive proteinuric nephropathies. Proteinuric dikaitkan dengan aktivasi komponen komplemen pada membran apikal di tubulus proksimal. Peristiwa ini akhirnya menyebabkan scarring dari interstitium, dan hilangnya struktural unit nefron, dan penurunan fungsi (GFR menurun). d. Laju filtrasi glomerulus (Glomerular filtration rate/GFR) Glomerular filtration rate (GFR) biasanya diterima sebagai indeks fungsi ginjal yang terbaik dari semuanya. Tingkat GFR dan besarnya perubahan dari waktu ke waktu sangat penting untuk deteksi penyakit ginjal, memahami keparahan dan untuk membuat keputusan tentang diagnosis, prognosis dan 10 pengobatan. GFR diukur dengan menggunakan plasma atau Clearence urin dari penanda filtrasi eksogen. Hal ini adalah prosedur rumit dan hanya dapat dilakukan di pusat-pusat khusus dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu GFR biasanya diperkirakan dari penanda filtrasi endogen (Anonim, 2014a). Kreatinin serum adalah penanda filtrasi endogen yang paling sering diukur, yang mana merupakan turunan asam amino 113 Dalton yang dihasilkan dari pemecahan kreatin dalam otot, didistribusikan ke seluruh cairan tubuh, dan diekskresikan oleh ginjal terutama oleh filtrasi glomerulus. Meskipun tingkat serum dipengaruhi terutama oleh tingkat GFR, dan juga dipengaruhi oleh proses fisiologis lainnya, seperti sekresi tubular, generasi dan ekskresi extrarenal kreatinin. Oleh karena itu, GFR terduga menggabungkan tingkat serum dengan faktor demografi lainnya yang mewakili variabel fisiologis yang tidak terukur (Anonim, 2014b). e. Klasifikasi gagal ginjal kronik Tabel II. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (NKF K/DOQI, 2004c) Stage 1 2 3 4 5 Deskripsi GFR Tindakan (mL/menit/1,73 m2) Kerusakan ginjal dengan ≥90 Diagnosis dan terapi atau ↑ GFR kondisi-kondisi komorbid untuk menghambat progresi dan komplikasi Kerusakan ginjal dengan 60-89 Pengukuran progresi mild ↓ GFR Moderate ↓ GFR 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi Severe ↓ GFR 15-29 Persiapan terapi penggantian ginjal Gagal ginjal <15 (atau dialisis) Penggantian ginjal (jika terdapat uremia) Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) yang merupakan sebuah kelompok kerja di bawah National Kidney Foundation (NKF) 11 mengklasifikasikan perkembangan penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan adanya kerusakan struktural pada ginjal dan atau perubahan fungsional laju filtrasi glomerulus, seperti yang tercantum dalam Tabel berikut. f. Manifestasi klinis gagal ginjal kronik Secara umum onset dari penyakit gagal ginjal kronis berbahaya karena sering kali gejalanya tidak terlihat. Diagnosis gagal ginjal kronis minimal diperlukan pengukuran serum kreatinin, perhitungan GFR dan penilaian urinalysis untuk microalbumin atau total protein. Diagnosis untuk stage 3, 4, dan 5 GGK membutuhkan penilaian untuk komplikasi umum lainnya termasuk anemia, risiko jantung, penyakit tulang metabolik, kekurangan gizi, dan gangguan cairan dan elektrolit (Dipiro dkk., 2005). Gejala biasanya tidak terlihat pada gagal ginjal stage 1 dan 2, kemudian gejala minimal pada stage 3 dan 4. Gejala klasik terkait pada stage 5 yaitu pruritus, dysgeusia, mual, muntah, dan pendarahan yang abnormal Gejala terkait dengan anemia meliputi intoleransi dingin, sesak napas, dan kelelahan. Tingkat keparahan gejala terkait dengan laju perkembangan anemia dan tingkat pengurangan hemoglobin (Dipiro dkk., 2005). Untuk tanda gagal ginjal kronis menurut Pharmacoterapy : A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition tahun 2005 dapat dilihat dari : 1) Kardiovaskular: Ventrikel kiri hipertopi, gagal jantung kongesti, hyperhomocysteinemia, dislipidemia, palpitasi, aritmia, perubahan elektrokardiografi, peningkatan creatine kinase-myocardial bound 12 (CK-MB) dan creatine kinase (CK), memburuknya hipertensi, dan edema. 2) Muskuloskeletal: Kram dan nyeri otot. 3) Neuropsikiatri: Depresi, kecemasan, gangguan mental cognition, kelelahan, dan disfungsi seksual 4) Gastrointestinal: Gastroesophageal reflux disease, sembelit, pendarahan GI, mual, dan muntah. Dari hasil laboratorium Pharmacoterapy : A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition tahun 2005 dapat terlihat dari : 1) Normal atau tidak normalnya GFR dengan atau tanpa kelaianan struktural ginjal, kehadiran albumin atau protein dalam urin, dan penilaian patologis dari jaringan ginjal. 2) Endokrin: Peningkatan sensitivitas terhadap insulin, hiperparatiroidisme sekunder, aktivasi vitamin D menurun, deposisi β2-mikroglobulin, dan asam urat. 3) Hematologi: Anemia, kekurangan zat besi, dan perdarahan. g. Komplikasi gagal ginjal kronik Gagal ginjal kronik dapat mengakibatkan beberapa komplikasi penting termasuk : anemia, mineral bone disease, metabolisme asidosis, ketidakseimbangan Natrium dan Kalium, ketidakseimbangan cairan, dan kekurangan gizi. Pasien dengan CKD perlu dipantau untuk kondisi ini dan ditangani untuk komplikasi yang teridentifikasi (Lukela dkk., 2014) 13 2. Hipertensi a. Definisi hipertensi Hipertensi merupakan suatu penyakit yang umum sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah yang terus-menerus, dan salah satu faktor risiko dari penyakit kardiovaskuler (Dipiro dkk., 2005). Menurut JNC VII penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah > 140 mmHg (tekanan sistolik) dan/atau > 90 mmHg (tekanan diastolik). Nilai yang lebih tinggi (sistolik) menunjukan fase darah yang dipompa oleh jantung, nilai yang lebih rendah (diastolik) menunjukan fase darah kembali ke dalam jantung (Dirjen PP dan PL, 2006). b. Klasifikasi hipertensi The Joint National Commite on prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure edisi VII tahun 2003, memberikan klasifikasi tekanan darah untuk pasien yang berusia 18 tahun ke atas. Klasifikasi didasarkan atas rata-rata dua kali atau lebih kunjungan dengan pembacaan yang tepat. Klasifikasi ini berbeda dengan JNC VI, dimana pada JNC VII ditambahkan kategori prehipertensi dan hipertensi stage II dan stage III dijadikan satu. Pasien prehipertensi adalah pasien yang berada pada risiko perkembangan hipertensi. Tabel III. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Normal <120 dan <80 Prehipertensi Hipertensi stage 1 Hipertensi satge 2 120-139 140-159 ≥160 atau 80-89 atau 90-99 atau ≥100 14 Klasifikasi hipertensi ditentukan berdasarkan rata-rata dua atau lebih pengukuran tekanan darah pada pemeriksaan klinis dan lebih tepat apabila di ukur dengan posisi duduk. Jika nilai-nilai tekanan darah baik sistolik dan diastolik menghasilkan klasifikasi yang berbeda, klasifikasi ditentukan pada hasil pengukuran tertinggi. Selanjutnya untuk pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit gagal ginjal kronis, target terapi tekanan darahnya adalah 130/80 mmHg (Dipiro dkk., 2005). c. Hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan/atau penggunaan obat jangka panjang (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). 1) Hipertensi pada gagal ginjal kronik Ginjal juga berperan atas timbulnya hipertensi esensial atau primer. Kerusakan ginjal dapat menyebabkan tekanan darah menjadi tinggi. Patogenesis untuk gagal ginjal kronis terkait hipertensi sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama pada tahap akhir dari penyakit ginjal. Selain faktor-faktor klasik, seperti peningkatan volume intravaskular dan aktivitas yang berlebihan dari RAS. Selain itu peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik, disfungsi endotelial dan perubahan beberapa humoral dan faktor saraf yang dapat meningkatkan tekanan darah. Hipertensi sangat lazim pada gagal ginjal kronis, 15 yang mana dipengaruhi oleh tingkat fungsi ginjal, etiologi penyakit ginjal dan usia pasien. Pasien dengan penyakit vascular, diabetes dan penyakit ginjal polikistik (PKD) lebih rentan untuk menjadi hipertensi (Morgado dan Neves, 2012). 2) Hipertensi penyebab kerusakan ginjal Hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal kronik. Meskipun mekanisme hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal belum jelas dibandingkan dengan diabetes mellitus, tapi ginjal memiliki peranan penting dalam pengaturan tekanan darah. Hipertensi berkembang bersama dengan gagal ginjal. Sebagai contoh, 40% dari pasien dengan GFR 90 mL/menit per 1,73m2 memiliki hipertensi, 55% pasien dengan GFR 60 mL/menit per 1,73 m2 memiliki hipertensi, dan lebih dari 75% pasien dengan GFR 30 mL/menit per 1,73m2 memiliki hipertensi. Selain itu pada survei NHANES III menunjukkan bahwa pasien dengan serum kreatinin ≥1,6 mg/dL untuk pria dan ≥1,4 mg/dL untuk wanita, lebih umum pada orang dengan penyakit hipertensi (9,1%) dibandingkan pada orang tanpa penyakit hipertensi (1,1%). Sebuah studi prospektif pada pasien dengan fungsi ginjal normal menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah adalah faktor risiko terjadingan gagal ginjal kronis. Analisis lainnya yaitu kohort MRFIT menyebutkan bahwa 5,6% pasien hipertensi memiliki risiko gagal ginjal kronik stage 5 seumur hidup. Selain itu risiko gagal ginjal kronik bervariasi sesuai klasifikasi tekanan darah, dari 0,33% pada hipertensi stage 1 (Tekanan darah sistolik 140-150 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik 90-100 mmHg) sampai 4,5% untuk tekanan darah sistolik lebih besar dari 180 mmHg atau 16 tekanan darah diastolik lebih besar dari 110 mmHg selama periode sekitar 16 tahun (Dipiro dkk., 2005). Mekanisme kerusakan ginjal pada pasien dengan hipertensi masih sulit dipahami. Ada dua mekanisme patogenik yaitu fibrosis ginjal dan scarring. Mekanisme yang pertama dimulai dengan perubahan pada macro dan microvasculature ginjal yang dapat meyebabkan hilangnya autoregulasi ginjal serta meningkatnya tekanan kapiler intraglomeruler dan hyperfiltration-mediated injury. Hiperfiltrasi ini dapat menyebabkan hilangnya protein-protein pada transglomeruler yang dapat meningkatkan pengeluaran sitokin dan faktor pertumbuhan (growth factors) oleh sel mesangial dan sel epitelial tubuler bagian hilir (downstream tubular epithelial cells). Sementara itu, mekanisme kedua mengemukakan bahwa disfungsi endotelial dan hilangnya vasodilator endogen sebagai faktor-faktor yang mempercepat hypoxic-ischemic injury. Aktivasi sistem renin angiotensin intrarenal dan peningkatan pengeluaran sitokin dan faktor pertumbuhan dengan pengerahan sel-sel inflamatori, akan menstimulasi apoptosis yang dapat menyebabkan hilangnya sel-sel normal ginjal dan peningkatan produksi matriks. Hal tersebut, pada akhirnya dapat menyebabkab fibrosis dan scarring interstitial maupun glomeruler (Morgado dan Neves, 2012). d. Terapi antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik Berdasarkan NKF K/DOQI Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004, terapi antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik meliputi modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi maupun tanpa 17 hipertensi. Modifikasi gaya hidup meliputi diet, latihan fisik, dan kebiasaan yang dapat memperlambat progresi gagal ginjal kronik atau menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Sementara itu, terapi farmakologis dilakukan dengan menggunakan obat-obat antihipertensi. Terapi antihipertensi ini bertujuan untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien dengan atau tanpa komplikasi hipertensi, dan memperlambat progresi penyakit ginjal pada pasien dengan atau tanpa komplikasi hipertensi (NKF K/DOQI, 2004b). Evaluasi pasien GGK Ya Dapatkah ACE inhibitor mulai digunakan atau dosisnya Ya Inisiasi penggunaan atau peningkatan dosis ACE inhibitor atau ARB Apkah pasien termasuk penderita GGK dengan diabetes atau apakah pasien termasuk penderita GGK non-diabetes dengan rasio spot urin total protein dan kreatinin ≥200mg/g? Re-evaluasi secara periodik No Apakah tekanan darah < 130/80 mmHg? Tidak Tidak Inisiasi penggunaan/ peningkatan dosis diuretika atau agen lain Pemantauan respon termasuk proteinuria dan efek samping Gambar 2. Algoritma untuk Evaluasi dan Manajemen Hipertensi serta Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK (NKFK/DOQI, 2004b) 18 Beberapa obat antihipertensi memiliki efek yang menguntungkan pada GGK dan penyakit kardiovaskuler. Selain menurunkan tekanan darah, obat tersebut mempunyai efek lain seperti menurunkan proteinuria, memperlambat penurunan GFR, serta menghambat patogenesis dan mekanisme lainnya dari progresi gagal ginjal kronik dan penyakit kardiovaskuler. Sebagian besar pasien gagal ginjal kronik memerlukan 2 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan, yaitu kurang dari 130/80 mmHg (NKF K/DOQI, 2004d). Algoritma untuk evaluasi dan manajemen hipertensi serta penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik ditunjukkan pada Tabel IV. Preferred Agents untuk pasien dengan Diabetes mellitus adalah ARB dan ACE Inhibitor. Tabel IV. Obat Antihipertensi yang Direkomendasikan pada Pasien GGK (NKFK/DOQI, 2004a) Tipe GGK Target tekanan Preferred agents darah (mmHg) GGK disertai diabetes <130/80 ACE inhibitor atau ARB GGK tanpa diabetes dengan <130/80 ACE inhibitor atau spot urin total ARB protein-to-creatinine ratio ≥200mg/g GGK tanpa diabetes dengan <130/81 Tidak ada spot urin total protein-to-creatinine ratio <200mg/g GGK pada penerima <130/80 Tidak ada transplantasi ginjal Other agents Diuretik lalu BB atau CCB Diuretik lalu BB atau CCB Diuretik lalu ACEI, ARB, BB atau CCB Diuretik lalu ACE inhibitor, ARB, BB atau CCB Preferred agents dan other agents. Preferred agents merupakan obat antihipertensi yang bekerja dengan mekanisme tertentu sehingga selain dapat menurunkan tekanan darah, obat ini mempunyai efek tambahan untuk memperlambat perkembangan GGK dan harus diresepkan meskipun tidak terdapat hipertensi. Jika tidak terdapat preferred agents maka other agents dapat digunakan. Kombinasi kedua agen tersebut dapat digunakan, tetapi harus mempertimbangkan disease-spesific indications. Simbol dan Singkatan. ACE inhibitor, angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; CCB, calcium-channel blocker; BB, beta-blocker. 19 1) Diuretik Retensi sodium dapat terjadi ketika pemasukan sodium melampaui jumlah sodium yang diekskresikan. Reetensi sodium pada pasien GGK terjadi melalui dua mekanisme yaitu berkurangnya filtrasi sodium oleh glomerulus dan peningkatan reabsorpsi di tubulus ginjal. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya ekspansi volume ekstraseluler (extracellular fluid/ECF), yang merupakan salah satu penyebab hipertensi pada pasien GGK. Penggunaan diuretik dibutuhkan hampir semua pasien GGK untuk mengatur ekspansi volume cairan ekstraseluler dan efeknya terhadap tekanan darah (NKF K/DOQI, 2004f). Terdapat tiga kelas diuretik yang dapat digunakan, yaitu diuretik tiazid, diuretik loop, dan diuretik hemat kalium, seperti yang tercantum dalam Tabel V. Secara umum, diuretik bekerja terutama dengan cara mengurangi reabsorpsi sodium di tubulus, sehingga terjadi peningkatan ekskresi sodium, pembalikan ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan penurunan tekanan darah. Diuretik tiazid, seperti hidroklorotiazid dan klortalidon telah terbukti efektif dalam menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko kardiovaskuler pada pasien GGK. Berdasarkan Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack (ALLHAT) Trial, pasien yang diterapi menggunakan klortalidon, khususnya ras Afrika-Amerika, mempunyai tekanan darah dan tingkat stroke yang lebih rendah daripada individu ras Afrika-Amerika yang diterapi dengan lisinopril. JNC 7 juga merekomendasikan diuretik tiazid untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko kardiovaskuler pada pasien yang berisiko tinggi menderita jantung koroner (NKF K/DOQI, 2004d). 20 Efektivitas diuretik loop dalam mengurangi risiko kardiovaskuler belum diketahui karena studi tentang penggunaan diuretik loop secara tunggal belum banyak dilakukan. Diuretik loop efektif dalam mengurangi volume cairan ekstraseluler dan telah digunakan sebagai kombinasi dengan obat antihipertensi lain pada banyak studi GGK. Diuretik loop mempunyai durasi yang lebih singkat daripada diuretik tiazid, sehingga kurang efektif pada pasien dengan fungsi ginjal normal, kecuali jika digunakan dalam dosis ganda. Namun, karena diuretik tiazid mempunyai efektivitas yang rendah dalam mengurangi volume cairan ekstraseluler pada pasien dengan GFR rendah, maka penggunaan diuretik loop lebih disarankan pada pasien dengan kondisi tersebut (NKF K/DOQI, 2004d). Diuretik tiazid dan loop akan meningkatkan penghantaran sodium menuju tubulus distal, sehingga ekskresi potassium melalui urin pun meningkat. Kondisi ini merupakan efek samping yang sangat bermanfaat pada GGK, terutama untuk pasien yang diterapi dengan ACE inhibitor atau ARB. Meskipun demikian, diuretik tiazid dan loop mempunyai beberapa efek samping, seperti hipokalemia, hiperurisemia, gout, hiperglikemia, dan peningkatan kolesterol LDL (NKF K/DOQI, 2004d). Diuretik hemat kalium, seperti triamteren dan amilorid, kurang efektif dalam menurunkan volume cairan ekstraseluler daripada diuretik tiazid dan loop, jika digunakan sebagai agen tunggal. Diuretik hemat kalium dapat digunakan bersama dengan diuretik tiazid dan loop sebagai terapi tambahan untuk mencegah dan mengatasi diuretics-induced hypokalemia dan edema. Antagonis aldosteron beraksi sebagai diuretik hemat kalium dan dapat digunakan pada kondisi yang 21 sama seperti triamteren dan amilorid (NKF K/DOQI, 2004d). Tabel V. Kelas Diuretik yang Digunakan pada GGK (NKF K/DOQI, 2004f) Tiazid Efek Peningkatan Farmakodinamik ekskresi sodium, potassium, dan magnesium; penurunan ekskresi kalsium Tempat aksi Tubulus distal Loop Peningkatan ekskresi sodium, potassium, ion hidrogen, kalsium, dan magnesium Thick ascending limb Penghantaran ke Transporter anion Transporter anion tempat aksi organik pada tubulus organik pada proksimal tubulus proksimal Transporter yang Apical Na+, Cl-, Na+, K+, 2Cldipengaruhi contransport system contransporter Presentase filtrat yang direabsorbsi di tempat aksi Bioavailabilitas Rute eliminasi Waktu paruh eliminasi Frekuensi Hemat Kalium Peningkatan ekskresi sodium; penurunan ekskresi potassium, ion hidrogen, kalsium, dan magnesium Tubulus kolektivus 6%-11% 20%-30% Transporter kation organik pada tubulus proksimal Ephithelial sodium channels (triamteren, amilorid) atau reseptor mineralokortikoid (aldosteron antagonis) kurang dari 5% 40%-90% Hepar/Ginjal 2,5-60 jam 50%-100% Hepar/Ginjal 1-5 jam 30%-90% Hepar/Ginjal 2-26 jam Biasanya satu kali sehari Biasanya dua kali sehari Satu atau dua kali sehari 2) Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor NKF K/DOQI Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004 merekomendasikan ACE inhibitor dan ARB sebagai preffered agents pada pasien GGK dengan diabetes atau tanpa diabetes yang mengalami proteinuria. Pada kondisi tersebut, ACE inhibitor dan ARB akan menurunkan tekanan darah, mengurangi proteinuria, memperlambat perkembangan atau progresi kerusakan ginjal, serta mengurangi risiko kardiovaskuler. Dengan demikian, pemberian obat antihipertensi tersebut sangat disarankan, meskipun pasien dengan kondisi tersebut di atas tidak mengalami hipertensi (NKF K/DOQI, 2004e). 22 Penggunaan ACE inhibitor dan ARB pada pasien GGK tentu dapat menimbulkan berbagai macam efek samping. Beberapa efek samping yang sering timbul, antara lain adalah penurunan GFR, hipotensi, dan hiperkalemia. Efek samping tersebut dapat diatasi tanpa harus menghentikan penggunaan obat. Dengan pemantauan terapi secara saksama, sebagian besar pasien berhasil diterapi menggunakan ACE inhibitor dan ARB, meskipun dengan tingkat GFR yang rendah (NKF K/DOQI, 2004e). Sistem Renin-Angiotensin Angiotensinogen Sistem Kallikrein-Kinin Renin Non-Renin Bradikinin Angiotensin I Non-ACE ACE Angiotensin II Reseptor AT1 Peptida-peptida Inaktif Reseptor AT2 Gambar 3. Sistem Renin-Angiotensin dan Sistem Kallikrein-Kinin. AT1 adalah angiotensin tipe 1 dan AT2 adalah angiotensin tipe 2 (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor bekerja dengan menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, di mana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor juga menghambat degradasi bradikinin dan merangsang sintesis zat-zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin akan meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACE inhibitor, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk 23 kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACE inhibitor. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). 3) Angiotensin receptor blocker (ARB) Angiotensin II dihasilkan dengan melibatkan 2 jalur enzim, yaitu sistem renin-angiotensin aldosteron (Renin-Angiotensin Aldosteron System/RAAS) yang melibatkan Angiotensin Converting Enzyme dan jalur alternatif menggunakan enzim lain seperti chymase, seperti yang ditunjukkan pada gambar 5. Angiotensinogen Perselektivitas Renin ACEI Angiotensin I ACE chymase ARB Angiotensin II Reseptor AT1 Reseptor AT2 Konstriksi arteriola eferen aktivitas proliferasi, biosintesis aldosteron Gambar 4. Fisiologi Sistem Renin-Angiotensin serta Tempat Aksi ACE Inhibitor dan ARB (NKF K/DOQI, 2004e) Berdasarkan hal tersebut, maka ACE inhibitor hanya menghambat efek angiotensin yang dihasilkan melalui RAAS, sedangkan ARB menghambat efek angiotensin II dari semua jalur. Angiotensin receptor blockers akan menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1). Aktivasi AT1 dapat menghasilkan efek seperti: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi 24 simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari glomerulus. ARB tidak menghambat reseptor angiotensin tipe 2 (AT2), sehingga efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti: vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) akan tetap ada (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Seperti ACE inhibitor, sebagian besar ARB mempunyai waktu paruh yang cukup panjang, sehingga dapat diberikan 1 kali sehari. Namun, kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek, sehingga memerlukan pemberian 2 kali sehari supaya efektif dalam menurunkan tekanan darah (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). 4) Calcium-Channel Blockers (CCB) Calcium-Channel Blockers bukan merupakan agen lini pertama, tetapi merupakan obat antihipertensi yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat influks kalsium sepanjang membran sel. Terdapat dua tipe voltage gated calcium channel, yaitu high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). Calcium-Channel Blockers dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu dihidropiridin dan nondihidropiridin. Kelompok dihidropiridin cenderung menghambat pada high voltage channel (tipe L) (NKF K/DOQI, 2004c; Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Kelompok tersebut merupakan vasodilator yang poten dengan efek yang sangat kecil pada kontraktilitas kardiak atau konduksi kardiak. Sementara itu, kelompok nondihidropiridin, termasuk verapamil, yang merupakan depresan kardiak dan diltiazem, yang mempunyai aktivitas vasodilator maupun depresan 25 kardiak (NKF K/DOQI, 2004d). Umumnya CCB menguntungkan, terutama bagi pasien dengan angina pektoris, recurrent supraventricular tachycardia (hanya verapamil), fenomena Raynaud (hanya CCB dihiropiridin), gagal jantung kongestif karena disfungsi diastolik, migrain, dan spasme esofageal. Baik kelompok dihidropiridin, maupun nondihidropiridin tidak menyebabkan kenaikan kadar kolesterol ataupun trigliserida, serta resistensi insulin (NKF K/DOQI, 2004d). CCB nondihidropiridin mempunyai efek yang menguntungkan pada GGK dan penyakit kardiovaskuler. Diltiazem dan verapamil efektif dalam mengurangi proteinuria pada pasien GGK yang disertai dengan diabetes. Kombinasi lisinopril dan verapamil menghasilkan pengurangan proteinuria yang lebih besar daripada penggunaan obat tersebut secara tunggal dengan dosis dua kali lipat dosis pada terapi kombinasi. Penemuan yang serupa juga terlihat pada penggunaan kombinasi trandolapril dan verapamil (NKF K/DOQI, 2004d). Berdasarkan hasil controlled trial yang telah dilakukan, tampaknya CCB dihidropiridin yang dikombinasikan dengan diuretik, efektif dalam menurunkan tekanan darah dan risiko kardiovaskuler, tetapi kurang efektif jika digunakan secara tunggal. Beberapa agen dihidropiridin mempunyai aktivitas depresan kardiak, seperti short-acting nifedipine dan longer-acting felodipine, isradipin, nicardipin, nisoldipin, dan long-acting nifedipine. Long acting agents yang tidak mempunyai efek depresan kardiak, meliputi amlodipin dan lacidipin. Agen-agen yang mempunyai aksi lebih panjang (longer acting) tanpa efek depresan kardiak umumnya lebih direkomendasikan. Calcium-Channel Blockers 26 dihiropiridin mempunyai sejumlah efek samping yang disebabkan oleh vasodilatasi secara langsung dan dapat menyebabkan edema periferal, pusing, dan sakit kepala. Pada sebuah studi, ditemukan bahwa kombinasi dihidropiridin dengan ACE inhibitor dapat mengurangi risiko terjadinya edema dibandingkan penggunaan dihidropiridin secara tunggal (NKF K/DOQI, 2004d). 5) Beta blocker (BB) Beta-blockers dapat diklasifikasikan berdasarkan efeknya terhadap reseptor alpha dan beta adrenergic. Reseptor beta-1 banyak ditemukan pada otot jantung. Aktivasi reseptor beta-1 dapat meningkatkan konduksi nodus AV, kontraktilitas, dan denyut jantung. Sementara itu, reseptor beta-2 banyak ditemukan pada otot polos bronkial dan pembuluh darah perifer. Aktivasi reseptor beta-2 akan menyebabkan vasodilatasi dan bronkodilatasi. Agen-agen yang menghambat secara selektif reseptor beta-1 disebut sebagai selective beta-blockers. Agen-agen yang menghambat baik reseptor beta-1 maupun beta-2 disebut sebagai nonselective beta blockers. Akibat efeknya terhadap reseptor beta-2, nonselective beta blockers dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan memperparah gejala penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah perifer, serta dapat meutupi gejala hipoglikemia yang dimediasi oleh saraf simpatetik (NKF K/DOQI, 2004d). 6) Alpha-2-agonis Agonis alpha-2 sentral, seperti klonidin dan metildopa, menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2-adrenergik di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan 27 meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, total peripheral resistance, aktivitas plasma renin, dan refleks baroreseptor (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Obat antihipertensi golongan ini mempunyai efek yang menguntungkan pada metabolisme lipid (meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL) dan meningkatkan sensitivitas insulin. Selain itu, klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten. Golongan ini umumnya tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama hipertensi karena insidensi efek samping yang relatif tinggi (NKF K/DOQI, 2004d). Penggunaan agonis alpha-2 sentral secara kronis dapat menyebabkan retensi sodium dan air, terutama metildopa. Klonidin dalam dosis kecil dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi tanpa penambahan diuretik. Namun, metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah tumpulnya efek antihipertensi yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Klonidin mempunyai efek samping antikolinergik yang cukup banyak, seperti sedasi, mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan penglihatan kabur. Penghentian agonis alpha-2 sentral secara mendadak dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin ketika pemberian klonidin tiba-tiba dihentikan. Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, meskipun jarang terjadi. Kenaikan serum transaminase liver yang bersifat sementara kadang-kadang 28 terjadi pada terapi menggunakan metildopa, tetapi secara klinis kenaikan tersebut irrelevant kecuali bila nilainya di atas tiga kali batas normal (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). 3. Rasionalitas penggunaan obat antihipertensi pada pasien GGK Penggunaan obat yang irasional merupakan salah satu masalah dunia. World Health Oraganization (WHO) memperkirakan terdapat lebih dari 50 % penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan dan penjualannya. Sekitar 50 % lainnya juga tidak digunakan secara tepat oleh pasien (WHO, 2002). Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individual, untuk jangka waktu yang sesuai, serta dengan biaya terapi yang terjangkau oleh masyarakat banyak (WHO, 2002). Kriteria pemakaian obat yang rasional, antara lain sebagai berikut: a. Sesuai dengan indikasi penyakit Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat (Depkes RI, 2008). NKF K/DOQI Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004 merekomendasikan penggunaan obat antihipertensi pada pasien GGK yang disertai hipertensi serta pasien GGK tanpa hipertensi (sebagai contoh golongan ACE Inhibitor dan ARB, selain dapat menurunkan tekanan darah, obat golongan tersebut juga dapat memperlambat perkembangan kerusakan ginjal dan mengurangi risiko komplikasi kardiovaskuler, sehingga direkomendasikan kepada pasien GGK yang disertai hipertensi maupun tanpa hipertensi). 29 b. Tepat pemilihan obat Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit atau merupakan obat pilihan untuk diagnosa penyakit yang ditegakkan (Depkes RI, 2008). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi tahun 2006 dan NKF K/DOQI Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004, merekomendasikan penggunaan beberapa golongan obat antihipertensi pada pasien GGK seperti yang disajikan pada gambar 3 dan Tabel IV. Terdapat beberapa golongan obat lain yang dapat digunakan meskipun bukan sebagai terapi lini pertama, salah satunya adalah golongan agonis alfa-2 yang dapat digunakan pada hipertensi yang resisten (NKF K/DOQI, 2004d). c. Diberikan dengan dosis yang tepat Pemberian obat memperhitungkan usia, berat badan dan kronologis penyakit. Apabila salah satu dari empat hal tersebut tiak dipenuhi menyebabkan efek terapi tidak tercapai (Depkes RI, 2008). 1) Tepat jumlah yaitu jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup. 2) Cara pemberian yang tepat. Sebaiknya rute pemberian obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan kondisi. Pemberian yang paling praktis dan aman adalah secara per oral. 3) Tepat interval waktu pemberian. Jarak minimum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan. Cara pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Semakin sering frekuensi pemberian obat per 30 hari (misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 kali sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. 4) Lama pemberian yang tepat. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu tertentu. Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakit masing-masing. Literatur NKF K/DOQI Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004 dan Drug Information Handbook edisi ke-20 mencantumkan dosis dan penyesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien GGK, seperti yang disajikan pada Tabel VI. Tabel VI. Dosis dan Penyesuaian Dosis Obat Antihipertensi pada Pasien GGK Golongan Nama Obat Obat Dosis pada fungsi ginjal yang normal (Lacy dkk., 2012). Penyesuaian Kisaran dosis biasa pada pasien (mg/hari)(dosis/hari GGK (Lacy dkk., ) (NKF K/DOQI, 2012). 2004d). Diuretik Furosemid Anak (Oral): 2 mg/kg/dosis Tidak perlu 40 - 240 (2 - 3) yang ditingkatkan dari 1-2 mg/kg/dosis. dosis maksimum 6 mg/kg/dosis. Dewasa (Oral): Dosis dapat dimulai dengan 20-80 mg, jika respon kurang, pemberiannya dapat diulang atau tingkatkan dosis sebesar 20-40 mg per dosis pada interval 6-8 jam. pada kondisi edema yang parah, dosis dapat ditingkatkan hingga 600 mg per hari . Usia lanjut (Oral): 20 mg/hari, tingkatkan perlahan sesuai respon . Hidroclortiazid Anak (Oral): <6 bulan 1-3 CLcr<10 12,5 - 50 (1) mg/kg/hari untuk 2 kali mL/menit tidak sehari; >6 bulan - 2 tahun boleh digunakan, 1-3 mg/kg/hari untuk 2 kali tidak efektif untuk sehari, dosis maksimum GFR <30 37,5 mg/hari; >2 - 17 tahun mL/menit, efektif 31 1 mg/kg/hari, dosis pada GFR rendah maksimum 3 mg/kg/hari(50 apabila mg/hari) dikombinasi dengan loop Dewasa (Oral): Edema 25-100 mg /hari untuk 1-2 diuretik kali sehari, dosis maksimum 200 mg/hari; hipertensi 12,5 -50 mg/hari, respon minimal dapat > 50 mg/hari . Usia lanjut (Oral): 12,5 - 25 mg 1 kali sehari . Spironolacton Anak 1-17 tahun (Oral): 1 Clcr 31-50 25 - 100 (1 - 2) mg/kg/hari terbagi dalam mL/menit dosis 12-24 jam (dosis maksimum diturunkan 3,3 mg/kg/hari hingga 100 menjadi 12,5 mg 1 mg/hari) kali sehari, CLcr<30 Dewasa (Oral): edema mL/menit tidak 25-200 mg/hari 1-2 kali sehari; hipokalemia 25-100 direkomendasikan mg per hari; hipertensi (JNC 7) 25-50 mg/hari 1-2 kali per hari Usia lanjut (Oral): 12.5-50 mg/hari pada 1-2 kali sehari, dapat ditingkatkan menjadi 25-50 mg setiap 5 hari ACE Inhibitor Captopril Ramipril Anak (Oral): 0,5 mg/kg/dosis setiap 12-24 jam, maksimum dosis 6 mg/kg/dosis terbagi dalam 2-4 dosis; older children 6,25-12,5 mg/dosis setiap 8-12 jam, maksimum dosis 6 mg/kg/dosis . Dewasa (Oral): Dosis awal 25 mg 2-3 kali per hari (Dosis awal yang lebih rendah, yaitu 12,5 mg 3 kali per hari juga dapat dipertimbangkan). Dosis dapat ditingkatkan 12,5-25 mg per dosis pada interval 1-2 minggu hingga mencapai 50 mg 3 kali per hari. Rentang dosis yang biasa digunakan 25-100 mg per hari dalam 2 dosis bagi Dewasa (Oral): 2,5-5 mg 1 kali per hari. Dosis maksimal 20 mg per hari CLcr 10-50 25 - 150 (2 - 3) mL/menit, berikan 75% dari dosis normal setiap 8-12 jam, CLcr <10mL/menit, berikan 50% dosis normal setiap 8-12 jam. Untuk 2,5 - 20 ( 1 - 2) CLcr<40mL/menit , berikan 25% dari dosis normal. Untuk gagal ginjal dan gagal jantung, 32 berikan 1,25 mg 1 kali per hari, dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,25 mg 2 kali per hari sampai 2,5 mg 2 kali per hari. Untuk gagal ginjal dan hipertensi, berikan 1,25 mg 1 kali per hari, dosis dapat ditingkatkan hinggal maksimal 5 mg per hari (Lacy dkk., 2012) Dosis awal 20 - 40 (1) hendaknya disesuaikan dengan kondisi pasien. Titrasi dosis dapat dilakukan berdasarkan respon terapi (dosis maksimal 40 mg per hari). CLcr >30 mL/menit, dosis awal 10 mg per hari. CLcr 10-30 mL/menit, dosis awal 5 mg per hari. Hemodialisis, dosis awal 2,5 mg per hari. CLcr>30 4 - 8 (1 - 2) mL/menit 2 mg/hari, maintanace tidak lebih dari 8 mg/hari Lisinopril Anak >6 tahun (Oral): 0,07 mg/kg 1 kali sehari (sampai 5 mg) Dewasa (Oral): 10-40 mg/hari, dosis awal sebesar 10 mg per hari jika pemberian tidak disertai diuretik, dosis awal sebesar 5 mg per hari jika pemberian disertai diuretik Usia lanjut (Oral): 2,5-5 mg/hari, maksimum dosis 40 mg . Perindropril Dewasa (Oral): 4 mg/hari dan ditirasi berdasarkan respon, biasanya 4-8 mg/hari trebagi dalam 2 dosis, dosis maksimum 16 mg/hari Usia lanjut (Oral): >65 tahun 4 mg/hari, maintanace: 6 mg/hari (Luzy dkk., 2012) Irbesartan Anak (Oral): 6-12 tahun 75 Tidak perlu mg 1 kali sehari, dosis maksimum 150 mg/hari 13 tahun ke atas150 mg/hari , dapat dititrasi sampai 300 mg/hari Nefropati pada pasien DM tipe 2: dosis target 300 ARB 150 - 300 (1) 33 mg/hari Valsartan Candesartan Telmisartan Losartan Anak 6-16 tahun (Oral):1,3 Tidak perlu mg/kg satu kali sehari, dosis maksimum 40 mg/hari Dewasa (Oral)80 mg atau 160 mg satu kali sehari (untuk pasien yang tidak mengalami deplesi volume), dosis maksimal 320 mg/hari Dewasa (Oral): 4-32 mg Tidak perlu satu kali sehari. dosis bersifat individual. respon tekanan darah menentukan dosis antara 2-32 mg. Dosis yang direkomendasikan dimulai dengan 16 mg satu kali sehari untuk tunggal dan pasien tidak mengalami deplesi volume. penggunaan bisa 1 atau 2 kali sehari dengan total dosis sehari 8-32 mg Dewasa (oral): 40 mg 1 kali Tidak perlu sehari, dosis maintenance 20-80 mg/hari, pasien dengan volume deplesi dapat menggunakan dosis yang lebih rendah Usia lanjut (Oral): 20 mg/hari, dosis maintgenance 20-80 mg/hari Children 6-16 tahun (Oral): Tidak perlu (Lacy 0,7 mg/kg satu kali sehari, dkk., 2012) dosis maksimum 50 mg/hari Dewasa (Oral): Dosis awal 50 mg satu kali per hari, bisa 1 atau 2 kali sehari dengan dosis 25-100 mg Pasien yang mendapat diuretik atau dengan volume deplesi intravaskuler 25 mg 1 kali per hari. nefropati pada pasien DM tipe 2 dan hipertensi 50 mg 1 kali per hari dan dapat ditingkatkan sampai 100 mg tergantung respon tekanan darah 80 - 320 (1) Anak 6-17 tahun (Oral): Tidak perlu 2,5-5 mg 1 kali sehari Dewasa (Oral): 5 mg 1 kali sehari, dosis maksimum 10 mg 1 kali sehari. Menurut JNC 7 dosis biasanya antara 2,5 - 10 (1) 16 - 32 (1) 40 - 80 (1) 50 - 100 ( 1- 2) CCB Amlodipin 34 2,5-10 mg 1 kali sehari Diltiazem Nifedipin Usia lanjut (Oral): 2,5 mg 1 kali sehari Anak (Oral): menurut Tidak perlu Flyrun tahun 2000 adalah 1,5-2 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis/hari(dosis maksimum 6 mg/kg/hari sampai 360 mg/hari Dewasa (Oral): 160-240 mg 1 kali sehari. dosis yang biasanya menurt JNC 7 antara 180-420 mg/hari, dosis maksimumnya 480 mg Usia lanjut 1-17 tahun Tidak perlu (Oral): 0,25-0,5 mg/kg/hari 1 kali sehari atau terbagi dalam 2 dosis, dosis maksimum 3 mg/kg/hari hingga 120 mg/hari Dewasa (Oral): 30 atau 60 mg 1 kali sehari, dosis maksimum 90-120 mg/hari 120 - 360 ( 1 - 2) 30 - 120 (1) BB Bisoprolol Metoprolol Carvedilol Dewasa (Oral): 2,5-5 mg 1 CLcr <40 2,5 - 10 (1) kali sehari, bisa ditingkatkan mL/menit: dosis jadi 10 mg hingga 20 mg 1 awal 2,5 mg/hari, kali sehari. menurut JNC 7 peningkatan dosis antar 2,5-10 mg 1 kali sehari harus dilakukan Usia lanjut (Oral): 2,5 mg 1 dengan hati-hati kali sehari, bisa ditingkatkan (lacy dkk., 2012) hingga 2,5-5 mg/hari, dosis maksimum 20 mg/hari Anak 1-17 tahun (Oral): 1-2 Tidak perlu 50 - 300 (1) mg/kg/hari , dosis maksimum 6 mg/kg/hari (≤200 mg/hari) terbagi dalam 2 dosis; ≥6 tahun 1 mg/kg/hari 1 kali sehari (dosis maksimum awal 50 mg/hari), dosis maksimum 2 mg/kg/hari hingga 200 mg/hari) Dewasa (Oral): 50 mg 2 kali sehari, dosis antara 100-450 mg/hari terbagi dalam 2-3 dosis. dosis maksimum 450 mg/hari Dewasa (Oral) : immediate Tidak perlu 5 - 50 (2) release 6,25 mg 2 kali sehari, maksimum dosis 25 mg 2 kali sehari. Extended release dimulai 20 mg 1 kali sehari, maksimum dosis 80 35 Propranolol mg 1 kali sehari Anak (Oral): 0,5-1 Tidak perlu mg/kg/hari terbagi setiap 6-12 jam dosis meningkat secara gradual tiap 5-7 hari, dosis maksimum 16 mg/kg/hari Dewasa (Oral): 40 mg 2 kali sehari, dosis meningkat setiap 3-7 hari, dosis biasanya 120-240 mg terbagi dalam 2-3 dosis perhari, dosis maksimum 640 mg, menurut JNC 7 dosis antara 40-160 mg/hari terbagi dalam 2 dosis 40 - 480 (1 - 2) Agonis a-2 Clonidin Anak (Oral): ≥12 tahun di risiko bradikardia, 0,2 - 1,2 (2 - 3) mulai 0,2 mg/hari terbagi sedasi, dan dalam 2 dosis, meningkat hipotensi lebih secara gradual, jika besar pada pasien diperluka 0,1 mg hari untuk GGK. interval mingguan, dosis Pertimbangkan maksimum 2,4 mg/hari pemberian dosis pada batas bawah Dewasa (Oral): 0,1 mg 2 kali sehari (dosis maksimum rentang dosis yang 2,4 mg/hari), menurut JNC 7 biasa digunakan dan pantau dengan dosis biasanya antara seksama. 0,1-0,8 mg/hari terbagi dalam 2 dosis Usia lanjut (Oral): 0,1 mg 1 kali sehari, dapat ditingkatkan secara gradual jika perlu d. Tepat penilaian kondisi pasien Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus memperhatikan : kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia atau bayi. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi tahun 2006, NKF K/DOQI Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004, dan literatur Drug Information Handbook edisi ke-20 mencantumkan beberapa kondisi dimana penggunaan obat antihipertensi tertentu dikontraindikasikan, seperti yang disajikan dalam Tabel VII. 36 Tabel VII. Kontraindikasi Penggunaan Obat Antihipertensi Golongan Obat Nama Obat Diuretik Furosemid Kontraindikasi Hindari pada penyakit gout (NKF K/DOQI, 2004d), Hipersensitivitas terhadap furosemid, anuria (Lacy dkk., 2012) Hidroclortiazid Hindari pada penyakit gout (NKF K/DOQI, 2004d), Hipersensitivitas terhadap Hidroclortiazid, Tiazid, atau obat-obat derifat Sulfonamid, anuria, renal decompencation pregnancy (Lacy dkk., 2012) Spironolakton Perhatikan penggunaan pada pasien dengan CKD stage 3 dan 4, dan dapat meningkatkan risiko hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Anuria, acute renal insufficiency, significant impairment of renal excretory function, hiperkalemia (Lacy dkk., 2012) ACE Inhibitor Captopril Ramipril Lisinopril Perindropril Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006), Hipersensitivitas terhadap kaptropril dan obat-obat ACEI lain, angiodema yang timbul karena penggunaan ACEI sebelumnya (Lacy dkk., 2012) Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006), Hipersensitivitas terhadap ramipril, angiodema (Lacy dkk., 2012) Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006), hipersensitivitas terhadap lisisnopril, angiodema yang timbul karena penggunaan ACEI sebelumnya, pasien dengan idiopati atau angiodema (Lacy dkk., 2012) Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes., 2006), Hipersensitivitas terhadap perindropril, obat-obat ACEI lain, angiodema yang timbul karena penggunaan ACEI sebelumnya (Lacy dkk., 2012) ARB Irbesartan Valsartan Candesartan Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006), Hipersensitivitas terhadap irbesartan (Lacy dkk., 2012) Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia(NKF K/DOQI, 2004c), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006), Hipersensitivitas terhadap valsartan (Lacy dkk., 2012) Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006), Hipersensitivitas terhadap 37 Telmisartan Losartan candesartan, kehamilan, ibu menyusui (Lacy dkk., 2012) Hipersensitivitas terhadap Telmisartan, kehamilan trimester kedua dan ketiga, ibu menyusui, fructosa intolerance (Lacy dkk., 2012) Hindari penggunaan pada kehamilan, riwayat angiodema, waspada pada hiperkalemia (NKF K/DOQI, 2004d), Kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006), Hipersensitivitas terhadap Losartan (Lacy dkk., 2012) CCB Amlodipin Diltiazem Nifedipin Hipersensitivitas terhadap amlodipin (Lacy dkk., 2012) Hindari penggunaan pada heart block derajat 2 atau 3 dan gagal jantung kongestif karena disfungsi sistolik (NKF K/DOQI, 2004d), Heart block, disfungsi sistolik gagal jantung (Ditjen Binfar dan Alkes., 2006), Hipersensitivitas terhadap diltiazem, hindari penggunaan pada heart block derajat 2 atau 3, severe hipotension, pulmonary congestion, kehamilan (Lacy dkk., 2012) Hipersensitivitas terhadap Nifedipin, penggunaan bersamaan dengan obat yang menginduksi CYP3A4 kuat seperti Rifampisin, cardiogenic stock (Lacy dkk., 2012) BB Bisoprolol Metoprolol Carvedilol Propranolol Hindari pada pasien dengan bradikardia, heart block derajat 2 atau 3(NKF K/DOQI, 2004d), Asma, heart block, sindroma Raynaud’s yg parah (Ditjen Binfar dan Alkes., 2006), syok kardiogenik, heart block yang lebih parah dari pada derajat , sinus bradikardi (Lacy dkk., 2012) Hipersensitivitas terhadap Hindari pada pasien dengan bradikardia, heart block derajat 2 atau 3 (NKF K/DOQI, 2004d), Asma, heart block, sindroma Raynaud’s yg parah (Ditjen Binfar dan Alkes., 2006), Hipersensitivitas terhadap Metoprolol atau obat-obat Beta Blocker lain (Lacy dkk., 2012) Asma, heart block, sindroma Raynaud’s yg parah (Ditjen Binfar dan Alkes., 2006), Hipersensitivitas serius pada Carvedilol dan komponen lain dalam formulasi, dekompensasi cardiac failure yang membutuhkan terapi inotropik IV, asma bronkial atau kondisi bronkspastik, AV Block derajat 2 atau 3, sick sinus syndrome, bradikardi, shock kardiogenik, gangguan hepar parah (Lucy dkk., 2012) Hindari pada pasien asma, chronic obstructive pulmonaru desease, severe pheripheral vascular desease (NKF K/DOQI, 2004d), Asma, heart block, sindroma Raynaud’s yg parah (Ditjen Binfar dan Alkes., 2006), Hipersensitivitas terhadap propanolol dan obat-obat Beta Blocker lain, CHF, Syok cardiogenik, Severe sinus bradicardia atau heart block yang lebih parah dari derajat 1, asma atau COPD (Lacy dkk., 2012) Agonis a-2 Clonidin Hipersensitivitas terhadap klonidin (Lacy dkk., 2012) 38 e. Waspada efek samping obat Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulnya mual, muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya (Depkes RI, 2008). Tabel IX menyajikan efek samping obat-obat antihipertensi yang umum digunakan. Tabel VIII. Efek Samping dari Obat-obat Antihipertensi yang Umum Digunakan (NKF K/DOQI, 2004d) Kelas/Golongan Obat Efek samping Diuretika Diuretika tiazid dan loop Deplesi volume cairan ekstraseluler; peningkatan kolesterol; peningkatan kadar glukosa; peningkatan asam urat; peningkatan kalsium (tidak terjadi dengan diuretika loop); peningkatan litium; penurunan potassium; penurunan sodium; penurunan magnesium; jarang menyebabkan dyscrasias darah; fotosensitivitas; pankreatitis; hiponatremia disfungsi ereksi Diuretika hemat kalium Hiperkalemia; asidosis metabolik; defisiensi folat (triamteren); batu ginjal (triamteren) Beta Blockers Bradikardia; dapat menutupi dan memperpanjang hipoglikemia yang diinduksi insulin; hiperkalemia (berkurang pada penggunaan selective beta blockers) ACE Inhibitor Batuk; angiodema (sangat jarang); hiperkalemia; rash; penurunan kemampuan indra peras; leukopenia; peningkatan kadar litium ARB Batuk (insidensi lebih rendah daripada ACE-I); angiodema (sangat jarang); hiperkalemia (insidensi lebih rendah dari pada ACE-I); peningkatan kadar litium CCB Dihidropiridim Edema pada pergelangan kaki (Khususnya nifedipin); flushing; sakit kepala; peningkatan kadar siklosporin (hanya nicardipin); hipertropi ginjal; " dose dumping" (nifedipin, nisoldipin, felodipin) Non-dihidropiridin Nausea; sakit kepala (diltiazem); konstipasi (verapamil; conduction defects; memperparah disfungsi sistolik; peningkatan kadar obat lain yang dimetabolisme oleh enzim hepatik yang sama; penurunan kadar serum litium (hanya verapamil); peningkatan kadar siklosporin; hiperplasia gingival Central alpha-adrenergic Sedasi; mulut kering; bradirkardia; hipertensi withdrawal ( meningkat agonists pada penggunaan klonidin, lebih kecil pada penggunaan guanfacine) 39 F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat jalan penderita gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito pada tanggal 1 Januari sampai 31 Desember 2014. Evaluasi penggunaan antihipertensi diperoleh berdasarkan data rekam medik pasien, kemudian dilihat ketepatannya dengan menggunakan standar National Kidney Foundation Kidney Dialysis Outcomes and Quality Initiative (NKF K/DOQI) Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents 2004.